Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“ AKAD BA’I I ”

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIQIH BISNIS

MBS C-3

KELOMPOK 1 :

JUNITA RAHMI 3720070

JULIANDA WIRSA PUTRI 3720072

AUFA NABILA 3720075

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI

TP. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Hirabbilalamin segala puji kami ucapkan kepada Allah


SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-NYA,kami bisa menyelesaikan tugas
mata kuliah fiqih bisnis dengan baik dan insya allah lancar dan jauh dari gangguan
apapun . Dan tidak lupa pula shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada
baginda nabi besar Muhammad SAW.

Dalam pengerjaan makalah ini begitu banyak mungkin kesalahan dan


kekurangan dalam penulisannya, semua kekurangan tersebut hanya pembacalah
yang dapat memberikan kritik dan saran yang dapat membangun kami sebagai
penulis untuk dapat menciptakan sebuah karya tulis yang baik, sehingga para
pembaca dapat memahami dan mengambil pembelajaran yang bermanfaat.

Dimikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga pembaca dapat


mengambil manfaat dan pelajaran di makalah yang kami buat.

Lubuk Basung, 04 September 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Ba’I..................................................................................... 3
B. Dasar Hukum Pelaksanaan Akad Al-Ba’I ................................................. 4
C. Rukun dan Syarat Akad Al-Ba’I ............................................................... 6
D. Hukum-Hukum Yang TErkait Dengan Harga dan Barang ....................... 14
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 18
B. Saran .......................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Definisi jual beli atau perdagangan (al-bai’) secara bahasa artinya


memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.
Adapun makna ba’i menurut istilah adalah pemilikan terhadap harta atau
manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta. Menurut pengertian
syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar
saling rela. Atau bias juga dikatakan dengan memindahkan kepemilikan
harta atau benda dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat
tukar yang sah). Maka dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat terjadi
dengan cara:

1. Pertukaran harta antara pihak atas dasar saling rela.


2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa
alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan. Dalam cara
pertama, yang dimaksud dengan harta adalah semua yang dimiliki dan
dapat dimanfaatkan. Dalam istilah lain dapat disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan harta di sini sama pengertiannya dengan objek
hukum, yaitu meliputi segala benda, baik yang berwujud maupun tidak
berwujud, yang dapat dimanfaatkan atau berguna bagi subjek hukum.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian al ba’i?


2. Apa saja dasar hukum pelaksanaan al ba’i?
3. Apa saja rukun-rukun dan syarat pelaksanaan al ba’i?
4. Apakah hukum-hukum yang terkait dengan harga dan barang?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apakah pengertian al ba’i.

1
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum pelaksanaan al ba’i.1
3. Untuk mengetahui apa saja rukun-rukun dan syarat pelaksanaan al ba’i
4. Untuk mengetahui apakah hukum-hukum yang terkait dengan harga dan
barang.

1
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam
(Jakarta:Amzah, 2010), 23-25

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al Ba’i

Jual beli secara etimologi dari bahasa Arab al-ba’i, at-tijarah,


almubadalah artinya mengambil, memberikan sesuatu atau barter.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli antara
benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang jual beli (al-
ba’i) secara terminologi berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Namun, terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan ulama fiqh, antara lain:

1. Menurut ulama Hanafiyah “Saling menukar harta dengan harta melalui


cara tertentu.” Selain itu, ulama Hanafiyah juga mendefisinikan jual
beli adalah: “Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang
sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.” Kedua definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa ulama Hanafiyah mengartikan jual beli yaitu
tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu
yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
2. Menurut ulama Malikiyah jual beli adalah akad mu’awadah (timbal
balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati
kesenangan.” Selain itu, ulama Malikiyah juga mengartikan jual beli
secara khusus, yaitu: “Jual beli adalah akad mu’awadah (timbal balik)
atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan,
bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan emas dan bukan
perak, objeknya jelas dan bukan utang.”
3. Menurutulama Shafi’iyah “Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad
yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat

3
yang akan diuraikan untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau
manfaat untuk waktu selamanya.” 2
4. Menurut ulama Hanabilah “Makna jual beli dalam syara’ adalah tukar
menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah
dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba atau
bukan utang.”

