Anda di halaman 1dari 27

Etika, Disiplin, dan Hukum Kedokteran dalam Kasus Aborsi

Laurensius Raven Kojansow


10201121 / E7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
yolaw123@ymail.com

Pendahuluan
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa
penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan
medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini
adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
Agar setiap dokter dapat memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu
dibuatlah suatu kode etik. Kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman
etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau
tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik
merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu
kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam
standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk
memberikan pengabdian kepada masyarakat. Nilai professional dapat disebut juga dengan
istilah asas etis. Chung (1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu menghargai harkat dan
martabat, peduli dan bertanggung jawab, integritas dalam hubungan, tanggung jawab
terhadap masyarakat. Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai
perlindungan dan pengembangan bagi profesi.1

1
Kasus
Dr. P seorang ahli obgyn yang berpengalaman, baru saja akan menyelesaikan tugas jaga
malamnya di sebuah rumah sakit sedang. Seorang wanita muda dibawa ke RS oleh ibunya,
yang langsung pergi setelah berbicara denga suster jaga bahwa dia harus menjaga anak-
anaknya yang lain. Si pasien mengalami perdarahan vaginal dan sangat kesakitan. dr. P
melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran
atau mencoba melakukan aborsi. dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan
mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia opname di
rumah sakit sampai keadaaanya benar-benar baik. dr. Q datang menggantikan dr. P, yang
pulang tanpa berbicara langsung kepada pasien.

Hipotesis
Dr. P melakukan pelanggaran terhadap etika, disiplin, dan hukum kedokteran.

Pembahasan
Aspek Medis
Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah abortus, yaitu menggugurkan kandungan,
yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi
bahwa aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat
janin kurang dari 1000 gram.
Secara garis besar, Aborsi dapat kita bagi menjadi:
1. Abortus spontan adalah keadaan di mana gugurnya kandungan seorang wanita yang
dapat disebabkan karena adanya kelainan dari mudigah atau fetus maupun adanya
penyakit pada ibu. Diperkirakan antara 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan
abortus secara spontan, dan secara yuridis tidak membawa implikasi apa-apa. Aborsi
Spontan ini masih terdiri dari berbagai macam tahap yakni:
a) Abortus Imminens. Abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vaginam,
sedangkan jalan lahir masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik di dalam
rahim. Abortus imminens terjadinya pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana
hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
b) Abortus Inkomplitus. Secara sederhana bisa disebut Aborsi tak lengkap, artinya
sudah terjadi pengeluaran hasil konsepsi tetapi tidak komplit.

2
c) Abortus Komplitus. Disebut juga Aborsi lengkap, yakni pengeluaran seluruh hasil
konsepsi dari rahim pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
d) Abortus Insipiens. Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks
yang telah mendatar, sedangkan hasil konsepsi masih berada lengkap di dalam
rahim.
e) Missed Abortion. Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah
meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih dalam kandungan.
f) Abortus Habitualis. Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut turut atau
lebih.
2. Aborsi Provokatus (sengaja) masih terbagi dua bagian kategori besar yakni :
a) Abortus provocatus medicinalis atau abortus theurapeticus
Yaitu penghentian kehamilan dengan tujuan agar kesehatan si-ibu baik agar
nyawanya dapat diselamatkan. Abortus yang dilakukan atas dasar pengobatan
(indikasi medis), biasanya baru dikerjakan bila kehamilan mengganggu kesehatan
atau membahayakan nyawa si ibu, misalnya bila si ibu menderita kanker atau
penyakit lain yang akan mendatangkan bahaya maut bila kehamilan tidak dihentikan.
Dengan adanya kemajuan di dalam dunia kedokteran, khususnya kemajuan
pengobatan maka kriteria penyakit yang membahayakan atau dapat menyebabkan
kematian si ibu akan selalu mengalami perubahan, hal mana tentunya akan memberi
pengaruh didalam penyidikan khususnya perundang-undangan pada umumnya,
demikian pula dengan definisi sehat menurut WHO dimana selain sehat dalam arti
jasmani/fisik juga termasuk sehat dalam arti kata rohani dan keadaan sosial-ekonomi
dari si ibu. Dengan demikian didalam menghadapi kasus semacam ini penyidik harus
memahami permasalahan, bila perlu penyidik meminta bantuan kepada organisasi
proteksi yang bersangkutan.
b) Abortus provocatus criminalis
Yaitu tindakan abortus yang tidak mempunyai alasan medis yang dapat
dipertanggungjawabkan atau tanpa mempunyai arti medis yang bermakna. Jelas
tindakan penguguran kandungan di sini semata-mata untuk tujuan yang tidak baik dan
melawan hukum. Tindakan abortus tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis,
dan dilakukan hanya untuk kepentingan si-pelaku, walaupun ada kepentingan juga
dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan jenis ini sulit untuk melacaknya
oleh karena kedua belah pihak menginginkan agar abortus dapat terlaksana dengan
3
baik (crime without victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi yang
dikandung).2
Indikasi medis melakukan tindakan abortus :
 Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus
menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion)
 Mola Hidatidosa atau hidramnion akut
 Kelainan bawaan (trisomi 13,18)
 Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis
 Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan
adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya
pada tubuh seperti kanker payudara
 Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi
 Telah berulang kali mengalami operasi caesar
 Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung
organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif,
toksemia gravidarum yang berat
 Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai
komplikasi vaskuler, hipertiroid, dll
 Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat
 Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
 Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti
ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan psikiater.

