Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

AKNE VULGARIS

Disusun Oleh:
Ferdy Bahasuan
112017096

Pembimbing:
dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S. SAMSOERI MERTOJOSO, SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 12 AGUSTUS - 14 SEPTEMBER 2019
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dokter Pembimbing Referat dari :

Nama : Ferdy Bahasuan


NIM :112017096

Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Judul : Akne Vulgaris

Dokter Pembimbing : dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Surabaya, 17 Agustus 2019


Dosen Pembimbing,

(dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK)

2
I. PENDAHULUAN
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai dengan
adanya komedo, papul, pustul, dan kista. Predileksi akne vulgaris pada daerah-daerah
wajah, bahu bagian atas, dada, dan punggung.1 Akne pada pada dasarnya merupakan
penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi pada remaja dengan beberapa derajat
keparahan. Dimana didapatkan frekuensi yang lebih besar pada usia antara 15-18 tahun
pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya, involusi penyakit terjadi sebelum usia 25
tahun.2
Akne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum
diketahui secara pasti. Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan, antara
lain: genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan,
keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, pengaruh musim, infeksi bakteri
(Propionibacterium Aknes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.3
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne yakni,
peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan peradangan
(inflamasi).2,3 Tidak terdapat sistem grading yang seragam dan terstandarisasi untuk
beratnya akne yang diderita. Akne pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tipe
(komedoal/papular, pustular/nodulokistik) dan atau beratnya penyakit
(ringan/sedang/sedang-berat/berat). Lesi kulit dapat digambarkan sebagai inflamasi dan
non-inflamasi.4
Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan tes laboratorium. Diagnosis banding akne vulgaris antara lain erupsi
akneiformis, rosasea, dan dermatitis perioral. 2,5 Penatalaksanaan akne vulgaris berupa
terapi sistemik, topikal, fisik, dan diet. Pada umumnya prognosis dari akne ini cukup baik,
pengobatan sebaiknya dimulai pada awal onset munculnya akne dan cukup agresif untuk
menghindari sekuele yang bersifat permanen.2,6,7

II. EPIDEMIOLOGI

Akne vulgaris pertama kali dipublikasikan pada tahun 1931 oleh Bloch. Pada saat
itu dinyatakan bahwa insiden terjadinya akne vulgaris lebih banyak pada anak perempuan
dibanding anak laki-laki dengan usia sekitar 13% pada anak usia 6 tahun dan 32% pada
anak usia 7 tahun. Sejak saat itu tidak ada evolusi yang signifikan mengenai usia

3
timbulnya jerawat. Menurut studi yang berbeda dari literatur berbagai negara, usia awal
rata-rata 11 tahun pada anak perempuan dan 12 tahun pada anak laki-laki.6
Akne pada pada dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi
pada remaja dengan beberapa derajat akne. Hal tersebut terjadi dengan frekuensi yang
lebih besar pada usia antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya,
involusi penyakit terjadi sebelum usia 25 tahun. Bagaimanpun, terdapat variabilitas yang
besar pada usia saat onset dan resolusi 12% perempuan dan 3% laki-laki akan berlanjut
secara klinis sampai usia 44 tahun. Sebagian kecil akan menjadi papul dan nodul
inflamasi sampai usia dewasa akhir.8 Akne vulgaris derajat ringan biasanya terjadi pada
bayi yang terjadi oleh karena stimulasi folikular oleh kelenjar androgen adrenal yang
berlanjut pada periode neonatal. Akne juga biasanya bermanifestasi awal pada pubertas,
dengan komedo sebagai lesi predominan pada pasien yang sangat muda. Jumlah kasus
terbanyak terjadi pada periode pertengahan sampai akhir remaja, setelah itu insidennya
akan menurun. Namun pada wanita dapat terus berlanjut sampai lebih dari dekade ketiga. 2

III. ETIOPATOGENESIS

Akne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum
diketahui secara jelas, namun terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan, antara
lain: genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan,
keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium
Aknes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.3

1. Sebum
Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne. Pada akne terjadi
peningkatan sebum. Sebum yang meningkat tidak hanya terjadi pada akne, tetapi
dapat juga pada penyakit parkinson dan akromegali.3
2. Bakteri
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah Propionibacterium
Aknes. Bakteri ini merupakan bakteri komensal pada kulit. Pada keadaan patologik,
bakteri ini membentuk koloni pada duktus pilosebasea yang menstimulasi trigliserida
untuk melepas asam lemak bebas, memproduksi substansi kemotaktik pada sel-sel
inflamasi, dan menginduksi duktus epitel untuk mensekresi sitokin pro-inflamasi.3

