Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Kolestasis pada bayi adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang terjadi jika bilirubin
terkonjugasi lebih dari 1 mg/dl bila total serum bilirubin kurang dari 5 mg/dl, atau kadar
bilirubin terkonjugasi lebih dari 20% apabila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dl. Ikterus
terjadi akibat hiperbilirubinemia, ditandai dengan kulit dan sklera berwarna kuning karena
akumulasi bilirubin. Ikterus dapat terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin
dalam darah pada bayi lebih dari 5 mg/dl. Ikterus pada bayi terdiri dari ikterus fisiologis dan
non fisiologis atau prolonged jaundice. Prolonged jaundice adalah ikterus yang menetap
melebihi dua minggu pada bayi cukup bulan dan tiga minggu pada bayi kurang bulan, yang
terdiri dari ikterus prehepatik, hepatik, dan post hepatik. Ikterus terjadi pada kurang lebih 15%
bayi baru lahir, 60% bayi cukup bulan, dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama
kehidupan.1-5
Etiologi ikterus menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi dua, yaitu
peningkatan bilirubin indirek (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin direk
(conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated
hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
kelainan intrahepatik serta kelainan ekstrahepatik. Kolestasis pada bayi terjadi bila
peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi melebihi 14 hari pertama kehidupan atau
ikterus yang muncul pada usia 2 minggu. Kolestasis pada bayi terjadi akibat pembentukan
empedu yang terganggu oleh hepatosit atau dari obstruksi aliran empedu melalui pohon
biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik yang mengarah ke akumulasi zat biliaris seperti
1,2,6,7
bilirubin, empedu, asam dan kolesterol di hati, darah dan ekstrahepatik jaringan.
Diagnosis kolestasis tidak mudah untuk ditegakkan. Diagnosis utama kolestasis, yaitu
membedakan diagnosis kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik. Prognosis akan baik apabila
penyebab kolestasis dapat diidentifikasi dengan cepat dan mendapatkan perawatan medis,
seperti pengobatan dan optimalisasi nutrisi untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Menetapkan diagnosis yang akurat diperlukan anamnesis yang baik mengenai riwayat
prenatal, perinatal, kapan mulai timbulnya gejala, riwayat keluarga, riwayat morbiditas ibu
selama masa kehamilan misalnya infeksi toxoplasma, rubella, cytomegalovirus dan herpes
simpleks virus (TORCH), riwayat kelahiran seperti infeksi intrapartum, berat badan lahir, usia
kehamilan, morbiditas perinatal dan riwayat warna feses apakah seperti dempul dan atau
hilang timbul.7-9

1
Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (NAPSHGAN) bahwa insidensi kolestasis pada bayi disebabkan oleh atresia biliaris
sebanyak 25–35%, gangguan genetik 25%, penyakit metabolik 20%, dan defisiensi α1-
antitripsin sebanyak 10%, selain itu juga kolestasis terjadi sekitar 1 dari 2.500 kelahiran
hidup. Di Amerika Serikat atresia biliaris adalah penyebab paling umum kolestasis di tiga
bulan pertama kehidupan dan anak-anak merupakan indikasi transplantasi hati paling banyak,
terhitung hingga 50%. Insidensi atresia biliaris di Amerika Serikat adalah 1 dari 12.000
kelahiran hidup, Taiwan merupakan negara yang memiliki insidensi atresia biliaris tertinggi,
yaitu 1 dari 5600 dan terendah di Eropa, yaitu 1 dari 18.000. Rasio atresia biliaris pada anak
perempuan dan anak laki-laki 2:1, sedangkan pada hepatitis neonatal rasionya 1:2. Di instalasi
Rawat Inap Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 terdapat 19.270 pasien
rawat inap, diantaranya 96 pasien dengan neonatal kolestasis. 9-11
Hepatitis neonatal idiopatik adalah salah satu penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi,
dengan kejadian 1 dari 4.800–9.000 kelahiran hidup. Bentuk kolestasis yang diwariskan yang
terjadi pada 10% hingga 20% dari kasus, yaitu kesalahan metabolisme bawaan dan infeksi
bawaan seperti infeksi TORCH. Angka kejadian kolestasis lebih sering pada bayi kurang
bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan, sehingga usia kehamilan perlu ditanyakan. 2,9,12
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen dua fase diperlukan untuk membedakan
kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik. Bila diagnosis atresia biliaris ditegakkan tindakan
yang dapat dilakukan, yaitu operasi Kasai dan transplantasi hati. Tindakan operasi dilakukan
sebelum usia 30 atau 45 hari maka angka keberhasilannya 80%. Bila operasi pada usia lebih
dari 90 hari maka angka keberhasilannya hanya 20% dan apabila tidak dilakukan operasi
penderita hanya bisa bertahan hidup sampai 2 tahun. Biopsi hati dapat dilakukan untuk
mendiagnosis bayi dengan kolestasis, namun baru dapat dilakukan sesudah bayi berusia 4
minggu. Pasien dengan kista koledokus didapatkan laboratorium temuan sugestif dari
kolestasis. Kadang-kadang pasien dengan kista koledokus mengalami kolangitis disertai
dengan demam, peningkatan GGTP dan hiperbilirubinemia. 2,12