Beberapa pendapat tentang pengertian jual beli di atas dapat


disimpulkan bahwa jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang engan
barang atau tukar-menukar sejumlah barang dengan sejumlah nilai mata
uang tertentu. Jual beli juga dapat diartikan sebagai kegiatan menukar
barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad). Hikmah
disyariatkannya jual beli adalah setiap kebutuhan manusia bergantung
pada apa yang ada di tangan orang lain, sedangkan orang itu terkadang
tidak rela untuk memberinya.
B. Dasar Hukum Akad Al Ba’i

Agama memberi peraturan yang sebaik baiknya dalam kegiatan


muamalah, dengan adanya aturan maka kehidupan manusia akan terjamin
dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam-mendendam
tidak akan terjadi. Landasan atau dasar hukum jual beli (ba’i) yang
menjadi dasar hukum tentang disyariatkannya jual beli (ba’i) dapat kita
temukan baik dalam Al-Qur’an, hadist, dan ijma.

1. Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275:

ْ ‫الر ٰبوا ََل َيقُ ْو ُم ْونَ ا ََِّل َك َما َيقُ ْو ُم الَّذ‬


ُ َّ‫ِي يَت َ َخب‬
ُ‫طه‬ ِ َ‫اَلَّ ِذيْنَ َيأ ْ ُكلُ ْون‬
ۘ ‫الر ٰب‬
‫وا َوا َ َح َّل ه‬
ُ‫ّٰللا‬ ِّۗ ِ ‫شي ْٰط ُن ِمنَ ْال َم‬
ِ ‫س ٰذ ِل َك ِباَنَّ ُه ْم قَالُ ْْٓوا اِنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬ َّ ‫ال‬

2
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), 23-25

4
َ ‫ظةٌ ِم ْن َّر ِب ٖه فَا ْنتَهٰ ى فَلَهٗ َما‬
َ ِّۗ َ‫سل‬
‫ف‬ َ ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َم ْو ِع‬
ِّۗ ‫الر ٰب‬
ِ ‫ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
ٰۤ ُ
َ‫ار ۚ ُه ْم فِ ْي َها ٰخ ِلد ُْون‬
ِ َّ‫ب الن‬ ْ َ ‫ول ِٕى َك ا‬
ُ ٰ‫صح‬ ‫َوا َ ْم ُر ٗ ْٓه اِلَى ه‬
َ ‫ّٰللاِ ِّۗ َو َم ْن‬
‫عادَ فَا‬
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka
apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 275).

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli


dan mengharamkan riba. Menurut Yusuf Al-Qardhawi hikmah
diharamkanya riba dalam Islam adalah mewujudkan persamaan yang adil
diantara pemilik modal dan pekerja, serta memikul risiko dan akibatnya
secara berani dan penuh tanggung jawab. Selain dalam surat Al-Baqarah,
jual beli juga diatur dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 29, yang
berbunyi:

ِّۗ ‫اض ِم ْن ُك ْم‬


ٍ ‫ع ْن ت َ َر‬ َ ‫َِل ا َ ْن ت َ ُك ْونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬ ِ َ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت َأ ْ ُكلُ ْْٓوا ا َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ْٓ َّ ‫اط ِل ا‬
‫ّٰللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًم‬ َ ُ‫َو ََل ت َ ْقتُلُ ْْٓوا ا َ ْنف‬
‫س ُك ْم ِّۗ ا َِّن ه‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (An- Nisa’ : 29).

Firman Allah di atas menerangkan bahwa dilarangnya memakan


harta dari jalan yang batil. Carilah harta dari jalan perniagaan yang3

5
berprinsip saling suka sama suka. Jadi, dalam jual beli tidak sah jika ada
salah satu pihak melakukan akad karena paksaan dari mana pun.

