Anda di halaman 1dari 214

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Idealnya dalam lingkungan medis praktek pengobatan
kaum laki-laki ditangani oleh dokter laki-laki, dan pengobatan
kaum perempuan ditangani dokter perempuan, seandainya seorang
perempuan diharuskan menyingkap auratnya untuk keperluan
pengobatan, maka dianjurkan agar ditangani oleh dokter
muslimah. apabila tidak ada maka ditangani oleh dokter non
muslimah, sekiranya tidak ada juga maka dibolehkan kepada
dokter laki-laki muslim, kemudian apabila tidak ada juga maka
ditangani oleh dokter laki-laki non muslim. Demikian pula
sekiranya bisa ditangani oleh dokter umum muslimah perempuan
maka tidak perlu ditangani oleh dokter spesialis laki-laki.
Sekiranya terdapat dokter spesialis laki-laki yang lebih mahir
daripada dokter spesialis perempuan, maka tetap tidak boleh
ditangani oleh dokter laki-laki kecuali jika spesialisasi dokter laki-
laki itu sangat dibutuhkan. Demikian pula halnya bagi pasien laki-
laki.
Dalam kasus melahirkan yang merupakan permasalahan
yang sangat esensial untuk menyelamatkan jiwa (hifz an-nasf),1
baik itu menjaga keselamatan ibu maupun keselamatan bayi
dalam kandungannya, yang pada dasar hukumnya berobat/
melahirkan tidak dibolehkan (diharamkan), karena akan
menampakkan sebagian auratnya, atau bahkan harus
menampakkan seluruh auratnya termasuk kemaluannya kepada
orang lain selain suaminya, apalagi dokter yang menanganinya
adalah dokter kandungan laki-laki, akan tetapi dikarenakan
melahirkan merupakan usaha menyelamatkan jiwa sehingga
1
Hifz An-Nafs, (memelihara Jiwa), menjaga jiwa merupakan bahagian
dari al-dharuriyyat, sehingga membolehkan melakukan yang dilarang demi
untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
1
hukumnya menjadi dibolehkan, selama tidak ada dokter spesialis
kandungan muslimah dan non muslimah yang bisa menanganinya.
Idealnya perempuan yang ingin melahirkan terlebih dahulu
mendatangi bidan yang sudah dikenal dan berdekatan dengan
tempat tinggal pasien, kemudian bidan merekomendasi
mendatangi dokter kandungan perempuan sekiranya diperlukan
apabila bidan tersebut tidak bisa menangani pasiennya, atau
pasien lansung mendatangi dokter kandungan perempuan yang
sudah dikenalnya, akan tetapi realita yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat saat ini, sebagian perempuan tidak lagi memilih
dokter kandungan perempuan yang akan mereka datangi,
disebabkan pasien lebih percaya terhadap kemampuan dokter laki-
laki daripada dokter perempuan, sehingga memutuskan
melahirkan pada dokter kandungan laki-laki dengan berdalih
dokter kandungan laki-laki lebih mampu (kuat fisiknya) dan
berpengalama2 serta lebih memperoleh kenyamanan dibandingkan
ditangani oleh dokter kandungan perempuan, dengan beranggapan
alasan tersebut menjadi alasan dharuriyyat (alasan pembenaran
berobat pada dokter kandungan laki-laki).
Walaupun di daerah domisili pasien tersebut sebagaimana
halnya di wilayah Aceh, sudah tersedia dan banyak dokter
kandungan perempuan, dalam pandangan masyarakat di sini
seolah-olah tidak ada persoalan hukum dengan melahirkan pada
dokter kandungan laki-laki. Dan ini dalam kondisi normal
(kondisi ikhtiari3) bukan kondisi dharuriyyat. Bahkan dalam hal
2
Padahal menurut penulis dari segi pengalaman di sini dokter laki-laki
hanya sebatas pada membantu proses melahirkan saja, dan masih dalam tataran
diagnosa ilmu medisnya saja, (tidak lansung mengalaminya) berbeda halnya
dengan dokter spesialis yang berjenis kelamin perempuan. Terutama dokter
yang sudah pernah merasakan proses melahirkan.
3
Maksud kondisi Ikhtiari di sini adalah di daerah tersebut bukan hanya
ada dokter spesialis kandungan yang berjenis kelamin laki-laki saja yang ada
akan tetapi juga ada dokter spesialis kandungan yang berjenis kelamin
perempuan
2
ini dokter kandungan laki-laki pun tidak merasa segan (seolah-
olah hukum Islam sudah melegalkan) untuk menangani ibu hamil.
Inilah yang menjadi kegelisahan akademik bagi peneliti.
Padahal dalam al-Qur’an surat an-Nur: 30-31 Allah
memerintah kepada kaum laki-laki untuk menahan dan menjaga
pandangannya dan juga memerintahkan kepada kaum perempuan
untuk menahan dan menjaga pandangannya dan memelihara
kemaluannya, dan diperintahkan kepada kaum perempuan untuk
tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak
daripadanya, sebagaimana juga firman Allah dalam surat Al-
Ahzab: 59. Di dalam ayat tersebut Allah SWT juga
memerintahkan khusus kepada kaum perempuan untuk menutupi
anggota tubuhnya, supaya mereka mudah dikenal sehingga
mereka tidak mudah diganggu. Dikarenakan dengan menutup
aurat manusia akan terjaga kehormatannya.
Demikian juga halnya di Aceh sudah ada aturan yang
tertuang dalam Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, pada pasal
13 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang Islam wajib
berbusana islami,4 dan dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa
pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana islami
di lingkungannya.
Begitu juga dalam Qanun nomor 13. tahun 2003 tentang
Khalwat (Mesum), pada pasal 1 ayat 20 yang dimaksud dengan
khalwat/ mesum5 adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua
4
Maksud pakaian islami adalah pakaian yang menutup aurat yang
tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. (Lihat
penjelasan Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 tahun
2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang aqidah, ibadah, dan syiar
islam) hlm. 14
5
Khalwat atau mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua
orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan mahram
3
orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan
muhrim6 atau tanpa ikatan perkawinan. Dalam pasal 6 disebutkan
bahwa setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur
pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas
kemudahan dan/ atau melindungi orang melakukan khalwat/
mesum. Akan tetapi realitanya saat ini di lembaga pemerintahan
di Aceh masih menfasilitasi khalwat, terutama di lingkungan
medis, faktanya belum ada pemisahan antara tenaga medis yang
berlainan jenis dengan pasien. Misalnya masih ada sebagian
pasien perempuan yang ditangani oleh tenaga medis laki-laki,
begitu juga sebaliknya7.
Padahal Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
sudah mengeluarkan fatwa dalam sidang paripurna V tahun 2017
dengan temanya “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan
Medis oleh yang Berlainan Jenis dalam Pandangan Islam. 8 Di
dalam fatwa MPU tersebut menjelaskan bahwa pasien laki-laki
ditangani oleh dokter laki-laki dan pasien perempuan ditangani
oleh dokter perempuan hal ini dalam kondisi ikhtiari, adapun
dalam kondisi dharuriyyat dibolehkan perempuan berobat pada
dokter laki-laki dan juga sebaliknya, itu dalam keadaaan sangat
mendesak dan tidak bisa dielakkan (tidak ada pilihan lain),
maksudnya dibolehkan pasien perempuan yang ingin berobat
(melahirkan) pada dokter kandungan laki-laki selama tidak ada
6
Seharusnya mahram bukan muhrim, karena definisi muhrim adalah
orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul, sedangkan
mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena sebab keturunan,
persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. sedangkan yang dimaksud
dalam qanun di atas adalah mahram bukan muhrim
7
Malahan pemerintah masih mengizinkan, serta memberikan fasilitas
beasiswa kepada sebagian dokter laki-laki untuk melanjutkan studinya menjadi
dokter kandungan laki-laki. Padahal profesi dokter kandungan itu adalah
ranahnya dokter kandungan perempuan, karena pasiennya adalah perempuan.
8
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Himpunan Bahan
Keputusan/Hasil Sidang “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan Medis
Oleh yang Berlainan Jenis Dalam Pandangan Islam”, tp, 2017. Hasil Sidang
paripurna – V , hlm. 64.
4
dokter kandungan perempuan yang bisa membantu menangani
pasien perempuan tersebut.
Selanjutnya mengenai penjelasan kriteria dharuriyyat di
atas, MPU Aceh sudah mengeluarkan fatwa No. 5 Tahun 2018
tentang konsep dharuriyyat dan penerapannya menurut syariat
Islam. dalam fatwa tersebut menyebutkan bahwa dharuriyyat
syar’i adalah kondisi bahaya atau kesulitan berat yang diyakini
atau akan mengancam keselamatan, yang tidak mempunyai jalan
selain melakukan sesuatu yang dilarang. Penerapan dharuriyyat
hanya dibolehkan sebatas untuk menghindari bahaya dan
dibolehkan mengamal dharuriyyat apabila memenuhi kriteria: a)
Bahwa dharuriyyat itu hanya berlaku pada pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta; b) Mengancam keselamatan harus
bersifat yakin atau dhan; c) Dharuriyyat tidak boleh dihilangkan
dengan sesuatu dharuriyyat lain yang setingkat atau lebih besar
daripadanya; dan d) Dharuriyyat tidak boleh dihilangkan dengan
sesuatu yang dapat mengurangi kehormatan atau kemuliaan
manusia.9
Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian
dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh
dinampakkan, kecuali dalam keadaan dharuriyyat atau kebutuhan
yang mendesak.10 Rasulullah s.a.w. juga bersabda yang artinya
“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh),
tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua
tangannya hingga pergelangan tangan” (HR Abu Dawud). Dalil
ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan
adalah aurat,11 kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Juga
9
Fatwa MPU Aceh, No. 5 Tahun 2018 tentang Konsep Dharuriyyat
dan Penerapannya menurut Syariat Islam
10
Quraisy Shihab, Jilbab Pakaian Muslimah (Jakarta: 1 Lentera Hati,
2004), hlm. 44.
11
Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), hlm. 66.
5
dengan jelas menunjukkan bahwa anak perempuan yang sudah
baligh wajib menutupi auratnya, yakni menutupi seluruh
tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Ada ulama mazhab seperti sebagian mazhab Syafi’i12 dan
sebagian mazhab Hanafi13  yang membolehkan menampakkan
bahagian dadanya (termasuk payudara) kepada mahramnya,
merupakan suatu hal yang masih perlu kajian terkait klasifikasi
aurat dan yang boleh melihatnya, padahal menurut penulis
payudara merupakan aurat yang tidak biasa nampak, karena
menampakkan payudara kepada mahramnya bisa menimbulkan
potensi syahwat, sehingga potensi terjadinya pemerkosaan dan
zina dengan laki-laki semahram itu sangat rentan terjadi,
sebagaimana yang terjadi di wilayah timur tengah, menantu
perempuan dimintai oleh bapak mertuanya untuk memperlihatkan
payudaranya, dengan berdalih, mazhab Syafi’i memperbolehkan
menampakkan bahagian tubuh perempuan selain antara pusat
sampai lutut kepada mahramnya, sehingga menantu perempuan
tersebut memperlihatkan payudaranya kepada bapak mertuanya,
sehingga kebiasaan tersebut berlanjut dengan bapak mertuanya
menyentuh payudara dari menantunya tersebut, dengan berasalan
kalau melihatnya diperbolehkan sehingga diperbolehkan juga
untuk menyentuhya14.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah
dipaparkan di atas terkait dengan menampakkan aurat kepada
mahramnya ataupun bukan mahramnya, maka peneliti merasa
perlu adanya penelitian tentang klasifikasi aurat dalam Islam dan
siapa-siapa saja yang boleh melihat aurat tersebut baik dalam

12
Muhammad al-Khatib as-Syarbini, Mugnil Muhtaj Ila Ma’rifatu
Ma’ani Al Fadhul Minhaj, Mughni al-Muhtaj, juz 3 (Lebanon : Darul Al Fikr,
tth), hlm. 129
13
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq Syarh
Kanza al Daqaiq, jilid 6 (Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2010 ), hlm. 19
14
https://islamqa.info/ar/answers/290202/
6
kondisi normal (ikhtiari) maupun dalam kondisi dharuriyyat,
sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Klasifikasi Aurat Menurut Perspektif Ulama Mazhab karena
menurut pengamatan peneliti kenyataan saat ini ada ketidak
sesuaian antara teori-teori dan aturan-aturan dengan fenomena
yang terjadi di lapangan saat ini sehingga kegelisan yang penulis
rasakan penulis tuangkan dalam bentuk penelitian disertasi ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; bagaimana
konsep aurat di dalam fiqih, apa batasannya, dalam keadaan apa
boleh dilihat dan siapa yang boleh dan tidak boleh melihatnya.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka melahirkan
beberapa turunan pertanyaan dalam penelitian disertasi ini,
adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan al-Qur’an dan hadits mengenai aurat dan
pendapat ulama.
2. Bagaimana klasifikasi aurat menurut perspektif ulama
mazhab?
3. Bagaimana hukum melihat aurat orang lain yang sesama jenis
kelaminnya dan yang berlainan jenis dalam kondisi
dharuriyyat?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas
maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis tinjauan al-Qur’an dan hadits mengenai
aurat dan pendapat ulama.
2. Untuk menganalisis perspektif ulama mazhab mengenai
klasifikasi aurat dalam Islam.

7
3. Untuk menganalisis hukum melihat aurat orang lain yang
sesama jenis kelaminnya dan yang berlainan dalam kondisi
dharuriyyat.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat yang bisa dihasilkan dalam penulisan ini
adalah:
1.4.1 Manfaat Akademik
Bahwa kehadiran tulisan ini bisa menambah khasanah ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum keluarga Islam terutama
tentang klasifikasi aurat, dan hukum melihatnya dalam kondisi
normal dan dharuriyyat.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
perubahan terhadap kebiasaan kaum perempuan yang lebih
dominan melahirkan pada dokter kandungan laki-laki
dibandingkan dengan dokter kandungan perempuan.
1.4.2.2 Pemegang Otoritas
Penulisan ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah Aceh
untuk merealisasikan Qanun nomor 11 tahun 2002 dan Qanun
nomor 13 tahun 2003, dan membuat aturan khusus di lingkungan
medis tentang pemisahan pelayanan medis terhadap berlainan
jenis, khususnya pelayanan medis terhadap pasien perempuan
yang ingin melahirkan.

1.4.2.3 Akademisi

8
Bagi akademisi diharapkan dengan penelitian ini akan
membuka peluang-peluang agar melahirkan penelitian-penelitian
yang baru dalam perspektif (sudut pandang) yang berbeda.
1.5 Kajian Pustaka
Berbicara mengenai penanganan medis oleh yang
berlainan jenis yang berkaitan tentang konsep al-dharuriyyat dan
konsep aurat, secara umum sebenarnya sudah banyak dibahas di
dalam buku-buku atau literatur-literatur yang lain. Terkait dengan
hal tersebut penulis melakukan penelusuran literatur-literatur yang
ada di buku-buku atau karya-karya ilmiah yang terkait dengan
masalah yang penulis angkat. Berdasarkan pengamatan dan
penelusuran yang penulis lakukan sejauh ini, terdapat beberapa
penelitian, buku, jurnal, laporan penelitian dan karya-karya ilmiah
lainnya yang terkait dengan masalah yang penulis angkat,
sebagaimana penjelasan di bawah ini.
Harun Mulawarman dengan judul tulisannya, Profesi
Dokter Kandungan Laki- Laki dalam Perspektif Hukum Islam,
dalam penelitian Harun Mulawarman menjelaskan bahwa
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan, dengan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa,
pada intinya ada kesamaan pandangan ulama, yang membolehkan
untuk melihat bagian tubuh pasien untuk kepentingan pengobatan,
namun untuk menghindari adanya fitnah, disarankan didampingi
mahramnya, dan dengan mempertimbangkan: (1) Dokter harus
bertakwa kepada Allah, dapat dipercaya, adil, mempunyai
keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya. (2) Tidak
membuka bagian- bagian tubuh pasien perempuannya kecuali
dengan keperluan medis. (3) Selama pengobatan harus didampingi
mahramnya, suami atau perempuan yang dapat dipercaya seperti
ibunya atau saudara perempuannya. (4) Seorang dokter tidak
boleh non muslim selama masih ada yang muslim. Apabila syarat-

9
syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat atau menyentuh
bagian- bagian aurat tersebut karena Islam adalah agama yang
tidak memberikan umatnya kesukaran namun mengutamakan
maslahat dan kemudahan untuk umatnya”.15
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian Harun Mulawarman adalah fokus penelitian ini
mengunakan analisis konsep al-dharuriyyat, Sedangkan penelitian
Harun Mulawarman fokusnya hanya sekedar kepada pandangan
atau pendapat ulama terkait melihat bagian tubuh pasien untuk
kepentingan pengobatan, dan tidak menggunakan analisis konsep
dharuriyyat secara khusus. Dan juga dalam penelitian Harun
Mulawarman tidak menjelaskan tentang perspektif hukum Islam
terhadap profesi dokter kandungan laki-laki dengan adanya opsi
keberadaan dokter kandungan perempuan. sedangkan penelitian
ini adanya pilihan bagi pasien baik untuk berobat pada spesialis
laki-laki dan spesialis perempuan. dalam penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa ada kesamaan pandangan ulama, yang
membolehkan untuk melihat bagian tubuh pasien untuk
kepentingan pengobatan, dengan syarat tertentu tetapi tidak
memberikan persyaratan di daerah tersebut tidak ada dokter
spesialis perempuan yang bisa menangani penyakit pasien,
sedangkan dalam penelitian ini penulis mensyaratkan demikian.
Lukman Hakim, meneliti tentang Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Mekanisme Kerja Dokter Ahli Kandungan Laki- Laki
dalam Menangani Ibu Hamil dan Melahirkan di PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, Studi yang dilakukan berbentuk
penelitian lapangan yang bersifat penelitian hukum klinis untuk
menemukan kaidah tingkah laku yang dipandang terbaik yang
dapat diterapkan untuk memberikan ketentuan hukum. Sumber

15
Harun Mulawarman, Profesi Dokter Kandungan Laki- Laki Dalam
Perspektif Hukum Islam,Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Juli 2014
10
pokok datanya dalam penelitian ini adalah dokumentasi dari tugas
dokter ahli kandungan dalam menangani pasien dan wawancara
dengan para pihak yang terkait dalam masalah ini, dalam hal ini di
antaranya wawancara dengan seorang dokter ahli kandungan laki-
laki, seorang perawat, dan seorang petugas perpustakaan.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif, yaitu pendekatan dengan berpedoman pada
norma-norma agama, melalui teks-teks al-Qur’an, al-Hadits dan
kaidah-kaidah fiqh serta pendapat ulama. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa di PKU Muhammadiyah Yogyakarta pasien
lebih banyak ditangani oleh dokter laki-laki daripada dokter
perempuan. Hal ini dilatarbelakangi oleh minimnya dokter ahli
kandungan terutama perempuan yang direkrut oleh rumah sakit
PKU, dan juga masih sangat sedikit dokter ahli kandungan
perempun yang ada di Yogyakarta. Dilihat dari sisi medis seorang
dokter laki-laki wajar menangani pasien perempuan, namun
dilihat dari segi hukum Islam seorang laki-laki tidak boleh melihat
aurat perempuan dan sebaliknya”.16
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Lukman Hakim
adalah metode penelitian yang dilakukan oleh Lukman Hakim
adalah penelitian lapangan dengan sumber pokok datanya dalam
penelitian ini adalah dokumentasi dari tugas dokter ahli
kandungan dalam menangani pasien dan wawancara dengan para
pihak yang terkait dalam masalah ini, sedangkan penelitian yang
akan dilakukan adalah penelitian kepustakaan dengan menelaah
konsep yang berkaitan konsep dharuriyyat yang berkaitan dengan
berobat pada berlainan jenis. Selanjutnya dalam penelitian
Lukman Hakim menjelaskan bahwa jumlah dokter kandungan

16
Lukman Hakim, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Mekanisme Kerja
Dokter Ahli Kandungan Laki-Laki Dalam Menangani Ibu Hamil Dan
Melahirkan Di PKU Muhammadiyah Yogyakarta, laporan Penelitian. Jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan
Kali Jaga Yogyakarta 2008
11
perempuan lebih sedikit dengan jumlah dokter kandungan laki-
laki, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan ini dokter
kandungan baik laki-laki maupun perempuan hampir sebanding
jumlahnya.
Rahmawati mengkaji tentang Tinjauan Hukum Islam
terhadap Pemeriksaan Kandungan oleh Dokter Ahli Kandungan
Laki-laki, Metode yang digunakan dalam penulisan laporan
penelitian ini adalah metode analisis data yang dianalisa secara
kualitatif, dengan menggunakan pola pikir ilmiah yaitu deduktif,
induktif dan komparasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemeriksaan kandungan oleh dokter ahli kandungan laki-laki
adalah boleh menurut hukum Islam, karena alasan kondisi
dharuriyyat dan hajat yang membolehkannya, karena karakteristik
bidang kedokteran terkait dengan kehidupan manusia dimana
penjagaan terhadapnya merupakan salah satu dari lima tujuan
utama syari’at menuntut adanya sikap ekstra hati-hati dalam
prakteknya. Akan tetapi kebolehan pemeriksaan kandungan oleh
dokter kandungan laki-laki ini wajib ditemani oleh suami, atau
mahram yang dapat dipercaya, atau tenaga medis, agar tidak
terjadi khalwat dan hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak
menimbulkan fitnah. Adapaun pemeriksaan dilakukan hanya
sebatas tempat-tempat yang memang perlu untuk diperiksa, dan
tidak boleh membuka anggota tubuh yang tidak diperiksa. Hukum
ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya alasan yang
membolehkan”.17
Penelitian Rahmawati juga tidak menjelaskan opsi bahwa
jika ada dokter kandungan perempuan di wilayah tersebut
sehingga lansung berkesimpulan tentang kebolehan ditangani oleh
dokter laki-laki, dan lansung menyebutkan tentang kebolehan

17
Rahmawati Penelitiannya Tinjauan Hukum Islam terhadap
Pemeriksaan Kandungan oleh Dokter Ahli Kandungan Laki-laki, Laporan
PenelitianProdi Hukum Islam FIAI UII Yogyakarta 2012
12
untuk melihat bagian tubuh pasien untuk kepentingan pengobatan,
dengan syarat tertentu tetapi tidak memberikan persyaratan di
daerah tersebut tidak ada dokter spesialis perempuan yang bisa
menangani penyakit pasien, sedangkan dalam penelitian ini
penulis mensyaratkan demikian.
Husnan Nazori, dalam tulisannya Pendapat Ulama tentang
Keberadaan Dokter Kandungan Laki-Laki dalam Pelayanan
Medis Persalinan di Kota Pontianak, Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan teknik kepustakaan (library research)
dan lapangan (field research), metode pengambilan sampel yang
sudah ditentukan yaitu ketua MUI Kalimantan barat, ketua MUI
kota Pontianak dan 3 orang ustaz di Kota Pontianak, data
disajikan dalam bentuk teks naratif, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pendapat ulama tentang keberadaan dokter kandungan
laki-laki dalam pelayanan medis persalinan di Kota Pontianak.
Hal ini dikarenakan kaum perempuan yang berada di kota
Pontianak lebih memilih proses persalinan dengan dokter
kandungan laki-laki, padahal di tempat tersebut terdapat dokter
kandungan perempuan. Dengan alasan penanganan dokter
kandungan laki-laki lebih baik dari dokter kandungan perempuan.
Tentu alasan tersebut tidaklah bisa diterima syariat. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan, bahwa
ulama yang berada di Kota Pontianak berpendapat haram
hukumnya jika yang melakukan pelayanan medis persalinan ialah
seorang dokter kandungan laki-laki. Jika dalam keadaan
dharuriyyat, maka perkara yang terlarang dibolehkan dengan
memperhatikan batasan-batasan syar’inya”.18
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Husnan Nazori
adalah metode penelitian yang dilakukan oleh Husnan Nazori
18
Husnan Nazori, Pendapat Ulama tentang Keberadaan Dokter
Kandungan Laki-Laki dalam Pelayanan Medis Persalinan Di Kota Pontianak,
E-Journal Fatwa Hukum Faculty of Law Universitas Tanjung Pura (Vol 2 No.
2, 2019) http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfh/issue/view/1097
13
adalah penelitian dengan menggunakan metode deskriptif dengan
teknik kepustakaan (library research) dan lapangan (field
research), sedangkan penelitian ini hanya menggunakan teknik
penelitian kepustakaan dengan menelaah konsep yang berkaitan
dengan penelitian ini. Dalam penelitian sebelumnya jumlah dokter
kandungan perempuan lebih sedikit dengan jumlah dokter
kandungan laki-laki, sedangkan penelitian ini jumlah dokter
kandungan baik laki-laki maupun perempuan hampir sebanding
jumlahnya. Penelitian sebelumnya ini bertujuan untuk mengetahui
pendapat Ulama tentang keberadaan dokter kandungan laki-laki
dalam pelayanan medis persalinan. Sedangkan penelitian ini lebih
khusus menggunakan analisis konsep dharuriyyat terhadap
keberadaan dokter kandungan laki-laki dalam pelayanan medis
persalinan.
Annisa Maghfira, menulis tentang, Profesi Dokter Ahli
Kandungan Laki-laki dalam Pandangan Hukum Islam, Jenis
penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan
sifatnya kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas
dan terperinci tentang profesi dokter ahli kandungan laki-laki
dalam perspektif hukum Islam di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Kesimpulan dari hasil penelitian menujukkan bahwa
mekanisme kerja dokter ahli kandungan laki-laki dalam
menangani ibu hamil dan melahirkan telah sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dokter ahli
kandungan laki-laki dalam menangani ibu hamil dan melahirkan
sesuai dengan hukum Islam dengan alasan dalam keadaan
dharuriyyat dan untuk memenuhi hajat.19
Penelitian Annisa Maghfira juga hampir sama dengan
penelitian Rahmawati juga tidak menjelaskan opsi bahwa jika ada
19
Annisa Maghfira, Profesi Dokter Ahli Kandungan Laki-laki dalam
Pandangan Hukum Islam, laporan penelitian, Program Studi Akhwal
Syakhshiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta 2016
14
dokter kandungan perempuan di wilayah tersebut sehingga
lansung berkesimpulan tentang kebolehan ditangani oleh dokter
laki-laki, dan lansung menyebutkan tentang kebolehan untuk
melihat bagian tubuh pasien untuk kepentingan pengobatan,
dengan beralasan adanya unsur dharuriyyat dan untuk memenuhi
hajat. Tetapi tidak memberikan persyaratan khusus yaitu di daerah
tersebut tidak ada dokter spesialis perempuan yang bisa
menangani penyakit pasien, sedangkan dalam penelitian ini
penulis akan memperjelas persyaratan demikian. Dan penelitian
ini akan menguraikan secara khusus analisis konsep dharuriyyat
tentang hukum melahirkan pada dokter laki-laki. Dalam penelitian
sebelumnya menunjukan bahwa pemeriksaan kandungan oleh
dokter ahli kandungan laki-laki adalah boleh menurut hukum
Islam, karena alasan kondisi dharuriyyat dan hajat yang
membolehkannya, tetapi tidak menjelaskan perbandingan
seandainya di daerah tersebut ada dokter spesialis yang berjenis
kelamin perempuan.

15
1.6 Kerangka Teori
Skema Kerangka Teori

Grand Theory Konsep Maqashid

Tafsir, syarah hadits dan pendapat


Middle Theory ulama (teori lughawiyah, teori ta’lili)

1. Kategori aurat menurut ulama


Applied - Aurat mughallazah
Theory - Aurat mukhaffafah
2. Aurat mahram dengan bukan mahram
3. Kondisi dharuriyyat dan bukan
dharuriyyat

1.6.1 Konsep Maqashid syari’ah


Al-dharuriyyat merupakan keperluan dan perlindungan
yang bersifat asasiah, dasariah, primer, elementer, fundamental,
sedangkan al-hajiyyat merupakan keperluan dan perlindungan
yang bersifat sekunder, suplementer, serta al-tahsiniyyat
merupakan keperluan dan perlindungan yang bersifat tersier,
komplementer.20 Hubungan antara ketiga jenis dan tingkatan
keperluan dan perlindungan ini oleh al-Syatibi dijelaskan sebagai
berikut:
1. Al-dharuriyyat adalah dasar bagi al-hajiyyat dan al-
tahsiniyyat.
2. Kerusakan al-dharuriyyat akan menyebabkan kerusakan
seluruh al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.

20
Alyasa’ Abubakar, Metode Istislahiah; Pemanfaat ilmu pengetahuan
dalam ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 80
16
3. Kerusakan al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat tidak akan
menyebabkan kerusakan al-dharuriyyat.
4. Kerusakan seluruh al-hajiyyat atau kerusakan seluruh al-
tahsiniyyat akan mengakibatkan kerusakan sebagian al-
dharuriyyat.
5. Keperluan dan perlindungan al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat
perlu dipelihara untuk kelestarian al-dharuriyyat.21
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa al-
dharuriyyat merupakan pokok dan landasan bagi dua keperluan
dan perlindungan di tingkat bawahnya. Keberadaan al-hajiyyat
dan al-tahsiniyyat tergantung penuh kepada al-dharuriyyat;
dengan arti kalau al-dharuriyyat tidak ada maka al-hajiyyat dan
al-tahsiniyyat menjadi tidak bermanfaat. Adapun keberadaan al-
dharuriyyat tidak bergantung kepada dua hal di bawahnya.
Dengan arti kalau al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat tidak ada al-
dharuriyyat masih tetap akan ada, walaupun tidak dalam bentuk
yang sempurna. dikarenakan keperluan dan perlindungan al-
dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada agar kehidupan
manusia secara manusia dapat terus berlansung di atas muka bumi
Allah ini.22
Keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat di dalam buku
ushul fiqh, sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syathibi dibagi
menjadi lima; yaitu: pemenuhan keperluan serta perlindungan
yang diperlukan untuk: 1) Keselamatan agama, (ketaatan dan
ibadah kepada Allah SWT); 2) Keselamatan nyawa (orang-
perorang); 3) keselamatan akal (termasuk hati nurani); 4)
keselamatan atau kelansungan keturunan (eksistensi manusia),
serta terjaga dan terlindunginya harga diri dan kehormatan
seseorang, dan 5) keselamatan serta perlindungan atas harta
kekayaan yang dikuasai atau dimiliki seseorang. Manusia (baik
21
Al-Syatibi, Al-Muwafakat, Jilid 3, hlm. 16
22
Alyasa’ Abubakar, Metode Istislahiah;... hlm. 81
17
secara pribadi maupun kelompok) membutuhkan pemenuhan dan
perlindungan atas lima di atas agar dapat bertahan hidup di atas
permukaan bumi secara manusiawi, kalau salah satunya tidak ada
maka kehidupan manusia akan terancam, berada dalam kesulitan
yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya
kepada kepunahan.
Pengurutan lima keperluan dan perlindungan seperti
dituliskan di atas, oleh sebagian ulama digunakan juga untuk
menunjukkan urutan kekuatan dan kepentingannya. Artinya,
perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas
empat yang di bawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan
atas tiga yang di bawahnya dan begitulah seterusnya secara
berurutan. Tetapi ada juga ulama yang menganggap empat dari
lima keperluan di atas, yaitu selain agama adalah setingkat, dalam
artian seseorang boleh memilih mana yang akan diutamakan dan
mana yang akan ditinggalkan atau dikorbankan, sesuai dengan
pertimbangan dan kenyataan nyata yang dia hadapi. Semua ulama
sepakat bahwa perlindungan agama merupakan yang tertinggi dari
semuanya.23
Dengan demikian, kalau terjadi pertentangan antara dua
keperluan dari jenis yang berbeda, maka menurut ulama yang
menganggap maqashid saling berurutan, perlindungan atas agama
harus didahulukan atas yang lainnya dan begitulah seterusnya
secara berurutan. tetapi menurut ulama yang menganggap

23
Bin Raghibah ‘Iz al-Din, dalam bukunya Al-Maqashid Al-‘Ammah li-
al-Syari’ah al-Islamiyyah, Dar al-Shafwah, Kairo, Cet. 1, 1996, dan seterusnya
menyatakan bawa ulama terbagi tiga dalam pengurutan ini, pertama
menyatakan kekuatannya adalah secara berurutan, dan urutannya adalah
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang diikuti oleh al-Ghazali
dan jumhur; kedua mendahulukan keturunan atas akal, sehingga kekuatannya
secara berurutan menjadi, memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta,
pendapat ini dikemukakan oleh al-Amidi; dan yang ketiga tidak menganggap
penting pengurutan tersebut, yang dikemukakan oleh al- Fakhr al-Din al-Razi,
al-Isnawi, Ibn al-Subki, dan al-Qarafi.
18
keperluan dan perlindungan ini (selain agama) adalah setingkat,
maka seseorang boleh memilih mana yang akan didahulukan dan
mana yang akan dikemudiankan sesuai dengan keadaan masing-
masing.24 Misalnya saja seseorang perempuan yang ingin
melahirkan dalam rangka menyelamatkan nyawanya dan
menyelamatkan keturunannya dibolehkan meminta bantuan
melahirkan pada dokter kandungan perempuan sekalipun
menampakkan aurat mughallazhah25 atau organ vitalnya/
kehormatannya kepada dokter tersebut.
Begitu juga seandainya tidak ada dokter spesialis
perempuan maka baru dibolehkan meminta bantuan kepada dokter
spesialis laki-laki, akan tetapi realita yang kita lihat sekarang ini
terutama di Kota Banda Aceh, dokter spesialis perempuan sudah
banyak tersedia, maka menurut pendapat penulis bagi ibu hamil
yang melahirkan kepada dokter kandungan laki-laki tidak
termasuk kategori kebutuhan dharuriyyat lagi, hal tersebut bisa
dikategorikan kepada kebutuhan al-hajiyyat atau malahan bisa
turun menjadi al-tahsiniyyat.
Apabila kemudian jika kita kaitkan dengan kaidah“Al-
Haajatu tandzilu mandzilatad dharuuratu” (kedudukan kebutuhan
itu menempati kedudukan dharuriyyat). Menurut kaedah ini,
kebutuhan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan

24
Alyasa’ Abubakar, Metode Istislahiah;... hlm. 83-84
25
Imam Maliki membagi aurat kepada dua macam; 1)Aurat
mughallazhah seluruh badannya kecuali wajah dan athrâf (rambut, kepala,
leher, ujung tangan dan kaki), sedangkan 2) aurat mukhaffafah adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Apabila terbuka bagian dari aurat
mughallazhah dalam shalat padahal ia mampu untuk menutupnya batal
shalatnya dan wajib mengulangnya. Sedangkan apabila aurat mukhaffafah
terbuka tidak batal shalatnya sekalipun membukanya makruh dan haram
melihatnya. Baca Ardiansyah “Konsep Aurat Menurut Ulama Klasik dan
Kontemporer (Suatu Perbandingan Pengertian dan Batasannya di luar dan di
dalam Shalat) (Jurnal Analytica Islamica, Vol. 16, No. 2, 2014) hlm, 277. Dan
menurut Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar menutup aurat masuk ke dalam keperluan
al-dharuriyyat, BacaAlyasa’ Abubakar, Metode Istislahiah;... hlm. 92
19
keadaan dharuriyyat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum,
niscaya berubah menjadi dharuriyyat.26Kaidah ini juga
menunjukkan bahwasanya keringanan tidak hanya berlaku bagi
kemadaratan akan tetapi juga berlaku pada kebutuhan baik umum
maupun khusus. Sehingga dapat dikatakan keringanan
diperbolehkan atas kebutuhan sebagaimana keringanan atas
kemadaratan, oleh karenanya hajat hampir sama kedudukannya
dengan madarat.27
Al-hajiyyat adalah suatu keadaan yang menghendaki agar
seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak menurut hukum
yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan.
Perbedaan antara al-dharuriyyat dan al-hajiyyat
adalah : Pertama, di dalam kondisi dharuriyyat, ada bahaya yang
28

muncul. Sedangkan dalam kondisi al-hajiyyat, yang ada hanyalah


kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Kedua, di
dalam al-dharuriyyat, yang dilanggar perbuatan yang haram li
dzatihi seperti makan daging babi. Sedangkan dalam al-hajiyyat,
yang dilanggar adalah haram li ghayrihi. Oleh karena itu ada
dhabith yang menyebutkan bahwa:“apa yang diharamkan karena
zatnya, dibolehkan karena dharuriyyat dan apa yang diharamkan
karena yang lainnya dibolehkan karena adanya al-hajiyyat”
Karena kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-
hajiyyat ditempatkan pada posisi al-dharuriyyat.
Ketiga, Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang
menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak
dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.
26
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarata: PT. RajaGrafindo
Perseda, 2001, hlm. 79
27
Muchklis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
(Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 139
28
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Prenada Media Group,
2007, hlm. 76-77
20
Sedangkan, Dharuriyyat adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Perbedaan lain Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang
menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak
dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.
Sedangkan, Dharuriyyat adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Dengan adanya masyaqqat akan mendatangkan kemudahan atau
keringanan. Sedang dengan adanya dharuriyyat akan adanya
penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqat
dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi
kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak
mempunyai perbedaan.
Contoh lain tentang al-hajah adalah: dalam jual beli, objek
yang dijual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran
transaksi boleh menjual barang yang belum wujud asal sifat-
sifatnya atau contohnya telah ada. Inilah yang disebut dengan bae
al-salam (jual beli saham). Uangnya diserahkan dahulu baru
beberapa waktu kemudian barangnya diserahkan. Demikian pula
halnya dalam jialah (perpindahan utang), pada prinsipnya, yang
harus membayar utang adalah debitor, akan tetapi, demi
kelancaran pembayaran utang, debitor boleh memindahkan
utangnya kepada orang lain.
1.6.2 Konsep Aurat
A. Kategori Aurat Menurut Pendapat Ulama
Adapun aurat dalam pengertian syara’ menurut Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaily adalah anggota tubuh yang wajib
menutupinya dan apa-apa yang diharamkan melihat kepadanya29,
29
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2008), jld. 1, hlm. 633
21
Dalam kitab Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ didefinisikan bahwa aurat
adalah segala perkara yang menimbulkan rasa malu dan
diwajibkan agama menutupnya dari anggota tubuh laki-laki
maupun perempuan”.30 Jadi, aurat adalah bagian tubuh perempuan
atau laki-laki yang wajib ditutupi dan haram untuk dibuka atau
diperlihatkan kepada orang lain. sesuai dengan batasannya
masing-masing (aurat perempuan dan aurat pria).
Terkait dengan batasan aurat di atas penulis mengutip
pendapat Abu Ishaq al-Syairazi yang mengatakan bahwa aurat
perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan
dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang
biasa nampak dari padanya”. Ibnu ‘Abbas berkata (mengomentari
ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak
tangannya’. Dasar lainnya adalah karena Nabi s.a.w melarang
perempuan ketika ihram memakai sarung tangan dan cadar.
Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat,
Rasulullah tidak akan mengharamkan menutupnya. Alasan
lainnya adalah karena adanya keperluan yang menuntut seorang
perempuan untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan
menampakkan telapak tangan ketika memberi dan menerima
sesuatu. Maka, tidak dijadikan wajah dan telapak tangan sebagai
aurat.31

B. Aurat mahram dengan bukan mahram

30
Muhammad Rawas Qal’ah Ji, Mu‘jam Lughat al-Fuqahâ’, (Beirut:
Dâr an-Nafa‟is, 1988), hlm. 324.
31
Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhazzab, dicetak bersama Majmu’ Syarh
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, hlm. 173
22
Kewajiban menutup aurat dalam shalat merupakan
kewajiban yang sifatnya mutlak. Artinya, hal itu tidak tergantung
pada keadaan apakah orang tersebut shalat tanpa ada orang
melihatnya, atau shalat dalam gelap gulita, sifatnya sama saja Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa menutup aurat dalam shalat adalah
semata-mata hak Allah SWT.32 berbeda halnya menutup aurat di
luar shalat, ada yang sifatnya mutlak dan ada yang sifatnya tidak
mutlak. Artinya, ada aurat yang secara mutlak wajib ditutup, baik
saat berhadapan dengan mahramnya (selain suaminya) Maupun
saat berhadapan dengan orang lain (yang bukan mahramnya). Di
samping itu, ada juga aurat yang ketika berhadapan dengan orang
lain wajib ditutup, akan tetapi menjadi tidak wajib lagi ketika
berhadapan dengan mahramnya.
a. Aurat Wanita dengan Bukan Mahramnya
Pada dasarnya, menurut mayoritas ulama fiqh batasan
aurat antara wanita terhadap laki-laki (yang bukan mahram)
adalah wajah dan telapak tangannya saja. Sebab wanita punya
kebutuhan untuk bermuamalah dengan kaum lelaki dalam
kehidupannya sehari-hari, seperti untuk mengambil atau memberi
sesuatu dengan tangannya.33Meskipun demikian, ada pula
beberapa ulama yang memiliki pendapat berbeda. Imam Abu
Hanifah mengatakan bahwa telapak kaki hingga mata kakinya
bukan termasuk aurat yang wajib ditutup.34Sedangkan Ibnu Abdin
yang juga dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa punggung
tapak tangan wanita termasuk aurat yang wajib ditutup. Pendapat
ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Fiqih.35 Sedangkan
32
Ibnu Taimiyah, Hijab Al Ma’ah dalam Majmu‟ Rasail fil Al-Hijab
wa al- safur, t.t. hlm. 13-14
33
Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 33 , (Kementerian
Waqaf dan Urusan Keislaman Kuwait) hlm. 41
34
Abu Bakar bin Masud al-Kasani al-Hanafi, Badai' As-Shanai' jilid 6,
(Dar al-kitab) hlm. 2956
35
Hasyiyah Ibn Abdin, Radd Al-Mukhtar, jilid 1, (Mesir: Musthafa al-
Babi al-Halabi 1966), hlm. 405
23
ulama dari Mazhab Hambali mengatakan bahwa aurat wanita
adalah seluruh tubuhnya, bahkan hingga kukunya. Imam Ahmad
Bin Hambal dalam satu riwayat mengatakan bahwa jika seorang
lelaki mengajak istrinya keluar rumah, maka ia tidak boleh
mengajak istrinya makan (diluar rumah), karena dengan itu
telapak tangannya akan dapat terlihat oleh laki-laki non-mahram.36
Berbicara mengenai aurat terutama aurat perempuan
dengan laki-laki yang bukan mahramnya, para ulama mazhab
berbeda pendapat sebagai berikut: Umumnya jumhur ulama
mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang tidak
boleh terlihat. Dengan pengecualian wajah dan kedua telapak
tangan, baik bagian dalam maupun bagian luar. Sedangkan
kebanyakan ulama dari Mazhab Hambali mereka sepakat bahwa
aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, tanpa pengecualian wajah
dan tangan. Bahkan kukunya pun aurat juga. Sedikit perbedaan
dalam mazhab Al-Hanafiyah, yang menyatakan bahwa kaki bukan
termasuk aurat wanita, yaitu sebatas mata kaki. Alasannya adalah
adanya hajat yang sulit untuk dihindari37. Para wanita punya
kebutuhan untuk bermuamalah dengan kaum lelaki dalam
kehidupannya sehari-hari, seperti untuk mengambil atau memberi
sesuatu dengan tangannya.
Menurut Beni Ahmad Saebani, batasan anggota badan
yang boleh dilihat adalah sebagai berikut:38
1. Jika yang melihatnya sama-sama perempuan, seluruh anggota
badannya boleh dilihat, dan perempuan yang diutus oleh pihak
laki-laki harus mengatakan sejujur-jujurnya tentang keadaan

36
Al-Assimiy, Abd al Rahman Muhammad bin Qasim, Majmu’ al
Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyah, jilid 22 (Saudi Arabia: Mamlakah
Saudi Arabia, 1398 H) hlm. 110
37
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq…
38
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia,
2009) hlm. 150-151
24
perempuan yang dimaksudkan, sehingga jangan sampai pihak
laki-laki tertipu.
2. Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang
diperbolehkan hanya muka dan telapak tangan, karena selain
itu merupakan aurat yang haram dilihat.
Berbicara mengenai aurat, Aini Aryani memaparkan
perbedaan pendapat para ulama Mazhab sebagai berikut: Menurut
mayoritas ulama fiqh aurat wanita yang tak boleh terlihat oleh
laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya, kecuali
wajah dan kedua tangannya, yaitu sebatas pergelangannya.
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa kaki bukan termasuk
aurat wanita, yaitu sebatas mata kaki. Sedangkan ulama dari
Mazhab Hambali juga sedikit berbeda dengan jumhur ulama,
dimana kebanyakan para ulama mereka sepakat bahwa aurat
wanita adalah seluruh tubuhnya, tanpa pengecualian wajah dan
tangan. Bahkan kukunya pun aurat juga. Namun ketika wanita
sedang berihram, mereka sepakat bahwa wajahnya wajib nampak
dan terlihat, dengan alasan ini adalah pengecualian yang berlaku
khusus hanya dalam ibadah ihram.39
b. Aurat Wanita Bagi Mahramnya
Jika anggota tubuh wanita yang boleh dilihat oleh non
mahram sangat begitu terbatas yaitu muka dan telapak tangan,
Maka, di hadapan mahramnya, sejauh mana seorang wanita boleh
memperlihatkan auratnya? Yang di maksud dengan ‘mahram’
disini adalah mahram mu’abbad, yakni laki-laki yang tidak boleh
menikahi si wanita selama-lamanya. Kemahraman ini bisa terjadi
dari beberapa sebab:40
1. Hubungan Nasab: seperti ayahnya, anak laki-lakinya,
abangnya, dll.
39
Aini Aryani, Batasan Aurat Wanita di Depan Mahramnya, (Jakarta:
Rumah fiqh Publishing, 2018), hlm. 5-6
40
Isnawati, Aurat Wanita Muslimah, (Lentera Islam, 2020) hlm. 15
25
2. Hubungan Mushaharah: yaitu lantaran terjadinya pernikahan
(mushaharah), seperti bapak mertua, anak laki-laki dari
suaminya, menantu laki-laki, dll.
3. Hubungan Persusuan: hubungan persusuan (radha’ah), seperti
saudara persusuan, suami dari ibu yang menyusui, dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan anggota
tubuh yang boleh diperlihatkan oleh wanita terhadap mahramnya.
Berikut pendapat ulama dari empat Mazhab besar41:
1) Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam Mazhab ini dikatakan bahwa batasan aurat antara
wanita dengan mahramnya adalah: anggota tubuh yang ada di
antara pusar dan lutut, punggungnya, dan perutnya. Artinya,
anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah
yang selain dari anggota tubuh tersebut, jika ada dalam keadaan
aman dari fitnah dan tidak disertai syahwat. Dalilnya adalah
firman Allah SWT dalam SuratAn-Nur ayat 31yang
Artinya: ....Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka...." Yang dimaksud dengan kalimat 'jangan menampakkan
perhiasannya' dalam ayat di atas adalah bahwa larangan untuk
menampakkan 'anggota tubuh' yang menjadi objek yang biasa
dipakaikan perhiasan. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri
hukumnya mubah secara mutlak. Maka kepala boleh dilihat oleh
mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota,
leher dan dada untuk kalung, telinga untuk anting, pergelangan
tangan untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari
untuk cincin, punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar,

41
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi,
Fiqh Empat Mazhab, (Bandung : Hasyimi, Tt), hlm. 287
26
dll. Berbeda dengan perut, punggung dan paha yang lazimnya
tidak untuk dipakaikan perhiasan.42 
2) Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Mazhab Maliki dan pendapat resmi
dari kalangan Mazhab Hambali, anggota tubuh wanita yang boleh
terlihat oleh mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua
kaki. Maka haram baginya menampakkan dada, payudara, dan
anggota tubuh lainnya di hadapan mahramnya. Dan haram pula
bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain untuk
melihat aurat dirinya seselain pada empat anggota tersebut,
walaupun tanpa syahwat.43
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Mazhab Hambali sedikit
berbeda dengan pendapat resmi Mazhabnya. Menurut beliau,
batasan aurat bagi wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat
antara laki-laki dengan laki-laki, dan wanita dengan wanita. Yakni
anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut. 44Pendapat resmi
ulama dari Mazhab Hambali menambahkan bahwa mahram yang
boleh melihat sebagian aurat si wanita itu maksudnya mahram
yang muslim maupun yang kafir. Dalilnya adalah bahwa Abu
Sufyan Bin Harb pernah masuk ke rumah putrinya yang bernama
Ummu Habibah (salah satu istri Rasulullah s.a.w) dalam keadaan
tidak berhijab, tidak menutupi seluruh auratnya. Dan saat itu
Rasulullah s.a.w tidak menyuruh Ummu Habibah untuk menutupi
auratnya di hadapan Abu Sufyan, ayahandanya yang masih
kafir.45 
3) Mazhab Asy-Syafi’iyah

