Anda di halaman 1dari 23

DILEMA ETIK PADA KASUS ABORSI

Oleh :

Kelompok II
Ketua : Munadia
Anggota : Ahsana Nadya
Fajri
Ira Rizqana
Leny Marlina
Maya Syafitri
Nurhayati
Rita Mahyuni
Samsidar

Dosen Pembimbing :
Dr. Ns. Marlina, M. Kep, Sp. MB

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial diatur oleh nilai-nilai yang
memagari setiap tindakan dan perilaku manusia. Bidang keperawatan yang
bersinggungan langsung dengan manusia juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai,
keyakinan dan filosofi dalam menentukan keputusan etik. Dalam dunia keperawatan
sering terjadi dilema etik yang menantang perawat untuk bisa mengambil keputusan
diantara beberapa alternatif dengan mempertimbangkan aspek medis, aspek agama,
aspek sosial budaya dan aspek hukum.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema etik menjadi
hal yang sangat sulit untuk diselesaikan karena memerlukan keputusan yang tepat
diantara beberapa prinsip etis. Penetapan satu keputusan dari beberapa alternatif
menjadi sangat rumit karena pilihan alternatif biasanya sama-sama memiliki sisi
keburukan dan kebaikan. di dunia keperawatan sering dihadapkan dengan masalah
dilema etik, misalnya kasus abortus.
Abortus atau yang lebih populer dengan istilah pengguguran kandungan,
merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dipungkiri dan menjadi topik pembahasan
yang menarik serta dilema yang telah menjadi fenomena sosial. Abortus secara umum
dapat diartikan sebagai penghentian kehamilan secara spontan. Pihak yang pro
mengatakan bahwa aborsi adalah mengakhiri atau menghentikan kehamilan yang
tidak diinginkan, sedangkan pihak antiaborsi cenderung mengartikan aborsi sebagai
membunuh manusia yang tidak bersalah.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, abortus atau pengguguran
janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus
Criminalis”. Abortus provocatus adalah istilah Latin yang secara resmi dipakai dalam
kalangan kedokteran dan hukum. Maksudnya adalah dengan sengaja mengakhiri
kehidupan kandungan dalam Rahim seorang perempuan hamil. Karena itu abortus
provocatus harus dibedakan dengan abortus spontaneus, dimana kandungan seorang
perempuan hamil dengan spontan gugur. Jadi perlu dibedakan antara "abortus yang
disengaja” dan "abortus spontan”.

B. Tujuan Penulisan
1. Adapun tujuan umum penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa memahami
tentang abortus
2. Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengertian abortus
b. Untuk mengetahui jenis-jenis abortus
c. Untuk mengetahui dilema etik tentang abortus
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Aborsi
Aborsi adalah berakhirnya atau gugurnya kehamilan sebelum kandungan
mencapai usia 20 minggu atau berat bayi kurang dari 500 gr (Fauziyah & Triwibiwo,
2013). Aborsi sebagai keluarnya atau dikeluarkannya hasil konsepsi dari kandungan
seorang ibu sebelum waktunya (Notoatmodjo, 2010).

B. Jenis-Jenis Aborsi
Menurut Fauziyah & Triwibiwo (2013) terdapat beberapa jenis aborsi sebagai berikut.
1. Abortus Spontan
Abortus spontan adalah setiap kehamilan yang berakhir secara spontan
sebelum janin dapat bertahan. Abortus Spontaneous, adalah aborsi yang terjadi
dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata
disebabkan oleh faktor alamiah. Abortus spontan dikategorikan sesuai dengan
pengeluran janin. Berikut ini, klasifikasi abortus spontan yaitu:
a. Abortus Imminens
Terjadinya pendarahan uterus pada kehamilan sebelum usia kehamilan
20 minggu, janin masih dalam uterus, tanpa adanya dilatasi serviks.
b. Abortus Insipiens
Peristiwa peradangan uterus pada kehamilan sebelum usia kehamilan
20 minggu dengan adanya dilatasi serviks.
c. Abortus Inkompletus
Adalah pengeluaran sebagian janin pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Abortus inkompletus
atau dengan kata lain keguguran bersisa artinya hanya ada sebagian dari hasil
konsepsi yang dikeluarkan tertinggal adalah plasenta.
d. Abortus kompletus atau keguguran lengkap
Seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong.
Pada abortus kompletus ditemukan pendarahan sedikit, uterus sudah mengecil
dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
e. Missed abortion
Adalah kehamilan yang tidak normal, janin mati pada usia kurang dari
20 hari dan tidak dapat dihindari. Missed abortion, keadaan di mana janin
sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua
bulan atau lebih.
f. Abortus habitualis atau keguguran berulang
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali
atau lebih.
g. Abortus infeksious atau abortus septic
Adalah Abortus yang disertai infeksi genital.
2. Abortus Provokatus
Abortus provokatus adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-
obatan maupun alat-alat. Abortus provokatus merupakan istilah lain yang secara
resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Abortus provokatus
merupakan suatu proses pengakihran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan
untuk bertumbuh. Abortus provokatus terbagi menjadi dua jenis yaitu abortus
provokatus medicinalis dan abortus provokatus kriminalis.
a. Abortus Provokatus Medicinalis
Abortus provokatus medicinalis, adalah abortus yang dilakukan oleh
dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil
akan membahayakan nyawa ibu.
b. Abortus Provokatus Kriminalis
Abortus provokatus kriminalis adalah aborsi yang terjadi oleh karena
tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis,
sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin akibat
hubungan seksual di luar perkawinan. Secara umum abortus provokatus
kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat
hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah
tidak bernyawa lagi. Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis
adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa
memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam
keadaan mati atau hidup.
c. Aborsi Eugenetik
Aborsi eugenetik adalah penghentian kehamilan untuk menghindari
kelahiran bayi cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis. Eugenisme
adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya unggul
atau baik saja. Kalau kriteria eugenetik ini diterapkan pada binatang dan
tumbuh-tumbuhan, maka tidak ada masalah etikanya. Akan tetapi kalau
kriteria ini diterapkan pada manusia, maka ini akan menjadi masalah yang
besar, sebab dengan tindakan itu berarti orang-orang sakit atau jompo tidak
berhak untuk hidup di dunia dan harus dimusnahkan.
3. Aborsi Langsung dan Aborsi Tak Langsung
a. Aborsi langsung
Aborsi langsung adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya
secara langsung ingin membunuh janin yang ada di dalam rahim sang ibu
b. Aborsi tak langsung
Aborsi tak langsung adalah suatu tindakan (intervensi medis) yang
mengakibatkan aborsi, meskipun aborsi sendiri tidak dimaksudkan dan bukan
menjadi tujuan dalam tindakan itu. Misalnya : seorang ibu yang hamil dan
ketahuan mempunyai penyakit kanker rahim ganas dalam kondisi
menghawatirkan. Oleh karena janin ada dalam rahim yang diangkat, maka
janin tersebut ikut terangkat dan ikut mati.
c. Selektif Abortion
Selektif abortion adalah penghentian kehamilan, karena janin yang
dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. Misalkan, ada orang tua
yang menghendaki anak perempuan, maka begitu ketahuan anak yang di
dalam kandungannya itu laki-laki, maka kandungannya digugurkan.