Resiko Aborsi
Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
A. Resiko kesehatan dan keselamatan fisik
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang
akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang
ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
 Kematian mendadak karena pendarahan hebat
 Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
 Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
 Rahim yang sobek (Uterine Perforation)

4
 Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya
 Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
 Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
 Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
 Kanker hati (Liver Cancer)
 Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
 Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)Infeksi
rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
 Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).2

B. Resiko kesehatan mental


Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat
terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi
sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS, misalnya depresi,
frustasi, ingin bunuh diri dsb. Para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan
bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.2

Hubungan Dokter Pasien


Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan
vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father
knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul
bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya
membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia
merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan
memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien
dan peranannya lebih penting daripada pasien.3
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya
hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab
antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan
mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak

5
antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan
hubungan hukum.4
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga
pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu
persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini
dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko
yang mungkin terjadi. Di Indonesia, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah
memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia No.585/Menkes/1989. Persoalan ini telah diatur secara hukum, sehingga ada
kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.3,4
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu
cirri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata. Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien
dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera
mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi
bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat,
sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak
pasien. Dalam keadaan seperti ini, dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan
zaakwaarneming sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk
hubungan hukum yang timbul karena adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu,
melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat.
Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi
seorang dokter hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala
kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan pasien.
Sedangkan pasien berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter
termasuk memberikan imbalan jasa.3,4
Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari
saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi
justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement)
atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang
menyimpulkan kesediaan, seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut,
menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan
6
terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan
berkontrak.3
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan
4 (empat) syarat sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich
verbinden). Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya
kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan
pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di
sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian
terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah
tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit
maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang
sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.5
2. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te
gaan). Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan
adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh
undang-undang. Hal ini didasarkan pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Menurut pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa
setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang-
orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,orang
perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian teretentu.5
3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp).Kedua belah pihak harus mengetahui
secara pasti dan jelas apa yang diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam
hubungan dokter-pasien, objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter
terhadap pasiennya , bukanlah sembuh atau tidaknya pasien.6
4. Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak). Suatu sebab yang halal yaitu suatu
sebab yang diizinkan atau lazim, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan,
ketertiban umum atau masyarakat. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu
7
perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau sebab yang
tidak diizinkan, apabila dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum”.6
Persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada
hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi didalam
praktik dokter.Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti
sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit persyaratan informed consent
adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya
senantiasa diperoleh persetujuan pasien yang bersangkutan. Didalam Pasal 2 Peraturan
Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa semua tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud
diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentanng perlunya tindakan medis
yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.7
Persetujuan tindakan medis bisa dibicarakan dari dua sudut, pertama membicarakan
persetujuan tindakan medis dari dari pengertian umum dan kedua membicarakan persetujuan
tindakan medis dari pengertian khusus. Dalam pelayanan kesehatan sering pengeertian kedua
lebih dikenal yaitu persetujuan tindakan medis yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin
yang didapat dari pasien atau lebih sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan
operatif atau tindakan invasive yang biasanya mempunyai risiko. Oleh karena itu dulu
persetujuan tindakan medis jenis ini sering disebut surat izin operasi, surat persetujuan pasien,
surat perjanjian dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh Rumah Sakit atau Dokter yang
merancang surat persetujuan atau surat izin operasi ini.7 Dari pandangan dokter atau rumah
sakit tujuan dari surat ini adalah agar pasien atau keluarga pasien mengetahui bahwa operasi
dan tindakan medis ini harus ditempuh dan dokter telah diberi izin untuk melakukan tindakan
tersebut.3
Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka
barulah dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka medic
lain yang mengandung risiko. Sebagai lanjutan kepada pasien akan dimintakan untuk
menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti persetujuannya. Harus diadakan
perbedaan antara:6
a. Persetujuan atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan
pasien berdialog dan memperoleh kesepakata, dan

