Pendahuluan
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia dibekali Allah SWT dengan akal,
disamping dengan instink (garizah) yang mendorong manusia untuk mencari segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk melestarikan hidupnya seperti makan, minum dan
tempat berlindung. Dalam mencari tersebut, manusia akan mendapat pengalaman yang
baik, dan tidak kurang pula pengalaman yang membahayakan, maka akallah yang
mengolah, meningkatkan serta mengembangkan pengalaman tersebut untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Karena itu, manusia selalu dalam proses mencari dan
menyempurnakan, hingga selalu progresif. Berbeda dengan binatang yang hanya
dibekali dengan instink saja, hingga hidup mereka sudah terarah dan bersifat statis.
Akallah yang membentuk serta membina kebudanyaan manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya termasuk dalam bidang pengobatan.
Pengobatan Medis
Pengobatan ialah suatu kebudanyaan untuk menyelamatkan diri dari penyakit
yang mengganggu hidup. Kebudayaan tidak saja dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi
juga oleh kepercanyaan dan kenyakinan, karena manusia telah merasa di dalam alam
ini ada sesuatu yang lebih kuat dari dia. Baik yang dapat dirasakan oleh pancaindera
maupun yang tidak dirasakannya yang mereka bersifat ghaib. Pengobatan inipun tidak
lepas dari pengaruh kepercanyaan atau agama yang di anut manusia.
Mengenai pengobatan, terdapat dua hadis yang terkenal, yakni mewajibkan
berobat bila sakit dan melarang berobat dengan yang haram.
1
Bahan E-learning Blok XVI Fakultas Kedokteran UMY, Maret 2007
2
Pusat Studi Kedokteran Islam, Fakultas Kedokteran UMY.
Usumah bin Syarik berkata, “Di waktu saya beserta Nabi Muhammad SAW., datanglah
beberapa orang badui, lalu mereka bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah kami mesti
berobat?”, Jawab beliau, “Ya, wahai hamba Allah, berobatlah kamu, karena Allah tidak
mengadakan penyakit melainkan Dia adakan obatnya, kecuali satu penyakit”. Tanya
mereka, “Penyakit apa itu?”. Beliau menjawab, “Tua”. (HR. Ahmad).
Secara umum di dalam dunia pengobatan dikenal istilah medis dan nonmedis.
Para ahli berbeda pendapat tentang penjelasan batasan istilah medis dan definisinya
secara terminologis menjadi tiga pendapat, yakni :
1. Pendapat pertama :
Medis atau kedokteran adalah ilmu untuk mengetahui berbagai kondisi tubuh
manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang menimpanya. Pendapat ini
dinisbatkan kepada para dokter klasik dan Ibnu Rusyd-Al-Hafidz.
2. Pendapat kedua :
Medis atau kedokteran adalah ilmu tentang berbagai kondisi tubuh manusia untuk
menjaga kesehatan yang telah ada dan mengembalikannya dari kondisi sakit.
Pendapat ini dinisbatkan kepada Galinus dan dipilih oleh Dawud Al Antoky dalam
bukunya Tadzkirah Ulil Albab.
3. Pendapat ketiga :
Ilmu yang diketahui dengannya kondisi-kondisi tubuh manusia dari segi kondisi
sehat dan kondisi menurunnya kesehatan untuk menjaga kesehatan yang telah ada
dan mengembalikannya ketika kondisi tidak sehat. Ini adalah pendapat Ibnu Sina.
“Kami adalah kaum yang tidak makan hingga lapar dan bila kami makan, kami tidak
sampai kenyang”.
“Dialah yang menjadikan apa yang berada di bumi semuanya buatmu. Kemudian Dia
menghadap ke langit, kemudian Dia jadikan atas tujuh langit dan Dia terhadap tiap-tiap
sesuatu Maha Tahu”.
“Dan ingatlah tatkala Tuhan engkau berkata kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah....” dan seterusnya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan penyakit, melainkan Dia telah menurunkan
buat penyakit itu penyembuhannya, maka berobatlah kamu”. (HR Nasai dan Hakim)
Nabi menjelaskan bahwa ada dua macam penyakit sesuai dengan keadaan
manusia yang terdiri dari tubuh jasad dan tubuh rohani. Untuk obat rohaniah adalah
membaca AL Qur’an dan untuk sakit fisik adalah materi, diantaranya adalah madu.
Dalam salah satu hadis riwayat Wailah bin Al Asqa’ disebutkan bahwa ketika seorang
sahabat mengeluh sakit kerongkongan kepada rasulullah, maka beliau bersabda :
“Bacalah Al-Qur’an dan minumlah madu, karena membaca Al-Qur’an merupakan obat
untuk penyakit yang berada di dalam dada dn madu adalah obat untuk tiap penyakit”.
Hadist tersebut juga mengajarkan bahwa bila mengobati manusia yang sakit
haruslah bersifat holistik (menyeluruh), yakni mengobati fisik dan jiwanya sekaligus.
Pada jaman moderen dewasa ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para dokter,
mereka lebih banyak mengobati penyakitnya saja, bukan mengobati manusianya yang
sakit.
Perlu diketahui bahwa Allah menurunkan segala penyakitnya tanpa menjelaskan
secara terperinci mengenai jenis penyakitnya dan Alah menurunkan obatnya tanpa
menyebutkan detail apa obatnya dan bagaimana memakainya. Masalah ini haruslah
dikerjakan oleh manusia dengan akal, ilmu dan penyelidikan yang sekarang dinamai
“science” bersama teknologinya.
Apabila manusia mau mencari, maka Allah akan memberikan ilham-Nya kepada
siapa saja yang mau mencari dan mengembangkan akalnya terlepas dari agama yang
dianutnya, apakah dia Islam, ateis, Kristen, Hindu ataupun lainnya, sebagaimana ang
terjadi di jaman ini. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Surat AL-‘Alaq ayat 1-5 :
“Bacalah dengan asma Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari ‘alaq
(nidation). Bacalah. Dan Tuhanmu itu adalah Maha Mulia. Dia yang mengajarkan
dengan qalam. Mengajari manusia apa yang ia tidak tahu”.
“Pikirkanlah mengenai ciptaan Allah dan janganlah pikirkan zat Alah, maka kamu akan
tersesat”.
“Tuntutlah ilmu sejak lahir sampai ke liang lahat”.
“Barang siapa yang menghendaki dunia, maka ia harus berilmu dan barang siapa yang
menghendaki akhirat, maka ia harus berilmu dan barang siapa menghendaki keduamnya,
maka ia harus berilmu”.
“Agama itu akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal”.
“Mereka yang mengingat (zikir) kepada Allah sewaktu berdiri, duduk atau berbaring
dam mereka pikirkan hal kejadian langit dan bumi. “Ya, Tuhan kami, tidaklah Engkau
jadikan semua ini sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kiranya kami dari azab
neraka”.
Pustaka
1. Ali Akbar, 1988, Etika Kedokteran dalm Islam, Pustaka Antara, Jakarta
2. Ahmad Taha, 1992, Kedoktoran Islam, Percetakan Dewan Bahas dan Pustaka,
Selangor, Malaysia
3. Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar As Syinqithy, 1414 H, Hukum-hukum
Pembedahan dalam Syariat Islam, Jurusan Fikih, Universitas Islam Madinah