2. Hadist
Terdapat pula dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah-
2280 sebagaimana berikut ini:
"Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal
berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Tsabit Al Bazzar
berkata, telah menceritakan kepada kami Nashr bin Al Qasim dari
'Abdurrahman bin Dawud dari Shalih bin Shuhaib dari Bapaknya ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga hal
yang di dalamnya terdapat barakah; jual beli yang memberi tempo,
peminjaman, dan campuran gandum dengan jelai untuk di konsumsi
orang-orang rumah bukan untuk dijual."
Berdasarkan hadist tersebut di atas, jual beli bertempo merupakan
salah satu dari tiga hal yang mempunyai barokah. Jadi dalam
melakukan jual beli bertempo tersebut justru akan mendapatkan
barokah. Para ulama juga telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkan harus diganti dengan baranglain yang
sesuai.
C. Rukun Dan Syarat Pelaksanaan Akad Al Ba’i
1. Rukun dalam akad al ba’i
Rukun dan syarat jual beli (ba’i) penetapan rukun jual beli,
diantara para ulama terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah
dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya
satu yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan
menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual

Ibnu Al „asqolani, Bulughul Marom., 165.


5 Takhqiq wakdadu ro‟di shobri abu „ulfah, Syarah Sunan Ibnu Majah, ( t.tp : Baitul
AfkarDawaliyah,2007) I :8486 Haroen, Fiqh., 114.

6
beli hanyalah kerelaan (rida/taradi) kedua belah pihak untuk melakukan
jual beli. Ijab dan qabul merupakan tindakan yang menunjukan
4
pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun tindakan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) ada
empat, yaitu:
a. Sighat (ijab dan qabul)
b. Ba’i (penjual) dan mushtari (pembeli)
c. Ma’qud ‘alayh (benda atau barang).
d. Ada nilai tukar pengganti barang
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur
(rukun) jual beli ada tiga, yaitu:
a. Pihak-pihak
b. Objek
c. Kesepakatan
2. Syarat pelaksanaan akad al ba’i
Ulama fiqh dalam menetapkan persyaratan jual beli, terdapat
perbedaaan antara lain sebagai berikut:
a. Menurut ulama Hanafiyah ulama Hanafiyah berkaitan denga syarat
jual beli, menetapkan syarat sebagai berikut:
1) Syarat terjadinya akad (in’iqad) syarat terjadinya akad
merupakan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Jika
persyaratan tidak terpenuhi, jual beli batal. Ulama Hanafiyah
menetapkan empat syarat, yaitu:
a) Syarat ‘aqid (orang yang akad) ‘aqid dalam melakukan jual
beli harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1)
berakal & mumayyiz dan (2) ‘Aqid harus terbilang, sehingga
tidaklah sah akad dilakukan seorang diri.
b) Syarat dalam akad hanya satu, yaitu harus sesuai dengan
ijab dan qabul. Namun demikian, dalam ijab dan qabul

4
2 Imam Al Ghazali, Benag Tipis Antara Halal dan Haram, Sunting oleh Ahmad Shidiq
(Surabaya:Putra Pelajar, 2002),219.23 QS. Al-An‟am (6):152.24 QS. Al-Isra‟ (17):35.

