Anda di halaman 1dari 16

HUKUM ABORSI AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM TINJAUAN

HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Disusu untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Al-Ahwal Al-Syahsiyyah

Kontemporer

Dosen Pengampu : Dr. Rohmawati, M.A.

Disusun Oleh :
Kelompok 13 HKI 4E

1. Rendyca Dwi Saputra 126102211087


2. Rafida Widi Astuti 126102212188
3. Luk Luu Ul Munawwaroh 126102212217

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

MEI 2023
A. Latar Belakang
Setiap tahunnya di Indonesia, banyak perempuan yang mengalami
kehamilan yang tidak direncanakan. Bahkan angka pembunuhan janin di
Indonesia pertahun meningkat mencapai 2,3 juta. Angka yang tidak sedikit
mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Tak sedikit dari perempuan
tersebut yang memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya dengan jalan aborsi,
walaupun dalam kenyataanya aborsi secara umum masih menuai pro dan kontra.
Masalah aborsi ini keberadaanya merupakan suatu fakta yang tidak dapat
dipungkiri dan bahkan menjadi bahan kajian yang menarik untuk diulik lebih
dalam.
Tindakan aborsi ini tidak hanya melenyapkan keberadaan janin dalam
rahim, tetapi juga dapat mengancam jiwa ibu yang mengandungnya. Kenyataan
ini membuktikan bahwa tindakan aborsi juga menimbulkan efek yang sangat
besar bagi sang ibu. Dalam Islam keberadaan nyawa pada janin ikut menentukan
kondisi hukum. Ahli hukum Islam sepakat bahwa haram hukumnya bila
melakukan aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin (janin telah bernyawa). Namun,
mereka berbeda pendapat pada hukum aborsi sebelum ditiupnya ruh. Dalam
keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa wanita (ibu) yang mengandung
dibolehkan melakukan aborsi.
B. Pengertian Dan Jenis Aborsi
Ada berbagai alasan seorang wanita melakukan tindakan aborsi. Namun,
perlu diketahui bahwa aborsi memiliki risiko dari sisi medis maupun hukum,
terutama jika dilakukan secara ilegal. Risikonya pun akan semakin meningkat bila
aborsi dilakukan bukan oleh dokter. Secara etimologi, aborsi berasal dari kata
abort yang artinya gugur. Sedangkan abortus atau aborsi adalah mengugurkan
atau keguguran. Perbedaan dalam aborsi terletak pada ada atau tidaknya unsur
kesengajaan. Dalam hal ini mengugurkan merupakan kesengajaan mengeluarkan
janinnya sedangkan keguguran keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum
waktunya lahir.1
Dalam istilah medis yang dikemukakan WHO aborsi adalah terhentinya

1
Tina Asmarawati, Hukum dan Abortus, Edisi. 1, Cet. 1, (Deepublish, Nopember 2013), hal. 4.
kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20
minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram yaitu sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan secara mandiri. Menggugurkan kandungan atau dalam dunia
kedokteran dikenal dengan istilah aborsi. Dengan kata lain pengeluaran yang
dimaksud dimaksud adalah keluarnya janin disengaja dengan campur tangan
manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Dalam sistem hukum
di Indonesia, perbuatan aborsi dengan sengaja jelas dilarang dan dikategorikan
sebagai tindak pidana. Para pelaku dan orang yang membantu tindakan aborsi
dapat dikenai hukuman. Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui adanya
ketentuan tersebut, namun kasus aborsi masih banyak dilakukan. Sejalan dengan
meningkatnya kasus aborsi, jumlah angka kematian ibu juga meningkat.2
Ada berbagai penyebab seorang wanita melakukan tindakan aborsi, antara
lain hamil di luar nikah, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya dukungan
keluarga, hingga masalah dengan pasangan. Di sisi lain, aborsi juga dapat
dilakukan jika kehamilan mengancam nyawa ibu atau janin. Di Indonesia sendiri
aborsi diatur dalam pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa aborsi di Indonesia tidak
diizinkan, kecuali untuk kondisi darurat medis yang mengancam nyawa ibu atau
janin, serta bagi korban perkosaan.3
Abotus atau sering disebut aborsi sendiri dibagi menjadi dua yaitu abortus
provocatus atau abortus buatan atau disengaja dan abortus spontan aborsi yang
terjadi secara spontan. Abortus provocatus atau abortus yang disengaja, dibagi
lagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Abortus provocatus medicalis