42
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq…
43
Ad-Dardir, As-Syarh As-Shaghir, jilid 1 (Bairut darul Fikr) hlm. 106
44
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, jilid 7 (Kairo: Daar al-Hadits,
1425 H/2004 M) hlm. 98
45
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, ... hlm. 105
27
Mayoritas ulama dalam Mazhab Syafi’i berpendapat
bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah
anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.
Walaupun ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota
tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota
tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di dalam rumah.
Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga kaki hingga
lutut. Dan anggota-anggota tubuh tersebut juga menjadi batasan
aurat yang boleh dilihat wanita terhadap aurat mahramnya.46
Kondisi dharuriyyat dan bukan dharuriyyat
Memelihara aurat, sekalipun menurut ulama ushul al-fiqh
termasuk bagian maslahat tahsiniyyah (bukan masuk dalam
kategori maslahat yang dharuriyah, dan bukan juga maslahat
yang hajiyyah), hakikatnya tetap kembali kepada maslahat
dharuriyah, dengan penguatan tambahan dalampemeliharaan
maslahat Dharuriyyah tersebut. Sebab, membukaaurat itu
mengundang atau mendorong kepada rusaknya kehormatan dan
keturunan (an-nasl) yang menjadi bagian dari maslahat
dharuriyah, dan merusak keturunan itu adalah beban psikologis
yang mendorong kepada rusaknya jiwa (an-nafs). Karena itu,
ajakan dan ajaran memelihara aurat dengan cara menutupnya
sesungguhnya juga usaha memelihara maslahat dharuriyah.
Sebab itu, kata Imam asy-Syatibi bahwa maslahat tahsiniyyah itu
sebenarnya cabang bagi prinsip memelihara maslahat dharuriyah.
Dalam ungkapan ringkasnya, Imama sy-Syatibi47 mengungkapkan
bahwa maslahat tahsiniyyah itu menyempurnakan maslahat
hajiyyah, dan maslahat hajiyyah itu menyempurnakan maslahat
dharuriyyat.48

46
Muhammad al-Khatib as-Syarbini, Mugnil Muhtaj Ila Ma’rifatu
Ma’ani Al Fadhul Minhaj, Mughni al-Muhtaj, juz 3 (Lebanon : Darul Al Fikr,
tth), hlm. 129
47
Imam asy-Syatibi (1977. 2: 18)
28
Untuk lebih memahami kandungan kaidah maqashid di
atas, diberikan contoh sebagai berikut:
1. Ada pernyataan ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah tentang
kebolehan berobat dengan benda-benda najis, apabila orang
yang sakit itu tidak mendapatkan benda suci yang menjadi
pengganti benda obat yang najis itu.49 Alasannya, adalah
karena meninggalkan penggunaan benda najis termasuk
maslahah tahsiniyyah, sedangkan memelihara kesehatan yang
dalam konteks ini mewujudkan kesembuhan seseorang yang
sakit dan merealisir keselamatannya dari ancaman kematian
atasu sakit terus-menurus termasuk bagian dari maslahat
dharuriyah, atau minimal maslahat hajiyyah. Sebab itu,
maslahat Dharuriyyah ini haruslah diutamakan dari maslahat
tahsiniyyah. berkaitan dengan ini, al-‘Izz ibn Abdis Salam
menyetujui pandangan ini, dengan alasan “karena memelihara
jiwa adalah kemaslahatan yang lebih sempurna atau lebih
utama daripada menjauhi atau meninggalkan benda-benda
najis.50
2. Ada kesepakatan para ahli hukum fiqh tentang kebolehan
dokter melihat aurat dan menyentuhnya untuk melakukan
pengobatan.51 Alasannya adalah dengan membandingkan
antara mafsadat (yang muncul dari membuka aurat, dalam
kaitannya dengan derajat maslahat yang tahsiniyyah), dan
mafsadat (yang muncul dari tidaknya melakukan pengobatan,
dan mengaitkannya dengan maslahat yang dharuriyyah).
Seperti diketahui, bahwa dalam konteks ini, seorang dokter
tersebut melihat aurat pasien adalah untuk memelihara jiwa,

48
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Maqashidiyah (Kaidah-kaidah
Maqashid), (Ar-Ruzz Media, 2019) hlm. 159-160
49
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (DKI Bairut, 1982), hlm. 275
50
al-‘Izz ibn Abdis Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
(Beirut Dar al-Fikr, 1992). t. hlm. 81
51
Ibn Qudamah, al-Mugni fi al-Fiqh al-Hanbali, t,t. hlm. 49
29
sedangkan kalau tidak berobat dengan alasan dokter tidak
boleh melihat aurat pasien akan berdampak kepada kesulitan
berupa sakit terus-menerus ataubahkan meninggal. Dalam
menghadapi situasi semacam ini, maslahat dharuriyyah dan
maslahat hajiyyah haruslahdidahulukan atas maslahat
tahsiniyyah. Dalam kaidah fiqh hal ini dapat dimasukkan
dalam kategori dharuriyyat atau minimal hajat. Dalam kaidah
fiqh disebutkan: ‘Ad-dharuriyyatu tubihul maghzurah”
(Keadaan dharuriyyat membolehkan yang dilarang.) Dan juga
disebutkan kaidah fiqih, “Al-hajatu tunazzalu manzilatat
dharuriyyat” (Hajat itu diposisikan pada posisi dharuriyyat).
1.6.3 Aurat dalam Tafsir
Dalam al-Qur’an Surat An-Nur ayat 30 Allah berfirman
yang artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Dalam Tafsir Almuyassar menjelaskan bahwa Allah
Memerintahkan kepada Rasul supaya kaum laki-laki yang
beriman agar mereka menahan pandangannya dari melihat hal-hal
yang tidak halal bagi mereka seperti aurat, dan hendaknya
memelihara kemaluan mereka agar tidak terjatuh dalam perkara
yang haram dan (tidak) menyingkapnya. Menahan pandangan dari
perkara haram itu adalah lebih suci bagi mereka di sisi Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat,
tidak ada sesuatupun dari hal itu yang tersembunyi bagi-Nya, dan
Dia akan memberikan balasan pada kalian atas hal tersebut.52
Dalam Tafsir Al-Wajiz maksud dari surat An-Nur Ayat 30
diatas adalah “Memberikan pengarahan dan katakan kepada
kaum Mukminin, yang masih mempunyai keimanan yang dapat
52
Kementerian Agama Saudi Arabia, Tafsir Almuyassar. Lihat di
https://tafsirweb.com/6158-quran-surat-an-Nur-ayat-30.html
30
mencegah mereka terjerumus dalam perbuatan yang menodai
keimanan mereka, “hendaklah mereka menahan pandangannya,”
dari melihat aurat-aurat (hal-hal yang tak pantas dilihat) dan
wanita-wanita asing (yang bukan mahram) dan anak-anak kecil
yang rupawan, yang ditakutkan terjadi fitnah bila melihatnya, atau
(menahan) dari melihat perhiasan dunia yang dapat memperdayai
dan menjerumuskan pada perkara yang diharamkan “dan
memelihara kemaluannya,” dari perbuatan jimak yang haram, baik
lewat jalan depan (qubul) ataupun jalan belakang (dubur) atau
selainnya, dan usaha untuk memegang dan melihat kepadanya
(kemaluan). “yang demikian itu,” yaitu menjaga pandangan dan
kemaluan “adalah lebih suci bagi mereka,” lebih suci, lebih baik
serta lebih meningkatkan amal-amal mereka. Karena
sesungguhnya orang yang menjaga kemaluan dan pandangannya,
akan tersucikan dari kejelekan yang mengotori para pelaku
kemaksiatan, amalan-amalan mereka menjadi bersih lantaran telah
meninggalkan sesuatu yang haram, yang disukai oleh hawa nafsu
secara bawaan dan mengajak kesana”.53
Kemudian Allah juga berfirmans dalam Al-Qur’an Surat
An-Nur ayat 31 yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera- putera mereka,
atau putera- putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanita- wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan- pelayan laki-laki

53
Syaikh Wahbah az-Zuhaili,Tafsir Al-Wajiz, lihat di
https://tafsirweb.com/6158-quran-surat-an-Nur-ayat-30.html
31
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Menurut Tafsir Almuyassar menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan “kepada wanita-wanita yang beriman agar mereka
menahan pandangannya dari melihat hal-hal yang tidak halal bagi
mereka berupa aurat, dan agar mereka menjaga kemaluan mereka
dengan menjauhi perbuatan keji dan dengan menutup aurat
mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kepada laki-laki asing (yang bukan mahramnya) kecuali yang
biasa nampak darinya yang tidak mungkin untuk disembunyikan
seperti pakaian. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dada mereka agar menutup rambut, kepala, wajah
dan leher mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka
yang tersembunyi kecuali kepada suami, ayah mereka, ayah
suami, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-
saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-
putra saudari mereka, wanita-wanita yang amanah dan terpercaya
(baik muslimah atau kafir), budak-budak yang mereka miliki (baik
laki-laki atau wanita), pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan syahwat terhadap wanita, atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita lantaran masih kecil. Dan janganlah
kaum wanita menghentakkan kakinya dengan tujuan agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan seperti gelang kaki
dan semisalnya. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman dari pandangan kalian terhadap yang
tidak halal dan maksiat lainnya, supaya kalian beruntung dengan

32
meraih apa yang kalian citakan, dan selamat dari apa yang kalian
takuti.54
Kemudian dalam Tafsir Al-Mukhtashar Allah
memerintahkan “kepada para wanita yang beriman agar mereka
menundukkan pandangan dari apa yang tidak boleh dilihat dan
menjaga kemaluan mereka dari apa yang Allah haramkan, dan
janganlah mereka menampakkan keindahan mereka kepada para
lelaki melainkan yang boleh ditampakkan yaitu pakaian yang
nampak.Adapun perhiasan yang nampak seperti celak, kalung,
anting, dan gelang, selama pada batas wajah dan dua telapak
tangan maka boleh ditampakkan di rumah bagi ayah, ayah suami
(mertua), anak kandung -termasuk di dalamnya cucu dari jalur
anak laki-laki atau perempuan, cicit, dan seterusnya- anak suami,
saudara laki-laki, anak saudara laki-laki (keponakan), anak
saudara perempuan, wanita muslimah yang melayani mereka,
budak laki-laki yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang
tidak memiliki syahwat terhadap aurat wanita.55
Hal ini juga sejalan dengan hadits Rasululullah s.a.w yang
artinya “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain,
begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain,
dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain
dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan
perempuan lain bercampur dalam satu pakaian56Berdasarkan dalil
hadits yang telah disebutkan di atas nampak jelas sesama jenis
saja dilarang melihat atau menampakkan auratnya, mafhumnya

54
Kementerian Agama Saudi Arabia, Tafsir Almuyassar, lihat di
https://tafsirweb.com/6159-quran-surat-an-Nur-ayat-31.html
55
Tafsir Al-Mukhtashar Lihat di https://tafsirweb.com/6159-quran-
surat-an-Nur-ayat-31.html
56
Muslim, Sahih Muslim, “Kita al-Haid”(ttp.: Dar al-Fikr, 1981) IV :
30 Hadits/Nomor 209, Hadits Riwayat Muslim dari Abd Ar-Rahman Ibn Abi
Sa’id al-Khudriyyi dari ayahnya
33
adalah yang berlawanan jenis lebih-lebih lagi dilarang
manampakkan auratnya.
Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian
dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh
dinampakkan, kecuali dalam keadaan dharuriyyat atau kebutuhan
yang mendesak.57 Rasulullah s.a.w. juga bersabda yang artinya
“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh),
tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua
tangannya hingga pergelangan tangan” (HR Abu Dawud). Dalil-
dalil ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh tubuh
perempuan adalah aurat,58 kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya. Juga dengan jelas menunjukkan bahwa anak
perempuan yang sudah baligh wajib menutupi auratnya, yakni
menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya.

57
Quraisy Shihab, Jilbab Pakaian Muslimah (Jakarta: 1 Lentera Hati,
2004), hlm. 44.
58
Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), hlm. 66.
34
1.7 Kerangka Pikir

Asumsi:
Memperlihatkan aurat kepada orang lain itu haram kecuali dharuriyyat

Kerangka Teori:

Teori Maqashid (kritik 2. Konsep Aurat: Tafsir, syarah hadits dan


dan Saran) Kategori Aurat (Mughallazah, pendapat ulama (teori
Mukhaffafah) lughawiyah, teori ta’lili)
Aurat mahram dengan bukan
mahram
Kondisi dharuriyyat dan bukan
dharuriyyat

Pembagian Aurat dalam hukum Islam


Batasan Aurat Dalam Hukum Islam
Menampakkan Aurat dalam Kondisi Dharuriyyat

Implikasi Teori
Memperlihatkan aurat kepada orang yang berbeda jenis kelamin lebih haram
dibandingkan memperlihatkan kepada sesama jenis kelamin.

35
1.8 Metode Penelitian
1.8.2 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan normatif. dengan menggunakan konsep maqashid
digunakan untuk mengetahui konsep aurat di dalam fiqih, batasan-
batasannya, dalam keadaan apa boleh dilihat dan siapa yang boleh
dan tidak boleh melihatnya, adapun objek penelitian ini adalah
yang membahas tentang maqashid dan aurat, yang disajikan
dalam berbagai literatur, baik berupa tafsir, hadits dan buku, serta
karya ilmiah lainnya, dikarenakan penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan (library research), Artinya, kajian
dilakukan dengan menelaah berbagai konsep dan teori yang
berhubungan dengan topik yang diteliti.

1.8.3 Sifat Penelitian


Sifat penelitian yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah
deskriptif-analitis. Dalam artian, data yang diperoleh akan
dideskripsikan seperti apa adanya dan dianalisis untuk
memberikan representasi objektif tentang permasalahan yang
terdapat dalam penelitian ini.
1.8.4 Sumber data
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research), sehingga sumber data yang
diperoleh dalam penelitian ini terdapat dari sumber data skunder
yang terdiri atas bahan hukum skunder59 dan bahan hukum

59
Bahan hukum skunder berupa pendapat hukum/ doktrin/ teori-teori
yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun
website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum skunder pada dasarnya
digunakan untuk memberikan penjelasan tentang bahan hukum data primer.
Contohnya adalah RUU, hasil penelitian, karya ilmiah dari para sarjana dan lain
sebagainya. Baca Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, Cet. 7, 2006: 141)
36
tersier.60 Sedangkan bahan hukum primer61 tidak penulis gunakan
dalam penelitian ini, adapun bahan hukum skunder terdiri dari;
teks-teks buku fikih dan ushul fiqh dan tasfir al-Qur’an yang
menjelaskan tentang konsep al-dharuriyyat dan konsep aurat,
kemudian bahan hukum tersier adalah kamus, ensiklopedi,
website, dan bahan-bahan lainnya yang terkait dengan penelitian
ini.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data kepustakaan yang diambil dari literatur
tertulis dalam buku, karya ilmiah, tafsir al-Qur’an, dan kamus,
serta penelusuran web-web yang yang berkaitan dengan
pembahasan tentang penelitian ini. pengumpulan data pustaka
dilakukan secara dokumentasi yang dikhususkan pada data yang
ada hubungannya dengan variabel penelitian.
1.8.6 Teknik Analisis Data
Langkah berikutnya adalah analisis data, Analisis data
adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan,
menjelaskan makna yang mendalam dan juga bisa menjadi
perbandingan (komparatif) di antara konsep-konsep. Tindakan ini
dilakukan sesuai dengan temuan yang diperoleh dari studi
dokumentasi. Analisa dilakukan dalam bentuk uraian penjelasan
yang diikuti dengan argumen atau alasan, selanjutnya dianalisis
dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Analisis juga dengan menggunakan sumber-sumber dari para ahli
berupa pendapat dan teori yang berkaitan dengan permasalahan
60
Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan-bahan data yang
memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan
sekunder. Contohnya adalah kamus bahasa hukum, kamus bahasa Indonesia,
kamus bahasa Inggris, ensiklopedi, majalah, media massa dan sebagainya. Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum...
61
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
berupa peraturan perundang-undangan Baca Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum...
37
yang diteliti, Analisis dilakukan menggunakan logika deduktif,
yaitu mencari kebenaran dengan berangkat dari hal-hal yang
bersifat umum ke hal yang bersifat khusus guna memperoleh
kesimpulan yang objektif.

38
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Maqashid al-Syari’ah
2.1.1 Definisi Maqashid al-Syari’ah
Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, maqashid dan
syari'ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad
yang berarti maksud dan tujuan,62 menurut istilah maqashid
adalah hal-hal yang berkaitan dengan maslahah dan kerusakan di
dalamnya.63 Sedangkan “Syari’ah” secara bahasa adalah jalan
menuju sumber mata air.64 Kata Syari’ah dalam kamus Munawwir
diartikan peraturan, undang-undang atau hukum65 Sedangkan
Syari’ah secara istilah Menurut Ahmad Hasan, merupakan an-
nuṣūṣ al-muqaddasah (nash-nash yang suci) dari al-Qur’an dan
sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia. Dalam wujud ini menurut dia, Syari’ah
disebut aṭ-ṭariqah al-mustaqimah (cara, ajaran yang lurus).
muatan Syari’ah ini meliputi aqidah, amaliyah dan khuluqiyyah.66
Mengenai definisi Maqashid al-Syari’ah menurut istilah,
berikut ini penulis akan menguraikan tentang konsep maqashid
syari’ah dalam bentuk narasi menurut para ulama ushul al-fiqh,
baik klasik maupun kontemporer yang tertuang dalam berbagai
karya mereka. antara lain: Imam asy-Syafi’i, Imam al-Juwaini,

62
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac
Donald & Evan Ltd., 1980), hlm. 767
63
Muhammad Hamid Usman, Al-Qāmūs al-Mubīn fī Iṣtilahi al-
Uṣuliyyin (Riyadh: Dar al-Zahm, 2002), hlm. 282
64
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 20
65
Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progesif, 1997), hlm. 711
66
Ahmad Hasan, The Principles of Islamic Jurenprudence, Volume I,
(Delhi: Adam Publishers & Distributors, Cet. I, 1994), hlm. 1., Lihat dalam
Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 50
39
Imam al-Ghazali, Fakhr ad-Din ar-Razi, Imam al-Amidi, Imam
al-‘Izz ibn Abdis Salam, Imam Az-Zarkasyi, Imam ‘asy-Syatibi,
Ibn ‘Asyur, Ahmad ar-Raisuni, dan Wahbah al-Zuhaili serta
Jasser Audah, serta sebagai berikut:
1. Imam asy-Syafi’i
Imam asy-Syafi’i yang bernama lengkap Muhammad ibn
Idris, telah mulai merintis tentang konsep maqashid syari’ah ini,
walaupun pemikirannya tidak dilakukan dalam bahasan tersendiri,
melainkan hanya menyinggungnya dalam kajiannya tentang ad-
dilalah. Dalam karyanya di bidang ilmu ushul al-fiqh yang
terkenal dengan ar-Risalah, Imam asy-Syafi’i 67 mengungkapkan:
“Tidak ada peristiwa yang terjadi dengan kaum muslimin,
melainkan di dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla ada hukumnya
dengan melalui nash atau dilalah.” Dalam ungkapan ini jelas
Imam asy-Syafi’i membedakan antara nash dan dilalah.
Diperlukan dilalah tentu saja disebabkan nash itu terbatas
sementara kasus yang terjadi atau akan terjadi tidak terbatas.
Dilalah dimaksudkannya tersebut mengarah kepada pemikiran
untuk memahami kasus-kasus yang terjadi, dikaitkan dengan
‘illat-‘illat dari nash-nash Al-Qur`an atau Sunnah, dalam rangka
menghasilkan tujuan-tujuan yang diinginkan oleh asy syari’ yang
dikenal dengan maqashid syari’ah.68
2. Imam al-Juwaini
Imam al-Juwaini dalam bukunya al-Burhan fi Ushul
alFiqh telah mengembangkan pemikiran Imam asy-Syafi’i tentang
maqashid syari’ah. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i, Imam al-
Juwaini juga membicarakannya dalam tema alistidlal dari
bukunya tersebut di atas. Menurut al-Juwaini, prinsip-prinsip atau

67
Asy-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. Ar-Risalah. Kairo: Mushthafa al-
Babi al-Halabi wa Auladuh 1988). hlm. 34
68
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Maqashidiyah ...52-53
40
dasar-dasar syariah tersebut dapat dibagi kepada lima macam,
yaitu:
a.Prinsip yang maknanya dapat diakalkan (al-ma’na al-ma’qul).
Ini diidentifikasinya sebagai hal yang dharuri, sesuatu yang
mesti. Ia memberikan contoh tentang kewajiban qishash dengan
alasan untuk merealisasikan pemeliharaan darah (supaya tidak
terjadi pembunuhan) dan mencegah dari adanya penyerangan
atau pembalasan dari pihak keluarga korban69 Imam al-Juwaini,
dengan demikian, telah membicarakan tentang maqashid
syari’ah tentang memelihara jiwa (hifzh a-nafs), yang menjadi
bagian dari al-kulliyat al- hams (lima prinsil universal) dalam
kategori maslahat al-dharuriyyat.
b. Prinsip yang berkaitan dengan kebutuhan umum (alhajah
al- ammah), yang tidak sampai kepada tingkatan maslahat
dharuriyat. Umpamanya, kebolehan sewa menyewa (al-ijarah)
yang merupakan kebutuhan orang-orang yang tidak memiliki
sendiri tentang sesuatu benda, padahal ia membutuhkannya
untuk kenyamanan hidup. Ini, tegasnya, adalah kebutuhan yang
nyata, tetapi tidak sampai kepada tingkat dharuriyat.70 Di sini,
al-Juwaini tampaknya berbicara tetang maqashid syari’ah
dalam kategori al-hajiyat, yang bertujuan untuk
menghilangkan kesempitan kepada manusia.
c.Prinsip yang tidak menjadi kepentingan utama
(dharuriyat) dan bukan pula kebutuhan umum (al hajah al-
ammah), tetapi dengan jelas bertujuan untuk mendatangkan
makramah. Umpamanya, bersuci dari hadats, menghilangkan
najis, yang termasuk lingkup akhlak mulia (makarim al-akhlaq),
dan adat-istiadat yang baik (mahasin al-‘adat).71 Di sini, al-
Juwaini jelas membicarakan maqashid syari’ah atau maslahat
69
al-Juwaini, Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik ibn Abdullah, al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh (Qathar, t.p.1992). hlm. 923
70
al-Juwaini, Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik ibn Abdullah, al-Burhan
fi... hlm. 925
41
dalam kategori tahsiniyat, yang disebutnya makramah, bahasa
khasnya untuk istilah tahsiniyat yang biasanya diistilahkan oleh
ulama-ulama lainnya.
d. Prinsip yang tidak disandarkan kepada kepentingan (adh-
dharuriyyat) dan kebutuhan (al-hajat) tetapi ia merupakan hal
yang disebutnya sebagai mandub ilaihi tashrihan ibtida`an.72
Dengan menggunakan istilah ini, tampaknya yang dimaksudkan
oleh al-Juwaini adalah an-nadb (sunnat) yang jelas disukai oleh
Nabi.
e. Prinsip yang tidak jelas bagi seorang yang menetapkan
hukum (mustanbith) tentang makna asalnya, bukan pula tuntutan
yang masuk kategori dharuriyah, hajiyah atau makramah atau
tahsiniyat. Ini menurut al-Juwaini cenderung sulit
menggambarkannya73 Tetapi, tampaknya yang dimaksudkannya
dengan ini adalah bagian yang diperkirakan dapat merealisaikan
keumuman dan kesempurnaan syariah. Kemungkinan besar
yang dimaksudkannya adalah al-‘urf dan al-‘adat. Mengingat
apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka
baik pula menurut Allah, demikian juga sebaliknya.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad-nya, yang berbunyi: “Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula di sisi
Allah. Dan apa yang dipandang jelek oleh kaum muslimin,
maka jelek pula di sisi Allah.”
Makna ini sejalan dengan salah satu kaidah fiqihyang berbunyi:

Artinya: “Adat itu dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.”


Penyandaran hukum kepada dasar adat atau urf ini tentu saja
71
al-Juwaini, Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik ibn Abdullah, al-Burhan
fi... hlm. 925
72
al-Juwaini, Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik ibn Abdullah, al-Burhan
fi... hlm. 925
73
al-Juwaini, Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik ibn Abdullah, al-Burhan
fi... hlm. 926
42
pada ketika tidak didapatkan dasar-dasar syariah, tetapi adat
istiadat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. Dalam kaitan dengan kaidah maqashid, kaidah fiqh ini
dapat dipahami bahwa adat istiadat itu dapat dijadikan, bukan
hanya sebagai sandaran hukum, tetapi juga sebagai sandaran
dalam merumuskan tatatan sosial, tatanan ekonomi, tatanan
politik dan lain sebagainya.
3. Imam al-Ghazali
Adapun menurut Imam al-Ghazali Maqashid al-Syari’ah
merupakan maslahat, yaitu suatu ungkapan yang menjelaskan
makna mendatangkan manfaat dan menolak madharrat.
Selanjutnya, ia juga sering menyebut maqashid syari’ah dengan
istilah mura’at al-maqashid dan al-munasabah, yang dibaginya
kepada tiga kategori, yaitu adh-dharuriyah, al-hajiyat dan at-
tahsiniyat, 74 Selanjutnya, dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-ushul
Imam al-Ghazali mengungkapkan “Maksud (tujuan) asy-Syari’
terhadap makhluk ada lima, yaitu: Dia memelihara agama
mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, dan harta
mereka.” Setiap sesuatu yang mengandung pemeliharaan lima
hal ini adalah maslahat. Dan setiap sesuatu yang menghilangkan
lima prinsip ini adalah mafsadat, dan menolaknya adalah
maslahat.” 75
Dalam pandangan para ulama ushul al-fiqh, sebagaimana
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali bahwa esensi dari maqashid
syari’ah itu maslahat, yaitu mendatangkan kemaslahatan dan
menolak kemudharatan.76 Dan maqashid syari’ah ini terdiri dari
pemeliharaan lima prinsip universal (al-kulliyat al-khams), yaitu
74
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Syifa` al-Ghalil
(Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.) hlm. 287
75
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa
min ‘Ilm al-ushul (Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.) hlm. 160
76
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Syifa` al-Ghalil
...hlm. 287
43
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Prinsip ini,
pada gilirannya dikembangkan dan dimatangkan oleh ulama-
ulama berikutnya, termasuk oleh Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn
Musa asy-Syatibi, yang tertuang dalam karya monumentalnya Al-
Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah.
4. Fakhr ad-Din ar-Razi
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi dalam kitab al-Mahshul telah
melanjutkan pemikiran Imam al-Ghazali tentang maqashid
syari’ah. Sebagaimana al-Ghazali, ar-Razi juga membahas
masalah ini di bawah tema al-Qiyas ketika membicarakan masalah
‘illat hukum dalam kategori al-munasabah. al-Munasib,
menurutnya, adalah sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang
disetujui manusia, berupa tahsil. Tahsil dimaksudkannya adalah
mendatangkan maslahat dan menolak madharrat. Inilah yang
disebut dengan maslahat, yang merupakan esensi dari maqashid
syari’ah. Selanjutnya, ia telah membagi maslahat ini kepada tiga
macam, yaitu: 77
a. Maslahat dalam posisi dharuriyah, yaitu memelihara lima hal
pokok yakni: memelihara jiwa, harta, nasab, agama dan akal.
b. Maslahat dalam posisi hajiyat, yaitu maslahat-maslahat seperti
nikah, yang tidak sampai kepada maslahat dharuriyah, dan
c. Maslahat yang masuk dalam kategori tahsiniyat, yaitu
ketetapan dan kesepakatan manusia tentang akhlak yang mulia
(makarim al-akhlaq) dan kebaikan adat (mahasin asy-Syiyam).

5. Imam al-Amidi
Selanjutnya Imam al-Amidi sebagaimana ulama-ulama
sebelumnya, merumuskan konsep maqashid syari’ah di bawah

77
Ar-Razi, Fakhr ad-Din, Muhammad ibn ‘Umar ibn Husein, al-
Mahshul min ‘Ilm al-ushul (Beirut: Mu`ssasah ar-risalah 1992). hlm. 157
44
tema pencarian ‘illat dalam bab qiyas. Ia mengungkapkan:
“Sesungguhnya tujuan dari pensyariatan hukum itu, adakalanya
mendatangkan kemaslahaan atau menolak kemafsadatan atau
gabungan kedua hal itu.”78 Imam al-Amidi, berdasarkan
ungkapannya ini, tampaknya senada dengan apa yang
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tujuan-tujuan hukum
atau maqashid syari’ah itu adalah mendatangkan kemaslahatan
atau menolak kemudharatan, atau keduanya sekaligus. Dalam
hubungan ini, ia juga menjelaskan bahwa kemaslahatan dan
kemadharatan atau kemafsadatan itu terkadang terkait dengan
masalah dunia dan terkadang terkait dengan masalah akhirat.
Sebagaimana Imam al-Ghazali, Imam al-Amidi juga berpendapat
bahwa tujuan syariat itu adalah memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Lima macam ini adalah al-kulliyat al-khams
(lima prinsip universal) yang masuk dalam kategori dharuriyah,
yang merupakan martabat tertinggi dari kategori maqashid
syari’ah atau maslahat.
6. Imam al-‘Izz ibn Abdis Salam,
Al ’Izz ibn ‘Abdis Salam telah membicarakan tentang
maqashid syari’ah. Ia menyebut maqashid dengan mashalih atau
maslahat-maslahat, baik bersifat duniawiyah maupun ukhrawiyah.
Banyak sekali pembagian maslahat yang dia kemukakan, tetapi ia
menyimpulkan pembagian maqashid, dengan mengungkapkan:
“Adapun maslahatmaslahat dunia, dapat terbagi kepada darurat,
hajat, tatimmat atau takmilat.” Selanjutnya al-‘Izz ibn Abdis
Salam mengungkapkan: “Sesungguhnya menghasilkan maslahat-
maslahat semata-mata dan menolak mafsadat-mafsadat semata-
mata adalah terpuji dan baik. Dan sesungguhnya mendahulukan
maslahat-maslahat yang lebih kuat maslahatnya, maka yang lebih
kuat itu terpuji dan baik. Dan sesungguhnya menolak mafsadat-

78
Imam al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam ( 1983) hlm. 281
45
mafsadat yang lebih mafsadat, maka menolak yang lebih mafsadat
itu adalah terpuji dan baik.” 79
7. Imam az-Zarkasyi
Imam az-Zarkasyi dalam bukunya al-Bahr al-Muhith fi
Ushul al-Fiqh80 juga telah mengikuti jejak ulama sebelumnya
dalam membicarakan maqashid syari’ah. Masih dalam tema al
Qiyas terutama ketika membicarakan masalah cara-cara
mengetahui ‘illat, az-Zarkasyi mengungkapkan: “cara kelima
dalam menetapan ‘illat adalah almunasabah, yaitu cara-cara
menetapkan ‘illat secara logis (menurut akal), dan diungkapkan
dengan al-ikhalah, almashlahah dan al-istidlal, dan memelihara
maqashid, dan dinamakan pengeluarannya itu dengan takhrij
almanath, karena ia menyatakan kaitan hukum (yakni menyatakan
sebab dan tujuannya).
Selanjutnya, sebagaimana ulama-ulama pendahulunya, az-
Zarkasyi juga telah membagi al-munasib atau al-maqashid itu
kepada tiga tingkatan, yaitu: tingkatan dharuriyyat, tingkatan
hajat dan tingkatan tahsin. Tingkatan dharuriyyat
ini ada lima macam, yaitu: memelihara jiwa, memelihara
harta, memelihara keturunan, memelihara agama dan
memelihara akal.81

8. Imam ‘asy-Syatibi

79
Al ’Izz ibn ‘Abdis Salam. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
(Beirut Dar al-Fikr 1992) hlm. 6
80
az-Zarkasyi, Badr ad-Din ibn Bahar ibn ‘Abdillah, al-Bahr alMuhith
fi Ushul al-Fiqh, (Kuwait, 1988) hlm. 206
81
az-Zarkasyi, Badr ad-Din ibn Bahar ibn ‘Abdillah, al-Bahr alMuhith
fi... hlm. 206-207
46
Imam asy-Syatibi, salah seorang ulama ushul al-fiqh
berMazhab Maliki, telah merumuskan konsep maqashid dengan
konsep qashd asy-Syari’ (tujuan Pembuat Hukum) dan qashd al-
mukallaf (tujuan yang terkait dengan pembebanan hukum pada
mukallaf), yang masing-masing dibaginya menjadi dua macam.
Qashd asy-Syari’ menjadi dua kategori, yaitu tujuan Tuhan
menciptakan syariat itu sendiri sejak semula, dan tujuan
penciptaan syariat untuk dipahami. Selanjutnya, qashd al-
mukallaf juga dibaginya menjadi dua kategori, yaitu tujuan
penciptaan syariat untuk dibebankan kepada orang mukallaf, dan
tujuan penciptaan syariat untuk memasukkan orang mukallaf di
bawa koridor hukum syariat tersebut.82
Terlepas dari itu, tujuan-tujuan syariah atau maqashid
syari’ah adalah untuk menegakkan kemaslahatan hamba di dunia
dan akhirat. Asy-Syatibi mengungkapkan: “Sesungguhnya asy-
Syari’ (Pembuat syariat) memaksudkan dengan penetapan syariat
adalah untuk menegakkan kemaslahatan ukhrawiyah dan
dunyawiyah.” Selanjutnya Imam asy-Syatibi juga berkata:
“Sesungguhnya amal-amal syar’iyah tidaklah dimaksudkan untuk
dirinya sendiri, melainkan ia memaksudkan perkara yang lain, ia
makna-maknanya, yaitu kemaslahatan yang karenanya amal-amal
itu disyariatkan.” Imam asy-Syatibi, yang menjadi rujukan
pemikir hukum Islam modern dan kontemprer ini, memandang
bahwa tujuan asy-Syari’ menetapkan hukum adalah untuk
menegakkan kemaslahatan hamba, baik di dunia ini maupun di
akhirat nanti. Amal-amal syariah itu menurutnya memiliki tujuan
tertentu, bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk hal-hal
yang lain, yaitu kemashlahatan manusia. Sebagaimana al-Ghazali,
Ia juga menganggap bahwa maqashid syari’ah itu adalah

82
Asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
asy-Syari’ah. (Ar-Riyadh: Maktab ar-Riyadh al-Haditsah, 1977). hlm. 389
47
memelihara lima prinsip universal, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. 83
9. Ibn ‘Asyur
Ibn ‘Asyur, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan
Tunis, mengungkapkan: “Maqashid syari’ah adalah makna-
makna dan hikmah-hikmah yang diperlihara bagi asy-Syari’
dalam semua situasi pensyariatan atau sebagian besarnya,
dimana tidak tertentu pemeliharaannya itu dengan keadaan pada
jenis khusus dari hukum-hukum syariah, maka masuk dalam ini
adalah sifat-sifat syariah dan tujuan umumnya, yang tidak sunyi
pensyariatan itu dari pemeliharannya, dan masuk dalam ini juga
makna-makna dari hikmah-hikmah yang tidak dipelihara dalam
semua macam hukum, tetapi pemeliharannya dalam macam-
macam hukum yang banyak.” 84 Ibn ‘Asyur, dari ungkapannya di
atas, memberikan uraian yang agak rinci tentang maqashid
syari’ah, yang menurutnya, adalah makna-makna dan hikmah-
hikmah yang diperlihara bagi asy-Syari’ (Pencipta syariat) dalam
semua hukum atau sebagian besar hukumnya yang sangat
bervariasi, termasuk tentang sifat-sifat syariah dan tujuan
umumnya. selain itu, juga tentang makna-makna dan hikmah-
hikmah yang terdapat di dalam syariah tersebut. bahwa formulasi
pemikir hukum Islam ini mengarah kepada maqashid syari’ah
yang umum, di samping maqashid syari’ah yang khusus.
10. Ahmad ar-Raisuni
Ahmad ar-Raisuni, seorang pemikir hukum Islam yang
berasal dari Maroko Utara, mengemukakan “Sesungguhnya
maqashid asy-syariah itu adalah tujuan-tujuan akhir yang syariah

83
Asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
asy-Syari’ah. (Ar-Riyadh: Maktab ar-Riyadh al-Haditsah, 1977). hlm. 389
84
Ibn ‘Asyur, Muhammad athThahir.Maqashid asy-Syari’ah al-
Islamyah, (Tunis: asy-Sirkah at-Tunisiyah, 1979), hlm. 1
48
diciptakan untuk mewujudkannya, untuk kemaslahatan hamba.”85
Definisi yang dikemukakan oleh Ahmad ar-Raisuni ini tampaknya
mencoba memadukan berbagai definisi dan konsep maqashid
syari’ah yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama sebelumnya,
baik maqashid syari’ah yang umum maupun maqashid syari’ah
yang khusus.
11. Wahbah al-Zuhaili
Wahbah al-Zuhaili86 mendefinisikan maqashid syari’ah
dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh
syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya,
atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan
oleh syara' pada setiap hukumnya.
12. Jasser Audah
Selanjutnya Jasser Audah mengungkapkan: “Tujuan
hukum Islam adalah sasaran atau tujuan di balik aturan-aturan
Islam.”87 Jasser Audah lebih singkat dan padat lagi dalam
mengelaborasi tema ini dengan mengatakan bahwa maqashid
syari’ah adalah sasaran atau tujuan yang ada di balik hukum,
bukan aturan hukum itu sendiri.
Dari berbagai pandangan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa maqashid syari’ah adalah tujuan-tujuan yang
ada di balik aturan hukum yang diciptakan oleh asy-Syari’.
Selanjutnya, para ulama ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa
esensi dari maqshid syariah adalah maslahat, yaitu kemaslahatan
hamba di dunia dan akhirat, baik dengan cara mendatangkan
manfaat atau menolak mafasadat.
85
Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam asy-
Syafi’i, (al-Ma’had al-‘Alami lil al-Fikr al-Islami, 1992). hlm. 19
86
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), hlm. 1017
87
Jasser Audah, Maqashid asy-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi`in.
(London: Cabang al-Ma’Had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami 2010).
49
2.1.2 Kehujjahan Maqashid al-Syari’ah
Menyangkut kehujjahan maslahat dalam perspektif ulama
ushul (ushulliyun) dan fuqaha (ahli hukum Islam), ada dua hal
yang patut digaris bawahi: Pertama, semua ulama sepakat
menerima kehujjahan maslahat selama keberadaannya
mendapatkan dukungan nash (maslahah mu’tabarat).88Kedua,
perbedaan ulama dalam menanggapi maslahat baru terjadi ketika
mereka mendiskusikan kehujjahan maslahah mursalah.89 Dan bila
terjadi pertentangan (ta’arud) antara maslahat dengan nash
syara’. Hal ini didasarkan atas pandangan menyangkut keberadaan
maslahat menurut syara’. Dalam hal ini al-Syalabi membaginya
menjadi dua bagian90 yaitu: pertama, Maslahah mu’tabarah:
kemaslahatan yang didukung oleh syara’, hal ini berarti terdapat
dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut. Kedua, Maslahah mulgah: kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
Misalnya syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan
hubungan seksual di siang hari dalam bulan ramadhan dikenakan
hukuman memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan
berturut-turut atau memberi makan bagi 60 orang fakir miskin.91
Namun hal ini oleh al-Lais bin Sa’ad, ahli fikih mazhab
Maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut bagi seorang (penguasa Spanyol) yang melakukan

88
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII
Press, 2002) hlm. 155
89
Abdul Halim. Maslahah Mursalah Relevansinya Dengan
Pembaharuan Hukum Islam. Antologi Kajian Islam Tinjauan Filsafat, Tasawuf,
Institusi, Pendidikan, al-Qur’an, Hukum dan Ekonomi Islam. Seri 12.
(Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 39.
90
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996) hlm. 1145-1146
91
Lihat Imam Az Zubaidi, Ringkasan hadits Shahih Al Bukhari,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2002) dan Imam Az Zubaidi, Ringkasan hadits
Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
50
hubungan seksual dengan istrinya di siang hari dalam bulan
ramadhan. Ulama memandang hukuman ini bertentangan dengan
hadits Rasulullah s.a.w di atas, karena bentuk hukuman itu harus
diterapkan secara berturut. Karenanya ulama ushul fiqh
memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan berturut-
turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang
bertentangan dengan syara’, sehingga hukumnya batal/ditolak
syara’.92
Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara'
dan tidak pula dibatalkan (ditolak) syara' melalui dalil yang rinci
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua. yaitu kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara', baik secara rinci
maupun secara umum, dan kemaslahatan yang tidak didukung
oleh dalil syara' secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah
nash Kemaslahatan yang pertama disebut sebagai al- maslahah
al-garibah (kemaslahatan yang asing), namun para ulama tidak
dapat mengemukakan contohnya secara pasti Bahkan Imam asy-
Syatibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan
dalam praktek, sekalipun ada dalam teori Sedangkan
kemaslahatan dalam bentuk kedua disebut al-maslahah al-
mursalah Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan makna
nash (ayat atau hadits ), bukan oleh nash yang rinci.
Persoalannya selanjutnya baru muncul ketika terjadi
pertentangan antara maslahat dalam pandangan nash dengan
maslahat dalam pandangan manusia dalam dua perspektif di atas.
Jawaban persoalan tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua:
Pertama, jika maslahat yang menyalahi dengan makna literal
(harfiah) nash yang qath’i dilalah93 (pasti), maka jumhur ulama
92
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum…hl. 1145
93
Qath’i dalalah ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang
bisa difahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima takwil, tidak
ada tempat bagi pemahaman arti selain itu, seperti firman Allah yang artinya
“dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
51
(kecuali al-Thufi) sepakat untuk lebih mendahulukan nash.
Kedua, Akan tetapi, bila maslahat yang menyalahi dengan
makna literal (harfiah) nash yang dzanny al-dilalah94 (tidak pasti),
maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama. Pertama,
pendapat yang lebih mendahulukan nash secara mutlak. Bagi
mereka nash menempati derajat tertinggi dalam hierarki sumber
hukum Islam. Sehingga bila ada sumber hukum apapun maslahat
yang menyalahi dengan makna literal (harfiah) nash, maka nash
lebih didahulukan. Pendukung pendapat ini adalah Syafi’iyah dan
Hanabilah.95
Kedua, pendapat yang mendahulukan maslahat dari pada
nash, jika maslahat itu bersifat daruriyyah, qot’iyah, dan kulliyah.
Al-Ghazali mencontohkan dengan dibolehkannya membunuh
orang Islam yang dijadikan perisai hidup oleh musuh dengan
tujuan menyelamatkan negara dan masyarakat yang
terancam.96Ketiga, pendapat yang lebih mendahulukan maslahat
dari pada nash. Pendapat ini dapat diklasifikasi lagi dalam dua
kelompok. Pertama, pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah.

isterimu jika mereka tidak mempunyai anak, (al-Nisa (4): 12). Ayat ini adalah
pasti, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua,
tidak yang lain. Yakni yang lain dari seperdua. Lihat Abdul Wahhab Khallaf,
Ilmu Fiqh. Diterjemahkan oleh Noer Iskandar dkk dengan judul: “Kaidah-
Kaidah Hukum Islam” (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),
hlm. 45.
94
Zhanni dalalah ialah nas yang menunjukkan atas makna yang
memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya
(lughawi) kepada makna yang lain. Seperti firman Allah yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’”. (al-Baqarah (2) : 228). Pada hlm. lafa quru’ itu dalam bahasa Arab
mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid. Sedangkan nas menunjukkan
(memberi arti) bahwa wanita-wanita yang ditalak itu menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan, adalah tiga
kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti tidak pasti dalalahnya atas satu kata
dari yang mengandung dua makna tersebut.
95
Abdallah M. al-Husayn al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam
(Jakarta: Gaya Media Pratama: 2004), hlm. 4, 7
96
Abdul Halim, “Maslahah Mursalah,....hlm.12-15
52
Mereka lebih mengamalkan maslahat dari pada nash, jika nash
tersebut bersifat dzanni, baik dilalah maupun subut (kebenaran
sumber), sedangkan maslahatnya bersifat qoth’iy. Kedua,
Sulaiman al-Thufi yang berpendapat boleh mengamalkan
maslahat lebih dahulu dari pada nash, baik nash tersebut bersifat
qoth’iy maupun dzanny. Hanya saja wilayah cakupannya pada
bidang muamalat saja.97
Menyangkut penetapan hukum, untuk menjadikan
maslahat sebagai dalil dalam menetapkan hukum, Mazhab Maliki
dan Hanbali mensyaratkan tiga hal: Pertama, kemaslahatan itu
sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemaslahatan yang didukung nash secara umum. Kedua,
kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahat itu
benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak
mudharat. Ketiga, kemaslahatan itu menyangkut kepentingan
orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil
tertentu.98
Sementara al-Ghazali meletakkan beberapa syarat agar
maslahat dapat menjadi dalil hukum dalam melakukan istinbath.
Pertama, maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan syara’.
Kedua, maslahat itu tidak meninggalkan atau bertentangan
dengan nash syara’. Ketiga, maslahat itu termasuk ke dalam
kategori maslahat yang daruriyyah, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak. Untuk
yang terakhir ini al-Ghazali juga menyatakan bahwa maslahat
hajiyyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa
menjadi maslahat dharuriyah.99

97
Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut. Ijtihad….h. 31-32
98
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum…hlm. 1146-1147
99
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum…hlm. 1147
53
Menyangkut maslahah mursalah, secara umum, ulama
yang sepakat dengan kehujjahan (dalil hukum) maslahah
mursalah meletakkan tiga syarat sebagai usaha untuk
membentengi penyalahgunaan konsep ini.100Syarat-syarat tersebut
adalah: (1) maslahat yang dimaksud harus benar-benar nyata dan
tidak berdasar dugaan semata; (2) maslahat yang ingin dicapai
adalah maslahat umum (al-maslahah al-’ammah), bukan
maslahah personal (al-maslahah al-syakhsiyyah); dan (3)
maslahat yang telah ditetapkan tidak bertentangan dengan satu
hukum atau ketetapan yang telah dirumuskan oleh nash ataupun
ijma’.101

2.1.3 Sejarah Pertumbuhan Maqashid syari’ah


1. Periode Rasulullah s.a.w.
Ilmu-ilmu syariah, termasuk ilmu tentang kaidah-kaidah
maqashid telah dimulai pada masa Rasul s.a.w. Walaupun masih
bersifat unviersal (kulliyah). Sebab dia adalah sentra bagi ajaran-
jaran Islam, baik yang sifatnya al-wasa`il maupun yang sifatnya
al- aqashid. Ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi s.a.w,
banyak sekali yang dapat ditengarai sebagai kaidah maqashid.
Sekaitan dengan ini Farouq Abu Zaid bahwa, secara garis besar,
ada dua peran Rasul s.a.w, yaitu: Sebagai pembawa berita berupa
wahyu dari Allah kepada manusia untuk diterapkan dalam
kehidupan mereka sehari-hari; dan sebagai manusia biasa yang
bergaul dan beradaptasi dengan masyarakatnya. Dalam peran ini
dia terkadang memanfaatkan akal basyarinya untuk memberikan
dan menyatakan pendapatnya dalam banyak masalah yang tidak
diturunkan wahyu kepadanya102

100
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta:
Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1993), hlm. 87
101
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. Terj. Faiz el Muttaqien
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003). hlm. 113-114
54
Di Madinah, Rasul s.a.w. adalah pemegang otoritas yang
menangani masalah peradilan di masyarakat. Dia menyelesaikan
sengketa yang terjadi dalam masyarakat, baik melalui petunjuk
nash maupun berdasarkan ijtihad, suatu kreasi yang nantinya
diikuti oleh sahabat103 Ijtihad Rasul sw. Tersebut pada dasarnya
adalah pengungkapan ilham ilahi dan pemahaman mendalam
terhadap semangat hukum (ruh at-tasyri’), mengingat apapun yang
diucapkannya bukanlah berdasarkan hawa nafsu melainkan wahyu
Tuhan kepadanya (QS. An-Najm: 3-4). Adapun bentuknya
terkadang dilakukan secara kolektif yakni musyawarah bersama
para sahabat atau dilakukan secara pribadi dengan
memproyeksikan kasus yang tidak ada aturan hukumnya dengan
kasus yang ada aturan hukumnya dalam Al-Qur`an, yang disebut
dengan al-qiyas.104
Pada masa Nabi s.a.w. telah diidentifikasi oleh para ulama
tentang prinsip-prinsip pembinaan hukum Islam. Ada beberapa
prinsip dalam sistem fiqh Islam, yaitu: Pertama, prinsip tidak
menyulitkan, dan kalau ada kesulitan maka pasti ada solusinya
yang tidak memberatkan. Kedua, prinsip menyedikitkan beban.
Allah tidak menginginkan beban yang banyak pada hamba-
hamba-Nya. Ketiga, prinsip penetapan dan penerapan hukum
secara gradual atau bertahap. Ketiga, prinsip penetapan suatu
hukum haruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik
individu maupun sosial. Prinsip-prinsip pembinaan hukum Islam
tersebut memperlihatkan suatu landasan pengaturan hukum yang
secara umum ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik
secara individu maupun kelompok. Beranjak dari prinsip-prinsip
yang digariskan oleh Rasul di atas, maka para ahli ilmu ushul al-
102
Farouq, Abu Zaid. asy-Syari’ah al-Islamiyah Bain al-Muhafizhin
wa al-Mujaddidin. (Kairo: Dar al-Mauqif. tt)
103
Az-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami, ...hlm. 74
104
Al-Khin, Mushthafa Sa’id. 1983. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id
alushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, (Beirut: Mu`assasah, 1985) hlm. 28.

