Anda di halaman 1dari 3

Kelompok 4 Pro

Nama Anggota Kelompok:


Astri Dinda Melati (A 191 051)
Ayunda Nur Faiz’za (A 191 052)
Azwar Faturochman (A 191 053)
PENANGANAN MEDIS OLEH LAWAN JENIS
Berobat sebisa mungkin dengan obat yang halal dan suci, dilakukan oleh orang yang
tepat dengan cara yang benar. Jika pasiennya laki-laki, sebagusnya dokter atau yang
mengobatinya laki-laki, begitupun sebaliknya. Jika keadaan seperti itu sulit ditemukan, seperti di
suatu daerah tidak ada dokter kandungan muslimah atau ahli pijat satu-satunya perempuan.
Jika hal tersebut terjadi, maka pengobatannya dibolehkan karena termasuk dalam jenis
obat yang hukum asalnya boleh. Sudah menjadi rahasia umum jika selama pengobatan sangat
memungkinkan terjadi penyentuhan antara yang mengobati dengan yang diobati, karena itulah
cara untuk mendeteksi atau mendiagnosis penyakit.
Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda
jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang
dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter
wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak
harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan
membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter
tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas
yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang dikenal
dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus
berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh
salah satu mahramnya”
Walaupun demikian, diwajibkan menjaga aurat dan pandangan serta tidak ada sentuhan
kecuali memang ada kebutuhan. Juga diwajibkan membatasi pada bagian tertentu yang terbuka
aurat serta waktu yang sudah ditentukan.
Meskipun sudah diberi keringanan untuk bisa berobat ke lawan jenis. Tetapi, Allah SWT
memerintahkan untuk senantiasa menjaga aurat. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya…” (Q.S. an-Nur: 30)
Dan Allah SWT juga berfirman untuk kaum mukminat:
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya…” (Q.S. an-Nur: 31)
Ketentuan ini berangkat dari keterangan dari kitab Hâsyiyah al-Bâjury, antara lain sebagai
berikut:
Yang Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke perempuan bukan mahram pada anggota
badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus)
disertai kehadiran mahram, suami, atau sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya
perempuan yang bisa mengobatinya.” (Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin
Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni
Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99)
Adapun tentang kebolehan menyentuh, memeriksa pasien, berobat ke dokter lawan jenis
yang muslim dan bila dalam kondisi sangat terpaksa ke dokter golongan dzimmi, kita bisa ambil
keterangan berikut:
Yang Artinya: “Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwasannya boleh bagi dokter ketika adanya hajat
yang mendesak untuk membuka aurat pasien baik laki-laki maupun perempuan, baik yang
berjenis kelamin sama dengannya atau berjenis kelamin berbeda. Para fuqaha’ selanjutnya
berpendapat: .....boleh bagi seorang dokter muslim jika tidak ditemukan dokter perempuan untuk
mengobati pasien wanita ajnabiyah yang muslim, serta melihatnya dan menyentuhnya sekedar
hajar kebutuhan yang mendesak, dengan catatan jika tidak ditemukan adanya dokter perempuan.
Dan dalam kondisi ketiadaan dokter muslim, boleh periksa ke dokter dzimmy.” (Wazâratu al-
auqâf wa al-Syu-ûn al-Islamiyyah, al-Mausûatu al-Fiqhiyah, Kuwait, ‘Umûm-Ghīlah, 1994, Juz
31, halaman 56)

Pada dasarnya Rasulullah tidak melarang sesorang berobat atau diobati oleh orang selain
muhrimnya, namun harus ditemani muhrim lainnya (tidak berdua). Ini bertujuan untuk
menghidari fitnah dan sebagainya. Namun jika memang ada dokter atau ahli pengobatan yang
sama khasiatnya dan sesama muhrim atau bukan lawan jenis itu jauh lebih baik.
Namun perlu diingat bahwa para ulama juga menerangkan aturan dalam hal ini tidak
seenaknya saja hal itu dibolehkan apalagi sampai bagian aurat yang diperiksa. Karena ingat
melihat aurat wanita saat berobat dibolehkan hanya dalam keadaan hajat (butuh) dan ada kadar
atau ukuran dalam melihatnya.