Penghentian atau pengakhiran kehamilan yang disengaja karena


alasan medis. Tindakan ini bisa dibenarkan secara hukum, dipertimbangkan
atau dipertanggungjawabkan. Tindakan ini hanya dibenarkan apabila ada

2
Estur Tiar, Modul Kebidanan Manajemen Aborsi Inkomplet, Edisi. 2, (Jakarta, EGC, 2011),
hal. 26.
3
Rizal Fadili, Fakta Mengenai Aborsi yang Perlu Dipahami, diakses dari
https://www.halodoc.com/artikel/fakta-mengenai-aborsi-yang-perlu-dipahami, (Diakses Pada 18
Mei Pukul 10.49 WIB)
alasan medis tertentu apabila kehamilan itu dipertahankan, maka akan
mengancam keselamatan ibu dan janin.
2. Abortus provocatus criminalis
Penghentian atau pengakhiran kehamilan yang disengaja dan
melanggar kode etik kedokteran, artinya perbuatan ini melanggar hukum dan
bisa dikenakan sanksi. Contoh pada kasus kehamilan diluar nikah yang
dilakukan oleh remaja, pekerja seksual yang hamil dan ingin menggugurkan
kandungannya dan semua kasus yang ingin mengakhiri kehamilan tanpa ada
indikasi medis.
C. Aborsi Dalam Tinjauan Medis
Dalam pandangan medis, aborsi yang dibolehkan adalah abortus
berdasarkan indikasi medis atau abortus artificialis therapicu. Selebihnya, aborsi
yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal atau
abortus provocatus criminalis. Adapun indikasi medis yang dimaksudkan adalah
berdasarkan kesehatan ibu yang dibatasi pengertiannya pada jiwa ibu. Bila
keselamatan jiwa ibu terancam dengan adanya kehamilan itu, aborsi dapat
dilakukan. Pengertian ini kemudian diadopsi dalam KUHP dan menjadi dasar
penghukuman bagi siapa saja yang melakukan aborsi dan diancam hukuman
penjara. Ancaman ini tidak saja tertuju pada si wanita yang bersangkutan, tetapi
semua orang yang terlibat termasuk para bidan/dokter, juru obat, maupun orang
yang menganjurkan aborsi.
Dalam ilmu kedokteran, pengguguran janin setelah janin berusia tiga bulan
dikenal dengan istilah fetuscid, yakni pembunuhan janin yang sudah memasuki
usia lahir dan akan hidup sebagai manusia. Praktik fetuscid ini di luar negeri juga
dilarang keras. Praktik aborsi yang terjadi sering kali dilakukan oleh pihak-pihak
yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang
mengandungnya dan bagi masyarakat umumnya.4
 Fakta Medis Mengenai Aborsi