55
fiqh, termasuk di dalamnya ahli-ahli maqashid syari’ah, telah
meresponnya dengan merumuskan kaidah-kaidah maqashid.
2. Periode Sahabat
Masa Sahabat dimulai dari tahun 11 hijriah dan berakhir
pada akhir abad ke 1 hijriah. Pada masa ini, ilmu ushul al-fiqh dan
dan ilmu maqashid telah semakin tampak, sebagai lanjutan
perkembangan pada masa Rasul s.a.w. mereka telah berhasil
menangkap isyarat-isyarat yang telah diberikan oleh Nabi, baik
melalui ayat-ayat Al-Qur`an maupun hadits-hadits Nabi s.a.w.
sebagai sumber-sumber utama hukum syariat, dan dipadukan
dengan respons terhadap perkembangan kehidupan sosial
masyarakat muslim. Diketahui, bahwa setelah Rasul meninggal
dunia, para sahabat menghadapi banyak persoalan sosial yang
muncul dalam masyarakat muslim, dan belum pernah ada
sebelumnya, ketika Rasul masih hidup.

Dalam menghadapi persoalan ini, para sahabat


memberikan fatwa berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah dan
prinsipprinsip pembentukan hukum yang ditinggalkan oleh Nabi
s.a.w., seperti yang telah dikemukakan, terutama manakal dalam
menghadapi masalah yang tidak ada nash-nya dalam Al-Qur`an
dan Sunnah atau tidak mereka temukan nash-nash yang qath’i.
Seringkali mereka melakukan urunrembuk dan bermusyawarah
sesama mereka, sehingga diambil keputusan berdasarkan
kesepakatan bersama, maka muncullah prinsip ijma’ dalam
pembentukan hukum Islam. Terkadang, di antara sahabat ada
yang melakukan dan mengambil keputusan hukum secara sendiri,
tanpa melalui musyawarah, maka muncullah ahli-ahli fatwa dari
kalangan sahabat. Sekaitan dengan ini, banyak kaidah yang
dikemukakan oleh para sahabat Nabi.105 telah merekam ungkapan
‘Umar ibn al-Khaththab, yang dapat disebut sebagai kaidah-
105
As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah wa an-Nazha`ir. (Beirut: Da al-
Fikr t.t.) hlm. 5
56
kaidah maqashid, ketika ia mengirim surat kepada Abi Musa
alAsy’ari, yang isinya, antara lain, adalah sebagai berikut: yang
artinya: “Sesungguhnya keputusan itu adalah wajib yang
dikuatkan dan sunnah yang diikuti; Sesungghnya tidak ada
manfaat perkataan benar (teori yang benar) yang tidak
diimplementasikan; Kembali kepada kebenaran itu lebih baik
terus-menerus dalam kebatilan.”

Selanjutnya, upaya pengembangan kaidah- kaidah


maqashid di kalangan sahabat merupakan suatu keniscayaan. Ada
beberapa aspek pengembangan pemikiran hukum Islam yang
dilakukan mereka, dalam bentuk kaidah qiyas, kaidah mashlahah
dan sadd azzari’ah, dan kaidah nasakh (penghapusan hukum yang
datang lebih dahulu). Terkait dengan kaidah maslahat, pada masa
sahabat, terutama ketika wewenang otoritas hukum berada di
tangan ‘Umar ibn al-Khaththab, yang menjadi dasar atau
landasannya dalam menetapkan keberadaan administrasi
perkantoran, pembayaran gaji para tentara, pendirian Baitul Mal
dan lain-lain.

3. Periode Tabi’in-Atba’ Tabi’in


Sikap Rasul yang sangat dinamis dalam menghadapi
tradisi masyarakat yang berbeda menunjukkan bahwa dia
memmiliki sikap yang sangat merespons realitas sosial. Demikian
juga tentang asas-asas pembinaan hukum Islam menunjukkan
bahwa bagi Rasul s.a.w. dan para shabat, penyelesaian masalah
hukum itu tidak cukup dengan memperhatikan nash-nash hukum,
melainkan beberapa pertimbangan yang dilakukannya, sebagai
unsur pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan. Sikap Nabi
s.a.w. dan sahabat di atas pada gilirannya jug dikuti dan dilakukan
oleh para sahabat dan tabi’in, yang menghendaki supaya hukum
Islam dapat mengayomi masyarakat. Masyarakat tetap dapat

57
berkembang dan berkreasi di satu sisi, sementara prinsip-prinsip
atau dasar-dasar syariat tetap tidak terlanggar di sisi lain.

Apa yang telah dicontohkan oleh Nabi dan dilanjutkan


oleh para sahabatnya dan para tabi’in merupakan suatu argumen
jelas betapa pentingnya perumusan fiqh yang dapat mendatangkan
kemaslahatan umat. Dengan adanya berbagai aktivitas ijtihad,
maka pada gilirannya muncullah ulama-ulama ushul al-fiqh
kenamaan dan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Di antara
mereka ini adalah Sa’id ibn al-Musayyib, ‘Urwah ibn azZubair,
Muhammad ibn Syihab az-Zuhri (seorang tokoh tradisional),
Rabi’ah ibn Abdirrahman (seorang tokoh rasional). Selanjutnya,
Yahya ibn Sa’id, Malik ibn Anas, Ikrimah, Mujahid, ‘Atha,
Sufyan ibn ‘Uyainah, Muslim ibn Khalid, Syafi’i, ‘Alqamah ibn
Qays, Qadhi Syuraih, Hammad ibn Abi Sulaiman, asy-Sya’bi
(seorang tokoh tradisional), an-nakh’i (seorang tokoh rasional),
Ibn Abi Laila, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan
asy Syaibani, Ibn hanbal, Yazid ibn Habib, al-Laits ibn Sa’ad,
Abdurrahman ibn Qasim. Masih banyak lagi tokoh-tokoh pemikir
hukum Islam yang dapat dutelusuri dalam kitab-kitab sejarah
peradaan Islam.

Sehubungan dengan perkembangan ilmu ushul alfiqh, pada


periode ini juga banyak ahli hukum yang merumuskan kaidah-
kaidah istinbath hukum, baik kaidah kebahasaan, kaidah
kemaknaan, kaidah fiqih, maupun kaidah-kaidah maqashid,
sekalipun kebanyakan masih bersifat isyarat-isyarat, belum
dengan tegas memberikan proposisi tentang kadah-kaidah
maqashid tersebut. Imam Abu Hanifah telah memformulasi ilmu
ushul alfiqh, dengan rnenawarkan metodologi penetapan hukum
yang berpegang kepada dalil-dalil dan kaidah-kaidah sebagai
berikut: al-Qur’an, as-Sunnah, fatwa sahabat yang disepakati,
Memilih salah satu dari fatwa sahabat yang tidak mereka sepakati,

58
qiyas dan istihsan. Perlu dikemukakan, bahwa Imam Abu Hanifah
tidak mengambil pendapat para tabi’in. Mengenai sikapnya
terhadap pendapat para tabi’in, dapat dilihat dalam ungkapannya
yang berbunyi: mereka laki-laki dan kitapun lak-laki).

Hal tersebut berarti mengandung makna bahwa kalau para


tabi’in dapat berijtihad, maka kitapun berijtihad, tidak perlu
mengikuti pendapat tabi’in. Kemudian Imam Malik juga
mempunyai metode-metode tersendiri, sekalipun tidak ditemukan
secara tegas dalam kitabnya. Ada hal menarik tentang metode
Imam Malik ini. Ia sering dianggap sebagai pemrakarsa metode
masalah mursalah dalam penetapan hukum, di samping metode-
metode lain. Malik sendiri sesungguhnya tidak memberikan
keterangan tentang metodenya ini. Ini merupakan penjelasan dari
pengikut-pengikutnya, Ada satu kemungkinan dasar penafsiran
ini, yaitu bahwa di dalam kitab al-Muwaththa’ (kitab hadits
dengan sistematika fiqh) banyak ditemukan hadits mursal.
Artinya, bagi Malik hadits mursal dapat dijadikan sebagai hujjah
hukum dan dalam hadits semacam ini banyak sekali hal-hal yang
menjelaskan kemaslahatan.

Adanya perbedaan tajam dua aliran hukum di atas,


terutama dalam kecenderungan dan orientasi penetapan dan
penerapan hukum, tampaknya membuat Muhammad ibn Idris asy-
Syafi’i merasa terpanggil untuk melakukan moderasi untuk
meminimalkan perbedaan-perbedaan tersebut. Ia mencoba
merumuskan suatu teori hukum yang memadukan mainstream
Hanafiyah yang rasional dan mainstream Maliki yang tradisional.
Usahanya ini terlihat dari semangatnya berdiskusi dengan
muridmurid Abu Hanifah terutama Abu Yusuf dan Muhammad
ibn Hasan asy-Syaibani, setelah terlebih dahului berguru kepada
pemuka aliran Ahl al-hadits, Imam Malik. Karena itu, Coulson
menyebutnya sebagai “figur yang muncul secara tiba-tiba” dalam

59
menyelesaikan masalah yang sulit. Hasil usahanya ini melahirkan
teori hukum Islam dengan sistem hukum dalam kemasan empat
sumber hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam,
yaitu: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Asy-Syafi’i berusaha merumuskan metode qiyas sebagai


pengembangan dan pensistematisan pemikiran aliran Ahl ar-ra’yi.
Perumusan metode ini membuatnya cenderung memperkuat
mainstream aliran Ahl ar-ra’yi. Sebaliknya ia berusaha
membuktikan bahwa hadits Ahad itu merupakan dasar hukum
yang harus dipegangi dan didahulukan dari qiyas atau metode
penalaran lain. Upayanya memperkuat keberadaan hadits Ahad ini
membuatnya cenderung kepada mainstream aliran Ahl al-hadits.
Apabila kita mencoba mencermati pemikiran hukum Imam
asySyafi’i dalam karya monumentalnya ar-Risalah (kitab
metodologi dan teori hukum Islam) dan al-Umm sebagai hasil dari
metodenya tersebut, walaupun telah berusaha melakukan
moderasi, tampaknya lebih cenderung kepada mainstream aliran
Ahl al-Hadits.

Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul Imam Ahmad


ibn Hanbal. Imam Ahmad ibn Hanbal ini diakui sebagai salah satu
Imam Mazhab fiqh dari kalangan Muhadditsin, bahkan menurut
Khallaf bahwa Imam ini lebih cenderung kepada hadits daripada
kepada fiqih. Oleh karena itu, sesungguhnya Imam Ahmad ini
lebih ketat dari Imam Malik dalam penggunaan hadits. Dengan
ungkapan lain, dalam pemahaman fiqih, Imam Ahmad ini lebih
kaku dari Imam Malik. Kekerasan dan kekakuan Ahmad ibn
Hanbal ini dalam rumusan fiqihnya, tentu saja dipengaruhi oleh
faktor kondisi sosial masyarakatnya. Hanya saja, berbeda dari
Hanafi dan Syafi’i umpamanya, yang mersepons kondisi sosial
dengan menggunakan ijtihad, memanfaatkan kemampuan
pemikiran dan akal (al-ijtihad bi istikhdam ar-ra`yi wa tahkim

60
al-‘aql), Imam Ahmad justeru dengan memanfaatkan penggunaan
hadits, sesuai kompetensinya, dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara mayoritas.

Harus diakui bahwa pada kenyataannya pendapatpendapat


Imam Ahmad tersebut banyak yang sangat ekstrim. Umpamanya,
dia mengkafirkan golongan Jahmiyah, padahal tidak ada Imam
mazhab lain yang berpendapat semacam itu. Najis karena anjing
tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan delapan kali cucian. Ia
juga mewajibkan berkumur-kumur dan mencuci tangan ketika
baru bangun dari tidur. Mewajibkan berkumurkumur dan
membersihkan hidung dalam berwudhu`. Ia juga mewajibkan
berwudhu` sesudah makan daging. Sementara menurut Imam-
Imam mazhab lainnya, hal-hal itu hanya sunnat. Saya melihat,
bahwa Imam Ahmad melakukan teori ‘imtina’ tausi’ah al-ghayy,
teori pencegahan perluasan penyimpangan ajaran Islam.

4. Periode Kemunduran Umat Islam


Setelah masa-masa Imam mazhab, seiring dengan
melemahnya daulah Islamiyah, jatuhnya mental para pemikir
kaum muslimin, dan diperparah dengan jatuhnya Daulah
Abbasiyah ke tangan Hulagu panglima Tartar tahun 656 H.,
berakibat kepada melemahnya aktivitas dan pemikiran hukum
Islam, sehingga masa-masa tersebut dikenal dengan masa
kevakuman dan stagnasi pemikiran Kendatipun demikian, pada
masa-masa setelah imamimam Mazhab, masih muncul pemikir-
pemikir yang melakukan ijtihad dan merumuskan kaidahkaidah
hukum Islam yang mencerminkan Islam yang rahmatan
lil’alamin, kaidah yang sesuai dengan situasi kontekstual
masyarakat. Para ulama pada periode ini telah merumuskan dan
kaidah-kaidah hukum Islam yang terpadu dengan kondisi dan
situasi sosial yang semakin berkembang dalam setiap masyarakat
muslim. Mereka ini sebenarnya mengikuti langkah-langkah yang
61
telah dirintis oleh para sahabat, terutama ‘Umar ibn al-Khaththab
dan imam mazhab dari berbagai aliran fiqih. Oleh karena itu,
hampir di setiap Mazhab fiqih, ditemukan tokoh yang telah
mencoba dan berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang
mempertimbangkan kepentingan atau kebutuhan masyarakat
sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Kaidah-kaidah
dimaksud, antara lain, adalah kaidah-kaidah maqashid yang
berorinetasi tercapainya kemaslahatan.

Untuk itu, dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa


tokoh atau ulama yang memiliki rumusan kaidah maqashid secara
garis besar. Mencantumkan gagasan dan ide sebahagian pemikir
di bawah ini, bukan berarti menafikan pemikir lain yang boleh
jadi lebih siginifan, melainkan karena pada kenyataannya
pemikiran merekalah yang sempat penulis lacak dalam khazanah
kepustakaan. Di antara tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam
permusan kaidah-kaidah maqashid, selain para sahabat dan Imam-
imam besar, adalah Al-Juwaini, al-Ghazali, ar-Razi, ‘Izz ad-din
ibn ‘Abd al-Aziz ibn ‘Abdis Salam, Ibn Qayyim alJauziyah, ath-
Thufi, dan asy-Syatibi. Kendatipun pada periode ini banyak
ditemukan ulama yang memiliki pemikiran yang maju, namun
masa-masa tersebut dalam sejarah Islam tetap dikenal dengan
masa kemunduran. Oleh karena itu, usaha kebangkitan dilakukan
oleh tokoh-tokoh modern yang dilanjutkan oleh para pemikir
kontemporer.

5. Periode Kebangkitan Kembali


Masa kebangkitan kembali umat Islam sering dikenal
dengan pembaharuan, yaitu Suatu usaha untuk menyesuaikan
ajaran-ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan cara
menakwilkan atau menafsirkannya sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat.” Dalam
pandangan saya, pembaharuan atau tajdid mengandung makna
62
usaha mengubah, memperbarui, memodifikasi, mengadaptasi dan
menciptakan sesuatu yang baru dengan menginterpretasikan
ajaran-ajaran agama, termasuk ajaran tentang hukum, dengan
mengkomunikasikannya dengan perkembangan kehidupan sosial.
Kemunculan ide pembaharuan ini, pada dasarnya dilhami oleh dua
hal, yaitu: Pertama, adanya suatu keyakinan bahwa ajaran Islam
(Al-Qur`an dan Sunnah) pantas atau sesuai untuk semua tempat
dan masa (asy-syari’ah alIslamiyah shalihah li kulli makanin wa
zamanin). Sebab itu, ajaran-ajaran Islam akan dapat
mengakomodir berbagai persoalan kontemporer yang muncul.
Kedua, adanya reaksi yang diberikan oleh para pemikir Islam,
termasuk ahli hukum Islam, terhadap kemajuan dan keungulan
dunia Barat, yang dimulai pada awal abad ke sembilan belas.

Oleh karena itu, secara historis, kebangkitan kembali kaum


muslimin dimulai pada awal abad ke Sembilan belas Masehi,
yaitu setelah ekspansi Perancis di Mesir dan upaya Napoleon
Bonaparte memperkenalkan ideologi revolusinya, dengan
semboyan: Kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah) dan
persaudaraan (al-ikha`). Dalam masa ekspansi tersebut, terjadi
kontak langsung antara alam pikiran Islam dengan alam pikiran
Eropa. Melalui kontak ini, umat Islam mengenal hasil kebuayaan
Eropa zaman renaiseance (‘ashr at-tanwir), seperti akademi Ilmu
Pengetahuan berikut gambar-gambar, peta-peta, buku-buku dan
laboratorium ilmiahnya. Selanjutnya, kontak kedua antara pikiran
Muslim dengan pikiran Eropa, melalui misi-misi ilmiah dari
bangsa Mesir yang dikirim Mohammad Ali, Penguasa Mesir
waktu itu, ke Negara-Negara Eropa: Itali, Perancis dan Inggeris,
yang disusul bangsa-bangsa Arab dan Islam lainnya. Mereka
inilah yang mendirikan sekolah-sekolah umum, yang sebelumnya
hanya ada sekolah-sekolah agama.

63
Generasi abad Sembilan belas inilah yang memainkan
peranan dominan dalam percaturan kenegaraan di Mesir, juga
dalam sejarah bangsa Arab dan Islam modern. Dan mereka inilah
yang melahirkan kebudayaan besar dalam masyarakat Islam.
Pengaruh kebangkitan ini meliputi bidang ekonomi, politik dan
sosial. Selain itu, kebangkitan tersebut disertai pula oleh
kemunculan sistem perundang-undangan baru, yang membuat
kaum muslimin ingin mengkaji kembali fiqihnya guna memenuhi
tuntutan-tuntutan hukum baru untuk mengibangi sistem
perundang-undangan dari Eropa. Tetapi, masa jumud sudah
berlangsung lama, sementara fiqh Islam sendiri sudah mengalami
kristalisasi, sehingga rumusan-rumusan fiqh Islam banyak yang
tidak mampu lagi memberikan jawaban-jawaban atas kebutuhan
masyarakat Islam modern. Keadaan ini menimbulkan realitas baru
dalam alam pikiran Islam berupa krisis pemikiran dan krisis
hukum.

Para pembaharu berupaya mendobrak kebekuan fiqh dan


menentang taqlid, yang telah menenggelamkan umat Islam.
Mereka mencanangkan kembali perlunya ijtihad, guna menjawab
berbagai tuntutan kehidupan modern kaum muslimin. Bagi
mereka, kaum muslimin hendaklah terbuka terhadap ide-ide yang
bermanfaat dari manapun datangnya. Semua pandangan, ide,
penemuan, selam tidak bertentang dengan dasar-dasar syariah
maka dapat dibenarkan. Ada beberapa tokoh kebangkitan fiqh
yang penting dikemukakan dalam uraian ini, antara lain, Rifa’ah
Rafi’ ath-Thahthawi dan Muhammad ‘Abduh. Merek berdua ini
telah memberikan isyarat penting tentang perlunya pembaharuan
uhsul al-fiqh dan fiqh yang dapat diambil contoh sebagai pemikir
hukum yang mencoba menempatkan terks-teks suci dalam posisi
yang paralel dengan realitas sosial (an-nash asy-syar’i wa al- aqi’i
alijtima’i ‘ala had sawa`).

64
Kita mulai dengan Rifa’ah Rafi’ ath-Thahthawi. Pemikir
ini merupakan kaum pembaharu yang pertama mencanangkan
kembali gagasan bahwa fiqh adalah sam dengan hasil pikiran dan
sama pula dengan hukum-hukum kemasyarakatan lainnya yang
nota-bene-nya terkait dengan kondisi masyarakat dan zamannya.
ath-Thahthawi memandang bahwa perkembangan kehidupan
sosial memberikan pengaruh yang besar dalam penentuan aturan-
aturan hukum bagi masyarakat Islam modern. Berbagai problem
tersebut, menurutnya, haruslah disikapi dengan mencari dasar-
dasarnya dalam teks-teks suci dan dipadukan dengan teks-teks
realitas sosial. Oleh karena itu, al-Qur`an dan hadits , menurutnya,
memberi semangat kepada kaum Muslimin untuk berijtihad dalam
berbagai masalah hukum. Dalam pandangannya, Islam adalah
gabungan antara agama (ad-din) dan syari’ah (aturan-aturan
pokok dalam hidup).

Ad-din yang dimaksudkan adalah aqidah, yang sudah jelas


diterangkan al-Qur`an, sehingga sudah cukup bagi kita.
Sedangkan syariah hanya dasar-dasar dan prinsipprinsipnya yang
telah ditetapkan Allah. Sedangkan perinciannya diserahkan
kepada manusia untuk dipikirkan dan dianalisis dan dipadukan
secara inetraktif dengan kondisi kekinian dalam rangka menjawab
berbagai persoalan dan problem yang diajukan oleh masyarakat
Islam modern. Selanjutnya, pemikir muslim pada masa
kebangkitan Islam adalah Muhammad Abduh. Sebagai pemikir
Islam, Abduh tampaknya dipengaruhi oleh aliran rasional
Mu’tazilah. Wael B. Hallaq mengatakan bahwa ‘Abduh jelas
dipengaruhi oleh para pemikir rasional Mu’tazilah.106 Bacaan
Hallaq ini tampaknya, karena memperhatikan ungkapan Abduh
dalam kaidah perumusan pemikiran Islam umumya, dan
perumusan kaidah maqashid-nya, seperti tertuang dalam bukunya

106
Hallaq, Wael. 1997. A History of Islamic Legal Theories. (London:
Cambridge University Press). hlm. 212
65
alIslam wa an-Nashraniyah107 yaitu: Artinya: “Mendahulukan akal
dari zhahir syara’ atau nash, ketika terjadi pertentangan.”

Dengan demikian, bagi ‘Abduh manakala terjadi


pertentangan antara teks-teks suci dan akal, maka akal haruslah
didahulukan. Sebab, akal akan berpikir secara komprehensif
antara dasar-dasar fiqh Islam dan kondisi sosial, sehingga pada
saat tertentu akal hendaklah didahulukan, demi terwujudnya
kemaslahatan dalam realitas social umat Islam. Dengan ungkapan
lain, bag Abduh posisi teks-teks suci adalah parallel dengan
realitas sosial. Tampaknya Abduh menginginkan, bahwa apabila
bertentangan antara nash-nash hukum dengan akal yang menurut
penalarannya akan berakibat kepada kemaslahatan, maka
pemberlakukan tuntutan nash tersebut ditunda terlebih dahulu.
Di antara persoalan yang dihadapi para pemikir muslim abad dua
puluh adalah tentang cara memaduka sistem politik modern
dengan konsep Islam dalam soal pemerintahan dan peranatanya.

Abduh adalah salah seorang pemikir Islam yang telah


dapat mengatasi persoalan tersebut melalui penggabungan antara
sistem syura dalam kepustakaan Islam, dengan sistem demokrasi
parlementer sebagaimana yang berlaku di Eropa. Abduh
mengatakan, keterikatan pemerintah dengan syariat tidak dapat
diselesaikan melalui pengetahuan tentang dasar-dasar syariat saja,
melainkan harus ada kelompok ahli yang berkompeten untuk
meluruskan segala penyimpangan yang terjadi terhadap aturan
yang telah ada. Allah tidak menyerahkan aturan hanya kepada
seorang manusia saja, tetapi kepada semua orang. Orangorang itu
memilih sekelompok ahli dalam bidang hukum Islam untuk
membawakan kebenaran, meluruskan semua hal yang
menimbulkan kerusakan atau penyelewenangan terhadap aturan-

107
Muhammad Abduh, alIslam wa an-Nashraniyah. 1375 H hlm.
59.
66
aturan dan keadilan hukum Allah. Para penguasa dan raja-raja
adalah termasuk orang-orang yang perlu mendapatkan petunjuk
dan bimbingan mereka.

Pandangan Abduh tersebut mengisyaratkan perlunya


sebuah lembaga atau majelis yang berfungsi sebagai pengawas
atau pengontrol pemerintah dalam menjalankan aturan. Lembaga
atau majelis ini tidak lain adalah Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagaimana yang terdapat di Negara-Negara demoratik
Eropa. Untuk meemperkuat pendapatnya tentang lembaga
perwakilan demikian tidaklah bertentangan dengan Islam, seperti
dikutip oleh Farouq Abu Zaid, Muhammad Abduh mengatakan:
“Sebagaimana diketahui bahwa Syari’ (Allah dan RasulNya)
tidaklah menjelaskan bagaimana cara memberi nasihat kepada
pemerintah dan bagaimana bentuk permusyawaratan itu serta
tidak pula melarang berbagai cara mencapai tujuan
permusyawaratan tersebut. Melakukan musyawarah diwajibkan
oleh syariat, tetapi tidak ditentukan bagaimana prosedur
musyawarah itu. Karena itu, memilih prosedur tertentu pada
dasarnya dibolehkan sebagaimana juga boleh menetapkan suatu
kaidah dalam masalah-masalah yang tidak mempunyai ketegasan
hukum.”

Dalam skema klasifikaasi hukum Islam, masalah


kenegaraan dan pranatannya, termasuk musyawarah, adalah
bahagian dari fiqh mu’amalah, yaitu fiqh yang berkaitan dengan
system kemasyarakatan dalam arti yang luas. Dalam masalah
mu’amalah, segala sesuatunya adalah boleh menurut hukum
Islam, sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi: Artinya: “Hukum
asal dalam masalah mu’amalah adalah boleh, hingga ada dalil
yang mengharamkannya.” Terlihat bahwa para pemikir hukum
Islam modern telah mencoba untuk memadukan aturan-aturan dan
kaidahkaidah Islam dengan perkembangan modern, baik

67
menyangkut masalah ekonomi, sosial maupun politik Merespons
perkembangan modern ini mereka memang terkadang
mengabaikan unsur-unsur lain yang seharusnya menjadi
pertimbangan dalam perumusan fiqih.

6. Periode Kontemporer
Tokoh-tokoh yang berperan merumuskan atau
mengembangkan kaidah-kaidah maqashid di era kontmporer ini
antara lain adalah: Ibn ‘Asyur yang telah menulis buku yang
berjudul Maqashid asy-Syari’ah alIslamiyah. Dalam buku ini ia
telah menguraikan tentang hakikat maqashid dan bagian-
agiannya, baik yang berisaft umum maupun yang bersifat khusus.
‘Allal al-Fasi108 juga telah merumuskan tentang kaidah-kaidah
maqashid di sela-sela bahasannya tentang maqashi syariah.
Pemikir hukum Islam berkebangsaan Maroko ini, menekankan
bahwa maqashid syari’ah itu sasaran dan rahasia-rahasia yang
diciptakan asy-Syari’ dalam setiap hukum yang diciptakan-Nya.
Kemudian Ahmad ar-Raisuni telah menulis sebuah buku yang
berjudul Nazhariyah al-Maqashid ‘Ind al-Imam asySyatibi. Dalam
buku ini ar-Raisuni telah memfokuskan kajian tentang teri-teori
maqashid menurut Imam asy-Syatibi. Dia telah mengemukakan
banyak kaidah maqashid. Tetapi, dalam bukunya tersebut kaidah-
kaidah tersebut hanya dikompilasi dalam satu kelmpok tulisan,
tanpa memberinya analisis dan contoh-contoh yang relevan.

Selanjutnya, Yusuf ‘Alim telah menulis buku yang berjudu


al-Maqashid al-Ammah li asy-Syari’ah al-islamyah. Sarjana ini
fokus membicarkana tentang lima prinsip mqashid asysyari’ah
dan media-media pemeliharaannya, baik dari segi
mewujudkannya maupun dari segi menafikan hal-hal yang

108
Al-Fasi, ‘Allal. t.t. Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha,
(aRyadh: Maktabah al- Wahdah al-‘Arabiyah. tt) hlm. 3
68
menghalanginya. Jasser Audah109 dengan kalimat yang singkat dan
padat mengungkapkan: “Maqasid of the Islamic law are
the objectives/purposes behind Islamic rulings.” Artinya: “Tujuan
hukum Islam adalah sasaran atau tujuan di balik aturan-aturan
Islam.” Jasser Audah lebih singkat dan padat lagi dalam
mengelaborasi tema ini dengan mengatakan bahwa maqashid
syari’ah adalah sasara atau tujuan yang ada di balik hukum, bukan
aturan hukum itu sendiri.

Selanjutnya, Abdurrahman al-Kailani juga telah menulis


buku yang berjudul Qawa’id al-Maqashid ‘Ind al-Imam
asy-Syatibi ‘aradhan wa dirasatan wa tahlilan. Karya ini sudah
sangat baik dan merupakan kelanjutan dari karya ar-Raisuni.
Kendatipun demikian karya ini masih dituli dalam bahasa Arab,
dan masih menyisakan kaidah-kaidah penting yang seharusnya
dikemukakan dalam menghadap persoalan-persoalan hukum Islam
kontemporer. Para pemikir hukum Islam di atas, masing-masing
telah mencoba memberikan rumusan tentang kaidah-kaidah
maqashid, walaupun kebanyakan belum secara eksplisit.

Ulama-ulama kontempor yang secara eksplisit menulis


tentang kaidah-kaidah maqashid ini adalah Ahmad arRaisuni
alam bukunya Nazhariyah al-Maqashid ‘Ind al-Imam asy-Syatibi
dan Abdurrahman al-Kailani dalam bukunya Qawa’id al-
Maqashid ‘Ind al-Imam asy-Syatibi ‘aradhan wa dirasatan wa
tahlilan. Terlihat, bahwa keduanya melakukan penelitian terhadap
kara-karya Imam asy-Syatibi

109
Audah, Jaser. Maqashid asy-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi`in.
(London: Cabang al-Ma’Had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami 2010) hlm. 2
69
2.1.4 Klasifikasi Maqashid syari’ah
Untuk memelihara Maqashid secara komprehensif dan
proposional, maka para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa
pembagian Maqashid, dilihat dari beberapa segi tinjauan.
Pertama, tinjauan dari segi kualitas dan kepentingannya; Kedua,
tinjauan dari segi cakupan/kandungannya; Ketiga, tinjauan dari
segi dapat berubah atau tidaknya; dan Keempat, tinjauan dari segi
keberadaan mashlahah menurut syara’.110
a. Pertama, Dilihat dari segi kualitas dan kepentingannya
Berdasarkan kualitas dan kepentingan as-Syaṭibi membagi
maqashid syari’ah menjadi tiga tingkat, yaitu:
1) Darūriyyah
Tujuan yang bersifat daruriyyah adalah suatu tujuan yang
harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Apabila tujuan
yang pokok atau primer ini tidak terealisasi maka akan terancam
keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Ada lima hal
yang termasuk dalam hal dharuriyyah, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syariat
Islam diturunkan.
2) Hājjiyah
Tujuan yang bersifat hājjiyah yaitu tingkatan yang bersifat
sekunder, yang diperlukan manusia. Jika kebutuhan ini tidak
terwujud maka tidak sampai mengancam keselamatan, namun
110
Najm al Din al Tufi (675-716 H / 1276 – 1326 M, ahli ushul fiqh
Hanbali), tidak membagi mashlahah sebagaimana yang dikemukakan para ahli
ushul fiqh di atas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat
mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik
mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak. Lihat Mushtafa
Zaid, Nazhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy wa Najm al-Din al-
Thufi, dalam Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)
hlm. 119
70
akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala
kesulitan tersebut dengan adanya hukum rukhshah (keringanan).
Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bila dalam
perjalanan dengan jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari
yang lain.
3) Tahsiniyyah
Tujuan yang bersifat tahsiniyyah adalah tingkat kebutuhan
yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah
satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan
kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap.
Seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat
berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntunan moral dan
akhlak.111
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui
bahwa segala ketetapan atau ketentuan yang ditetapkan oleh
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum bagi suatu
persoalan harus dalam bingkai kemaslahatan yang lima unsur
pokok ushul al-khams. Sehingga tidak boleh ada suatu tindakan
apapun yang mengancam kelima unsur pokok, karena ketika ada
salah satu dari kelima hal tersebut yang dilanggar atau tidak
terealisasi, maka kehidupan manusia tidak akan memperoleh
kebahagiaan dan kemaslahatan. Hal yang harus dipertimbangkan
dalam merealisasikan kemaslahatan adalah kebutuhan yang
bersifat dharuriyyah harus didahulukan dari yang bersifat
hajjiyah, hajjiyah didahulukan dari yang bersifat tahsiniyyah.
Untuk menjaga unsur pokok tersebut, maka hal-hal yang dapat
menjaga keberadaannya juga harus dijaga, demikian juga
sebaliknya kepada hal-hal yang dapat menyebabkan kelima ushul
al-khams tersebut terganggu harus dihindari dan dihilangkan

111
As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Jilid II (Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.), hlm. 8
71
sehingga tidak merusak atau mengganggu ushul al-khams
tersebut.
Adapun kelima unsur pokok dharuriyyah tersebut
diklasifikasikan oleh Asy-Syatibi: Hifz ad-din (memelihara
agama), Hifz An-Nafs, (memelihara Jiwa), Hifz Al-‘Aqal
(memelihara akal), Hifz al-Nasl (Memelihara keturunan), Hifz al-
Mal (Perlindungan terhadap harta)112 sebagaimana penjelasan di
bawah ini
a) Hifz ad-din (memelihara agama)
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia
supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat
makhluk yang lain.113 Adapun dalil-dalil yang berkaitan dengan
memelihara agama di antaranya adalah firman Allah dalam Surat
Adz-Dzâriyat/51: 56 yang artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku, Perintah
menyembah Allah di sini merupakan bukti bahwa Allah
memerintahkan untuk melindungi agama. Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan menjaga din (agama) dari
kerusakan, karena din merupakan Dharuriyyah yang paling besar
dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah
(murtad), memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah
dia (HR Bukhari), dalil-dalil tersebut di atas merupakan bukti
bahwa pelindungan agama merupakan unsur paling esensial
(pokok) dalam kehidupan umat Islam, sehingga perlindungan
agama termasuk kebutuhan dharuriyyah.

112
Asy-Syatibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat....., 1415,hlm. 10
113
Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Cet. 2
(Jakarta: Bumi Aksara, 1992) hlm. 67. Ibid, hlm. 101
72
b) Hifz An-Nafs, (memelihara Jiwa)
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati
keamanan dan keselamatan diri manusia, menjaga jiwa juga
merupakan bahagian dari dharuriyyah, karena agama tidak akan
bisa ditegakkan tanpa ada jiwa-jiwa yang menegakkannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am 151 Artinya: ....
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar 114.
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya). Kemudian sabda Rasulullah s.a.w yang artinya:
Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh), kecuali
dengan salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa,
orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam), Dalam ayat
dan hadits tersebut syari’at Islam jelas-jelas melarang membunuh
atau menghilangkan nyawa (nafs) umat manusia, kecuali dengan
alasan yang dibenarkan dalam Islam. sejalan dengan firman Allah
dalam surat (Al-Baqarah: 179). Yang artinya: Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.orang yang
murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya[HR Bukhari].
bahwa Allah menjamin kehidupan umat manusia dengan
memberlakukan hukuman qishaashkepada pelaku pembunuhan.
Hal itu dikarenakan Islam sangat menghormati kelangsungan
hidup umat manusia.
c) Hifz Al-‘Aql (memelihara akal).
Akal menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling
baik dari makhluk-makhluk yang lain. Perlindungan terhadap
kerusakan pikiran maupun fungsi ‘aqliyah manusia merupakan
kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan
kemajuan, sebab hal ini merupakan kebutuhan semua orang tanpa

114
Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh
orang murtad, rajam dan sebagainya.
73
memandang suku, bangsa ataupun agama. untuk menjaga
kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa
merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian,
memandang sesuatu yang diharamkan,115 maupun yang bersifat
fisik seperti khamr, narkoba, dengan memberikan sanksi kepada
yang melakukannya.116
Sebagaimana firman Allah surat (Al-Maidah ayat 91):
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu), ayat tersebut
melarang umat manusia melakukan perjudian karena akibatnya
secara konstektual akan merusak akal umat manusia, sehingga
umat yang akalnya terpengaruh judi akan menghalangi umat
mengingat Allah SWT dan beribadah kepadaNya. Serta sabda
Rasululullah s.a.w. Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan
semua khamr itu haram, dalil hadits tersebut secara tekstual sudah
jelas karena Khamrbisa menghilangkan akal (kesadaran) manusia,
yang menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah, karena
akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan
hukum-hukum Syari’ah.
d) Hifz al-Nasl (Memelihara keturunan).
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati
sistem kekeluargaan (keturunan) sehingga masing-masing orang
mempunyai nisab atau garis keturunan yang jelas demi
kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan
yang tenteram dan tenang, di antaranya firman Allah dalam surat

115
Penulis bisa maknai bahwa pelarangan melihat aurat yang bukan
mahramnya juga bahagian dari memelihara akal.
116
Ibni Taimiyyah, Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda... hlm. 467-468. di
akses dari https://almanhaj.or.id/3373-Dharuriyyahul-khams-lima-kebutuhan-
penting-yang-harus-dijaga-oleh-kaum-muslimin.html
74
(Al-Isra’/17: 32) yang artinya: Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk”.Bentuk penjagaan agar manusia
mememelihara keturunannya dengan melarang perbuatan zina dan
dengan memberikan sanksi cambuk atau dirajam, dengan
menawarkan alternatif solusi kepada manusia untuk menjauhi
zina dengan cara membolehkan (menganjurkan) pernikahan, agar
nasab keturunannya jelas dan terpelihara. Sebagaimana sabda
Rasulullah s.a.w “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara
kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan
puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi
dia”.
e) Hifz al-Mal (Perlindungan terhadap harta)
Pada hakikatnya harta benda adalah kepunyaan Allah,
namun Islam mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena itu,
Islam mengisyaratkan peraturan-peraturan mengenai muamalah, 117
di antaranya firman Allah dalam surat (al-Maidah: 38) yang
artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Perwujudan dari memelihara harta
di sini adalah Allah melarang mengambil harta sesama manusia
dengan jalan yang tidak dibolehkan dalam Islam (mencuri).
sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w: Allah Azza
wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya
dipotong. Islam sangat menghargai kepemilikan harta bagi umat
manusia, yaitu dengan memberikan sanksi yang sangat tegas dan
berat kepada pelaku pencurian dengan memberikan hukuman
potong tangan bagi pelakunya.

117
Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam,..., hlm. 101
75
Batasan-batasan yang diinginkan dapat membatasi
pengertian dharuriyyat ini adalah sebagai berikut:
a. Darurat tersebut harus sudah ada, bukan masih ditunggu,
dengan kata lain kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya
jiwa atau harta itu betul-betul ada dalam kenyataan dan hal itu
diketahui melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang ada, atau jika seseorang merasa yakin akan
adanya bahaya yang hakiki terhadap lima kebutuhan yang
sangat mendasar yang disebutkan sebagai sesuatu yang
dipelihara oleh Agama-Agama dan syariat-syariat langit, yaitu
Agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
Pada saat itu, maka seseorang boleh berpegang dengan
ketentuan-ketentuan hukum kekecualian guna menghindari
bahaya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerusakan-
kerusakan bagi orang lain, karena berpegang dengan kaidah
“Apabila kita dihadapkan kepada dua mafsadat, maka
dipeliharalah yang terbesar mudaratnya dengan jalan memilih
mudaratnya yang paling ringan”.
Dalam kasus melahirkan di sini misalnya perempuan yang
akan melahirkan (pasien) ataupun keluarga pasien yang akan
mengambil keputusan dalam kondisi Dharuriyyah untuk
melahirkan pada dokter dengan opsional (Ada dokter spesialis
laki-laki dan perempuan). Dalam kasus tersebut apabila
berpegang dengan kaidah di atas “Apabila kita dihadapkan
kepada dua mafsadat, maka dipeliharalah yang terbesar
mudaratnya dengan jalan memilih mudaratnya yang paling
ringan”. Berarti dalam hal ini pasien atau keluarga pasien
diharuskan melahirkan pada dokter spesialis perempuan
karena mudharatnya lebih ringan daripada berobat pada dokter
spesialis laki-laki yang mudharatnya lebih besar. Realita yang
terjadi saat ini pasien atau keluarga pasien masih tetap
berkeyakinan melahirkan pada dokter laki-laki, sekalipun

76
di daerah tersebut ada dokter perempuan yang
menanganinya, dengan beralasan bahwa dokter laki-laki
lebih mampu dan “berpengalaman”118 dalam membantu
proses melahirkan dari pada dokter perempuan, yang menjadi
kegelisan dari peneliti di sini adalah apakah “Keyakinan”
tersebut termasuk dalam kategori Dharuriyyahkah???,
sehingga membolehkan pasien melahirkan pada dokter
kandungan laki-laki daripada dokter perempuan.
b. Orang yang terpaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali
melanggar perintah-perintah atau larangan-larangan syara’,
atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari
kemudaratan selain melanggar hukum. Dalam contoh dalam
kondisi sangat lapar (kalau tidak makan akan beresiko
meninggal) memakan makanan yang haram dibolehkan
selama tidak ada makanan halal, tetapi kalau ada makanan
yang halal walaupun makanan yang halal tersebut tidak
disukainya tetap diharuskan memakan makanan yang halal
tersebut untuk mempertahankan hidupnya, dan tidak
dibolehkan memakan makanan yang haram, kalau kita
hubungkan dengan kasus melahirkan di atas pasien
mempunyai alternatif pilihan antara melahirkan pada dokter
spesialis perempuan dan dokter spesialis laki-laki, walaupun
dokter spesialis perempuan tersebut tidak disukai oleh pasien,
sehingga Dharuriyyah melahirkan kepada dokter kandungan
laki-laki menjadi gugur. Dikarenakan ada dokter kandungan
perempuan.

118
Padahal menurut penulis dalam hlm. pengalaman dalam artian
mengalami lansung proses melahirkan, dokter spesialis perempuan yang sudah
mempunyai anak yang pasti sudah berpengalaman merasakan lansung
bagaimana proses melahirkan tersebut. Sedangkan dokter laki-laki di sini
pengalamannya hanya sebatas pada membantu proses melahirkan saja,
sehingga dalam mengambil tindakan terhadap pasien tersebut masih dalam
tataran diagnosa ilmu medisnya saja, berbeda halnya dengan tindakan yang
dilakukan dokter perempuan.
77
c. Hendaknya dalam keadaan adanya yang diharamkan bersama
yang dibolehkan itu (dalam keadaan-keadaan yang biasa)
alasan yang dibolehkan seseorang melakukan yang haram.
Kemudaratan itu memang memaksa dimana ia betul-betul
khawatir akan hilangnya jiwa atau anggota badan, seperti, jika
seseorang dipaksa untuk memakan bangkai dengan ancaman
yang mengkhawatirkan hilangnya jiwa atau sebagian anggota
tubuhnya, sedangkan di hadapanya ada yang halal dan baik.
kalau diumpamakan dalam masalah melahirkan pasien dipaksa
baik oleh keluarga ataupun orang lain untuk melahirkan pada
dokter kandungan laki-laki, sedangkan di daerahnya ada
dokter perempuan yang bisa menangani proses melahirkan.
Karena dalam keadaan dipaksa maka hal demikian
dibolehkan.
d. Adanya orang yang terpaksa tidak melanggar prinsip-prinsip
syara’ yang pokok yang telah disebut, berupa memelihara hak-
hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah,
menghindari kemudaratan serta memelihara prinsip
keberagaman serta pokok-pokok aqidah Islam, umpamanya
diharamkan zina, pembunuhan, kufur dan merampas dalam
kondisi bagaimanapun, karena ini adalah mafsadat yang
dikarenakan oleh esensinya.
e. Bahwa orang yang terpaksa itu membatasi diri padahal yang
dibenarkan melakukannya, karena dharuriyyat dalam
pandangan jumhur fuqaha pada batas yang paling rendah atau
dalam kadar semestinya, guna menghindari kemudaratan,
karena membolehkan yang haram itu adalah dharuriyyat dan
dharuriyyat dinilai menurut tingkatanya.
f. Dalam keadaan dharuriyyat berobat, hendaknya yang haram
itu dipakai berdasarkan resep dokter yang adil dan dipercaya,
baik dalam masalah Agama maupun ilmunya dan tidak ada
obat selain dari yang diharamkan atau cara lain yang dapat
menggantikan yang haram, sehingga syarat-syaratnya yang
78
terdahulu itu terpenuhi, yaitu bahwa melakukan yang haram
itu merupakan satu-satunya jalan baginya.119
g. Menurut pandangan aliran Zahiriyah, harus berlaku satu hari
dan satu malam bagi orang yang terpaksa dalam masalah
makanan, tanpa memperoleh makanan yang halal dan
didapatinya tidak ada makanan kecuali yang haram. Penetapan
batas waktu demikian (sehari dan semalam) berdasarkan
hadits Rasulullah s.a.w., mengenai pembolehan makan
bangkai, yang berarti apabila telah datang pagi dan sore
seseorang tidak dapat memperoleh makanan untuk masa
tersebut ataupun susu yang bisa diminum.
Bisa penulis contohkan dalam Dharuriyyah melahirkan, bila
dikaitkan dengan pendapat Zahiriyah di atas, bahwasanya
pasien harus bersungguh-sungguh mencari dokter kandungan
perempuan terlebih dahulu, setelah usaha tersebut masih tidak
didapati dokter spesialis perempuan, maka baru dibolehkan
pasien tersebut melahirkan pada dokter laki-laki. Berbeda
dengan realita saat ini, pasien sudah jauh-jauh hari sebelum
melahirkan dan direncanakan dari awal, mulai dari
pengecekan kehamilan melalui USG dan malahan ada yang
ingin mengetahui jenis kelamin yang ada dalam kandungannya
dengan USG, pasien sudah dari awal meminta bantuan pada
dokter laki-laki. Padahal menurut penulis pengecekan
kehamilan biasa tersebut masih belum termasuk kategori
Dharuriyyah, sehingga jangankan meminta bantuan pada
dokter spesialis laki-laki, pada dokter spesialis perempuan pun
masih dipertanyakan kebolehannya.