C. Peraturan-Peraturan Hukum yang Mengatur Aborsi


Aborsi telah diatur dalam Pasal 75, Pasal 77, dan Pasal 194 Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU Kesehatan memberikan ruang untuk aborsi
dengan alasan tertentu.
Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya
aborsi, yaitu:
1) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
2) bagi korban pemerkosaan.
 
Selain terpenuhinya alasan dalam Pasal 75 UU Kesehatan, untuk dapat dilakukan
aborsi juga harus terpenuhi syarat-syarat yang tertuang di Pasal 76 UU
Kesehatan yang menegaskan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang kesehatan;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban pemerkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
 
Kemudian, Pasal 194 UU Kesehatan menerangkan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Menurut Soge (2010) secara vertikal Undang-undang Nomor 36 tahun 2009


tentang Kesehatan dalam hal pengaturan tentang aborsi tidak sinkron dengan berbagai
Peraturan Perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai dengan yang
terendah karena berbagai alasan yuridis sebagai berikut:
1. UUD 1945
Salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia adalah untuk
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum” sebagaimana tercantum dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945. Perlindungan itu tidak hanya diberikan kepada orang
pada umumnya, tetapi juga kepada anak dalam kandungan. Dengan demikian
anak dalam kandungan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara yang
dijamin oleh konstitusi. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 diatur tentang
perlindungan anak pada khususnya. Aborsi yang bermutu, aman dan bertanggung
jawab untuk melindungi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan jelas bertentangan dengan asas keseimbangan karena hanya
mementingkan hak kesehatan reproduksi ibu. Aborsi legal dalam hukum pidana
positif Indonesia adalah abortus provocatus medicinalis/therapeuticus, sehingga
aborsi dengan alasan untuk melindungi perempuan yang mengalami kehamilan
tidak diinginkan ilegal sifatnya karena bertentangan dengan sila I dan II Pancasila
serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan aborsi dalam
hukum positif Indonesia.
2. PP No. 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia.
Didalam PP No. 26 Tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter Indonesia.
Terdapat satu butir yang memuat larangan bagi dokter untuk melakukan aborsi
yang berbunyi “saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan”.
1. Permenkes RI No. 343/Menkes/SK/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) Bagi Para Dokter di Indonesia. Pasal 1
KODEKI “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.” Pasal 10 KODEKI “Setiap dokter Indonesia
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani”
2. Permenkes RI No. 585/Men.Kes./Per/IX/89 tentang Persetujuan Tindakan
Medik. Dokter dapat memberikan alternatif lain kepada perempuan yang
menginginkan aborsi yang aman dan bertanggung jawab dengan alasan
kehamilan tidak diinginkan. Misal melanjutkan kehamilannya di bawah suatu
shelter.

Menurut Soge (2010) secara horisontal Undang-undang Nomor 36 tahun 2009


tentang Kesehatan dalam hal pengaturan tentang aborsi tidak sinkron dengan berbagai
Peraturan Perundang-undangan yang setingkat karena berbagai alasan yuridis sebgai
berikut:
1. KUHP
KUHP mengatur berbagai macam kejahatan maupun pelanggaran. Salah
satu kejahatan yang diatur didalam KUHP adalah masalah abortus provocatus.
Ketentuan mengenai abortus provocatus dapat dijumpai dalam Bab XIV Buku
Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan (khususnya Pasal 299), Bab
XIX Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya pasal
346-349). Adapun pasal-pasal tersebut (menurut KUHP terjemahan Moeljatno) :
Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349. Jika kita menelaah pasal-
pasal tersebut di atas, tampaklah KUHP tidak membolehkan terjadinya suatu
abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan abortus provocatus
tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicinalis atau abortus provocatus
therapeuticus pun dilarang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Oemar Seno Adjie :
Adalah jelas, bahwa Indonesia mengikuti Perundang-undangan abortus tersebut
(Pasal 299, 346-349 KUHP) tersebut, yang menurut Perundang-undangan tidak
memperkenankan abortus (Luke T. Lee-Hohn M. Paxman – Legal Aspects of
Menstrual Regulation Halaman 1) dan yang karenannya dapat dikatakan bersifat
“ilegal”. Selaku demikian, seolah-olah ia tidak memberikan kemungkinan bagi
suatu pengecualian, dalam sistem Perundang-undangan Indonesia tidak
memperkenankan melakukan abortus, juga yang berdasarkan atas pertimbangan
medis dan yang disebut dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Abortus
Provocatus Therapeuticu.
2. KUH Pdt
Pasal 2 Buku Kesatu KUH Pdt. Yang mengatur tentang orang. Dalam
pasal tersebut dapat dimaknai bahwa kandungan memilik wewenang hukum
untuk dapat menikmati hak-hak dasar hukum waris. Adanya ketentuan tentang
aborsi dalam UU Kesehatan yang mengatur pengecualian aborsi dapat dilakukan
untuk melindungi perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan jelas
menghilangkan kesempatan kandungan untuk dapat menikmati hak-hak dasar
hukum waris.
a. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pada pasal 1
menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan, Perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak nya agar dapat hidup,
tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat.
b. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK)
UUPK selaras dengan UU Kesehatan pada prinsipnya memuat
beberapa ketentuan yang mendukung pelaksanaan aborsi berdasarkan indikasi
medis untuk menyelamatkan jiwa ibu sebagaimana diatur dalam UU
Kesehatan dan bukan untuk melindungi perempuan yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan.

Aborsi Menurut Hukum Islam

Dalam berbagai literatur fikih terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya
seseorang melakukan aborsi yang secara etimologi aborsi berasal dari bahasa Inggris,
yaitu abortion dan dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang artinya pengguguran
kandungan sebagaimana diterangkan M. Ali Hasan dalam buku Masail Fiqhiyah
pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (hal. 44).
 
Sementara itu, aborsi dalam bahasa Arab diartikan al-ijhad, yang merupakan
bentuk masdar dari kata ajhada, yang artinya lahirnya janin karena dipaksa atau lahir
dengan sendirinya sebelum tiba saatnya sebagaimana dijelaskan Mahjuddin dalam
buku Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini (hal. 76).
 
Secara terminologi, mengutip Yurnalis Uddin, et.al dalam buku Reinterpretasi
Hukum Islam tentang Aborsi (hal. 131), ahli fikih memberikan definisi aborsi dengan
redaksi berbeda, namun bermuara pada substansi yang sama.
 
Ibrahim al-Nakhaˋi mengatakan bahwa aborsi adalah pengguguran janin dari rahim
ibu hamil, baik sudah berbentuk sempurna atau belum. Senada dengan al-Nakhaˋi
adalah definisi Abdullah bin Ahmad yang menyatakan bahwa aborsi adalah merusak
makhluk yang ada dalam rahim perempuan.
 