a) Aborsi Boleh Dilakukan karena Alasan Medis

4
Rumelda Silahi dkk, Pandangan Kesehatan Terhadap Abortus Provocatus, Volume XXVII,
(Jurnal Darma Agung, 2019), hal. 1082-1098.
Aborsi sebenarnya boleh dilakukan asalkan memiliki alasan medis yang
jelas. Misalnya, kehamilan terjadi di luar rahim, atau kondisi lain yang
dinilai dokter bisa membahayakan ibu atau janin.
b) Aborsi Ilegal Dianggap sebagai Tindakan Pembunuhan
Di Indonesia, jika aborsi dilakukan tanpa alasan medis yang jelas, ini bisa
dianggap sebagai tindakan pembunuhan.
c) Aborsi Bisa Sebabkan Komplikasi Kesehatan
Komplikasi dapat terjadi saat atau setelah melakukan aborsi. Terlebih jika
tindakan aborsi tidak dilakukan dengan prosedur yang benar atau tanpa
pengawasan dokter.
d) Aborsi Bisa Lebih Berbahaya daripada Melahirkan
Aborsi bisa berbahaya apabila dilakukan di tempat praktik ilegal, ditangani
oleh orang yang tidak memiliki kemampuan medis yang cukup di
bidangnya, serta tidak didukung oleh peralatan yang sesuai dengan standar
medis.
e) Tidak Boleh Dilakukan saat Usia Kandungan Lebih dari 24 Minggu
Dokter diperbolehkan melakukan tindakan aborsi pada saat usia
kandungan masih sangat muda, yaitu pada trimester pertama sampai
trimester kedua. Namun, melakukan aborsi pada usia kandungan lebih dari
24 minggu dilarang karena berkaitan dengan kehidupan janin dan ibu.
f) Aborsi Bisa Menyebabkan Efek Traumatis
Pada kondisi medis tertentu atau dilakukan secara sengaja, aborsi bisa
meninggalkan efek traumatik mendalam, bahkan depresi. Hal ini karena
adanya rasa bersalah sudah menghilangkan nyawa janin dalam kandungan.
g) Aborsi Tidak Memengaruhi Kesuburan
Aborsi tidak memengaruhi kesuburan seorang wanita. Artinya, jika pernah
melakukan aborsi, seorang wanita masih bisa memiliki kemungkinan
hamil di kemudian hari.
h) Janin Tidak Merasakan Sakit saat Aborsi
Menurut American College of Obstetrics and Gynecologists, pada
kebanyakan kasus, janin tidak merasakan sakit saat proses aborsi
berlangsung. Terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan menginjak
28 minggu. Hal ini karena bagian otak untuk merasakan sakit belum
terbentuk5
D. Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan Menurut Hukum Positif ( PP NO.61
Tahun 2014 )

Aborsi adalah sejenis kejahatan terhadap nyawa anak yang belum lahir itu.
Hal ini terjadi karena ada dua hal, yaitu keinginan ibu hamil karena sakit yang
dinyatakan sebagai kegawat daruratan medis, atau keinginan pihak tertentu karena
rasa malu yang tidak diinginkan akibat dari kehamilan tersebut (Kehamilan yang
melanggar hukum atau ketidakpedulian). Kehamilan akibat kekerasan seksual atau
gangguan kesehatan dan komplikasi serius selama kehamilan mengakibatkan
intervensi (hukum) resmi dalam dunia medis dan jika intervensi itu tidak
dilakukan, akibatnya adalah kematian ibu. hamil atau gangguan mental, fisik dan
psikologis pada mereka yang menyebabkan (perkosaan). Hal itu tertuang dalam
Pasal 31 Keputusan Dewan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi.6
Undang-Undang Kesehatan telah menambahkan peraturan tambahan
pengecualian aborsi dalam keputusan pemerintah. Keyakinan itu baru saja
menjadi kenyataan tahun 2014 yaitu dengan disahkannya dokumen kesehatan
PP/61/2014 Salinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Pasal 31
PP/61/2014 menyatakan:
1. Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan

5
Ibid, Rizal Fadili, Fakta Mengenai Aborsi yang Perlu Dipahami, diakses dari
https://www.halodoc.com/artikel/fakta-mengenai-aborsi-yang-perlu-dipahami, (Diakses Pada 18
Mei Pukul 10.49 WIB)
6
I Gede Ary Saptadi Wisastra, lI Wayan Novy Purwanto, Kajian Yuridis Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi, Mengenai Penyelenggaraan
Aborsi yang Legal Secara Hukum, Bagian Hukum Pidana, (Fakultas Hukum, Universitas Udayana,
2018), hal. 2.
2. Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia
40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.7

Kemudian PP/61/2014 lebih lanjut mendefinisikan pembuktian aborsi


akibat pemerkosaan. Karena mengatur kehamilan akibat perkosaan, Maka
diperlukan prosedur untuk membuktikan kebenaran kehamilan tersebut terjadi
Apakah itu benar karena mereka diperkosa atau tidak? peraturan inidapat dilihat
dalam Pasal 34, yaitu:
1. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan:
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan
oleh surat keterangan dokter; dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan. 8

Aborsi untuk pemerkosaan hanya mungkin jika terbukti usia kehamilan


tidak lebih dari 40 hari. Bukti ini harus dibuktikan dengan surat keterangan
dokter. ditambah dengan kesaksian ahli lainnya seperti ilmuwan, psikolog dan ahli
lainnya. Menurut PP/61/2014 tujuan ahli lainnya Psikiater, ahli forensik dan
pekerja sosial yang mengetahui betul.9
Tujuan Penyelenggaraan Aborsi Peratuan Pemerintah No. 61 Tahun 2014,
tentang Kesehatan Reproduksi, merupakan tujuan pemerintah untuk menjamin
kesehatan organ reproduksi yang sehat. Aborsi merupakan salah satu bagian
tindakan medis yang mengarah mengenai tujuan dari kesehatan reproduksi. Hal