4
3. Herediter
Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar
palit (glandula sebasea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne,
kemungkinan besar anaknya akan menderita akne.3
4. Hormon
Hormon androgen berasal dari testis, ovarium, dan kelenjar adrenal. Hormon
ini menyebabkan kelenjar sebasea bertambah besar dan produksi sebum meningkat
pada remaja laki-laki dan perempuan.1
Hormon androgen merupakan stimulus utama pada sekresi sebum oleh
kelenjar sebasea. Pada penderita akne, kelenjar sebasea berespon sangat cepat pada
peningkatan kadar hormon ini di atas normal. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan aktivitas 5α-reductase yang lebih tinggi pada kelenjar sebasea dibanding
kelenjar lain dalam tubuh.3
5. Diet
Pada beberapa pasien, akne dapat diperburuk oleh beberapa jenis makanan,
seperti coklat, kacang, kopi, dan minuman ringan.1
6. Iklim
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada
musim dingin, dan dapat pula meningkat oleh paparan cahaya matahari langsung. 1
7. Faktor iatrogenik
Kortikosteroid baik topikal maupun sistemik dapat meningkatkan keratinisasi
duktus polisebasea. Androgen, gonadotropin, dan kortikotropin dapat menginduksi
akne pada dewasa muda. Kontrasepsi oral dapat pula menginduksi terjadinya akne. 1

Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan


kadang-kadang masih kontroversial. Ada empat hal penting yang berhubungan dengan
terjadinya akne, yakni peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri,
dan peradangan (inflamasi).2
1. Peningkatan sekresi sebum
Faktor pertama yang berperan dalam patogenesis akne ialah peningkatan
produksi sebum oleh glandula sebacea. Pasien dengan akne akan memproduksi lebih
banyak sebum dibanding yang tidak terkena akne meskipun kualitas sebum pada kedua
kelompok tersebut adalah sama. Salah satu komponen dari sebum yaitu trigliserida
mungkin berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida dipecah menjadi asam lemak
5
bebas oleh P.Aknes, flora normal yang terdapat pada unit pilosebacea. Asam lemak
bebas ini kemudian menyebabkan kolonisasi P.Aknes, mendorong terjadinya inflamasi
dan dapat menjadi komedogenik.1,2
Hormon androgen juga mempengaruhi produksi sebum. Serupa dengan
aktifitasnya pada keratinosit infundibuler follikular, hormon androgen berikatan dan
mempengaruhi aktifitas sebosit. Orang-orang dengan akne memiliki kadar serum
androgen yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak terkena akne. 5α-
reduktase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengubah testosteron menjadi DHT
poten memiliki aktifitas yang meningkat pada bagian tubuh yang menjadi predileksi
timbulnya akne yaitu pada wajah, dada, dan punggung.1,2
Peranan estrogen dalam produksi sebum belum diketahui secara pasti. Dosis
estrogen yang diperlukan untuk menurunkan produksi sebum jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme
dimana estrogen mungkin berperan ialah dengan secara langsung melawan efek
androgen dalam glandula sebacea, menghambat produksi androgen dalam jaringan
gonad melalui umpan balik negatif pelepasan hormon gonadotropin, dan meregulasi
gen yang yang menekan pertumbuhan glandula sebacea atau produksi lipid. 2

a b c d
Gambar. 1. Patogenesis Akne: a) Hiperkeratosis primer b) Komedo c) Inflamasi papul
(pustul) d) Nodul

2. Keratinisasi folikel
Hiperproliferasi epidermis follikular menyebabkan pembentukan lesi primer
akne yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut paling atas, yaitu infundibulum menjadi
hiperkeratosis dengan meningkatnya kohesi dari keratinosit. Kelebihan sel dan

6
kekuatan kohesinya menyebabkan pembentukan plug pada ostium follikular. Plug ini
kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terakumulasi di dalam
folikel. Hal tersebut kemudian menyebabkan pelebaran folikel rambut bagian atas, yang
kemudian membentuk mikrokomedo. Stimulus terhadap proliferasi keratinosit dan
peningkatan daya adhesi masih belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang
diduga menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yaitu stimulasi androgen, penurunan
asam linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α.2
Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit follikular untuk
menyebabkan hiperproliferasi. Dihidrotestosteron (DHT) merupakan androgen yang
poten yang memegang peranan terhadap timbulnya akne. 17β-hidroksisteroid
dehidrogenase dan 5α-reduktase merupakan enzim yang berperan untuk mengubah
dehidroepiandrosteron (DHEAS) menjadi DHT. Jika dibandingkan dengan keratinosit
epidermal, keratinosit follikular menunjukkan peningkatan aktifitas 17β-
hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase yang pada akhirnya meningkatkan
produksi DHT. DHT dapat menstimulasi proliferasi keratinosit follikular. Hal lain yang
mendukung peranan androgen dalam patogenesis akne ialah bahwa pada orang dengan
insensitivitas androgen komplet tidak terkena akne.1,2
Proliferasi keratinosit follikular juga diatur dengan adanya asam linoleat. Asam
linoleat merupakan asam lemak esensial pada kulit yang akan menurun pada orang-
orang yang terkena akne. Kuantitas asam linoleat akan kembali normal setelah
penanganan dengan isotretinoin. Kadar asam linoleat yang tidak normal dapat
menyebabkan hiperproliferasi keratinosit follikular dan memproduksi sitokin
proinflamasi. Terdapat asumsi bahwa asam linoleat diproduksi dengan kuantitas yang
tetap tetapi akan mengalami dilusi seiring dengan meningkatnya produksi sebum. IL-1
juga memiliki peranan dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit follikular pada
manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedoe ketika
diberika IL-1. Antagonis reseptor IL-1 dapat menghambat pembentukan mikrokome.2

