Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami susun untuk melengkapi tugas pribadi mata pelajaran
fiqih muamalah. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya
akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Lhokseumawe,02 Oktober 2022

Haris Agus Fairuza


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
1.1 Latar Belakang...............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
2.1 Pengertian Jual Beli........................................................................................
2.2 Rukun Jual Beli..............................................................................................
2.3 Syarat Jual Beli..............................................................................................
BAB III PENUTUP....................................................................................................
3.1 Kesimpulan....................................................................................................
3.2 Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Atas dasar pemenuhan kebutuhan sehari-hari, maka terjadilah suatu
kegiatan yang di namakan jual beli. Jual beli menurut bahasa artinya menukar
sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan
harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad). Sedangkan riba yaitu memiliki sejarah
yang sangat panjang dan praktiknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi
sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal
semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan
sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman: َ‫فَبِظُ ْل ٍم ِّمنَ الَّ ِذين‬
‫ال‬ َ O‫هُ َوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم‬O ‫ُوا َع ْن‬
َ ‫و‬O ْ ‫ص ِّد ِه ْم عَن َسبِي ِل هّللا ِ َكثِيرًا َوَأ ْخ ِذ ِه ُم الرِّ بَا َوقَ ْد نُه‬ ْ َّ‫ت ُأ ِحل‬
َ ِ‫ت لَهُ ْم َوب‬ ْ ‫هَاد‬
ٍ ‫ُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّبَا‬
‫ َذابًا َألِي ًما‬O‫افِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع‬OO‫ ْدنَا لِ ْل َك‬O َ‫ ِل َوَأ ْعت‬O‫اس بِ ْالبَا ِط‬
ِ َّ‫“الن‬Maka disebabkan kezaliman orang-orang
Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS an-Nisaa’: 160-161) َ‫الَّ ِذين‬
‫ا‬OOَ‫ ُل الرِّ ب‬O‫ ُع ِم ْث‬O‫ا ْالبَ ْي‬OO‫وا ِإنَّ َم‬ َّ ُ‫يَْأ ُكلُونَ ال ِّربَا الَ يَقُو ُمونَ ِإالَّ َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُه‬
ْ ُ‫ال‬OOَ‫َأنَّهُ ْم ق‬Oِ‫كَ ب‬OOِ‫ ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذل‬O‫الش‬
‫ َّر َم ال ِّربَا‬O‫ َع َو َح‬O ‫ َّل هّللا ُ ْالبَ ْي‬O‫“ َوَأ َح‬Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-
Baqarah: 275)
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermuamalah antara
satu dengan yang lainnya. Muamalah sesama manusia senantiasa mengalami
perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh
karena itu aturan Allah yang terdapat dalam Alquran tidak mungkin menjangkau
seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat Alquran yang
berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam muamalat dan dalam bentuk
umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari
nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur
agama Islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang di dalamnya terdapat
aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti
apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak
diperbolehkan.

1.2. Rumusan Masalah


1.Apa pengertian jual beli?
2.Apa dasar hukum jual beli?
3.Apa saja rukun jual beli?
4.Apa saja syarat jual beli?
5.Ada berapa macam bentuk jual beli?
6.Apa yang dimaksud dengan khiyar?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Jual Beli