7
terdapat tiga syarat, di antaranya adalah: (1) Ahli akad,
seorang anak yang berakal dan mumayyiz. (2) Qabul harus
sesuai dengan ijab
c) Ijab dan qabul harus bersatu, dalam artian harus
berhubungan walau berbeda tempat. Tempat akad harus
bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul. Hal
tersebut berarti meskipun tidak satu tempat tidak menjadi
halangan untuk mengtahui kondisi barang yang diakadkan.
d) Ma’qud ‘alayh (benda atau barang), ma’qud ‘alayh (benda
atau barang) harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1)
Ma’qud ‘alayh harus ada, akad tidak boleh dilakukan atas
barang yang tidak ada. (2) Harta harus kuat, tetap, dan
bernilai. (3) Benda tersebut milik sendiri. (4) Benda dapat
diserahkan.
2) Syarat pelaksanaan akad (nafadh) Saat pelaksanaan akad, syarat
yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:
a) Benda milik aqid atau berkuasa atas benda atau harta yang
diakadkan.
b) Benda tidak terdapat milik orang lain.
3) Syarat sah akad terbagi atas dua bagian, yaitu syarat umum dan
khusus antara lain:
a) Syarat umum sah akad jual beli adalah syarat yang
berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah
ditetapkan syara’. Syarat-syarat tersebut telah dijelaskan,
selain itu harus terhindar dari kecacatan jual beli, seperti:
ketidak jelasan, penipuan, keterpaksaan, kemadaratan, dan
persyaratan yang merusak lainnya.
b) Syarat khusus adalah syarat yang hanya ada pada barang-
barang tertentu. Syarat tersebut adalah:
(1) Barang yang dijual belikan harus dapat dipegang.
(2) Harga harus diketahui di awal.

8
(3) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah.
(4) Telah terpenuhi syarat penerimaan. 5
(5) Harus seimbang dalam ukuran timbangan.6
(6) Barang yang dijual belikan sudah menjadi tanggung
jawabnya.
c) Syarat lujum (kemestian), syarat ini hanya ada satu syarat,
yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas khiyar yang
berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan menyebabkan
batalnya akad.
b. Menurut ulama Malikiyah adapun syarat-syarat yang dikemukakan
oleh Malikiyah yang berkenaan dengan ‘aqid, sighat dan ma’qud
‘alayh berjumlah sebelas syarat, antara lain:
1) Syarat ‘aqid adalah penjual dan pembeli. Ada tiga syarat dan
satu syarat tambahan untuk penjual, yaitu:
a) ‘Aqid harus mumayyiz.
b) Keduanya merupakan pemilik barang yang dijadikan wakil.
c) Keduanya dalam keadaan sukarela.
d) Penjual harus sadar dan dewasa.
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam dalam membeli
hamba muslim atau mushaf. Jual beli yang dilakukan orang buta juga
dipandang shahih.
2) Syarat dalam sighat, beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
sighat ada dua belas, antara lain:
a) Tempat akad harus satu.
b) Ditunjukan pada seluruh badan akad.
c) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.
d) Harus menyebutkan barang dan harga.
e) Ketika mengucapkan sighat harus disertai dengan niat.
f) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna.
5
2 Ismail Nawawi Uha, Fiqh Mu’amalah Hukum Ekonomi, Bisnis, dan Sosial, (Jakarta: Dwiputra
Pustaka Jaya, 2010), 128.

9
g) Ijab qabul tidak terpisah.
h) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.
i) Tidak berubah lafaz.
j) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.
k) Tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan
dengan akad.
l) Tidak dikaitkan dengan waktu.
3) Syarat ma’qud ‘alayh, beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam ma’qud ‘alayh ada lima, antara lain:
a) Suci
b) Bermanfaat
c) Dapat diserahkan
d) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
e) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang berakad
c. Menurut ulama Hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas sebelas
syarat, baik dalam ‘aqid, sighat dan ma’qud ‘alayh. Syarat-syarat
tersebut, yaitu:
1) Syarat ‘aqid ‘Aqid dalam melakukan kegiatan jual beli harus
memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Dewasa, kecuali pada jual beli barang yang bernilai kecil.
b) Adanya keridaan, masing-masing ‘aqid harus saling
meridai, tidak ada unsur paksaan.
2) Syarat dalam sighat, syarat yang harus dipenuhi dalam sighat
kegiatan jual beli, adalah:
a) Berada di tempat yang sama
b) Tidak terpisah antara ijab dan qabul
c) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
3) Syarat ma’qud ‘alayh, beberapa syarat yang harus dipenuhi
ma’qud ‘alayh ada enam, antara lain:
a) Ma’qud ‘alayh harus berupa harta
b) Milik penjual secara sempurna