3. Bakteri
Faktor ketiga yakni bakteri. Propionibacterium Aknes juga memiliki peranan
aktif dalam proses inflamasi yang terjadi. P.Aknes merupakan bakteri gram-positif,
anaerobik, dan mikroaerobik yang terdapat pada folikel sebacea. Remaja dengan akne
memiliki konsentrasi P.Aknes yang lebih tinggi dibanding orang yang normal.

7
Bagaimanapun tidak terdapat korelasi antara jumlah P.Aknes yang terdapat pada
glandula sebacea dan beratnya penyakit yang diderita. 2
Dinding sel P.Aknes mengandung antigen yang menstimulasi perkembangan
antibodi. Pasien akne yang paling berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi pula.
Antibodi propionibacterium meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktifkan
komplemen, yang pada akhirnya mengawali kaskade proses pro-inflamasi. P.Aknes
juga memfalisitasi inflamasi dengan merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat
dengan memproduksi lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaktik.
Disamping itu, P.Aknes tampak menstimulasi regulasi sitokin dengan berikatan dengan
Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel
sebacea. Setelah berikatan dengan Toll-like receptor 2, sitokin proinflamasi seperti IL-
1, IL-8, IL-12, dan TNF-α dilepaskan.2

4. Inflamasi
Pada awalnya telah diduga bahwa inflamasi mengikuti proses pembentukan
komedo, namun terdapat bukti baru bahwa inflamasi dermal sesungguhnya mendahului
pembentukan komedo. Biopsi yang diambil pada kulit yang tidak memiliki komedo dan
cenderung menjadi akne menunjukkan peningkatan inflamasi dermal dibandingkan
dengan kulit normal. Biopsi kulit dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan
aktifitas inflamasi yang jauh lebih hebat.1,2
Mikrokomedo akan meluas menjadi keratin, sebum, dan bakteri yang lebih
terkonsentrasi. Walaupun perluasan ini akan menyebabkan distensi yang
mengakibatkan ruptur dinding follikular. Ekstrusi dari keratin, sebum, dan bakteri ke
dalam dermis mengakibatkan respon inflamasi yang cepat. Tipe sel yang dominan pada
24 jam pertama ruptur komedo adalah limfosit. CD4+ limfosit ditemukan di sekitar unit
pilosebacea dimana sel CD8+ ditemukan pada daerah perivaskuler. Satu sampai dua
hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi sel yang predominan yang mengelilingi
mikorkomedo.2