Demikian pula, menurut Abdul Qadir Audah, aborsi adalah pengguguran kandungan
dan perampasan hak hidup janin atau perbuatan yang dapat memisahkan antara janin
dengan ibunya. Sedangkan bagi al-Gazali, aborsi adalah pelenyapan nyawa janin atau
merusak sesuatu yang sudah terkonsepsi (mawjud al-hasil).
 
Definisi aborsi lebih detail terurai dalam tulisan Khoiruddin Nasution dalam artikel
jurnal Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam berjudul Pandangan Islam tentang
Aborsi, dengan mengutip Grolier Family Encyclopedia (hal. 114):
 
“...is the termination of a pregnancy by loss or destruction of the fetus before birth.
An abortion may be spontaneous or induced. The latter is an act with ethical and
legal ramifications”.
 
Perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagaimana diterangkan Istibsjaroh dalam
buku Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif
Islam (hal. 64 – 65):
a. Diperbolehkan aborsi sebelum usia janin 120 hari. Pendapat ini dikemukakan
oleh sebagian besar ulama Hanafiyyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyyah.
b. Diperbolehkan aborsi sebelum usia janin 40 - 45 hari (tahalluk). Pendapat ini
dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha’ Syafi’iyyah, sebagian
besar fuqaha Hanabilah, dan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah sebagaimana
diterangkan Yurnalis Uddin, et.al dalam buku yang sama (hal. 86).
c. Aborsi hukumnya makruh tahrim, baik sebelum maupun sesudah 40 hari.
Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah.
d. Aborsi hukumnya haram secara mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian
besar fuqaha’ Malikiyyah, Imam al-Gazali, Ibn al-Jawzi, dan Ibn Hazm al-
Zahiri. Pelakunya dapat dikenai sanksi yang disesuaikan dengan akibat yang
ditimbulkannya.
 
Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) pada tahun 2005 mengeluarkan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi (“Fatwa MUI 4/2005”). Fatwa
ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak terjadi tindakan
aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama.
 
Selain itu, aborsi juga banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki
kompetensi di bidangnya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan
hukumnya, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi
tertentu.
 
Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan pendapat para ulama
klasik, maka MUI menyatakan:
1) Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding
rahim ibu (nidasi).
2) Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun
hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan
aborsi adalah:
- Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium
lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya
yang harus ditetapkan oleh tim dokter.
- Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan
aborsi adalah:
- Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau
lahir kelak sulit disembuhkan.
- Kehamilan akibat pemerkosaan yang ditetapkan oleh tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban,
dokter dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum
janin berusia 40 hari.
3) Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
 
Berangkat dari Fatwa MUI di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
MUI sepakat dengan ulama klasik maupun kontemporer, bahwa aborsi qabla nafkh
al-ruh diharamkan dan MUI sangat ketat, sebagaimana pendapatnya al-Gazali, bahwa
aborsi qabla nafkh al-ruh dilarang sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding
rahim ibu (nidasi).
 
Meskipun demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang
bersifat darurat maupun hajat.
 
Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari, tentu ini sama dengan
pendapat yang dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha’ Syafiˋiyyah, sebagian
besar fuqaha’ Hanabilah, dan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah. Sementara aborsi
akibat perzinaan, maka MUI secara mutlak mengharamkannya.

D. Komplikasi Aborsi
Aborsi terapeutik, sama seperti aborsi spontan yang dianggap aman untuk
dilakukan tetap saja memiliki kemungkinan menimbulkan komplikasi. Sebagian besar
komplikasi minor seperti nyeri, pendarahan, infeksi, dan komplikasi paska-anestesi.
Komplikasi mayor diantaranya termasuk atony uterus, perdarahan berkelanjutan,
perforasi uterus, cedera pada organ yang berdekatan (kandung kemih atau usus),
laserasi serviks, aborsi gagal, aborsi septik, dan koagulasi intravaskular
disebarluaskan (DIC) (Sajadi, Martinez & Sapkota, 2021).

E. Diagnosa Keperawatan Berhubungan dengan Aborsi


1. Risiko infeksi (termasuk penyakit radang panggul) yang berhubungan dengan
serviks melebar dan pembuluh rahim terbuka
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan kram uterus sekunder
3. Defisit volume cairan terkait dengan perdarahan vagina yang berlimpah akibat
aborsi yang tidak lengkap
4. Mual dan muntah
5. Demam
6. Keputihan
7. Kecemasan (Sajadi, Martinez & Sapkota, 2021).

F. Faktor Resiko
Frekuensi dan tingkat keparahan komplikasi aborsi tergantung pada usia
kehamilan pada saat aborsi dan metode aborsi yang dilakukan (Calvert et al, 2018;
Upadhyay et al, 2018).
Komplikasi berdasarkan usia kehamilan adalah sebagai berikut:
 Delapan minggu ke bawah - Kurang dari 1%
 8-12 minggu - 1,5-2%
 12-13 minggu - 3-6%
 Trimester kedua - Hingga 50%
Perkiraan tingkat komplikasi aborsi untuk semua sumber perawatan kesehatan
adalah sekitar 2% untuk aborsi obat, 1,3% untuk aborsi aspirasi trimester pertama,
dan 1,5% untuk aborsi trimester kedua atau lebih lanjut.

G. Penatalaksanaan dalam Keperawatan


Aborsi mungkin tampak seperti prosedur kecil tetapi banyak masalah
manajemen seputar prosedur ini. Beberapa penatalaksanaan keperawatan yang dapat
dilakukan dijabarkan sebagai berikut:
1. Pantau tanda-tanda vital sesering mungkin
2. Semua pasien harus memiliki 2 Infus dan oksigen, bahkan jika mereka awalnya
tampak stabil. Darah harus disediakan untuk kemungkinan terjadinya perdarahan.
3. Selalu dapatkan riwayat ginekologi dan kebidanan yang menyeluruh agar tidak
melewatkan penyebab gejala lainnya.
4. Tingkat dan jumlah perdarahan dapat dengan mudah diabaikan terutama ketika
pasien berada dalam posisi terlentang. Dengan demikian, dokter atau perawat
harus selalu melakukan pemeriksaan panggul pada pasien paska-aborsi untuk
menentukan tidak adanya darah yang terkumpul di vagina atau rahim.
5. Perforasi uterus jika terlewatkan bisa mengancam jiwa. Jika pasien mengalami
sakit perut paska-aborsi, konsultasi ginekologi sesegera mungkin dan CT scan
harus dilakukan. Beberapa pasien mungkin mendapat manfaat dari laparoskopi
diagnostik.
6. Pada setiap pasien paska-aborsi, dokter tidak boleh mengesampingkan kehamilan
ektopik.
7. Jika pasien tampak septik, antibiotik spektrum luas perlu dimulai bahkan sebelum
pemeriksaan diagnostik selesai.
8. Pertimbangkan fakta bahwa pasien mungkin telah mempertahankan produk
konsepsi, yang mungkin menjadi penyebab komplikasi.
9. Cedera usus pada paska-aborsi harus dipertimbangkan. Perawat mungkin
mencatat bahwa pasien memiliki perut yang lembut dengan tanda-tanda
peritoneal dan harus berkonsultasi dengan dokter segera karena jika tidak
diketahui dapat menyebabkan resiko tinggi kematian
10. Memberikan dukungan psikologis karena pasien dapat mengalami kecemasan
serta menjaga kerahasiaan pasien.