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan studi deskriptif dengan desain
studi cross-sectional. Bahan penelitian ini adalah rekam medik pasien kolestasis. Subjek

2
adalah 97 bayi pasien kolestasis yang dirawat di bagian anak RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung Tahun 2013–2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengambilan data dilakukan di SDN Cibeber 1 Cimahi Selatan pada bulan Oktober 2018.
Hasil penelitian diambil dari 74 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan memberikan
hasil dan pembahasan sebagai berikut:

Gambaran angka kejadian kolestasis berdasarkan letak kelainan anatomis


Gambaran angka kejadian kolestasis berdasarkan letak kelainan anatomisnya
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan hasil yang dapat dilihat pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1 Letak Kelainan Anatomis Kolestasis
Kelainan Anatomis Jumlah Persentase
Intrahepatik 88 90,7 %
Ekstrahepatik 9 9,3 %
Total 97 100 %

Gambaran Usia dan Jenis Kelamin


Gambaran usia, jenis kelamin pada pasien kolestasis dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai
berikut.
Tabel 4.2 Usia dan Jenis Kelamin
Kolestasis
Persent
Variabel Intrahepatik Ekstrahepatik
ase
n= 88 (90,7%) n= 9 (9,3%)
Usia n % n %
0-28 Hari 13 14,7 0 0 15,4 %
28-1 Tahun 75 85,3 9 100 84,6 %
Total 88 100 9 100
Jenis
Kelamin
Laki-Laki 48 54,5 4 44,4 53,6 %
Perempuan 40 45,5 5 55,6 45,4 %
Total 88 100 9 100

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Lee dan Chai di Universitas Malaya Malaysia
pada tahun 2004, yaitu sebanyak 78% bayi kolestasis datang saat usia lebih dari 28 hari, dan
3
hanya 22% bayi datang pada saat usia 0–28 hari. Usia neonatal dilakukan sebagai patokan
upaya dilakukannya screening pada atresia biliaris dilakukan pada saat usia neonatal yaitu 0–
28 hari agar segera dapat dilakukan operasi kurang dari usia 30–45 hari agar prognosis lebih
baik.13 Menurut penelitian S Arief yang dilakukan di RSU Dr Soetomo pada tahun 1994 rasio
atresia biliaris pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki 2:1, yaitu
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, sedangkan pada hepatitis 1:2. Meskipun hasil
menunjukkan adanya perbedaan perbandingan namun hanya sedikit, pada beberapa literatur
menyebutkan belum ada alasan yang jelas mengenai perbedaan jenis kelamin. 11
Gambaran manifestasi klinis kolestasis
Manifestasi klinis pada penelitian ini, yaitu dilihat dari feses dan ada atau tidaknya
hepatomegali. Pada pemeriksaan feses dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu feses dempul,
fluktuasi dan tidak dempul. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Manifestasi Klinis Kolestasis
Kolestasis
Persenta
Variabel Intrahepatik Ekstrahepatik
se
n= 88 (90,7%) n= 9 (9,3%)
Feses n % n %
Tidak dempul 19 21,5 2 22,2 21,6 %
Fluktuasi 59 67,2 2 22,2 62,8 %
Dempul 10 11,3 5 55,6 15,6 %

Hepatomegali
Ada 87 99 9 100 98,9 %
Tidak 1 1 0 0 1,1 %

Menurut Agata dan Wiliam tahun 1999 pengamatan warna tinja yang dilakukan sebanyak
tiga porsi dapat digunakan sebagai penyaring tahap pertama diagnosis, karena kolestasis
ekstrahepatik terutama atresia biliaris hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis atau
dempul pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja tetap berwarna dempul selama beberapa
hari, maka kemungkinan besar adalah kolestasis ekstrahepatik (atresia biliaris). Pada
kolestasis intrahepatik, warna tinja kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut
tinja dapat pula seperti dempul terus-menerus. Hepatomegali terjadi akibat kolestasis yang
berkepanjangan sehingga terjadinya peningkatan inflamasi sel hati. 3,7,9
Gambaran hasil laboratorium
Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pasien kolestasis pada bayi di RSUP. Dr.
Hasan Sadikin Bandung adalah pada Tabel 4.4 sebagai berikut.