119
Ahmad al-Syarbashi, Yas’alunaka fi ad-Din wa al-Hayah,
diterjemahkan oleh Ahmad Subandi dengan Judul, Yas’al-Naka: Tanya Jawab
Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan, Buku II (cet. I; Jakarta: Lentera,
1999), hlm. 313.
79
Oleh karena itu, kaum muslim tidak boleh sembarangan
dalam menggunakan kaidah Dharuriyyah ini dan perlu
memperhatikan dua perkara berikut dalam penerapanya:
1) Jika masing-masing dharar tersebut kedudukannya sama,
sama-sama berbahaya dan membahayakan, sedangkan
masing-masing tidak bisa dihindari (baik dengan
meninggalkan perintah ataupun melaksanakan larangannya)
maka yang harus dipilih adalah mana diantara keduanya
dharar tersebut yang paling ringan. Disinilah kaidah akhafful
ad-dhararayn tersebut berlaku.
2) Jika masing-masing dharar tersebut kedudukanya sama-sama
bahaya dan membahayakan, sedangkan masing-masing bisa
dihindari (baik dengan melaksanakan perintah ataupun
meninggalkan larangan), maka tidak diperbolehkan memilih
mana di antara kedua dharar tersebut yang paling ringan.
Dalam hal ini, kaidah akhaffu ad-dhararayn tersebut jelas
tidak berlaku.
Ketika seseorang tidak dalam konteks untuk memilih salah
satu di antara kedua dharar tersebut, maka dalam konteks seperti
ini juga tidak ada pilihan; mana di antara keduanya yang paling
ringan dharar-nya. Dalam hal ini, kaidah akhaffu ad-dhararayn
tersebut jelas tidak bisa dipergunakan.120
Dharuriyyah sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari
lima unsur. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan yaitu
apakah Dharuriyyah hanya terbatas pada lima unsur tersebut? dan
mengapa lima unsur itu dikhususkan untuk al-masalih ad-
dharuriyah? Adalah tidak mungkin mengidentifikasi ad-
dharuriyyah hanya terbatas pada lima unsur semata, di samping
tidak memenuhi syarat-syarat logika, juga tidak menggunakan
metodologi yang cermat, di samping itu juga terkesan kurang
120
M. Gazali Suyuti, M.Hi, Konsep dharuriyyat dalam Al-Quran, (Cet.
I; Alauddin Universitas Press, 2011), hlm. 65-72.
80
detail karena masih terbuka lebar pintu masuk bagi unsur-unsur
lain ke dalamnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian
ahli ushul memasukkan al-'ardh (harga diri) dan al-'adl
(keadilan).
Lagi pula antara satu unsur dengan unsur yang lain masih
sulit dibedakan. Misalnya, melindungi jiwa dan melindungi akal
tidak dapat dipisahkan sehingga satu dengan yang lain tidak ada
yang menjadi prioritas. Juga sangat tidak mungkin unsur-unsur ini
hanya bernaung di bawah al-masalih ad-dharuriyat karena
hukum-hukum yang berhubungan dengan al-masalih al-hajiyah
dan al-masalih at-tahsiniyah juga bertujuan untuk melindungi
unsur-unsur tersebut. Misalnya, masalah kebolehan berburu yang
merupakan masalih hajiyah berhubungan pula dengan
perlindungan terhadap jiwa, yaitu al-masalih ad-dharuriyat.
Manakala lima unsur ini harus bergabung dalam bingkai ad-
dharuri, al-haji dan at-tahsini, maka harus ada upaya kontruksi
lain yang lebih akomodatif dan tingkatannya lebih tinggi dari tiga
tingkatan al-masalih yang sudah ada. Puncak tingkatan al-masalih
ini dapat disebut al-gayat al-kulliyah al-quswa (tujuan syariah
yang utama dan komprehensif). 121
Puncak kemaslahatan inilah yang harus diwujudkan dan
nantinya akan menjadi referensi dalam mengidentifikasi perbuatan
mukallaf dari aspek as-salah dan al-fasad. Melihat pertimbangan
ini, maka al-ushul al-khamsah (lima jenis dharuriyat) harus
diposisikan pada tingkatan al-qiyam al-akhlaqiyah al-'ulya (nilai-
nilai moral yang tertinggi). Sepertinya inspirasi sebagian kaum
ushuli terutama Syatibi dengan memasukkan as-sabgah al-
akhlaqiyah (karakter etika) ke al-ma'ani al-khamsah (lima
kemaslahatan yang pokok), demikian sebagian ahli ushul

121
Al-Fasi, ‘Allal. Maqosid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa
Makarimuha, (Al-Dar Al-Baidho’: Maroko Maktabah al-Wahdah al-Arabiyah,
t.th) . hlm. 189-201.
81
menamakannya, mengharuskan mereka untuk berpendapat bahwa
semua agama sepakat untuk melindungi lima unsur dalam ad-
dharuriyat dengan klaim bahwa kelima makna tersebut bersifat
abadi dan diakui oleh fitrah manusia yang sehat.122
Ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan diri
(jiwa, raga dan kehormatan) mengisyaratakan dengan jelas adanya
hak hidup, yang berarti bahwa manusia tidak berhak untuk
dibunuh, dilukai, dianiaya, dinodai nama baiknya dan seterusnya.
Selanjutnya, ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan
akal pikiran, mengisyaratkan adanya hak berpikir bebas, hak
untuk tahu dan memperoleh ilmu, hak untuk membebaskan diri
dari kebodohan (termasuk buta huruf), hak menyatakan pendapat,
hak dimintai pendapat (bermusyawarah) yang kesemuanya itu
bertitik tolak dari keselamatan kondisi akal pikiran itu sendiri
yang tetap harus terpelihara kewarasannya, tidak gila atau mabuk.
Demikian juga ketentuan disyariatkannya perlindungan
keselamatan nasab keturunan yang mengisyaratkan adanya hak
berumah tangga, hak kebapakan, hak keibuan, hak anak, hak
nafkah keluarga dan seterusnya. Demikian pula ketentuan
disyariatkannya perlindungan keselamatan harta milik. Jelas
mengisyaratkan diakuinya hak kepemilikan, hak benda, hak
kekayaan, hak usaha, hak dagang dan seterusnya. Terakhir,
sebagai kunci dari segalanya, ialah ketentuan disyariatkannya
perlindungan atas keselamatan menganut agama yang diyakini
dan beribadah menurut keyakinannya. Mengisyaratkan diakuinya
hak beragama, hak berdakwah, dan hak mempertahankan
agamanya.
Perwujudan hak-hak yang disinggung di atas berpangkal
pada ketentuan umum yang disebut al-kulliyat al-khams
sebagaimana dijelaskan di atas. Dan wujud pertimbangan bagi
122
Al-Fasi, ‘Allal. Maqosid asy-Syari’ah ..... 189-201.
82
hak-hak tersebut di atas dituangkan dalam bentuk hudud yang
dibahas dalam rub 'ul jinayat dari ilmu fiqih. Dengan kata lain,
bagian keempat (keselamatan harta milik) dari al-kulliyat al-
khams itu memerinci upaya-upaya untuk menata pengamanan
manusia dan masyarakatnya dalam suatu tertib pergaulan yang
menjamin keselamatan-dan ketentramannya dalam kehidupan.
Kedua, al-hajiyat, yaitu kepentingan manusia yang
menjadi kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-harinya dalam
rangka penjabaran wujud konkrit kemaslahatan dasar (dharuriyat)
yang telah diuraikan di atas. Adanya kemaslahatan hajiyat ini
demi memudahkan dan melancarkan urusan-urusan manusia
dalam hubungannya dengan Khaliq-nya dan dengan sesamanya.
Dan untuk memungkinkan terwujudnya kemaslahatan
yang demikian itu, maka disyariatkan beberapa rukhshah
(dispensasi) untuk menjamin kelonggaran pelaksanaan ketentuan-
ketentuan yang sudah disyariatkan yang dituntut oleh keadaan-
keadaan tertentu, demi menghindarkan kesulitan-kesulitan yang
mengarah kepada kemelaratan. Maka kemaslahatan hajiyat ini
sangat erat kaitannya dengan kemaslahatan dharuriyat yang telah
disebut di atas, bahkan sewaktu-waktu dapat disejajarkan:(al-
hujahtunazzalumanzilata dharfirah). Dari uraian di atas dapat
tergambar betapa luasnya kawasan kemashlahatan hajiyat itu, bila
dikaitkan dengan watak peradaban manusia yang terus
berkembang dan maju. Dalam hubungan ini, sebagian dari para
ahli hukum Islam (fiqih) abad sekarang beranggapan bahwa
semua hal yang dikenal dalam kehidupan modern ini, seperti hak-
hak asasi manusia (yang dirumuskan oleh PBB) dan lain
sebagainya, dapat tertampung dan dikembangkan dalam rumus
kemaslahatan hajiyat.
Ketiga, al-tahsiniyat/ al-kamaliyat, yaitu kepentingan
manusia yang merupakan kebutuhan pelengkap untuk menjamin
tegaknya norma-norma moral dan kesopanan sesuai dengan
83
tingkat kebudayaan lingkungannya, dalam rangka mewujudkan
kehidupan yang baik, bersih, sehat, tertib, nyaman, sejahtera dan
bahagia lahir-batin. Dengan menelusuri ajaran Islam di bidang
kemaslahatan (mashlahah) di atas, menunjukkan betapa
manusiawinya ajaran Islam; bahwa Islam menginginkan agar
manusia memiliki martabat yang terhormat (muhtaram) dan tetap
mendapat jaminan dan perlindungan (ma'shum)sesuai dengan asas
alkaramah al-insaniyah yang diberikan kepadanya. Karena ajaran
Islam menginginkan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan
dalam kehidupan manusia. Maka ini berarti ajaran Islam
menghendaki supaya manusia mengalami dan menikmati suatu
kehidupan yang sejahtera dan bahagia terhindar dari derita dan
nista, yaitu suatu kehidupan yang tertib dan aman terhindar dari
rasa takut dan kalut, baik di alam dunia ini maupun seterusnya di
akhirat kelak.123
Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul
fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat
mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini,
umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang
dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa
tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah,
karena apa yang diujarkan oleh nash adalah bersifat mashlahah
b. Kedua, tinjauan dari segi cakupan/kandungannya.
Beranjak dari pemikiran-pemikiran ulama-ulama terdahulu
dan berdasarkan cakupannya/kandungannya, maka Ahmad ar-
Raisuni telah membagi maqashid kepada tiga bagian, yaitu:124
1) Maqashid umum (al-maqashid al-‘ammah), yaitu: “Maqashid
umum adalah maqashid yang dipelihara syariah dan ia
mempraktekkan untuk mewujudkannya dalam semua bab

123
Ali Yafie, Menggagas Menggagas Fiqh Sosial…., 149-150
124
Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam asy-
Syafi’i, (al-Ma’had al-‘Alami lil al-Fikr al-Islami, 1995) hlm. 19-20
84
syariah atau dalam sebagian besarnya.” Maqashid umum ini,
umpamanya memelihara sistem kekeluargaan, kekerabatan
dan sistem kemasyarakatan, mendatangkan kemaslahatan-
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan-kemafsadatan,
menegakkan persamaan antara sesama manusia, menjadikan
syariat menjadi jalan keluar dari masalah, menjadikan umat
kuat dan disegani, dan lain sebagainya. Maqashid umum
inilah yang kebanyakan dikehendaki oleh orang-orang yang
membicarakan tentag maqashid syari’ah. Perlu dikemukakan,
bahwa maqashid ini ada yang lebih bersifat umum dari yang
lain, dan yang bersifat umum ini dalam konteks pembicaraan
maqashid adalah yang lebih penting. Sesungguhnya maqashid
yang dipelihara dan dipertimbangkan dalam semua bidang
syariah lebih umum dan lebih penting dari maqashid yang
dipelihara dalam banyak bidang syariah.
2) Maqashid khusus (al-maqashid al-khashshah), yaitu:
“Maqashid khusus adalah maqashid yang syariat
mengarahkan kepada mewujudkannya dalam satu bab atau
bidang tertentu, atau dalam bab-bab sedikit yang berjenis
tertentu dari bab-bab tasyri’ .”Maqashid khusus ini
umpamanya maqashid syari’ah dalam bidang hukum-hukum
keluarga; maqashid syari’ah dalam bidang transaksi-transaksi
keuangan; maqashid syari’ah dalam bidang-bidang mu’amalat
yang berkaitan dengan kerja dan jasa; maqashid syari’ah yang
berkaitan dengan peradilan; maqashid syari’ah yang berkaitan
dengan tabarru’; dan maqashid syari’ah yang berkaitan
dengan sanksi-sanksi hukum.
3) Maqashid partikular (al-maqashid al-juz`iyah), yaitu:
“Maqashid partikular (juz`iyah) adalah sesuatu yang
dimaksud oleh asy-Syari’ dari setiap hukum syar’i, berupa
wajib, atau nadab (sunnat), atau makruh, atau kebolehan
(ibahah), atau syarat, atau sebab, dan seterusnya...” Dengan
ungkapan lain, maqashid partikular (al-maqashid juz`iyah) ini
85
adalah maqashid tentang rincian-rincian kasus yang masuk
dalam pola-pola fiqih, baik yang masuk dalam kategori
hukum-hukum taklifi, berupa wajib, sunnat, haram, makruh,
mubah; maupun yang masuk dalam kategori hukum-hukum
wadh’i, berupa syarat, sebab, mani’, sah, fasid, dan lain
sebagainya.
Kemudian Jasser Auda dari ulama kontemporer
berdasarkan cakupan/kandungannya juga mengklasifikasikan
maqashid kepada tiga tingkatan, yaitu:125
1) Maqashid ‘ammah adalah nilai dan makna umum yang ada
pada semua kondisi tasyri’ atau di sebagian besarnya, seperti
keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan.
2) Maqashid khaṣṣah adalah maslahat dan nilai yang ingin
direalisasikan dalam satu bab khusus dalam syariah, seperti
tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan
dalam system keluarga, menakut-nakuti masyarakat dari efek
jera dalam memberikan hukuman, menghilangkan gharar
(ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. sedangkan
3) Maqashid juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin
direalisasikan dalam pentasyri’an hukum tertentu, seperti
tujuan kejujuran dalam ketentuan persaksian lebih dari satu
orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak
berpuasa bagi orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit,
bepergian atau lainnya.

c. Ketiga, tinjauan dari segi dapat berubah atau tidaknya.

125
Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a
System Approach, (Herndon: IIIT, 2008), hlm. 5
86
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah,
menurut Muhammad Mushthafa al- Syalabi126, ada dua bentuk,
yaitu ;
1) Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat
tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai
kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
2) Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemashlahatan yang
berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan
subjek hukum. Kemashlahataan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Perlunya pembagian ini, menurut Muhammad Mushthafa
al-Syalabi, untuk memberikan batasan kemashlahatan mana yang
bisa berubah dan yang tidak.
d. Keempat, tinjauan dari segi keberadaan mashlahah menurut
syara’
Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’127
terbagi kepada ;

1) Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang


didukung oleh syara’, baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk
dan jenis kemashlahatan tersebut. Misalnya untuk memelihara
jiwa, disyari’atkan hukum qishas bagi pembunuh yang
melakukannya dengan segaja dan bukan karena haknya (QS. 2
: 179). Contoh lainnya, hukuman atas orang yang meminum
minuman keras dalam hadits Rasulullah s.a.w. dipahami

126
Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Mesir : Dar al-
Nahdhah al-‘Arabiyah), hlm. 281-287
127
Muhammad Adib Shalih, Mashadir Tasyri’ al-Islamiy wa Manhaj
al-Istinbath, (Damaskus :Mathba’at al-Ta’awuniyat, 1968), hlm. 466
87
secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan
alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah s.a.w. ketika
melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman
keras128
Ulama yang berpegang pada maslahat al-mu’tabaraah ini,
penggunaannya dimasukkan dalam kegiatan qiyas. Oleh sebab
itu, agaknya pantas kalau Husein Hamid Hasan mengatakan
bahwa mashlahat mu’tabarat dalam pengertian ini masuk
dalam pembicaraan qiyas. Dengan kata lain bahwa
penggunaan mashlahat sedemikian rupa dalam merumuskan
hukum adalah qiyas itu sendiri.129
2) Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemashlahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’ atau
dengan kata lain mashlahat yang dibatalkan oleh dalil syari’at
atau dilarang penggunaannya. Pembatalan seperti ini mungkin
karena manfaatnya lebih kecil dari mudharatnya atau
barangkali karena manfaatnya dapat menimbulkan mudharat.
Mashlahat seperti ini dianggap mulghah (tidak terpakai) oleh
syari’at. Misalnya syara’ menentukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan

128
Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasul
saw. Adalah sandal/ alas kakinya sebanyak 40 kali (HR. Ahmad bin Hambal
dan al-Baihaqi) dan ada kalanya dengan pelepah kurma juga sebanyak 40 kali
(HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, ‘Umar bin al-Khattab, setelah
bermusyawarah dengan para sahabat lain menjadikan dera bagi orang yang
meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. ‘Umar bin Khattab meng-
qiyaskan orang yang meminum keras kepada orang yang menuduh orang lain
berbuat zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras
apabila mabuk, bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh
orang lain berbuat zina. Hukuman menuduh orang lain berbuat zina adalah 80
kali dera (QS. Al-Nur (24) : 4). Oleh karena adanya dugaan keras menuduh
orang lain berbuat zina akan muncul dari orang yang mabuk, maka ‘Umar ibn
al-Khtthab dan ‘Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang
meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh orang
lain berbuat zina.
129
Husein Hamid Hasan, Nazhariyat al-Mashlahat fi al-Fiqh al-
Islamiy, (Dar al-Nahdhat al-‘Arabiyah, 1971), hlm. 15-16
88
dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa
dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir
miskin. Adapun Al- Laits ibn Sa’ad (94-175H/ahli fiqh Maliki
di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-
turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan
hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan.
Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits
Rasulullah di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus
diterapkan secara berturut-turut.Oleh sebab itu, para ulama
ushul fiqh memandang mendahulukan hukuman puasa dua
bulan berturut-turut dari memerdekakaan budak merupakan
kemashlahatan yang bertentangan dengan kehendak syara’;
hukumnya batal. Kemashlahatan seperti ini, menurut
kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-
mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Contoh lainnya mashlahat yang terdapat dalam suatu peristiwa
tetapi mashlahat itu dibatalkan oleh syari’at karena di dalam
peristiwa itu terdapat mudharat yang lebih besar ketimbang
manfaatnya. Seperti di dalam minuman khamar itu ada
manfaat yang bisa meransang jiwa lebih kuat dan berani;
demikian juga dalam permainan judi ada manfaatnya bisa
dijadikan sarana usaha dalam kehidupan. Namun kedua
macam pekerjaan itu merupakan larangan Allah (QS. 2 : 219
dan QS. 5 : 90). Mashlahat yang terkandung pada dua ayat
tersebut adalah mashlahat mulqhah, yakni mashlahat yang
diabaikan dan dibatalkan oleh syari’at.
Lebih konkritnya, mashlahat seperti ini tidak dapat dijadikan
konsideran ijtihad dalam merumuskan hukum syariat
dikarenakan syariat itu sendiri tidak memandangnya sebagai
suatu mashlahat yang mu’tabarah. Misalnya, meminum arak
ada manfaatnya, al-Qur’an sendiri mengakuinya.Akan tetapi-
sebagaimana pula yang dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa
manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan
89
mudharatnya. Karena itu, mashlahat yang seperti ini tidak
dianggap sebagai mashlahat yang dimaksud oleh syari’at
Islam.130
3) Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Mashlahat
ini dikatakan mursalah karena ia terlepas dari dalil yang
mengesahkan ataupun membatalkannya. Ia merupakan
mashlahat mutlaq, yang tidak memiliki kaitan atau
ketergantungan khusus pada teks syari’at. Dalam bahasa al-
Ghazali, mashlahat seperti ini disebut dengan Istislah,
sementara Abdul Wahab Khalaf menamakannya dengan
Munasib Mursal.131

‘Ali ‘Abd Rabbih mendefinisikan mashlahat mursalah


yaitu “gambaran menetapkan suatu hukum berdasarkan
mashlahat atau menolak kemafsadatan dari manusia, yang belum
jelas dalilnya dari syari’, diterima atau ditolak”.132
Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu ; (1)
mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau
kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’,
baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh
tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al-
Syatibi mengatakan kemashlahatan seperti ini tidak ditemukan
dalam praktik, sekalipun ada dalam teori. (2) mashlahah al-
Mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak didukung oleh
sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).133

130
Muhammad Adib Shalih, Mashadir Tasyri’ al-Islamiy..., hlm. 470
131
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I,
(Beirut Libanon: Muassasah al-Risalah, 1997), hlm. 250 dan Abd al-Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Kuwaitiyah, 1968) hlm. 53
132
‘Ali Abd Rabbih, Buhus fi al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha ‘Ind al-
Ushuliyyin, (Mathba’ah al-Sa’adah, 1980). hlm. 99
133
Nasrun Harun, Ushul Fiqh... hlm. 117-118
90
Pada hakikatnya mashlahat yang menjadi bahan
perdebatan hangat di kalangan para fuqaha’ adalah mashalih
mursalah atau yang sering juga disebut al-munasib almursal.
Dalam hal ini, Abu al-Nur Zahir memetakan tiga macam
kelompok. Komunitas pertama adalah kumpulan ulama’ yang
tidak dapat menerima mashalih mursalah sebagai hujjah sama
sekali diantaranya adalah kalangan Syafi’iyah. Komunitas kedua
adalah golongan ulama’ yang menerima mashalih mursalah
secara terbuka dan dapat dijadikan sebagai hujjah, diantaranya
adalah golongan Malikiyyah. Komunitas ketiga adalah yang
berpendapat bahwa mashalih mursalah tersebut bisa saja
dijadikan hujjah selama mashlahat yang inheren di dalamnya
bersifat dharuriyah, qhat’iyat, dan kulliyat diantaranya adalah al-
Ghazali dan al- Baidhawi.134
Untuk bisa menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah
mensyaratkan tiga syarat, yaitu ;
1) Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan
termasuk dalam jenis kemaashlahatan yang didukung nash
secara umum
2) Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah
al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan
menghindari atau menolak kemudaratan.
3) Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak,
bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.135
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga
menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan
tetapi, Imam sl-Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas.
134
M. Abu al-Nur Zahir, Ushul Fiqh, Juz III, (Mesir: Mathba’at Dar al-
Ta’lif, 1950), hlm. 185
135
Nasrun Harun, Ushul Fiqh...,.hlm. 122
91
Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman
keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera
sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk akan mengigau dan
dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain
berbuat zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab ushul
fiqhnya membahas permasalahan mashlahah mursalah. Ada
beberapa syarat yang dikemukakan al Ghazali terhadap
kemashlahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam
mengistinbathkan hukum, yaitu;
1) Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2) Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan
nash syara’
3) Mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang
dharuri, baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun
kemashlahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku
sama untuk semua orang.136
Untuk yang terakhir ini Al-Ghazali juga mengatakan bahwa
yang hajjiyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak
bisa menjadi dharuriyah.
Demikian juga dengan Jumhur Ulama sebenarnya
menerima mashlahah mursalah sebagai salah satu metode dalam
mengistinbathkan hukum Islam. Alasan Jumhur Ulama dalam
menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum, antara lain adalah:
1) Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa
setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Anbiya’ :107 yang
artinya “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam” Menurut Jumhur
Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila
136
Nasrun Harun, Ushul Fiqh...,.hlm. 123
92
bukan dalam rangka memenuhi kemashlahatan umat manusia.
Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai
kemashlahatan umat manusia, di dunia dan akhirat. Oleh
sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum
lain yang juga kemashlahatan adalah legal.
2) Kemashlahatan manusia senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri.
Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada
saja, akan membawa kesulitan.
3) Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada
beberapa perbuatan sahabat, seperti “Umar ibn Khathab tidak
memberi bagian zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru
masuk Islam), karena menurut ‘Umar, kemashlahatan orang
banyak menuntut hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an
atas saran ‘Umar ibn Khatab, sebagai salah satu
kemashlahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan
al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman ‘Utsman ibn ‘Affan
demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an
itu sendiri.137
2.1.4. Cara Mengetahui Maqashid al-Syari’ah
Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah
dan tujuan penetapan hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah
ditempuh oleh ulama sebelum al-Syathibi, yaitu :
1. Ulama yang berpendapat bahwa Maqashid al-Syari’ah adalah
sesuatu yang abstrak, sehingga tidak dapat diketahui kecuali
melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir lafal yang jelas.
Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian mendalam yang
justru memungkinkan akan menyebabkan pertentangan

137
Nasrun Harun, Ushul Fiqh...,.hlm. 123
93
dengan kehendak bahasa. Cara ini ditempuh oleh ulama
Zahiriyah.
2. Ulama yang tidak mementingkan pendekatan zahir lafal untuk
mengetahui Maqashid al-Syari’ah. Mereka terbagi dalam dua
kelompok :
a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid
alsyari'ah ditemukan bukan dalam bentuk zahir lafal dan
bukan pula dari apa yang dipahami dari tunjukan zahir
lafal itu. Akan tetapi Maqashid al-Syari’ah merupakan hal
lain yang ada di balik tunjukan zahir lafal yang terdapat
dalam semua aspek syari'ah sehingga tidak seorang pun
dapat berpegang dengan zahir lafal yang
memungkinkannya memperoleh Maqashid al-Syari’ah.
Kelompok ini disebut kelompok Bathiniyah.
b. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid
alsyari'ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian
lafal. Artinya zahir lafal tidak harus mengandung tunjukan
yang bersifat mutlak. Apabila terjadi pertentangan antara
zahir lafal dengan penalaran akal, maka yang diutamakan
dan didahulukan adalah penalaran akal, baik itu atas dasar
keharusan menjaga maslahat atau tidak. Kelompok ini
disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-Qiyas.
3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir
lafal dan pertimbangan makna/illat) dalam suatu bentuk yang
tidak merusak pengertian zahir lafal dan tidak pula merusak
kandungan makna/illat, agar syari'ah tetap berjalan secara
harmonis tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok
Rasikhin.138
Dalam pandangan Asafri, dalam rangka memahami
maqashid alsyari'ah ini, al-Syathibi tampaknya termasuk dalam

138
Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut al-Syathibi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 89-91
94
kelompok ketiga (rasikhin) yang memadukan dua pendekatan,
yakni zahir lafal dan pertimbangan makna atau illat. Hal ini dapat
dilihat dari tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syathibi139 dalam
upaya memahami Maqashid al-Syari’ah, yaitu :
1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan yang
terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum
dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain.
Artinya kembali kepada makna perintah dan larangan secara
hakiki. Perintah harus dipahami menghendaki suatu yang
diperintahkan itu agar diwujudkan dan larangan menghendaki
agar sesuatu yang dilarang itu dihindari dan dijauhi. Cara
pertama ini diarahkan untuk memahami ayat-ayat dan hadits-
hadits yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah.
2. Melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat dalam
Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada
yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Jika illatnya
tertulis, maka harus mengikuti kepada apa yang tertulis itu,
dan jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan tawaquf
(tidak membuat suatu putusan). Keharusan tawaquf ini
didasari dua pertimbangan. Pertama, tidak boleh melakukan
perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash.
Perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa
mengetahui illat hukum sama halnya dengan menetapkan
hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya tidak diperkenankan
melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah
ditetapkan oleh nash, namun hal ini dimungkinkan apabila
tujuan hukum dapat diketahui. Sesungguhnya inti dari dua
pertimbangan ini adalah bahwa dalam masalah muamalah
dibolehkan melakukan perluasan jika tujuan hukum mungkin
diketahui dengan perluasan tersebut.

139
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Riyadh: Maktabah
alRiyadh al-Haditsah, tth ) hlm. 104
95
3. Melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at) dalam
pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat
mengandung dua kemungkinan yaitu kebolehan dan larangan.
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalah, sikap
diamnya syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-hal
yang bersifat ibadah sikap diamnya syari' mengandung
larangan. Dari sikap diamnya syari' ini akan diketahui tujuan
hukum.
Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah Nabi s.a.w
wafat merupakan contoh sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi
s.a.w belum dijumpai faktor yang mendesak untuk membukukan
Al-Qur'an tersebut. Namun selang beberapa waktu kemudian
terdapat faktor yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an.
Sikap diamnya Nabi s.a.w dalam hal ini dapat dipahami bahwa
pembukuan itu dibolehkan atau dibenarkan. Apabila dilihat cara
mengetahui Maqashid al-Syari’ah seperti yang telah disebutkan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama lebih diarahkan
pada aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek muamalah, dan
cara ketiga pada keduanya. Cara-cara tersebut merupakan
kombinasi cara mengetahui Maqashid al-Syari’ah melalui
pendekatan lafal dan pendekatan makna. Kombinasi ini dirasa
sangat penting dalam rangka mempertahankan identitas agama
sekaligus mampu menjawab perkembangan hukum yang muncul
akibat perubahan-perubahan sosial.140

2.1.5 Hubungan antara Maqashid al-Syari’ah dengan


Metode Ijtihad

140
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid al-Syari’ah Dalam Hukum Islam,
(Sultan Agung: Jurnal Vol. XLIV No. 118 Juni – Agustus 2009) hlm. 126-127
96
Hubungan antara Maqashid al-Syari’ah dengan beberapa
metode Ijtihad atau penetapan hukum dapat dikemukakan dalam
beberapa aspek maslahat yang disandarkan pada maqashid as-
Syari’ah dapat dilihat dari :
a. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti mengukur, menyamakan dan
menghimpun atau ukuran, skala, bandingan dan analogi. Adapun
pengertian qiyas secara istilah adalah “menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang
disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat
hukum antara keduanya”141 qiyas sebagai metode Ijtihad dipakai
hampir semua Mazhab hukum dalam Islam, walaupun
pemakainya dalam intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
qiyas termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafaq ‘alaih
(disepakati) setelah al-Qur‟an, hadits dan ijma‟. Masuknya qiyas
kedalam dalil yang disepakati dapat ditinjau dari berbagai
pertimbangan, antara lain:
1. Kedekatan qiyas dengan sumber hukum dalam mekanisme
penalaran ta‟lili (‘illat hukum)
2. Pertimbangan pertama menjadikan qiyas sebagai langkah awal
proses panggalian hukum. Upaya ke arah pemikiran analogi
dianjurkan oleh Allah dalam al-Qur’an.142
Contoh qiyas adalah mengkonsumsi narkotika merupakan
perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedangkan tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Untuk
menetapkan hukumnya ditempuh dengan cara qiyas yaitu
menyamakan perbuatan yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkkan nash, yaitu perbuatan meminum khamr, berdasarkan
Qs. Al-Maidah/5: 90. Yang artinya: Hai orang-orang yang
141
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hlm. 270
142
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid ... hlm. 135
97
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan,
Maqasyid Syari’ah dan ‘Illat

Al-‘illat dalam kajian usul fiqh adalah “sifat yang


ijadikan oleh al-Syāri’ (Pembuat syariah) sebagai manāṭ (kaitan,
patokan) bagi penetapan hukum berdasarkan persangkaan
sebagai sarana merealisasikan tujuan Syariah dalam
penetapan hukum”143 Atau “sifat yang tampak (ẓāhir) dan terukur
(munḍabit) yang karenanya hukum ditetapkan”.144

Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul fiqh


meletakkan beberapa syarat bagi ‘illat, secara umum ada empat
syarat, yaitu sifat tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur
(munḍabit), bisa diberlakukan kepada realitas atau hal yang lain,
tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan mu’tabarah dalam arti
tidak ada teks yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak
dipakai.145 Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada ta’līl al-
ahkām, khususnya dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para
ulama membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah.
Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah ta’abbud dan
berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan kebiasaan
hukum asalnya adalah melihat kepada makna dan maqasid,
sebagaimana kaidah:

143
Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a
System Approach, (Herndon: IIIT, 2008) hlm. 4
144
Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqasid al-‘Amah, .... hlm. 68
145
Jasser Auda, Maqashid al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā,
diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A.pdf
diakses pada 27 April 2021, hlm. 5
98
‫ وفي‬,‫األصل في العبادات التعبد دون اإللتفات إلى المعانى والمقاصد‬
146
‫المعامالت اإللتفات إلى المعانى واألسرار والمقاصد‬
Artinya: Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah ta’abbud
dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan
kebiasaan hukum asalnya adalah melihat kepada makna
dan maqasid, sebagaimana kaidah

Berkenaan dengan ini mereka membuat kaidah:

147
‫الحكم يدور مع علته وجودا وعدما‬
Artinya: Hukum berputar bersama ‘illat-nya, berlaku pada saat
ada ‘illat-nya dan tidak berlaku pada saat hilang ‘illat-
nya.

Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak


berpedoman pada ta’līl alahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm al-
Dhahiri beserta pengikut mereka yang dikenal dengan Mazhab
Dhahiri. Mereka menolak untuk mengaitkan hukum dan teks-teks
syariah dengan ‘illat serta mengajak untuk mengamalkan teks
semata tanpa mencari ‘illat hukum, sehingga hukumnya tidak bisa
diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut. Dengan
demikian mereka adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai
salah satu sumber hukum.148 Kelompok yang berdekatan dengan
mereka adalah ulama yang mengakui ta’līl al-ahkām, namun
mempersempit ruangnya hanya pada illat yang disebutkan pada
teks, dan tidak memberlakukan ‘illat yang berdasar pada akal dan

146
Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt Fī Usūl al-sharī’ah, Vol. 2, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t), hlm. 228 lihat juga, al-Qardhawi, al-Siyāsah al-
Shar’iyyah fi Dhaw’ Nusus al-Shariah wa Maqasidiha, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1998), hlm. 272
147
Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt Fī... hlm. 288
148
Yusuf al-‘Alim, al-Maqashid al-‘Amah, 126
99
logika, sehingga mereka tidak lepas dari teks dan tidak melakukan
qiyas kecuali yang illatnya ditetapkan dalam teks.149

Konsep ta’līl al-ahkām merupakan dasar dari konsep


Maqashid al-Syari’ah sebagai filosofi penetapan hukum. Karena
itu Mazhab al-Dhahiri menolak penggunaan Maqashid al-
Syari’ah dalam penentuan hukum, sebagaimana sebagian ulama’
mengakui Maqashid al-Syari’ah, namun membatasinya pada apa
yang ada pad teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada
selain obyek teks tersebut. Sedang mayoritas ahli usul fiqh
menekankan pentingnya penggunaan Maqashid al-Syari’ah
sebagi instrumen penetapan hukum berdasarkan pengakuan
mereka pada ta’līl alahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi
menyatakan bahwa ta’līl al-ahkām dan mengaitkannya dengan
hikmah dan kemaslahatan telah menjadi kesepakatan (ijma’)
ulama’ kecuali sebagian kecil saja.150

Menjadikan Maqashid al-Syari’ah sebagai ‘illat


sebagaimana di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini
karena Maqashid al-Syari’ah dan hikmah berbeda dengan ‘illat
sebagaimana didefinisikan oleh ulama’. Walaupun ‘illat
merupakan representasi dari maqasid dan hikmah, namun secara
spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat
sebagaimana di atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi
pada maqashid dan hikmat al-Syari’ah. Karena itu Auda
menekankan pentingnya penggunaan Maqashid al-Syari’ah
sebagai manaṭ hukum sebagaimana ‘illat. Dia mengusulkan
alternatif kaidah baru sebagai pengganti kaidah lama, yaitu:

149
Jasser Auda, Maqashid al-Ahkām,... hlm. 14
150
Yusuf al-Qardhawi, al-Siyāsah al-Shar’iyyah,... hm. 262-263
100
‫تدور• األحكام الشرعية العملية مع مقاصدها وجودا وعدما كما تدور• مع‬
151
‫علتها وجودا• و عدما‬
Artinya: Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama
maqāṣhid (tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama
illat-nya, ada atau tidak ada.

Lebih lanjut, Jasser Auda menggagas maqashid al-syarīah


dengan pendekatan system sebagai pisau analisis dalam kajian
hukum Islam. Menurut Auda, penggunaan Maqashid al-Syari’ah
dengan pendekatan system ini harus memperhatikan semua
komponen yang ada dalam system hukum Islam, yaitu cognitive
nature (pemahaman dasar), wholeness (Keseluruhan), openness
(keterbukaan), interrelated hierarchy (hirarki yang saling terkait),
multi-dimensionality (multi dimensionalitas) dan purposefulness
(orientasi tujuan) hukum Islam.152

b. Maslahah Mursalah
Mayoritas ulama ahli fiqh menerima metode maslahah al-
mursalah. Karena tujuan maslahat adalah menarik manfaat
menghindarkan bahaya dan memelihara tujuan hukum Islam
untuk agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia.153 Para
ulama menggunakan metode tersebut dengan memberikan
beberapa persyaratan, agar dapat dijadikan sebagai dasar hukum
adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan termasuk dalam kategori daruriyyat, artinya
bahwa untuk menetapkan satu kemaslahatan, tingkat

151
Jasser Auda, Maqashid al-Ahkām, ...hlm. 9
152
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as…, hlm. 45-55
153
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam-Ghazali;
Maslahah Mursalah dan Relevansinyadengan Pembaharuan Hukum Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
101
keperluanya harus diperhatikan jika sampai mengancam lima
unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
2. Kemaslahatan bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan
maslahat jika benar-benar telah diyakini sebagai maslahat,
tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
3. Kemaslahatan bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu
berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual.
Berdasarkan persyaratan tersebut, maslahat yang
dikemukakan oleh para ahli ushul iqh dapat difahami bahwa
hubungan antara metode maslahat almursalah dengan maqāṣhid
as-Syari’ah sangat erat.154
c. Saddu Zari’ah
Secara etimologi saddu zari’ah terdiri dari dua kata, yaitu
saddu artinya menutup, menghalangi, sedangkan zari’ah artinya
jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau maknawi,
baik atau buruk. Kata zari’ah didahului dengan saddu yang artinya
menutup, maksudnya menutup jalan terjadinya kerusakan.155
Secara terminologi pengertian saddu az-z|ari’ah adalah
Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). 156
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik menurut nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya mengunakan saddu az-
zari’ah. Namun demikian, ada nash yang mengarah kepadanya,
yaitu QS. al-An’am/6: 108 yang artinya: Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas

154
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999) hlm. 128
155
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. V; Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 424.
156
Andewi Suhartini, Ushul fiqh (Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 156.
102
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.157
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah swt.
melarang memaki sesembahan kaum musyrik sekalipun dalam
makian tersebut mengandung kemaslahatan. Namun jika
dilakukan hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar
daripada kemaslahatan itu sendiri, yaitu balasan orang-orang
musyrik dengan mencaci Allah swt.158 Selain ayat tersebut di atas
juga terdapat kaidah fiqh sebagai berikut: Mencegah
kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik
kemaslahatan.
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia akan dapat
terealisasi jika kelima unsur pokok kehidupan manusia dapat
terealisasi dan dipelihara yakni agama atau keyakinan, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
al-Syatibi membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi
tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat,159
dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam al-Syatibi
menyimpulkan160

Bahwa keterkaitan antara tingkatan-tingkatan almaqasid


dapat diuraikan sebagai berikut: (1) maqashid daruriyat
merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (2)
kerusakan pada maqasid daruriyat akan membawa kerusakan pula
pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (3) sebaliknya,
157
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta:
Diponegoro, 2005), hlm.112
158
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan hlm. Salim Bahreisy dan
hlm. Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004), hlm. 272
159
Hamka, Al-Syathibi Aspek .... hlm. 103
160
Nurcholish Madjid, dkk. fiqh Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif Fluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 11
103
kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak
dapat merusak maqasid daruriyat. (4) kerusakan pada maqasid
hajiyat dan maqasid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang
dapat merusak maqasid daruriyat. (5) pemeliharaan maqasid
hajiyat dan maqasid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan
maqasid daruriyat secara tepat. Dengan demikian, jika kita
perhatikan, maka ketiga tingkatan al-maqasid tersebut tidak dapat
kita pisahkan satu dengan yang lain. Tingkat hajiyat merupakan
penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan
penyempurnaan bagi tingkat hajiyat, sedangkan daruriyat menjadi
pokok hajiyat dan tahsiniyat.

Keterkaitan antar ketiga kemaslahatan tersebut merupakan


ruh yang terdapat dalam Islam, dan saling menyempurnakan.
Penekanan utama dalam kemaslahatan tersebut adalah
kemaslahatan primer (daruriyat), karena menjadi kebutuhan
mendasar bagi setiap manusia untuk meneguhkan dimensi
kemanusiaannya. Jika nilai-nilai tersebut dilanggar, maka dapat
dipastikan bahwa hak dan identitas kemanusiaan akan berkurang,
karena sejatinya, nilai-nilai tersebut harus menjadi pijakan politik,
ekonomi dan keberagamaan, sehingga pandangan politik,
ekonomi dan keberagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu
kemanusiaan, seperti kebebasan beragama, berpendapat dan
berekspresi, hak reproduksi, hak hidup, hak atas kepemilikan harta
benda dan lainnya.161
161
Nurcholish Madjid, dkk. fiqh ….. hlm. 12. Para ahli ushul
sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara lima hal, yakni: (1)
agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta dengan peringkat
kepentingan berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama dapat
dikatakan
sebagai kebutuhan primer. Maslahat dalam kelompok kedua dapat disebut
sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, jika kelima hlm. pokok dalam kelompok
ini tidak dapat terpenuhi, tidak akan mengancam keberadaannya, melainkan
akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan
mashlahat dalam kelompok ketiga erat kaitannya untuk menjaga etika sesuai
dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam eksistensi
104
Sebagaimana diketahui bahwa al-masalih menurut
pandangan ahli ushul mencakup ibadah, muamalah, dan adat
dalam tiga tingkatan, yaitu, al-masalih addharuriyah merupakan
tingkatan pertama, al-masalih al-hajiyah berada pada tingkatan
kedua, dan terakhir al-masalih at-tahsiniyah sebagai pelengkap.
Kegelisahan akan terjadi manakala kita mencermati karakteristik
unsur-unsur pada tingkatan ad-dharuri dan at-tahsini.162

al-Dharuriyah terdiri dari lima unsur seperti disebutkan di


atas. Perumpunan unsur-unsur tersebut dalam bingkai ad-dharuri
memunculkan pertanyaan yaitu apakah al-dharuri hanya terbatas
pada lima unsur saja? dan mengapa lima unsur itu dikhususkan
pada masalih ad-dharuriyah? Adalah tidak mungkin
mengidentifikasi aldharuri hanya terbatas pada lima unsur semata,
di samping tidak memenuhi syaratsyarat logika, juga tidak
menggunakan metodologi yang cermat, di samping itu juga
terkesan kurang detail karena masih terbuka pintu masuk bagi
unsur-unsur lain ke dalamnya. Sehingga tidaklah mengherankan
jika sebagian ahli ushul memasukkan al-'ardh (harga diri) dan
al-'adl (keadilan). Lagi pula antara satu unsur dengan unsur yang
lain masih sulit dibedakan. Misalnya, melindungi jiwa dan
melindungi akal tidak dapat dipisahkan sehingga satu dengan
yang lain tidak ada yang menjadi prioritas. Spesifikasi dari lima
unsur tersebut juga tidak jelas terutama antara unsur-unsur
tersebut dengan sumbernya. Misalnya ad-din menjadi salah satu
unsur ad-dharuri, namun kalau dicermati istilah ad-din identik
dengan istilah syariah.

kelima hlm. pokok itu. Dengan kata lain bahwa kebutuhan dalam kelompok
ketiga lebih bersifat komplementer. Lihat, Amir Mu'allim dan Yusdani,
Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 55-
56
162
Baca, Asmuni. “Studi Pemikiran al-Maqasid (Upaya Menemukan
Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal Mawarid, Edisi XIV Tahun
2005, h.173
105
Melihat pertimbangan ini, maka al-ushul al-khamsah (lima
jenis dharuriyat) harus diposisikan pada tingkatan al-qiyam al-
akhlaqiyah al-'ulya (nilai-nilai moral yang tertinggi). Sepertinya
inspirasi sebagian kaum ushuli terutama Syatibi dengan as-sabgah
al-akhlaqiyah (karakter etika) terhadap al-ma'ani al-khamsah,
menggiring mereka untuk berpendapat bahwa semua agama
sepakat untuk melindungi lima unsur dalam addharuriyat dengan
klaim bahwa kelima makna tersebut bersifat abadi dan diakui oleh
fitrah manusia yang sehat

Jenis-jenis al-masalih sesungguhnya, tidak mungkin


terbatas pada lima unsur, dan tidak mungkin pula terpisah dengan
nilai-nilai moral (al-qiyam al-akhlaqiyah), di samping itu makarim
al-akhlaq pun masuk ke semua tingkatan al-masalih
mengharuskan konstruksi baru dalam pengklasifikasian al-
masalih. Klasifikasi almasalih16332 yang relevan dengan situasi
dan kondisi sosial masyarakat saat ini harus memenuhi kriterium
sebagai berikut; Pertama, qiyam al-naf’i wa ad-dharar (nilai-nilai
manfaat dan madarat). Nilai-nilai (al-qiyam) yang masuk dalam
kriteria ini adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan jiwa,
kesehatan, keturunan, dan harta.

Kedua, qiyam al-husn wa al-qubh (nilai-nilai baik dan


buruk) atau dapat disebut al-masalih al- ‘aqliyah. Artinya bahwa
al-ma'ani al-akhlaqiyah dapat menegakkan berbagai kebajikan dan
keburukan (al-mahasin wa al-maqabih) yang mencakup seluruh
konstruksi kejiwaan dan intelektual. Kemaslahatan yang masuk
dalam al-ma'ani ini tidak terbatas, antara lain rasa aman dan
merdeka, pekerjaan, keselamatan, kebudayaan, dan dialog Ketiga,
qiyam as-salah wa al-fasad (kerbaikan dan kerusakan) atau di
sebut al-masalih arruhiyah. Artinya al-ma'ani al-akhlaqiyah yang
dapat menegakkan semua al-masalih dan al-mafasid dan

163
Asmuni. “Studi Pemikiran al-Maqasid .... hlm. 174-175
106
mencakup seluruh potensi spritual dan moral. Termasuk dalam
bagian ini adalah agama dari aspek spritual keagamaan, semisal
al-ihsan, ar-rahmah, al-mahabbah, khusyu', dan tawadu'.

2.1.6 Urgensi Maqashid al-Syari’ah


Kajian teori Maqashid al-Syari’ah dalam hukum Islam
adalah sangat penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut. Pertama, hukum Islam adalah
hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi
umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan
perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam
yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada
beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan
sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan
setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam,
dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori Maqashid al-
Syari’ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya
perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w,
para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga,
pengetahuan tentang Maqashid al-Syari’ah merupakan kunci
keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan
tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar
sesama manusia dapat dikembalikan.164
Abdul Wahhab Khallaf, 165 menyatakan bahwa nash-nash
syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh
seseorang yang mengetahui Maqashid al-Syari’ah (tujuan hukum).
Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya,
Wahbah al-Zuhaili,166 yang mengatakan bahwa pengetahuan
164
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid al-Syari’ah Dalam Hukum Islam,
(Sultan Agung: Jurnal Vol. XLIV No. 118 Juni – Agustus 2009) hlm. 119
165
Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-
Da'wah al- Islamiyah, 1968), hlm. 198
166
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), hlm. 1017
107
tentang Maqashid al-Syari’ah merupakan persoalan dharuri
(urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat
istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui
rahasia-rahasia syari'ah. Memang, bila diteliti semua perintah dan
larangan Allah dalam AlQur'an, begitu pula suruhan dan larangan
Nabi s.a.w dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan
terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada
yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam,
yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang
ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam
surat, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus: "Dan tidaklah Kami
mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam" (Al-
Anbiya': 107) Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat tersebut di
atas diartikan dengan kemaslahatan umat.
Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan
sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.
Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat
mengetahui dan memahami motif dibalik penetapan suatu hukum,
yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik
dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan
rasionalisasi. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat dijelaskan
sendiri oleh Allah, sebagaimana yang termaktub dalam ayat
berikut: "Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan
tenteram". (QS. Al-Ra'd: 28) "Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari perbuatan keji dan munkar". (QS Al-'Ankabut: 45) Memang
ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung
oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat
rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang
dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah
berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja
barangkali rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal
manusia.

