Anda di halaman 1dari 82

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan

pembangunan manusia. Dengan tidak adanya kesehatan, manusia tidak akan


2

produktif untuk hidup layak baik secara ekonomi maupun pendidikan yang baik.

Tanpa ada ekonomi yang baik, manusia tidak akan mendapat pelayan ataupun

pendidikan yang baik, begitu pula sebaliknya. Ketiganya ini saling berhubungan

dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur

dari kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam


3

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

(UUK), menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial dan ekonomis.

Berkaitan dengan permasalahan kesehatan, kesehatan reproduksi menjadi

bagian yang penting untuk tetap dijaga oleh setiap insan. Kesehatan reproduksi

merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak

2Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang


Kesehatan,
2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2.
3Ibid, hal 3.
2

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan reproduksi

adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental, dan

kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang

pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit

melaikan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan

memuaskan sebelum dan sesudah menikah.

Sesuai dengan definisi diatas, ruang lingkus kesehatan reproduksi

sangatlah luas, karena mencakup keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir

hingga mati. Ruang lingkup kesehatan reproduksi, meliputi kesehatan ibu dan

bayi baru lahir, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, serta

pencegahan dan penanggulangan aborsi, dan lain sebagainya

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyebutkan bahwa:

“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana

pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,

termasuk keluarga berencana.”

Segala sesuatu yang bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan

reproduksi adalah dilarang oleh hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi

atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling

sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun


3

merupakan cara yang paling berbahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

aborsi /abor.si/ berarti pengguguran kandungan. Dalam arti kriminalis, aborsi


4

adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan

bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Aborsi dalam Bahaasa Inggris disebut abortion dan dalam bahasa latin

disebut abortus, yang berarti keguguran kandungan. Dalam bahasa arab, aborsi

disebut isqat al-haml atau ijhad, yaitu pengguguran janin dalam rahim. Menurut

istilah kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28

5
minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram.

Aborsi (pengguguran kandungan) berbeda dengan keguguran atau dalam

bahasa jawa disebut keluron. Aborsi atau pengguguran kandungan adalah

penghentian kehamilan yang diprovokasi dengan berbaga macam cara sehingga

terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhenti karena

6
faktor-faktor alamiah.

Aborsi telah dikenal sejak lama, Aborsi memiliki sejarah panjang dan telah

dilakukan oleh berbagai metode termasuk natural atau herbal, penggunaan alat-

alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya, yang dilakukan oleh

dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-kota besar maupun di daerah

terpencil.

4Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa


Indonesia (KBBI). PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 3
5 Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih,
PT. Remaja Rosdakarya Offset : Bandung, 2006. Hal.54
6 Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, Balai Penerbitan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal.64.
4

Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia (abortus

provokatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya,

dalam arti bukan karena perbuatan manusia (aborsi spontanus). Aborsi yang

terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan

medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk

menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan

(aborsi provokatus therapeutics atau bisa disebut aborsi therapeuticus). Di

samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus

provokatus criminalis atau disebut aborsi criminalis).

Abortus Provocatus dibagi dalam dua jenis, yaitu Abortus Provocatus

Therapeuticus dan Abortus Provocatus Criminalis. Abortus Provocatus

Therapeuticus merupakan Abortus Provocatus yang dilakukan atas dasar

pertimbangan kedokteran dan dilakukan oleh tenaga yang mendapat pendidikan

khusus serta dapat bertindak secara profesional. Sementara Abortus Provocatus

Criminalis adalah Abortus Provokatus yang secara sembunyi-sembunyi dan

biasanya oleh tenaga yang tidak terdidik secara khusus, termasuk ibu hamil yang

menginginkan perbuatan Abortus Provocatus tersebut. Abortus Provocatus

Criminalis merupakan salah satu penyebab kematian wanita dalam masa subur di

negara-negara berkembang.

Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan

hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa

ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana
5

dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal

ataupun dilakukan secara ilegal.

Pengaturan bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu

dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,

persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai

tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada

sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupkan Abortus Provocatus

Therapeuticus. Aborsi sering dilakukan oleh kalangan remaja dan wanita yang

beranjak dewasa. Hal ini disebabkan karena pergaulan yang semakin bebas

sehingga membuat mereka melakukan hubungan seks pra nikah dengan

pasangannya. Alasan non-medis yang biasanya timbul dari wanita-wanita tersebut

diantaranya yaitu malu karena hamil di luar nikah, khawatir dapat mengganggu

kehidupan karir dan sekolah, tidak memiliki cukup biaya untuk merawat dan

membesarkan anak tersebut serta takut anaknya lahir tanpa pertanggung jawaban

ayahnya. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, maka para pelaku

mencari jalan agar janin tersebut tidak terlahir, jalan yang ditempuh tentunya

adalah aborsi.

Setiap orang pada prinsipnya dilarang melakukan aborsi, tetapi ada

beberapa alasan yang membolehkan bahwa aborsi tersebut dibolehkan. Tindakan

aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
6

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh

7
pihak yang berkompeten dan berwenang.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pengaturan

mengenai aborsi lebih luas daripada undang-undang sebelumnya, karena ditambah

untuk korban perkosaan , dengan alasan menimbulkan dampak psikologis bagi si

korban. Dalam hal ini tenaga medis juga harus berhati-hati dalam menyikapinya,

karena dengan alasan perkosaan pelaku dapat melakukan tindakan aborsi padahal

belum tentu si pelaku merupakan korban perkosaan. Jika ini terjadi, maka tenaga

medis selain telah menyalahi aturan hukum, juga sudah melanggar sumpah

jabatan dan kode etik. 8

Pada saat ini banyak tenaga medis yang terlibat secara langsung dalam

tindakan aborsi. Ada yang terlibat dengan perasaan ragu-ragu dan tetap membatasi

pada kasus-kasus sulit yang menyudutkan mereka untuk mendukung

pengguguran, namum ada pula yang melakukanya tanpa perasaan bersalah.

Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari

tugasnya untuk membela kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu perlu

dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang bukan pengguguran langsung.

Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan indikasi

sosial-ekonomi. Kesulitan sosial-ekonomi semestinya diperhatikan secara sosial-

ekonomi, bukan dengan pengguguran secara langsung.

7Sri Siswati,Op.Cit, hal 72.


8Ibid, hal 72.
7

Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagi pedoman

berperilaku, dalam kaitannya dengan profesi. Suatu kode etik menggambarkan

nilai-nilai professional yang diterjemahkan kedalam standart perilaku


9
anggotanya.

LSDI (Lafal Sumpah Dokter Indonesia) dan KODEKI (Kode Etik

Kedokteran Indonesia) telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-

tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan

profesinya, tetapi ada beberapa dokter yang melakukan pelanggaran kode etik

bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal). Disamping hal tersebut

diatas, dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, menyebutkan:

“Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang

tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan

norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggungjawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa

persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga medis

yang tidak professional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang

berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi daripada indikasi


10
medis.

9D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter,


(Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1989), hal 68.
10Sri Siswati, Op.Cit, hal 73
8

Tindak pidana aborsi sebagai suatu perbuatan terlarang, sudah sepantasnya

pelaku tindak pidana aborsi ini mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi

biarpun kasus ini sering terjadi, tidak diketahui bagaimana pertanggungjawaban

dokter atau pelaku terhadap pasien yang menjadi korban aborsi. Ketidakterbukaan

dokter ataupun pihak rumah sakit terhadap umum menjadi tanda tanya besar

mengenai pertanggungjawaban apa saja yang didapat oleh pasien. Kasus-kasus

mengenai aborsi memang banyak terjadi disekitar masyarakat, namun sulit untuk

membuktikannya karena ketidakterbukaan dokter dan tenaga medis lainnya

terhadap masyarakat umum.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi

dengan judul: “ Analisis Hukum Pertanggungjawaban Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan aborsi menurut hukum di Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi?

C. Manfaat dan Tujuan Penelitan

Tujuan Penulisan yaitu:

1. Untuk mengkaji ketentuan aborsi yang legal menurut hukum di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap

tindak pidana aborsi.

Manfaat Penulisan yaitu:


9

1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi

penulis, sehingga dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu

hukum dan dapat memperluas khazanah perbendaharaan keputusan

bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana pada perpustakaan

Universitas Kadiri.

2. Secara praktis

b. Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban pidana terhadap

tindak pidana aborsi.

c. Untuk mengetahui aturan tentang aborsi dalam hukum di Indonesia

dalam menanggulangi tindak pidana aborsi oleh dokter sudah tepat

pemberlakuannya.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dokter dan Rumah Sakit

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian Dokter ialah

lulusan pendidikan kedokteran dalam hal penyakit dan pengobatannya.

Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi

adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar

negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Dokter merupakan sebuah profesi yang memiliki tugas untuk

menyembuhkan penyakit orang-orang. Tugas mulia ini dilakukan sebagai


10
bentuk kemanusiaan dan perwujudan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni memajukan kesejahteraan

umum.