10
c) Barang dapat diserahkan ketika akad 7
d) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
e) Harga diketahui oleh kedua pihak yang berakad
f) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
3. Bentuk-bentuk jual beli (ba’i)
Bentuk jual-beli dari segi hukum menurut ulama Hanafiyah
dibentuk menjadi tiga, antara lain:
a. Jual beli yang sah masih hidup
Menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Menurut Ulama
Hanafiyah hukumnya fasid. Contohnya jual beli buah-buahan atau
padi-padian yang belum sempurna matang panennya, menurut ulama
Hanafiyah jika buah-buahan itu telah ada di pohonnya tatapi belum
layak untuk dipanen maka apabila pembeli disyaratkan untuk
memanen buah-buahnya maka jual beli itu sah. Apabila disyaratkan
buah-buahan itu dibiarkan sampai matang maka jual belinya fasid
karena tidak sesuai dengan tuntutan akad. Shaih Jual beli yang dapat
dikatakan sahih adalah jual beli yang telah memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditentukan, barang bukan milik orang lain, dan
tidak terikat dengan khiyar lagi maka jual beli tersebut sahihdan
memikat kedua belah pihak. Contohnya seperti, seseorang membeli
suatu barang, seluruh rukun dan syarat jual belinya telah terpenuhi.
Barangnya juga telah diperiksa oleh pembeli, barang tidak ada cacat
atau rusak. Kemudian pembeli telah menyerahkan uang dan
barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiyar.
b. Jual beli yang batil
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batil apabila salah satu
atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang pada

7
30 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), 278. 31 Muhammad bin
Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, jilid
2, terj. Muhammad Isnan. et al, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), 306. 32 Sulaiman Rasjid, Fiqh…,
278. 33 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 47

11
dasarnya tidak disyariatkan. Maka jual beli tersebut batil. Jual beli
batil dibagi atas beberapa macam:
1) Jual beli sesuatu yang tidak ada, ulama fiqh telah sepakat bahwa
jual beli barang yang tidak ada maka jual beli tersebut tidak sah.
Contohnya, menjual buah-buahan yang masih berkembang
(mungkin masih bisa jadi buah atau bahkan tidak), atau menjual
anak sapi yang masih dalam perut ibunya.
2) Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli,
maka jual beli itu tidak sah (batil). Contohnya, menjual barang
yang hilang atau menjual burung peliharaan yang lepas dari
sangkarnya.
3) Jual beli yang mengandung unsur tipuan, menjual barang yang
ada mengandung unsur tipuan maka tidak sah (batil). Contonya
barang yang terlihat baik namun baliknya terlihat tidak baik.
4) Jual beli benda najis, hal tersebut hukumnya tidak sah. Seperti,
menjual babi, bangkai, darah dan khamar (semua benda yang
memabukan). Disebabkan karena benda-benda tersebut tidak
mengandung makna dalam arti hakiki menurut syara’.
5) Jual beli al-‘urbun, merupakan jual beli yang bentuknya
dilakukan melalui perjanjian. Apabila barang yang sudah dibeli,
dapat dikembalikan kepada penjual maka uang muka yang
diberikan oleh pembeli menjadi milik penjual. Jumhur ulama
mengatakan bahwa jual beli itu terlarang atau tidak sah.
6) Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang
tidak boleh dimiliki seseorang, air yang disebutkan ini adalah air
milik bersama umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan.
Menurut Jumhur ulama air sumur pribadi, boleh
diperjualbelikan.
c. Jual beli yang fasid
Jumhur ulama tidak membedakan jual beli fasid dan jual beli
batil, menurut mereka jual beli terbagi atas dua macam, yaitu: jual