8
b. Penandatanganan formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan
pelaksanaan kelanjutan dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah
diperoleh pada waktu dokter memberikan penjelasanny.
Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan
sebagai berikut:3
 Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh
dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan),
 Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak
dinginkan yang mungkin timbul,
 Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien,
 Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung,
 Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa
adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan
lembaganya.
 Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis
tertentu (percobaan) tersebut.
Pernyataan tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk
memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan persetujuannya.
Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika pasien menyangkal, pasien
harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi. Namun jika hanya ditandatangani saja
oleh pasien tanpa diberikan informasi yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik
kertas itu secara yuridis tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien
dianggap belum “informed” sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang
sebenarnya. Dengan perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien sebagai
mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut. Ada dua bentuk persetujuan
tindakan medis yaitu:3
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
2. Express Consent (dinyatakan)
Implied consent umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap
persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan atau diberikan pasien.
Misalnya kalau dokter mau mengatakan mau menginjeksi pasien, dia menyingsingkan lengan
baju atau menurunkan celananya. Express Consent dintyatakan secara ;lisan dan dapat pula

9
dinyatakan secara tertulis dalam tindakan medis invasive dan mengendung risiko, dokter
sebaiknya mendpatkan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Sebetulnya inilah yang
umum dikenal di rumah sakit surat izin operasi.
Hal lain yang perlu diketahui adalah informasi atau penjelasan apa sebaiknya yang
disampaikan kepada pasien sebelum tindakan medis dilakukan. Dalam PermenKes tentang
persetujuan tindakan medis hal ini dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikannya kepada
pasien diminta atau tidak diminta. Artinya harus disampaikan, informasi itu meliputi :3
1.Diagnose
2.Terapi dan kemungkinan alternative terapi lain
3.Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya
4.Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain misalnya gatal-gtal)
5.Risiko
6.Keuntungan terapi
7.Prognosa
Berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan tentang persetujuan tindakan medis
maka yang menadatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21
tahun atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian
tindakan medis yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan
oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarganya. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian
terhadap persiapan mental pasien untuk menerima penjelasan tindakan opersi dan tindakan
medis ynang invasive tadi serta keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga
beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien.
Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa yang
menadatanganinya adalah orangtua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak
sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada
dalam keadaan gawat atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak
diperlukan persetujuan dari siapapun (pasal 11 BAB IV PerMenKes No.585).Mengenai saksi
untuk keamanan sebaiknya dalam persetujuan tindakan medis dari kalangan keluarga pasien
dan dari kalangan rumah sakit turut serta menadatangani persetujuan ini. Mengenai
banyaknya saksi tidak terdapat pedoman, begitu pula dengan hubungan atau kedudukan saksi.
Dalam konsep yang diajukan, jumlah saksi sebanyak 2 orang dengan pertimbangan satu
mewakili pihak pasien dan satu lagi mewakili pihak dokter atau rumah sakit.6
Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala
kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh pasien tersebut,
10
sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga
dan bersifat negatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak
boleh bersifat memperdaya menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan
membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi
diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri
yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang
akan dilakukan.3
Lagipula, dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan
terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan
informasi. Ada sebagian dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana
yang dapat membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek.
Anggapan seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah
lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan
standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika pelaksanaannya tidak
sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.Lagi
pula dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi
diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan
informasi.3
Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama dokter, memang
merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi jasa. Hubungan antara dokter dan
pasien pada umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Namun perlu
disadari bahwa dokter tidak bisa disamakan dengan pemberi/penjualan jasa pada umumnya.
Hubungan ini terjadi pada saat pasien mendatangi dokter/pada saat pasien bertemu dengan
dokter dan dokter pun memberikan pelayanan maka sejak itulah terjadi suatu hubungan
hukum.
Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu perikatan berusaha
(Inspanningsverbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya dokter berusaha untuk
menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak
boleh dan tidak mungkin dapat memberikan jaminan/ garansi kepada pasiennya. Dokter juga
tidak dapat dipersalahkan begitu saja apbila hasil usahanya itu tidak sesuai dengan yang
diharapkan, sepanjang dalam melakukannya dokter telah mematuhi standar profesi dan
menghormati hak-hak pasien.

