Anda di halaman 1dari 6

Terapi urin menurut pandangan islam Urine hanya mengandung zat-zat makanan dan hasil metabolisme tubuh.

Sementara bahan-bahan yang meracuni tubuh, disaring dan dikeluarkan melalui usus hati, hati jukit dan pernafasan. Karena itu, kandungannnya steril. Tawaran pengobatan urine begitu menggiurkan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tidak bisa mengeluarkan terlalu banyak biaya ke dokter, karena persoalan ekonomi yang menghimpit. Ternyata air seni yang dianggap menjijikkan, berbau pesing, dan kotor ini, malah membuat tubuh sehat dan segar bugar. Terapi urine digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap yang didera si pasien seperti ginjal, kanker, diabetes, jantung, psoasiasis, eksim, sampai penyakit terganas saat ini, AIDS. Jika parah, terutama bagi penderita penyakit kanker, jantung dan AIDS, minimal 5 gelas (1000 cc) sehari. Atau, kalau si pasien menginginkan kesegaran tubuh dan kecantikan kulit cukup dengan 1-2 gelas perhari. Caranya cukup yang diminum harus urinenya sendiri Akan tetapi, berbeda pula jika dipandang pada sudut Hukum Islam. Di dalam ajaran Islam masih kita kenal dengan membedakan, mana yang najis, mana yang tidak najis. Mana yang berhak di makan atau di minum. Mana yang haram dan mana yang halal. Oleh karena itu, makna dari kemashlahatan dan kemafsadatan kerap saling tarik menarik (legitimasi) demi menemukan titik kejelasan (benang merah) yang tertuang (terlampir) di dalam ajaran Islam (sy ri); al-Quran, alHadits, dan Fiqh. Ajaran syariat Islam mengajarkan manusia untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah swt., demikian halnya di antara pasca-mashlahat yang diayomi oleh maqashidusy syariah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdzun nafs (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat Manusia. Allah berfirman di dalam al-Quran:

Menurut Ibnul Qayim menuntut umat Islam untuk menjauhinya dengan secagal cara. Sedangkan pengambilan sesuatu yang haram sebagai obat konsekuensi dan efeknya adalah akan mendorong orang yang menyukai dan menjamahnya yang tentunya hal ini bertentangan dengan maksud dan tujuan Allah dalam menetapkan syarih-Nya. Selain itu, Qayyim juga mengatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang bergizi dan baik adalah metode pengobatan yang ampuh, selain itu juga beliau mengutip perkataan al-Harist bin Kaladah bahwa melindungi badan dan menjaga kesehatannya adalah inti dari pengobatan itu sendiri. Namun demikian, Islam adalah agama rahmat dan tidak menginginkan umatnya celaka dan membiarkannya binasa dalam kondisi darurat karena salah satu tujuan syariah adalah hifdzun-nafs (memelihara kelangsungan hidup dengan baik). Maka dalam konteks ini, ada kaidah rukhsah (dispensasi) yang memberikan kelonggaran dan keringanan bagi orang yang sakit gawat dengan ketentuan sebagaimana dikemukakan Dr. Yusuf Al-Qardlawi yaitu sebagai berikut: Pertama, benar-benar dalam kondisi gawat darurat bila seorang penderita penyakit tidak mengkonsumsi sesuatu yang haram ini. Kedua, tidak ada obat alternatif yang halal sebagai pengganti obat yang haram ini. Ketiga, menurut resep atau petunjuk dokter muslim yang berkompeten dan memiliki integrasi moral dan agama. Keempat, terbukti secara uji medis dan analisis ilmiah, di samping pengalaman empiris yang membuktikan bahwa suatu yang haram tersebut benar-benar dapat menyembuhkan bahkan dan tidak menimbulkan efek yang membahayakan. Dalam pandangan Islam urine itu tidak baik dikonsumsi, sebagaimana Islam menyuruh Manusia untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan bergizi. Bukan yang kotor dan membawa penyakit. Baik dan buruk itu ditentukan oleh sy ri, karena dialah yang mengetahui segala sesuatunya. Dia punya hak otoritas untuk menentukan halal dan haram. Bukan akal tabiat manusia. Seperti

haramnya riba. Syara dan akal sama-sama berperan dalam menetukan baik dan buruk. Yang menjadi standar adalah pengakuan dari syara dan sesuai dengan tabiat manusia. Apa yang tersurat baik oleh syara, mesti di dukung penuh akal sehat bahwa itu betul-betul baik. Sebab, tidak semua kehendak perasaan itu sesuai dengan keinginan syara. Perasaan berfungsi untuk mengetahui apa yang sebetulnya diingini syara. Menyangkut Hukum Terapi obat urine, Rasulullah menegur dengan hadits tentang ketidakbolehan mengkonsumsi konsumsi urine, dikarenakan terdapat barang najis. Berdasarkan hadits nabi: Bersihkanlah (tubuh) kalian dari kencing. Karena siksaan kubur pada umumnya gara-gara air seni. Di dalam al-Quran, Allah berfirman: sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat (buat) kamu sekalian barang-barang yang diharamkan (termasuk najis) bagi kalian. Lain halnhya, kebolehkan memakai terapi urine, manakala terserang penyakit ganas; kanker ganas, jantung dan AIDS yang sampai detik ini belum ditemukan obatnya wajib minum air seni demi kelangsungan hidup manusia. Terutama, ketika lagi tidak ada uang, serta sulit mencari dana untuk berobat. Hal ini terlampir di dalam al-Quran: Sungguh, Allah telah menjelaskan apa-apa yang haram kalian makan kecuali terpaksa memakannya. Tidak salah, urine tidak hanya diminum untuk menyembuhkan penyakit dalam. Tapi juga bisa di gunakan untuk mempercantik dan mencegah rambut rontok. Bahkan sebagian kosmetik kecantikan, bahan bakunya terdiri dari ekstra urine. Di dalam teori ushul fiqih terapi urine diperbolehkan untuk penyakit keras, dari pada menyiksa tubuh sendiri digerogoti (merusak tubuh) bertentangan dengan maqasyidusy-syariah (hifzun nafs), lebih baik memberlakukannya