12
beli sahih dan jual beli batil. Sedangkan, ulama Hanafiyah
membedakan antara jual beli fasid dan jual beli batil. Menurut
Imam8 Hanafi, muamalah yang fasid pada hakikatnya atau esensinya
tetap dianggap sah namun yang rusak atau tidak sah adalah sifatnya.
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli yang fasid, antara lain sebagai
berikut:
1) Jual beli al-majhul yaitu benda atau barangnya secara
keseluruhan belum diketahui, dengan syarat ketidakjelasannya
itu bersifat menyeluruh. Namun apabila sifat ketidakjelasannya
sedikit, jual belinya sah karena hal tersebut tidak membawa
perselisihan.
2) Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan
penjual kepada pembeli: “Saya jual mobil saya ini kepada anda
bulan depan setelah mendapat gaji”, menurut jumhur ulama jual
seperti ini batal. Menurut ulama hanafiyah jual beli ini
dipandang sah setelah sampai waktunya yang disyaratkan dan
ditentukan telah berakhir
3) Menjual barang yang ghaib yang tidak diketahui pada saat jual
beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli,
ulama Hanafiyah memperbolehkan jual beli seperti ini apabila
sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-sifatnya tersebut
tidak berubah sampai barang itu diserahkan.
4) Jual beli yang dilakukan oleh orang buta, jual beli tersebut
hukumnya sah, apabila orang buta tersebut memiliki hak khiyar.
5) Barter barang dengan barang yang diharamkan, seperti
menjadikan barang-barang yang diharamkan sebagai harta.
6) Jual beli al-ajl, contoh jual beli seperti ini adalah seseorang
menjual barangnya senilai Rp 100.000,- dengan pembayaran
ditunda selama satu bulan. Setelah penyerahan barang kepada
pembeli, pemilik barang membeli kembali barang tersebut

8
43 Mardani, Hukum Ekonomi…, 177.

13
dengan harga yang rendah misalnya Rp 75.000,- sehingga
penjual tetap berhutang kepada pemilik barang sebesar Rp
25.000,-.
7) Jual beli anggur untuk tujuan membuat khamr, apabila penjual
anggur tersebut mengetahui hal tersebut, maka hukumnya para
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Shafi’i menganggap
jual beli itu sah, tetapi hukumnya makruh. Mazhab Maliki dan
Hanbali menganggap jual beli tersebut batil.
8) Jual beli yang bergantung pada syarat, seperti ucapan pedagang:
“Jika kontan harganya Rp 1.200.000,- dan jika berhutang
harganya Rp 1.250.000,-, jual beli ini dinyatakan fasid.
9) Jual beli sebagian barang yang tidak dapat dipisahkan dari
satuannya, contohnya menjual tanduk kerbau yang diambil dari
kerbau yang masih hidup. Menurut Jumhur ulama hukumnya
tidak sah. Menurut Ulama Hanafiyah hukumnya fasid.
10) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna
matang panennya, menurut ulama Hanafiyah jika buah-buahan
itu telah ada di pohonnya tatapi belum layak untuk dipanen
maka apabila pembeli disyaratkan untuk memanen buah-
buahnya maka jual beli itu sah. Apabila disyaratkan buah-
buahan itu dibiarkan sampai matang maka jual belinya fasid
karena tidak sesuai dengan tuntutan akad.
D. Hukum Terkait Harga Dan Barang
Islam memberikan kebebasan pasar dan menyerahkan kepada hukum
naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan
penawaran dan permintaan. Adapun tas’ir tidak bisa dicapai dengan suka
sama suka. Anas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa pada zaman
Rasulullah SAW, di Madinah terjadi harga yang membumbung tinggi,
kemudian mereka berkata wahai Rasulullah harga begitu mahal, maka
tetapkanlah kami harga.