IV. GEJALA KLINIS

Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik dari folikel pilosebacea yang
memiliki karakteristik komedo, papul, pustul, dan nodul. Komedo merupakan lesi primer
dari akne. Hal tersebut dapat dilihat sebagai papul yang datar atau sedikit meninggi
dengan pembukaan sentral yang melebar berisi keratin hitam (komedo terbuka). Komedo
8
tertutup biasanya berupa papul kekuningan berukuran 1 mm yang membutuhkan
peregangan pada kulit untuk dapat terlihat. Makrokomedo, yang jarang terjadi, dapat
mencapai ukuran 3-4 mm. Papul dan pustul biasanya berukuran 1-5 mm dan disebabkan
oleh inflamasi, oleh sebab itu pasti terdapat eritema dan edema. Bentuk tersebut dapat
membesar dan membentuk nodul dan bergabung membentuk plak yang terindurasi
mengandung traktus sinus dan cairan apakan itu serosaginosa atau pus kekuningan. 7,8,9
Pasien secara umum akan memiliki lesi yang bervariasi. Pada pasien dengan kulit
yang lebih terang, lesi biasanya pecah dengan makula kemerahan sampai keunguan yang
memiliki umur yang lebih pendek. Pada pasien dengan warna kulit yang lebih gelap,
makula hiperpigmentasi akan terlihat dan bertahan sampai beberapa bulan. Skar dari akne
memiliki penampakan yang heterogen. Morofologi yang dibentuk termasuk skar yang
dalam, narrow ice-pick yang terlihat kebanyakan pada dahi dan pipi, lesi canyon-type
atrophic pada wajah, skar papular putih kekuningan pada badan dan dagu, skar tipe
anetoderma pada badan, serta skar hipertrofik dan keloidal yang meninggi pada badan
dan leher. Predileksi akne umunya pada wajah, leher, badan bagian atas, dan lengan atas.
Pada wajah hal tersebut paling sering terjadi pada pipi, dan sebagian kecil pada hidung,
dahi, dan dagu. Telinga dapat terlibat, dengan komedo yang besar pada concha, kista pada
lobus, dan kadang-kadang komedo dan kista pre dan retro-aurikuler. Pada leher
khususnya pada daerah nuchae, lesi kistik yang besar dapat mendominasi. 7
Akne umumnya muncul pada saat pubertas dan seringkali merupakan tanda awal
dari produksi hormon seks yang meningkat. Ketika akne muncul pada usia 8-12 tahun,
yang tampak biasanya berupak komedo yang utamanya muncul pada dahi dan pipi. Hal
tersebut dapat tetap menjadi ringan dalam ekspresinya dengan papul inflamasi yang
kadang-kadang terjadi. Bagaiman pun, sebagaimana kadar hormon meningkat pada usia-
usia pertengahan remaja, pustul dan nodul inflamasi yang lebih berat dapat terjadi yang
dapat menyebar pada tempat lainnya. Laki-laki muda cenderung memiliki kompleks yang
lebih berminyak dan penyebaran penyakit yang lebih berat dibanding perempuan usia
muda. Perempuan dapat mengalami perjalanan penyakit yang berat dari lesi
papulopustular seminggu sebelum mensturasi. Akne juga dapat muncul pada perempuan
usia 20-35 tahun yang belum mendapatkan akne pada saat remaja. Akne ini kebanyakan
bermanifestasi sebagai papul, pustul, dan nodul dalam persisten yang nyeri pada daerah
dagu dan leher bagian atas.7

9
V. DIAGNOSIS

Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisis, dan tes laboratorium. 1,2,4
Berdasarkan anamnesis, akne vulgaris biasanya terjadi pada saat pubertas, tetapi
gejala klinis yang muncul sangatlah bervariasi. Perempuan mungkin memperhatikan
bentuk yang berfluktuasi berdasarkan siklus mensturasinya. Akne fulminan merupakan
subtipe akne yang jarang dan terjadi pada berbagai manifestasi sistemik, termasuk
demam, arthralgia, myalgia, hepatosplenomegaly, dan lesi tulang osteolitik. Pada
pemeriksaan fisis akne non-inflamasi tampak sebagai komedo terbuka dan tertutup. Lesi
inflamasi dimulai dengan adanya mikrokomedo tetapi dapat berkembang menjadi papul,
pustul, nodul, atau kista. Kedua tipe lesi ditemukan pada area dengan glandula sebacea
yang banyak. Tes fungsi endokrin rutin tidak diindikasikan pada sebagian besar pasien
dengan akne. Pada pasien dengan akne dan terdapat bukti hiperandrogenisme, evaluasi
hormonal untuk testeteron bebas, dehidroepiandrostenedion sulfat (DHEA-S), lutenizing
hormone (LH), FSH dapat dilakukan. Tes mikrobiologi rutin tidak perlu pada evaluasi
dan dan penanganan pasien dengan akne. Jika lesi terpusat pada peri oral dan area nasal
dan tidak responsif terhadap penanganan akne konvensional, tes kultur dan sensitivitas
bakteri untuk mengevaluasi follikulitis gram-negatif dapat dilakukan.4
Klasifikasi diagnosis akne vulgaris di Indonesia menggunakan klasifikasi ringan,
sedang, dan berat, yang merupakan klasifikasi menurut Lehmann dkk yang diadopsi dari
2nd Akne Round Table Meeting (South East Asia), Regional Consensus on Akne
Management, 13 Januari 2003, Ho Chi Minh City-Vietnam.
Tabel 1. Derajat Akne
Derajat Lesi
Akne Ringan Komedo <20
Lesi inflamasi <15, atau
Total lesi <30
Akne Sedang Komedo 20-100
Lesi Inflamasi 15-50, atau
Total lesi 30-125
Akne Berat Kista >5, Komedo >100
Lesi Inflamasi >50, atau
Total lesi >125

