Oleh:
Rahmawati
220013301051
Pendidikan Biologi C
Aborsi (abortion) berasal dari kata bahasa latin, abortio ialah pengeluaran hasil konsepsi
dari uterus secara prematur pada umur di mana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan
pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24
minggu dan mengakibatkan kematian. Sedangkan dalam pengertian moral dan hukum, aborsi
berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang
mengakibatkan kematian (Amanda, & Krisnani, 2019).
Menurut Martha, Elmina, & Sulaksana, (2019), di dalam dunia medis, Aborsi dibagi
menjadi dua :
a. Abortus spontan (keguguran/miscarriage), yaitu aborsi secara tidak sengaja dan
berlangsung alami tanpa ada kehendak dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat
mengenalnya dengan istilah keguguran.
b. Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan), yaitu aborsi yang dilakukan secara
sengaja dengan tujuan tertentu. Aborsi Provocatus ini dibagi menjadi dua :
a) Jika bertujuan untuk kepentingan medis dan terapi serta pengobatan, maka
disebut dengan Abortus Provocatus Therapeuticum.
b) Jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum yang
berlaku, maka disebut Abortus Provocatus Criminalis.
Berdasarkan jenis penanganannya, aborsi dibagi menjadi dua, yakni aborsi medis
(menggunakan pil) dan aborsi dengan metode operasi. Berikut proses melakukan terminasi
kehamilan sesuai dengan jenis-jenisnya, seperti:
a. Aborsi medis
Aborsi atau terminasi kehamilan medis dilakukan dengan minum atau
memasukkan obat khusus ke dalam tubuh untuk mengakhiri kehamilan. Metode
penggunaan obat dilakukan dengan pemberian obat minum atau suntik yang dapat
menghalangi hormon progesteron, sehingga lapisan rahim menipis. Hal ini
menyebabkan janin tidak dapat melekat dan tumbuh di dinding rahim sehingga
embrio atau jaringan janin akan dikeluarkan melalui vagina. Aborsi medis
menggunakan mifepristone dan misoprostol. Sebanyak 92% hingga 97% wanita yang
melakukan metode ini akan menyelesaikan proses aborsi dalam kurun waktu 2
minggu.
b. Aborsi metode operasi
1. Aspirasi vakum
Jenis atau metode aborsi ini dilakukan saat usia kandungan berada di trimester
pertama atau trimester kedua. Cara kerjanya adalah dengan menyedot janin dan
plasenta keluar dari rahim menggunakan alat tabung kecil. Prosedur ini hanya boleh
dilakukan oleh dokter terlatih di rumah sakit.
2. Dilatasi dan evakuasi
Dilatasi dan evakuasi (D&E) adalah prosedur aborsi yang dilakukan pada
trimester kedua, atau biasanya setelah usia kandungan melewati 14 minggu. Aborsi
ini direkomendasikan bagi kasus kehamilan karena kondisi fisik janin yang sangat
parah atau ada masalah medis khusus. D&E merupakan prosedur yang
mengombinasikan aspirasi vakum, forsep (alat penjepit khusus), dan dilatasi kuret.
3. Dilatasi dan kuret
Proses aborsi ini juga biasa disebut sebagai kuret atau kuretase yang tujuannya
adalah untuk mengeluarkan jaringan abnormal dalam rahim. Dilatasi mengacu pada
pelebaran atau pembukaan leher rahim karena leher rahim ibu tentu tidak terbuka
sendiri. Setelah diltasi, tahapan selanjutnya dilakukan kuretase.
4. Histerotomi perut
Ini merupakan metode aborsi yang termasuk ke dalam operasi besar karena
memerlukan sayatan di perut. Sayatan pada bagian perut dilakukan untuk
megeluarkan janin dari rahim.
Adapun tindakan aborsi yang mengandung risiko cukup tinggi, apabila
dilakukan tidak sesuai standar profesi medis. Berikut ini berbagai cara melakukan
aborsi yang sering dilakukan, yaitu:
1. Meminum Obat yang Menyebabkan Keguguran
Beberapa jenis obat berikut memiliki kandungan yang dapat membahayakan
janin hingga menyebabkan keguguran, seperti Ibuprofen, Naproxen, dan
Antibiotik.
2. Minuman bersoda
Kandungan pemanis ini umumnya adalah sakarin, yang mudah masuk ke bayi
melalui plasenta. Jika sakarin dikonsumsi dalam jumlah berlebih, maka dapat
mempengaruhi pertumbuhan bayi dan menyebabkan cacat hingga keguguran.