H. Evaluasi Komplikasi Paska-Aborsi


Tes laboratorium berikut sangat membantu dalam evaluasi komplikasi pasca-aborsi:
1. Hitung darah lengkap (CBC) untuk menilai penurunan hemoglobin/hematokrit
yang mungkin merupakan indikasi perdarahan yang sedang berlangsung.
2. Panel metabolik lengkap untuk menilai kelainan ginjal, hati, atau elektrolit.
3. Beta-human chorionic gonadotropin (Beta-hCG) untuk menetapkan garis dasar
untuk memantau perkiraan penurunan level atau untuk dibandingkan dengan
tingkat yang sudah ada sebelumnya.
4. Studi koagulasi, terutama jika pasien diharapkan untuk pergi ke ruang operasi.
5. Golongan darah/Rh dengan layar antibodi untuk menetapkan kebutuhan akan
Rhogam dan/atau untuk kemungkinan transfusi darah yang akan datang.
6. Kultur darah jika sepsis dicurigai.
7. Jika DIC dicurigai, produk fibrinogen, fibrin-split, dan d-dimer harus diperoleh.

BAB III
HASIL LITERATUR REVIEW

Beberapa jurnal berikut ini mengenai kasus dilema etik tentang aborsi :
1. Perspektif Bioetika Islam dan Biopsikologi Konflik pada Kasus Kegagalan Aborsi
yang Berdampak Kecacatan Anak
Jurnal ini dikutip dari Jurnal Psikologi Islam dan Budaya (JPIB). Penelitian ini
bertujuan menguraikan perspektif bioetika Islam dan biopsikologi mengenai konflik
pada kasus kegagalan aborsi yang berdampak kecacatan anak. Tindakan aborsi yang
dilakukan secara ilegal atau tidak berdasarkan indikasi medis disebut dengan abortus
provocatus criminalis (Marmi, 2014). Salah satu tindakan yang termasuk abortus
provokatus criminalis yaitu pengguguran kehamilan karena alasan ekonomi (Jauhari,
2020). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
mengemukakan bahwa aborsi yang dilakukan setelah kehamilan berumur 6 minggu,
dihitung dari hari pertama haid terakhir termasuk ke dalam tindakan abortus
provocatus medicinalis, Penelitian ini mengangkat kasus seorang istri berusia 35
tahun yang mencoba melakukan tindakan percobaan abortus provocatus criminalis,
namun mengalami kegagalan dan melahirkan bayi cacat. Secara hukum, baik pihak
yang melakukan aborsi maupun penolong termasuk ke dalam tindakan aborsi yang
melanggar hukum (Pranata dkk., 2020) dan melanggar moral. Tingkah laku yang
dilakukan oleh manusia berdasarkan hal-hal yang sesuai dengan moral adalah etika.
Konflik yang dikaji pada penelitian ini terjadi pada seorang ibu yang
melakukan aborsi karena keterpaksaan. Subjek melakukan tindakan aborsi saat
berusia 35 tahun pada kehamilan anak ke-5. Subjek dipaksa melakukan aborsi oleh
suami karena adanya kekhawatiran tidak dapat menafkahi secara fisik, mengingat
pekerjaan suami yang berjualan di pasar memiliki penghasilan tidak tetap. Dengan
didorong dan difasilitasi suami, subjek menjalani berbagai macam usaha aborsi sejak
usia kehamilan 3 bulan hingga 7 bulan. Subjek merasa tindakannya melanggar agama
Islam yang ia yakini. Hal ini diperkuat dengan ketegasan subjek untuk
mempertahankan kehamilannya sejak usia kandungan 7 bulan meskipun ditentang
suami dan keempat anaknya. Subjek pun mengalami depresi. Hal ini diketahui dari
keterangan dokter yang memberikan subjek obat-obat antidepresan ketika hamil.
Subjek akhirnya melahirkan anak ke-5 dalam kondisi cacat sejak lahir dengan kondisi
tangan kanan hanya memiliki tiga jari, kaki kiri lebih besar daripada kaki kanan, dan
bentuk kepala yang menonjol di bagian atas. Pada saat subjek memutuskan untuk
akhirnya mempertahankan kehamilannya, subjek telah melalui proses konflik. Konflik
didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak sesuai; tindakan satu orang mengganggu,
menghalangi, atau dengan cara tertentu menghalangi tindakan orang lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami fase konflik yang
lengkap yaitu fase kontradiksi, attitude, dan perilaku. Subjek mengalami konflik kuat
baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan aborsi. Konflik
subjek dalam perspektif bioetika Islam berkaitan dengan kewajiban seorang istri
untuk patuh terhadap perintah suami dan larangan untuk melakukan pembunuhan
janin. Konflik subjek dalam perspektif biopsikologi merupakan kombinasi kognitif
dan afektif subjek, melalui sistem mekanisme poros hipotalamus-pituitari dan sistem
limbik sehingga menghambat pertumbuhan janin. Dampak biopsikologis yang
dirasakan meliputi sedih berkepanjangan, gangguan agitasi, gangguan tidur, serta
gastrointestinal psikosomatis.