Berikut beberapa aturan dalam melihat aurat lawan jenis saat berobat:
Pertama: Tetap didahulukan yang melakukan pengobatan pada pria adalah dari kalangan pria,
begitu pula wanita dengan sesama wanita. Ketika aurat wanita dibuka, maka yang pertama
didahulukan adalah dokter wanita muslimah, lalu dokter wanita kafir, lalu dokter pria muslim,
kemudian dokter pria kafir. Jika cukup yang memeriksa adalah dokter wanita umum, maka
jangalah membuka aurat pada dokter pria spesialis. Jika dibutuhkan dokter spesialis wanita lalu
tidak didapati, maka boleh membuka aurat pada dokter spesialis pria.
Kedua: Tidak boleh melebihi dari bagian aurat yang ingin diperiksa. Jadi cukup memeriksa
pada aurat yang ingin diperiksa, tidak lebih dari itu. Si dokter juga berusaha menundukkan
pandangannya semampu dia. Jika sampai ia melampaui batas dari yang dibolehkan ketika
memeriksa, hendaklah ia perbanyak istighfar pada Allah Ta’ala.
Ketiga: Jika dapat mendeteksi penyakit tanpa membuka aurat, maka itu sudah mencukupi.
Namun jika ingin mendeteksi lebih detail, kalau cukup dengan melihat, maka jangan dilakukan
dengan menyentuh. Jika harus menyentuh dan bisa dengan pembatas (penghalang seperti kain),
maka jangan menyentuh langsung. Demikian seterusnya.
Keempat:  Disyaratkan ketika seorang dokter pria mengobati pasien wanita janganlah sampai
terjadi kholwat (bersendirian antara pria dan wanita). Hendaklah wanita tadi bersama suami,
mahram atau wanita lain yang terpercaya.
Kelima:  Dokter pria yang memeriksa benar-benar amanah, bukan yang berakhlak dan
beragama yang jelek. Dan itu dihukumi secara lahiriyah.
Keenam: Jika auratnya adalah aurat mughollazoh (yang lebih berat dalam perintah ditutupi),
maka semakin dipersulit dalam melihatnya. Hukum asal melihat wanita adalah pada wajah dan
kedua tangan. Melihat aurat lainnya semakin diperketat sesuai kebutuhan. Sedangkan melihat
kemaluan dan dubur lebih diperketat lagi. Oleh karena itu, melihat aurat wanita saat melahirkan
dan saat khitan lebih diperketat.
Ketujuh: Hajat (kebutuhan) akan berobat memang benar-benar terbukti, bukan hanya dugaan
atau sangkaan saja.
Kedelapan: Bentuk melihat aurat saat berobat di sini dibolehkan selama aman dari godaan
(fitnah).

Pengobatan dokter laki-laki terhadap wanita diperbolehkan kecuali dengan beberapa syarat:
1. Dokter haruslah orang yang bertakwa, dapat dipercaya, adil, mempunyai keistimewaan
dan ilmu pengetahuan pada bidangnya.
2. Jangan membuka bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali sesuai dengan
keperluan pemeriksaan.
3. Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau wanita yang dapat
dipercaya seperti ibunya atau saudara wanitanya.
4. Seorang dokter tidak boleh non muslim selama masih ada yang muslim.
Selain ke empat syarat di atas juga disyaratkan tidak ada dokter wanita yang mampu
menangani penyakit yang dialami oleh wanita tersebut. Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi
maka dokter boleh melihat atau menyentuh bagian-bagian aurat tersebut karena Islam adalah
agama yang tidak memberikan umatnya kesukaran namun mengutamakan mashlahat dan
kemudahan untuk umatnya. Dasar hukum hal tersebut adalah firman Allah SWT yang
artinya ...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...
Maksud dari ayat tersebut adalah Allah SWT tidak akan memberikan kesulitan bagi
umatnya dalam menjalankan ajaran agamanya. Dalam kaidah fiqh disebutkan laaziraara
walaaziraara, kaidah hukum tersebut menjelaskan bahwa tidak boleh menyulitkan orang lain dan
tidak boleh pula disulitkan oleh orang lain

Anda mungkin juga menyukai