10
VII. DIAGNOSIS BANDING
Meskipun terdapat satu jenis lesi yang dominan, akne vulgaris didiagnosis dengan
adanya beberapa variasi dari lesi akne (komedo, pustul, papul, dan nodul) yang erdapat
pada wajah, punggung, dan dada. Diagnosis banding akne vulgaris antara lain erupsi
akneiformis, rosasea, dan dermatitis perioral.2,8
1. Erupsi akneiformis
Erupsi akneiformis merupakan akne yang disebabkan oleh induksi obat, seperti
kortikosteroid, Isoniazid, barbiturat, bromida, iodida, difenilhidantoin, dan ACTH.
Klinis erupsi berupa papul di berbagai tempat tanpa komedo, timbul mendadak tanpa
disertai demam.8
2. Rosasea
Rosasea adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui secara pasti,
dengan karakteristik adanya eritema pada sentral wajah dan leher. Penyakit ini terdiri
atas dua komponen klinik, yakni perubahan vaskuler yang terdiri atas eritema
intermiten dan persisten serta erupsi akneiform yang terdiri atas papul, pustul, kista,
dan hiperplasia sebasea. Pada rosasea tidak terdapat hubungan antara eksresi sebum
dengan beratnya gejala rosasea.2,8,10
3. Dermatitis perioral
Perioral dermatitis adalah penyakit kulit dengan karakteristik papul dan pustul
kecil yang terdistribusi pada daerah perioral, dengan predominan di sekitar mulut.
Dermatitis perioral biasanya pada wanita muda, sering ditemukan di sekitar mulut,
namun dapat pula di sekitar hidung dan mata. Etiologinya belum diketahui secara
pasti, namun diduga penyebabnya oleh karena: candida, iritasi pasta gigi berflouride,
dan kontrasepsi oral.2,8,10
Dermatitis perioral erpsi simetris yang terbatas pada area hidung, mult, dan
dagu, yang terdiri atas mikropapul, mikrovesikel, atau papulopustulosa dengan
diameter kurang dari 2 mm. Penyebab pasti belum diketahui, namun terdapat
beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab antara lain faktor hormonal,
emosional, sensitif terhadap kosmetik, pasta gigi berfluoride, agen infektif, dan
kortikosteroid topikal.11,12

VI. PENATALAKSANAAN

Terapi akne vulgaris terdiri atas terapi sistemik, topikal, fisik, operasi dan diet.2,5,6