Seorang dokter pasti tidak akan lepas dengan istilah rumah sakit.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rumah sakit merupakan gedung tempat

menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai

masalah kesehatan.

Menurut World Health Organization, Pengertian Rumah Sakit adalah

suatu bagian dari organisasi medis dan sosial yang mempunyai fungsi untuk

memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat, baik kuratif

maupun preventif pelayanan keluarnya menjangkau keluarga dan lingkungan

rumah. Rumah sakit juga merupakan pusat untuk latihan tenaga kesehatan dan

penelitian biologi, psikologi, sosial ekonomi dan budaya.

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonsia

No.983/Menkes/per/II/1992 tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya

kesehatan serta berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya

penyembuhan dan pemulihan yang di laksanakan secara serasi dan terpadu

dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya

rujukan. Tujuan dari rumah sakit adalah untuk menghasilkan produk, jasa atau

pelayanan kesehatan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dan harapan


11

pasien dari berbagai aspek, yang menyangkut medis dan non medis, jenis
11
pelayanan, prosedur pelayanan, harga dan informasi yang dibutuhkan.

Sedangkan fungsi dari rumah sakit antara lain, sebagai fungsi

perawatan, pendidikan, serta penelitian dan lain-lain

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan

jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk

tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang

siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan

dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara

wajib dicantumkan dalam undang undang maupun peraturan-peraturan

pemerintah, baik ditingkat pusat mapun daerah. 12

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

11S. Supriyanto dan Ernawati, 2010, Pemasaran Industri Jasa


Kesehatan. Penerbit CV Andi Offset : Yogyakarta., hal.32
12 P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra
Adityta Bakti. Bandung. 1996. hal. 7
12

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

13
menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu

pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian

yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah

hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau

pengertian terhadap istilah tindak pidana.Pembahasan hukum pidana dimaksudkan

untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan

pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta

teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana

adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai

terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai


14
”hukuman”.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang

diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran

umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko

Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan

sanksi”, selanjutnya Djoko Prakosomenyatakan bahwa secara kriminologis

13 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana.


Ghalia Indonesia
Jakarta.14
2001. Hal. 22
Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hal. 37
13

kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat,

dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia

yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-

faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan


15
tersebut.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit”

untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan

perkataan strafbaarfeit, sehingga timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat

tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti

yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe.

Hamel mengatakan bahwa : ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang

(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan

hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.

Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut :

”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang

16
sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.

Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari

kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt

gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidak setuju dengan

15Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan
Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. Hal. 137
16Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru.
Bandung. hal. 173-174.
14

istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu

”pidana” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”. Jika ”straf” diartikan

”hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.

Selanjutnya dikatakan oleh Moeljotno bahwa ”dihukum” berarti ”diterapi

hukuman” baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil

atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana,

sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata. Menurut

Sudarto, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat

diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukum”

(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut


17
bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

3. Pengertian Pertanggungjawaban

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau

dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan

tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan

17Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana 1 A - 1B. Fakultas Hukum


Universitas JenderalSoedirman, Purwokerto. hlm. 3
15

atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang

18
dilakukan tersebut.

19
Roeslan Saleh menyatakan bahwa:

“Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah


dapatdilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-
pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga
pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur
yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana
terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat”.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah

sipembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
20
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian

pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu

bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela

atas perbuatanya.

18 (http://www.zamrolawfirm.com/publikasi/esai/18-perbuatan-pidana-
dan- pertanggungjawaban-pidana) diakses pada tanggal 29 April 2021,
jam 11.48, mengutip “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana”
19Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana,
(Jakarta : Ghalia Indonesia), 1982, hal. 10
20Ibid, hal. 75
16

Berdasarkan pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur

pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga

dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur

keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik,

oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah

dapat dibuktikan juga dalam persidangan,

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan

yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas

tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan

tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan

pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka

hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat

dipertanggung-jawabkan.Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya.

Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan unsur

kesalahan. Dalam Undang-undang no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

Pasal 6 ayat (2) disebutkan: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”


17

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat jelas bahwa unsur kesalahan

sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu, berupa penjatuhan

pidana. Walaupun unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan

sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi dalam hal

mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat,

“Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup


21
pertanggungjawaban pembuat tindak pidana”.

Adanya pandangan yang berbeda mengenai definisi kesalahan maka

mengakibatkan adanya perbedaan penerapan. Berikut beberapa pendapat dari para

ahli mengenai definisi kesalahan:

a) Mezger memberikan definisi kesalahan sebagai “keseluruhan syarat yang

memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat

pidana.

b) Simons mengartikan kesalahan sebagai “dasar untuk

pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang berupa keadaan psikis

dari si pembuat dan hubungan terhadap perbuatannya, berdasarkan psikis

itu perbuatannya dicelakakan kepada pembuat.

c) Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan

pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat

dengan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan

adalah pertanggungan jawab dalam hukum.

21 Chairul huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju


kepada ‘Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’,Kencana,
Jakarta, hal.74
18

d) Pompe berpendapat, “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi

luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi

dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah

22
kesalahan.

Dari beberapa pengertian para ahli di atas, kesalahan dapat dibagi dalam

pengertian berikut:

a) Kesalahan psikologis: menurut sudarto pada kesalahan psikologis,

“kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara si

pembuat dengan perbuatannya.” Yang dilihat dalam kesalahan psikologis

23
ini adalah batin dari pelaku, berupa kehendak atas perbuatannya.

b) Kesalahan normatif: pada kesalahan normatif kesalahan seseorang tidak

ditentukan berdasarkan batin si pembuat saja, disamping itu terdapat

penilaian normatif perbuatannya. Penilaian normatif adalah “penilaian

dari luar mengenai hubungan antara pembuat dan perbuatannya.”5

Penilaian dari luar tersebut merupakan penilaian yang terdapat dalam

24
masyarakat.

Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa, Kesalahan

mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak

pidana. Pencelaan yang dimaksud adalah pencelaan berdasarkan hukum yang

22Muladi dan Dwidja priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi, Kencana, Jakarta, hal. 70
23Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
19
24Bandung, hal. 72
Ibid. Hal.73
20

berlaku. Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi

beberapa unsur, yaitu:

1. adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat,

2. hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk

kesalahan
25
3. tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini difokuskan terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan

bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi.

1. Jenis penelitian

Penulis sangat memerlukan data dan keterangan yang akan dijadikan

bahan analisis dalam menyelesaikan masalah. Metode yuridis normatif 26

yaitu dalam menjawab permasalahan digunakan sudut pandang hukum

berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya dihubungkan

dengan kenyataan di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

akan dibahas. Serta mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan

materi penelitian ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan

KaryaTulis Ilmiah yang berupa makalah, skripsi, buku-buku, koran, majalah,

situs internet yang

25Ibid
26Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Cetakan Keempat, 2002), hal. 43.
21

menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 27

Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum

yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana

bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini

meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian

hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat

dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di
28
dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini

adalah metode yuridis normatif.

2. Sumber data

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti

peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik

Kedokteran yang berkaitan dengan permasalahan

pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi.

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti makalah-makalah, jurnal-jurnal

27Zaimul Bahri, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum. (Bandung:


Angkasa. 1996), hal. 68.
28 https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/ yang
diakses pada tanggal 6 Juni 2022
22

hukum, pendapat dari para ahli hukum pidana

tentang pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia, Kamus

Hukum Kesehatan dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan penulis

dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research),

yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh

teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan pertanggungjawaban rumah

sakit dan dokter terhadap Tindak Pidana Aborsi.

4. Analisis Data

Ada dua teknik analisis data yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik

analisis data kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif merupakan suatu kegiatan

sesudah data dari seluruh responden atau sumber data-data lain semua terkumpul.

Teknik analisis data kuantitatif di dalam penelitian kuantitatif yaitu menggunakan

statistik. Statistik inferensial meliputi statistik parametris dan juga statistik non
29
parametris.

29https://pastiguna.com/teknik-analisis-data/ yang diakses pada tanggal 21


Mei 2022
23

Teknik analisis data kualitatif yaitu menganalisis melalui data lalu diolah

dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari

pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.Analisis data yang dilakukan penulis dalam

penulisan skripsi ini dengan cara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas

dalam bentuk sistematika sebagai berkut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang

penulisan skripsi ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Rumah Sakit dan

Dokter Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan.”, kemudiaan menyebutkan apa yang menjadi rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, seta bagaimana metode penelitian dan

sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II KETENTUAN ABORSI YANG LEGAL MENURUT HUKUM DI

INDONESIA

Pada bagian ini akan membahas mengenai ketentuan-ketentuan yang

menjadikan aborsi tersebut menjadi legal menurut hukum di Indonesia yang

berupa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Hukum Islam

serta KUHP.