11
Penentuan berakhirnya hubungan dokter-pasien dilakukan dengan beberapa cara:7
1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak
diperlukan lagi pengobatan, sehingga tidak ada manfaatnya lagi pasien untuk
meneruskan pengobatannya. Penyembuhannya tidak perlu sampai total tetapi
sampai dianggap bahwa keadaan pasien tidak memerlukan lagi pelayanan medik.
Penetuan apakah pasien sudah tidak memerlukan pengobatan lagi ditentukan oleh
dokter setelah mengevaluasi keadaan pasien. Mengakhiri secara prematur dari
pemberian pelayanan pengobatan sementara pasien masih memerlukannya bisa
mengakibatkan tuduhan terhadap penelantaran.
2. Dokter mengundurkan diri, dengan syarat pasien menyetujui pengunduran diri
tersebut, kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan, sehingga dia
dapat memperoleh pengobatan dari dokter lain, dan jika dokter tersebut
merekomendasikan pasien kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk
menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.
3. Pengakhiran oleh pasien
4. Meninggalnya sang pasien
5. Dokter meninggal atau tidak mampu lagi menjalani profesinya
6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti yang ditentukan dalam kontrak.
7. Di dalan kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan
sudah datang.
8. Lewatnya jangka waktu.
9. Persetujuan kedua belah pihak.

Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien


Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum
hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut:4
1. Hak pasien atas perawatan
2. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien
4. Hak Informasi
5. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan

12
9. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights.
10. Hak pasien menggugat atau menuntut
11. Hak pasien mengenai bantuan hukum
12. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau
ahlinya.
Bersamaan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban
secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara
kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang
merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan
adalah sebagai berikut:4
1. Kewajiban memberikan informasi medis
2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
3. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada kesehatan
4. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan
dokter atau tenaga kesehatan
5. Kewajiban memberikan imbalan jasa
6. Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.6
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi
para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak
dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut:4
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari
pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada
pasien.
3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi
terapeutik
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan
yang diberikannya.
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dari pasien atau keluarganya.
Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan
yaitu sebagai berikut:
1. kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, yaitu
dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut
ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman.
13
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia atas kesehatan
pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.
3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau keluarganya tentang
tindakan medis yang dilakukannya dan risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan
medis tersebut.
4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang mempunyai
keahlian/kemampuan yang lebih baik
5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas
perikemanusiaan.

Aspek Etika
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis
yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada
niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang
dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk
menyembuhkan atau menolong pasien. Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari
seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik
adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983.3
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International
Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-
undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia
yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,
kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54
Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu juga
sebaliknya. Pada kasus abortus provokatus kode etik yang dilanggar berupa KODEKI Bab II
butir 7d yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani”.3
Contoh pelanggaran etik murni antara lain menarik imbalan yang tidak wajar atau
menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi, mengambil alih pasien
tanpa persetujuan sejawatnya, memuji diri sendiri di depan pasien, tidak pernah mengikuti
pendidikan kedokteran yang berkesinambungan, dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
14
Contoh pelanggaran etikolegal adalah pelayanan dokter di bawah standar, menerbitkan surat
keterangan palsu, membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter, abortus provokatus.3