11
1. Terapi Sistemik
a. Antibiotik oral
Antibiotik oral diindikasikan untuk pasien dengan akne yang masih
meradang. Antibiotik yang diberikan adalah Tetrasiklin (tetrasiklin, doksisiklin,
minosiklin) eritromisin, kotrimoksasole, dan klindamisin. Antibiotik ini
mengurangi peradangan akne dengan menghambat pertumbuhan dari P.Aknes.
Tetrasiklin generasi pertama (tetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin klorida)
merupakan obat yang sering digunakan unutk akne.Obat ini digunakan sebagai
terapi lini pertama karena manfaat dan harganya yang murah, walaupun angka
kejadian resistensinya cukup tinggi. Dalam 6 minggu pengobatan menurunkan
reaksi peradangan 50% dan biasa diberikan dalam dosis 1 gram/hari (500mg
diberikan dalam 2 kali), setelah beberapa bulan dapat diturunkan 500 mg/hari.
Karena absorbsinya dihambat oleh makanan, maka obat ini diberika 1 jam
sebelum makan dengan air untuk absorbs yang optimal. 2,5,13
Alternatif lain, tetrasiklin generasi kedua (doksisiklin) diberikan 100mg-
200mg/ hari dan 50 mg/hari sebagai maintainance dose, (minosiklin) biasanya
diberikan 100mg/hari. Golongan obat ini lebih mahal akan tetapi larut lemak dan
diabsorbsi lebih baik di saluran pencernaan. Eritromisin 1g/hari dapat diberikan
sebagai regimen alternative. Obat ini sama efektifnya dengan tetrasiklin, tapi
menimbulkan resistensi yang tinggi terhadap P.Aknes dan sering dikaitkan
dengan kegagalan terapi. Klindamisin merupakan jenis obat yang sangat efektif,
akan tetapi tidak baik digunakan untuk jangka panjang karena dapat
menimbulkan perimembranous colitis. Kotrimoksasole (sulfometoksasol /
trimetoprim, 160/800mg, dua kali sehari) direkomendasikan untuk pasien dengan
inadequate respon dengan antibiotik yang lain dan untuk pasien dengan gram
negative folikulitis. 2,5,13
b. Isotretionoin oral
Isotretinoin oral merupakan obat sebosupressive paling efektif dan
diberikan untuk akne yang berat. Seperti retinoid lainnya, isotretinoin mngurangi
komedogenesis, mengecilkan ukuran glandula sabaseus hingga 90% dengan
menurunkan proliferasi dari basal sebocyte, menekan produksi sebum invivo dan
menghambat diferensiasi termina sebocyte. Walaupun tidak berefek langsung
terhadap P.Aknes, ini menghambat efek dari produksi sebum dan menurunkan
2,13
jumlah P.Aknes yang mengakibatkan inflamasi. Masih terjadi perdebatan
12
untuk dosis pemeberian (1gram/kgBB/hari atau 50mg/kgBB/hari), walaupun
hasil yang ditunjukkan kedua dosis untuk pengobatan jangka panjang adalah
sama, tapi angka kejadian kambuh dan memerlukan pengobatan ulang sering
didapatkan pada dosis rendah yang diberikan untuk akn yang berat. 2,6
Terapi awal yang diberikan 1gram/kgBB/hari untuk 3 bulan pertama, dan
diturunkan 0.5mg/kgBB/hari, jika memungkinkan dapat diberikan 0.2 untuk 3-9
2,13
bulan tambahan untuk mngoptimalkan hasil terapi. Hasil terapi dari
isotretinoin menunjukkan perbaikan yang lebih cepat untuk lesi inflamasi
dibandingkan dnegan komedo.Pustule menghilang lebih cepat daripada papul
atau nodul, dan lesi yang berlokasi di wajah, lengan atas, dan kaki daripada di
punggung dan badan.2,5
c. Hormonal
Terapi hormonal diindikasikan pada wanita yang tidak mempunyai respon
terhadap terapi konvensional. Mekanisme kerja obat-obat hormonal ini secara
sistemik mengurangi kadar testosteron dan dehidroepiandrosterone, yang pada
akhirnya dapat mengurangi produksi sebum dan mengurangi terbentuknya
komedo. Ada tiga jenis terapi hormonal yang tersedia, yaitu: estrogen dengan
prednisolon, estrogen dengan cyproterone acetate(Diane, Dianette) dan
spironolakton. Terapi hormonal harus diberikan selama 6-12 bulan dan penderita
harus melanjutkan terapi topikal. Seperti halnya antibiotik, tingkat respon obat-
obat hormonal juga lambat, dalam bulan pertama terapi tidak didapatkan
perubahan dan perubahan kadang-kadang baru dapat terlihat pada bulan ke enam
pemakaian. Terapi setelah itu akan terlihat perubahan yang nyata. Perubahan
yang dihasilkan pada penggunaan diane hampir mirip dengan tetrasiklin 1 g/hari.
Diane merupakan kombinasi antara 50 µg ethinylestradiol dan 2 mg cyproterone
acetate. Pada wanita usia tua (> 30 tahun) dengan kontraindikasi relatif terhadap
pil kontrasepsi yang mengandung estrogen, salah satu terapi pilihan adalah
dengan penggunaan spironolakton. Dosis efektif yang diberikan antara 100-200
mg. 2,5
Anti androgen hormone dapat diberikan pada pasien perempuan dengan
target pilosabaseus unit dan menghambat produksi serum 12.5-65%. Jika
keputusan untuk hormonal terapi telah dibuat, ada berbagi macam pilihan
disekitar androgen reseptor blocker dan inhibitors of androgen synthesis pada
ovarium dan glandula adrenal.2
13
2. Topikal
Penggunaan obat-obatan sebagai terapi topikal merupakan satu cara yang
banyak dipilih dalam mengatasi penyakit akne vulgaris. Tujuan diberikan terapi ini
adalah untuk mengurangi jumlah akne yang telah ada, mencegah terbentuknya spot
yang baru dan mencegah terbentuknya scar (bekas jerawat). Terapi topikal diberikan
untuk beberapa bulan atau tahun, tergantung dari tingkat keparahan akne. Obat-
obatan topikal tidak hanya dioleskan pada daerah yang terkena jerawat, tetapi juga
pada daerah disekitarnya.8,13
Ada berbagai macam obat-obatan yang dipakai secara topikal, yaitu:
a. Retinoid topical.
Mekanisme kerja dari retinoid topical:13
- Mengeluarkan komedo yang telah matur.
- Menghambat pembentukan dan jumlah dari mikrokomedo.
- Menghambat reaksi inflamasi.
- Menekan perkembangan mikrokomedo baru yang penting untuk maintenance
terapi.
b. Tretinoin
Tretinoin merupakan retinoid pertama yang diperkenalkan oleh Stuttgen
dan Beer.Mengurangi komedo secara signifikan dan juga lesi peradangan
akne.Hal ini ditunjukkan pada percobaan untuk 12 minggu menurunkan 32-81%
untuk non-inflamnatory lesi dan 17-71% untuk inflammatory lesi. Tretinoin
tersedian dalam galanic formulation: cream 0.025%, 0.1%, gel 0.01%, 0.025%)
dan dalam solution (0.05%). Formula topical gel ini mengandung
polyoprepolymer-2, tretinoin prenetration.11,13
c. Isotretinoin
Isotretinoin tersedia dalam sediaan gel, mempunyai efikasi yang sama
dengan tretinoin, mereduksi komedo antara 48-78% dan inflammatory lesi antar
24 dan 55% setelah 12 minggu pengobatan.13
d. Adapalene
Adapalene adalah generasi ketiga dari retinoid tersedia dalam gel, cream,
atau solution dalam konsentrasi 0.1%.dalam survey yang melibatkan 1000
pasienditunjukkan bahwa adapalen 0.1% gel mempunya efikasi yang sama
dengan tretinoin 0.025%.13