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM


24

PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

Pada bagian ini akan membahas mengenai hal-hl yang berkaitan dengan

bagaimana bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi

BAB IV PENUTUP

Pada bagian ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran yang

dimana pada bagian ini merupakan bagian penutup dari keseluruhan skripsi.
25

BAB II

ABORSI MENURUT HUKUM DI INDONESIA

A. Aborsi yang Legal

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Istilah “aborsi’ yang berasal dari kata abortus (latin), “kelahiran sebelum

waktunya”.Sinonim dengan itu dikenal juga istilah “kelahiran yang prematur”

atau miskraam (Belanda)“keguguran”.Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) disebut perempuan tidak diperkenankan melakukan tindakan

aborsi.KUHP dengan tegas mendukung mempertahankan kehidupan janin.Jadi

melihat kedua peraturan perundang-undangan yang ada mengenai aborsi lebih

mengutamakam kehidupan janin (pro life).

Aborsi (pengguguran kandungan) sampai sekarang masih menimbulkan

pro dan kontra maupun perdebatan yang tidak ada akhirnya, baik oleh pihak yang

mendukung aborsi maupun yang kontra aborsi.Perdebatan yang tidak kunjung

mendapatkan titik temu ini mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life

yang berupaya mempertahankan kehidupan Janin dan penganut paham pro-

choice yang menginginkan aborsi boleh dilakukan disebabkan perempuan

mempunyai hak untuk memelihara kesehatannya dalam menentukan hak

kesehatan reproduksinya.

Aborsi adalah cara tertua mengatur kehamilan dan ini sudah sejak dahulu

kaum lelaki maupun negara mengatur kehamilan itu. Aristoteles dan Plato
26

mengatakan menjadi (melahirkan anak) adalah kewajiban ibu, baik terhadap


30
suaminya maupun terhadap Negara.

Pasal-Pasal dalam KUHP tersebut dengan jelas tidak memperbolehkan

suatu aborsi di Indonesia.KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus

provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang,

termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan

korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342

KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga

dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan

suatu pembunuhan terahadap anak.

Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan

secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atas

kedaruratan medis. Dengan kata lain, tenaga medis mempunyai hak untuk

melakukan aborsi bila dan pertimbangan medis atau kedaruratan media dilakukan

untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil.

Berdasarkan UU Kesehatan RI No. 36 Thn 2009, Pasal 75 bahwa setiap

orang dilarang melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi

kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan aturan ini

diperkuat dengan Pasal 77 yang berisi pemerintah wajib melindungi dan

mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75

mengenai tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung

30http://www.tubasmedia.com/tentang-aborsi-kuhp-dengan-uu-kesehatan-
berbeda/#.WVpfJNR96-- diakses pada tanggal 10 Juni 2022.
27

jawab sera bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Perbedaan terlihat antara KUHP dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009

tentang aborsi, tetapi dalam Undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tenaga

medis diperbolehkan untuk melakukan aborsi legal pada perempuan hamil karena

alasan medis dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan disertai suami

dan keluarganya.

Masalah lain yang belum terpecahkan atau berkembang dan berlakunya

kedua peraturan perundang-undangan adalah perlindungan hukum terhadap

perempuan mengenai fungsi alat reproduksinya atau terjadinya pelanggaran

terhadap hak reproduksi perempuan dari hidup janin hak atas informasi kesehatan,

hak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa perbedaan (diskriminatif) dan

terjadinya tindakan aborsi tidak aman pada kasus-kasus kehamilan yang tidak

diinginkan dan masalah etik.

Aborsi sudah perlu mendapat perhatian melalui pengaturan yang lebih

bijak untuk menghindari praktek aborsi tidak aman dan pemenuhan hak

reproduksi perempuan maupun hak asasi perempuan dan janin.Legalisasi aborsi

perlu diperhatikan lebih bijak tetapi bukan dalam pengertian memberikan

liberalisasi aborsi.

Meskipun aborsi secara hukum terlarang, tetapi kenyataannya aborsi masih

banyak dilakukan oleh perempuan dengan berbagai alasan disebabkan peraturan

dan hukum yang ada kurang akomodatif terhadap alasan-alasan yang memaksa

perempuan melakukan tindakan aborsi (Pro Choice) , di seluruh dunia 500.000


28

perempuan meninggal akibat kehamilan, persalinan maupun abortus kriminalis.

31
Sekitar 20 juta pertahun terjadi unsafe abortion.

Khususnya di Indonesia sekitar 750 000-1.000.000 pertahun dilakukan

unsafe abortion, 2.500 diantaranya mati berakibat kematian (11,1%). Hal ini

sesuai dengan data WHO yang menyatakan, 15-50% kematian ibu disebabkan
32
oleh pengguguran kandungan yang tidak aman.

Hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam

dua undang-undang yaitu KUHP pasal 299, 346, 347, 348, 349 dan 535 yang

dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun serta dalam UU RI No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75,76,77,78 melarang aborsi tetapi masih

mengijinkan tindakan aborsi atas indikasi medis dan trauma psikis dengan syarat

tertentu.

Tindakan aborsi menurut KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai

tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Pasal-

pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah pasal 229, 346, 347, 348, 349 dan 535.

Menurut KUHP, aborsi merupakan: Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap

stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40

minggu).

Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang

memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik,

sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang

31Ibid.
32Ibid.
29

melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan

alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).

Berdasarkan pasal-pasal KUHP di atas berarti apapun alasannya diluar

alasan medis perempuan tidak boleh melakukan tindakan aborsi. Kalau dicermati

ketentuan dalam KUHP tersebut dilandasi suatu pemikiran atau paradigma bahwa

anak yang masih dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga berhak

untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Apabila dilihat dari aspek hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak

untuk hidup maupun mempertahankan hidupnya sehingga pengakhiran kandungan

(aborsi) dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi

manusia. Dengan kata lain paradigma yang digunakan adalah paradigma yang

mengutamakan hak anak (pro life). Oleh karena itu dalam KUHP tindakan aborsi

dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.

Kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan umumnya adalah

Abortus Provokatus Kriminalis dengan beberapa alasan seperti; Kehamilan di luar

nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin punya anak lagi

akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya.

Aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) adalah penghentian kehamilan yang

dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/kompeten dan menggunakan sarana yang

tidak memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan

kematian.Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak


30

diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti
33
prosedur kesehatan atau kedua-duanya (Definisi WHO).

Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya

pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa

indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat

kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari

keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan

pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya.

Pasal-Pasal dalam KUHP tersebut dengan jelas tidak memperbolehkan

suatu aborsi di Indonesia.KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus

provocatu medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang,

termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan

korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342

KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga

dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan

suatu pembunuhan terahadap anak.

Menurut Soewadi, aborsi berdasarkan indikasi medis atau aborsi terapeutik

dapat dilakukan jika kehamilan yang mengakibatkan resiko bagi kehidupan

perempuan hamil, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental, adanya resiko

keutuhan fisik bayi yang akan dilahirkan (pertimbangan eugenik) dan

perkosaan dan incest (pertimbangan yuridis). Apabila pengaturan hukum

tentang aborsi yang dimungkinkan atau seharusnya berlaku di Indonesia

diharmonisasikan

33 Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.Behrman.


31

Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of


Pediatrics). EGC. Jakarta
32

dengan konsep aborsi terapeutik sebagaimana diutarakan di atas, maka aborsi

legal di Indonesia tidak hanya terbatas pada aborsi berdasarkan indikasi medis

untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat, tetapi lebih luas lagi

mencakup beberapa alasan aborsi terapeutik baik dari segi medis maupun psikiatri

yaitu: kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan hamil mengalami

gangguan jiwa berat, dan janin mengalami cacat bawaan


34
berat.

Legalitas aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan KUHP

berimplikasi pada tidak berlakunya pertanggungjawaban pidana pada perempuan

korban perkosaan yang melakukan aborsi sebab terdapat unsur pemaaf dan unsur

pembenar baginya dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana hanya menuntut adanya kemampuan

bertanggungjawab pelaku.Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidanaberbicara

mengenai kesalahan (culpabilitas) yang merupakan asas fundamental

dalam hukum pidana.

Harmonisasi pengaturan hukum tentang aborsi ini membawa konsekuensi

lebih lanjut berupa dekriminalisasi dan depenalisasi dalam pengaturan hukum

pidana berkaitan dengan aborsi yang akan direalisasikan dalam kebijakan

formulasi, aplikasi dan eksekusi untuk memenuhi asas lex certa dalam hukum

pidana.