7
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Kesehatan dan Kesehatan Jiwa,
(Bandung: Fokusmedia, 2014), hal. 130.
8
Ibid, hal. 132.
9
Ibid, hal. 132.
ini telah diatur tata cara penyelenggaraan aborsi, yang tertuang didalam Pasal 35,
Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan reproduksi, tindakan
aborsi hanya dapat dilakukan apabila terjadi kedaruratan medis seperti halnya
letak jabang bayi yang tidak di rahim sehingga mengakibatkan pendarahan, dan
kehamilan akibat perkosaan, tindakan aborsi ini bukan karena motifnya
melakukan sex diluar dari pernikahan sehingga ingin menutupi aib akibat
kecerobohannya ingin menghilangkan jejak akibat dari perbuatanya.10
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 61
Kesehatan Reproduksi 2014 dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan
medis, yaitu: keadaan darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan. Padahal
aborsi dapat digolongkan sebagai tindak pidana, yaitu: Melakukan aborsi di luar
definisi darurat medis dan dengan pengecualian perkosaan, misal apabila akibat
aborsi dilakukan karena alasan lain diluar dari indikasi darurat medis dan
kehamilan akibat pemerkosaan. Hal tersebut sudah termasuk unsur tindakan
negatif sampai dengan kehamilan, menurut Pasal 346-349 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
E. Aborsi Menurut Ulama Mahzab
Perbedaan ahli hukum tentang aborsi dalam berbagai literatur
klasikternyata hanya sebelum pemenuhan perjanjian (qobla nafkh alruh) Artinya
adalah kehamilan sebelum ruh berhembus ke dalam janin karena Kehamilan
sudah hidup (ba'da nafkh al-ruh), semua ahli sepakat akan hal itu dilarang, kecuali
dalam hal membahayakan jiwa ibunya Para sarjana dari empat sekolah tidak
setuju Ada yang membolehkan ditolak mentah-mentah, empat mazhab, yaitu:11
1. Imam Hanafi
Mayoritas fuqoha dari Madzhab Hanafi mengatakan bahwa diperbolehkan
sebelum pembentukan janin, lebih khusus bahwa aborsi diperbolehkan sebelum
ruh ditiupkan, tetapi kondisi yang tepat harus melekat padanya bahkan setelah

10
I Gede Ary Saptadi Wisastra,lI Wayan Novy Purwanto, Kajian Yuridis Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi, Mengenai Penyelenggaraan
Aborsi yang Legal Secara Hukum, Bagian Hukum Pidana, (Fakultas Hukum, Universitas Udayana,
2018), hal. 4.
11
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, Fiqh Aborsi, (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 92.
Pembentukan itu, meskipun janin masih dalam ikhtilaf atau perbedaan pendapat
dalam menentukan hukumnya.
Ali Al-Qomi adalah salah satu imam seorang mahzab hanafiyah dan sangat
terkenal pada zaman beliau Memakhruhkan aborsi. Menurutnya, Makruh lebih
cenderung dilarang dalam aborsi (ilegal) dilakukan, jika dilanggar, pelakunya
dianggap berdosa dan pantas mendapat hukuman yang setimpal.
Ulama yang membolehkan pilihan aborsi umumnya sependapat bila belum
terjadi penyawaan karena dianggap belum ada kehidupan, sehingga bila
digugurkan tidak termasuk perbuatan pidana (jinayat), pendapat yang
membolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari adalah ibnu Abidin salah satu
pengikut Hanafi, menyatakan: fuqoha madzhab ini memperbolehkan
menggugurkan kandungan selama janin masih berbetuk segumpal daging atau
segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan
waktu terbentuknya janin sempurna adalah setelah janin berusia 120 hari. Mereka
membolehkan sebelum waktu itu, karena janin belum menjadi manusia. 12
2. Imam Malik
Sebagian besar pengikut mazhab Imam Malik mengklaim bahwa
tidak boleh mengeluarkan air mani yang telah masuk ke dalam rahim meskipun
tidak berumur 40 hari.13 Namun sebagian pengikut imam malik ada juga yang
berpendapat bahwa hal itu dihukumi makruh, sedangkan untuk aborsi yang
dilakukan setelah di tiupkan ruh, seluruh Ulama Malikiyah mengharamkannya
secara ijma’. Ibnu Rusyd mengeluarkan istihsan, tentang tidak diwajibkan
mengganti dengan budak bagi yang mengugurkan janin sebelum peniupan ruh.
Imam Malik berkata “setiap mudhgah (segumpal daging) atau alaqoh (segumpal
darah) yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, maka
pelakunya harus menganti dengan budak.14
Mayoritas ahli hukum Maliki mempunyai pendapat yang jelas tentang
aborsi yaitu dilarangnya pembuahan. Di semua mazhab di luar Fuqaha Malikiyah,