108
Kandungan Maqashid al-Syari’ah dapat diketahui dengan
merujuk ungkapan al-Syathibi,167beliau mengatakan bahwa
sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya
syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan
jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan
segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang-
jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang
mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua
manusia. Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang
menjadi bahasan utama dalam Maqashid al-Syari’ah adalah
hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh,
hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas
dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya
(mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang
keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan
hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud
disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.
Dewasa ini, di antara yang mendorong kita melakukan
studi tentang maqashid syari’ah dan memahami kaidah-kaidah
dan kriteria-kriterianya adalah karena ilmu maqashid ini adalah
ilmu ulama-ulama terdahulu yang sempat ‘hilang’. Akibatnya,
pemikiran hukum Islam mendekati statis (jumud) dan tidak
mampu merespons kebutuhan hidup manusia yang terus
berkembang secara dinamis. berkaitan dengan ini, Muhammad
Thahir ibn ‘Asyur telah menjelaskan tentang sebab-sebab mundur
dan tertinggalnya fiqih, di antaranya, adalah karena para ulama
atau ahli hukum mengabaikan maqashid syari’ah dalam
penetapan hukum-hukumnya. Ibn ‘Asyur (1984: 200),
mengungkapkan: “Mengabaikan maqashid adalah menjadi sebab

167
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi ... hlm. 6
109
dalam kevakuman yang massif bagi para ahli fiqih, dan tindakan
untuk membatalkan hukum-hukum yang bermanfaat.”168
Oleh karena itu, maka sesungguhnya menghidupkan
kembali fiqh maqashid adalah kerja mendesak untuk
memperbaharui fiqh dan memperkuat peran dan kedudukannya
dalam masyarakat. Sejalan dengan itu, ‘Allal al-Fasi
mengungkapkan: “Sesungguhnya para fuqaha` pembaharu yang
sedikit, bekerja keras membawa fiqh Islami ke pantai kesuksesan
hingga fiqh itu dikaitkan dengan maqashid syari’ah dan dalil-
dalilnya, sehingga mereka merasa nyaman menerapkannya di
mahkamah-mahkmah dan negara-negara Islam.” 169 Thaha Jabir
al-‘Alwani dalam muqaddimah buku Ahmad ar-Raisuni, sebagai
berikut: “Dan kami membangun fiqh maqashid supaya dapat
merealisasikan identitas kami, dan kami membangun pemikiran
pemikiran kontemporer, dan kami mempersiapkan peran kami,
dan kami mendirikan tonggak kesaksian peradaban atas petunjuk
fiqh peradaban kami.”
Dengan demikian, bagi seorang mujtahid atau ahli hukum
memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah maqashid ini
merupakan suatu keniscayaan. Sebab, urgensi atau arti penting
kaidah-kaidah maqashid ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tujuan-tujuan universal hukum syara’, hikmah-
hikmah, dan maslahat-maslahat yang terdapat dalam hukum-
hukum syara’. Selain itu,dengan kaidah-kaidah maqashid ini,
seorang mujtahid atau ahli hukum Islam akan lebih mudah dan
lebih leluasa dalam mengambil kebijakan dalam menetapkan
hukum-hukum yang sesuai dengan situasi kontekstual masyarakat
yang selalu berkembang secara dinamis. Tidak hanya itu, dengan

168
Ibn ‘Asyur, Muhammad athThahir.Maqashid asy-Syari’ah al-
Islamyah, (Tunis: asy-Sirkah at-Tunisiyah, 1984) hlm. 200
169
Al-Fasi, ‘Allal. t.t. Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha,
(aRyadh: Maktabah al- Wahdah al-‘Arabiyah. t.t). hlm. 161.
110
kaidah-kaidah maqashid ini seorang mujtahid atau ahli hukum
Islam kontemporer dapat memperlihatkan identitas dan dapat
memainkan perannya dalam pengembangan peradaban dunia
kontemporer.
Apalagi Di zaman milenia saat, tampak bahwa
kemashlahatan manusia terus maju dan berkembang sejalan
dengan kebutuhannya. Kemashlahatan manusia ini tidak terbatas
macamnya dan tidak terhingga jumlahnya. Ia senantiasa
bertambah dan berkembang mengikuti situasi dan kondisi
masyarakat. Di samping itu, perbedaan lingkungan alam
sekitarnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
hukum-hukum syari’at. Suatu kaidah mengatakan “Fatwa hukum
itu berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan
niat”.170 Suatu contoh praktis untuk membuktikan pengaruh
lingkungan terhadap hukum-hukum Syari’ah ini seperti yang
dilakukan Imam Syafi’i ketika ia berada di Iraq dan di Mesir.171
Dalam hal ini, mengkomperatifkan pendapat semua
golongan, yang pro dan yang kontra terhadap mashlahat ini, maka
nyatalah berpegang kepada mashlahat dan menjadikannya sebagai
dasar hukum adalah merupakan suatu keharusan. Inilah yang
relevan dengan keuniversalan dan fleksibiliti syari’at Islam yang
senantiasa dinamis. Dinamika hukum-hukum itu berlaku sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat, dan jalan inilah yang telah
banyak ditempuh oleh para sahabat dan fuqaha’.172

170
Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2005), hlm. 230.
171
Banyak pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam bidang fiqh yang
berubah, sehingga dia mempunyai qaul qadim dan qaul jadid. Qaul jadid
berbeda dengan qaul qadim yang telah disusun dan dipraktekkannya sewaktu
masih tinggal di Bagdad.
172
Misran, Al-Mashlahah Mursalah (Suatu Metodologi Alternatif
dalam Menyelesaikan Persoalan Hukum Kontemporer). ( Jurnal Justisia: Pusat
Jurnal Ar-Raniry Vol 1, No 1 2016)  hlm. 21
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Justisia/article/view/2641/1894
111
Menolak mashlahat uang sebagai alat tukar berarti
membekukan syari’at, karena berbagai mashlahat yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat tidaklah mudah didasarkan
kepada suatu dalil tertentu (selain mashlahat). Lagi pula
berpegang kepada mashlahat tidaklah kontradiksi dengan kesatuan
dan kesempurnaan syari’at. Bahkan dialah yang membuktikan
kesempurnaan syari’at itu dan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang berbeda adat tradisi, tempat, situasi
dan kondisinya; di samping terus menerus menghadapi
problematika yang baru muncul. Mengenai kekhawatiran terhadap
orang-orang yang menyalahgunakan dasar hukum (mashlahat) ini,
tidaklah bisa dijadikan argumentasi untuk menimbun sumber
syari’at yang kaya raya ini. Ulama salaf secara kontinue
menggunakan dasar mashlahat.
Sesungguhnya menyandarkan penolakan mashlahat
kepada golongan Hanafi dan Syafi’i tidaklah tepat, sebab banyak
sekali dalam praktek fatwa-fatwa mereka yang di’illatkan dengan
mashlahat, bukan dengan qiyas.Tidak ada yang menolak bahwa
imam Hanafi mendasarkan fatwanya kepada istihsan. Demikian
juga Imam Syafi’i tidak ada yang menyangkal bahwa setelah
pindah ke Mesir, banyak menggunakan dasar ‘urf masyarakat
Mesir dan meninggalkan ‘urf masyarakat Bagdad. Padahal
menjaga ‘urf itu sesungguhnya menjaga mashlahat. Imam
Haramain mengatakan bahwa Imam Syafi’i terkadang
menggunakan mashlahat dengan syarat bahwa mashlahat itu harus
serupa dengan kepentingan yang diakui oleh syari’at.173
Seandainya kemashlahatan yang senantiasa tumbuh dan
berkembang itu tidak diperhatikan, sementara yang diperhatikan
terbatas pada kemashlahatan yang ada nashnya saja, niscaya
banyaklah kemashlahatan manusia akan mengalami kekosongan
hukum. Ini berarti bahwa tujuan syari’at untuk mewujudkan
173
Muhammad Abu Zahrah, Malik...., hlm. 403
112
kemashlahatan ummat tidak terpenuhi. Apabila telah terjadi hal
yang demikian itu, maka dapatlah diyakini secara pasti bahwa
ijtihad segala corak realisasinya haruslah diterima, sehingga bagi
setiap peristiwa mesti ada jalan keluar (upaya melakukan ijtihad).
Dengan demikian, mashlahat itu sangat diperlukan di dalam
kehidupan masyarakat modern yang serba canggih dewasa ini,
karena apabila kita berpegang kepada dalil yang sudah disepakati
saja, maka aturan permainan di dalam agama akan mengalami
kekakuan, kebekuan dan tidak lincah, bahkan mengalami
stagnansi yang berkepanjangan sepanjang masa.174
Mempelajari ilmu maqashid al-syari’ah yang melingkupi
segala aspeknya menurut Ahmad ar-Raisuni merupakan hal yang
urgen karena dapat memberikan faedah pengetahuan. Adapun
faedah itu menurut Ahmad ar-Raisuni adalah:

1. Maqashid Sebagai Kiblat Para Mujtahid Dalam pandangan


Ahmad ar-Raisuni, kalangan mujtahid akan mendapatkan
manfaat yang besar jika mereka mengkaji maqashid
alsyari’ah. Minimal orientasi perhatian mereka akan selalu
tertuju pada kemaslahatan di balik sisi lahirnya teks al-Qur’an
dan Hadits. Dalam konteks ini, Ahmad ar-Raisuni membagi
kalangan fuqaha yang menjadi kiblat para mujtahid ke dalam
tiga kategori, yaitu al-Ittijah al-Maqashidi, al-Ittijah al-Lafdzi,
dan al-Ittijah at-Taqwili.175
174
Misran, Al-Mashlahah Mursalah ...hlm. 22
175
Al-Ittijah al-Maqashidi, yaitu kalangan ulama yang tafsirnya
berorientasi kepada maqashid al-syari’ah, mereka berkeyakinan bahwa sahib
an-nas (Allah dan Rasulnya) memiliki tujuan tertentu dari setiap khitab
(statementnya) dengan mendalami penyebab, tujuan dan inti dari kemaslahatan
yang ada dalam nash sehingga mereka mampu menganalogikan masalah-
masalah baru yang terjadi dengan dalil-dalil nash sebagai representasi dari
konsep maslahah. Kelompok ini dikenal proporsional dalam menyandarkan
tafsirnya terhadap maqashid al-syari’ah. Mereka adalah para fuqaha yang
mengakui konsep qiyas sebagai sumber dalam penggalian hukum. AlIttijah al-
Lafdzi, yaitu aliran yang hanya menyandarkan pada sisi lahir nash tanpa
memandang apa yang ada di sebaliknya, mereka meyakini bahwa kemaslahatan
113
2. Maqashid Sebagai Metode Berfikir dan Menganalisa
Meskipun kadar kemanfaatan dalam mempelajari maqashid
alsyari’ah tergantung pada kadar pemahaman yang didapat,
setidaknya dengan ini manusia akan memiliki pola pikir dan
cara pandang ke arah yang lebih positif. Bahwa sebelum
mengerjakan sesuatu, manusia akan mempertimbangkan
prioritas tujuan yang harus dicapai.176
3. Membuka dan Menutup Sarana Menurut Ahmad ar-Raisuni,
orientasi membuka dan menutup sarana adalah contoh
aplikatif dari kaidah maqashid al-syari’ah yang berkaitan
dengan membedakan antara tujuan (al-maqashid) dan
perantara (al-wasa’il). Hakikat dari point ini adalah, bahwa
dengan mempelajari maqashid al-syari’ah, maka kita akan
mampu memberi status hukum boleh-tidaknya jalan atau
proses yang menuju ke muara suatu perbuatan. Misalnya,
apabila “tujuan”nya merupakan perbuatan yang dilarang,
maka “sarana”nya pun juga dilarang, dan sebaliknya.177
4. Memperhatikan Tujuan-Tujuan Manusia Dengan mempelajari
maqashid al-syari’ah, seorang fuqaha atau mujtahid akan
mampu memberikan apresiasi dan pertimbangan terhadap

tidaklah akan keluar dari teks. Mereka adalah kelompok Zahiriyyah yang tidak
mengakui qiyas sebagai salah satu metode dalam penggalian hukum.
Sedangkan al-Ittijah at-Taqwili, yaitu aliran yang berlebihan dalam
menyandarkan tafsirnya terhadap maqashid al-syari’ah. Mereka beranggapan
bahwa maslahah ada suatu bentuk yang berdiri sendiri yang mengakar pada
lima dasar pokok syari’at meskipun tanpa dilandasi dalil nash yang mendukung
atau menolaknya. Teori dan kaidah yang telah ditetapkan oleh para pakar
maqashid tidak mereka jadikan acuan, sehingga apa yang mereka upayakan
dalam tafsirnya terkesan serampangan. Ulasan lebih lanjut lihat Ahmad ar-
Raisuni, AlFikr Al-Maqashid, ... hlm. 90-134.
176
Dalam hal ini, Ahmad ar-Raisuni mengutip ungkapan hikmah
bahwa: “orang yang cerdas bukanlah mereka yang dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk kemudian memilih yang baik, akan tetapi mereka
yang mampu membedakan antara yang paling baik diantara yang baik dan yang
paling membahayakan diantara yang membahayakan.” Lihat Ahmad arRaisuni,
Al-Fikr Al-Maqashid, ... hlm. 76.
177
Imam al-Qarafi, al-Furuq, juz II, hlm. 33.
114
tujuan-tujuan hidup manusia. Artinya bahwa seorang fuqaha
atau mujtahid bisa mempertimbangkan dan memposisikan
maqashid al-syari’ah sebagai indikator utama dalam
berinteraksi sosial.
5. Maqashid Menghilangkan Kejenuhan dan Memupuk Etos
Kerja Ahmad ar-Raisuni berpendapat, jika manusia tidak
mengetahui tujuan dari perbuatannya, tidak mengetahui titik
akhir atau manfaat dari kegiatannya, maka ia akan cepat
merasa bosan, malas, ragu, bahkan dapat menghentikan
kegiatannya.178 Oleh karena itu, maqashid al-syari’ah
memberikan kesadaran penuh kepada manusia untuk
memahami tujuan di balik perintah dan larangan yang
ditetapkan oleh Allah. Sehingga dengan memahami tujuannya
itu, maka harapannya adalah segala bentuk perintah dan
larangan yang ditetapkan oleh Allah dapat dilaksanakan
dengan tekun dan istiqomah.
6. Maqashid Sebagai Perangkat Dakwah Islamiyyah Faedah lain
dari mempelajari maqashid al-syari’ah adalah seorang
pendakwah bisa memahami kondisi sosial masyarakatnya,
kondisi di mana ia berdakwah, dan kondisi zaman pada waktu
ia berdakwah. Di samping itu, seorang pendakwah juga bisa
memahami subjek dawah, dalam konteks ini yang dimaksud
adalah pemahamanpemahaman tentang seputar agama

2.2 Aurat Menurut Pendapat Para Ulama


2.2.1 Dasar Hukum Tentang Aurat (Al-Qur’an dan hadits)
a. Dalil Al-Qur’an Tentang Aurat
1. QS. An-Nur (24): 30, Artinya: “Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian

178
Ar-Raisuni, Ahmad, Nadzariyat al-Maqashid ind al-Imam al-
Syatibi, Virginia: Ma’had ‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995. hlm. 115
115
itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat".
Berdasarkan Ayat tersebut di atas Allah SWT.
memerintahkan kepada laki-laki yang beriman agar mereka
menahan pandangan matanya terhadap hal-hal yang diharamkan.
Oleh karena itu janganlah mereka melihat kecuali apa yang
dihalalkan, dan hendaklah mereka menahan pandangannya dari
wanita-wanita yang mahram. Untuk itu apabila pandangan mata
mereka melihat sesuatu yang diharamkan tanpa sengaja,
hendaklah ia memalingkan pandangan matanya dengan segera
darinya.179 Imam Muslim di dalam kitab sahihnya meriwayatkan
hadits dari Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id, dari Abu
Zar'ah ibnu Amr ibnu Jarir, dari kakeknya Jarir ibnu Abdullah Al-
Bajali r.a. menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi
s.a.w. tentang pandangan spontan, maka beliau memerintahkan
agar ia segera memalingkan matanya ke arah lain.
2. QS. An-Nur (24): 31, Artinya: “Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
179
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan
H. Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004).
116
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung”.
Berdasarkan ayat di atas Sayyid Sabiq berpendapat bahwa
bahagian tubuh wanita yang dibolehkan untuk dilihat hanya yang
tampak saja sesuai dengan kalimat illaa mââ zâhâra minhââ,
Yang dimaksud dengan yang nampak itu adalah muka dan telapak
tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah tutup
kepala, bukan penutup muka dan yang dimaksud dengan jaib
adalah dada. Para wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan
kain penutup kepala dan melebarkannya sampai menutupi
dadanya. 180
Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut kebiasaan adat
dan ibadah dalam Islam, wajah dan dua telapak tangan itulah yang
biasanya kelihatan, sehingga pengecualian dalam ayat 31 Surah
An-Nur merujuk kepada dua bahagian tubuh tersebut. Selain dari
itu wajib ditutup, hal ini berdasarkan juga satu riwayat dari Asma
binti Abu bakar bahwa ia pernah ditegur oleh Rasulullah s.a.w;
“Hai Asma‟, sesungguhnya wanita yang sudah balig tidak boleh
tanpak dari badannya kecuali ini, lalu Rasul menunjuk wajah dan
dua telapak tangannya”.181
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, hendaklah mereka
menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka
sebagaimana perintah kepada kaum laki-laki mukmin untuk
menahannya, dan di samping itu janganlah mereka menampakkan
hiasan, yakni bagian tubuh mereka yang dapat merangsang laki-

180
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Dar- Al-Kitab Al-Arabiy, tt), jilid I,
h.114.
181
Al-Qurthubiy, Tafsir Ul-Qurthubiy, (Kairo: Dar Al-Sya’ b,t.t). Jilid
VI, hlm. 4621
117
laki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali terlihat tanpa
maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah dan telapak
tangan. 182
3. QS. Al-Ahzab (33): 59, Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-
isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya183 ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Berdasarkan ayat di atas al-Maraghi mengatakan bahwa
perempuan harus menutup seluruh tubuh mulai dari atas kepala
dengan jilbab, dan boleh menampakkan satu mata saja. Penafsiran
ini diambil dari perintah Allah kepada Nabi agar menyuruh
wanita-wanita mu’minat dan muslimat, khususnya para istri dan
anak-anak perempuan beliau, untuk mengulurkan jilbab pada
tubuh mereka, apabila mereka keluar dari rumah, dan juga untuk
membedakan mereka dengan budak.184 Begitu juga menurut Al
Qurthubiy, ayat 59 dari Surat Al-Ahzab turun sebagai teguran atas
kebiasaan wanita-wanita Arab yang keluar rumah tanpa
mengenakan jilbab, sehingga kaum laki-laki sering mengganggu
mereka, dan mereka diperlakukan seperti budak. Untuk mencegah
hal itu, maka turunlah ayat tersebut. 185 Kewajiban menutup aurat
adalah juga dimaksudkan untuk membedakan antara wanita
terhormat dan wanita jalanan. Hal ini berdasarkan sebab turunnya
ayat tersebut.

182
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 326
183
Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup
kepala, muka dan dada.
184
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha
Putra Semarang,1992), hlm. 63.
185
Al-Qurthubiy, Tafsir Ul-Qurthubiy, (Kairo :Dar Al-Sya’b, t.t). Jilid
VI, hlm. 4621.
118
4. Q.S. Al-A’raaf (7): 26, Artinya: “Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.
Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-
mudahan mereka selalu ingat.”
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini sebagai berikut: Hai
anak keturunan Adam, Kami telah berikan nikmat kepada kalian.
Kami ciptakan pakaian sebagai penutup aurat dan penghias diri.
Tetapi ketakwaan adalah pakaian terbaik yang dapat memelihara
diri dari siksaan. Nikmat-nikmat tersebut merupakan bukti atas
kekuasaan dan kasih sayang Allah agar manusia ingat akan
keagungan-Nya dan keberhakan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan
yang patut disembah. Kisah di atas juga merupakan ketentuan
Allah di alam raya yang menjelaskan balasan akibat melanggar
perintah Allah, sehingga manusia menjadi terus ingat, berusaha
taat kepada Allah dan mensyukuri semua nikmat.186
Allah memberikan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya,
yaitu berupa penciptaan pakaian dan perhiasan bagi mereka. Kata
“al-libaasu” dalam ayat tersebut berarti penutup aurat. Sedangkan
kata “ar-riyaasy” dan “ar-riisu” berarti sesuatu yang digunakan
untuk menghiasi diri. Jadi pakaian merupakan sesuatu yang
bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai
pelengkap dan tambahan semata.187
Allah telah mempersiapkan pakaian dan perhiasan, tetapi
pakaian taqwa adalah lebih baik dari pakaian kain atau bulu.
Dimaksudkan dengan taqwa ialah iman dan amal saleh.188 Jadi,

186
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…
187
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier…
188
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an Al-Hakim al-Syahrir bi
tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar) Jus VIII. Hlm. 360

119
dalam ayat tersebut di atas nyata sekali dikatakan bahwa Allah
menjadikan pakaian bagi manusia agar mereka menutup aurat.
Tetapi Al-Quran sendiri memberi nama pakaian wanita islam
yang betul dan baik dengan pakaian taqwa yaitu pakaian menutup
seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
b. Dalil HaditsTentang Aurat
Terdapat sejumlah hadits yang berkaitan dengan aurat,
antara lain sebagai berikut:

1. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda,


“Barang siapa mengenakan pakaian seraya menariknya
dengan maksud tampil dalam keadaan sombong, maka Allah
SWT tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Ummu
Salamah bertanya, “Bagaimana dengan yang diperbuat oleh
kaum wanita dengan pakaian mereka yang memiliki ‘ekor?”
Rasul s.a.w menjawab, “Boleh mengulurkannya sejengkal”.
“Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap” kata Umu
Salamah. “Diulurkan lagi sehasta dan tidak boleh lebih dari
itu.” (HR. At-Turmudzi dan dianggap shahih olehnya).
2. Rasululullah s.a.w bersabda yang artinya “Tidak boleh
seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan perempuan
melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-
laki bersatu dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan
tidak boleh seorang wanita bersatu dengan wanita lain dalam
satu kain, dan telah menceritakannya kepadaku tentangnya
Harun bin Abdullah dan Muhammad bin Rafi’ keduanya
berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Fudhaik
telah mengabarkan kepada kami adh-dhahhak bin Utsman
dengan isnad ini dan keduanya berkata dengan menggantikan

120
kata “Aurat” dengan “telanjang” seorang laki-laki dan
perempuan.189
3. Selanjutnya hadits riwayat Abu Dawud. Aisyah  ra
berkata: “Suatu ketika Asma bint Abi Bakr ra masuk ke rumah
Rasullah s.a.w. Saat itu dia memakai baju yang tipis dan
tembus pandang. Rasulullah s.a.w berpaling darinya seraya
berkata: “Wahai Asma, seorang perempuan apabila sudah
mencapai (umur) haid, dia tidak layak untuk dilihat, selain ini
dan ini”, Rasulullah menunjuk kepada muka dan kedua
telapak tangan beliau”. hadits ini cukup populer  di kalangan 
penulis fikih, padahal jalur periwayatannya (sanad) dianggap
bermasalah. Abu Dawud, perawi hadits ini, menyatakan 
hadits ini lemah karena sanadnya terputus (maqthu’), tidak
tersambung langsung dengan penyampai berita.190 Khalid bin
Duraik, yang  menerima hadits ini dari Aisyah, adalah orang
yang tidak banyak dikenal (majhul) di kalangan  pakar
hasdits . Duraik tidak mendengar langsung hadits ini dari
Aisyah, karena tidak pernah bertemu, sehingga
periwayatannya tidak bisa diterima.
Periwayatan hadits   ini menyimpan tiga kemungkinan.
Pertama, Khalid menerima hadits dari orang lain selain
Aisyah, dan untuk alasan tertentu dengan sengaja ia
mengklaim dari Aisyah. Dalam hal ini, ia dianggap tidak jujur,
dan orang yang tidak jujur tidak berhak meriwayatkan hadits .
Kedua, ia lupa dari siapa ia mendengar hadits tersebut,
sehingga kemudian tanpa sengaja meriwayatkannya dari
Aisyah. Dalam keadaan ini juga ia tidak pantas meriwayatkan
hadits , karena pelupa. Ketiga, ia menulis hadits sendiri, lalu

189
Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Haid“Haramnya Melihat
Aurat”(ttp.: Dar al-Fikr, 1981) IV : 30 Hadits/Nomor 512, Hadits Riwayat
Muslim dari Abd Ar-Rahman Ibn Abi Sa’id al-Khudriyyi dari ayahnya
190
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz IV, hlm. 62
121
mengklaim dari Aisyah. Yang ini cukup fatal, karena hadits
dianggap palsu (maudlu’) dan harus ditolak mentah-mentah.
4. Begitu juga hadits riwayat Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari
kakeknya dia berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah,
dimanakah kami harus menutup aurat kami dan dimana kami
boleh menanggalkannya (tidak terjaga)?." Beliau bersabda:
"Jagalah auratmu kecuali di hadapan istrimu atau budak
wanitamu." Aku berkata lagi; "Kalau di hadapan sejenis?."
Beliau menjawab: "Jika kamu mampu, maka jangan sampai
ada orang yang melihatnya!." Aku berkata lagi; "Bagaimana
pendapat anda bila kami dalam keaadaan sendiri? Beliau pun
menjawab: "Di hadapan Allah Tabaraka Wa Ta'ala
hendaknya kamu lebih berhak untuk malu daripada di
hadapan manusia!." 191 Hadits itu menunjukkan bahwa
seseorang tidak boleh telanjang di tempat yang sepi.
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Sa'id Al Khudri; “Aurat
seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya". (HR
Baihaqi). Dalam hadits lain dikatakan; "Tutuplah pahamu
karena paha termasuk aurat”. (HR Imam Malik).192 Menurut
Mazhab Syafi’i, aurat pada laki-laki terletak di antara pusat
dan lutut, baik dalam shalat, thawaf, antara sesama jenis atau
kepada wanita yang bukan mahramnya.193
6. Hadits riwayat Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah. Dari
Aisyah ra, Nabi s.a.w bersabda:“Allah tidak menerima shalat
perempuan kecuali memakai kain penutup kepala”. Hadits ini
sering dijadikan dasar untuk mengatakan  kepala perempuan
adalah aurat yang harus ditutup di dalam shalat, apalagi di luar

191
Imam Ahmad, Musnad Ahmad, No. 9185 (Dar al Ihya' al Turath al
'Arabi 1993).
192
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al Muhtaj, Juz:185 (Dar al-fikr,
1994)
193
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al Muhtaj...
122
shalat. Tetapi, dalam kritik sanad ditemukan ragam penilaian.
At-Turmudzi dan Ibn Hibban, menganggap hadits ini
sahih (otentik), sementara al-Hakim menganggap hadits ini
memiliki kelemahan.194 Dalam menginterpretasikan hadits ini
ada beragam pendapat, karena lafalnya tidak  eksplisit
mayoritas ulama fiqh berpendapat, hanya kepala perempuan
yang dianggap aurat, dan wajah tidak termasuk kepala. Yang
lain menganggap di luar shalat, wajah perempuan termasuk
kategori kepala yang merupakan aurat yang juga wajib
ditutup. Pandangan lain menganggap wajah sebagai aurat,
tetapi dengan mengecualikan dua kelopak mata. Di samping
itu,  pandangan yang lebih moderat oleh mayoritas ulama yang
memperkenankan perempuan pekerja saat itu adalah
perempuan budak (al-amah)  untuk tidak menutup kepala, di
dalam maupun di luar shalat195.
7. Hadits lain riwayat Abu Dawud dari Umm Salamah ra,  Nabi
menyarankan perempuan ketika shalat agar memakai baju
panjang yang menutup telapak kakinya. 196 Beberapa ulama 
menyatakan, perempuan diharuskan menutup telapak kakinya
ketika shalat, seperti yang sering  dipraktekkan  umat Islam
Indonesia. Tetapi, bagi ulama mazhab Hanafi, seperti
dituturkan az-Zayla’i,  hadits ini dianggap lemah, termasuk
oleh Ibn al-Jawzi dan Ibn Hatim.197 Karenanya, ulama Hanafi
memperkenankan telapak kaki perempuan untuk terbuka, di
dalam dan di luar sembahyang.

194
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Nashb ar-Rayah, juz II,
hlm. 295
195
Swararahima, Aurat Perempuan, Batasan yang Tak Bertepi,
buka link: https://swararahima.com/2020/10/23
196
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 640, juz I, (Darul Alamiyyah)
hlm. 173
197
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Nashb ar-Rayah, … hlm.
300
123
8. Kemudian hadits dari Ibn Mas’ud ra,  Nabi Muhammad s.a.w
bersabda: “Perempuan adalah aurat, apabila keluar dari
rumah ia akan disambut oleh setan”.198 Hadits ini cukup
kontroversial, karena menganggap perempuan sebagai aurat,
tanpa ada penjelasan, penentuan atau pembatasan. Karena
ketidak-jelasan ini, mayoritas ulama tidak menjadikannya
sebagai dasar penentuan batas aurat perempuan. Tetapi ada
sebagian ulama yang menerimanya bulat-bulat, sehingga
mengharamkan perempuan untuk menampakkan seluruh
tubuhnya di hadapan publik, karena seluruh tubuh perempuan
adalah aurat, seperti dinyatakan dalam teks hadits ini.
Menurut at-Turmuzi, hadits ini dianggap sahih dan bisa
diterima, walau hanya diriwayatkan dari satu jalur sehingga
tidak banyak dikenal ( hasan gharib). Imam Jalaluddin as-
Suyuthi  menilai hadits ini   sahih.199 Tetapi, at-Turmudzi
sendiri mengatakan bahwa hadits ini tidak begitu dikenal.
Kedua, penilaian as-Suyuthi oleh banyak pakar hadits
dianggap tidak jeli, sehingga masih dipertanyakan dan bisa
dikritisi kembali. Kita masih bisa menguji kembali keabsahan
hadits ini,  melalui kritik materi; apakah  sejalan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam, hadits -Hadits dan realitas sejarah
Nabi.
Pada masa Nabi banyak perempuan  keluar rumah,   shalat,
mencari ilmu ke Mesjid,  bekerja, atau  sekedar memenuhi
kebutuhan mereka.200 Artinya, pada masa Nabi perempuan 

198
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz III, (Pustaka Ilmu, t.t) hlm. 476
199
Ibnul Atsir, Jaami’ al Ushul Fii Ahadits ar Rasul, (Maktabaha al
Halwaani; Mathba’ah al Millah; Maktabah Dar al Bayan, cetakan pertama, thn.
1389 H/1969 M), hal. 575 (Tahqiq, Takhrij, dan Ta’liq oleh: Abd al Qadir al
Arnauth) .
200
lihat Ismail, Bukhari Abu ‘Abdillah Muhammad ibn, al-Shahih al-
Bukhari, 4 jilid (Bairut: Dar Ibn katsir, 1987). no. hadits 553, 827, 835, 857,
858. Lihat juga, Muslim. Sahih Muslim, (Bairut: Dar al-Ilyas Ihya’al-Taras al-
arabi, t.t), Jilid 2.no. hadits 442, 1000, 1483
124
tidak dianggap aurat, yang jika keluar akan disambut oleh
setan-setan. Karenanya perempuan harus mendekam  dalam
rumah. Dalam ilmu hadits dikenal istilah syadz, yang oleh
para pakar dianggap lemah (dla’if) untuk dijadikan dasar
hukum. Meski jalur periwayatan dianggap sah, lafal hadits ini
tidak secara jelas menentukan batas aurat perempuan. Dalam
kaedah ushul fiqh disebutkan idza tatharraqa ‘alaihi al-
ihtimal saqatha ‘anhu al-istidlal. Artinya dasar hukum yang
menggunakan lafal yang tidak jelas (sarat dengan berbagai
penafsiran yang berimbang), tidak bisa dijadikan dasar
ketentuan.  Ungkapan ‘Perempuan adalah aurat’ justru
menjadikan batas aurat perempuan menjadi tidak jelas, bahkan
tidak bertepi.
2.2.2 Pengertian Aurat dan Batasannya
1. Pengertian Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-
nuqshaan al-syai' al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang
mendatangkan celaan). Di antara bentuk pecahan katanya adalah
'awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan
semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena
tercela bila terlihat atau ditampakkan.201 Imam al-Raziy, dalam
kamus Mukhtaar al-Shihaah, menyatakan, "'alaurat: sau`atu al-
insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia
dan semua hal yang menyebabkan malu).202 Dalam Syarah Sunan
Ibnu Majah disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii
minhu yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang
menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika
terlihat).203

201
Al-Bahutiy al-Hambali, Kasyf al-Qanaa' 'an Matan al-Iqna,'
(Maktabah Syamilah), Juz. 1/263.
202
Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, (Dar Musthafa) hal. 461
203
Ibnu Majah, Syarah Sunan Ibnu Majah, (Maktabah nuzuru
Mushtofa al Baz, 2004) juz 1/276
125
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj,
berkata," Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan)
al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan).
Disebut seperti itu, karena menyebabkan celaan jika terlihat.204
Dalam kamus Lisaan al-'Arab disebutkan, "Kullu 'aib wa khalal fi
syai' fahuwa 'aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut
dengan aurat). Wa syai` mu'wirun au 'awirun: laa haafidza lahu
(sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan).205 Imam Syaukani,
di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan; Aurat lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu
yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika
penutup dibuka. Al-A'masy membacanya dengan huruf wawu
difathah; 'awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku
Hudzail dan Tamim.206

Dengan demikian, pengertian aurat adalah anggota atau


bagian dari tubuh manusia yang apabila terbuka atau tampak akan
menimbulkan rasa malu, aib, dan keburukan-keburukan lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, juga dapat disimpulkan bahwa
menutup aurat atau menutupi anggota tubuh tertentu bukan
beralasan karena anggota tubuh tersebut kurang bagus atau jelek,
namun lebih mengarah pada alasan lain, yaitu jika tidak ditutupi
maka akan dapat menimbulkan malu, aib, dan keburukan. Oleh
sebab itu hendaknya manusia menutup bagian tersebut sehingga
tidak dapat dilihat oleh orang lain. Menutup aurat adalah tanda
atas kesucian jiwa dan baiknya kepribadian seseorang. Jika ia
diperlihatkan maka itu bukti atas hilangnya rasa malu dan matinya
kepribadian. Sudah menjadi tugas setan beserta sekutu-sekutunya
dari jin dan manusia, membujuk umat muslimin laki-laki maupun

204
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al Muhtaj... juz 1/185
205
Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, (ttp. 2019) juz 4/616
206
Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1425/1426
H/2005 M) juz 4/51
126
perempuan agar sudi kiranya menanggalkan pakaian-pakaian suci
serta selendang pembalut kehormatan mereka.207
Aurat yang terbuka akan memberi dan juga mendatangkan
dampak negatif bagi yang bersangkutan dan terutama bagi yang
melihat. Seseorang yang tidak berperasaan malu apabila terbuka
auratnya, atau bahkan merasa senang dan bangga apabila auratnya
dipandang dan dinikmati oleh orang lain, hal ini pertanda bahwa
sudah hilang atau berkurang tingkat keimanannya.208
2. Batasan-Batasan Aurat
Agama Islam sebenarnya telah mengatur batasan-batasan
aurat bagi laki-laki dan wanita melalui Al-Qur’an dan hadits . Hal
ini dimaksudkan untuk menanggulangi kasus-kasus eksploitasi
seksual oleh laki-laki terhadap kaum wanita dan hamba sahaya.
Wanita, pada masa pra-Islam dipaksa untuk menuruti segala
bentuk keperkasaan laki-laki dalam berbagai aspek kepengurusan,
baik politik, keluarga, hingga batasan menutup aurat. Sebagai
contoh, dalam asbabun nuzul QS. An- Nur: 31 dikisahkan
beberapa wanita tengah memasuki kebun kurma tanpa
mengenakan busana, sehingga terbukalah dada dan rambut
mereka.209 Kasus tersebut membuktikan lemahnya perlindungan
terhadap hak-hak kehormatan wanita. Oleh sebab itu, kedatangan
Islam dianggap sebagai fase di tengah krisis hak asasi yang
dialami wanita.
Sumber dalil yang menyatakan batasan aurat wanita antara
lain termaktub dalam QS. An-Nur: 31 dan QS. Al-Ahzab: 59,
sedangkan dalil yang mengisyaratkan batasan aurat laki-laki
termaktub dalam QS. An: Nur: 30 dan hadits -Hadits riwayat Anas
207
Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 101 Wasiat Rasul untuk Perempuan, terj.
Muhammad Hafidz, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hlm. 576
208
Abu Mujadiddul Islam Mafa, dan Lailatus Sa’adah, Memahami
Aurat dan Perempuan (Lumbung Insani, 2011), hlm. 26
209
As-Suyuthi, J. Sebab Turunnya Al-Qur’an . Terj. Abdul Hayyie.
(Depok: Gema Insani, 2008). hlm. 134
127
ra, Jarhad ra, dan Aisyah ra. Redaksi QS. An-Nur: 31
memerintahkan wanita beriman untuk menutup pandangan,
memelihara kemaluan, serta menutup seluruh perhiasan dalam hal
ini dimaknai aurat (kecuali yang biasa terlihat). Isyarat lain
terlintas dalam perintah memanjangkan khimar hingga ke bagian
dadanya, serta pengecualian aurat saat berjumpa dengan mahram.
Redaksi ayat QS.al-Ahzab: 31 seolah menegaskan apa yang telah
termaktub dalam redaksi ayat sebelumnya, yakni dengan menyeru
istri-istri Nabi, anak-anak wanita dari istri Nabi, serta seluruh
wanita muslimah untuk menurunkan kain jilbab mereka.210 Sekilas
ketentuan tekstual Al-Qur’an di atas tampak ambigu lantaran tidak
membatasi secara detail batasan-batasan aurat bagi wanita. Hal
yang demikian memancing pemerhati Al-Qur’an dalam menafsiri
batas aurat wanita supaya dapat dikonsumsi dan diterapkan secara
serentak. Berikut ini adalah pendapat ulama dalam menafsirkan
batas aurat baik antara wanita dengan suaminya, wanita dengan
wanita, wanita dengan pria, laki-laki dengan laki-laki dan laki-laki
dengan wanita:
a. Batasan aurat wanita dengan suaminya
Terkait apakah ada batasan aurat wanita di depan
suaminya sendiri, maka tidak ada terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama empat Mazhab, bahwasanya diperbolehkan bagi
suami melihat seluruh tubuh istrinya tanpa kecuali begitu juga
menyentuhnya. Antara keduanya tidak ada batasan-batasan aurat.
Berdasarkan firman Allah SWT di dalam QS. Al-Mu’minun: 5-7:
yang artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya
(5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (6)
Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya),
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.(7).
Begitu juga dalil lainnya adalah QS. Al-Baqarah : 187 artinya:
“(Isteri-isteri kamu) mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun menjadi pakaian bagi mereka”.
210
As-Suyuthi, J. Sebab Turunnya .... hlm. 136
128
Maksud pakaian bagimu dimaknai oleh para mufassir
bahwa tubuh suami menjadi pakaian buat istrinya, sehingga di
hadapan suaminya, dan sebaliknya wanita adalah pakaian buat
suaminya. Antara pakaian dan aurat yang ditutupi tidak ada
batasan atau jarak melainnya pakaian itu sendiri kiasan dari suami
yang berfungsi sebagai pakaian, yang menutupi aurat wanitanya.
Sehingga antara keduanya tidak ada batasan. Tidak adanya
batasan aurat antara suami istri dikuatkan dengan hadits nabawi.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w dan
istrinya, Aisyah radhiyallahuanha, ketika mereka mandi berdua.
Hal itu diriwayatkan oleh Aisyah dalam hadits berikut ini: Aisyah
berkata:“Aku dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mandi
bersama dalam suatu wadah yang sama sedangkan kami berdua
dalam keadaan junub”. (HR. Bukhari dan Muslim)211
Kendati boleh bagi suami melihat keseluruh tubuh istrinya
tanpa batas, hanya saja mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah
memakruhkan suami melihat langsung ke kemaluan istrinya atau
sebaliknya, begitu juga Al-Hanafiyah mereka berpendapat bagian
dari adab suami istri untuk tidak melihat secara langsung
kemaluan masing-masing.212 Dasar dari makruhnya atau kurang
beradabnya melihat kemaluan istri atau suami adalah hadits
berikut ini : “Bila kamu melakukan hubungan badan dengan
istrimu maka gunakanlah penutup, janganlah telanjang bulat.”
(HR. Ibnu Majah).
b. Batasan aurat wanita dengan wanita
Batasan aurat wanita muslimah dengan wanita muslimah
adalah seperti batasan antara laki-laki dengan laki-laki, yaitu

211
Ismail, Bukhari Abu ‘Abdillah Muhammad ibn, al-Shahih al-
Bukhari, … no. 316, Muslim, Sahih Muslim, … no. 321
212
Asy-Syirbini, Mughni Muhtaj, jilid 1 hlm. 134, Ibnu Qudamah, al-
Mughni, Jilid 7, hlm. 100-101, Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi,
Tabyin al Haqaiq...jilid 2, hlm. 215.
129
hanya antara pusar dan lutut. Sehingga diperbolehkan bagi wanita
muslimah melihat kepada wanita muslimah lainnya selain antara
pusar dan lutut selama tidak menimbulkan syahwat atau aman dari
fitnah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syirbini dalam
kitabnya Mughni al-Muhtaj: “Aurat wanita muslimah yang telah
baligh dengan wanita muslimah lainnya seperti batasan antara
laki-laki dengan laki-laki, dan boleh melihat kepada selain pusar
dan lutut selama aman dari firnah. Dan akan menjadi haram jika
memandang kepada selain pusar dan lutut dengan syahwat atau
khawatir (besar kemungkinan) akan menimbulkan fitnah”. 213
Aurat wanita muslimah di depan wanita non muslim
menurut jumhur ulama adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan
telapak tangan, sepertri halnya auratnya di depan laki-laki non
mahram. Ini merupakan pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah, dan
yang paling masyhur dan shahih dari Syafi’iyah. Sebagaimana
dalil QS. An-Nur: 31; Artinya: ... atau wanita-wanita mereka....
Kata “wanita mereka” menurut penafsiran jumhur ulama artinya
wanita-wanita mereka dari kalangan muslimah. Kata ganti orang
ketiga ”mereka” kembali ke wanita-wanita muslimah. Karena ayat
ini khitab atau turun dan ditujukan buat mereka. Sehingga wanita-
wanita muslimah tidak boleh menampakkan auratnya kecuali di
depan sesama wanita muslimah lainnya. Argumen yang
memperkuat dilarangnya wanita muslimah membuka dan
memperlihatkan saddu dzari’ah, karena kalau diperbolehkan
melihat kepada aurat wanita muslimah, dikhawatirkan mereka
membuka dan ataupun menceritakan aib atau aurat wanita
muslimah nantinya kepada lakilaki non muslim.214
Pendapat berbeda dari jumhur ulama adalah pendapat dari
Mazhab Hambali dan sebagian dari Mazhab Syafi’i bahwa
batasan aurat wanita muslimah di depan wanita non muslim
213
Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj,Jilid 3, hlm. 13
214
Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Jilid 3, hlm. 131
130
adalah seperti batasan aurat mereka di depan wanita muslimah
lainnya, yaitu antara pusar dan lutut. Karena kesamaan jenis di
antara mereka. Mereka juga memahami bahwa ayat di atas yang
digunakan jumhur maknanya adalah ”wanita mereka” mencakup
secara umum dari kalangan muslim atau pun non muslim. 215 jadi
menurut Mazhab Hambali dan sebagian dari Mazhab Syafi’i tidak
mengapa terlihat atau terbuka aurat wanita muslimah di depan
wanita non muslim selain bagian antara pusar dan lutut.
c. Batasan aurat wanita dengan mahram laki-lakinya

Mahram sebagaimana disebutkan di sini adalah mereka


yang haram dinikahi selama-lamanya, baik karena ada hubungan
nasab, pernikahan ataupun persusuan sebagaimana disebutkan
dalam surah An-Nisa ayat 23. Antara wanita dengan mahramnya
ini Islam memberikan kelonggaran terkait aurat. Keempat Mazhab
fiqh sepakat boleh terlihat rambut, boleh terlihat kaki, tidak
sebatas wajah dan tangannya saja yang boleh terlihat. Dan
masing-masing mereka punya batasan tersendiri terkait aurat
wanita muslimah di depan mahramnya.216
1. Dalam Mazhab Hanafi terjadi perbedaan pendapat, pendapat
pertama menyamakan aurat wanita muslimah di depan
mahramnya seperti auratnya seorang laki-laki dengan laki-laki
lainnya, yaitu hanya antara pusar dan lutut, selain antara
keduanya itu semuanya boleh terlihat. 217 Sementara pendapat
kedua menyatakan bahwa yang boleh terlihat dari wanita di
depan mahramnya hanya bagian-bagian yang biasa nampak
dan dipakaikan perhiasan, yaitu seperti kepala, leher, dada,
lengan, betis dan kaki. Selainnya seperti perut, paha,
215
Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 7, hlm. 105 dan Asy-Syirbini,
Mughni al-Muhtaj, jilid 3, hlm. 131
216
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi,
Fiqh Empat Mazhab...
217
Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’I fi Tartib Asy-Syara’i, jilid 6, hlm.
2961
131
punggung itu bukan bagian yang biasa nampak dan dipakaikan
perhiasan, sehingga tidak boleh terlihat.218 Pendapat kedua ini
berdasarkan firman Allah QS. An-Nur: 31 yang artinya: Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak..., Mereka menafsirkan makna dari
menampakkan perhiasan itu adalah tempat yang di sana
dipakaikan perhiasan. Maka semua anggota tubuh yang biasa
wanita pakaikan perhiasan di sana, boleh terlihat bagian-
bagian tersebut oleh mahramnya.219
2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa yang boleh terlihat dari
wanita di depan mahramnya anggota-anggota yang biasa
nampak ketika di rumah seperti kepala, kaki, dan tangan.
Selainnya seperti dada, perut, punggung dan paha tidak boleh
terlihat. Ad-Dardir salah seorang ulama Malikiyah
menyatakan:220 “Aurat wanita di depan mahramnya selain
wajah dan athraf, yaitu seperti kepala, kedua tangan dan kaki.
Diharamkan baginya memperlihatkan dada, payudara, dan
lainnya di depan mahramnya seperti ayahnya, meskipun
melihatnya tanpa syahwat”.
3. Mazhab Syafi’i dalam hal ini berpendapat seperti pendapat
pertama kalangan Mazhab Hanafi, bahwa aurat wanita di
depan mahramnya hanya antara pusar dan lutut, selainnya
boleh terlihat oleh mahramnya. Inilah pendapat yang masyhur
di kalangan Mazhab Syafi’i. Al-Khatib Asy-Syirbini
menyebutkan:221 Tidaklah seorang laki-laki melihat kepada
mahram wanitanya, baik mahram karena nasab, persusuan
ataupun pernikahan antara pusar dan lutut. Bagian tersebut

218
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq… jilid
6, (Kairo: al-Mathba’ah al Amiriyah, 1313H), Cet. Ke-1 hlm. 19
219
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq…
220
Ad-Dardir, Aqrabul Masalik Ma’a Syarh Ash-Shagir Li AdDardir,
jilid 1, hlm. 106
221
Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, jilid 1 hlm 134
132
haram untuk melihatnya, sedangkan melihat selainnya
dibolehkan selama tidak disertai syahwat.
4. Mazhab Hambali pendapat yang masyhur di kalangan Mazhab
Hambali bahwa aurat wanita di depan mahramnya seluruh
tubuhnya kecuali anggota-anggota yang biasa nampak, tidak
ditutupi kalau berpakaian di rumah, seperti leher, kepala,
tangan dan kaki, tidak pada anggota-anggota yang biasanya
tertutup atau tidak terlihat. Ibnu Qudamah menyebutkan dalam
kitabnya Al-Mughni: 222 Boleh bagi laki-laki melihat kepada
mahramnya kepada anggota-anggota badan yang biasa
nampak pada umumnya seperti leher, kedua telapak tangan
dan kedua tapak kaki, atau selainnya, dan tidak boleh kepada
anggota-anggota yang ditutupi pada umumnya, seperti dada,
punggung dan lainnya. Namun ada juga pendapat yang lain di
dalam Mazhab Hambali bahwa aurat wanita di depan
mahrammnya hanya antara pusar dan lutut. Ini merupakan
pendapat dari al-Qadhi Abu Ya’la. Ibnu Qudamah
menjelaskan bahwa batasan bolehnya melihat bagian-bagian
yang biasa nampak seperti kepala dan lainnya di atas berlaku
bagi wanita di depan mahramnya yang muslim ataupun
kerabatnya yang masih kafir. Dalilnya adalah hadits Nabi: 223
Bahwasanya Abu Sufyan datang ke Madinah dan masih dalam
kondisi musyrik menemui puterinya Ummu Habibah dan
ketika itu Ummu Habibah melipat kasur Rasulullah agar Abu
Sufyan bisa duduk di atasnya, dan kondisi Ummu Habibah
ketika itu tidak memakai hijab dan rasul juga tidak
menyuruhnya mengenakan hijab. Perlu diketahui, Ummu
Habibah adalah salah seorang istri dari Rasulullah, puteri dari
Abu Sufyan. Nama asli beliau adalah Ramlah binti Abu
Sufyan.