3. Alkohol salah satu minuman yang menyebabkan keguguran
4. Mengonsumsi buah- buahan yang dapat menyebabkan keguguran secara berlebihan,
seperti nanas muda. Buah nanas mengandung bromelain, substansi yang kabarnya bisa
menyebabkan serviks melunak dan memicu kontraksi.
5. Meminum ramuan rempah yang tidak jelas bahan bakunya.
Dari segi medis, ada kalanya aborsi boleh dilakukan, yaitu aborsi spontan. Namun
memiliki resiko pada kehamilan berikutnya, bayi lahir dengan berat badan rendah sampai
kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium. Berbeda
dengan aborsi provocatus yang merupakan tindakan amoral. Sesungguhnya umat manusia
adalah umat yang mulia dan membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya,
menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang (Fatahaya & Agustanti,
2021).
Resiko dari tindakan aborsi provocatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek
melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang paling sering adalah
terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat
tindakan aborsi yang tidak steril biasanya berakhir dengan kematian dan kegagalan ginjal.
Kegagalan ginjal ini dapat terjadi sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena
penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan aborsi, seperti lisol,
sabun, phisohex. Sedangkan Resiko jangka panjang yang akan dialami adalah kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan
berikutnya. Hal ini terjadi akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah
dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase
(pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan aborsi. Kerusakan pada
endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya
placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses
persalinan) (Wahyuningsih, Bawono, & Wati, 2014).
Pada kondisi tertentu, ada beberapa hal dimana aborsi dapat secara legal untuk dilakukan,
seperti pada Abortus Provocatus Therapeuticum. Dalam kondisi ini, secara medis kehamilan
boleh digugurkan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibu karena kondisi
kesehatan ibu buruk dan tidak bisa lagi untuk mengandung sang bayi, seperti ibu yang mengidap
penyakit jantung kronis. Selain itu, Abortus Provocatus Therapeuticum juga dapat dilakukan
kepada anak-anak di bawah umur yang merupakan korban perkosaan. Namun, tidak semua
korban perkosaan dapat melakukan aborsi karena akan melanggar sumpah dokter. Tindakan ini
hanya dilakukan apabila kehamilan diteruskan, akan terjadi kelainan janin yang dapat
menyebabkan resiko terhadap ibu yang mengandung, maka akan mengancam keselamatan ibu
dan secara psikologis, mental korban perkosaan akan semakin terganggu karena anak yang hamil
secara fisik belum kuat dan mental yang belum dewasa (Andari, 2017).
Oleh karena itu, aborsi dapat dilakukan secara legal dan etis apabila diindikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang
berlaku, yaitu dokter yang melakukan aborsi merupakan dokter yang telah mengikuti pelatihan
atau dokter spesialis Obstetric dan Ginekologi, serta tempat untuk melakukannya merupakan
tempat yang telah memenuhi standar sesuai peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2016, tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi
Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
B. Analisis Kebijakan Kasus Cenderung Etis dan Cenderung Tidak Etis
1. Kasus Cenderung Etis
BBC News Indonesia - Keputusan panel dokter ini penting sebab undang-undang di India
melarang aborsi setelah kehamilan 20 minggu, kecuali dokter dapat mengukuhkan bahwa nyawa
sang perempuan dalam kondisi berbahaya. Panel dokter menyetujui permintaan untuk
menggugurkan kandungan seorang anak 10 tahun berinisial A, korban pemerkosaan di Negara
Bagian Haryana, India utara. Dalam kasus ini, usia kehamilan anak yang mengandung setelah
diduga diperkosa oleh ayahnya, diperkirakan antara 19-21 minggu. Keputusan untuk
mengizinkan anak menggugurkan kandungan diambil setelah pengadilan setempat menyatakan
bersedia menerima rekomendasi panel dokter dari Institut Pascasarjana Ilmu Kedokteran di kota
Rohtak, Haryana.