14
Dengan demikian Rasulullah SAW ketika sedang naiknya harga,
diminta oleh orang banyak supaya menentukan harga. Rasulullah SAW9
menjawab: “Allah lah yang menentukan harga, yang mencabut, yang
meluaskan dan memberi rezeki. Saya mengharap ingin bertemu Allah,
sedangkan tidak ada seorang pun diantara kamu yang menuntut saya
dalam urusan darah maupun harta bendanya”. (Riwayat Ahmad, Abu
Daud, Tirmidh, Ibnu Majah ad Darimi dan Abu Ya’a).
Rasulullah SAW menegaskan dalam hadits tersebut bahwa ikut
campur dalam masalah pribadi orang lain tanpa suatu kepentingan yang
mengharuskan berarti suatu perbuatan zalim, yakni beliau ingin bertemu
Allah dalam keadaan bersih sama sekali dari pengaruh-pengaruh zalim itu.
Akan tetapi, jika keadaan pasar itu tidak normal misalnya, ada pemunuhan
oleh sementara pedagang, dan adanya permainan harga oleh para
pedagang, maka waktu itu kepentingan umum harus didahulukan daripada
kepentingan perorangan. Dalam situasi demikian, kita dibolehkan
menetapkan harga demi memenuhi kesewenang-wenangan dan demi
mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip
hukum.
Dengan demikian, apa yang dimaksud oleh hadith diatas bukan
berarti mutlak dilarang menetapkan harga sekalipun dengan maksud demi
menghilangkan bahaya dan menghalangi setiap perbuatan zalim. Bahkan,
menurut pendapat para ahli, menetapkan harga itu ada yang bersifat zalim
dan terlarang, dan ada pula yang bijaksana dan halal. Oleh karena itu, jika
penetapan harga itu mengundang unsur-unsur kezaliman dan pemaksaan
yang tidak betul ialah dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat
diterima atau melarang yang oleh Allah dibenarkan, maka jelaslah
penetapan harga semacam itu hukumnya haram. Jika penetapan itu penuh
dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka untuk menunaikan

9
50 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 337. 51 Achmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, cet.
2, (Jakarta: Amzah, 2013) ..., 273

15
kewajiban membayar harga mithli dan melarang mereka menambah harga
mithli, harga itu dipandang halal, bahkan hukumnya wajib.
Dalam hadits yang telah disebutkan diatas, jadi kalau orang-orang
menjual barang dagangannya menurut cara yang lazim tanpa ada sikap-
sikap zalim mereka, kemudian harga naik, mungkin karena sedikitnya
barang atau karena banyaknya orang yang membutuhkan sesuai hukum
penawaran dan permintaan maka naiknya harga semacam ini kita serahkan
kepada Allah.
Tetapi, kalau orang-orang dipaksa menjual barangnya dengan harga
tertentu, ini namanya suatu pemaksaan yang tidak dapat dibenarkan.
Adapun hadits di atas dijelaskan bahwa jika ada penjual yang tidak mau
menjual barangnya padahal barang tersebut sangat dibutuhkan orang
banyak, melainkan dengan tambahan harga yang ditentukan maka disinilah
timbulnya suatu keharusan memaksa mereka untuk menjual barangnya itu
dengan harga mithli. Dengan penjelasan hadith diatas bahwa Rasulullah
tidak berkenan menetapkan harga yang diminta para sahabat. Seandainya
boleh tentu beliau mengabulkan permintaan mereka.

Sebagian fuqoha membolehkan tas’ir dengan syarat sebagai berikut:


1. Jika para pedagang mematok harga barang dagangan mereka dengan
harga yang mahal. Al-Zailai dari kalangan hanafiyah menyebutkan
bahwa hal itu jika harga ditetapkan beberapa kali lipat dari harga
standar.
2. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dagangan. Dengan hal ini,
penetapan harga (tafs’ir) dilakukan sebagaimana antisipasi terhadap
bahaya yang akan menimpa masyarakat umum.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pemerintah (orang yang
berwenang) boleh memaksa orang menjual harta miliknya dengan harga
standar pasar ketika masyarakat sangat membutuhkan. Sebagaimana hadits
menyebutkan: “Barang siapa yang memerdekakan orang budak hak milik