12
M. Nu’aim Yasin, Fiqih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 202.
13
Ibid, hal. 242.
14
Ibid, hal. 241.
ada ulama yang melarang aborsi secara tegas.15 Namun, fikih selalu mengenal
pengecualian. Demikian pula aborsi, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli
hukum di atas, diperbolehkan dalam keadaan normal. Tetapi
dalam pengecualian, para Fuqaha mengizinkan aborsi ketika hal ini
dianggap darurat.
3. Iman Syafi'i
Para Fuqaha Syafi’iyah berpendapat mengenai penyebab pengguguran
kandungan yang belum ditiupkan ruh (sebelum berusia 120 hari), dan hukum
aborsi mengarah pada haram. Persoalan senggama terputus tidak termasuk
pengguguran kandungan, karena adanya perbedaan antara pengguguran dan
senggama yang terputus. Satu sisi, air mani yang masuk belum berarti disiapkan
untuk hidup saja. Lain halnya dengan air mani setelah bersemayam di rahim yang
berarti ia telah disiapkan untuk hidup.16
Al-Ghazali mengklaim bahwa aborsi adalah tindak pidana
yang sepenuhnya ilegal, terlepas dari apakah ada jiwa atau tidak.
memerintah yang pertama dari bentuk kehidupan ini adalah perjumpaan sperma di
dalam memasuki rahim, bercampur dengan sel telur wanita dan melahirkannya.
Dalam asal usul kehidupan, aborsi diasosiasikan dengan pembunuhan. kalau
sudah Ada gumpalan darah dan sepotong daging maka akan dilakukan aborsi
maka termasuk pembunuhan. Dan yang lebih keji lagi apabila sudah ada ruhnya,
dan pembunuhan yang lebih keji adalah setelah kelahiran atau melahirkan.17
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak
pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam rahim perempuan. Jika telah
ditiupkan ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji,
setingkat dibawah pembunuhan bayi hidup-hidup. 18
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut pendapat umum ulama Hanabilah, janin dapat digugurkan