Aspek Disiplin Medis


Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran :5
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, tenaga medik harus bekerja dalam
batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakkan diagnosis maupun dalam
penatalaksanaan pasien
2. Tidak merujuk pasien kepada tenaga medik lain yang memiliki kompetensi sesuai.
a. Dalam menangani penyakit atau kondisi pasien diluar kompetensinya (karena
keterbatasan pengetahuan, ketrampilan ataupun peralatan yang tersedia), maka
dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau
dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana pelayanan
kesehatan lain yang lebih sesuai.
b. Upaya perujukan tidak dilakukan pada keadaan-keadaan antara lain :
 Sifat sakit pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk
 Keberadaan tenaga medik lain dan atau sarana kesehatan yang lebih
tepat sulit dijangkau
 Atas kehendak pasien
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
a. Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur
kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan
ruang lingkup ketrampilan mereka.
b. Dokter harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian
memiliki kompetensi untuk itu.
c. Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut;
a. Bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat
menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi
sama dan memiliki SIP.

15
b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu
sehingga tidak memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang
memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan dokter/dokter gigi
pengganti lainnya.
c. SIP dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus
digantikan.
d. Ketidakhadiran dokter bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi
pengganti pada saat dokter berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada
pasien.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;
a. Dalam melaksanakan praktik, tenaga medik yang mengalami gangguan
kesehatan fisik atau mental tertentu dapat dinyatakan tidak kompeten (unfit to
practice) karena dapat membahayakan pasien.
b. Dokter bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk kembali melakukan praktik
kedokteran/kedokteran gigi bilamana kesehatan fisik maupun mentalnya telah
pulih untuk praktik (fit to practice).
c. Pernyatakan layak atau tidak layak untuk melaksanakan praktik kedokteran
dilakukan oleh “komite kesehatan” yang dibentuk KKI. (diskusi dan usulan
utk KKI)
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat,
hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan
penunjang diagnostik
b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien.
c. Tindakan dan pengobatan secara professional
d. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi
kedokteran.
e. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan

16
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien
a. Dokter atau dokter gigi melakukan pemeriksaan atau pemberian terapi,
ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien.
b. Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani pasien
dari segi biaya maupun kenyamanan dan bahkan dapat menimbulkan bahaya
bagi pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to
information), dan oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan
bahasa yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi
tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan
meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik,
alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang
mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan
yang akan dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya
kematian pasien, kecuali atas kehendak pasien
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya.
a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya
(well informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya
sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau
menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan dokter kepadanya.
b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan
persetujuan (otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana
pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau
keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan
oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung)
atau wali atau pengampunya (proxy).

17
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara
tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap
tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan
tertulis.
d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak
memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau
mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan darurat, tindakan
medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.
e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan
harus dari pihak suami/istri.
f. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik (antara lain
imunisasi massal, wabah dan lain-lain) tidak diperlukan persetujuan medis.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam
medik secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka
penyimpanan rekam medik merupakan tanggung jawab sarana pelayanan
kesehatan yang bersangkutan
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan etika profesi
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik
yang mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang
mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri dan atau keluarganya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan etika profesi.
a. Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan
mengakhiri kehidupan manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah
kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran, juga
bertentangan dengan aturan hukum pidana.
18
b. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran
kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA)
ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya,
dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi tetap memberikan
perawatan (ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan
atau teknologi yang belum diterima atau diluar tatacara praktik kedokteran yang
layak.
a. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter gigi
wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara praktik
kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran.
b. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui penelitian /
uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan manusia sebagai subjek
penelitian tanpa persetujuan etik (ethical clearance).
Dalam praktik kedokteran dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau klien
sebagai subjek penelitian asal mendapat ethical clearance dari komisi etik penelitian.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.
a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang
mendasar bagi setiap manusia, khususnya bagi dokter atau dokter gigi di
sarana pelayanan kesehatan.
b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau
apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau
karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan
tertentu.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
a. Tugas profesional medik adalah melakukan pelayanan kesehatan terhadap
pasien secara tuntas.