2. Perlindungan Hukum Perempuan Pelaku Aborsi dari Korban Perkosaan


terhadap ancaman tindak Pidana Aborsi
Menurut Sharon J. Reeder bahwa : “Abortion is the termination of pregnancy
at any time before the fetus has attained a stage of viability”. Aborsi yang dikenal
dengan sebutan pengguguran kandungan adalah peng-hentian kehamilan atau
pengeluaran janin dari dalam kandungan pada saat janin mengalami gangguan pada
fase tertentu kehamilan sebelum janin tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan.
Aborsi adalah suatu upaya peniadaan buah kandungan atau bayi yang masih
hidup dari rahim seorang ibu melalui campur tangan manusia sebelum lahir dengan
cara membunuhnya. Peniadaan dalam konteks ini dilukiskan sebagai pembunuhan,
pematian, atau pemutusan hidup manusiawi sebelum waktu kelahirannya, sebab buah
kandungan itu adalah makhluk hidup. Korban dari aborsi adalah makhluk hidup atau
bayi yang tidak berdosa dan yang tidak dapat membela diri. Makhluk lemah dan kecil
tersebut menjadi sasaran tindak kekerasan manusia karena tidak menginginkan
kehadirannya. Secara sederha-na, istilah ini diterjemahkan dengan “keguguran” (tidak
disengaja) atau “peng-guguran” (sengaja) buah kandungan sebelum lahir.4
Pengguguran kandungan (aborsi) bukanlah hal yang baru, karena masalah
aborsi ini sudah sejak lama dikenal dan dilakukan oleh masyarakat sepanjang zaman
di negara manapun, termasuk negara di mana masyarakatnya tergolong kuat (taat)
beragama, seperti di Indonesia meskipun aborsi dilaku-kan secara sembunyi-
sembunyi dan dengan peralatan yang sangat sederhana.
Pada zaman kuno, di mana pengetahuan masyarakat belum banyak mengenal
biologi, sehingga aborsi dipraktikkan dengan menggunakan ke-kuatan fisik yang
dipadukan mantra-mantra yang dianggap memiliki daya magis untuk itu. Dalam masa
berikutnya, meskipun ada larangan, Hipocrates pernah menganjurkan agar ibu hamil
muda melompat- lompat sekuat kuatnya agar terjadi keguguran kandungan. Ada pula
yang sengaja berpanas- panas, bahkan ada yang menempatkan batu panas di atas
perut/rahim karena diyakini akan dapat menggugurkan kandungan. Para perempuan
Romawi misalnya, memasukkan benda-- benda kasar seperti papyri, tongkat, bulu
domba/binatang atau alat-alat lain ataupun mengoleskan zat-zat yang memedihkan
kulit di bagian perut karena diyakini dapat menggugurkan kehamilan. Dengan per-
kembangan pengetahuan biologi manusia yang meningkat, cara aborsi mulai
dilakukan lebih halus. Mulailah manusia menggunakan obat- obatan, jamu, ramuan
daun, dan sebagainya, yang dikenal oleh masyarakat China Kuno. 5
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia yang telah mengenal dan
menerima pengguguran kandungan meskipun dengan cara tradisional, seperti adanya
keberadaan dukun praktek penggugur kandungan, serta beredarnya berbagai jenis
ramuan atau jamu penggugur kandungan di tengah masyarakat. Praktik pengguguran
kandungan yang dilakukan para dukun pada umumnya dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana, dan hal itu diterima masyarakat sebagai hal yang biasa (dalam arti
tidak dipermasalahkan). Namun dalam perkembangannya pengguguran kandungan
tidak lagi diterima sebagai hal biasa, akan tetapi terhadap praktek pengguguran
kandungan (aborsi) ini sudah mulai dipersoalkan.6
Saat ini, praktik pengguguran kandungan (aborsi) tidak hanya dilaku-kan oleh
diri- sendiri, dukun, tetapi sudah melibatkan kalangan profesi medis (dokter, bidan
dan perawat), sedangkan yang membutuhkan jasa pengguguran kandungan tidak
hanya dari kalangan orang- orang yang tidak bermoral (amoral) dan remaja-remaja
putri yang hamil di luar nikah, tetapi juga dilaku-kan oleh wanita-wanita bersuami
yang hamil secara sah, dan bahkan paling banyak terjadi pada golongan wanita yang
sering melahirkan.7
Dari segi etik, aborsi merupakan tindakan yang tidak memiliki hati nurani. Hal
ini dikarenakan aborsi dilakukan oleh orang tua si bayi yang begitu tega
menghilangkan nyawa si bayi, dan tindakan aborsi yang melanggar etika ini dilakukan
dengan perencanaan sehingga termasuk dalam upaya untuk menghilangkan nyawa
seseorang, dan termasuk dalam perbuatan yang me-lawan hukum atau undang-
undang.
Pengguguran kandungan atau praktik aborsi lebih banyak disalahguna-kan
karena tidak adanya indikasi medik untuk melakukan tindakan aborsi, sehingga
penanganan terhadap persoalan aborsi selayaknya dilakukan secara hati-hati sebab
menyangkut banyak aspek yang terkait, di antaranya adalah aspek etika, moral, dan
hukum. Perkembangan teknologi dan budaya manusia makin lama makin banyak
mengubah moral dan perilaku manusia.
Perbuatan aborsi yang tidak sesuai dengan indikasi medis, selain melanggar
KODEKI, juga dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap disiplin kedokteran,
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Konsil Ke-dokteran Indonesia (KKI) Nomor
4 Tahun 2011 angka 11, yaitu : “Melaku-kan perbuatan yang bertujuan untuk
menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku”, di mana sanksi yang diberikan kepada dokter yang melakukan
pelanggaran disiplin akan diberikan peringatan secara lisan dan tertulis, pencabutan
surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik (SIP), dan wajib mengikuti kembali
pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.8
Praktik aborsi yang terjadi selama ini dalam masyarakat adalah aborsi ilegal,
yakni praktik aborsi yang dilarang oleh undang-undang, dikarenakan tujuan praktik
aborsi tersebut adalah untuk menghilangkan calon bayi atau nyawa manusia.
Timbulnya banyak kejahatan seksual seperti tindak pidana perkosaan yang
mengakibatkan hamilnya perempuan korban perkosaan menjadi alasan utama
dilakukannya aborsi oleh perempuan korban perkosaan. Korban per-kosaan sudah
menderita secara fisik dan psikis akibat perkosaan tersebut, terlebih apabila
perempuan tersebut mengalami kehamilan yang tidak diingin-kan akibat perkosaan.
Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ke-dokteran, akademisi dan penegak
hukum, mengingat aborsi sendiri telah di-larang oleh agama dan peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, kejahatan seksual atau perkosaan yang marak terjadi,
membuat hal tersebut untuk dikaji kembali karena korban akan mengalami
penderitaan seumur hidupnya karena trauma akibat perkosaan dan belum lagi harus
menanggung hasil perkosaan.
Timbulnya banyak kejahatan seksual merupakan efek samping (side effect)
dari perubahan masyarakat agraris-pertukangan (agrarisch-ambachte lijk) menjadi
masyarakat industri/modern seperti yang dialami sekarang. Ke-jahatan seksual ini
memerlukan pemeriksaan dokter terhadap korban untuk membantu menerangkan
perkaranya, yaitu di mana telah terjadi persetubuhan (sexual intercourse). Perbuatan
cabul (ontuchtig handeling) seperti mencium, meraba-raba alat kelamin atau buah
dada, dan sebagainya, tidak mungkin di- bantu oleh pemeriksaan dokter, karena tidak
akan ditemukan bekas-bekas-nya.9
Dalam hukum positif Indonesia, dapat ditemui arti perkosaan selalu dikaitkan
dengan kekerasan terhadap perempuan. Menurut Purwadianto, bahwa perkosaan
adalah bagian dari kekerasan terhadap perempuan yang ter-diri atas kekerasan fisik,
psikis, dan seksual. Perkosaan adalah penggunaan ancaman, kekuatan fisik, atau
intimidasi dalam rangka memperoleh relasi seksual dengan orang lain yang
bertentangan dengan kehendak orang tersebut. Laki-laki pelaku berniat bukan hanya
sekadar melampiaskan hasrat seksualnya saja, tetapi berkeinginan untuk menista dan
merendahkan perempuan korban dengan cara memakai seks sebagai senjata untuk
menyatakan kekerasan, ke-kuatan, dan agresinya.