Jual beli dalam istilah fikih disebut dengan al’bai yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai dalam
bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asyi-
syira’ (beli). Dengan kata lain al-bai berarti jual tetapi sekaligus juga berarti beli.
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan
menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang
yang lain dengan rukun dan syarat tertentu.
Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan
sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah,
barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan
pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual. Secara etimologi,
jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual
beli adalah al-ba’i, asy-syira’, almubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi,
para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
1. Menurut ulama Hanafiyah: Jual beli adalah “pertukaran harta (benda) dengan
harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: Jual beli adalah “pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan.”
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni: Jual beli adalah “pertukaran
harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli
ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang
membayar/membeli barang yang dijual).
Akad bai’ ini dapat di buat sebagai sarana untuk memiliki barang atau
manfaat dari sebuah barang untuk selama-lamanya.
2.2. Rukun Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jail beli, di antara para ulama terjadi perbedaan
pendapat, menurut ulama Hanafiah rukun jual beli adalah ijab dan kabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Akan tetapi karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit
untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang
menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun rukun jual beli menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada Shighat (lafal ijab dan qabul).
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad barang yang dibeli, dan
nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual
beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual
beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan.
Ijab adalah perkataan penjual dalam menawarkan barang dagangan,
misalnya: “Saya jual barang ini seharga Rp5.000,00”. Sedangkan kabul adalah
perkataan pembeli dalam menerima jual beli, misalnya: “Saya beli barang itu
seharga Rp5.000,00”. Imam Nawawi berpendapat, bahwa ijab dan kabul tidak
harus diucapkan, tetapi menurut adat kebiasaan yang sudah berlaku. Hal ini sangat
sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi saat ini di pasar swalayan. Pembeli
cukup mengambil barang yang diperlukan kemudian dibawa ke kasir untuk
dibayar.

2.3. Syarat Jual Beli


Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Persyaratan itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan
pembeli akibat adanya kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual
beli misalnya dengan mengurangi timbangan, mencampur barang yang berkualitas
baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah kemudian dijual dengan harga
barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad SAW melarang jual beli
yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut untuk
berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Adapun syarat sah jual beli adalah
sebagai berikut:
1. Syarat orang yang berakad
 Berakal.
 Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, tidak sekaligus menjadi
penjual atau pembeli.
2. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan kabul
 Orang yang mengucapkannya telah balig dan berakal.
 Kabul sesuai dengan ijab.
 Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Syarat barang yang diperjual belikan
 Barang yang dijual ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupan untuk mengadakan barang itu.
 Barang yang di jual memiliki manfaat.
 Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang
dipercayakan kepadanya untuk dijual.
 Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan
dalam jual beli.
 Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan
bentuknya oleh penjual dan pembeli.
4. Syarat sah nilai tukar (harga barang)
Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang
di jual (untuk zaman sekarang adalah uang). Ijab adalah pernyataan penjual
barang sedangkan Kabul adalah perkataan pembeli barang. Dengan demikian, ijab
kabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama
suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
 Kabul harus sesuai dengan ijab.
 Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan
mengenai ukuran dan harganya.
 Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad,
misalnya: “Buku ini akan saya jual kepadamu Rp10.000,00 jika saya
menemukan uang”.
 Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut
bentuk yang diperbolehkan oleh syara’. Hukum melakukan jual beli adalah boleh
(‫واز‬OO‫ )ج‬atau (‫اح‬OO‫)مب‬. Rukun jual beli ada tiga yaitu, adanya ‘aqid (penjual dan
pembeli), ma’qud ‘alaih (barang yang diperjual belikan), dan sighat (ijab qobul).
Syaratnya ‘aqid baligh dan berakal, islam bagi pembeli mushaf, dan tidak
terpaksa, syarat bagi ma’qud ‘alaih adalah suci atau mungkin disucikan,
bermanfaat, dapat diserah terimakan secara cepat atau lambat, milik sendiri,
diketahui/dapat dilihat. Syarat sah shighat adalah tidak ada yang membatasi
(memisahkan), tidak diselingi kata-kata lain, tidak dita’likkan (digantungkan)
dengan hal lain, dan tidak dibatasi waktu.
Jual beli ada tiga macam yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya
boleh/sah, menjual barang yang disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah
jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo), menjual barang
yang tidak kelihatan Hukumnya tidak boleh/tidak sah.

3.2. Saran
Sebagai umat Islam sebaiknya kita selalu melakukan jual beli sesuai dengan
syariat hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Imran, Ali. 2011. Fikih, Taharah, Ibadah, Muamalah. Bandung: CV. Media
Perintis.

Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.

Rasyid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Syafe’i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah untuk Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Yunus, Mahmu. 2011. Fiqih Muamalah. Medan: Ratu Jaya.

Anda mungkin juga menyukai