19
b. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter untuk menolak atau mengakhiri
pelayanan kepada pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) :
 Pasien melakukan intimidasi terhadap dokter/dokter gigi
 Pasien melakukan kekerasan terhadap dokter/dokter gigi
 Pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa
alasan.Dalam hal diatas dokter wajib memberitahukan secara lisan
atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin kelangsungan
pengobatan pasien dengan cara merujuk dan menyertakan keterangan
medisnya.
c. Dokter tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan dokter
pasien terapeutik semata-mata karena keluhan pasien (complaint), alasan
finansial, suku, ras, jender, politik, agama dan kepercayaan.
17. Membuka rahasia kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau etika profesi.
a. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila dipandang
perlu untuk menyampaikan informasi tanpa persetujuan pasien atau
keluarga, maka dokter tersebut harus mempunyai alasan pembenaran.
b. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:
 Permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI
 Permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan
 Sesuai dengan peraturan perundang-undangan
18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
a. Profesional medik harus jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan
keterangan medik baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
b. Tenaga medik tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsu.
c. Dalam hal membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter
wajib membaca secara teliti setiap dokumen yang akan ditanda tangani, agar
tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.
19. Turut serta di dalam perbuatan yang termasuk ke dalam tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati.
Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara kesehatan fisik,
mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, seorang
profesional medik tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang
20
bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau pelaksanaan
hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
etika profesi.
Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan perundang-
undangan.
21. Melakukan pelecehan seksual atau tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan
terhadap pasien; Penjelasan: Seorang profesional medik tidak boleh menggunakan
hubungan personal (seperti hubungan seks atau emosional) yang merusak hubungan
dokter – pasien.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
Dalam melaksanakan hubungan dokter-pasien, seorang dokter/dokter gigi hanya
dibenarkan menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi sesuai dengan
kemampuan, kewenangan dan ketentuan perundang-undangan. Penggunaan gelar
dan sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat menyesatkan masyarakat pengguna
jasa pelayanan kesehatan.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari rujukan atau permintaan pemeriksaan atau
pemberian resep obat/ alat kesehatan.
Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter lain/
sarana penunjang lain, atau pembuatan resep/ pemberian obat, seorang dokter/dokter
gigi hanya dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter
tidak dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa diluar ketentuan etika
profesi yang dapat mempengaruhi indepedensi dokter (kick-back atau fee-splitting).
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang bertentangan dengan etika profesi.
Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan informasi
tentang kemampuan/pelayanan seorang dokter/dokter gigi untuk kepentingan
pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya, profesional medik hanya dibenarkan
memberikan informasi yang memenuhi ketentuan umum yakni: sah, patut, jujur,
akurat dan dapat dipercaya.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif
lainnya. Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif
21
lainnya (NAPZA) dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi
sehingga berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medik.
26. Berpraktik dengan menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang
tidak sah.
Seorang dokter/dokter gigi yang diduga memiliki STR dan atau SIP dengan
menggunakan persyaratan yang tidak sah dapat diajukan ke MKDKI. Apabila
terbukti pelanggaran tersebut maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran
Indonesia.
27. Ketidak jujuran dalam bertransaksi dengan pasien dalam memberikan pelayanan
medik.
Dokter/dokter gigi harus jujur meminta imbalan jasa sesuai dengan tindakan yang
dilakukan.
28. Dikenai hukuman pidana yang telah berkekuatan tetap atas perbuatan pidana yang
berkaitan dengan keluhuran/martabat profesi kedokteran atau disiplin profesi atau
etika profesi.
MKDKI dapat memperoleh informasi dari instansi resmi maupun dari media massa.
Berdasarkan hal tersebut KKI secara aktif meminta amar keputusan.

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang- undang No.
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3) adalah :5
a) Pemberian peringatan tertulis
b) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik; dan/atau
c) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin
Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau Rekomendasi pencabutan Surat Tanda
Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamannya;Kewajiban mengikuti pendidikan
atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat
berupa: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan,
magang di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun.