14
e. Tazarotene
Disamping untuk psoriasis, tazarotene juga digunakan sebagai terapi
untuk akne, di US 0.5 dan 0.1% gel atau cream. 13
f. Antibiotik Topikal
Keguanaan paling penting dan mendasar dari antibiotik topical adalah
rendah iritasi, tapi kerugiannya adalah menambah obat-obat yang resisten
terhadap P.Aknes dan S. Aureus.Untuk mengatasi masalah ini, klindamisin dan
eritromisin ditingkatkan konsentrasinya dari 1 menjadi 4% dan formulasi baru
dengan zinc atau kombinasi produk denganBPOs atau retinoid. Antibiotika
topikal banyak digunakan sebagai terapi akne. Mekanisme kerja antibiotik topikal
yang utama adalah sebagai antimikroba. Hal ini telah terbukti pada efek
klindamisin 1% dalam mengurangi jumlah P.Aknes baik dipermukaan atau dalam
saluran kelenjar sebasea.Lebih efektif diberikan pada pustul dan lesi
papulopustular yang kecil. Eritromisin 3% dengan kombinasi benzoil peroksida
5% tersedia dalam bentuk gel. Thomas dkk melakukan penelitian dengan
membandingkan eritromisin 1,5% dengan klindamisin 1% mendapatkan hasil
yang sama-sama efektif, duapertiga pasien mendapatkan respon yang sangat baik
dalam waktu 12 minggu, tetapi penggunaan eritromisin secara tunggal tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi. Penggunaan eritromisin
kombinasi dengan benzoil peroksida lebih direkomendasikan. 2,5,13
Keefektifan antibiotik topikal pada akne terbatas karena mekanisme kerja
dalam mengeliminasi bakteri membutuhkan jangka waktu yang panjang. Bakteri
dapat timbul di mana-mana dan tidak secara langsung menyebabkan akne. Pada
keadaan di mana kelenjar sebasea memproduksi sebum berlebihan, pori-pori kulit
juga akan lebih mudah terbuka sehingga banyak bakteri yang akan masuk dan
berkembang. Adanya sel kulit mati juga bisa memperburuk keadaan. Bila kelenjar
sebasea tidak memproduksi sebum berlebihan, maka bakteri tidak mudah masuk
ke dalam kulit. Dengan kata lain, jumlah produksi sebum menjadi masalah utama
dalam akne. Antibiotik topikal kerjanya terbatas, karena tidak mengatasi masalah
dalam jumlah produksi sebum. 2,5,13
g. Asam Salisilat
Asam salisilat efek utamanya adalah keratolitik, meningkatkan
konsentrasi dari substansi lain, selain itu juga mempunyai efek bakteriostatik dan
bakteriosidal. 2,5,13
15
h. Anti-androgen
Sejak diketahui bahwa akne merupakan salah satu penyakit yang
berhubungan dengan aktivitas hormon androgen, beberapa dermatologis dan
industri farmakologi mengembangkan anti androgen topikal sebagai salah satu
terapi akne yang tidak mempunyai efek sistemik. Studi yang dikembangkan
adalah tentang penggunaan topikal dari 17α-propylmesterolone, akan tetapi
preparat ini belum tersedia secara komersial. 2,5,13
3. Terapi Fisik
Selain terapi topikal dan terapi oral, terdapat beberapa terapi tambahan dengan
menggunakan alat ataupun agen fisik, diantaranya adalah:
a. Ekstraksi komedo
Pengangkatan komedo dengan menekan daerah sekitar lesi dengan
menggunakan alat ekstraktor dapat berguna dalam mengatasi akne. Secara teori,
pengangkatan closed comedos dapat mencegah pembentukan lesi inflamasi.
Dibutuhkan keterampilan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik.13
b. Kortikosteroid Intralesi
Akne cysts dapat diterapi dengan triamsinolon intralesi atau krioterapi.
Nodul-nodul yang mengalami inflamasi menunjukkan perubahan yang baik
Dalam kurun waktu 48 jam setelah disuntikkan dengan steroid. Dosis yang biasa
digunakan adalah 2,5 mg/ml triamsinolon asetonid dan menggunakan syringe 1ml.
Jumlah total obat yang diinjeksikan pada lesi berkisar antara 0,025 sampai 0,1 ml
dan penyuntikan harus ditengah lesi. Penyuntikan yang terlalu dalam atau terlalu
superfisial akan menyebabkan atrofi. Injeksi glukokortikoid dapat menurunkan
secara drastic ukuran dari lesi nodular.Injeksi 0.05-0.25 ml perlesi dari
triamcinolone acetat dengan suspense (2.5-10mg/ml) direkomendasikan sebagai
anti inflamasi. Terapi jenis ini sangat bermanfaat dibandingkan terapi lain untuk
akne tipe nodular. Akan tetapi harus diulang dalam 2-3 minggu.Manfaat
utamanya adalah menghilangkan lesi nodular tanpa insisi sehingga mengurangi
pembentukan scar.5,13
c. Liquid Nitrogen
Cara lain untuk terapi akne cysts adalah dengan mengaplikasikan nitrogen
cair selama 20 detik, aplikasi kedua diberikan 2 menit berikutnya. Terapi ini