3. Islamic Moral Judgement on Abortion and Its Nursing Application : Expository


Analysis
Artikel Mohamad Ismail et al. (2018) berupa analisis ekspositori yang
membahas tentang pertimbangan moral Islam tentang aborsi dan penerapannya dalam
keperawatan ini menggunakan metode analitis dan komparatif dalam menganalisa
masalah etika dalam aborsi dari perspektif Islam dan konvensional. Berlatar belakang
sejumlah kasus di mana aborsi dilakukan dengan alasan lain selain kesehatan, seperti
pilihan individu untuk melakukannya.
Masalah yang dimunculkan dalam kajian ini adalah dapatkah seorang
perawat menolak untuk memberikan layanan profesional mereka terhadap orang-
orang yang melakukan tindakan aborsi karena pilihan sendiri. Implikasi
keperawatannya adalah karena perawat menginstruksikan dan membantu individu
dalam membuat keputusan saat mereka terlibat dalam asuhan keperawatan,
Memanfaatkan pandangan komprehensif tentang aborsi berdasarkan sumber-
sumber Islam akan memberikan landasan dalam perspektif Islam saat mereka
berinteraksi dengan pasien muslim. Subjek area yang menyelidiki tingkat
pengetahuan perawat dalam mengarahkan pengambilan keputusan secara moral Islam
sangat direkomendasikan dalam pelaksanaannya di masa depan.
Dalam artikel ini, penulis memilih untuk fokus pada aborsi yang diinduksi.
Beberapa negara menganggap aborsi sebagai ilegal seperti Nigeria dan Malaysia.
Namun demikian,ada pengecualian, dimana dokter dapat membenarkan tindakan
mereka dengan alasan medis untuk menginduksi aborsi, oleh karena itu dianggap
menjadi sah. Selanjutnya, pengadilan perlu memvalidasi itikad baik mereka sesuai
ketentuan medis yang berlaku. Misalnya, sebagai aturan umum, aborsi adalah ilegal di
Malaysia, tetapi pengecualian dibuat hanya untuk wanita yang menderita cedera fisik
atau mental karena kehamilan. Contoh lain adalah ketika ibu hamil kasus
pemerkosaan mendapat tekanan mental yang parah, dimana dokter percaya bahwa
kondisi itu akan membahayakannya, maka aborsi diperbolehkan untuk dilakukan.
Dalam kebanyakan kasus, alasan untuk menyelamatkan nyawa atau dikenal
sebagai aborsi terapeutik secara moral dibenarkan. Namun, karena beberapa wanita
membenarkan aborsi untuk penyebab lain, seperti kehamilan yang tidak diinginkan
dan pemilihan gender kehamilan, atau karena perkosaan atau perzinahan telah
menjadi perdebatan.
Melegalkan aborsi telah memberi perempuan pilihan ide untuk mengakhiri
kehamilan. Perawat yang terlibat dalam masalah ini menghadapi dilema moral karena
beberapa pilihan ibu hamil untuk menggugurkan kandungannya mungkin
bertentangan dengan keyakinan pribadi mereka. Secara umum, nilai-nilai moral
penyelamatan jiwa dan fitrah manusia terdengar anti-aborsi, namun sekarang aborsi
telah dilegalkan di banyak negara di seluruh dunia.
Dari perspektif hukum Islam, terdapat perselisihan di antara para ulama
tentang tahap mana aborsi seharusnya boleh dilakukan. Mengenai hal ini, ada
pendapat empat mazhab terkemuka terhadap izin kemungkinan aborsi. Mazhab
Syafi’i mengizinkan aborsi hingga hari ke 120 kehamilan. Mazhab Hanafi
memandang aborsi diperbolehkan sampai akhir bulan keempat, ibu hamil
diperbolehkan menggugurkan kandungannya tanpa persetujuan suami jika alasannya
secara moral dibenarkan. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa aborsi hanya
diperbolehkan sampai hari ke-40 dengan persetujuan kedua pihak (suami-istri).
Terakhir tapi tidak kalah pentingnya, Mazhab Hanbali berpendapat bahwa aborsi
dilarang dari hari ke 40 dan seterusnya.
Satu-satunya alasan yang dapat diterima untuk menggugurkan janin adalah
jika kehamilan akan mengancam kesehatan dan kehidupan ibu setelah mencari
pendapat dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya.
Temuan penelitian ini dapat membantu pengembangan pengetahuan di antara
perawat terutama pandangan Islam tentang diperbolehkannya aborsi. Kebijakan dan
undang-undang mengizinkan perawat untuk menolak, Namun, alasan untuk menolak
tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi, diskriminasi atau prasangka, tetapi
hanya harus didasarkan pada penilaian moral, yang juga didukung oleh agama dan
sekuler dilihat. Dalam hal ini, pandangan Islam tentang masalah ini memberikan
gambaran yang jelas tentang syarat bagi perawat muslim untuk melanjutkan atau
menolak untuk berpartisipasi dalam prosedur aborsi.
Studi telah menunjukkan bahwa perspektif agama pada masalah yang timbul
memainkan peran utama di antara pasien untuk membuat keputusan terkait aborsi.
Peran perawat membantu individu dalam membuat keputusan saat mereka terlibat
dalam asuhan keperawatan, menggunakan pandangan komprehensif tentang aborsi
pada sumber-sumber Islam akan memberi mereka beberapa informasi saat mereka
berinteraksi dengan pasien muslim.
Dalam melaksanakan peran advokasi, perawat harus dilengkapi dengan
pengetahuan pemahaman yang baik tentang aborsi. Penjelasan yang tidak memadai
kepada pasien mengenai masalah ini dapat membuat pasien ragu dan bingung.yang
dapat menyebabkan gangguan dalam proses pengambilan keputusan.

4. Analisis Yuridis Terhadap Tindakan Aborsi Dalam Perspektif Hukum Pidana


Indonesia (Studi Komparatif; Undang-Undang Kesehatan, KUHP dan HAM)
Penelitian yang dilakukan oleh Rustam (2017) ini bertujuan untuk melihat
tinjauan yuridis terhadap tindakan aborsi yang ditinjau dari Undang-Undang No.36
Tahun 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hubungan antara Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 36 Tahun 2009 serta
perbandingan pandangan (Perspektif) terhadap aborsi antara UU No.36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, KUHP dan HAM. Berdasarkan aturan KUHP dan HAM aborsi
dilarang sedangkan menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009, aborsi
diperbolehkan dengan syarat tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
analisis yuridis.
Dalam penelitian ini yang dimaksud oleh penulis sebagai analisis yuridis
adalah kegiatan untuk mencari dan memecah komponen-komponen dari suatu
permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian menghubungkannya dengan
hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan
permasalahannya. Tujuannya adalah untuk membentuk pola pikir dalam pemecahan
suatu permasalahan yang sesuai dengan hukum khususnya mengenai masalah aborsi.
Perbedaan aturan tentang aborsi yakni antara Undang-Undang No.36 Tahun
2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hak Azazi Manusia
ditengahi oleh asas lex posteriori derogat legi priori yang membuat gagasan baru
tentang aborsi yakni pada kedaruratan medis yakni provokatus medicalis. Sedangkan
abortus provocatus, berdasarkan pandangan ketiga aturan tersebut adalah merupakan
tindakan pidana yang dilarang, serta dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak azazi
manusia.