15
Ibid, hal. 204.
16
Ibid, hal. 98.
17
Al-Musayyar, Sayid Ahmad, Islam Berbicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga,
(Cairo: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008), hal. 80.
18
Ibid, hal. 82.
sementara itu masih dalam tahap sepotong daging (mudghah), karena belum
demikian anak manusia lahir. Seperti yang dikatakan Ibnu Qodamah dalam
bukunya Al-Mughni: pengguguran terhadap janin yang masih berbentuk mudghah
maka dikenai denda (ghurrah), bila menurut tim spesialis ahli kandungan janin
yang sudah terlihat bentuknya,namun apabila baru memasuki tahap pembentukan,
dalam hal ini ada dua pendapat, pertama yanag paling sahih adalah pembebasan
hukuman ghurrah karena janin belum terbentuk misalnya baru berupa alaqoh,
maka pelakunya tidak dikenahi hukuman, dan pendapat kedua ghurrah tetap wajib
karena janin yang digugurkan masih sudah memasuki tahap penciptaan anak
manusia.
Tetapi menurut Qotadah yang dikutip dari Ibnu Qodamah, beliau pernah
berkata: “jika janin berbentuk segumpal darah (alaqoh) maka yang harus
dibayarkan adalah 1/3 uang kompensasi (ghurrah), bila berbentuk segumpal
daging (mudghah) harus dibayar 2/3 dari uang kompensasi, jika janin sudah
berbentuk sempurna atau telah bernyawa maka dikenakan denda lengkap (ghurrah
kamilah). Dalam hal ini meskipun yang melakukan aborsi itu adalah ibunya
sendiri jika janin sudah terbentuk sempurna maka tetap harus dipertanggung
jawabkan, sebagaimana terdapat dalam Al-Qina: “andai kata janin gugur akibat
ulah ibunya sendiri, misalnya ia sengaja minum obat-obatan sehingga anak yang
dikandungnya menjadi gugur maka ia wajib menggantinya dengan ghurrah,
dengan catatan kematian janin tersebut akibat jinayat atau pengaruh obat yang
diminum.19
Dapat diketahui dari pendapat para fuqoha Hanabilah sebagian besar
cenderung berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya
penciptaan atau peniupan tuh yaitu sekitar janin sebelum berusia 40 hari. Pada
umumnya penganut mazhab Hanbali membolehkan aborsi pada tahap atau fase
segumpal daging (mudghah), karena anak manusia belum terbentuk. Mengingat
hukum aborsi, Beberapa Fuqaha kalangan Ulama’ Hnabilah menyatakan bahwa
aborsi sebelum konsepsi diperbolehkan, yaitu sebelum janin berumur 40 hari. Ada
informasi bahwa mengonsumsi obat untuk penghambatan sperma diperbolehkan.

19
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, Fiqih Aborsi, , (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 97.
Beberapa golongan ini mengatakan bahwa minum
obat diperbolehkan untuk menggugurkan zigot.20
F. Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi

Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa tentang aborsi dengan 2


ketentuan yaitu:
1. Ketentuan Umum
a) Darurat
Suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang
diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.

b) Hajat
Suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang
diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan berat.

2. Ketentuan Hukum
1) Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi).
2) Aborsi dibolehkan karena uzur, baik bersifat darurat ataupun hajat.
a) Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang
membolehkan aborsi adalah:
 Perempuan hamil yang menderita sakit fisik berat seperti
kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-
penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim
dokter.
 Keadaan dimana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b) Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang
membolehkan aborsi adalah:
 Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik
yang kaalaau lahir kelak sulit disembuhkan.

20
Ibid.
 Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga
korban, dokter, dan ulama.
 Kebolehan aborsi sebagaimana yang dimaksud huruf b
harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
3. Aborsi yang dibolehkan karena uzur sebagaimana dimaksud pada angka 2
hanya boleh dilaksanakan di fasilitas Kesehatan yang telah ditunjuk oleh
pemerintah.
4. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat
zina.21
G. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam istilah medis yang dikemukakan WHO aborsi adalah terhentinya
kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari
20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram yaitu sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan secara mandiri.
2. Aborsi terbagi menjadi 2 yaitu abortus provocatus atau abortus buatan
atau disengaja dan abortus spontan aborsi yang terjadi secara
spontan. Abortus provocatus atau abortus yang disengaja, dibagi lagi
menjadi 2 macam, yaitu Abortus provocatus criminalis Abortus
provocatus medicalis
3. Dalam pandangan medis, aborsi yang dibolehkan adalah abortus
berdasarkan indikasi medis atau abortus artificialis therapicu. Selebihnya,
aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus
kriminal atau abortus provocatus criminalis. Adapun indikasi medis yang
dimaksudkan adalah berdasarkan kesehatan ibu yang dibatasi
pengertiannya pada jiwa ibu. Bila keselamatan jiwa ibu terancam dengan
adanya kehamilan itu, aborsi dapat dilakukan.