Hal ini diperlukan karena ketiga alasan aborsi aman, yaitu kehamilan

akibat perkosaan danincest, perempuan hamil yang mengalami gangguan jiwa

34 http://www.suduthukum.com/2016/04/aborsi-menurut-kitab-undang-
undang.html, diakses pada tanggal 1 Juni 2021.
33

berat, dan janin yang mengalami cacat bawaan berat, di dalam ius

constitutum merupakan perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam dengan

pidana, namun dalam ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan tersebut

tetap bersifat melawan hukum, perempuan hamil dan tenaga medis yang

membantu melakukan aborsi tidak dipidana karena tidak mempunyai kesalahan

berdasarkan pengecualian berupa alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan

pidana yang bersumber dari Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht) dan
35
kondisi darurat (noodtoestand).

Penerapan Pasal 48 KUHP terhadap ketiga alasan aborsi tersebut dilandasi

oleh teori perlindungan hukum yang seimbang yang bersumber pada Pancasila,

yang dapat diukur dengan ide yaitu justice yang memuat konsep iustitia

distributive.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

yang menegaskan tentang dibolehkannya melakukan tindakan aborsi sebagai

upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya, jenis aborsi ini secara

hukum dibenarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagaimana telah diatur

36
dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2), namun ada beberapa hal yang dapat dicermati

dari aborsi ini yaitu bahwa ternyata aborsi dapat dibenarkan secara hukum apabila

dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau

tenaga kesehatan yang mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan

menggunakan pertimbangan demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya, aborsi

35Ibid.
36Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, H. 16
34

ini dapat dilakukan atas persetujuan ibu hamil atau suami atau keluarganya dan

pada sarana kesehatan tertentu.

Aborsi yang dilakukan bersifat legal, dan dengan kata lain vonis medis

oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan

tindak pidana atau kejahatan.Dari penjelasan tersebut didapatkan gambaran

mengenai aborsi legal menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa

aborsi dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Berdasarkan indikasi medis

Indikasi medis yang dimaksud adalah suatu kondisi yang benar-benar

mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis

tertentu itu ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut.

2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

Dalam hal ini adalah seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit

kandungan sebagai tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim

ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan

psikologi.

3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau

keluarganya

Yang dimaksud dalam hal ini adalah hak utama memberikan persetujuan

dalam tindakan ini (informed consent) ada pada ibu hamil yang bersangkutan

karena menyangkut hak reproduksi perempuan tersebut, kecuali dalamkeadaan

tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya dapat diminta dari suami

atau keluarganya.
35

4. Sarana kesehatan tertentu

Sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk

tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.

Ketentuan tersebut dapat dipahami sebagai wujud adanya perlindungan

terhadap hak perempuan, dan terhadap alat reproduksinya. Persoalan lain yang

cukup penting untuk dipikirkan adalah apabila seorang perempuan hamil akibat

dari pemerkosaan, akibat dari hubungan seks komersial yang menimpa pekerja

seks komersial ataupun kehamilan yang diketahui bahwa janin yang dikandung

tersebut mempunyai cacat bawaan yang berat, apakah perempuan ini tidak berhak

untuk menentukan atau memutuskan hal yang berkaitan dengan fungsi


37
reproduksinya atau yang disebut dengan Pro Choice, karena si ibu
sendiri

merupakan korban suatu kejahatan, dan kehamilan itu akan menjadi suatu beban

psikologis yang berat, dan juga akan berdampak pada anak yang akan dilahirkan

yang kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial kemasyarakatan

yang normal dan kurang mendapat perlindungan serta kasih sayang yang

seharusnya didapatkan oleh anak yang tumbuh dan besar dalam lingkungan yang

wajar, dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat. Dalam

hal ini apakah keputusan aborsi yang dipilihnya dikualifikasikan sebagai Abortus

provocatus criminalis ataukah dapat dikualifikasikan sebagai Abortus provocatus

therapeuticus, mengingat apabila secara normatif hak anak untuk hidup dilindungi

oleh Undang-Undang yang konstruksi hukumnya menggunakan paradigma Pro


3
Life.
8

37R. Mohammad Waluyo Sejati, “Problematika Aborsi Suatu Tinjauan


Normatif”, Disertasi FH. UGM-Yogyakarta, Hal. 4
38Ibid,Hal. 5
36

Menurut UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 pasal 15,disebutkan bahwa

dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan

atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Maksud dari kalimat

‘tindakan medis tertentu’ salah satunya adalah aborsi.

Selain pengertian itu disebutkan pula bahwa aborsi atau pengguguran

kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus

provocatus). Yakni, kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara

sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhenti

karena faktor-faktor alamiah (abortus spontaneous).

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:

1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus

2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis

3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum

Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun.Kebanyakan

disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah

pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin

kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari

oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun

beranak).

Aborsi terapeutik /Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran

kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.Sebagai contoh, calon ibu

yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau
37

penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun

janin yang dikandungnya.Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang

dan tidak tergesa-gesa.

Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke

dalam dua golongan yakni :

1. Abortus buatan legal (Abortus provocatus therapcutius)

Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-

cara yang dibenarkan oleh undang-undang, karena alasan yang sangat

mendasar untuk melakukannya: menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si

ibu.

2. Abortus buatan ilegal

Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk

menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak

kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh

undang-undang.

B. Aborsi yang Ilegal

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan

pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku

kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX

Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap

nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang

terdapat dalam pasal-pasal tersebut:

a. Pasal 299 KUHP

(1).Barang siapa dengan sengaja mengobati seseorang wanita atau


38

menyuruhnya supaya diobati dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan

bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana

penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak 3000 rupiah

(2). Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan atau jika dia

seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

(3). Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan

pencarian atau kebiasaan atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat,

pidananya dapat ditambah sepertiga.

Dari rumusan Pasal 299 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur

tindak pidana adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang yang sengaja mengobati seorang wanita atau

menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan

tersebut kehamilannya dapat digugurkan, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga

riburupiah.

2. Seseorang yang sengaja menjadikan perbuatan mengobati seorang

wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari

pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan dengan mencari

keuntungan dari perbuatan tersebut atau menjadikan perbuatan

tersebut sebagai pencarian atau kebisaaan, maka pidananya dapat

ditambah sepertiga.

3. Jika perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya

diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat

digugurkan itu dilakukan oleh seorang dokter, bidan atau juru obat

maka hak untuk berpraktek dapat dicabut.


39

a) Perempuan itu yang melakukan sendiri atau menyuruh untuk itu

menurut (Pasal 346KUHP).

Abortus jenis ini secara tegas diatur dalam Pasal 346 KUHP.merumuskan

sebagai berikut :“Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati

kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-

lamanya empattahun”.

Berdasarkan rumusan Pasal 346 KUHP tersebut terkandung maksud oleh

pembentuk Undang-Undang untuk melindungi nyawa janin dalam kandungan

meskipun janin itu kepunyaan perempuan yang mengandung.P.A.F. Lamintang


40
mengemukakan putusan Hoge Raad sebagai berikut :

40P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya


Bakti,Bandung, Hal.206
40

Hoge Raad 1 Nov. 1879, W. 7038, yaitu pengguguran anak dari


kandungan itu hanyalah dapat dihukum, jika anak yang berada didalam
kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran berada dalam
keadaan hidup. Undang-Undang tidak mengenal anggapan hukum yang
dapat memberikan kesimpulan bahwa anak yang berada di dalam
kandungan itu berada dalam keadaan hidup ataupun mempunyai
kemungkinan untuk tetap hidup.

Pasal 346 KUHP merumuskan sebagai berikut :

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan


kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empattahun.

Jika kembali memperhatikan rumusan Pasal 346 KUHP tersebut, maka

dapat dikemukakan unsur-unsur dari kejahatan pengguguran kandungan

(abortus) sebagai berikut :

a. Subyeknya adalah perempuan wanita itu sendiri atau oranglain


yangdisuruhnya.
b. Dengansengaja.
c. Menggugurkan atau mematikankandungannya.

Dalam melihat unsur-unsur dari pasal 346 KUHP, maka dapat

disimpulkan bahwa yang dapat dikenakan hukuman menurut Pasal 346 KUHP

hanyalah perempuan yang mengandung atau perempuan yang hamil itu sendiri.

b) Orang lain melakukan tanpa persetujuan wanita itu menurut Pasal

347KUHP.

Aborsi jenis ini dicantumkan tegas dalam Pasal 347 KUHP yang

menentukannya sebagai berikut :

Pengguguran kandungan (abortus) dengan cara ini dengan maksud untuk


melindungi perempuan yang mengandung karena ada kemungkinan
mengganggu kesehatannya ataupun keselamatannya terancam.