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan beberapa jurnal dan artikel yang telah dijelaskan dibagian hasil literatur
review pada bab sebelumnya didapatkan beberapa masalah dilema dan etika mengenai
aborsi.
1. Perspektif Bioetika Islam dan Biopsikologi Konflik pada Kasus Kegagalan
Aborsi yang Berdampak Kecacatan Anak
Pada kajian jurnal pertama dinyatakan bahwa etika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang
individu atau institusi dilihat dari moralitas. Dalam kaidah bioetika, pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan etik melibatkan aspek-aspek medical indication
(menguntungkan dan tidak merugikan pasien), patient preference (pilihan pasien
berdasarkan informasi manfaat dan beban yang akan diterima), quality of life
(tindakan dilakukan untuk memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup
insani), dan contextual feature (Mappaware dkk., 2018). Dari sisi contextual feature,
pengambilan keputusan etik harus dilakukan dengan jujur dan adil menurut agama
yang dianut oleh subjek, yaitu Islam. Berkaitan hal ini terdapat beberapa kondisi
konflik yang berhubungan dengan agama Islam yang menjadi keunikan kasus ini.
Subjek melakukan percobaan aborsi sebanyak empat kali yaitu: satu kali dibantu
dokter, satu kali dibantu paraji, dan dua kali melakukan tindakan percobaan aborsi
mandiri. Namun demikian, di sisi lain subjek juga melakukan hal-hal yang
mempertahankan kondisi kehamilannya. Hal ini dapat dilihat dari pertengkaran secara
verbal antara subjek dengan suaminya, usaha subjek untuk kontrol ke dokter dan
meminum obat-obat vitamin penguat janin, serta memakan makanan sehat untuk
tumbuh kembang janin. Hal ini menunjukkan terdapat konflik pada subjek.

2. Perlindungan hukum bagi perempuan yang melakukan aborsi korban


pemerkosaan dari ancaman tindak pidana aborsi :
Pemerkosaan selalu dikaitkan dengan kekerasan terhadap perempuan.
Pemerkosaan merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan, termasuk
kekerasan fisik dan seksual. Laki-laki pelaku pemerkosaan tidak hanya memiliki niat
untuk melampiaskan hasrat seksualnya, tetapi juga menggunakan seks sebagai senjata
untuk mengekspresikan kekerasan, kekuatan dan agresi dengan mempermalukan dan
mempermalukan korban perempuan.
Sebagaimana disebutkan bahwa batasan hokum perkosaan saat ini bersumber
dari pasal 285 KUHP,yang berbunyi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,diancam
karena melakukan pemerkosaan,dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Pemerkosaan menyebabkan korbannya menderita kerugian atau menderita
kerugian ekonomi, fisik, psikis dan sosial. Kerugian ekonomi terutama karena korban
harus membayar untuk luka fisik, pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan kesehatan
untuk memprediksi kehamilan yang tidak diinginkan dan penyebaran penyakit
menular seksual, serta kebutuhan untuk perawatan psikologis. Mungkin butuh waktu
lama untuk menyembuhkan gangguan psikologis yang sering menyebabkan kerugian
finansial, korban tidak dapat bekerja dan karenanya tidak dapat memperoleh
penghasilan.
Bagi korban yang hamil akibat pemerkosaan dan pada akhirnya akan
melakukan aborsi akan berefek kepada tindakan melawan hukum. Keadaan tersebut
merupakan akibat dari tindakan aborsi terhadap janin yang dikandungnya untuk
melindungi dirinya dari perbuatan yang memalukan. Sebagai pelaku aborsi,
perempuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagai hukum positif pada saat
ini begitu juga siapa pun yang ikut membantu tindakan aborsi.
Aborsi yang dilakukan oleh perempuan korban pemerkosaan dikaukan karena
terpaksa, membuat perempuan korban perkosaan yang dihukum resiko apapun.
Akibatnya jelas akan membuat perempuan tersebut terbebani karena kehamilan diluar
kehendaknya, belum aib yang harus ditanggung selama hidupnya.Secara etika
tepatlah aborsi dilakukan,atau sebaliknya,karena kehadiran janin dalam kandunganya
adalah calon manusia baru yang dalam pikiran/lukisan dari wakil pemerkosa,
sehingga akan terjadi kontradiktif dalam dirinya selama kandungan berjalan.
Perempuan korban pemerkosaan yang melakukan aborsi merupakan salah satu korban
dari kejahatan yang juga memerlukan perlindungan hukum.
3. Islamic Moral Judgement on Abortion and Its Nursing Application : Expository
Analysis
Dalam artikel ini, penulis memilih untuk fokus pada aborsi yang diinduksi.
Beberapa negara menganggap aborsi sebagai ilegal seperti Nigeria dan Malaysia.
Namun demikian, ada pengecualian, dimana dokter dapat membenarkan tindakan
mereka dengan alasan medis untuk menginduksi aborsi, oleh karena itu dianggap
menjadi sah. Selanjutnya, pengadilan perlu memvalidasi itikad baik mereka sesuai
ketentuan medis yang berlaku. Misalnya, sebagai aturan umum, aborsi adalah ilegal di
Malaysia, tetapi pengecualian dibuat hanya untuk wanita yang menderita cedera fisik
atau mental karena kehamilan. Contoh lain adalah ketika ibu hamil kasus
pemerkosaan mendapat tekanan mental yang parah, dimana dokter percaya bahwa
kondisi itu akan membahayakannya, maka aborsi diperbolehkan untuk dilakukan.
Dalam kebanyakan kasus, alasan untuk menyelamatkan nyawa atau dikenal
sebagai aborsi terapeutik secara moral dibenarkan. Namun, karena beberapa wanita
membenarkan aborsi untuk penyebab lain, seperti kehamilan yang tidak diinginkan
dan pemilihan gender kehamilan, atau karena perkosaan atau perzinahan telah
menjadi perdebatan.
Melegalkan aborsi telah memberi perempuan pilihan ide untuk mengakhiri
kehamilan. Perawat yang terlibat dalam masalah ini menghadapi dilema moral karena
beberapa pilihan ibu hamil untuk menggugurkan kandungannya mungkin
bertentangan dengan keyakinan pribadi mereka. Secara umum, nilai-nilai moral
penyelamatan jiwa dan fitrah manusia terdengar anti-aborsi, namun sekarang aborsi
telah dilegalkan di banyak negara di seluruh dunia.
Dari perspektif hukum Islam, terdapat perselisihan di antara para ulama
tentang tahap mana aborsi seharusnya boleh dilakukan. Mengenai hal ini, ada
pendapat empat mazhab terkemuka terhadap izin kemungkinan aborsi. Mazhab
Syafi’i mengizinkan aborsi hingga hari ke 120 kehamilan. Mazhab Hanafi
memandang aborsi diperbolehkan sampai akhir bulan keempat, ibu hamil
diperbolehkan menggugurkan kandungannya tanpa persetujuan suami jika alasannya
secara moral dibenarkan. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa aborsi hanya
diperbolehkan sampai hari ke-40 dengan persetujuan kedua pihak (suami-istri).
Terakhir tapi tidak kalah pentingnya, Mazhab Hanbali berpendapat bahwa aborsi
dilarang dari hari ke 40 dan seterusnya
Satu-satunya alasan yang dapat diterima untuk menggugurkan janin adalah
jika kehamilan akan mengancam kesehatan dan kehidupan ibu setelah mencari
pendapat dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya. Temuan penelitian ini
dapat membantu pengembangan pengetahuan di antara perawat terutama pandangan
Islam tentang diperbolehkannya aborsi. Kebijakan dan undang-undang mengizinkan
perawat untuk menolak, Namun, alasan untuk menolak tidak boleh didasarkan pada
kepentingan pribadi, diskriminasi atau prasangka, tetapi hanya harus didasarkan pada
penilaian moral, yang juga didukung oleh agama dan sekuler dilihat. Dalam hal ini,
pandangan Islam tentang masalah ini memberikan gambaran yang jelas tentang syarat
bagi perawat muslim untuk melanjutkan atau menolak untuk berpartisipasi dalam
prosedur aborsi.
Studi telah menunjukkan bahwa perspektif agama pada masalah yang timbul
memainkan peran utama di antara pasien untuk membuat keputusan terkait aborsi.
Peran perawat membantu individu dalam membuat keputusan saat mereka terlibat
dalam asuhan keperawatan, menggunakan pandangan komprehensif tentang aborsi
pada sumber-sumber Islam akan memberi mereka beberapa informasi saat mereka
berinteraksi dengan pasien muslim.
Dalam melaksanakan peran advokasi, perawat harus dilengkapi dengan
pengetahuan pemahaman yang baik tentang aborsi. Penjelasan yang tidak memadai
kepada pasien mengenai masalah ini dapat membuat pasien ragu dan bingung.yang
dapat menyebabkan gangguan dalam proses pengambilan keputusan.