(karena mengandung mashlahat). Larangan menyentuh barang najis termasuk tahsiniyyat. Yaitu hal-hal yang tujuannya memperindah diri agar tidak mengurai prestise (harga diri). Namun demikian, kalau hanya diperuntukkan demi mempercantik diri, tidak dapat menghalagi haram, kalau luluran saja. Akan tetapi, jika terdapat jerawat, rambut rontok, maka dianjurkan memakai terapi urine sebagai solusinya. Maka bukan lagi tahsiniyyat melainkan hajiyyat (menghilangkan kesulitan diri). Ketika keduanya (tahsiniyyat maupun hajiyyat) dihadapkan, tentu hajiyyat yang dimenangkan. Yang terpenting, jika hanya untuk mempercantik tidak boleh mengkonsumsinya, karena tidak ada kejelasan dalam penyakitnya. Kendatipun, urine mungkin tak hanya dari manusia, dari binatang tentu bisa menjadi. Adapun hukum mengkonsumsi urine binatang yang halal dimakan daginya sebagai obat urine unta, kambing, sapi, unggas dan burung maka pendapat yang paling kuat adalah hal itu diperbolehkan dan halal karena urine tersebut suci dan tidak najis, berbeda dengan urine binatang yang haram dimakan dagingnya maka hukum urinenya juga haram dan najis. Akan tetapi, statement tersebut akan masih disegarkan (kecam lewat kritikan) dengan pendapat-pendapat terkemuka yang lainnya. Urine Menurut Ulama Madzhab Jika merujuk pada interpretasi para madzahib, terdapat pergolakan pemikiran antara Imam Syafi`i dan Imam Hanafi yang sama meneguhkan menyangkut terapi urine sebagai obat. Imam Syafii masih toleran mengenai pengobatan urine (alternatif) karena tidak ada lagi penyembuhan penyakit. Lain halnya, apabila masih ada obat yang lebih baik dari urine, maka hukumnya tetap haram. Sesuai Hadits Rasul:

Selain itu, Imam Hanafi bertolak belakang dengan Syafii, yang mana ia tetap membolehkan mengkonsumsi air seni, jika untuk pengobatan. Jika terapi urine diberlakukan dengan cara lain (tujuannya selain pengobatan), maka hukumnya haram (najis). Sebagaimana terlampir dalam Hadits Rasul:

Maka akan jelas bahwa Rasulullah masih memperbolehkan bagi orang-orang yang terkena penyakit untuk mengkonsumsi kencing (unta) yang bercampurkan susu. Jikalau rasulullah mengharamkan perbuatan tersebut, maka tidak ada lagi rukshah untuk menggunakannya (dalam situasi apapun). Berdasarkan dengan kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi:

Dalam kesempatan yang darurat, segala yang diharamkan masih ada kesempatan untuk mengerjakannya (memakan binatang bertaring manakala tidak ada lagi yang akan dimakan di hutan. Dari pada mati sia-sia bertentangan dengan hifdzun nafs, maka tidak ada salahnya memakan hewan yang menjadi alternatif. Namun, walaupun dalil yang diteguhkan oleh Hanafi itu menjadi benteng sebagai jawabannya, kiranya masih kurang kuat diterapkan di ruang publik. Kendatipun demikian, dalil yang digunakan Hanafi masih belum menguatkan persoalan terapi urine, dikarenakan riwayat hadits tersebut hanya ditopang oleh Anas ra, walaupun secara spesifik hadits tersebut tsiqoh, namun masih dalam lingkup hadits shahih.

kesimpulan Dari pemaparan di atas, terapi urine masih terdapat pergolakan status sebagai obat terapi penyakit alternatif yang masih di antara mashlahat dan mafsadat. Namun, kajian hukum Islam tidak sekedar dipahami secara parsial (normatif) melainkan ditautkan pada konteks (rasional) demi menyeimbangi persoalan yang melilit manusia setiap waktu. Setiap sesuatu larangan-Nya pasti ada solusi (darurat) yang menghalalkan apa yang menjadi ketepan sebelumnya (larangan memakan akibat diharamkan-Nya).

DAFTAR PUSTAKA Al-Suyuti, Al-Jami al-Shaghir, juz I, 517 dan Al-Nawawi, Al-Majmu, juz II. Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, juz III. Budi Utomo, Setiawan, Fiqih Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Chatarina Pancer Istiani, Tubuh dan bahasa, Aspek Linguistik Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan, (Yogyakarta: Galang Pres Anggota IKAPI, 2004. Dewan Asatid, Hukum Terapi Air Seni dan Kesehatan kita, www. Pesantren Virtual. Com. Muhammad bin Ismail, Al Bukhori Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2004). Maimoen Zubair, Formasi Nalar Fiqh Konsep Telaah Kaidah Fiqh konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006. Yasin, Nu`aim, Fiqih Kesehatan, Alih Bahasa Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Yasid Abu, Fiqh Realitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Al Bukhori Muhammad bin Ismail, Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2004), hlm 1062. Maimoen Zubair, Formasi Nalar Fiqh Konsep Telaah Kaidah Fiqh konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 45

Anda mungkin juga menyukai