21
K.H Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa MUI Bidang Sosial dan Budaya (Jakarta:
Erlangga, 2015), hal. 455-456.
4. Aborsi untuk pemerkosaan hanya mungkin jika terbukti usia kehamilan
tidak lebih dari 40 hari. Bukti ini harus dibuktikan dengan surat keterangan
dokter. Ditambah dengan kesaksian ahli lainnya seperti ilmuwan, psikolog
dan ahli lainnya. Menurut PP/61/2014 tujuan ahli lainnya Psikiater, ahli
forensik dan pekerja sosial yang mengetahui betul
5. Kesimpulan dari Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 61 Kesehatan
Reproduksi 2014 dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis,
yaitu: keadaan darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan.
6. Mayoritas Fuqoha dari Madzhab Hanafi mengatakan bahwa
diperbolehkan aborsi sebelum pembentukan janin, lebih khusus bahwa
aborsi diperbolehkan sebelum ruh ditiupkan, tetapi kondisi yang tepat
harus melekat padanya bahkan setelah pembentukan itu, meskipun Janin
masih dalam Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam menentukan
hukumnya.
7. Sebagian besar pengikut mazhab Imam Maliki mengklaim bahwa
tidak boleh mengeluarkan air mani yang telah masuk ke dalam rahim
meskipun tidak berumur 40 hari. Namun sebagian pengikut imam malik
ada juga yang berpendapat bahwa hal itu dihukumi makruh, sedangkan
untuk aborsi yang dilakukan setelah di tiupkan ruh, seluruh Ulama
Malikiyah mengharamkannya secara ijma’.
8. Para Fuqaha Syafi’iyah berpendapat mengenai penyebab pengguguran
kandungan yang belum ditiupkan ruh (sebelum berusia 120 hari), dan
hukum aborsi mengarah pada haram.
9. Para fuqoha Hanabilah sebagian besar cenderung berpendapat bahwa
aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya penciptaan atau peniupan tuh
yaitu sekitar janin sebelum berusia 40 hari.
10. Fatwa MUI nomor 4 tahun 2005 tentang aborsi dibolehkan apabila
memenuhi uzur hajat dan darurat. Dengan pertimbangan hukum yang
matang yaitu menggunakan dasar hukum Al-qur‟an, Hadis, Qaidah fikih
dan pendapat Ulama. Kemudian berdasarkan pertimbangan dasar hukum
tersebut, penulis menggunakan metode istinbat hukum istihsani al-
maslahah, fatwa tersebut membolehkan aborsi janin cacat dengan syarat
dilakukan sebelum usia janin 40 hari.
11. Fatwa MUI nomor 4 tahun 2005 tersebut menunjukan adanya kepastian
hukum islam terhadap aborsi janin cacat yakni diharamkan ketika usia
janin lebih dari 40 hari, menurut teori kesehatan tertutup kemungkinan
bahwa aborsi janin cacat untuk dilakukan apabila usia janin dibawah 40
hari, dalam hal ini calon ibu hendaknya menerima takdir apabila janin
tersebut cacat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Musayyar dan Sayid Ahmad. (2008). Islam Berbicara Soal Seks, Percintaan, dan
Rumah Tangga. Cairo: PT. Gelora Aksara Pratama.
Amin, M. dkk (2015). Himpunan Fatwa MUI Bidang Sosial dan Budaya. Jakarta:
Erlangga.
Ansor, Maria Ulfa dan Abdullah Ghalib. (2006). Fiqih Aborsi. Jakarta: Kompas.
Asmarawati, Tina. (2013). Hukum dan Abortus. Yogyakarta: Deepublish.
Fadili, Rizal. (2023, Kamis, 18 Mei). Fakta Mengenai Aborsi Yang Perlu Dipahami.
Diakses dari halodoc: https://www.halodoc.com/artikel/fakta-mengenai-aborsi-
yang-perlu-dipahami
Perundang-Undangan, Himpunan Peraturan. (2014). Undang-Undang Kesehatan dan
Kesehatan Jiwa. Bandung: Fokusmedia.
Silalahi, Rumelda dan Rasmita Lucianan. (2019). Pandangan Hukum Kesehatan
Terhadap Abortus Provocatus. Jurnal Darma Agung, 27(3), 1082-1098.
Tiar, Estur. (2011). Modul Kebidanan Manajemen Aborsi Inkomplet. Jakarta: EGC.
Wisastra, I Gede Ary Saptadi Wisastra dan Il Wayan Novy Purwanto. (2018). Kajian
Yuridis Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi, Mengenai Penyelenggaraan Aborsi yang Legal Secara Hukum.
Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 2.
Wisastra, I Gede Ary Saptadi Wisastra dan Il Wayan Novy Purwanto. (2018). Kajian
Yuridis Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi, Mengenai Penyelenggaraan Aborsi yang Legal Secara Hukum.
Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 4.
Yasin, M. Nu'aim. (2001). Fiqih Kedokteran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Anda mungkin juga menyukai