222
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid. 7, hlm. 98
223
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid. 7, h. 98
133
d. Batas aurat wanita dengan laki-laki bukan mahram

Mazhab Hanbali membatasi aurat wanita di hadapan


mahram laki-laki pada seluruh bagian tubuh, kecuali wajah,
kepala, tangan, telapak kaki, mata kaki, dan betis. Sedangkan
aurat wanita di hadapan laki-laki bukan mahram adalah seluruh
tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Mazhab Maliki
membatasi aurat wanita di hadapan mahram laki-laki pada seluruh
bagian tubuh kecuali kepala, leher, tangan dan kaki. Sedangkan
aurat wanita di hadapan laki-laki bukan mahram adalah seluruh
tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.224 Mazhab Syafi’i
membatasi aurat wanita di hadapan laki-laki mahram hanya pada
bagian pusar hingga lutut. Sedangkan aurat wanita di hadapan
laki-laki bukan mahram meliputi seluruh bagian tubuh, tak
terkecuali wajah dan telapak tangannya. 225 Mazhab hanafi
membatasi aurat wanita di hadapan laki-laki baik mahram
maupun bukan mahram pada seluruh bagian tubuh kecuali wajah
telapak tangan, serta bagian antara mata kaki sampai telapak kaki.
Jadi mayoritas pendapat di atas membedakan aurat wanita di
hadapan laki-laki mahram dan bukan mahram.
e. Batas aurat laki-laki dengan laki-laki
Mazhab Hanafi membatasi aurat laki-laki dengan laki-laki
lainnya pada bagian pusar hingga lutut, dimana lutut termasuk
bagian yang harus ditutupi lantaran sebagai dari paha. mazhab
Maliki hanya membatasi aurat laki-laki di hadapan laki-laki hanya
pada kedua lubang (kelamin dan dubur). Mazhab Syafi’i
membatasi aurat laki-laki di hadapan laki-laki pada bagian pusar
hingga lutut, dengan catatan, bagian lutut bukan termasuk aurat.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh mazhab Hambali. Dari
paparan di atas, mayoritas mazhab sepakat akan kewajiban
224
An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, (Ttp, Darel Fikr,
Tth) jilid. 3, hlm. 173
225
An-Nawawi, al-Majmu’....hlm. 173
134
menutup bagian pusar hingga lutut, terlepas dari perbedaan
pendapat mengenai lutut itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh tiga
hal: pertama, hadits mengenai terbukanya paha Nabi s.a.w terjadi
lantaran suatu sebab yang tidak terkontrol, yakni peristiwa perang.
Sehingga kondisi berubah menjadi khusus, dan tidak dapat
menggeser ketentuan umum.
Kedua, hadits Anas dan ‘Aisyah tidak cukup kredibel
meruntuhkan kesepakatan redaksi keseluruhan hadits lain pada
tema yang sama, dengan tingkat otentisitas yang sama baiknya.
Ketiga, argumen Aisyah ra mengandung keraguan pada redaksi
terbukanya paha atau betis Nabi s.a.w. Hal ini mengisyaratkan
hanya sebagian paha saja yang terbuka.226 Lantas mengapa
larangan membuka paha disimpulkan dengan bagian antara pusar
hingga lutut, Jika alasannya untuk menghindari rangsangan
sesama jenis, tidakkah bagian dada dan perut laki-laki mampu
menghadirkan rangsangan pula.
d. Aurat laki-laki terhadap wanita
Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa bagi orang lelaki
wajib menutupi antara pusar dan lutut selain di hadapan istrinya
dan anggota badan yang lain boleh dilihat, baik sesama jenis
maupun yang tidak sejenis, baik mahram maupun yang bukan
mahram, supaya aman dari timbulnya fitnah. Sedangkan Maliki
dan Syafi’i mereka berpendapat apabila di hadapan lelaki dan
mahramnya yang wanita ia hanya wajib menutupi antara pusar
dan lututnya saja. Sedangkan apabila di hadapan wanita-wanita
lain (bukan mahramnya), maka semua badan lelaki itu adalah
aurat, dan haram dilihat oleh wanita lain. 227 Dari penjelasan

226
az-Zuhaili, W. Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu. (Kairo: Maktabah
Tawfiqiyah 2003)
227
 Syekh Muhammad Amin (Hasyiyah Ibnu Abidin), Roddul Mukhtar
‘Ala Ad-Durrul Mukhtar, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 2003) jilid. 1, hlm.
375
135
pendapat di atas terdapat sebuah hal menarik, dimana aurat laki-
laki di hadapan wanita semahram berbeda dengan aurat laki-laki
di hadapan wanita bukan mahram. Lantas mengapa hal tersebut
terjadi, Jika alasanya menghindari mazinah al-zina, tidakkah
dimungkinkan ada potensi zina pada laki-laki wanita semahram,
serta menurut Imam maliki dan Syafi’i aurat laki-laki adalah
seluruh badannya (bukan hanya antara pusar sampai dengan lutut
saja).
3. Kategorisasi Aurat
Terkait dengan kategori aurat, Imam Maliki
mengkategorikan aurat perempuan kepada dua macam yaitu:228
1. Aurat mughallazhah seluruh badannya kecuali wajah dan
athrâf (rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki); dan
2. Aurat mukhaffafah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangan dan selain dari aurat mughallazhah.
Apabila terbuka bagian dari aurat mughallazhah dalam
shalat padahal ia mampu untuk menutupnya batal shalatnya dan
wajib mengulangnya. Sedangkan apabila aurat mukhaffafah
terbuka tidak batal shalatnya sekalipun membukanya makruh dan
haram melihatnya.
Aurat berat pada lelaki adalah kemaluan dan dubur,
sedangkan aurat ringan selain dari kemaluan dan dubur adalah
Fahd (paha) menurut mazhab ini bukanlah aurat, mereka berdalil
dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.: “Pada
perang Khaibar tersingkaplah pakaian Nabi dan nampaklah
pahanya”. (HR. Bukhori dan Ahmad). Namun pendapat ini di
rodd oleh para ulama lain karena banyak dalil lain yang lebih kuat
dan tsiqoh.229 Aurat berat wanita seluruh badan kecuali ujung-

228
Ad-Dardir, Aqrabul Masalik Ma’a Syarh Ash-Shagir Li Ad Dardir,
jilid 1, hlm. 106
229
Imam Syaukani, Nailul Authar (Pustaka Azzam, 2018) Juz. 2 hlm.
178
136
ujung badan dan dada.Yang dimaksud ujung badan adalah
anggota ujung badan seperti tangan, kepala dan kaki. Semua ujung
badan itu tidak dianggap aurat berat ketika sembayang. Mazhab
Maliki membataskan apa yang dianggap aurat ringan pada wanita
termasuk dada, lengan, leher, kepala dan kaki. Sedangkan muka
dan dua tapak tangan tidak dianggap aurat langsung.
Muhammad Syahror juga membagi aurat menjadi dua,
yaitu “aurat yang berat (mughallazhah) dan aurat ringan
(mukhaffafah). Aurat berat bagi laki-laki adalah kemaluan, buah
pelir dan daerah pelir, sedangkan aurat ringan selain bagian-
bagian itu. Aurat berat bagi perempuan budak sama dengan aurat
laki-laki ditambah pantat, dan aurat ringan baginya adalah sama
dengan aurat ringan laki-laki. Adapun aurat berat perempuan
merdeka adalah seluruh tubuhnya selain bagian kedua tangan,
kaki, dan bagian dada. Bagian-bagian tersebut adalah aurat dalam
shalat kemudian bagaimana hukum aurat di luar shalat? Jika
merujuk pada kitab-kitab fiqh Empat Mazhab, kita akan
menjumpai pendapat yang menyatakan: diluar shalat mukallaf
harus menutupi auratnya, baik demi kepentingan dirinya maupun
orang lain yang tidak halal untuk dilihat auratnya kecuali dalam
hal-hal darurat, seperti demi pengobatan misalnya.230
2.2.3 Faktor-faktor yang Membolehkan Melihat Aurat
Hasil penelusuran penulis terkait dengan faktor-faktor
yang membolehkan melihat aurat, penulis menemukan 5 faktor
yang membolehkan melihat aurat yaitu: a) Faktor pengobatan, b)
Faktor meminang, c) Faktor persaksian, d) Faktor memandikan
mayat, dan e) Faktor profesi, serta f) Faktor Usia sebagaimana
diuraikan dibawah ini:
1. Faktor pengobatan

230
Muhammad Shahrur, Metodologi fiqh Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008 ), hlm. 508
137
Jika kita melihat pada kebanyakan rumah sakit maupun
klinik, penyakit- penyakit yang khusus ada pada jenis kelamin
tertentu ditangani oleh dokter dengan jenis kelamin yang berbeda
dengan pasiennya. Seperti dokter kandungan misalkan, ternyata
pada hari ini angka dokter spesialis kandungan ini lebih banyak
laki-laki dibandingkan perempuan, bukan hanya itu bahkan di
Indonesia hari ini sudah banyak perempuan menjadi dokter
spesialis andrologi,231yang secara kodrati semestinya menjadi
spesialis seorang laki-laki. Dengan tidak adanya aturan yang
mengikat bahwa spesialis tertentu dipegang oleh dokter sesuai
dengan kodratnya sebagai laki-laki atau perempuan, maka sulit
untuk menghindari terjadinya interaksi lawan jenis yang bukan
mahram dalam proses pengobatan, maka kondisi seperti ini
memerlukan perhatian dari perspektif hukum Islam.
Imam Nawawi rahimahullah, mengatakan bahwa berduaan
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan juga bukan
pasangan suami istri tanpa ada orang ketiga itu diharamkan
menurut ijmak ulama, begitu pula jika berkumpul beberapa orang
laki-laki dan satu orang perempuan, berbeda halnya jika yang
berkumpul adalah satu orang laki-laki dan beberapa perempuan,
namun keharaman ini mendapatkan pengecualian dalam keadaan
dharuriyyat.232 Dalam kondisi-kondisi tertentu yang di luar batas
kemampuan manusia atau pada tingkat kesulitan yang tinggi,
Allah memberikan keringanan atau biasa disebut dengan rukhsah,
dan di antara kondisi yang dapat melahirkan rukhshah tersebut
adalah kondisi Dharuriyyat yang dapat mengancam keselamatan
jiwa.233

231
Andrologi adalah spesialisasi medis yang berhubungan dengan
kesehatan pria, secara khusus kepada masalah-masalah yang berhubungan
dengan sistem reproduksi dan sistem urin pria, alat kelamin dan lain-lain, lihat:
http://id.wikipedia.org/wiki/Andrologi
232
Al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, (Mesir: al-Mathba’ah al-
Mishriyyat), jld. 4.
138
Para ulama sepakat bahwa sakit dalam banyak keadaan
menjadi salah satu kondisi Dharuriyyat yang membolehkan
seseorang untuk menyingkap auratnya kepada dokter yang
berlainan jenis kelamin dengan si pasien, dan ini masuk dalam
kaedah dasar yang disusun oleh ulama: “Kondisi Dharuriyyat
membolehkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang dilarang”.
Kaedah ini menafsirkan adanya pengecualian untuk melakukan
sesuatu yang dilarang pada kondisi yang dapat membinasakan diri
seseorang sehingga sampai memudharatkannya.234 Dharuriyyat
adalah kondisi dimana seseorang dalam bahaya atau kesulitan
yang dapat melahirkan kemudharatan, sehingga mengharuskannya
untuk melakukan perbuatan haram, atau meninggalkan kewajiban
atau menunda kewajiban untuk menolak kemudharatan tersebut.235
Seperti sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah
s.a.w. pada peperangan Khandaq, beliau memerintahkan Sa’ad bin
Muadz yang terkena anak panah untuk berobat dengan seorang
perempuan bernama Rafidah. Perintah ini bukan tidak beralasan,
Rasulullah s.a.w mengatakan “Rafidah adalah perempuan yang
mengerti masalah medis”.236 Meskipun Rafidah adalah seorang
perempuan tetapi dalam peperangan bukanlah perkara mudah
mencari banyak dokter, selain itu Rafidah disebut sebagai wanita
kaya yang membuat kemah instalasi gawat darurat pertama dalam
sejarah Islam. Perintah Rasulullah ini masuk dalam konteks
233
Usamah Muhammad Muhammad al-Shalabiy, Al-Rukhshatu al-
Syar’iyyat, Ahkamuha wa Dhawabithiha,( Iskandariah: Dar al-Iman, 2002),
hlm.114. Lihat juga, Muhammad bin Ahmad bin Juzaiy, al-Kalbiy al-Furnathy
al-Malikiy, Taqrib al-Wushul Ila ‘Ilmi al-Ushul, Tahqiq: Muhammad al-
Mukhtar bin al-Syeikh Muhammad al-Amin al-Syanqity, (Madinah: 2002),
hlm. 23.
234
Ali bin Abd al-Aziz bin Ibrahim al-Mathrudy, Tathbiq al-Qawa’id
al-Fiqhiyyat ‘Ala al- Masail al-Thibbiyyat, (Riyadh: 1428 H), hlm. 33.
235
Wahbah al-Zuhaili, Nadhriyyatu al-Dharuriyyat al-Syar’iyyat
Muqaranat Ma’a al-Qanun al- Wadh’iy (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1985
M), cet. 4, hlm. 68
236
Raghib al-Sarjani, Qhissat al-Ulum al-Thibbiyyat Fi al-Hadharat al-
Islamiyyat (Cairo: Muassasat Iqra’, 2009 M/ 1430 H), hlm. 30
139
kondisi yang tidak normal, yaitu keadaan dharuriyyat yang tidak
mungkin untuk ditawar.237
Menurut Abdul Hamid Kisyik pengobatan dokter laki-laki
terhadap wanita (berlainan jenis kelamin) 238 diperbolehkan dengan
beberapa syarat: 1) Dokter haruslah orang yang bertakwa, dapat
dipercaya, adil, mempunyai keistimewaan dan ilmu pengetahuan
pada bidangnya. 2). Jangan membuka bagian-bagian tubuh pasien
wanitanya kecuali sesuai dengan keperluan pemeriksaan. 3)
Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau
wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau saudara
wanitanya. 4) Seorang dokter tidak boleh non muslim selama
masih ada yang muslim. 239 Selain ke empat syarat di atas, perlu
tambahan persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu di daerah
tersebut tidak ada dokter yang sesama jenis yang mampu
menangani penyakit yang dialami oleh pasien tersebut. Apabila
syarat-syarat di atas sudah terpenuhi maka dokter laki-laki
dibolehkan melihat atau menyentuh bagian-bagian aurat yang
dibutuhkan untuk pengobatan tersebut, karena Islam adalah agama
yang tidak memberikan umatnya kesukaran namun
mengutamakan mashlahat dan kemudahan untuk umatnya.
Sebagaimana MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama)
Aceh sudah mengeluarkan fatwa dalam sidang paripurna – V
dengan temanya “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan
Medis Oleh yang Berlainan jenis dalam pandangan Islam” 240 Di
237
Pola Interaksi Dokter Dengan Pasien Yang Berbeda Jenis Kelamin
Dalam Perspektif Maqashid al-Syari’at. (UIN SUSKA RIAU) hlm. 18. Lihat
link http://repository.uin-suska.ac.id/2491/2/BAB%20I.pdf
238
Maksudnya adalah dokter yang membantu pasien yang berbeda jenis
kelaminnya dengan pasien (dokter laki-laki yang menangani pasien perempuan
atau sebaliknya).
239
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga
Sakinah, alih bahasa Ida Mursida ( Bandung: Penerbit Mizan, 1992 ), hlm. 204-
206
240
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Himpunan Bahan
Keputusan/Hasil Sidang “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan Medis
140
dalam fatwa MPU tersebut di atas menjelaskan bahwa pasien laki-
laki ditangani oleh dokter spesialis laki-laki dan pasien perempuan
ditangani oleh dokter spesialis perempuan hal ini dalam kondisi
ikhtiari, adapun dalam kondisi Dharuriyyat dibolehkan
perempuan berobat pada dokter spesialis laki-laki dan juga
sebaliknya, itu dalam keadaaan sangat mendesak dan tidak bisa
dielakkan (tidak ada pilihan lain), maksudnya dibolehkan pasien
perempuan yang ingin berobat (melahirkan) pada dokter
kandungan laki-laki selama tidak ada dokter spesialis perempuan
yang bisa membantu menangani pasien perempuan tersebut.
2. Faktor meminang
Melihat calon istri atau calon suami, disyariatkan dalam
Islam.  Agar tidak ada istilah menyesal di kemudian hari,
memastikan bahwa mereka menikah karena saling mencintai,
Diceritakan oleh al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa beliau hendak melamar seorang wanita. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran kepadanya, ”Lihat
dulu calon istrimu, karena itu akan lebih bisa membuat kalian
saling mencintai”.241  Dalam hadits lain dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, bahwa ada
seseorang yang menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bahwa dirinya telah menikah dengan wanita anshar.
Nabipun bertanya, “Apakah kamu telah melihatnya?” Jawab
orang ini, “Belum.” Lihatlah calon istrimu, karena di bagian
mata orang anshar ada sesuatu…242
Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan
Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota

Oleh yang Berlainan Jenis Dalam Pandangan Islam”, tp, 2017. Hasil Sidang
paripurna – V , hlm. 64.
241
Imam Ahmad, Musnad Ahmad,… No. 18154, Tirmidzi, Sunan
Turmudzi… No. 1110 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth
242
Muslim, Sahih Muslim, … No. 3550
141
tubuh wanita terkhitbah yang boleh dilihat hanyalah wajah dan
kedua telapak tangan.243 Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas
kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang
sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak
pada wanita pada umumnya di saat bekerja di rumah, seperti
wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan
sesamanya.244 Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur
mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan
untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki,
tidak lebih dari itu.245 Jadi dalam hal berkhitbah ini dibolehkan
kepada laki-laki untuk melihat calon perempuan yang akan
dilamarnya tetapi dalam batas-batas kewajaran saja, sebagaimana
yang diutarakan oleh ulama mazhab tersebut di atas.
3. Faktor persaksian
Diperbolehkan memandang ‘aurat untuk kesaksian sebatas
yang diperlukan dalam kesaksian tersebut, semisal memandang
kemaluan untuk kesaksian tentang zina, mengetahui sudah
baligh/belum dll. Diriwayatkan dari ‘Utsmân ibn ‘Affân bahwa
pernah dihadapkan kepadanya seorang anak yang telah
melakukan pencurian (sampai nishab). Ia berkata, ‘Periksalah
kain penutup tubuhnya’. Orang-orang mendapati anak itu belum
tumbuh rambut (pada kemaluannya). Maka Utsman tidak
memotong tangannya. (HR al-Bayhaqî). Apa yang dilakukan
‘Utsmân ini dilihat dan didengar oleh para sahabat dan tidak
seorang pun di antara mereka yang mengingkarinya, sehingga
menjadi ‘ijma dikalangan sahabat.
4. Faktor memandikan mayat
243
Ibnu Rusyd, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, (t,t,p, al-
Qowaaniinu al-Fiqhiyah, t.th). hlm. 9.
244
Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al- ‘Azazi, Tamamul Minnah fi
al-Kitab wa shohih asSunnah, jilid ke-3, (t.t.p, Darul Aqidah, .t.t.h), hlm. 20
245
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, jilid 9, cet. 10,
(Damaskus: darul fikr, 2007 M – 1428 H), hlm. 34
142
Hukum memandikan mayat bagi orang Muslim yang hidup
adalah fardlu kifayah. Orang yang memandikan mayat sebaiknya
adalah keluarga terdekat dari si mayat, kalau dia tahu cara
memandikannya, kalau tidak ada keluarga yang bisa
memandikannya, baru meminta bantuan orang lain, Apabila mayat
itu laki-laki seharusnya yang memandikan juga laki-laki. Apabila
mayat itu perempuan yang memandikan juga perempuan. Kecuali
untuk anak kecil, maka boleh dimandikan oleh orang yang
berlainan jenis kelamin.
5. Faktor profesi
Perlu pula diketahui bahwa wanita Indonesia secara
kultural berbeda dengan wanita Arab. Wanita Arab pada
umumnya, terutama pada zaman Nabi, tidak disibukkan oleh
pekerjaan-pekerjaan yang berat, karena semua pekerjaan seperti
itu dilakukan oleh laki-laki atau budak-budak mereka. Dalam pada
itu, wanita Indonesia sejak dahulu berdampingan dengan kaum
laki-laki bekerja sama mengurus kehidupannya. Sejak dahulu
wanita Indonesia bekerja di kebun, di sawah, di pantai menjemur
ikan, di pabrik dan sebagainya. Dalam suasana demikian itu, aurat
wanita tidak dapat teertutupi secara normal, yakni ketika wanita
petani bekerja di sawah tergenam air dan Lumpur, memikul
peralatan dan hasil pertanian serta mengolah hasil laut yang
dibawa pulang suaminya, dan ketka mereka bekerja sebagai buru
di pabrik-pabrik.
Dalam fikih, ada ketentuan yang dapat memberikan
keringanan bagi wanita yang bekerja berat seperti itu. Menurut
fikih, wanita budak (dalam dunia modern konsep budak telah
dihapus) memperoleh keringanan dalam soal aurat dengan alasan
hajat untuk meringankan pekerjaan yang ditangani sehari-hari.246
246
Pendapat yang paling masyhur adalah pendapat yang mengatakan
bahwa aurat wanita budak hanya sebatas antara pusat dan lututnya atau sama
dengan batas aurat laki-laki. hal ini sejalan dengan prinsip bahwa aurat wanita
143
Dengan alasan hajat pula, maka sebahagian anggota badan wanita
merdeka yang dinilai aurat di hadapan laki-laki lain, tidak dinilai
aurat di hadapan mahramnya. Dalam dua kasus ini, terdapat
keringanan menyangkut aurat dengan alasan hajat untuk
mempermudah pekerjaan sehari-hari. Meskipun kasusnya
berbeda, tapi wanita petani, nelayan dan buruh sebagaimana yang
disebutkan itu, pekerjaannya juga sangat berat.
Maka menurut metode qiyas, syariat pun memberikan
keringanan kepada mereka, ketika mereka tengah berada dalam
pekerjaannya.apa salahnya, jika wanita yang pekerjaannya
demikian berat diberikan dispensasi untuk tidak menutup
beberapa anggota badannya. Tentu saja hal ini harus dikaitkan
dengan konsep aurat zâtiý dan aurat ‘arîdìý sebagaimana yang
telah dikemukakan. aurat yang dapat didispensasi di sini hanyalah
hanyalah aurat ‘arîdìý yakni jenis aurat yang berubah-ubah
sifatnya menurut keadaan. Akan tetapi harus diingat bahwa
kebolehan terbukanya betis, tangan sampai siku, dan leher tidak
berlaku permanen, hanya berlaku dalam keadaan menyulitkan
ketika bekerja.247 Hal tersebut berbeda halnya dengan wanita karir
yang berpropesi sebagai guru, karyawati, aktifis organisasi,
pembina institusi, direktris perusahaan dan lain sebagainya.
Mereka ini tidak mungkin memperoleh dispensasi (rukhshah)
untuk tidak menutup segenap „aurat sebagaimana mestinya.
Pekerjaan mereka terlalu halus, dan tidak ada hajat yang
mengharuskan mereka membuka betis, tangan sampai siku dan
lehernya. Mereka dapat melakukan pekerjaannya tanpa terganggu
oleh ketentuan segenap auratnya.248
6. Faktor Usia
budak dalam shalat hanya pusat dan lututnya itu. Lihat ibnu qudamah, al-
Mughniy. Riyad: Al-Riyad al-Haditsah, 1980. Juz.I. hlm.115
247
Muhammad Sudirman Sesse, Aurat Wanita Dan Hukum
Menutupnya Menurut Hukum Islam, Universitas Negeri Makassar (UNEM),
(Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 2 Juli-Desember 2016) hlm. 328-329
248
Muhammad Sudirman Sesse, Aurat Wanita .... 329
144
a. Anak kecil
Ada beberapa dalil yang dijadikan pendekatan oleh para
ulama untuk menyimpulkan tentang batasan aurat anak kecil.
Pertama, firman Allah Ta’ala QS. an-Nur: 31 yang artinya: Atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Ayat ini
menunjukkan bahwa anak kecil yang belum tamyiz belum
mengerti aurat wanita. Kemudian disebutkan dalam hadits dari
Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.249

‫صالَ ِة َوهُ ْم َأ ْبنَا ُء َسب ِْع ِسنِينَ َواضْ ِربُوهُ ْم َعلَ ْيهَا‬ َّ ‫ُمرُوا َأوْ الَ َد ُك ْم بِال‬
َ ‫َوهُ ْم َأ ْبنَا ُء َع ْش ِر ِسنِينَ َوفَرِّ قُوا بَ ْينَهُ ْم فِى ْال َم‬
‫ضا ِج ِع‬

Artinya: Perintahkan anak kalian untuk shalat ketika mereka


sudah berusia 7 tahun. Dan pukul mereka (paksa) untuk
shalat, ketika mereka berusia 10 tahun, serta pisahkan
mereka antara anak laki dan perempuan- ketika tidur.
(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani).
Ada 2 usia dalam hadits di atas, usia tujuh tahun yang
mulai diperintah menjalankan shalat. Dan usia 10 tahun yang
sudah harus dipaksa untuk shalat dan tidurnya dipisahkan dengan
saudaranya yang lawan jenis. Berdasarkan hadits di atas, ulama
hambali memberikan rincian. 250
1. Anak yang usianya di bawah 7 tahun, tidak ada aurat. Dalam
arti, orang tua atau orang lain boleh melihat auratnya,
termasuk kemaluannya.
2. Usia 7 sampai 10 tahun. Jika laki-laki batas auratnya adalah
aurat besar, kemaluan depan dan belakang. Jika anak
perempuan auratnya antara pusar sampai lutut.

249
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy ...
250
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy ... dikuti dari link :
https://konsultasisyariah.com/28364-batas-aurat-anak-kecil.html
145
3. Di atas 10 tahun, auratnya sama dengan orang dewasa.
b. Wanita Menapause
Apakah wanita yang sudah tua/menoupose251 boleh
melepas jilbabnya dan terlihat auratnya. karena banyak ibu-ibu
yang sudah tua terlihat leher, lengan atau kakinya berdalih dengan
firman Allah yang Artinya : “Dan perempuan-perempuan tua
yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin
kawin (lagi), mereka tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
bersifat iffah (menjaga kesucian) adalah lebih baik bagi mereka.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur:
60)
Makna ayat: Pertama, perempuan tua yang telah terhenti
(dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin, sebagaimana
Al-Qurthubi menukil perkataan Rabi’ah,
‫ الالتي قعدن عن‬:‫ هي التي إذا رأيتها تستقذرها من كبرها؛ وقال أبو عبيدة‬:‫قال ربيعة‬
‫ قاله المهدوي‬،‫ وليس ذلك بمستقيم ألن المراة تقعد عن الولد وفيها مستمتع‬،‫الولد‬
Artinya: “Rabi’ah mengatakan, “Mereka adalah para wanita
yang jika kamu melihatnya, kamu merasa risih kepadanya karena
sudah tua.” Abu Ubaidah mengatakan, ‘Diterjemahkan para
wanita yang tidak bisa melahirkan anak. Tapi ini tidak sesuai,
karena ada wanita yang tidak bisa melahirkan anak, sementara
masih terlihat indah bagi lelaki. Demikian keterangan al-
Mahduwi.” (Tafsir al-Qurthubi, 12/309) Berarti, termasuk
pemahaman yang tidak benar bahwa wanita menapause pada ayat
di atas yang diartikan sebagai wanita yang tidak haid. Karena
wanita di awal-awal usia menapause masih terlihat menarik.

251
Umur rata-rata wanita menopause pada negara yang sudah
berkembang adalah 51 tahun. Namun pada Negara berkembang seperti Filipina,
Papua Nugini, India, Pakistan dan Tailand umur rata-rata wanita menopause
adalah 45-50 tahun. Dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan usia
menopause. Berdasarkan usia rata-rata umur early menopause adalah 40-45
tahun, menopause normal 45-51 tahun dan late menopause adalah >51 tahun
Baca. (Pathak and Parashar, 2010).
146
Sehingga yang benar, seperti keterangan yang disampaikan al-
Qurthubi, yang dimaksud wanita di sini adalah wanita yang sama
sekali tidak membuat lelaki tertarik, bahkan terasa risih jika
melihatnya.
Kedua, pakaian yang boleh dilepaskan, Pada ayat di atas
ada pernyataan, ‘mereka tidak berdosa untuk menanggalkan
pakaian mereka’. Pakaian apakah yang dimaksud di sini, Yang
dimaksud pakaian di sini adalah pakaian luar, seperti abaya atau
kain penutup luaran. Dan bukan maksudnya membuka aurat.
Al-Alusi mengatakan,
‫يعني الثياب الظاهرة التي ال يفضي وضعها لكشف العورة كالجلباب والرداء والقناع‬
‫الذي فوق الخمار‬
Artinya: Maksudnya adalah pakaian luaran, yang ketika
dilepas tidak menyebabkan terbuka auratnya, seperti jilbab luar,
kerudung luar, atau kain penutup yang berada di atas pakaian.
(Tafsir al-Alusi, 14/11) Bahkan al-Jashas menegaskan bahwa
ulama sepakat siapapun wanita tidak boleh membuka auratnya,
baik tua maupun muda. Al-Jashas mengatakan,
‫ وأنها‬،‫ال خالف في أن شعر العجوز عورة ال يجوز لألجنبي النظر إليه كشعر الشابة‬
‫إن صلت مكشوفة الرأس كانت كالشابة في فساد صالتها‬
Tidak ada perbedaan diantara ulama bahwa rambut nenek-
nenek tidak boleh diperlihatkan kepada lelaki yang bukan
mahram, sebagaimana rambut wanita muda. Dan nenek-nenek
yang shalat dengan kepala terbuka, shalatnya batal sebagaimana
wanita muda.
Lalu al-Jashas mengatakan,
‫ وأباح لها‬،‫إنما أباح للعجوز وضع ردائها بين يدي الرجال بعد أن تكون مغطاة الرأس‬
‫بذلك كشف وجهها ويدها ألنها ال تشتهى‬
Yang dibolehkan bagi nenek-nenek adalah melepaskan kerudung
luar di depan lelaki lain, dengan tetap tertutup kepalanya. Dan dia
boleh membuka wajah dan tangannya, karena tidak ada daya tarik
lagi. (Ahkam al-Quran, 5/196)

147
2.2.4 Hikmah Menutup Aurat
Setiap ajaran dalam Islam mempunyai tujuan tertentu,
termasuk ajaran menutup aurat. Di antara hikmahnya yang terpenting
adalah agar wanita muslimah terhindar dari fitnah kehidupan. Fitnah
yang langsung mengenai aurat ini ialah pelecehan seksual di luar
nikah, yang tentu saja merusak martabat wanita dan merusak
kemurnian keturunan yang timbulkannya. Bahkan ada ulama yang
berpendapat bahwa untuk menghindari kasus seksual secara mutlak,
maka diharamkan atas siapa pun laki-laki (termasuk mahram) untuk
melihat segenap bahagian tubuh wanita, kecuali suaminya sendiri. 252
Di samping itu, menutup aurat juga memberi nilai tambah
bagi kehormatan wanita. Dengan pakaian yang menutup aurat, kita
dapat menilai pribadi wanita yang terhormat dan wanita yang tidak
terhormat. Salah satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Nabi
s.a.w., mengawini Shafiyah, para sahabat berkata: jika Nabi
memerintahkan dia menutup aurat, maka ia tergolong ummahat al-
mukminin, tetapi jika Nabi tidak memerintahkannya, maka ia
hanyalah budak Nabi.253 Menutup aurat juga mempunyai banyak
manfaat dari sudut kesehatan jasmani, bahkan dari sudut ekonomi
terasa lebih hemat.
Ada 10 hikmah atau manfaat yang akan diperoleh jika
seorang menutup auratnya. Selain bisa menghindarikan diri dari
terjerumus ke dalam api neraka, menutup aurat juga akan
melindunginya di dunia. Berikut ini adalah hikmah atau manfaat
lain yang akan diperoleh jika seseorang menutup auratnya.254
1. Menghindarkan diri dari dosa akibat mengumbar aurat

252
An-Ramli, Nihayat ...hlm. 189
253
Ibnu Taimiyah, Hijab Al Ma’ah ...t.t. hlm. 17
254
10 Hikmah Dibalik Perintah Menutup Aurat Bagi Wanita, Lihat
di
https://www.infoyunik.com/2015/11/10-hikmah-dibalik-perintah-menutup.html
148
Hikmah pertama yang akan diperoleh jika seorang
menuntup auratnya adalah dapat terhindar dari dosa akibat
mengumbar aurat. Salah satu penyebab neraka lebih banyak
dihuni oleh kaum wanita adalah karena selama hidupnya mereka
tidak menutup aurat di hadapan orang-orang yang bukan
mahramnya. Untuk itu lebih baik tutuplah aurat karena akan
mendapatkan banyak faedah dibandingkan membukanya.
2. Menghindari fitnah, tuduhan atau pandangan negatif
Seorang wanita yang membuka serta mengumbar auratnya
secara terang-terangan bisa saja dituduh sebagai wanita penggoda,
pelacur ataupun wanita murahan. Oleh sebab itu, dengan menutup
aurat akan menghindarkan diri dari fitnahan yang demikian.
Janganlah sesekali memakai pakaian minim yang memperlihatkan
bagian tubuh yang dapat merangsang lawan jenis dan pada
akhirnya akan menambah beban dosa seorang wanita.
3. Mencegah timbulnya hawa nafsu lawan jenis maupun sesame
jenis
Pada dasarnya, laki-laki normal ataupun wanita normal
akan terangsang apabila melihat lawan jenisnya menampakkan
auratnya, laki-laki atau wanita akan lebih tergoda dengan lawan
jenisnya yang berpakaian seksi. Lain halnya apabila lawan
jenisnya menggunakan pakaian yang menutup aurat, mereka akan
bisa menahan hawa nafsunya dan menghargai lawan jenisnya
tersebut.
4. Menunjukkan diri sebagai orang baik dan bukan orang yang
murahan
Menutup aurat adalah suatu identitas untuk menunjukkan
bahwa orang tersebut adalah orang baik. Ditambah lagi jika
mereka memiliki prilaku yang baik dan sopan maka akan
membuat orang berpendapat bahwa ia adalah orang yang baik dan
bukanlah orang yang murahan.

149
5. Melindungi tubuh dan kulit dari lingkungan
Tidak hanya bermanfaat untuk batin dan rohani saja,
menutup aurat juga memiliki manfaat untuk fisik yakni untuk
melindungi tubuh dan kulit dari lingkungan. Dengan
menggunakan pakaian yang menutup tubuh secara sempurna akan
membuat laki-laki ata perempuan tidak merasa kepanasan saat
matahari bersinar terik dan tidak merasa kedinginan sangat suhu
dingin melanda. Hal yang sama juga terjadi dengan debu dan
kotoran, mereka akan terhalang untuk mengenai kulit secara
langsung karena tertutup pakaian sehingga kebersihan kulit akan
tetap terjaga dengan baik.
6. Mencegah rasa cemburu pasangan hidup kita
Menutup aurat juga akan membuat harmonis hubungan
rumah tangga. Hal ini karena dengan menutup aurat akan
mencegah rasa cemburu dari pasangan hidup. Lain halnya jika ada
seorang istri ata suami yang dengan sengaja tampil seksi dan
membuat cemburu pasangannya karena ada orang lain dan
menggoda bahkan melihatnya dengan pandangan penuh nafsu
syahwat. Untuk itu, hindarilah memakai pakaian seksi dan
tutuplah aurat agar tidak ada perasaan cemburu yang dapat
menghancurkan keluarga.
7. Mencegah terkena penyakit dan gangguan kesehatan
Ada banyak bibit penyakit yang bertebaran di sekitar kita.
Penyakit-penyakit yang dapat muncul ketika kita tampil dengan
aurat terbuka adalah kanker kulit, kulit terbakar, kulit menjadi
hitam, noda flek di kulit dan lainnya. Hal ini dapat dicegah apabila
mengggunkan pakaian yang melindungi tubuh. Untuk itu,
belajarlah untuk menutup aurat agar badan tetap sehat dan
terhindar dari berbagai penyakit.
8. Memberikan sesuatu yang spesial bagi pasanannya

150
Salah satu manfaat dari menutup aurat adalah dapat
memberikan hal yang spesial kepada suami. Orang yang demikian
ini biasanya sangat dihargai dan disayangi oleh pasangan
hidupnya. Terlebih lagi jika mereka bisa menjaga kesucian diri
hingga hari pernikahan.
9. Melindungi diri kita dari berbagai tindak kejahatan
Terutama bagi wanita yang sering buka-bukaan atau tidak
menutup aurat berpotensi untuk menjadi korban kejahatan seperti
perkosaan ataupun tindak kriminal lainnya. Hal ini akan
berbanding terbalik dengan mereka yang senantiasa menutup
auratnya. Orang yang jahat merasa tidak tertarik dengan wanita
yang serba tertutup karena menampilan mereka yang misterisu
membuat pelaku kejahatan menjadi enggan menjahatinya.
10. Menutupi Aib Rahasia Yang Ada Pada Diri Kita
Manfaat terakhir yang akan diperoleh ketika seorang
wanita muslimah ata laki-laki menutup aurat adalah berfungsi
untuk menutup aib rahasia yang ada pada dirinya. Contohnya saja
seperti apabila ada cacat pada tubuh dan kulit akan bisa ditutupi
dengan menggunakan pakaian yang tertutup sehingga tidak
seorang pun yang mengetahui bahwa terdapat kecacatan dalam
dirinya. Lain halnya dengan wanita yang mengumbar auratnya,
aib seperti itu akan mudah untuk diketahui oleh orang lain.
Adapun hikmah secara khusus bagi wanita yang menutup
aurat/mengenakan busana muslimah menurut lajnah pentashihan
mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI adalah sebagai berikut :255
1. Wanita islam yang menutup aurat/mengenakan busana
muslimah akan mendapat pahala, karena ia telah
melaksanakan perintah yang diwajibkan Allah SWT. Bahkan
255
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI Tafsir Al-Qur'an Tematik , hal. 80-81
151
ia mendapat ganjaran pahala yang berlipat ganda karena
dengan menutup aurat, ia telah menyelamatkan orang lain dari
berzina mata.
2. Busana muslimah adalah identitas muslimah. Dengan
memakainya yang beriman telah menempatkan identitas
lahirnya, yang sekaligus membedakan secara tegas antara
wanita beriman dengan wanita lainnya.
3. Busana muslimah merupakan psikologi pakaian, sebab
menurut kaidah pokok ilmu jiwa, pakaian adalah cerminan diri
seseorang. Maksudnya kepribadian seseorang dapat terbaca
dari cara dan model pakaiannya, misalnya seseorang yang
bersikap sederhana, yang bersikap ekstrim akan dapat terbaca
dari pakaiannya.
4. Busana muslimah ada kaitannya dengan ilmu kesehatan/kimia,
karena seorang dokter ahli yang menganalisa rambut secara
kimiawi berkesimpulan bahwa miskipun rambut memerlukan
sedikit oksigen (O2), namun pada dasarnya rambut itu
mengandung fosfor, kalsium, magnesium, pigmen dn
kolesteryl dengan palmitate yang membentuk kholesteryl
palmitate yang sangat labil akibat penyinaran dan radiasi,
sehingga memerlukan pelindung yang dapat memberikan rasa
aman terhadap rambut dan kulit kepala untuk membantu
rambut itu sendiri. Dalam hal ini kerudung sebagai bagian dari
busana muslimah kiranya cukup memenuhi syarat untuk
melindunginya.
5. Memakai busana muslimah ekonomis,dapat menghemat
anggaran belanja dan waktu. Kalau kita pelajari secara detail
perbedaan biaya hidup antara antara wanita memakai jilbab
(busana muslimah) dengan wanita yang suka berdandan dan
tabarruj, akan jelas bagi kita bahwa wanita memakai jilbab
akan lebih hemat dalam biaya hidup. Karena tidak
membutuhkan uang untuk membeli bermacam-macam alat

152
kosmetik dan kurang membutuhkan model-model baju sesuai
dengan perubahan zaman dan perubahan model.
6. Memakai busana muslimah adalah menghemat waktu, berapa
banyak waktu yang diperlukan oleh wanita yang suka
berdandan dan tabarruj di depan cermin, berapa lamanya
waktu untuk memoles wajahnya, menyisir rambutnya, lain lagi
kalau pergi ke salon kecantikan. Kalau yang demikian itu
terjadi setiap hari berapa ruginya waktu yang dipakai. Lain
halnya dengan wanita yang memakai busana muslimah,
mereka relative sedikit butuh waktu untuk mempercantik
dirinya karena mereka itu setiap hari tidak banyak untuk
berdandan. Rambutnya cukup disisir seperlunya, karena
rambut mereka tertutup.

153
BAB III
KLASIFIKSI AURAT MENURUT
PERSPEKTIF ULAMA MAZHAB
3.1 Tinjauan al-Qur’an dan Hadits Terhadap Pendapat
Ulama Mengenai Aurat
Allah SWT menganugerahkan kepada para wanita
keindahan tubuh dan paras yang tidak dimiliki oleh pria. Setiap
lekuk tubuh wanita adalah kehormatannya yang wajib ditutupi
dari pandangan agar tidak menimbulkan birahi yang berujung
pada pelecehan seksual, kekacauan dan pelanggaran terhadap
norma-norma yang telah ditetapkan ajaran agama Islam. Oleh
karena itu, menutup aurat baik bagi wanita maupun pria
hukumnya wajib baik di luar maupun dalam shalat. Bahkan Ibnu
al-Mundzir dan Imam an-Nawawi menegaskan bahwa para ulama
telah sepakat menutup aurat adalah wajib. Namun sebelum
dipaparkan pendapat ulama berkenaan dengan batasan aurat
wanita, maka terlebih dahulu akan dikemukan dalil-dalil dari al-
Qur'an yang sejauh penelusuran penulis terdapat sebanyak 18 ayat
yang menjelaskan tentang aurat, dan hadits-hadits Nabi saw yang
menegaskan kewajiban menutup aurat atas kaum wanita yang di
antaranya sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT
     
        
    … 
Artinya: “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman;
hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan khumurnya ke dadanya…” (QS. an-Nur
[24]:31)
154
Dalam riwayat Bukhari disebutkan dari Aisyah ra berkata:
“Sungguh Allah merahmati para wanita Muhajirin pertama,
ketika Allah menurunkan ayat: “Dan hendaklah mereka
menutupkan khumurnya ke dadanya…”. Mereka langsung
merobek kainnya, lalu mengerudungkannya ke kepala mereka”.
Demikian cepat mereka menjalankan perintah Allah SWT dan
rasul-Nya untuk segera menutup aurat mereka. Kandungan ayat
di atas menegaskan larangan untuk menampakkan perhiasan
kecuali yang biasa nampak. Selain itu, para ulama mengatakan
bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan
anggota tubuh wanita tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika
perhiasannya saja dilarang untuk diperlihatkan apalagi tempat
perhiasan itu berada tentunya termasuk dalam larangan tersebut.
Para sahabat Nabi saw dan ulama telah menafsirkan
maksud dari firmanNya: “kecuali yang biasa nampak”, berikut
ini beberapa pendapat mereka; Menurut Ibnu Umar yang biasa
nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut
Ibnu Abbas dan Imam al-Auza’i, hanya saja Ibnu Abbas
menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas'ud
mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said
bin Jubair mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah.256
Dari penafsiran para sahabat dan ulama tersebut jelaslah bahwa
yang boleh tampak dari tubuh wanita adalah wajah dan kedua
telapak tangannya.
Adapun yang dimaksud dengan kata “Khumur” merupakan
jamak dari kata “Khimar” yang berarti kain penutup kepala atau
kerudung atau selalu juga disebut dengan jilbab. Pada bagian ayat
ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah aurat yang harus
256
Ibnu Katsir Abu al-Fida’Isma’il bin Umar al-Qurasy ad-Dimasyqi
(w. 774 H), Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim, (Beirut: Dar ath-Thaiyibah, 1999), jld.
6, hlm. 45. Lihat juga ath-Thabari Muhammad bin Jarir bin Yazid Ghalib al-
Amaly Abu Ja’far (w. 301 H), Jâmi’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur'an, (Beirut:
Muassasah ar-Risâlah, 2000), tahqîq: Ahmad Muhammad Syakir jld. 19, hlm
156.
155
ditutup oleh wanita. Oleh karena itu, kerudung atau “jilbab” yang
berfungsi untuk menutup kepala tersebut mestilah menjuntai
sehingga menutupi dada para wanita. Bukan dimasukkan ke dalam
kerah baju atau diikat ke belakang atau dimodifikasi yang
akhirnya menghilangkan fungsinya untuk menutup bagian dada.
Ironisnya lagi sebagian wanita muslimah merasa telah menutup
kepalanya, padahal rambutnya keluar dari depan dan belakang,
perhiasan di leher dan telinganya juga terlihat yang semestinya ia
tutupi. Adapun makna “Juyuubihinna” sebagaimana yang
dijelaskan para ulama tafsir bahwa Pengertian kata “jaib” berarti
leher dan dada. Adapun yang dimaksud dengan “Dan hendaklah
mereka (kaum wanita) menutupkan khumurnya ke dadanya…”
yaitu menutup kepala, leher, dada dan segala perhiasan yang
terdapat padanya.257
Kemudian, dalam firman Allah SWT:
      
 … 
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya
orang-orang jahiliyyah dahulu…” (Qs. Al-Ahzab [33]:
33).
Adapun yang dimaksud dengan “Tabarruj” adalah
perilaku mempertontonkan aurat atau tidak menutup bagian tubuh
yang wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah
perilaku jahiliyyah. Bahkan diriwayatkan bahwa ritual haji pada
zaman jahiliyyah mengharuskan seseorang thawaf mengelilingi
ka'bah dalam keadaan telanjang/ bugil tanpa memandang apakah
itu lelaki atau perempuan.258
Selajutnya firman Allah SWT:

257
Al-Qurthubi Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Anshari al-
Khazraji (w. 671 H), al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, (Riyadh: Dar ‘Alam al-
Kitab, 2003), jld. 12, hlm. 227.
258
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim,.... , hlm. 481
156
     
      
        
 
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak
diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 59).
Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh
tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda
keimanan mereka. Sekalipun konteks ayat di atas adalah ditujukan
untuk istri-istri Rasulullah saw, namun maksud ayat di atas
mencakup seluruh wanita muslimah. Sebagaimana yang
disebutkan dalam kaedah Ushul Fiqh: yang dijadikan pedoman
adalah keumuman lafadz sebuah dalil dan bukan kekhususan
sebab munculnya dalil tersebut. Adapun pengertian “Jilbab”
dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh
dari kepala hingga kaki seperti abaya yang dipergunakan
wanita di Timur-Tengah saat ini. Bukan berarti jilbab dalam
bahasa kita. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Katsir
dalam tafsirnya: “Jilbab adalah pakaian yang menutup di atas
khimâr (penutup kepala), demikian menurut Ibnu Mas’ud,
Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubeir, Ibrahim
an-Nakh’i, dan ‘Atha al-Khurasani. Jilbab itu fungsinya seperti
sarung pada hari ini.”259
Kemudian firman Allah dalam Surat An-Nur: 58
    
     
259
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim,.... , hlm. 481
157
        
      
        
      
         
  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
(lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang
yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada
kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum
sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang isya'.
(Itulah) tiga 'aurat bagi kamu260. tidak ada dosa atasmu
dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu)
itu261. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada
keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut memerintahkan kepada orang- orang
beriman, agar hamba sahaya dan anak-anaknya yang belum balig
supaya tidak masuk ke ruangan kalian kecuali setelah meminta
izin pada tiga waktu. Pertama, sebelum subuh. Kedua, waktu
kalian menggunakan pakaian santai saat tidur siang. Dan ketiga,
setelah salat isya ketika kalian bersiap-siap untuk tidur. Ketiga
waktu itu adalah saat-saat kalian mengganti pakaian dari pakaian
tidur ke pakaian waktu bangun, sehingga aurat (bagian tubuh)
yang tidak pantas dapat terlihat. Selain waktu-waktu tersebut,
tidak berdosa bagi kalian dan mereka untuk masuk tanpa izin.
Karena biasanya pada selain waktu-waktu itu kalian keluar-masuk