Memperhatikan rumusan Pasal 347 KUHP dapat dikemukakan unsur-

unsur yang terkandung didalamnya yaitu sebagai berikut :


41

a. Subyeknya oranglain;

b. Dengan sengaja;

c. Menggugurkan atau mematikankandungannya;

d. Tanpa izin perempuan yang digugurkan kandungannya

Adapun pengguguran kandungan (abortus) yang dilakukan oleh orang

lain tersebut tanpa izin perempuan yang digugurkan kandungannya itu sehingga

perempuan tersebut meninggal. Oleh karena itu, ancaman pidananya diperberat

atau ditambah menjadi hukuman penjara lima belas tahun menurut Pasal 347

ayat (2) KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam KUHP sebagai berikut :

a) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan


seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belastahun.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belastahun.

b) Orang yang melakukan dengan persetujuan perempuan itu menurut Pasal

348KUHP.

Rumusan Pasal 348 KUHP adalah sebagai berikut :

a) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan


seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enambulan.
b) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuhtahun.

Adapun unsur-unsur yang terkandung didalam Pasal 348 KUHP adalah

sebagai berikut :

a. Subjeknya adalah oranglain;

b. Menggugurkan atau mematikankandungan;

c. Dengan izin perempuan yang digugurkan kandungannya.


42

Bagi orang-orang tertentu diberikan pemberatan pidana dan pidana tambahan

menurut Pasal 349KUHP.

Di dalam Pasal 349 KUHP ini mengatur mengenai orang-orang tertentu

yang dipidananya diperberat. Adapun orang-orang tertentu yang dimaksud dalam

rumusan Pasal 349 KUHP adalah sebagai berikut :

Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam
kejahatan yang tersebut dalam Pasal 346, atau bersalah atau membantu
dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348,
maka hukuman yang ditentukan dalam itu dapat ditambah dengan
sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk
melakukan kejahatanitu.

Menurut rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur- unsur

tindak pidana adalah sebagai berikut :

Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh

orang lain, diancam hukuman empat tahunpenjara.

1. Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil,dengan

tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukumanpenjara 12

tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15tahunpenjara.

2. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5tahun

penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7tahunpenjara.

3. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan aborsi tersebut

seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan)ancaman

hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untukberpraktek

dapatdicabut.

P.A.F. Lamintang memberi penjelasan terhadap pasal-


43

41
pasal tersebut sebagaiberikut:

1. Pengguguran anak dari kandungan hanyalah dapat dihukum, jika


anakyang berada dalam kandungan itu selama dilakukan
usahapengguguran berada dalam keadaan hidup. Undang- undang
tidakmengenal anggapan hukum yang dapat memberi kesimpulan
bahwaanak yang berada di dalam kandungan itu berada dalam keadaan
hidupataupun mempunyai kemungkinan tetaphidup.
2. Untuk pengguguran yang dapat dihukum, disyaratkan bahwa anak
yangberada dalam kandungan itu selama dilakukan usaha
penggugurankandungan berada dalam keadaan hidup. Tidak perlu
bahwa anak itumenjadi mati karena usaha pengguguran tersebut.
Kenyataan bahwaanak itu dilahirkan dalam keadaan selamat, tidaklah
menghapus bahwakejahatan itu selesai dilakukan. Undang-Undang
tidak membedakan antara berkurang atau lebih lancarnya pertumbuhan
anak yang hidup didalam kandungan melainkan menetapkan pemisahan
dari tubuh si ibu yang tidak pada waktunya sebagai perbuatan yang
dapatdihukum.Disyaratkan bahwa anak yang berada di dalam
kandungan itu hidup dan si pelaku mempunyai kesengajaan untuk
menggugurkan anak yang berada di dalam keadaan hidup itu. Dianggap
bahwa kesengajaan itu ada, apabila selama proseskelahiran anak itu
berada dalam keadaan hidup dan si pelaku diliputi oleh anggapan bahwa
demikianlah halnya.
3. Alat-alat pembuktian yang disebutkan oleh hakim didalamputusannya
haruslah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa wanita itu hamil dan
mengandung anak yang hidup dan bahwa tertuduh mempunyai maksud
untuk dengan sengaja menyebabkan gugur atau meninggalnya
anaktersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 346-349 KUHP dapat diketahui,

bahwaaborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di

Indonesia yang terdapat dalam KUHP adalah tindakan menggugurkan atau

mematikan kandungan yang dilakukan oleh seorang wanita atau orang yang

disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini adalah wanita hamil yang atas

kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang

menurut KUHP dapat disuruh lakukan untuk itu adalah dokter, bidan atau

juruobat.

41Ibid.
44

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, maka

permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit,

dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi,

meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan

kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun Undang-Undang melarang

praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan

pengaturan aborsi dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan

dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.

Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang

terdapat dalam pasal-pasal tersebut:

a. Pasal 75:

(1) Setiap orang dilarang melakukanaborsi.


(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korbanperkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan
pratindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten danberwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari
pertamahaid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis
kedaruratanmedis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) danayat (3) diatur dengan PeraturanPemerintah.
b. Pasal76:
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
45

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam)minggu;


b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yangbersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
olehMenteri.
c. Pasal77:
“Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak
bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
d. Pasal194
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah)”.

Penjelasan Pasal 75 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentangKesehatan,

menyatakan: yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalahsetiap

orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselormelalui pendidikan dan

pelatihan. Bahwa yang dapat menjadi konseloradalah dokter, psikolog, tokoh

masyarakat, tokoh agama, dansetiap orang yang mempunyai minat dan memiliki

keterampilanuntuk itu.

Selanjutnya penjelasan Pasal 77 UU No. 36 Tahun 2009 memberikan

penjelasan sebagai berikut: yang dimaksud dengan praktik aborsi yang

tidak bermutu, tidakaman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi

yangdilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuanyang

bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yangtidak profesional,

tanpa mengikuti standar profesi dan pelayananyang berlaku, diskriminatif, atau

lebih mengutamakan imbalanmateri daripada indikasimedis.

Aborsi yang disengaja dengan melanggarberbagai ketentuan hukum


46

(abortus provocatus criminalis) yang terdapatdalam KUHP menganut prinsip

“illegal tanpa kecuali” dinilai sangatmemberatkan paramedis dalam melakukan

tugasnya. Pasal tentang aborsiyang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana jugabertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009

tentangKesehatan,yangpada prinsipnya tindakan pengguguran kandunganatau

aborsi dilarang (Pasal 75 ayat 1), namun larangan tersebut

dapatdikecualikanberdasarkan:

1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,

baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita

penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat

diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar

kandungan;atau

2. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.


47

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN

A. Unsur Kemampuan Bertanggungjawab dalam Tindak Pidana Aborsi

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah di

tentukan dalam undang-undang. Di lihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang

terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-

tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada

peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsground atau alasan

pemaaf) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka

hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat

dipertanggungjawabkan pidanakan.
43
Menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa :

“Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal


pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
kemudian juga di pidana, tergantung pada soal apakah dia dalam
melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan di pidana”.

43Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua


Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, hlm.75
48

Berdasarkan pasal di didalam KUHP, unsur-unsur delik dan unsur

pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga

dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur

keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik,

oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah

dapat dibuktikan juga dalam persidangan.

Dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya,

E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggung

jawab mencakup :30

a. Keadaanjiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair)
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, limbecile, dan
sebagainya),dan
3. Tidak terganggunya karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,
mengganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaansadar.

b. Kemampuanjiwanya
1. Dapat menginsyafi hakekat tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak;dan
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakantersebut.
Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan

“berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah

yang resmi digunakan dalam pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke vermogens,

untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah

“keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.


49

Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid”

dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.

Pertindak disini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri,

menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika

tindakan merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya

dan memakainya untuk keuntungan sendiri.

Unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana, Seseorang atau pelaku

tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana

apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah

melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah

selalu dia dapat dipidana.

Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan, tidaklah ada gunanya

untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila

perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat

pula di katakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya

perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula

dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana;

b. Mampu bertanggung jawab;

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan


50

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika keempat unsur tersebut diatas ada

maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat

dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

Bahwa bilamana kita hendak menghubungkan petindak dengan

tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan petindak atas

tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus

diteliti dan dibuktikan bahwa:

a. Subjek harus sesuai dengan perumudan undang-undang;

b. Terdapat kesalahan pada petindak;

c. Tindakan itu bersifat melawan hukum;

d. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang

(dalam arti luas);

e. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan

lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung

jawab harus ada:

a. Kemapuan untuk mebeda-bedakan antar perbuatan yang baik dan yang

buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal);

b. Kemapuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak);

c. Tegasnya bahwa, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.


51

Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ketahui bawhwa terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Dimana masyarkat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu

yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Sebagai

konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan

perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya

pembuat dapat berbuat lain.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme

yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana,

karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan

mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu

sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku

tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Sedangkan yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia

(naturlijke personen), sedangkan hewan dan badan-badan hukum

(rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya manusialah yang

dianggap sebagai subjek tindak pidana.

Tindak pidana aborsi itu sendiri merupakan salah satu dari berbagai

macam abortus. Dalam kamus Latin –Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai

wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pada dasarnya kata abortus dalam
52

bahasa Latin artinya sama dengan kata aborsi dalam bahasa Indonesia yang

merupakan terjemahan dari kata abortion dalam bahasa Inggris.