22
Aspek Hukum
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu. Aspek etik seringkali tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat
menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap
etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai
pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.7
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari semakin
tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya
dan lebih asertif, semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai
hasil dari luasnya arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan
kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna,
dan provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri. Praktek kedokteran
berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau
benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Akan tetapi
banyak sekali kelalaian dalam standar profesional yang berlaku umum atau sebuah proses
dimana terjadi kesalahan dalam prosedur dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan
dokter, kesalahan ini dapat berupa kesalahan diagnosa, kesalahan pemberian terapi, maupun
kesalahan dalam hal penanganan pasien dokter, serta pelanggaran atas tugas yang
menyebabkan seseorang menderita kerugian, akan tetapi bukan hanya dirugikan secara
materil, namun yang lebih utama adalah kerugian pada kejiwaan dan mental pasien serta
keluarganya. Hal ini dilakukan oleh seorang profesional ataupun bawahannya, agen atas
nama klien atau pasien yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien. Hal seperti ini
kita sebut sebagai Malpraktik.1
Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang
keputusanya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi
profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh seorang dokter yang
kompeten diinstalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut
disetujui oleh ibu hamil bersangkutan, suami, atau keluarga (Deklarasi Oslo 1970). Aborsi yang
ilegal atau tanpa indikasi medis adalah salah satu contoh dari pelanggaran sumpah dan kode
etik kedokteran di Indonesia. Hal ini juga tertulis dalam lafal sumpah dokter yang berbunyi
23
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. Banyak negara yang
tidak mengizinkan aborsi ilegal, seperti Indonesia, karena aborsi ilegal adalah tindakan
penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20
minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan
darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu.
Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat Indonesia.
Namun terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana
diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan
eklampsia.Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah:3
1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau
menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang
kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal.
2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat
secara fisik.
3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil
harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil
hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung,
ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya.
4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih
belum dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur
hamil, harus membangun suatu keluarga yang prematur.
5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang
menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam
nyawa ibu.
6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, ‘perempuan simpanan’,
pasangan yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang
salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil.14
Abortus buatan legal, yaitu abortus buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, yakni harus
memenuhi hal sebagai berikut :
(1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan
24
dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu.
(2) a. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan
janinnya terancam bahaya maut
b. Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli
kandungan seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
c. Hak utama untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali
dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat
diminta dari semua atau keluarganya.
d. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara lain
mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,tenaga
kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk persetujuan, sarana kesehatan
yang ditunjuk.
Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu :
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi
adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan
dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
Ketentuan Hukumnya dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut:2
 Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

 Pasal 347 :

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

25
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

 Pasal 348 :

(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.

 Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Kesimpulan
Pada kasus di atas, pasien wanita muda tersebut melanggar KUHP Bab XIX pasal 346
yang berbunyi “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
sesuai dengan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar
hukum. Dalam masalah tindakan medis dilatasi kuretase yang dilakukan oleh dokter, maka
dokter tidak dianggap bersalah sebab sesuai dengan Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992
pasal 15 ayat 3 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan
tindakan medis tertentu (aborsi). Permasalahan tidak adanya persetujuan / inform consent,
dokter juga tidak dapat dinyatakan bersalah terkait pasal 11 BAB IV Peraturan Menteri
Kesehatan No.585 yang menyatakan Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan
serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat
atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari
siapapun.
Namun, dalam segi etika dan disiplin kedokteran dokter P dianggap tidak profesional
karena menyalahi ikatan antara dokter-pasien dengan tidak melanjutkan pemberian pelayanan
dan keterangan yang cukup baik kepada pasien maupun kepada dokter pengganti yang
merupakan pelanggaran kewajiban dokter sehingga tidak terpenuhinya hak-hak pasien.

26
Daftar Pustaka
1. Nasution BJ.Hukum kesehatan pertanggungjawaban dokter.Jakarta:Rineka
Cipta;2005.h.11-35
2. Chrisdiono M dan Achadiat. Dinamika etika dan hukum kedokteran dalam tantangan
zaman.Jakarta:EGC;2006.h.11-31.
3. Amir A. Bunga rampai hukum kedokteran.Jakarta:Widya Medika;1997.h.30-4.
4. Gunawandi J. Persetujuan tindakan medis ( informed consent).Pasien, Dokter, dan
Hukum.Jakarta: FK UI; 2007.h.2, 24-6.
5. Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien.
Jakarta: Diadit Media; 2005.h.10.
6. Hanafiah JM. Etika kedokteran dan hukum kesehatan edisi 4.Jakarta: EGC;
2008.h.25-30
7. Prodjodikoro W.Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia.Bandung: Refika Aditama;
2008.h.21-9

27

Anda mungkin juga menyukai