260
Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu
badan banyak terbuka. oleh sesbab itu Allah melarang budak-budak dan anak-
anak di bawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin pada
waktu-waktu tersebut.
261
Maksudnya: tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa
izin, dan tidak pula mereka berdosa kalau masuk tanpa meminta izin selain dari
tiga macam waktu tersebut.
158
untuk memenuhi beberapa keperluan. Dengan penjelasan
semacam ini, Allah menerangkan hukum-hukum. Allah Swt.
Maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dia mengetahui apa yang
bermanfaat bagi hamba- hambaNya, memberikan ketentuan
hukum yang sesuai dengan keadaan mereka dan akan
memperhitungkan semua itu. Ayat ini merupakan salah satu ayat
yang mengarahkan manusia pada norma sosial dalam lingkungan
keluarga. Keberadaan hamba sahaya (pembantu) dan anak-anak
kecil di rumah, membuat mereka acapkali berkumpul dan
bercampur baur. Terkadang, ada di antara mereka yang masuk ke
ruangan yang lain tanpa izin pada waktu-waktu yang disebutkan
dalam ayat di atas. Mengingat bahwa waktu-waktu tersebut adalah
waktu-waktu untuk menyendiri, bebas sendirian dan melepas
pakaian rutin yang digunakan ketika berkumpul, maka ayat ini
mengharuskan orang-orang yang disebutkan dalam ayat untuk
meminta izin masuk pada waktu-waktu tersebut, agar mereka
tidak melihat apa yang dianggap rahasia dan tidak pantas dilihat.
Karena hal itu merupakan aurat yang harus ditutup. Selain itu,
ayat ini juga mengandung anjuran kepada anggota keluarga agar
memakai pakaian yang pantas ketika bertemu satu sama lain,
sehingga kehormatan, kebebasan, dan etika mereka terjaga.
Demikianlah, al-Qur'an sangatlah pantas mengatur hal-hal yang
mengangkat harkat moral ke tingkat yang tinggi semacam ini.262
Tiga waktu yang wajib disaktikan tersebut di atas, demi
menjaga kehormatan ibu-bapak atau anggota rumah tangga yang
lain. Pada waktu sedemikian itu maka setiap hamba sahaya, anak
rmaja, pembantu rumah tangga dan anak-anak yang belum dewasa
dalam rumah itu sendiri, baik anak tuan rumah atau cucunya atau
anak-anak lain yang dipelihara di dalam rumah itu meminta izin
terlebih dahulu jika hendak menemui tuan dan nyonya rumah. Hal
itu dikarenakan ketiga waktu itu adalah aurat, artinya pada waktu
itu umumnya manusia sedang tidak menutupi auratnya di dalam
rumah. Adalah tiga waktu mereka ingin beristirahat membebaskan
262
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…
159
dirinya daripada pakaian- pakaian itu, sehingga kadang-kadang
hanya tinggal celana dalam dan singlet saja bagi si ayah, atau juga
bagi ibu.
b. Hadits Nabi Muhammad saw:
Dari riwayat Aisyah ra bahwasanya Asma binti Abu Bakr
masuk menjumpai Rasulullah saw dengan pakaian yang tipis, lalu
Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Hai Asma’,
sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid
(akil-baligh) maka tidak layak terlihat kecuali ini dan ini” sambil
beliau menunjuk wajah dan telapak tangan”. (HR. Abu Daud)263
Kemudian hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Nabi saw
bersabda: “wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar (dari
rumahnya), maka setan akan mengikutinya” (HR. at-Tirmidzi)264
Dari kedua dalil hadits di atas jelaslah batasan aurat bagi
wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan.
Namun sebagian para ulama berpendapat bahwa pada kondisi
tidak aman dari fitnah dan banyaknya orang fasik, maka
sebaiknya bagi seorang wanita untuk tetap menutupi wajahnya.265
Sebab, pada wajah juga dapat menampakkan kecantikan seorang
wanita yang dapat menimbulkan birahi orang-orang fasik itu. Jadi,
dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat
adalah wajib. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku
pada saat shalat saja, namun juga pada semua tempat yang
memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.
Terdapat juga hadits Nabi saw yang menegaskan ancaman
terhadap wanita yang mempertontonkan auratnya. Berikut sabda
beliau: “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum
pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam
263
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, …juz IV, hlm. 62
264
Hadits ini diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, di akhir
kitab ar-Radha’ah, hadits no. 1093
265
Lihat komentar Muhammad Syamsuddin al-Azhim Âbadi Abu
Thaiyib dalam kitabnya ‘Aun al-Ma’bûd fî syarhi Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H), jld. 11, hlm 109.
160
cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan
wanita- wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak
lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka
itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal
sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan
sekian.” (HR. Muslim) hadits ini menjelaskan tentang ancaman
bagi wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya.
Yaitu siksaan api neraka. Ini menunjukkan bahwa pamer aurat dan
"buka-bukaan" adalah dosa besar. Sebab perbuatan-perbuatan
yang dilaknat oleh Allah SWT atau Rasul-Nya dan yang diancam
dengan azab neraka adalah dosa besar.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan
aurat wanita yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Para ulama dalam mazhab Hanafi berbeda pendapat
tentang aurat dalam hal ini tentunya batasan aurat perempuan.
Secara umum, perbedaan ini bisa dibagikan dalam dua kelompok
besar, Pertama; Ulama yang membatasi aurat perempuan kepada
seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan; dalam hal ini Al-
Mirghani menyebutkan bahwa dikecualikan aurat dari perempuan
merdeka adalah muka dan telapak tangan.266 Pernyataan ini
memberikan pengertian bahwa telapak kaki sampai mata kaki
merupakan aurat yang harus ditutup. Artinya seluruh tubuh
perempuan merupakan aurat kecuali wajah dan telapak tangan.
Tetapi dalam syarahnya Ibnu Himam menjelaskan bahwa telapak
kaki dan belakangnya adalah aurat. Ada riwayat menyebutkan
bahwa telapak kaki sampai tumit bukan aurat dan ini merupakan
pendapat yang kuat dalam mazhab.267
Kedua, Seluruh tubuh merupakan aurat kecuali muka,
telapak kaki dan telapak tangan. Pendapat ini merupakan pendapat
266
Ibnu Al-Himam, Syarh Fath al-Qadir, Jus I dan 10, Cet. II, (Mesir:
Dar Al-Fikr, 1977), hlm. 228
267
Ibnu Al-Himam, Syarh Fath al-Qadir…. hlm. 298
161
kuat dalam mazhab ini dan merupakan pendapat sebagian besar
ulama mazhab Hanafi.268 Abu Hanifah sendiri menyatakan seperti
pendapat ini. Ibnu Himam telah menjelaskan secara panjang lebar
masalah ini dalam kitabnya Syarh Fath al-Qadir. Kitab ini
merupakan syarah dari kitab al-Hidayah karya al-Mirgani. Dijelaskan
bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali
muka, telapak tangan dan telapak kaki sampai tumit. Pernyataan ini
didasari dari hadits riwayat Tirmizi, 269 hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud270 dan al-Qur’an surat an-Nur ayat 31
2. Mazhab Maliki
Bahwa aurat wanita di dalam dan luar shalat adalah
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan serta wajib
ditutup ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah. Kemudian dalam
mazhab ini aurat wanita diklasifikasikan kepada dua: aurat
mughallazhah seluruh badannya kecuali dada dan athrâf (rambut,
kepala, leher, ujung tangan dan kaki), sedangkan aurat
mukhaffafah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangan. Apabila terbuka bagian dari aurat mughallazhah dalam
shalat padahal ia mampu untuk menutupnya batal shalatnya dan
wajib mengulangnya. Sedangkan apabila aurat mukhaffafah
terbuka tidak batal shalatnya sekalipun membukanya makruh dan
haram melihatnya. Adapun aurat wanita di luar shalat di hadapan
pria yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan telapak tangan. Di hadapan mahramnya seluruh tubuh selain
wajah dan athraf (rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki).
Adapun ketika berada sesama wanita baik mahramnya maupun
tidak maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lutut.
3. Mazhab Syafi’i
Bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Apabila bagian dari
268
Ibnu Al-Himam, Syarh Fath al-Qadir…. hlm. 229
269
Ibnu Al-Himam, Syarh Fath al-Qadir…. hlm. 259
270
Lihat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz I, dalam maktabah
syamilah
162
aurat ini terbuka padahal ia mampu untuk menutupnya maka batal
shalatnya. Namun, apabila terbuka karena angin atau lupa maka
segera ia menutupnya dan tidak batal shalatnya. Adapun di luar
shalat maka aurat wanita ketika di hadapan pria bukan mahramnya
seluruh tubuhnya. Sedangkan di hadapan wanita lain baik
muslimah atau kafir adalah seluruh tubuhnya kecuali bagian
tertentu yang terbuka ketika melaksanakan pekerjaan rumah
tangga.271Adapun aurat wanita ketika ia bersama dengan wanita
muslimah dan pria mahramnya adalah antara pusar dan lutut.
4. Mazhab Hanbali
Terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad, salah satu
riwayat menyatakan bahwa aurat wanita baligh seluruh tubuhnya
termasuk kuku jari tangan dan wajah. Namun pendapat yang kuat
adalah bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Adapun auratnya di
luar shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangannya. Sedangkan ketika ia berada sesama wanita baik
mahramnya maupun tidak maka batasan auratnya adalah antara
pusat dan lutut. Dalam hal ini pendapat hanabilah lebih cenderung
kepada mazhab malikiyah.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan
aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangannya. Oleh karena itu, wajib bagi wanita muslimah merdeka
dan baligh untuk menutup auratnya baik di dalam
shalat maupun di luarnya. Selain itu, hendaklah setiap wanita
muslimah untuk menjauhkan dirinya dari segala bentuk fitnah
yang disebabkan dari perbuatan dan suaranya. Dalam hal itu
Wahbah az-Zuhaily menukilkan ijma’ ulama yang menyatakan
bahwa menutup aurat bagi wanita di dalam maupun luar shalat
adalah wajib. Beliau menegaskan dalam kitabnya: Haram
271
Abu Bakr bin as-Saiyid Muhammad Syathâ ad-Dimyathi (w.
1302H), Hâsyiyah I‘ânah ath-Thâlibîn, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1994), jld. 1,
hlm. 134
163
membuka sebagian atau semua aurat kecuali untuk keperluan
tertentu seperti mandi, buang hajat, bersuci, dan pemeriksaan
dokter (kehamilan, khitan atau penyakit).272
Selanjutnya dari kalangan ulama kontemporer tidak
berbeda padangan mereka dengan ulama terdahulu, seperti
Wahbah Zuhaily yang mengikuti pendapat ulama salaf tentang
batasan aurat perempuan itu sendiri, contohnya dalam kasus
penggunaan cadar sekarang ini, dimana hukumnya itu
dikembalikan ke pengguna itu sendiri. Jika penggunaan cadar
memberikan rasa aman, maka itu lebih baik bagi dia, namun
sebaliknya jika tidak menggunakan cadar dan tidak memberikan
rasa kekhawatiran atau fitnah, maka tidak mengapa membuka
wajahnya.273 Wahbah az-Zuhaily memakai cadar itu bukan suatu
kewajiban tapi merupakan suatu anjuran. Selanjutnya ‘Abdul Halim
Abu Syuqqah, aurat perempuan itu seluruh tubuh, kecuali wajah dan
telapak tangan. Peneliti mengangkat contoh yang dimaksud oleh ‘Abdul
Halim kasus penggunaan cadar (niqab), dimana beliau tidak melihatnya
sebagai suatu perbuatan sunnah atau wajib. 274 Quraish Shihab rambut
merupakan bagian aurat yang harus ditutup. 275 Buya Hamka dalam tafsir
Azhar-nya melihat wajah bukanlah aurat yang harus ditutupi dengan
niqab. Namun pemakaian Khimar (kerudung) merupakan perintah Allah
yang harus ditaati oleh kaum muslimah. Selanjutnya beliau
menambahkan bahwa al-Qur’an tidak menentukan model atau bentuk
pakaian. Namun pakaian yang diinginkan al-Qur’an adalah pakaian
yang menunjukkan keimanan kepada Allah, pakain yang menunjukkan
kesopanan, bukan untuk memperagakan bentuk tubuh atau

272
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, jld. 1, hlm.
633
273
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, …jld. 1, hlm.
640
274
‘Abdul Halim, Tahri al-Mar’ah… hlm. 222
275
Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimat, (Jakarta: lentera
Hati, 2004), hlm 48
164
memperlihatkan kepada lelaki,276 terlebih dengan tujuan agar mereka
terangsang.
Selanjutnya Qardhawi memahami batasan aurat perempuan
dalam an-Nur ayat 31 merupakan suatu larangan bagi perempuan untuk
menampakkan perhiasannya. Penampakan ini hanya boleh untuk sesuatu
yang biasa telihat. Ayat ini juga dipahami olehnya bahwa Allah
memerintahkan untuk menutup dada dengan menjulurkan kain di
atasnya. Artinya di sini wanita harus menggunakan kain atau biasa
dikenal dengan istilah jilbab, atau apapun istilahnya. Lebih lanjut beliau
menjelaskan arti dari perhiasan wanita itu sendiri, yaitu sesuatu yang
digunakan untuk berhias diri dan untuk mempercantik tubuh, baik
berbentuk ciptaan asli sperti wajah, rambut dan potongan tubuh,
maupun buatan seperti pakaian, perhiasan dan tata rias, kemudian yang
dimaksud dengan perhiasan yang biasa terlihat adalah wajah dan dua
telapak tangan serta perhiasan yang biasa terlihat dengan tidak ada
maksud kesombongan dan berlebih-lebihan seperti celak dimata dan
cincin pada tangan.277

3.2 Aurat Mukhaffafah dan Mughallazah serta yang boleh


melihatnya dalam keadaan normal
Pembahasan kategori aurat, sebagaimana yang sudah
dijelaskan pada bab dua di atas, Imam Maliki mengkategorikan
aurat perempuan kepada dua macam yaitu: 1). Aurat
mughallazhah seluruh badannya kecuali wajah, telapak tangan
dan athrâf (rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki); dan 2)
Aurat mukhaffafah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangan dan selain dari aurat mughallazhah. Imam Maliki
juga membagi aurat laki-laki kepada dua macam yaitu: 1) Aurat
mughallazhah adalah kemaluan dan dubur, sedangkan 2) aurat

276
Buya Hamka Tafsir al-Azhar, Jilid VII, (Jakarta: Pustaka Nasional,
2007) hlm. 4930
277
Yusuf Qaradhawi. Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), hlmn. 21-22
165
mukhaffafah adalah aurat selain dari kemaluan dan dubur, yang
berada di antara pusat dan lutut.278
Mengenai kategorisasi aurat yang sudah penulis telusuri,
dari kalangan Imam mazhab yang mengkategorikan aurat
mughallazah maupun aurat mukhaffafah hanya imam Maliki saja,
sedangkan imam yang lainnya tidak menyebutkan. menurut
penulis pengkategorisasian aurat di sini merupakan suatu hal yang
urgen untuk dibahas, karena dengan adanya kategorisasi aurat
akan memudahkan baik kepada perempuan maupun kepada kaum
laki-laki dalam berinteraksi sosial dengan yang bukan mahram
dan juga termasuk dengan mahramnya. Misalkan aurat
mukhaffafah pada kaum perempuan yang boleh melihatnya adalah
mahramnya dan yang sesama muslim dan sesama jenis saja,
sebagai dijelaskan dalam Firman Allah dalam Surat An-Nur: 31279
sedangkan kepada selain itu tidak dibolehkan menampakkannya
kecuali dalam kondisi dharuriyyat atau hajiyyat.
Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak menjelaskan
kategorisasi aurat mughallazah maupun aurat mukhaffafah, yang
ada hanya menyebutkan batasan-batasan aurat secara umum,
kemudian mengenai kebolehan melihat aurat mughallazah dari
perempuan adalah hanya suaminya saja yang boleh melihat
seluruh tubuhnya termasuk aurat mughallazah, Hal ini
berdasarkan Firman Allah di dalam QS. Al-Baqarah: 187, yang
artinya: (Isteri-isteri kamu) mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamu pun menjadi pakaian bagi mereka. Lafadz libasun lakum
(pakaian bagimu) dalam ayat di atas, dimaknai oleh para mufassir
278
Ardiansyah “Konsep Aurat Menurut Ulama Klasik dan
Kontemporer (Suatu Perbandingan Pengertian dan Batasannya di luar dan di
dalam Shalat) (Jurnal Analytica Islamica, Vol. 16, No. 2, 2014) hlm, 277
279
…dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,…
166
bahwa tubuh suami menjadi pakaian buat istrinya, sehingga di
hadapan suaminya, dan sebaliknya wanita adalah pakaian buat
suaminya. Antara pakaian dan aurat yang ditutupi tidak ada
batasan atau jarak melainkan pakaian itu sendiri kiasan dari suami
yang berfungsi sebagai pakaian, yang menutupi aurat wanitanya.
Sehingga antara keduanya tidak ada batasan.
Tidak adanya batasan aurat antara suami istri dikuatkan
dengan hadits nabawi. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan istrinya, Aisyah radhiyallahuanha, ketika
mereka mandi berdua. Hal itu diriwayatkan oleh Aisyah dalam
hadits berikut ini : Aku pernah mandi bersama Nabi SAW dari
satu wadah dan satu gayung. (HR. Bukhari dan Muslim). Dari
Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kekaknya bertanya, “Ya
Rasulallah, tentang aurat kami, apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh?”. Rasulullah SAW menjawab, “Tutuplah auratmu
kecuali kepada istrimu dan budakmu. (HR. Tirmidzi), dan juga
berdasarkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi, “Jaga auratmu
kecuali terhadap suamimu…!” (HR Tirmidzi).
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam
mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan
suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan
menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini.
Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati,
maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan
menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” 280 Jadi, tidak
ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat
istrinya, termasuk kemaluannya.
Selain dari suaminya, perempuan muslim lainnya
dibolehkan melihatnya tetapi terbatas selain dari pusar sampai
280
Lihat Aadaabuz Zifaaf … hlm. 111, al-Kawaakib … (579/29/1)
klik https://muslimah.or.id/1753-aurat-wanita-di-depan-mahramnya-bagian-
2.html
167
dengan lutut, jadi melihat aurat mughallazah selain dari pusar
sampai dengan lutut dibolehkan bagi perempuan muslim,
sebagaimana pendapat Mazhab Hanbali dan Maliki yang
membatasi aurat perempuan di hadapan perempuan lain pada
bagian pusar hingga lutut, baik yang sedarah281 maupun bukan
sedarah, berarti selain pusar hingga lutut (sebagian aurat
Mughallazah) dan aurat mukhaffafah boleh melihatnya.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam Surat An-Nur:
31 yang artinya: … dan janganlah Menampakkan perhiasannya
kecuali kepada …wanita-wanita Islam. Akan tetapi maksud boleh
menampakkan perhiasannya adalah selain di antara pusar sampai
dengan lutut saja.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i yang boleh melihat
seluruh aurat perempuan selain antara pusar sampai lutut
(sebagian aurat Mughallazah) adalah mahramnya, serta
perempuan yang sedarah, sedangkan perempuan yang tidak
sedarah adalah seluruh tubuhnya tidak boleh dilihat kecuali bagian
tertentu seperti leher dan rambut, memaknainya serupa dengan
term athraf yang meliputi rambut, kepala, leher, ujung tangan dan
ujung kaki (aurat mukhaffafah) sedangkan Mazhab Hanafi tidak
membatasi secara eksplisit aurat perempuan di hadapan
perempuan lain, namun Hanafiyah secara umum memagari aurat
perempuan pada seluruh bagian tubuhnya, kecuali bagian wajah,
telapak tangan, dan telapak kaki hingga mata kaki.
Menurut Hanafi dan Hanbali aurat mughallazah laki-laki
yang boleh melihatnya hanyalah istrinya sendiri, 282 sebagamana
hadits yang berbunyi "Jagalah auratmu kecuali dari istrimu."
(HR Imam lima)283, mazhab Maliki membatasi aurat laki-laki di
281
Tingkatan hubungan sedarah di sini adalah sama dengan tingkatan
dalam hubungan mahram
282
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqh Lima Mazhab, ... hlm. 82
283
Maksud Imam lima adalah Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-
Nasa`i, dan Ibnu Majah.
168
hadapan laki-laki hanya pada kedua lubang (kelamin dan
dubur/aurat Mughallazah saja) sedangkah aurat mukhaffafah
boleh dilihat oleh sesama pria, sedangkan tiga mazhab lainnya
berpendapat bahwa aurat Mukhaffafah dan Mughallazah laki-laki
tidak boleh dilihat oleh laki-laki lainnya.
Mengenai dua kategorisasi khusus aurat perempuan
menurut imam Malik dan Muhammad Syahror di atas menurut
penulis perlu penambahan satu kategori lagi, yaitu aurat sedang
(aurat mutawassithah) khusus aurat perempuan. Sehingga menjadi
tiga kategorisasi aurat perempuan yaitu: Pertama, Aurat
Mughallazah (aurat berat) yaitu aurat yang terletak antara pusat
hingga lutut; dan Kedua, aurat mutawassithah (aurat sedang) yang
meliputi bahagian pertengahan tubuh dari perempuan selain dari
aurat Mughallazah, yaitu: bagian dada, payudara, perut dan
betisnya; kemudian yang Ketiga, aurat mukhaffafah (aurat ringan),
adalah selain dari aurat Mughallazah dan Mutawassithah, yaitu:
ujung- ujung dari bagian tubuh perempuan yang meliputi: rambut,
kepala, leher, tangan (antara siku hingga ujung tangan) dan ujung
kaki. Sehingga dengan adanya kejelasan kategorisasi aurat
perempuan akan juga mempermudah siapa saja yang boleh
melihat kepada tiga kategori aurat tersebut.
Selanjutnya dari tiga kategorisasi aurat perempuan tersebut
yang boleh melihatnya adalah; Pertama, aurat mughallazah (aurat
berat) yang boleh melihatnya adalah khusus kepada suaminya saja
karena seluruh aurat perempuan termasuk aurat mughallazah yang
boleh melihatnya adalah suaminya saja, sebagaimana hadits yang
berbunyi "Jagalah auratmu kecuali dari istrimu." (HR Imam
lima), sedangkan selain kepada suaminya baik itu mahramnya
maupun sesama perempuan muslim tidak boleh melihatnya.
Kemudian yang Kedua, aurat mutawassithah (aurat sedang) yang

169
boleh melihatnya adalah sesama perempuan yang sedarah saja,284
sedangkan yang Ketiga, aurat mukhaffafah (aurat ringan), yang
boleh melihatnya adalah sesama perempuan muslim dan juga
mahramnya sendiri.
a. Batasan Aurat Sesama Mahram dengan yang Bukan
Mahram.
1. Aurat Perempuan dengan sesama mahram dan bukan mahram
Jika anggota tubuh perempuan yang boleh dilihat oleh
yang bukan mahram sangat begitu terbatas sebagaimana ulasan di
atas. Maka, di hadapan mahramnya, sejauh mana seorang
perempuan boleh memperlihatkan auratnya, Yang dimaksud
dengan 'mahram' disini adalah mahram mu'abbad, yakni laki-laki
yang tidak boleh menikahi si perempuan selama-lamanya.285 Para
ulama berbeda pendapat mengenai batasan anggota tubuh yang
boleh diperlihatkan oleh perempuan terhadap mahramnya. Berikut
pendapat ulama dari empat Mazhab besar:
1) Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam Mazhab ini dikatakan bahwa batasan aurat antara
perempuan dengan mahramnya adalah: anggota tubuh yang ada di
antara pusar dan lutut, punggungnya, dan perutnya. Artinya,
anggota tubuh perempuan yang boleh terlihat oleh mahramnya
adalah yang selain dari anggota tubuh tersebut, jika ada dalam
keadaan aman dari fitnah dan tidak disertai syahwat. Dalilnya
284
Dalam hal ini berbeda dengan pendapat mazhab Syafi’i yang boleh
melihat aurat mutawassithah juga boleh dilihat oleh laki-laki semahram. (lihat
Ardiansyah. “Batasan Aurat ...), Sedangkan menurut penulis menampakkan
aurat mutawassithah itu sangat berpotensi menimbulkan syahwat kepada kaum
laki-laki termasuk laki-laki semahram.
285
Kemahraman ini bisa terjadi dari beberapa sebab: 1) hubungan
Nasab: seperti ayahnya, anak laki-lakinya, abangnya, dll. 2) Hubungan
Mushaharah yaitu lantaran terjadinya pernikahan (mushaharah), seperti
suaminya, bapak mertua, anak laki-laki dari suaminya, menantu laki-laki, dll. 3)
hubungan Persusuan: hubungan persusuan (radha'ah), seperti saudara
persusuan, suami dari ibu yang menyusui, dll.
170
adalah firman Allah SWT  “Dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-
putra suami mereka...." (QS. An-Nur : 31) Yang dimaksud dengan
kalimat “jangan menampakkan perhiasannya” dalam ayat di atas
adalah bahwa larangan untuk menampakkan “anggota tubuh”
yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan. Sebab,
melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak.
Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh
untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga
untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki
untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak kaki
untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan perut, punggung
dan paha yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan. 286 akan
tetapi pendapat Mazhab Hanafi tersebut di atas tidak menyebutkan
mengenai bagian khusus dari “payudara” bisakah menampakkan
kepada mahramnya atau tidak, akan tetapi kalau kita memahami
pendapat mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa anggota tubuh
yang ada di antara pusar hingga lutut, punggungnya, dan perutnya.
selain dari anggota tubuh tersebut boleh menampakkan kepada
mahramnya, maka bisa disimpulkan bahwa menampakkan
payudara menurut pendapat mazhab Hanafi dibolehkan. Padahal
menurut penulis payudara merupakan organ vital dari perempuan
(aurat Mughallazah) sehingga tidak boleh menampakkannya
kecuali kepada suaminya sendiri dan kepada sesama perempuan
Islam.
2) Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Mazhab Maliki dan pendapat resmi
dari kalangan Mazhab Hanbali, anggota tubuh perempuan yang
boleh terlihat oleh mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan
dan dua kaki. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an An-Nur:
286
Fahruddin Utsman Ali al Zayla'i al Hanafi, Tabyin al Haqaiq …
171
31 Artinya: “…dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera–putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-
putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, …. Maksud “perhiasannya” dalam ayat di
atas adalah bahwa larangan untuk menampakkan 'anggota tubuh'
yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan. Sebab,
melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak.
Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh
untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga
untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki
untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak kaki
untuk dihiasi daun pacar, Maka haram baginya menampakkan
dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya di hadapan
mahramnya. Dan haram pula bagi ayah, anak laki-laki dan
mahramnya yang lain untuk melihat aurat dirinya selain pada
empat anggota tersebut, walaupun tanpa syahwat. 287
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali sedikit
berbeda dengan pendapat resmi mazhabnya. Menurut beliau,
batasan aurat bagi perempuan dengan mahramnya adalah seperti
aurat antara laki-laki dengan laki-laki, dan perempuan dengan
perempuan. Yakni anggota tubuh yang ada di antara pusar dan
lutut.288 Pendapat mazhab Maliki dan Hanbali ini lebih tepat
untuk bisa dijadikan sebagai rujukan aurat perempuan dengan
mahramnya, karena aurat perempuan yang boleh dinampakkan
kepada mahramnya hanyalah: wajah, kepala, dua tangan dan dua
kaki, selain dari bagian tersebut haram menampakkan kepada
mahramnya, sehingga potensi terjadinya zina dan pemerkosaan
antara sesama mahram itu bisa terminimalisir.

287
Ad-Dardir, As-Syarh As-Shaghir, …
288
Ibnu Qudamah, Al-Mughni…, jilid 7 hlm. 98
172
Kemudian pendapat resmi ulama dari Mazhab Hanbali
menambahkan bahwa mahram yang boleh melihat sebagian aurat
si perempuan itu maksudnya mahram yang muslim maupun yang
kafir. Dalilnya adalah bahwa Abu Sufyan Bin Harb pernah masuk
ke rumah putrinya yang bernama Ummu Habibah (salah satu istri
Rasulullah s.a.w) dalam keadaan tidak berhijab, tidak menutupi
seluruh auratnya. Dan saat itu Rasulullah s.a.w tidak menyuruh
Ummu Habibah untuk menutupi auratnya di hadapan Abu Sufyan,
ayahandanya yang masih kafir.289 
3) Mazhab Asy-Syafi’iyah
Mayoritas ulama dalam Mazhab Syafi’i berpendapat
bahwa aurat perempuan yang boleh terlihat oleh mahramnya
adalah anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.
Walaupun ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota
tubuh perempuan yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah
anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di
dalam rumah. Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga
kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota tubuh tersebut juga
menjadi batasan aurat yang boleh dilihat perempuan terhadap
aurat mahramnya.290 Berarti mayoritas ulama mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa menampakkan dada dan payudara kepada
sesama mahram dibolehkan, karena beranggapan bahwa bahagian
dada dan payudara merupakan tempatnya wanita memakaikan
perhiasannya, leher dan dada untuk dipakaikan perhiasan kalung,
dan tempatnya perhiasan tersebut dibolehkan dinampakkan
kepada mahramnya sebagaimana penjelasan Q.S. An-Nur: 31 di
atas, walaupun dalam hal ini menurut Imam Maliki payudara
merupakan aurat Mughallazah (aurat berat) yang tidak biasa
nampak, karena menurut penulis menampakkan payudara bisa
menimbulkan potensi syahwat kepada laki-laki yang semahram
289
Ibnu Qudamah, Al-Mughni…, jilid 7 hlm. 105
290
Lihat dalam An-Ramli, Nihayat al-Muhtajj. (Kairo: Mustafa Al-
Halaby, t.t. juz IV), hlm. 188-189, dan lihat juga Al-Khatib As-Syarbini,
Mughnil Muhtaj, jilid 3 hlm. 129
173
yang melihatnya, sehingga potensi terjadinya pemerkosaan dan
zina dengan laki-laki semahram itu sangat rentan terjadi.
Dalam hal ini al-Qurthuby membedakan tingkatan para
mahram, antara satu sama lain ditinjau dari segi pribadi secara
manusiawi. Tidak diragukan lagi, kseterbukaan seorang wanita di
hadapan bapak dan saudara laki-lakinya lebih terjamin atau
terpelihara daripada keterbukaannya di hadapan anak suami (anak
tiri). Karena itu batas aurat yang boleh terbuka di hadapan
masing-masing mahram berbeda-beda pula. Ada yang
berpendapat bahwa mahram boleh melihat anggota-anggota tubuh
wanita yang biasa tampak seperti anggota tubuh yang dibasuh
ketika berwudhu’. Mazhab Maliki berpendapat bahwa aurat
wanita di hadapan laki-laki mahram adalah sekujur tubuhnya
kecuali muka dan ujung-ujung anggota tubuh seperti kepala,
kuduk, dua tangan dan dua kaki. 291
Adapun Mazhab Hanbali, mereka berpendapat bahwa aurat
wanita di hadapan laki-laki mahram adalah sekujur tubuhnya
kecuali muka, kuduk, kepala, dua tangan, kaki dan betis. Namun
perlu diingat bahwa kebolehan melihat bagi mahram adalah bukan
untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu. Sedangkan
kepada suami maka tidak ada batasan aurat sama sekali, baik
suami maupun isteri boleh melihat seluruh tubuh pasangannya.
Ulama tidak berbeda pendapat tentang aurat wanita di hadapan
sesama wanita, yakni tidak haram bagi wanita muslimah tubuhnya
terbuka di hadapan sesamanya kecuali bagian antara pusat dan
lutut. Wanita tersebut adalah wanita muslimah. 292 Dalam hal ini
penulis sependapat dengan al-Qurtubi, yang membedakan
tingkatan mahram dalam hal aurat, al-Qurtubi membedakan
mahram nasab dengan mahram mushaharah (kecuali suaminya),
seperti aurat seorang wanita di hadapan bapak dan saudara laki-
291
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir jilid 3 (Jakarta:
Gema Insani, 1999). hlm. 287
292
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir ...
174
lakinya lebih terjamin atau terpelihara daripada auratnya di
hadapan anak suami (anak tiri), begitu juga dengan saudara
sepersusuannya/hubungan radha’ah.
Karena mahram dalam definisi yang sebenarmya adalah
haram untuk dinikahi karena sebab hubungan: 1) keturunaan/
nasab, 2) pernikahan/ mushaharah dan 3) persusuan/ radha’ah.
Bukan berarti dikarenakan diharamkan untuk dinikahi sehingga
secara otomatis menjadikan pembolehan memperlihatkan aurat
kepada yang mahram tersebut, Kemudian menampakkan aurat
kepada mahram karena keturunan, menurut penulis berbeda
dengan menampakkan aurat dengan yang mahram karena
hubungan perkawinan, dan berbeda juga dengan menampakkan
aurat karena hubungan persusuan, seperti halnya dengan pendapat
al-Qurtubi di atas.

b. Aurat Perempuan dengan Perempuan Lain dan Batasan


Aurat Laki-Laki dengan Laki-Laki Lain
1. Batasan aurat antara perempuan muslimah dan perempuan non
muslim
Mazhab Hanbali dan mazhab Maliki membatasi aurat
perempuan di hadapan perempuan lain pada bagian pusar hingga
lutut saja, baik yang sedarah maupun yang bukan sedarah.
Sedangkan Mazhab Syafi’i membedakan batas aurat perempuan di
hadapan perempuan yang sedarah dan perempuan bukan sedarah.
Batas aurat perempuan dengan perempuan sedarah adalah bagian
pusar hingga lutut, sedangkan batas aurat perempuan dengan
perempuan bukan sedarah adalah seluruh tubuh kecuali bagian
tertentu seperti leher dan rambut, memaknainya serupa dengan
term athraf yang meliputi rambut, kepala, leher, ujung tangan dan
ujung kaki.293 Akan tetapi Mazhab Hanafi tidak membatasi secara

293
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah. (Kairo:
Maktabah at-Tijariyah. 2005)
175
eksplisit aurat perempuan di hadapan perempuan lain, namun
Hanafiyah secara umum memagari aurat perempuan pada seluruh
bagian tubuhnya, kecuali bagian wajah, telapak tangan, dan
telapak kaki hingga mata kaki.294
Menilik penjelasan di atas, mayoritas ulama kecuali
Hanafiyah sepakat membatasi aurat perempuan di hadapan
perempuan sedarah pada bagian pusar hingga lutut saja.
Sedangkan di hadapan perempuan yang bukan sedarah, Hanabilah
dan Malikiyah sepakat membatasi aurat perempuan pada bagian
pusar hingga lutut, berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanafiyah
yang membatasinya hampir di seluruh bagian tubuh. Lantas
mengapa harus ada perbedaan aurat perempuan di hadapan
perempuan sedarah dengan perempuan yang tidak sedarah?
Keempat mazhab sepakat membedakan sedarah dan bukan
sedarah pada term mazinnah al-zina atau prasangka zina. Sedarah
seolah dibebaskan dari prasangka zina, sedangkan selain sedarah
dicurigai dengan prasangka zina. Unsur kedekatan interaksi dan
pengalaman kehidupan sehari-hari diyakini mereduksi secara
signifikan potensi syahwat dalam diri seorang perempuan di
hadapan perempuan sedarah. Muncul pertanyaan lain, apakah hal
yang demikian sudah berdasar fakta ilimiah, Tidakkah sederet
kasus lesbian295 sedarah dijadikan pelajaran, Masihkah problem
semacam ini dijadikan angin lalu begitu saja, Sederet pertanyaan
ini menunjukkan adanya sisi yang belum usai dari masalah
batasan aurat.
Selanjutnya Aurat wanita muslimah di depan wanita non
muslim ini, ada terjadi sedikit perbedaan pendapat di kalangan
jumhur ulama fiqih dengan Mazhab Hambali dan sebagian
pengikut Mazhab Syafi’i:

294
Ardiansyah. “Batasan Aurat Menurut Ulama Klasik Dan
Kontemporer.” Analityca Islamica Vol. 16 Edisi 2, 2016.
295
Dalam hal ini kiranya perlu adanya pembatasan aurat bagi penyuka
sesama jenis.
176
1. Menurut Jumhur Ulama
Aurat wanita muslimah di depan wanita non muslim
menurut jumhur ulama adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan
telapak tangan, seperti halnya auratnya di depan laki-laki non
mahram. Ini merupakan pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah, dan
yang paling masyhur dan shahih dari Syafi’iyah. Dalil yng mereka
gunakan adalah:
Dalil Pertama, yang Atinya: “Janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera–putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-
putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka (Muslimah)…
(QS. An-Nur: 31), Kata wanita-wanita mereka, menurut
penafsiran jumhur ulama artinya wanita-wanita mereka dari
kalangan muslimah. Kata ganti orang ketiga ”mereka” kembali ke
wanita-wanita muslimah. Karena ayat ini khitab atau turun dan
ditujukan buat mereka. Sehingga wanita-wanita muslimah tidak
boleh menampakkan auratnya kecuali di depan sesama wanita
muslimah lainnya.
Dalil Kedua, Dalil yang memperkuat pendapat jumhur
ulama ini adalah hadits Umar: Dari Umar RA, bahwasanya dia
melarang wanita wanita ahli kitab memasuki kamar mandi
bersama-sama dengan wanita-wanita muslimah296 Dari fatwa umar
itu, maka jumhur ulama memahami, agar jangan sampai wanita-
wanita non muslim melihat aurat wanita-wanita muslimah.
Sehingga dilarang mereka memasuki kamar mandi bersama-sama.

296
Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj.…, hlm. 131
177
Dalil Ketiga: Argumen yang memperkuat dilarangnya
wanita muslimah membuka dan memperlihatkan saddu dzari’ah,
karena kalau diperbolehkan melihat kepada aurat wanita
muslimah, dikhawatirkan mereka membuka dan ataupun
menceritakan aib atau aurat wanita muslimah nantinya kepada
lakilaki non muslim.297
2. Hambali dan Sebagian Syafi’i
Pendapat berbeda dari jumhur ulama adalah pendapat dari
Mazhab Hambali dan sebagian dari Mazhab Syafi’i bahwa
batasan aurat wanita muslimah di depan wanita non muslim
adalah seperti batasan aurat mereka di depan wanita muslimah
lainnya, yaitu antara pusar dan lutut. Karena kesamaan jenis di
antara mereka. Mereka juga memahami bahwa ayat di atas yang
digunakan jumhur maknanya adalah ”wanita mereka” mencakup
secara umum dari kalangan muslim atau pun non muslim. 298
Berdasarkan pendapat di atas, maka menurut mereka tidak
mengapa terlihat atau terbuka aurat wanita muslimah di depan
wanita non muslim selain bagian antara pusar dan lutut.
2. Batasan aurat laki-laki dengan laki-laki lain
Mazhab Hanafi membatasi aurat laki-laki dengan laki-laki
lainnya pada bagian pusar hingga lutut, dimana lutut termasuk
bagian yang harus ditutupi lantaran sebagian dari paha.
Kemudian mazhab Syafi’i dan Hanbali membatasi aurat laki-laki
di hadapan laki-laki pada bagian pusar hingga lutut, dengan
catatan, bagian lutut bukan termasuk aurat. Sedangkan mazhab
Maliki memberikan batasan berbeda aurat laki-laki dengan laki-
laki hanya pada kedua lubang (kelamin dan dubur) saja, selain itu
boleh dilihat oleh laki-laki lain, Dari paparan di atas, mayoritas
mazhab sepakat akan kewajiban menutup bagian pusar hingga

297
Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj,…
298
Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 7, hlm. 105 dan Asy-Syirbini,
Mughni al-Muhtaj, ….
178
lutut kecuali Mazhab Maliki, terlepas dari perbedaan pendapat
mengenai lutut itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh tiga hal:
pertama, hadits mengenai terbukanya paha Nabi s.a.w terjadi
lantaran suatu sebab yang tidak terkontrol, yakni peristiwa perang.
Sehingga kondisi berubah menjadi khusus, dan tidak dapat
menggeser ketentuan umum.
Kedua, hadits Anas dan ‘Aisyah tidak cukup kredibel
meruntuhkan kesepakatan redaksi keseluruhan hadits lain pada
tema yang sama, dengan tingkat otentisitas yang sama baiknya.
Ketiga, argumen Aisyah ra mengandung keraguan pada redaksi
terbukanya paha atau betis Nabi s.a.w. Hal ini mengisyaratkan
hanya sebagian paha saja yang terbuka.299 Lantas mengapa
larangan membuka paha disimpulkan dengan bagian antara pusar
hingga lutut, Jika alasannya untuk menghindari rangsangan
sesama jenis, tidakkah bagian dada dan perut laki-laki mampu
menghadirkan rangsangan pula.
Terkait dengan batasan aurat sesama jenis yang sudah
disebutkan di atas, di sini penulis memberikan tambahan khusus
kepada penyuka sesama jenis (lesbian/shihaq dan homoseksual/
liwath), khusus kepada mereka auratnya berbeda dengan aturan
aurat sesama jenis sebagaimana penjelasan di atas, yaitu
menyamakan dengan menampakkan aurat kepada yang bukan
mahramnya. Supaya terhindar dari potensi terjadinya nafsu
seksual sesasama perempuan (lesbian) dan sesama laki-laki
(homoseksual).

3.3 Aurat Mukhaffafah dan Mughallazah serta yang boleh


Melihatnya dalam Keadaan Tidak Normal (Dharuriyyat).
Setelah mengkaji lebih dalam mengenai batasan-batasan
aurat, berikut ini penulis ingin menjelaskan tentang hukum
299
az-Zuhaili, W. Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu. (Kairo: Maktabah
Tawfiqiyah 2003)
179
melihat aurat dengan sesama jenis dibandingkan dengan berlainan
jenis, sebagaimana firma Allah SWT. dalam surat An-Nur ayat 31
menyebutkan bahwa menampakkan aurat (perhiasan) kepada
sesama jenis dibolehkan dan melarang menampakkan aurat
(perhiasan) kepada yang berlainan jenis kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
perempuan-perempuan Islam atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan,
maksudnya perempuan tidak boleh menampakkan aurat selain
kepada laki-laki yang mahramnya, perempuan Islam, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan, Jadi kesimpulan ayat tersebut adalah
perempuan menampakkan perhiasan kepada laki-laki yang bukan
mahramnya jelas tidak dibolehkan (diharamkan) dan
menampakkan aurat (perhiasan) kepada sesama perempuan Islam
dibolehkan disamakan dengan menampakkan aurat kepada
mahramnya.
Dalam surat An-Nur ayat 31 di atas juga memerintahkan
kepada wanita-wanita mukminah. supaya mereka menahan
pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka
sebagaimana perintah kepada kaum laki-laki mukmin untuk
menahannya, dan di samping itu janganlah mereka menampakkan
hiasan, yakni bagian tubuh mereka yang dapat merangsang
laki-laki300 kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali
300
Dalam tafsir tersebut menyebutkan dilarang menampakkah bagian
tubuh yang dapat merangsang laki-laki, dan tidak disebutkan dilarang karena
merangsang perempuan. Pengecualian kepada “lesbian” tetap juga
tidak memperlihatkan auratnya, Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang
180
terlihat tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah
dan telapak tangan.301 Dalam tafsir tersebut menyebutkan dilarang
menampakkah bagian tubuh yang dapat merangsang laki-laki,
dan tidak disebutkan dilarang karena merangsang perempuan.
Dengan demikian bisa penulis simpulkan bahwa menampakkan
aurat kepada kepada berlainan jenis lebih berat dosanya
dibandingkan sesama jenis.
Menurut pendapat ulama mazahab Hanabilah dan
Malikiyah yang membatasi aurat perempuan di hadapan
perempuan lain pada bagian pusar hingga lutut, baik yang sedarah
maupun bukan sedarah, Sedangkan pendapat Mazhab Hanbali
membatasi aurat perempuan di hadapan mahramnya pada seluruh
bagian tubuh, kecuali wajah, kepala, tangan, telapak kaki, mata
kaki, dan betis. Sedangkan aurat perempuan di hadapan laki-laki
bukan mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan. Mazhab Maliki membatasi aurat perempuan di hadapan
mahram laki-laki pada seluruh bagian tubuh kecuali kepala, leher,
tangan dan kaki. Sedangkan aurat perempuan di hadapan laki-laki
bukan mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan302 Walaupun Mazhab Syafi’i membatasi aurat perempuan
di hadapan perempuan sedarah sama dengan di hadapan laki-laki
mahram, yaitu antara pusar hingga lutut, akan tetapi membedakan
batas aurat perempuan dengan perempuan bukan sedarah dan
aurat perempuan dengan laki-laki yang bukan mahram, kalau
aurat perempuan dengan perempuan bukan sedarah batasan
auratnya adalah seluruh tubuh kecuali bagian tertentu seperti leher

mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga


merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik,
seksual, emosional, atau secara spiritual. (Lesbian", Oxford English Dictionary,
Second Edition, 1989. Diakses 7 Januari 2009) buka link:
https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbian
301
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2006),
jil. 9,, hlm. 326
302
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Mazahib...
181
dan rambut, memaknainya serupa dengan term athraf yang
meliputi rambut, kepala, leher, ujung tangan dan ujung kaki.303
Sedangkan aurat perempuan di hadapan laki-laki bukan
marahmnya adalah seluruh tubuhnya tak terkecuali wajah dan
telapak tangannya. 304 bisa dipahami bahwa batasan aurat
perempuan di hadapan laki-laki lebih ketat dibandingkan dengan
sesama perempuan, sehingga implikasi hukumnya juga akan
berbeda, yaitu menampakkan aurat kepada berlainan jenis
hukumnya lebih berat jika dibandingkan dengan menampakkan
aurat kepada sesama jenis.
Mengenai aurat laki-laki, dalam mazhab Maliki yang
membatasi aurat laki-laki dengan laki-laki lainnya hanya pada
kedua lubang (kelamin dan dubur) saja, selain itu boleh dilihat
oleh laki-laki lain. Sedangkan aurat laki-laki di hadapan
perempuan mahram antara pusar hingga lutut. Dan membatasi
aurat laki-laki di hadapan perempuan bukan mahram pada seluruh
bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Bisa
dipahami bahwa menurut mazhab Maliki, laki-laki menampakkan
aurat Mukhaffafahya kepada sesama laki-laki dibolehkan
sedangkan kepada perempuan semahram sekalipun tidak boleh
menampakkan aurat mukhaffafahnya apalagi kepada perempuan
bukan mahramnya. sehingga implikasi hukumnya adalah
menampakkan aurat kepada berlainan jenis hukumnya lebih berat
jika dibandingkan dengan menampakkan aurat kepada sesama
jenis, malahan aurat tertentu seperti aurat Mukhaffafah menjadi
boleh diperlihatkan kepada sesama jenis dan tidak boleh
diperlihatkan kepada yang berlainan jenis.
Walaupun Mazhab Syafi’i dalam hal ini membatasi aurat
laki-laki dengan laki-laki lainnya (baik sedarah maupun tidak

303
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah. (Kairo:
Maktabah at-Tijariyah. 2005)
304
Ardiansyah. “Batasan Aurat ...
182
sedarah) dan laki-laki dengan perempuan semahram batasan
auratnya sama-sama antara pusar hingga lutut (tidak membedakan
laki-laki dengan perempuan semahram). Akan tetapi tetap
membatasi aurat laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram
pada seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan,
bisa disimpulkan bahwa batasan aurat antara laki-laki dengan laki-
laki berbeda dengan batasan aurat antara laki-laki dengan
perempuan. Aurat laki-laki dengan perempuan lebih ketat
dibandingkan aurat sesama laki-laki.
Berdasarkan penjelasan Surat An-Nur ayat 31 dan
pendapat ulama mazhab di atas, bisa disimpulkan bahwa ada aurat
tertentu yang boleh dinampakkan kepada sesama jenis, misalnya
aurat muhaffafah (aurat ringan) akan tetapi aurat mukhafafah
tersebut menjadi tidak boleh dinampakkan kepada yang berlainan
jenis dan tidak semahram. Sehingga implikasi hukumnya adalah
menampakkan aurat mukhaffafah kepada yang sesama jenis
dibolehkan dan aurat mukhafafah tidak boleh dinampakkan
kepada yang berlainan jenis. Jadi menampakkan aurat kepada
berlainan jenis hukumnya lebih berat jika dibandingkan dengan
menampakkan aurat kepada sesama jenis.
Akan menjadi pertanyaan lanjutan adalah bagaimana jika
hukum melihat aurat atau menampakkan aurat yang sesama jenis
dibandingkan dengan yang berlainan jenis dalam keadaan
Dharuriyyat, penulis mengangkat contoh kasus dharuriyyat
berobat kepada berlainan jenis atau menampakkan aurat untuk
keperluan berobat. Ketentuan tentang melihat aurat yang berlainan
jenis ini berangkat dari keterangan dari kitab Hâsyiyah al-Bâjury,
sebagai berikut: Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke
perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan
untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu
(harus) disertai kehadiran mahram, suami, atau sayid, [dengan
catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa
183
mengobatinya.”305 sebagaimana Rasululllah s.a.w. Bersabda
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki dan wanita berkhalwat,
kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.” (HR Bukhari). Bisa
disimpulkan bahwa boleh berobat kepada dokter laki-laki dengan
syarat didampingi mahramnya, dan jika tidak ada dokter
perempuan yang bisa menanganinya. Dan seandaianya ada dokter
perempuan yang bisa menanganinya maka hukum berobat pada
dokter laki-laki menjadi dilarang (haram).
Dalam batasan-batasan tertentu, para ulama membolehkan
seorang dokter atau para medis melakukan pemeriksaan terhadap
pasien yang berlawanan jenis jika tidak ada seorang dokter
berjenis kelamin sama. Ibnu Abidin berkata: Dalam kitab Al-
Jauharah disebutkan: “Jika penyakit tersebut menyerang seluruh
tubuh si wanita maka dokter boleh melihatnya saat pengobatan,
kecuali alat kelamin yang vital. Sebab hal itu termasuk darurat.
Jika tempat yang sakit adalah kemaluan, maka hendaknya diajari
seorang wanita lain untuk mengobatinya. Jika tidak ada juga
sementara keselamatan jiwanya sangat mengkhawatirkan atau
dikhawatirkan tertimpa penyakit yang tidak mampu ia tahan,
maka hendaklah mereka menutup seluruh tubuhnya kecuali
tempat yang sakit itu (yakni kemaluan) lalu dipersilakan dokter
mengobatinya dengan tetap menahan pandangan semampunya
kecuali terhadap bagian yang tengah diobati”.306 Bisa
disimpulkan bahwa hendaknya pasien perempuan terlebih dahulu
mendatangi /berobat kepada dokter perempuan, jika tidak ada
dokter perempuan baru boleh mendatangi/ berobat kepada dokter
laki-laki, begitu juga halnya bagi pasien laki-laki.