16
dalam syirkah seorang budak maka ia berhak mendapatkan harta dar10i
harga budak tersebut. Yang dinilai dengan harga yang adil”. (H.R.
Muslim).
Harga standar pasar adalah hakikat harga, jika Rasulullah SAW
mewajibkan mengeluarkan sesuatu yang dimiliki oleh pemiliknya dengan
standart pasar untuk kemaslahatan penyempurnaan memerdekakan budak,
jika masyarakat lebih mendesak kebutuhan terhadap barang. Sedangkan
yang dimaksud dengan penetapan harga adalah dalam hal ini hanyalah
suatu pemaksaan untuk menjualnya dengan harga mithli dan suatu
penetapan dengan cara yang adil untuk memenuhi perintah Allah. Para
ulama fiqh membagi al-tas’ir itu kepada dua macam, yaitu:
1. Harga barang yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah
para pedagang. Dalam hal seperti ini, para pedagang bebas menjual
barangnya sesuai dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan
keuntungannya. Pemerintah, dalam harga yang berlaku secara alami ini,
tidak boleh campur tangan, karena campur tangan pemerintah dalam
kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
2. Harga suatu komoditi yang ditetapkan oleh pemerintah setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang dan ekonomi
masyarakat. Pendapat Para ahli hukum Islam mensyaratkan beberapa
syarat pada objek akad, yaitu:
a. Objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan
Objek akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila objek
tersebut berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat
dinikmati atau diambil manfaatnya apabila objek itu berupa manfaat
benda seperti dalam sewa menyewa benda.
b. Objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan
Objek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para
pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa.

10
4 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, e-book, Sunan Ibnu Majah, Kitab tentang Qirad

17
Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada
persengketaan tidak membatalkan akad.
c. Objek akan dapat ditransaksikan menurut shara’
1) Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi yaitu
sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila transaksi itu
bertentangan dengan tujuan sesuatu itu. Dalam hukum Islam
terdapat prinsip istishan (kebijaksanaan hukum) yang
membolehkan meninggalkan suatu aturan umum dengan etapan
harga dari pemerintah ini disebut dengan al-tas’ir al-jabari.
2) Objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan. Objek
akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila objek tersebut
berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati
atau diambil manfaatnya apabila objek itu berupa manfaat benda
seperti dalam sewa menyewa benda.
3) Objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan. Objek akad itu
tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa.
Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada
persengketaan tidak membatalkan akad.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jual beli secara etimologi dari bahasa Arab al-ba’i, at-tijarah,
almubadalah artinya mengambil, memberikan sesuatu atau barter. Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan
benda atau pertukaran antara benda dengan uang Jual beli (al-ba’i) secara
terminologi berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Namun, terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan ulama fiqh.
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan shara’ dan
disepakati. Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian
barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni
benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut
shara’. Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang
shara’.
B. Saran
Kami sebagai penulis dalam makalah ini menyadari sangatlah
banyak kekurang dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab
itu kami mengharapkan kritikan serta saran yang membangun bagi kami
dari para pembaca makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. 4 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, e-book, Sunan Ibnu Majah,


Kitab tentang Qirad
2. 50 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 337. 51 Achmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2013) , 273
3. 43 Mardani, Hukum Ekonom, 177.
4. 30 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2014), 278. 31 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul
As-Salam Syarah Bulughul Maram, jilid2, terj. Muhammad Isnan. et
al, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), 306. 32 Sulaiman Rasjid, Fiqh, 278.
33 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahny
47
5. 2 Ismail Nawawi Uha, Fiqh Mu’amalah Hukum Ekonomi, Bisnis, dan
Sosial, (Jakarta: Dwiputra
6. Pustaka Jaya, 2010), 128.
7. 2 Imam Al Ghazali, Benag Tipis Antara Halal dan Haram, Sunting
oleh Ahmad Shidiq
8. (Surabaya:Putra Pelajar, 2002),219.23 QS. Al-An‟am (6):152.24 QS.
Al-Isra‟ (17):35.
9. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi
dalam Fiqh Islam (Jakarta:Amzah, 2010), 23-25

Anda mungkin juga menyukai