16
bekerja dengan mendinginkan dinding fibrotik dari akne cysts sehingga akan
terjadi kerusakan pada dinding tersebut. 13
d. Radiasi Ultraviolet
Radiasi UV mempunyai efek untuk menghambat inflamasi dengan
menghambat aksi dari sitokin. Radiasi UVA dn UVB sebaiknya diberikan secara
bersama-sama untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapai. Fototerapi dapat
diberikan dua kali seminggu.Radiasi ultraviolet alami (UVR) yang didapat dari
paparan matahari, 60% dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada akne,
tetapi sekarang terapi ini tidak dianjurkan lagi. 2,5,13
Tabel 2. Algoritma Tatalaksana Akne Vulgaris

4. Diet
Beberapa artikel menyarankan pengaturan diet untuk penderita akne vulgaris.
Implikasi dari penelitian tentang diet coklat, susu, dan makanan berlemak dan
hubungannya dengan akne masih diteliti. Hingga saat ini belum ada evidence base
yang mendukung bahwa eliminasi makanan akan berdampak pada akne, akan tetapi
beberapa pasien akan mengalami kemunculan akne setelah mengkonsumsi makanan
tersebut.5

VII. PROGNOSIS

Onset dari akne vulgaris sangat bervariasi, dimulai dari 6 hingga 8 tahun dan
kemudian tidak timbul lagi hingga umur 20 atau lebih.Kejadian akne ini biasanya diikuti
17
oleh remisi yang terjadi secara spontan. Walaupun rata-rata pasien akan mengalami
penyembuhan pada usia awal 20an tapi ada juga yang masih menderita akne hingga
decade ketiga sampai decade keempat. Akne pada wanita biasanya berfluktuasi berkaitan
dengan siklus haid dan biasanya bermunculan sesaat sebelum menstruasi.Kemunculan
akne ini tidak seharusnya berhubungan dengan perubahan aktivitas glandula sabaseus,
dimana tidak terjadi peningkatan produksi sebum pada fase luteal dalam siklus
menstruasi.2
Pada umumnya prognosis dari akne ini cukup menyenangkan, pengobatan
sebaiknya dimulai pada awal onset munculnya akne dan cukup agresif untuk menghindari
sekuele yang bersifat permanen.2 Pada kebanyakan kasus, akne biasanya sembh secara
spontan ketika melewati usia remaja dan memasuki usia 20an. Alasan untuk hal ini masih
belum diketahui secara jelas, tidak ada penurunan secara bersama-sama pada produksi
sebm ataupun perubahan komposisi lemak.13

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Boxton PK. ABC of Dermatology 4th ed. London: BMJ Group; 2003.p.47-9.
2. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Akne Vulgaris and Akneiform
Eruptions. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.p.
690-703.
3. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts:
Blackwell Science,Inc.; 2002.p.148-156.
4. Dreno B, Poli F. Epidemiology of Akne. Dermatology, Akne Symposium at the World
Congres of Dermatology Paris July 2002.p.7-9. 2003
5. Sheen, Barbara. Diseases and Disorders Akne. Framington Hills: Lucent Books;
2005.p.10-20.
6. Webster, Guy. Overview of the Patogenesis of Akne. In: Webster GF, Rawlings AV, eds.
Akne and its Therapy. London: Informa Healthcare; 2007.p.1-5
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Akne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds.
Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10 th ed. Canada : El Sevier;
2000.p.231-44.
8. Batra, Sonia. Akne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th
ed. Massachusetts: Lippincot Williams and Wilkins; 2007.p.4-18
9. Schalock PC. Rosaceae and perioral (periorificial) dermatitis. In: Manual of Dermatology
Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007.p.175-180
10. Boothroyd, Steve. Topical therapy and formulation priciples. In: Webster GF, Rawlings
AV, eds. Akne and its Therapy. London: Informa Healthcare; 2007.p.253-256
11. Gupta AK, Swan JE. Perioral dermatitis. In: Wiiliams H, Bigbi Mc, Diepgen T,
Herxheimer H, Nalgi L, Rzany B. Evidence-Based Dermatology. London:BMJ
Books;2003. p:125-131.
12. Zouboulis, Christos C. Update and Future of Systemic Akne Treatment. Dermatology,
Akne Symposium at the World Congres of Drematology Paris July 2002. p:37-42. 2003
13. Garner SE. Akne vulgaris. In: Wiiliams H, Bigbi Mc, Diepgen T, Herxheimer H, Nalgi L,
Rzany B. Evidence-Based Dermatology. London:BMJ Books;2003. p:87-98.

19

Anda mungkin juga menyukai