Jika ditelusuri dalam kamus Inggris–Indonesia, kata abortion memang

44
mengandung arti keguguran anak. Maka pengertian dari tindak pidana

aborsi adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya

perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak di

inginkan dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Tindak pidana aborsi

yang dikategorikan sebagai kejahatan, baik kejahatan terhadap kesusilaan maupun

kejahatan terhadap nyawa, dapat diancam dengan sanksi pidana penjara atau

denda. Sedangkan tindak pidana aborsi yang dikategorikan sebagai pelanggaran

diancam dengan pidana kurungan atau denda seperti yang dituangkan dalam pasal
45
535 KUHP.

Mengenai bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan terdakwa

harus menjalankan pidana penjara akibat perbuatannya yang dilakukan

terdakwaharus mempertanggungkan perbuatannya baik itu berupa pidana denda,

sebab perbuatan yang dilakukannya secara terang – terangan telah dilarang oleh

perundang undangan. Di dalam hal pertanggung pidana ada beberapa macam

tanggung gugat antara lain:

1. contractual liability tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak

dipenuhimya kewajiban dan hubungan kontraktual yang sudah disepakati.

Di lapangan kewajiban yang harus dilaksankan adalah daya upaya

maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider


44http://id. Wikipedia.org/wiki/Gugur Kandungan, diakses pada tanggal 24
Juli 2021
45Adami Chazami, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada: 2007), hal. 111
53

2. Vicarius liability atau respondent superior ialah tanggung gugat yang

timbul atas kesalahan yang dibuat oleh pelaku yang ada dalam tanggung

jawabnya (sub ordinate)misalnya pelaku akan bertanggung gugat atas

kerugian yang diakibatkan kelalaiannya.

3. Liability in tort liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan

melawan hukum (ontechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak

terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum. Kewajiban hukum baik

terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Akan tetapi termasuk

juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan

ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain

atau benda orang lain

Menurut Professor W.L yang dikutip oleh Dagi menyatakan apabila

seorang telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan kesalahan maka ia akan

dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun dengan

mendapatkan persetujuan dari si korban pada dasarnya juga merupakan kesalahan

karena mengenakan resiko yang tidak perlu dan tidak rasional kepada korban. Jika

ternyata memang terdapat indikasi kesalahan yang dilakukan oleh seorang pelaku

maka pemerintah yang berwenang dapat memberikan sanksi kepada yang

bersangkutan. Begitupun secara hukum pidana seperti masyarakat yang merasa

dirugikan dapat mengajukan gugatan pidana ke Pengadilan Negeri. Manakalah

kesalahan orang tersebut sudah memenuhi unsur-unsur pidana , maka perkaranya


54

akan sampai ketangan pihak kepolisian untuk selanjutnya diproses sampai ke

Pengadilan.

Kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP

yangberbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu

disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda,

maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan

Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan dua syarat yaitu: praktik

aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana

disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal

diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi; "setiap orang yang dengan

sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan

denda paling banyak Rp1 miliar."

Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau

tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak

perempuan yang dengan sengaja melakukannya.

Pada dasarnya masalah aborsi (pengguguran kandungan) yang

dikualifikasikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana telah terdapat di

dalam KUHP, namun di dasarkan pada berbagai faktor serta alasan-alasan tertentu

dimana salah satunya berdasarkan alasan keselamatan serta terkait permasalahan

HAM dan perlindungan anak, sehingga pengaturan mengenai tindak pidana aborsi
55

juga diatur pula dalam Undamg-Undang No. 36 tahun 2009 memuat juga sanksi

terhadap perbuatan aborsi tersebut, dengan anacaman hukuman yang lebih berat

ketimbang yang diancamkan dalam KUHP.

Ketentuan mengenai tindak pidana aborsi dapat dijumpai dalam Bab XIV

Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pada Pasal 299,

Bab XIX Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa yaitu pada Pasal

346-349 KUHP. Adapun rumusan selengkapnya pasal- pasal tersebut :

Pasal 299 KUHP mengatur :

“Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau

menyuruhnya supaya diobati, dengan memberitahukan atau ditimbulkan

harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,

diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling

banyak tiga ribu rupiah.”

Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau jika ia

seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,

maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346 KUHP mengatur :

“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya

atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.”
56

Pasal 347 KUHP mengatur :

“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan

seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun.”

Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 KUHP mengatur :

“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan

seorang wanita dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun enam bulan.”

Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP mengatur :

“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang

tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu

kejahatan yang diterangkan Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan

dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk

menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”

Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa tindak

pidana aborsi itu dilarang dalam hukum pidana Indonesia, dan merupakan

tindakan yang illegal tanpa kecuali, Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa

anak dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga berhak menerima

perlindungan hukum.
57

Sebagaimana yang telah dirumuskan pasal-pasal diatas, maka dalam kasus

aborsi, minimal ada dua orang yang terkena ancaman pidana, yakni si wanita

sendiri yang hamil serta barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan

tersebut menggugurkan kandungannya (Pasal 346). Seorang perempuan yang

hamil dapat terkena ancaman pidana kalau ia sengaja menggugurkan

kandungan dengan atau tanpa bantuan orang lain. la juga dapat terkena ancaman

pidana kalau ia minta bantuan orang lain dengan cara menyuruh orang itu untuk

menggugurkan kandungannya. Khusus untuk orang lain yang disuruh untuk

menggugurkan kandungan dan ia benar-benar melakukannya, maka baginya

berlaku rumusan Pasal 347 dan 348 KUHP.

Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik

Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal setiap dokter harus

senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada

pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka

penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari

panitia etik di masingmasing RS (Rumah Sakit) hingga Majelis Kehormatan Etika

Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa

“pengucilan” anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif


46
tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.

Kebijakan yang telah ada dan kebijakan yang akan dibuat pada dasarnya

dalam pembuatannya menurut A. Mulder untuk menentukan :

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu

46Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Penerbit Rineka


Cipta, Jakarta 2010, hlm. 168.
58

diubah atau diperbaharui.

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan,

peradilandanpelaksanaan pidana harus

47
dilaksanakan.

B. Unsur Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana Aborsi

Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu dapat

dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana

tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana

terhadap seseorang tidak cukup dengan dilakukan tindak pidana saja, tetapi selain

dari itu harus ada pula kesalahan atau menurut Moeljatno sikap bathin yang

tercela. Siapa yang melakukan kesalahan, maka dia lah yang bertanggung jawab.

Dalam hal ini dikenal suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (qeen straf zonder
48
shuld).

Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus

non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,

maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud

pertanggungjawaban tindak pidana.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan

perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat

47Munder. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. KDT. 2021,


diunduh 20 Juni 2021, Pukul 23.30 WIB, hlm. 28
48
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal
153
59

tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga

mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur

kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang

terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam

suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut

dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua

unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk

melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa

perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung

pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en

wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu

perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah

menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah

mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.

Apabila dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von

Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah

kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu

akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud

dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak atau menghendaki dan

mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan

dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu

sulit untuk dibuktikan secara materiil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan
60

dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu

dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan

keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar

hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.

Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur

kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut

sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari

atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku

dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-

hati. Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan.

Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan

sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu

tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga

tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat

tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.

Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku

mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat

membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau

dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu

akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-

undang.
61

Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan,

akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan

sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali

tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan

yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus

dipidanakan.

Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang

secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah

kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya

merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan

49
pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.

Dalam hukum pidana, kesalahan dibagi menjadi kesengajaan dan


50
kealpaan. Kesengajaan terbagi atas tiga, yaitu :

a. kesengajaan sebagai maksud ( opzet als oogmerk);

b. kesengajaan sebagaikepastian(opzet bijzekerheidsbewuztzijn);

c. kepastian sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, of

voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).

Kesengajaan sebagai maksud, si pelaku memang benar-benar

menghendaki perbuatan dan akibatnya. Kesengajaan sebagai sadar kemungkinan

baru dianggap ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk

49http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggu
ngjawaban- hukumnya/, Law, Pertanggungjawaban Malpraktek
50Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1992, hlm.159.
62

mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana, tetapi dia tahu bahwa

akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya. Kesengajaan sebagai kemungkinan

adalah keadaan tertentu yang semua mungkin terjadi, kemudian benar-benar

terjadi.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak terdapat dalam KUHP, juga tidak

terdapat dalam perundang - undangan lainnya, melainkan terdapat dalam hukum

yang tidak tertulis. Meskipun tidak tertulis asas ini hidup dalam anggapan

masyarakat dan diterima oleh hukum pidana disamping asas - asas yang tertulis
51
dalam Undang - undang.

Kealpaan terbagi atas dua D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH.