4. Analisis Yuridis Terhadap Tindakan Aborsi Dalam Perspektif Hukum Pidana


Indonesia (Studi Komparatif; Undang-Undang Kesehatan, KUHP dan HAM)
Pengguguran kandungan atau yang biasa masyarakat kenal sebagai aborsi,
merupakan praktek yang selama ini masih dilakukan oleh mereka yang tak
menginginkan kelahiran si janin yang dikandungnya. Aborsi dapat terjadi baik akibat
perbuatan manusia atau (abortus provokatus) maupun karena sebab-sebab alamiah,
yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (abortus
spontanus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena
didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu
penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus
digugurkan (aborsi provokatus therapeutics) atau bisa disebut aborsi therapeuticus.
Pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan
dikaitkan dengan keyakinan yang dipegang teguh oleh masyarakat, terdapat
penafsiran yang berbeda mengenai aborsi. Jika menilik apa yang terdapat Undang
Undang tentang Kesehatan, aborsi dapat dilakukan namun dengan syarat-syarat
tertentu, hal tersebut tentunya berbeda dengan pandangan yang terdapat dalam
Undang-Undang tentang HAM, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan juga
dalam hukum islam itu sendiri.
Berdasarkan penelitian ini, timbulnya perbedaan terhadap aborsi dalam UUK,
KUHP dan HAM merupakan konsekuensi logis akibat dari sudut pandang dan nilai
filosofis dari masing-masing norma hukum tersebut yang berbeda. UUK dan KUHP
merupakan aturan perundangundangan dalam bingkai hukum pidana sebagai hukum
publik yang berusaha menciptakan ketertiban umum dengan membuat aturan hukum
yang dapat mencegah terjadinya tindakan pidana yang dinilai tidak sesuai dengan
norma hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan HAM merupakan norma hukum
yang berlandaskan pada hukum kodrati manusia yang harus dipelihara karena dinilai
sebagai sesuatu yang melekat (inheren) dengan eksistensi manusia dalam hal ini
wanita. Etika kedokteran memang sudah tidak mengizinkan para dokter di Indonesia
untuk melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis dan rumusan kode
etik.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Abortus merupakan salah satu permasalahan dilema etik dalam keperawatan.
Dalam mengambil keputusan pada kasus dilema etik, perawat harus
mempertimbangkan aspek medis, aspek agama, aspek sosial budaya dan aspek
hukum. Aborsi secara umum dapat diartiakan sebagai penghentian kehamilan secara
spontan.
Menurut medis, Aborsi dibagi menjadi dua yaitu abortus spontan
(keguguran/miscarriage) dan Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan).
Aborsi Provocatus ini dibagi menjadi dua, yaitu Abortus Provocatus Therapeuticum
dan Abortus Provocatus Criminalis.
Bila aborsi dipandang dari berbagai aspek :
a. Abortus spontan tidak menentang dari aspek medis, agama, hukum dan sosial
budaya. Karena aborsi ini terjadi secara langsung tanpa ada kesengajaan dari
pelaku dan tindakan medis.
b. Abortus provocatus dibedakan menjadi 2:
 Abortus Provocatus Therapeuticum diperbolehkan dalam medis, agama
maupun hukum. Hal ini dikarenakan bertujuan untuk kepentingan medis
dan terapi serta pengobatan.
 Abortus Provocatus Criminalis tidak diperbolehkan dari semua aspek. Hal
ini sudah jelas karena termasuk tindakan kriminal yang bertentangan
dengan HAM, agama serta medis

B. Saran
Bagi tenaga kesehatan terutama perawat hendaknya mempertimbangkan
secara matang dalam pengambilan keputusan terkait masalah dilema etik dalam hal
ini aborsi dan dapat memberikan informasi yang lengkap terhadap pasien yang akan
melakukan aborsi.

DAFTAR PUSTAKA

Calvert C, Owolabi OO, Yeung F, Pittrof R, Ganatra B, Tunçalp Ö, Adler AJ, Filippi V. The
magnitude and severity of abortion-related morbidity in settings with limited access to
abortion services: a systematic review and meta-regression. BMJ Glob
Health. 2018;3(3): e000692.

Fauziyah, Y. & Triwibiwo, C. (2013). Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Mohamad Ismail, M. F., Abdullahi Hashi, A., bin Nurumal, M. S., & bin Md Isa, M. L.
(2018). Islamic moral judgement on abortion and its nursing applications: expository
analysis. Enfermeria Clinica, 28, 212–216. https://doi.org/10.1016/S1130-
8621(18)30070-6
Notoatmodjo, S. (2010). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sajadi-Ernazarova KR, Martinez CL, Sapkota R. Abortion Complications (Nursing). In:


StatPearls. StatPearls Publishing, Treasure Island (FL); 2021. PMID: 33760559.
Soge, P. (2010). Hukum Aborsi: Tinjauan Politik Hukum Pidana Terhadap Perkembangan
Hukum Aborsi di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Upadhyay UD, Johns NE, Barron R, Cartwright AF, Tapé C, Mierjeski A, McGregor AJ.
Abortion-related emergency department visits in the United States: An analysis of a
national emergency department sample. BMC Med. 2018 Jun 14;16(1):88.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi;

Istibsjaroh. Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam


Perspektif Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007;

Khoiruddin Nasution. Pandangan Islam tentang Aborsi. Musawa: Jurnal Studi


Gender dan Islam, vol. 2, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003;

Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa


Kini. Jakarta: Kalam Mulia, 2005;

M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum


Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998;

Yurnalis Uddin, et.al. Reinterpretasi Hukum Islam tentang Aborsi. Jakarta:


Penerbit Universitas Yarsi, 2006.

Anda mungkin juga menyukai