Kehamilan anak tersebut diketahui pekan lalu ketika ibunya, seorang pekerja rumah
tangga, curiga putrinya sedang hamil dan membawanya ke seorang dokter. Berbagai laporan
menyebutkan anak perempuan itu sering ditinggal di rumah ketika ibunya pergi bekerja. Kepada
ibunya, ia mengaku berkali-kali diperkosa oleh ayahnya yang memperingatkan dirinya untuk
tidak memberitahukan tindakan tersebut kepada siapa pun. Pelaku ditangkap setelah ibu dari
anak itu melaporkannya kepada polisi.
a. Analisis Pengambilan Keputusan
Etika Deontologi
Aborsi dilakukan karena anak itu merupakan korban pemerkosaan yang masih
berusia 10 tahun. Apabila kehamilan tersebut dilanjutkan, maka akan semakin
banyak dampak negatif yang akan dirasakan oleh sang anak.
Etika Konsekuensi
Dengan melakukan aborsi dapat mengurangi dampak negatif yang lebih banyak
lagi kepada anak, seperti keselamatan jiwa sang ibu ketika akan mengahadapi proses
bersalin, berisiko terserang kanker serviks, cacat genetik pada anak dari hasil
perkosaan inses dimungkinkan lebih besar daripada perkosaan biasa yang dapat
dilihat dari beberapa keturunan hasil hubungan tersebut, serta dampak psikologis
bagi anak korban kekerasan seksual dapat berkurang karena anak yang hamil secara
fisik belum kuat dan mental yang belum dewasa.
Etika Hak
Anak korban kekerasan seksual berhak melakukan aborsi karena apabila
kehamilannya diteruskan, maka akan berdampak kepada keselamatan ibu, khususnya
ketika akan menghadapi proses bersalin, mengingat usia sang ibu yang masih di
bawah umur.
Intuisi
Aborsi dilakukan dengan tujuan bertahan hidup. Adapun proses aborsi dilakukan
memenuhi persyaratan dan prosedur medis dan hukum.
Analisis SWOT
Tabel 1. Hasil Analisis SWOT
b. Hasil Keputusan
Kasus yang terjadi pada anak berusia 10 tahun dengan inisial R, menjadi kasus yang
etis untuk dilakukannya aborsi. Hal ini didasarkan pada hasil analisis yang menunjukkan
banyaknya manfaat yang diterima dan dirasakan oleh anak tersebut setelah melakukan
aborsi dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur medis dan hukum. Tujuan dilakukannya
aborsi adalah agar anak dapat hidup secara normal, seperti anak-anak yang lainnya dan
dapat diterima di masyarakat dengan rasa aman.
b. Hasil Keputusan
Kasus yang terjadi kepada sepasang kekasih ini menjadi kasus yang tidak etis
dikarenakan aborsi yang dilakukan termasuk ke dalam tindakan Abortus Provocatus
Criminalis, yaitu jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum
yang berlaku. Tindakan ini menimbulkan semakin banyak dampat negatif dan
melanggar aturan norma di dalam masyarakat karena dengan sengaja menghilangkan
nyawa anak yang tidak berdosa, dan anak tersebut merupakan korban dari hasil
perbuatan terlarang yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Selain itu, proses aborsi
dilakukan secara illegal karena tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya dan
dilakukan sendiri dengan cara meminum obat pil penggugur kandungan, sehingga
sangat berbahaya karena dapat mengancam keselamatan nyawa sang ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, & Krisnani, H. 2019. Analisis Kasus Anak Perempuan Korban Pemerkosaan Inses.
Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, no. 1: 120–36.
Andari, S. 2017. Dampak Sosial Dan Psikologi Korban Inses. Publiciana. No. 1: 179–86.
Fatahaya, S., & Agustanti, R. D. 2021. Legalitas Aborsi Yang Dilakukan Oleh Anak Akibat
Perkosaan Inses. Jurnal USM Law Review, 4(2), 504-524.
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-40959539.
https://www.tribunnews.com/regional/2022/06/30/pasangan-kekasih-di-bengkulu-ditetapkan-
sebagai-tersangka-kasus-aborsi.
Martha., Elmina, A & Sulaksana, S. 2019. Legalisasi Aborsi. Yogyakarta : UII Press.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pelatihan dan
Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan
Akibat Perkosaan.
Wahyuningsih, S., Bawono, Y., & Wati, A. R. 2014. Motif Pelaku Aborsi Di Kalangan Remaja
dan Solusinya (Studi Kasus Terhadap Mahasiswa di Universitas Trunojoyo Madura dengan
Pendekatan Psikologi Komunikasi). Personifikasi: Jurnal Ilmu Psikologi, 5(1), 73-91.