305
Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-
Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ
Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, hlm. 99
306
Raddul Mukhtar V/237 dan lihat juga Al-Hidayah Al-'Aladiyah, hlm.
245
184
Sebagaimana Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh sudah mengeluarkan fatwa dalam sidang paripurna – V
dengan temanya “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan
Medis Oleh yang Berlainan jenis dalam pandangan Islam” 307 Di
dalam fatwa MPU tersebut di atas menjelaskan bahwa pasien laki-
laki ditangani oleh dokter spesialis laki-laki dan pasien perempuan
ditangani oleh dokter spesialis perempuan hal ini dalam kondisi
ikhtiari, adapun dalam kondisi dharuriyyat dibolehkan perempuan
berobat pada dokter spesialis laki-laki dan juga sebaliknya, itu
dalam keadaaan sangat mendesak dan tidak bisa dielakkan (tidak
ada pilihan lain), maksudnya dibolehkan pasien perempuan yang
ingin berobat (melahirkan) pada dokter kandungan laki-laki
selama tidak ada dokter spesialis perempuan yang bisa membantu
menangani pasien perempuan tersebut, akan tetapi realita
sekarang di provinsi Aceh hampir semua kabupaten/kota tersedia
dokter spesialis kandungan yang berjenis kelamin perempuan308
terutama di wilayah kota Banda Aceh dokter spesialis kandungan
yang berjenis kelamin perempuan sudah banyak dan hampir
sebanding dengan jumlah dokter kandungan laki-laki.
Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz
rahimahullah mengatakan: “Seharusnya para dokter wanita
menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki
melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang
sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan
wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan

307
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Himpunan Bahan
Keputusan/Hasil Sidang “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan Medis
Oleh yang Berlainan Jenis Dalam Pandangan Islam”, tp, 2017. Hasil Sidang
paripurna – V , hlm. 64.
308
Husnaini, dkk, Hukum Melahirkan Pada Dokter kandungan laki-
laki (Perspektif Hukum Islam dan Pendapat Ulama MPU Aceh)” (IAIN
Lhokseumawe: Laporan Penelitian) 2018. hlm, 23-24
185
dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban
semua orang”. 309
Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita
mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani
penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke
seorang dokter laki-laki. Kalau tidak memungkinkan maka ia
boleh melakukannya. 310 maksud tidak memungkinkan adalah
dalam kondisi dharuriyyat dan tidak ada dokter perempuan yang
bisa membantu pasien perempuan tersebut.
Berikut juga penulis kutip Qanun Nomor 13. Tahun 2003
Tentang Khalwat (Mesum) pada pasal 1 ayat 20 yang dimaksud
dengan Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara
dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan
mahram atau tanpa ikatan perkawinan. Bisa terjadinya khalwat
pada tindakan medis yang ditangani oleh tenaga medis yang
berlainan jenis, apalagi pada tindakan medis melahirkan, terutama
perempuan yang melahirkan tersebut ditangani oleh dokter yang
berjenis kelamin laki-laki. Kesimpulannya adalah dibolehkan
menampakkan aurat kepada berlainan jenis tetapi dalam kondisi
dharuriyyat, maksudnya dalam kondisi berobat (dharuriyyat)
boleh berobat (menampakkan aurat) kepada dokter yang berlainan
dengan syarat tidak ada dokter yang sesama jenis yang bisa
membantunya.
Dengan adanya anggapan dari masyarakat terutama di
wilayah Banda Aceh, yang mengklaim bahwa melahirkan kepada
dokter kandungan laki-laki termasuk kondisi dharuriyyat,
sehingga penulis menghubungkan dengan konsep dharuriyyat
309
Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm.
230, lihat https://almanhaj.or.id/2883-jika-wanita-muslimah-berobat-ke-dokter-
lelaki.html
310
Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatâwa al-
Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha. Lihat, https://almanhaj.or.id/
2883-jika-wanita-muslimah-berobat-ke-dokter-lelaki.html
186
dalam hal melahirkan pada dokter kandungan laki-laki, adalah
dengan menghubungkan dengan kaidah-kaidah dharuriyyat
sebagai uraian berikut ini:

a. Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang

‫المخظورات• تبیح الضرورة‬


Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan
dharuriyyat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal
yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut: Pertama, kondisi dharuriyyat itu mengancam jiwa dan
atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-Quran surah al-
An’am/6: 145, artinya menjaga jiwa (hifzu al-nafs). Tampaknya,
semua hal yang terlarang dalam rangka mempertahankan Maqasid
al-Syari’ah termasuk kondisi dharuriyyat dalam arti apabila hal
tersebut tidak dilakukan maka Maqasid al-Syari’ah terancam,
seperti boleh memukul orang apabila akan merebut harta milik
kita. Demikian pula boleh menangkap dan menghukum pelaku
pornografi dan pornoaksi adalah untuk menyelamatkan keturunan
(Hifzu al-Nasl). Kedua, keadaan dharuriyyat hanya dilakukan
sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas. Ketiga, tidak ada
jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh: dalam kasus perempuan melahirkan dari
penerapam kaidah di atas bisa dipahami bahwa seandainya
perempuan tersebut tidak ada jalan lain selain harus berobat pada
dokter laki-laki berarti hal tersebut dianggap dharuriyyat yang
tidak ada jalan lain, akan tetapi kasusnya ada dokter kandungan
perempuan, sehingga pasien perempuan tersebut punya jalan/
alternatif pilihan lain yang dibolehkan dalam Islam. bahwa pasien
laki-laki ditangani oleh spesialis laki-laki dan pasien perempuan
ditangani oleh spesialis perempuan dalam kondisi ikhtiari, adapun
dalam kondisi dharuriyyat dibolehkan perempuan berobat pada

187
spesialis laki-laki dan juga sebaliknya, itu dalam keadaaan sangat
mendesak dan tidak bisa dielakkan (tidak ada pilihan lain).311
b. Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar
kemudharatannya, ‫ ھا بق•••در تق•••در الض•••رورات‬dan Apa yang
dibolehkan kerena dharuriyyat diukur sekedar
kemudaratannya. ‫ھا بقدر یقدر ورات لضرا ماابیح‬
Kedua kaidah di atas sesungguhnya membatasi manusia
dalam melakukan yang dilarang karena kondisi dharuriyyat.
Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena
dharuriyyat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya
sekedarnya. Contoh: selama tidak ada dokter perempuan, seorang
dokter laki-laki dibolehkan melihat aurat perempuan yang
diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan saja,
sehingga tidak perlu membuka aurat selain untuk kebutuhan
pengobatan.
c. Kemudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang
memungkinkan
‫االمكان بقدر ال یز الضلرر‬
Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan al-Quran demi
terpeliharanya al-Quran; usaha damai agar tidak terjadi perang;
usaha kebijakan dalam ekonomi, agar rakyat tidak kelaparan
adalah di antaranya contoh penerapan kaidah tersebut. 312 Usaha
perempuan menyelamatkan bayi dalam kandungannya, dengan
meminta bantuan dokter kandungan untuk menyelamatkan
bayinya.

311
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Himpunan Bahan
Keputusan/Hasil Sidang “Penggunaan Obat Bernajis dan Pelayanan Medis
Oleh yang Berlainan Jenis Dalam Pandangan Islam”, tp, 2017. Hasil Sidang
paripurna – V , h. 64.
312
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Garnati al-Syatibi, al-
Munafaqat, Fil ..., hlm. 73
188
d. Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan
lagi
‫لضرر با ال ابز ال لضرر‬
Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain, misalnya,
seorang pasien perempuan yang dalam keadaan dharuriyyat mau
melahirkan dan ada dokter perempuan yang bisa menanganinya,
tetapi dengan alasan lebih yakin terhadap kemampuan dokter laki-
laki, sehingga pasien perempuan melahirkan pada dokter
kandungan laki-laki, maka sesuai kaidah ini tidak dibolehkan.
e. Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemudhratan yang bersifat umum
‫العام الصرر الخل الخاص الصرر یحتمل‬
Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk
kepentingan umum. Dan memenjarakan orang yang menolak
memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib
dinafkahinya.313 Semakna dengan kaidah ini adalah kaidah:
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana
yang lebih besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih
ringan dari mudharatnya”. Contoh lainnya: dibolehkan seorang
dokter kandungan perempuan membantu melahirkan pasien
perempuan, untuk menghindari pasien perempuan tersebut
melahirkan pada dokter kandungan laki-laki yang akan
menampakkan aurat mughallazah/kemaluannya. Karena di antara
dua mafsadah bertentangan, maka perlu diperhatikan mana yang
lebih besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudharatnya. Contoh lainnya adalah mengoperasi wanita
meninggal yang sedang mengandung untuk menyelamatkan bayi
yang masih hidup dalam perutnya. Apabila si ibu masih hidup,

313
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Garnati al-Syatibi, al-
Munafaqat, Fil ...,, hlm. 77.
189
maka mengoperasian ibu yang sedang hamil boleh dilakukan
meskipun mengakibatkan bayi dalam perutnya meninggal. Dalam
hal ini membiarkan si ibu meninggal lebih mudharat dari pada
bayi yang ada dalam perutnya.
Bertitik tolak dari definisi, kaidah-kaidah dan contoh
penerapan dharuriyyat di atas, maka dapat dipahami bahwa harus
ada penetapan batasan-batasan (dhawabit) bagi dharuriyyat
ataupun syarat-syaratnya, sehingga hukumnya boleh dipegang dan
boleh pula melanggar kaidah-kaidah yang umum dalam
menetapkan yang haram dan menetapkan yang wajib karena
dharuriyyat itu. Oleh karena itu, jelaslah bahwa tidak semua orang
yang mengklaim adanya dharuriyyat. Untuk membatasi
pengertian dharuriyyat dapat ditarik tiga pemahaman dengan
berdasar antara lain pada Q.S. al-Baqarah/2: 173 yang Artinya: ...
Maka barang siapa yang terpaksa (memakanya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
dosa baginya.
Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Allah swt.,
mengharamkan beberapa jenis makanan, kecuali dalam kondisi
dharuriyyat, dengan dua syarat, yaitu: (1) dalam kondisi sangat
lapar, dan tidak ditemukan makanan untuk mempertahankan
hidup. Orang yang mengalami keadaan demikian disebut sebagai
orang yang terpaksa karena kondisi, (2) orang yang dipaksa oleh
seseorang agar memakan yang haram, sehingga yang haram itu
menjadi halal baginya.
Bisa kita buat perumpamaan kepada kasus melahirkan: (1)
Dalam kondisi emergency (Dharuriyyat), perempuan tiba-tiba
harus melahirkan dan sudah dicarikan dokter perempuan tetapi
tidak ada dokter perempuan di daerah tersebut, demi
menyelamatkan hidupnya perempuan tersebut ditangani oleh
Dokter laki-laki, perempuan tersebut dianggap dalam kondisi

190
terpaksa (dharuriyyaat), (2) perempuan tersebut dipaksa harus
melahirkan pada dokter kandungan laki-laki. Sehingga yang dasar
tidak bolehnya melahirkan pada dokter laki-laki menjadi boleh.
dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila perempuan
tersebut tidak dalam keadaan dipaksa, dan di daerah tersebut ada
dokter kandungan perempuan yang bisa menangani perempuan
tersebut melahirkan, maka dharuriyyat berobat pada dokter
kandungan laki-laki menjadi hilang, sehingga hukumnya dilarang.
Penglihatan adalah pintu terbesar menuju hati dan
merupakan indera tercepat untuk sampai ke sana. Oleh karena itu
banyak terjadi kesalahan akibat penglihatan. Selain itu,
penglihatan harus diwaspadai, dan menahannya dari hal-hal yang
diharamkan dan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah adalah
perkara yang diwajibkan. Dan sudah menjadi hal yang lumrah
bahwa pandangan menjadi faktor utama timbulnya perzinaan.
Seumpama orang yang sering memandang kepada kecantikan
seorang wanita terkadang dapat menimbulkan rasa suka di dalam
hatinya, dan kemungkinan itu dapat menyebabkan kehancuran.
Maksudnya adalah berawal dari pandangan, kemudian dapat
berlanjut kearah yang dapat menimbulkan syahwat sehingga
mengarah kepada perbuatan perzinaan, apalagi yang dilihat
tersebut aurat (perhiasan) apalagi aurat mughallazah perempuan,
bahkan dalam kondisi melahirkan malahan aurat yang dilihat oleh
dokter laki-laki adalah organ vital (aurat mughallazah) yang
sesama jenis saja tidak boleh (haram) dilihat, apalagi dilihat oleh
yang berlainan jenis (Kecuali suaminya). Dan banyak kisah kita
baca dan dengarkan di media, terjadinya pelecehan seksual oleh
tenaga medis laki-laki terhadap pasien perempuan. Kejadian
tersebut bisa saja terjadi bukan hanya karena ada niat terencana
dari pelaku, tetapi bisa juga terjadi karena kondisi yang
memungkinkan dan adanya kesempatan.

191
Penggunaan metode qiyas dalam menemukan status hukum
berobat pada berlainan jenis.
Kemudian dalam hal melahirkan kepada dokter laki-laki,
penulis mencoba menggunakan metode Qiyas dalam hal
penetapan hukum melahirkan kepada dokter kandungan laki-laki,
karena tidak ada nash khusus yang menjelaskannya, sehingga
dapat dijadikan sebagai dasar hukum, untuk menetapkan
hukumnya ditempuh dengan cara qiyas, penulis menqiyaskan atau
menganalogikan perbuatan tersebut dengan 3 perbuatan hukum
yang ada dalilnya dalam al-Qur’an dan hadits yaitu:
Pertama, disamakan dengan: a). Perintah kepada laki-laki
untuk menahan pandangannya dan b). Pelarangan kepada wanita
menampakkan aurat kepada laki-laki,314 a). Sebagaimana firman
Allah SWT dalam QS. an-Nur: 30, dalam Tafsir Almuyassar
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasul supaya
kaum laki-laki yang beriman agar mereka menahan
pandangannya dari melihat hal-hal yang tidak halal bagi
mereka seperti aurat, karena menahan pandangan dari perkara
haram itu adalah lebih suci bagi mereka di sisi Allah. 315 Dalam hal
kasus melahirkan pada dokter kandungan laki-laki, secara
otomatis dokter laki-laki akan melihat pasien perempuan bahkan
melihat aurat mughallazah dari perempuan tersebut, sehingga
berdasarkan dalil dan tafsir tersebut bisa dipahami bahwa, kasus
melahirkan menjadi tidak dibolehkan, disamakan dengan perintah
kepada laki-laki untuk menahan pandangannya (larangan kepada
laki-laki melihat aurat), sehingga bisa disimpulkan bahwa dokter
laki-laki tidak dibolehkan membantu perempuan melahirkan.

314
Karena melahirkan kepada dokter laki-laki secara otomatis akan
menampakkam auratnya bahkan aurat mughallazahnya kepada dokter laki-laki
tersebut.
315
Kementerian Agama Saudi Arabia, Tafsir Almuyassar. Lihat di
https://tafsirweb.com/6158-quran-surat-an-nur-ayat-30.html
192
b). Selanjutnya firman Allah SWT dalam QS. an-Nur: 31,
dalam Tafsir Almuyassar menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan Kepada wanita-wanita yang beriman agar mereka
menjaga kemaluan mereka dengan menjauhi perbuatan keji dan
dengan menutup aurat mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kepada laki-laki asing (yang bukan
mahramnya) kecuali yang biasa nampak darinya yang tidak
mungkin untuk disembunyikan seperti pakaian. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka agar menutup
rambut, kepala, wajah dan leher mereka. Dan janganlah
menampakkan perhiasan mereka yang tersembunyi.316 Dikaitkan
dengan kasus melahirkan, secara otomatis perempuan tersebut
akan menampakkan auratnya yang tersembunyi bahkan aurat
mughallazahnya kepada dokter laki-laki, sehingga berdasarkan
dalil dan tafsir tersebut bisa dipahami bahwa, kasus melahirkan
pada dokter laki-laki menjadi tidak dibolehkan, disamakan
dengan perintah kepada kaum wanita untuk menutup auratnya.
sehingga bisa disimpulkan bahwa melahirkan kepada dokter
kandungan laki-laki hukumnya menjadi haram.
Kedua diqiyaskan kepada hukum mendekati zina317 QS. al-
Isra’: 32 Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk. Dalam Tafsir Kementerian Agama
menjelasakan bahwa, dalam ayat ini, Allah SWT melarang para
hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya ialah
melakukan perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti
pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan,
membaca bacaan yang merangsang, menonton tayangan sinetron

316
Kementerian Agama Saudi Arabia, Tafsir Almuyassar, lihat di
https://tafsirweb.com/6159-quran-surat-an-nur-ayat-31.html
317
Menampakkan aurat apalagi aurat vitalnya saat berobat pada dokter
laki-laki merupakan perbuatan yang mendekatkan kepada perbuatan zina atau
bisa juga berpotensi terjadinya pemerkosaan terhadap perempuan tersebut.
193
dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan
merebaknya pornografi dan pornoaksi. Semua itu benar-benar
merupakan situasi yang kondusif bagi terjadinya perzinaan.
Larangan melakukan zina diungkapkan dengan larangan
mendekati zina untuk memberikan kesan yang tegas, bahwa jika
mendekati perbuatan zina saja sudah dilarang, apalagi
melakukannya.318
Allah memerintahkan untuk menahan pandangan, karena
memandang orang yang terlarang untuk dipandang merupakan
zina mata. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
“Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya
adalah mendengarkan dengan seksama, lidah zinanya adalah
berbicara, tangan zinanya adalah menyergap/menangkap, dan
kaki zinanya adalah melangkah”. (Mutafaq ‘alaih, lafazhnya bagi
Muslim) Memandang kepada yang diharamkan untuk dilihat
adalah zina, karena orang itu bersenang-senang dengan
memandang kecantikan wanita (apalagi melihat aurat
mughallazah), dan hal itu akan membawa wanita itu memasuki
hati orang yang memandangnya, sehingga akan terikat di dalam
hatinya. Sehingga dia akan berusaha melakukan kekejian (zina)
atau pemerkosaan dengannya. Maka jika Allah melarang
memandang kepada wanita karena hal itu akan membawa kepada
kerusakan.319
Berdasarkan pada tafsir al-Qur’an dan dalil hadits di atas
bisa dipahami bahwa mendekati zina hukumnya dilarang dalam
Islam, dan memandang kepada yang diharamkan untuk dilihat
adalah termasuk zina mata320 dan menyentuh kepada yang dilarang

318
Buka web, https://quran.kemenag.go.id/sura/17
319
https://almanhaj.or.id/2844-ikhtilath-sebuah-maksiat.html
320
Maksudnya zina mata dalam kasus melahirkan adalah, laki-laki
melihat aurat bahkan kemaluan dari pasien perempuan.
194
termasuk zina tangan321 (perbuatan mendekati zina), kasus
melahirkan dalam hal dokter laki-laki melihat bahkan menyentuh
aurat termasuk aurat mughallazah/kemaluan perempuan
disamakan dengan perbuatan mendekati zina. Sehingga
kesimpulannya adalah melahirkan kepada dokter laki-laki
hukumnya sama dengan perbuatan mendekati zina yaitu dilarang.
Ketiga: disamakan juga dengan hukum Ikhtilath322
sebagian besar ulama berpendapat bahwa ikhtilath dilarang dalam
Islam. Pandangan tersebut didasarkan pada ayat Al-Qur’an dan
hadits. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 53: “Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”. Ibnu Katsir yang
menafsirkan tentang ayat ini berkata, “Yaitu, sebagaimana aku
larang kalian memasuki tempat kaum perempuan, demikian pula
janganlah kalian melihatnya secara keseluruhan. Jika di antara
kalian memiliki keperluan yang ingin diambil dari mereka, maka
jangan lihat mereka dan jangan tanya keperluan mereka kecuali
dari balik tabir”.323 Ayat tersebut menyatakan bahwa jika laki-laki
memiliki suatu kepentingan yang mengharuskannya menemui
perempuan, ia harus melakukannya dari balik kain tabir penutup.
Supaya terhindar dari terjadinya ikhtilath.
Dalam hadits Bukhari, dikisahkan bahwa Nabi
Muhammad SAW selalu berdiam diri usai sholat. “Dari Ummu
Salamah radhiallahu anha dia berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam jika beliau salam (selesai shalat) maka kaum
321
Maksudnya zina tangan dalam kasus melahirkan adalah, laki-laki
menyentuh bahagian tubuh bahkan kemaluan dari pasien perempuan
322
Ikhtilat adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan
mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara
laki-laki dan wanita itu (misalnya berbicara, bersentuhan, dan berdesak-
desakan), Baca: Sa’id Al-Qahthani, Al-Ikhtilath Baina Rijal wa Annisa, hlm.7
dalam al-maktabah Asy Syamilah
323
Tafsir Ibnu Katsir, https://al-Qur’an mulia.wordpress.com/2015/
10/11/tafsir-ibnu-katsir-surah-al-ahzab-ayat-53
195
wanita segera bangkit saat beliau selesai salam lalu beliau diam
sebentar sebelum bangun. Ibnu Syihab berkata, “menurutku dan
hanya Allah yang tahu beliau melakukan itu agar kaum wanita
punya kesempatan untuk pergi sehingga seseorang yang berlalu
pulang dari kalangan laki-laki tidak bertemu dengan mereka”
(HR. Bukhari, no. 793)324.
Rasulullah juga memerintahkan untuk membuat pintu
masjid khusus wanita. Ini termaktub dalam Hadits Riwayat Abu
Daud yang berbunyi: “Dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaknya kita
khususkan pintu ini untuk wanita.’ Nafi berkata, ‘Maka Ibnu
Umar tidak pernah masuk lewat pintu itu hingga wafat.” (HR.
Abu Daud, no. 484 dalam kitab ‘Ash-Shalah).325 Islam melarang
perbuatan tersebut karena sifatnya yang merapatkan hubungan
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Sehingga
terjadinya ikhtilath, yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan
umat kepada perzinaan. Berdasarkan tafsir dan dalil hadits di atas
bisa disimpulkan bahwa, dalam kasus melahirkan pada dokter
laki-laki, yang diharuskan di ruangan khusus dan hanya tenaga
medis yang boleh berada di ruangan tersebut, mengakibatkan
terjadinya ikhtilat dengan memandang dan bersentuhan antara
tenaga medis laki-laki dengan pasien perempuan, sehingga
melahirkan kepada dokter laki-laki menjadi dilarang.

324
Ismail, Bukhari Abu ‘Abdillah Muhammad ibn, al-Shahih al-
Bukhari…, No. 793
325
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, … No 484
196
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Tinjauan al-Qur’an dan Hadits Mengenai Aurat dan
Pendapat Ulama dan Konteks Realitanya
Tidak ada nash khusus tentang hukum melahirkan
skepada dokter kandungan laki-laki, untuk menetapkan
hukumnya, ditempuh dengan cara qiyas dalam hal penetapan
hukumnya, yaitu menyamakan atau menganalogikan perbuatan
tersebut dengan 3 perbuatan hukum yang ada dalilnya dalam al-
Qur’an dan hadits yaitu: Pertama, Perintah kepada kaum laki-laki
menahan pandangannya dan larangan kepada kaum wanita
menampakkan aurat kepada laki-laki, (QS. an-Nur: 30-31).
Kedua, Larangan mendekati Zina (QS. al-Isra’: 32). Ketiga,
disamakan juga dengan hukum Ikhtilath, ketiga perbuatan
tersebut hukumnya dilarang. Dalam konsep maqasyid dharuriyyat
melahirkan pada dokter kandungan laki-laki, apabila perempuan
tersebut tidak dalam keadaan dipaksa, dan di daerah tersebut ada
dokter kandungan perempuan yang bisa menangani perempuan
tersebut melahirkan, maka dharuriyyat berobat pada dokter
kandungan laki-laki menjadi hilang, sehingga hukumnya dilarang,
jika tidak ada dokter perempuan, seorang dokter laki-laki
dibolehkan melihat aurat perempuan yang diobatinya sekedar
yang diperlukan untuk pengobatan saja, sehingga tidak perlu
membuka aurat selain untuk kebutuhan pengobatan.
4.1.2 Aurat Mukhaffafah dan Mughallazah serta yang boleh
melihatnya dalam keadaan normal
Menurut Imam Malik kategorisasi aurat perempuan
dibagi kepada dua macam, yaitu Pertama, Aurat mughallazah
(aurat berat) yaitu bahagian tubuh terletak di antara bahagian
dada sampai dengan lutut. Kedua, Aurat mukhaffafah (aurat
197
ringan) adalah rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki,
kemudian kategorisasi aurat laki-laki juga dibagi kepada dua
macam yaitu: Pertama Aurat mughallazhah adalah kemaluan dan
dubur, kedua aurat mukhaffafah adalah aurat selain dari kemaluan
dan dubur, yang berada di antara pusar dan lutut, yaitu pusar,
pantat326, paha dan lutut.
1. Batasan aurat sesama mahram dengan yang bukan
mahram
Dalam Mazhab Hanafiyah batasan aurat antara perempuan
dengan mahramnya adalah: anggota tubuh yang ada di antara
pusar hingga lutut, punggungnya, dan perutnya. Selain anggota
tubuh tersebut boleh dinampakkan kepada mahramya, bahwa
menampakkan payudara kepada mahramnya menurut pendapat
mazhab Hanafi dibolehkan, begitu juga mayoritas ulama mazhab
Syafi’i berpendapat bahwa menampakkan dada dan payudara
kepada sesama mahram dibolehkan. Berbeda dengan ulama dari
Mazhab Maliki dan pendapat resmi dari kalangan Mazhab
Hanbali, anggota tubuh perempuan yang boleh terlihat oleh
mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki saja.
Maka haram baginya menampakkan dada, payudara, dan anggota
tubuh lainnya di hadapan mahramnya. Kemudian terkait adanya
tingkatan mahram dalam hal kebolehan memperlihatkan aurat,
sebagaimana al-Qurtubi membedakan mahram keturunan dengan
mahram pernikahan (kecuali suaminya), begitu juga dengan
mahram sepersusuan. Menurutnya keterbukaan seorang wanita di
hadapan bapak dan saudara laki-lakinya lebih terjamin atau
terpelihara daripada keterbukaannya di hadapan anak suami (anak
tiri).

326
Pantat adalah bagian pangkal paha di sebelah belakang (yang
mengapit dubur) atau biasa disebut bokong, Buka web
(https://kbbi.web.id/pantat)
198
2. Batasan Aurat Laki-Laki dengan Laki-Laki Lain dan
Aurat Perempuan dengan Perempuan Lainnya
Mengenai batasan aurat antara laki-laki dengan laki-laki
lainnya, dalam hal ini mayoritas mazhab sepakat akan kewajiban
menutup aurat antara sesama laki-laki pada bagian pusar hingga
lutut, kecuali Mazhab Maliki yang memberikan batasan berbeda
aurat sesama laki-laki hanya pada kedua lubang (kelamin dan
dubur) saja. Selanjutnya mengenai batasan aurat antara
perempuan dengan perempuan lainnya mazhab Hanbali dan
mazhab Maliki aurat sesama perempuan hanya pada bagian pusar
hingga lutut saja baik peerempuan sedarah maupun tidak sedarah.
Sedangkan Mazhab Syafi’i membedakan batasan aurat antara
perempuan sedarah dengan tidak sedarah. Dengan sesama
perempuan sedarah batasan aurat hanya dari bagian pusar hingga
lutut saja, sedangkan dengan tidak sedarah adalah seluruh tubuh
kecuali kecuali bagian leher, rambut, kepala, ujung tangan dan
ujung kaki. Namun Mazhab Hanafi hanya membatasi aurat secara
umum aurat perempuan pada seluruh bagian tubuhnya, kecuali
bagian wajah, telapak tangan, dan telapak kaki hingga mata kaki,
tidak menjelaskan secara khusus aurat sesama perempuan.
Terkait dengan batasan aurat sesama jenis, penulis
memberikan tambahan khusus kepada penyuka sesama jenis
(lesbian/shihaq dan homoseksual/liwath), khusus kepada mereka
auratnya yaitu menyamakan dengan menampakkan aurat kepada
yang bukan mahramnya. Supaya terhindar dari potensi terjadinya
nafsu seksual sesasama perempuan (lesbian) dan sesama laki-laki
(homoseksual).

199
4.1.3 Aurat Mukhaffafah dan Mughallazah serta yang boleh
melihatnya dalam keadaan tidak normal (Dharuriyyat)
Berdasarkan penjelasan Surat An-Nur ayat 31 dan
pendapat ulama mazhab, bisa disimpulkan bahwa ada aurat
tertentu yang boleh dinampakkan kepada sesama jenis misalnya
aurat muhaffafah (aurat ringan) akan tetapi aurat mukhafafah
tersebut menjadi tidak boleh dinampakkan kepada yang berlainan
jenis dan tidak semahram. Sehingga implikasi hukumnya adalah
menampakkan aurat mukhaffafah kepada yang sesama jenis
dibolehkan dan aurat mukhafafah tidak boleh dinampakkan
kepada yang berlainan jenis. Dan dibolehkan menampakkan aurat
kepada berlainan jenis tetapi dalam kondisi dharuriyyat, misalnya
dalam kondisi berobat (dharuriyyat) boleh berobat (menampakkan
aurat) kepada dokter yang berlainan jenis dengan syarat tidak ada
dokter yang sesama jenis yang bisa membantunya. Sehingga
dalam kondisi dharuriyyat dibolehkan menampakkan aurat
kepada berlainan jenis apalagi kepada yang sesama jenis.
4.2 Saran
Kepada kaum perempuan yang lebih suka melahirkan
pada dokter kandungan laki-laki dibandingkan melahirkan dengan
dokter kandungan perempuan, supaya mempertimbangakan
kembali kebiasannya tersebut, karena untuk kondisi saat ini sudah
ada dan banyak tersedia dokter kandungan perempuan, sehingga
melahirkan pada dokter kandungan laki-laki tidak termasuk
kategori dharuriyyat lagi. Bagi pemerintah Aceh untuk
merealisasikan Qanun nomor 11 tahun 2002 dan Qanun nomor 13
tahun 2003, dan membuat aturan khusus di lingkungan medis
tentang pemisahan pelayanan medis terhadap berlainan jenis,
khususnya pelayanan medis terhadap pasien perempuan yang
ingin melahirkan, dan memaksimalkan bantuan beasiswa kepada
dokter kandungan perempuan.

200
4.3 Rekomendasi
Khusus klasifikasi aurat perempuan menurut penulis perlu
penambahan satu kategorisasi lagi, yaitu aurat pertengahan (aurat
mutawassithah), Sehingga menjadi tiga kategorisasi aurat
perempuan yaitu: Pertama, Aurat Mughallazah (aurat berat) yaitu
aurat yang terletak antara pusat hingga lutut (sebagaimana
pendapat imam Malik); dan Kedua, aurat mutawassithah (aurat
pertengahan) yang meliputi bahagian pertengahan tubuh dari
perempuan selain dari aurat Mughallazah, yaitu: bagian dada,
payudara, perut dan betisnya; kemudian yang Ketiga, aurat
mukhaffafah (aurat ringan), adalah selain dari aurat Mughallazah
dan Mutawassithah, yaitu: ujung- ujung dari bagian tubuh
perempuan yang meliputi: rambut, kepala, leher, tangan (antara
siku hingga ujung tangan) dan ujung kaki. Sehingga dengan
adanya kejelasan kategorisasi aurat perempuan akan juga
mempermudah siapa saja yang boleh melihat kepada tiga kategori
aurat tersebut.
Pendapat mazhab Maliki dan Hanbali ini lebih tepat untuk
bisa dijadikan sebagai rujukan aurat perempuan dengan
mahramnya, karena menurut penulis aurat perempuan yang boleh
dinampakkan kepada mahramnya hanyalah sebatas kepada: wajah,
kepala, leher, dua tangan dan dua kaki, selain dari bagian tersebut
(bahagian dada/payudara) haram menampakkan kepada
mahramnya, sehingga potensi terjadinya zina dan pemerkosaan
antara sesama mahram itu bisa terminimalisir.

201
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
‘Ali Abd Rabbih, Buhus fi al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha ‘Ind al-
Ushuliyyin, Mathba’ah al-Sa’adah, 1980.
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar Kuwaitiyah,
1968
Abdallah M. al-Husayn al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama: 2004.
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Halim. Maslahah Mursalah Relevansinya Dengan
Pembaharuan Hukum Islam. Antologi Kajian Islam
Tinjauan Filsafat, Tasawuf, Institusi, Pendidikan, al-
Qur’an , Hukum dan Ekonomi Islam. Seri 12.
(Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 2007.
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga
Sakinah, alih bahasa Ida Mursida, Bandung: Mizan, 1992.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Fiqh. Diterjemahkan oleh Noer
Iskandar dkk dengan judul: “Kaidah-Kaidah Hukum
Islam” Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. Terj. Faiz el Muttaqien
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al- ‘Azazi, Tamamul Minnah
fi al-Kitab wa shohih asSunnah, jilid ke-3, t.t.p, Darul
Aqidah, .t.t.
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I,
Beirut Libanon: Muassasah al-Risalah, 1997
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa
min ‘Ilm al-ushul, Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Syifa` al-
Ghalil, Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.

202
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Garnati al-Syatibi, al-
Munafaqat, Fil Ushul al-Ahkam, Jilid II, Beirut: Dar al-
Ma’rifah lil al-Taba’ah Wa al-Nasyr, 1341 H.
Abu Mujadiddul Islam Mafa, dan Lailatus Sa’adah, Memahami
Aurat dan Perempuan, Lumbung Insani, 2011.
Adhin Muhammad Fauzi, Menjadi Ibu bagi Muslimah,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999.
Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam asy-
Syafi’i, al-Ma’had al-‘Alami lil al-Fikr al-Islami, 1992
Ahmad Assi Ba’i Zuhair, Dokter-dokter bagaimana Akhlakmu,
Alih Bahasa: A Aziz salim basyarahil, Jakarta: Gema
insani Press, 1991.
Ahmad al-Syarbashi, Yas’alunaka fi ad-Din wa al-Hayah,
diterjemahkan oleh Ahma Subandi dengan Judul, Yas’al-
Naka: Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan
Kehidupan, Buku II, cet. I; Jakarta: Lentera, 1999.
Ahmad Hasan, The Principles of Islamic Jurenprudence, Volume
I, Delhi: Adam Publishers & Distributors, Cet. I, 1994,
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam-Ghazali;
Maslahah Mursalah dan Relevansinyadengan
Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002)
Ahmad Watik Pratiknya, Abdul Salam dan M. Sufro ed. dan pen.,
Islam Etika dan Kesehatan. Sumbangan Islam dalam
Menghadapi Problem Kesehatan Indonesia Tahun 2000-
an, Jakarta: CV. Rajawali,1986.
Al ’Izz ibn ‘Abdis Salam. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam, Beirut Dar al-Fikr 1992.
Al-Barik, Haya binti Mubarok. Terj. Ensiklopedi Perempuan
Muslimah, Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Darul
Falah, 1422 H.
Al-Barik, Haya binti Mubarok, terj., Ensiklopedi Perempuan
Muslimah, Amir Hamzah Fachrudin, Jakarta: Darul Falah,
1422 H.
203
Al-Fasi, ‘Allal. t.t. Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha,
Ryadh: Maktabah al- Wahdah al-‘Arabiyah. t.t.
al-Hanafi, Ahmad ibn Ali al-Makkani Abu Bakar al-Razi al-Jasas,
Ahkam al-Quran, Juz 1 t.t.: al-Maktabah al-Syamilah, t.th.
Al-Husayni, Kifayatul al-Akhyar, Juz. I, Kairo: Isa al-Halaby,t.t.
Ali bin Abd al-Aziz bin Ibrahim al-Mathrudy, Tathbiq al-Qawa’id
al-Fiqhiyyat ‘Ala al- Masail al-Thibbiyyat, Riyadh: 1428
H.
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah.
Kairo: Maktabah at-Tijariyah. 2005.
al-Jurjaniy, Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali, al-Ta’rifat, Juz 1 Beirut:
Dar Al-Kitab al-‘Arabi, t.th.
Al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, Mesir : al-Mathba’ah al-
Mishriyyat t.t. jld. 4.
Al-Qurthubiy, Tafsir Ul-Qurthubiy, (Kairo :Dar Al-Sya’ b,t.t).
Jilid VI, hlm. 4621
al-Suyuti, Jalaluddin ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar,al-Asybah
wa al-Nazair fi al- Furu’, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1987.
Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Garnati, al-
Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Ma’rifah lil
al-Taba’ah Wa al-Nasyr, 1341 H.
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Riyadh:
Maktabah alRiyadh al-Haditsah, tth.
Alyasa’ Abubakar, Metode Istislahiah; Pemanfaat Ilmu
Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2016.
Al-Fasi, ‘Allal. Maqosid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa
Makarimuha, Al-Dar Al-Baidho’: Maroko Maktabah al-
Wahdah al-Arabiyah, t.th.
Al-Khin, Mushthafa Sa’id. 1983. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id
alushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, (Beirut: Mu`assasah,
1985)

204
al-Zahqa’, Mustafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqhi
al-‘Am,Damascus: Universitas Damascus: 1961.
al-Zuhaili, Wahbah, Nazariyah al-darurah al-Syar’iyyah
Muqarannah Ma’al-Qanun al-Wad’I, Cet. IV; Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1985.
An-Nabhani, Taqiyudin. Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet.
Ke-3. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007.
Ar-Razi, Fakhr ad-Din, Muhammad ibn ‘Umar ibn Husein, al-
Mahshul min ‘Ilm al-ushul, Beirut: Mu`ssasah ar-risalah
1992.
Amir Mu'allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. V; Jakarta: Kencana,
2009.
Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012
Ar-Raisuni, Ahmad, Nadzariyat al-Maqashid ind al-Imam al-
Syatibi, Virginia: Ma’had ‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995.
Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut al-Syathibi,
Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
as-Suyuthi, J. Sebab Turunnya Al-Qur’an,. Terj. Abdul Hayyie.
Depok: Gema Insani, 2008.
As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr,Al-Asybah Wa anNazair,
Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt.
As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Jilid II Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th..
Asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
asy-Syari’ah, Ar-Riyadh: Maktab ar-Riyadh al-Haditsah,
1977.
Asmuni. “Studi Pemikiran al-Maqasid (Upaya Menemukan
Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal
Mawarid, Edisi XIV Tahun 2005.

205
Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2005.
az-Zuhaili, W. Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu. Kairo: Maktabah
Tawfiqiyah 2003.
az-Zarkasyi, Badr ad-Din ibn Bahar ibn ‘Abdillah, al-Bahr
alMuhith fi Ushul al-Fiqh, Kuwait: Ttp.1988.
Benyamin Lumenta. Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan
Harapan. Tinjauan Fenomena Sosial, Yogyakarta:
Kanisius, 1989.
Bisri. Moh. Adip, Risalah Qawaid al-Fiqh, terjemah “al- Faraid
al-Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus, 1977.
Djazuli, H.A, Kaidah-kaidah Fiqh,Jakarta: Kencana,2006.
Ebrahim, Abdul fadl Mohsin., ed., Aborsi konstrasepsi dan
mengatasi kemandulan,isu-isu medis dalam perspektif
islam,terjemah “Biomedical issues, Islamic Perspective”,
Bandung: Mizan, 1997.
Fahrudin Fuad Mohd. Aurat dan jilbab dalam Pandangan
Islam,Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1984.
Farouq, Abu Zaid. t.t. asy-Syari’ah al-Islamiyah Bain al-
Muhafizhin wa al-Mujaddidin. (Kairo: Dar al-Mauqif. tt)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999
Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999.
Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Yogyakarta: kanisius,
1992.
Hallaq, Wael. 1997. A History of Islamic Legal Theories. London:
Cambridge University Press 1997.
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London:
Mac Donald & Evan Ltd., 1980.
Hardiwardono Al Purwa, Etika Dokter, Yogyakarta: Kanisius,
1999.

206
Hathout. Hasan., ed., terj.,Revolusi Seksual Perempuan. Obstetri
dan Ginekologi dalam Tinjauan Hukum Islam, “Islamic
Perspectives in Obstetrics dan Gymnecology” Bandung:
Mizan, 1994.
Husein Hamid Hasan, Nazhariyat al-Mashlahat fi al-Fiqh al-
Islamiy, Dar al-Nahdhat al-‘Arabiyah, 1971.
Ibn ‘Asyur, Muhammad athThahir. Maqashid asy-Syari’ah al-
Islamyah, Tunis: asy-Sirkah at-Tunisiyah, 1979.
Ibn ‘Asyur, Muhammad athThahir. Maqashid asy-Syari’ah al-
Islamyah, Tunis: asy-Sirkah at-Tunisiyah, 1984.
Ibnu qudamah, al- Mughniy. Riyad: Al-Riyad al-Haditsah, 1980.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, t,t,p, al-Qowaaniinu al-
Fiqhiyah, t.t
Imam Az Zubaidi, Ringkasan hadits Shahih Al Bukhari, Jakarta:
Pustaka Amani, 2002
Imam Az Zubaidi, Ringkasan hadits Shahih Muslim, Jakarta:
Pustaka Amani, 2002
Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Cet. 2,
Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Ismail, Bukhari Abu ‘Abdillah Muhammad ibn, al-Shahih al-
Bukhari, 4 jilid Bairut: Dar Ibn katsir, 1987.
J. Guwanda, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP “Perjanjian
Terapetik antara Dokter dan pasien”, Jakarta: FK UI,
2006.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003.
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII
Press, 2002.
Jalaluddin Abdurrahman, A.S,Lima Kaidah Pokok dalam fiqh
Mazhab Syafi’i, alih Bahasa H.M Asywadie
Syakur,Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law
a System Approach, Herndon: IIIT, 2008.
207
Jasser Audah, Maqashid asy-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi`in.
London: Cabang al-Ma’Had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami
2010.
Jauziyah Ibnu Qoyyim. Sistem Kedokteran Nabi, alih Bahasa S.
Agil Husain, al-Muawwar dan Abd.Rahman Umar.
Semarang: Dina Utama semarang, 1994.
Khalaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, alih Bahasa Moh.Zuhri,
Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Usu al-Fiqh,ttp.: Dar al-Qalam, 1978.
Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam , Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Louis Ma’ruf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beyrut: Dar al- Masyruq,
1973.
M. Abu al-Nur Zahir, Ushul Fiqh, Juz III, Mesir: Mathba’at Dar
al-Ta’lif, 1950
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia 1975-1988, Jakarta: Indonesian Netherlands
Cooperation in Islamic Studies, 1993.
M. Gazali Suyuti, M.Hi, Konsep dharuriyyat dalam Al-Quran,
Cet. I; Alauddin Universitas Press, 2011.
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah,
Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Majah,Ibn, Sunan Ibn Majah, 2 Jilid. Bairut: Dar al-Fiqr, t.t.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Muhammad Adib Shalih, Mashadir Tasyri’ al-Islamiy wa Manhaj
al-Istinbath, Damaskus: Mathba’at al-Ta’awuniyat, 1968.
Muhammad Hamid Usman, Al-Qāmūs al-Mubīn fī Iṣtilahi al-
Uṣuliyyin, Riyadh: Dar al-Zahm, 2002.
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqh Lima Mazhab, terj. Masykur
dkk. Jakarta: Lentera, 2013.

208
Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Mesir: Dar al-
Nahdhah al-‘Arabiyah.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, Jakarta:
Gema Insani, 1999
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hemeneutika Hukum
Islam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007.
Mushtafa Zaid, Nazhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy
wa Najm al-Din al-Thufi, dalam Nasrun Harun, Ushul
Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Haid “Haramnya Melihat
Aurat” ttp.: Dar al-Fikr, 1981.
Muslim. Sahih Muslim, Bairut: Dar al-Ilyas Ihya’al-Taras al-arabi,
t.t, Jilid 2.
Nurcholish Madjid, dkk. fiqh Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif Fluralis Jakarta: Paramadina, 2004
Qardhawi,Yusuf,Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani, 2006
____________, Fiqh Perempuan Segala Hal Mengenai
Perempuan, Bandung: Jabal, 2006, Cet. Ke-1.
Raghib al-Sarjani, Qhissat al-Ulum al-Thibbiyyat Fi al-Hadharat
al-Islamiyyat, Cairo: Muassasat Iqra’, 2009 M/ 1430 H.
Raghibah ‘Iz al-Din,Al-Maqashid Al-‘Ammah li-al-Syari’ah al-
Islamiyyah, Dar al-Shafwah, Kairo, Cet. 1, 1996.
Razak. H.A. dan H Rais Luthief. Terjemahan hadits Sahih
Muslim. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1978.
Retno Heru Setyorini, Belajar Tentang Persalinan. Graha Ilmu,
Yogyakarta. 2013.
Russell, Bertrand, dalam Husein Shahab.Jilbab Menurut al-
Qur’an dan al-Sunnah. Bandung: Mizan, 2002.
Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 101 Wasiat Rasul untuk Perempuan,
terj. Muhammad Hafidz, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2004.

209
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar- Al-Kitab Al-Arabiy, t.t.
Shiddieqy. M. Hasbi Ash. Koleksi hadits -Hadits Hukum,6
Jilid,Bandung: al-Muarif.t.t.
Subandi dengan Judul, Yas’al-Naka: Tanya Jawab Lengkap
Tentang Agama Dan Kehidupan, Buku II cet. I; Jakarta:
Lentera, 1999.
Sulaiman, Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2007.
Suprapti Samil Ratna. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi,
Fiqh Empat Mazhab, Bandung : Hasyimi, Tt.
Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3,
Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007.
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet.3, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Taufiqurrahman Resume Hukum Islam, Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat, 2015.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul
Fiqh Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005.
Usamah Muhammad Muhammad al-Shalabiy, Al-Rukhshatu al-
Syar’iyyat, Ahkamuha wa Dhawabithiha, Iskandariah: Dar
al-Iman, 2002.
Wahbah al-Zuhaili, Nadhriyyatu al-Dharuriyyat al-Syar’iyyat
Muqaranat Ma’a al-Qanun al- Wadh’iy, Beirut: Muassasat
al-Risalat, 1985 M.
B. Jurnal
Ahmad Fauzi, Pakaian Perempuan Muslimah Dalam Perspektif
Hukum Islam, Iqtishodia,Jurnal Ekonomi Syari’ah, Vol. 1,
No.1, Maret 2016.
Ardiansyah “Konsep Aurat Menurut Ulama Klasik dan
Kontemporer (Suatu Perbandingan Pengertian dan

210
Batasannya di luar dan di dalam Shalat) , Jurnal Analytica
Islamica, Vol. 16, No. 2, 2014.
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid al-Syari’ah Dalam Hukum Islam,
Sultan Agung: Jurnal Vol. XLIV No. 118 Juni – Agustus
2009.
Harun Mulawarman,Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki dalam
Perspektif Hukum Islam,Jurnal Penelitian Keislaman,
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Vol. 10, No. 2, Juli 2014.
Husnan Nazori, Pendapat Ulama Tentang Keberadaan Dokter
Kandungan LakiLaki dalam Pelayanan Medis Persalinan
di Kota Pontianak,Journal: Fatwa Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Tanjung Pura, Vol 2, No. 2, 2019.
Misran, Al-Mashlahah Mursalah (Suatu Metodologi Alternatif
dalam Menyelesaikan Persoalan Hukum Kontemporer).
(Jurnal Justisia: Pusat Jurnal Ar-Raniry Vol 1, No 1 2016)
Muhammad Sudirman Sesse, Aurat Wanita Dan Hukum
Menutupnya Menurut Hukum Islam, Universitas Negeri
Makassar (UNEM), (Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 2
Juli-Desember 2016)
Rasyidah, Dakwah Struktural Pakaian Muslimah Di Kelantan -
Malaysia Jurnal Takammul Jurnal Pusat Studi Perempuan
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, ISSN 2303-2103- E- ISSN
2550-1348, Volume 6 No. 1 Januari - Juni 2017.
Riri Fitria, Batas Aurat Muslimah dalam Pandangan al-Albaniy
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang,
Jurnal Vol. 8, No. 2, Oktober 2012.
Romadhon, Yusuf Alam. Pola Pikir Etika dalam Praktik
Kedokteran. CDK-206/ vol. 40 no. 7, 2013.
Zulhamdi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perempuan
Melahirkan pada Dokter Kandungan Laki-laki, Jurnal Al-
Qadha, Volume. 4. No. 2 Tahun 2017.

211
C. Tafsir Al-Qur’an
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha
Putra Semarang, 1992
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT.
Bina Restu, 1974.
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan
H. Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004).
M. Hasbi Ash Shaddieqy. Tafsir al-Qur’an al-Majid “an-Nur”,30
jilid Jakarta: Bulan Bintang 1954-1970.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jilid. 9 Jakarta: Lentera
Hati, 2006.

D. Laporan Penelitian
Annisa Maghfira, Profesi Dokter Ahli Kandungan Laki-Laki
Dalam Pandangan Hukum Islam, Laporan penelitian,
Program Studi Akhwal Syakhshiyyah Fakultas Ilmu Agama
Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2016.
Bastian Salam, Pandangan Hukum Islam Terhadap Dokter Ahli
Kandungan Laki-Laki Yang Menangani Ibu Hamil Dan
Melahirkan Di Kota Bengkulu Di Kaitkan Dengan Uu No
29 Tahun 2004 Tentang Peraktek Kedokteran, laporan
penelitian 2014.
Husnaini, dkk, Hukum Melahirkan Pada Dokter kandungan laki-
laki (Perspektif Hukum Islam dan Pendapat Ulama MPU
Aceh)”, IAIN Lhokseumawe: Laporan Penelitian, 2018
Lu’azizah Melihat aurat dalam peminangan (Studi Komperasi
Imam Malik dan Ibn Hazam),laporan penelitian UIN
Sunan kalijaga, Yogyakarta2005.
Lukman Hakim, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Mekanisme
Kerja Dokter Ahli Kandungan Laki-Laki Dalam
Menangani Ibu Hamil Dan Melahirkan Di PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, laporan penelitian. Jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta 2008.

212
Mu’alifin, Konsep Menutup Aurat Dalam Al-Qur’an Surat Al-Nūr
Ayat 30-31 Dan Implementasinya Dalam Pendidikan
Islam, laporan penelitian, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang 2014.
Rahmawati, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemeriksaan
Kandungan oleh Dokter Ahli Kandungan Laki-laki,
laporan penelitian, Prodi Hukum Islam FIAI UII
Yogyakarta 2012.
Zuhroni. Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-Isu
Kedokteran dan Kesehatan Modern.laporan penelitian,
Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas IslamNegeri
Syarif Hidayatullah, 2007

E. Fatwa
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Konsep
Dharuriyyat dan Penerapannya menurut Syariat Islam.
Hasil Sidang paripurna, No. 5, tp Tahun 2018 tp,
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Himpunan Bahan
Keputusan/Hasil Sidang “Penggunaan Obat Bernajis dan
Pelayanan Medis Oleh yang Berlainan Jenis Dalam
Pandangan Islam”, Hasil Sidang paripurna – V,tp, 2017.

F. Kamus
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN.
Balai Pustaka. 1984

G. Internet
http://aceh.tribunnews.com/2015/09/27/risihnya-ibu-ke-dokter-
pria
https://almanhaj.or.id/3373-Al-dharuriyyatul-khams-lima-
kebutuhan-penting-yang-harus-dijaga-oleh-kaum-
muslimin.html

213
https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/Justisia/article/view/
2641/1894
http://repository.uin-suska.ac.id/2491/2/BAB%20I.pdf
https://www.infoyunik.com/2015/11/10-hikmah-dibalik-perintah
menutup.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbian

214

Anda mungkin juga menyukai