Sutorius yaitu :

a. Kealpaan yang disadari, dan;

b. Kealpaan yang tidak disadari.

Sebuah tindak pidana dapat dijatuhi pidana apabila telah memenuhi tiga

unsur perbuatan pidana, yaitu;

(1) perbuatan,

(2) unsur melawan hukum obyektif, dan

(3) unsur melawan hukum subyektif.

Sebagaimana tercantum dalam pasal 346 dan 348, untuk kasus tindak

pidana aborsi tersebut diatas dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur subjektif :

51Moeljatno, Ibid, hal 154


63

a. Dengan disengaja

b. Dengan menyuruh orang lain

c. Dengan adanya persetujuan

Unsur Objektif :

a. Menggugurkan atau mematikan

b. Kandungan atau janin

Dapat disimpulkan telah memenuhi tiga unsur perbuatan pidana dan

dengan hal ini dapat dijatuhi pidana. Unsur-unsur tersebut dapat dijabarkan dalam

penjelasan contoh kasus sebagai berikut :

Unsur perbuatan terpenuhi dengan adanya tindakan dari pelaku (1) yang

melakukan aborsi terhadap kandungan pelaku (2) dengan persetujuan pelaku (2),

dalam hal ini pelaku (2) juga melakukan tindak pidana yaitu dengan sengaja

menggugurkan kandungannya dengan meminta bantuan pelaku (1)

Unsur melawan hukum obyektif juga telah terpenuhi. Karena tindakan

pelaku (1) dan pelaku (2) telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

tercantum dalam pasal 346 dan 348 KUHP, yaitu “sengaja”, “dengan

persetujuan”, dan “menggugurkan kandungan”.

“Sengaja” dibuktikan dalam perbuatan tersebut dengan adanya permintaan

dari pelaku (2) kepada pelaku (1) untuk menggugurkan kandungannya sendiri.

“dengan persetujuan” dibuktikan dengan adanya persetujuan antara pelaku (1) dan

pelaku (2) untuk menggurkan kandungan pelaku (2) “menggugurkan kandungan”

maksudnya mematikan janin dalam kandungan, yang merupakan delik materiil.

Dalam hal ini diperlukan adanya akibat, bukan hanya perbuatan. Tindak pidana
64

aborsi yang mengakibatkan kematian bagi janin dalam kandungan. Maka dengan

demikian unsur-unsur tersebut telah terpenuhi.

Unsur ketiga, yaitu unsur melawan hukum subjektif, dalam hal ini, yaitu

pertanggungjawaban dan kesalahan. Pertanggungjawaban maksudnya adalah

kemampuan para pelaku untuk bertanggungjawab, dan tidak memenuhi pasal 44

KUHP. Dalam kasus ini para pelaku memenuhi unsur pertanggungjawaban

tersebut. Kesalahan dalam hal ini adalah kesengajaan dan kelalaian, dan dalam

contoh kasus ini para pelaku dinilai melakukan kesengajaan.

C. Unsur Tiada Alasan Pemaaf dalam Tindak Pidana Aborsi


52
Roeslan saleh menyatakan bahwa :

Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat


di lepaskan dari satu dua aspek yang harus di lihat dengan pandangan
pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga
pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur
yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana
terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.

Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang

yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga di pidana tergantung pada

soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak

apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai

kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan terlarang dan tercela, dia

52Roeslan Saleh. Pikiran Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana,


Ghalia Indonesia, Jakarta. 1982.hlm .10
65

tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”,

53
merupakan tentu dasar daripada dipidananya si pembuat.

Pepatah mengatakan “tangan menjingjing, bahu memikul”, artinya

seseorang harus menangung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. Dalam

hukum pidana juga di tentukan hal seperti itu, yang dinamakan

pertanggungjawaban pidana. Bedanya, jika pepatah tadi mengandung suatu

pengertian yang luas sekali, dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana


54
dibatasi dengan ketentuan di dalam undang-undang.

KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar atau alasan

pemaaf. Buku pertama hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan

pidana.

Alasan penghapusan pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan

pembenar. Alasan pemaaf ditujukan kepada keadaan diri si pelaku, sedangkan

alasan pembenar ditujukan kepada keadaan perbuatan pelaku.

1) Alasan pemaaf.

a. Mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, pembentuk undang-undang membuat

peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut :

1. Yang cacat dalam pertumbuhannya;

2. Yang terganggu karena penyakit

53Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm.75


66

54Op.Cit , E.Y. Kanter dan S. R .Sianturi..hlm.249


67

b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP).

c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP.

d. Perintah jabatan yang tidaksah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

2) Alasan pembenar.

a. Keadaan darurat.

b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP).

c. Melaksanakan perintah perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).

d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1) KUHP)

Apabila terdakwa/pelaku sehat jasmani dan rohani sehingga dianggap

mampu bertanggung jawab. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan unsur

kesengajaan, dan perbuatannya secara sah dan meyakinkan bersifat melawan

hukum, dan hakim tidak melihat adanya alasan penghapusan pidana, baik

terhadap diri pelaku, maupun terhadap perbuatan pelaku.

Atas dasar tersebut, hakim dapat berkesimpulan bahwa unsur-unsur pasal

yang didakwakan/dituntutkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Unsur-

unsur tersebut adalah :

1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja menyebabkan gugur atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya.

Berdasarkan hal tersebut, hakim dapat berkeyakinan bahwa terdakwa

secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar Pasal 348 KUHP.Setelah

unsur-unsur tersebut dianggap secara sah dan meyakinkan telah terbukti, maka

dalam putusan hakim, harus juga memuat hal-hal apasaja yang dapat meringankan

atau memberatkan terdakwa selama persidangan berlangsung.


68

Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa tidak mendukung program

pemerintah, terdakwa sudah pernah dipidana sebelumnya, dan lain

sebagainya.Hal-hal yang bersifat meringankan adalah terdakwa belum pernah

dipidana, terdakwa bersikap baik selama persidangan, terdakwa mengakui

kesalahannya, terdakwa masih muda, dan lain sebagainya.

Jika selama pemeriksaan di persidangan majelis hakim tidak menemukan

hal-hal yang dapat di pergunakam sebagai alasan pemaaf maupun alasan

pembenar dan perbuatan terdakwa tersebut dengan demikian maka perbuatan

terdakwa tersebut harus dipertanggungjawabkan kepadanya untuk itu kepada

terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan

tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dan harus pula dijatuhi pidana

sesuai dengan kesalahanya.

Tindak pidana aborsi itu dilarang dalam hukum pidana Indonesia, dan

merupakan tindakan yang illegal tanpa kecuali, Hal ini tidak terlepas dari

pandangan bahwa anak dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga

berhak menerima perlindungan hukum.

Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam

kondisi berikut:

1) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang

menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun

yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut

hidup di luar kandungan; atau


69

2) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.

Namun tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan

itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh

konselor yang kompeten dan berwenang. Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama

haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang

memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

Menteri.

Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Dengan

memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Undang-Undang Nomor

8 tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua

dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2009 serta peraturan perundang-

undangan. Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelegalan

aborsi.

Hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin


70

dikategorikan sebagai kejahatan yang dikenal dengan istilah „Abortus Provocatus

Criminalis‟, dalam KUHP misalnya, larangan aborsi ditegaskan dengan ancaman pidana

bagi ibu yang melakukan aborsi, dokter atau bidan atau dukun yang

membantu melakukan aborsi serta orang-orang yang mendukung terlaksananya

aborsi.

Sementara itu, dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992

pasal 15 (1), ditegaskan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk

menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis

tertentu, namun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud

tindakan medis tertentu. Sementara dalam penjelasannya dinyatakan bahwa

tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun

dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma

kesusilaan dan norma kesopanan.

Darisiniterlihatbahwaundang-

undanginimasihmemberipengertianyangmembingungkan soal aborsi, tidak ada

penjelasan tegas bahwa yang dimaksud tindakan medis tertentu itu adalah

aborsi.Kedua Undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa aborsi tak berpeluang

diperbolehkan sedikitpun dalam hukum Indonesia.

D. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan KITAB Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Hukum (pidana) dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga

pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter
71

atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban

pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang

terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak

menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik

kedokteran.

a. Pasal 346 KUHP


55
Tindak pidana dalam pasal ini merumuskan:

Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun

Jika rumusan itu dirinci terdapat unsur


56
berikut:

Unsur-unsur objektif:

1. Pembuatnya: seorang perempuan

2. Perbuatan:

a. menggugurkan; atau

b. Mematikan/membunuh

c. Menyuruh orang lain untuk itu

1. Objeknya: kandungannya Unsur subjektif

2. Dengan sengaja

Dalam ketentuan diatas dokter dapat tersangkut apabila perempuan

meminta (menyuruh orang lain untuk itu) dokter untuk melaksanakan aborsi

tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pembuat tunggal (dader)

55 Adami chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Bayu media


Hal.11
publishing, Malang,
8
56Andi Hamzah, Op.Cit., Hal. 62
72

karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita (de

vrouw).Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktik menurut pasal ini jika

dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan

kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada

57
dua pendapat mengenai hal ini:

1. Sebagai pembuat pelaksana (pleger) menurut pasal 55 ayat 1 KUHP.

Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan

perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau

pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut.

Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat

perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika

dokter mendapatkan pembayaran untuk itu.

2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui pasal 348 KUHP. Alasan

pendapat ini yakni subjek hukum pasal 346 ialah harus seorang

perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang

disebut dalam rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal (dader)

dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam pasal 55 dan 56

KUHP. Sementara itu, unsur tiga perbuatan (menggugurkan,

mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu) dikhususkan pada

perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam halini, dokter juga

bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan

demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan

57Adami chazawi, Op.Cit., Hal.11


73

tersebut. Jika demikian, dokter tidak mungkin dipidana menurut pasal

ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan pasal 348.

Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai

dader menurutpasal346. Perbuatan perempuan bukan mengugurkan atau

mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain

(dokter) untuk itu.

b. Pasal 347 KUH

58
pasal ini merumuskan:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurakn atau mematikan kandungan

seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana

penjara paling lama dua belas tahun

2. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya perempuan tersebut diancam

dengan pidana penjara paling lama lima belsa tahun.

Rumusan tersebut terdiri atas unsur-unsur berikut.

Ayat 1

Unsur-unsur obkektif

1. Perbuatan : menggurkan atau mematikan

2. Objeknya : kandungan perempuan

3. Tanpa persetujuan perempuan itu Unsur subjektif

4. Dengan sengaja

Ayat 2: Mengakibatkan kematian perempuan tersebut

58
Ibid., Hal. 121
74

Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan.

Tanggungjawab pidananya lebih berat (penjara paling lama 12 tahun) daripada

aborsi atas persetujuan (penjara paling lama lima tahun enam bulan, pasal 348).

Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan (pasal

338). Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang

mengandung seperti pada pembunuhan.Tanpa persetujuan harus diartikan pada

akibat, bukan pada perbuatan tertentu.

Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang dikatakan

pembuat berupa pengobatan atau perawatan. Namun sesungguhnya perbuatan

tersebut oleh pembuatnya ditujukan pada gugr atau matinya kandungan. Kejadian

ini juga masuk pasal 347. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada

perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini

harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan,

atau kesengjaan sebagaikepastian.

c. Pasal 348

59
Pasal ini merumuskkan:
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enambulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuhtahun.

Mengenai tindak pidana dirumuskan dalam ayat 1. Ayat 2 memuat alasan

pemberatan pidana yang dilekatkan pada timbulnya akibat kematian perempuan

yang mengandung. Rumusan ayat 1 terdapat unsur-unsur berikut:

Unsur-unsur objektif:

59Ibid., Hal.125
75

1. Perbuatan:

a. menggugurkan atau

b. mematikan

2. Objeknya: kandungan seorang perempuan

3. Dengan persetujuannya Unsur subjektif

4. Dengan sengaja

Perbedaan pokok dengan aborsi pasal 348 terletak pada aborsi terhadap

perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri.Dari

unsur persetujuannya, berarti inisiatif tindakan aborsi itu bukan berasala dari

perempuan. Alasannya didasarkan dari unsur perbuatan ketiga, yakni menyuruh

orang lain untuk itu. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh

mematikan atau menggugurkan kandungan menurut pasal 346 dengan aborsi yang

dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung (pasal 348).

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu: tindak

pidana, pertanggung jawaban pidana, pidana pemidanaan. Ketentuan pidana yang

terdapat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan dirumuskan dalam Bab

XX Ketentuan Pidana Pasal 190 sampai dengan pasal 200 adalah sebagai berikut:

a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal

194)

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)

Tindak pidana ini terdapat unsur-unsur berikut.

Unsur-unsur objektif

1) perbuatan: melakukan tindakan medis tertentu


76

2) objek: terhadap ibu hamil

3) yang tidak memenuhi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 75 ayat

(2) Unsur subjektif

4) dengan sengaja

Unsur perbuatan yang dilarang disebutkan melakukan tindakan medis

tertentu.Suatu penyebutan perbuatan yang abstrak dan tidak jelas wujud

konkretnya.

Tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara

pelayanan publik diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25

tahun 2009, tentang pelayanan publik yaitu mengatur tentang tujuan pelaksanaan

pelayanan publik , antara lain :

a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,


tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan yang layak sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik
c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam UU No.25/2009,

juga diatur dalam ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 ,

tentang rumah sakit ,yang mengatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab

secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Tanggung jawab hukum rumah

sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari

aspek etika profesi, hukum adminstrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
77

Dasar hukum pertanggungjawaban rumah sakit dalam pelaksanaan

pelayanan kesehatan terhadap pasien yaitu adanya hubungan hukum antara rumah

sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pengguna

pelayanan kesehatan. Hubungan hukum tersebut lahir dari sebuah perikatan atau

perjanjian tentang pelayanan kesehatan, sehingga lazim disebut perjanjian

terapeutik.

Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009

adalah sebagai berikut:

a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal

194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga

Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap

Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda

paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


78

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran

kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab

XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal

346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap

nyawa. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun

1992, maka permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara

eksplisit, dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur

mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi

dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun

Undang-Undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu

terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.

2. Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat di dalam

pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi yaitu

sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku tindak

pidan aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan

kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga

terpenuhi karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu

untuk bertanggung jawab.


79

B. Saran

1. Di dalam melakukan praktek kedokteran sebaiknya semua belah pihak

yang terlibat di dalamnya agar lebih memeperhatikan segala prosesnya

baik itu pihak rumah sakit, dokter maupun pasien. Hal ini harus dilakukan

berdasarkan kesadaran semua pihak agar tidak terjadi Tindak kriminal

seperti aborsi yang dimana itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar

hukum dan dapat meminimalisir kegiatan aborsi untuk hal-hal yang

memiliki tujuan tertentu.

2. Penerapan sanksi bagi pihak yang melakukan aborsi baik itu dokter

ataupun rumah sakit agar dipertegas lagi penerapan sanksinya. Jangan

hanya berupa peringatan saja atupun teguran, karena hal tersebut tidaklah

membuat efek jera bagi si pelaku aborsi illegal. Karena kebanyakan dari

kasus aborsi yang terjadi sekarang apabila ketahuan hanya dilakukan saja

peringatan yang dimana para pelaku aborsi tidaklah takut untuk melakukan

aborsi yang illegal dan kemudian menjadikan kegiatan aborsi illegal

menjadi suatu perbuatan yang mudah untuk dilakukan.


80

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia

Jakarta. 2001.

Adami Chazami, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada: 2007).

Adami chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Bayu media publishing, Malang.

Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih, PT. Remaja

Rosdakarya Offset : Bandung, 2006.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Cetakan Keempat, 2002).

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,1992.

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.Behrman. Kliegman. Arvin.

(2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics). EGC. Jakarta.

Chairul huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada

Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’,Kencana, Jakarta.

D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1989).

Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi

dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.


81

Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Muladi dan Dwidja priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana,

Jakarta.

Munder. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. KDT. 2021, diunduh 20 Juni 2021, Pukul

23.30 WIB.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993).

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

2010.

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.

Bandung. 1996.

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia

Indonesia), 1982.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar

dalam Hukum Pidana.

R. Mohammad Waluyo Sejati, “Problematika Aborsi Suatu Tinjauan Normatif”, Disertasi

FH. UGM-Yogyakarta.

Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan,

2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

S. Supriyanto dan Ernawati, 2010, Pemasaran Industri Jasa Kesehatan. Penerbit CV

Andi Offset : Yogyakarta.

Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana 1 A - 1B. Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto.

Zaimul Bahri, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum. (Bandung: Angkasa. 1996),

INTERNET:
82

(http://www.zamrolawfirm.com/publikasi/esai/18-perbuatan-pidana-dan-

pertanggungjawaban-pidana) diakses pada tanggal 29 April 2022, jam 11.48,

mengutip “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”

http://www.suduthukum.com/2016/04/aborsi-menurut-kitab-undang-undang.html, diakses

pada tanggal 1 Juni 2021.

Wikipedia.org/wiki/Gugur Kandungan, diakses pada tanggal 24 Juli 2021

http://www.tubasmedia.com/tentang-aborsi-kuhp-dengan-uu-kesehatan-berbeda/

#.WVpfJNR96-- diakses pada tanggal 1 Juni 2021.

https://pastiguna.com/teknik-analisis-data/ yang diakses pada tanggal 21 Mei 2022

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggungjawaban-

hukumnya/, Law, Pertanggungjawaban Malpraktek

Anda mungkin juga menyukai