4
Tabel 4.4 Laboratorium Pasien Kolestasis
Kolestasis
Variabel Intrahepatik Ekstrahepatik
n=88 (90,7%) n=9 (9,3%)
SGOT U/L Mean 480,3 U/L ± 69,3 174,0 U/L ± 4,7
SGPT U/L Mean 379,6 U/L ± 66,4 156,4 U/L ± 6,3
GGT U/L Mean 133,6 U/L ± 27,5 288,0 U/L ± 88,9
ALP U/L Mean 198,2 U/L ± 28,9 687,6 U/L ± 12,1

Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien kolestasis


intrahepatik menunjukkan rata-rata kadar SGOT sebesar 480,3 U/L (>10x normal), rata-rata
kadar SGPT sebesar 379,6 U/L (>10x normal), rata-rata kadar GGT sebesar 133,6 U/L (<5x
normal), dan rata-rata kadar ALP sebesar 198,2 U/L (<5x normal).
Hasil pemeriksaan laboratorium kolestasis ekstrahepatik menunjukkan rata-rata kadar
SGOT sebesar 174,0 U/L (<5x normal), rata-rata kadar SGPT sebesar 156,4 U/L (<5x
normal), rata-rata kadar GGT sebesar 288,0 U/L (>5xnormal) dan rata-rata kadar ALP sebesar
687,6 U/L (>10x normal).
Kliegman dkk mengatakan bahwa peningkatan SGOT/SGPT pada kolestasis intrahepatik
diakibatkan karena kerusakan hepar, sehingga terjadi peningkatan enzim-enzim tersebut,
sedangkan pada kolestasis ekstrahepatik sebaliknya.1 Pada kolestasis ekstrahepatik terdapat
akumulasi zat-zat yang tidak bisa diekskresikan karena terjadi oklusi atau obstruksi dari
sistem biliaris yang ditandai dengan meningkatnya kadar alkali fosfatase, GGT, dan bilirubin
direk.7
Gambaran hasil pemeriksaan USG
Gambaran pemeriksaan USG yang didapatkan pada pasien kolestasis pada bayi di bagian
anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode 2013-2017 adalah pada Tabel 4.5 sebagai
berikut.
Tabel 4.5 Pemeriksaan USG
Kolestasis
Variabel Intrahepatik Ekstrahepatik Persentase
n= 88 (94,8%) n= 9 (5,2%)
n % n %
USG
Normal 85 97 9 100 97%
Tidak diperiksa 3 3 0 0 3%

5
Pada pemeriksaan hasil USG pada kolestasis intrahepatik semuanya menunjukan adanya
hepatomegali dan hanya satu bayi yang tidak, berbeda dengan halnya kolestasis ekstrahepatik
dari 9 bayi kolestasis ekstrahepatik 4 bayi menunjukkan hasil triangular chord sign yang
menunjukkan penyebabnya diakibatkan oleh atresia biliaris, 1 bayi menunjukan adanya kista
duktus koledokus, dan 4 bayi menunjukan adanya pembesaran kandung empedu. Menurut
Fawaz dan Bauman 2017 pada pasien kolestasis harus dilakukan pemeriksaan USG agar dapat
segera menegakkan diagnosisnya, yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik.9
Gambaran penatalaksanaan kolestasis
Penatalaksanaan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik dapat dilihat pada tabel 4.6
sebagai berikut.
Tabel 4.6 Penatalaksanaan kolestasis intrahepatik karena hepatitis CMV
Hepatitis Hepatitis karena
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
karena CMV Toxoplasmosis
n % n %
Diberi 85 98,8 Diberi 2 100
ganciclovir sulfadiazine
Tidak diberikan 1 1,2 Tidak diberi 0 0
ganciclovir sulfadiazine
Total 86 100 2 100

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan kolestasis intrahepatik pada


bayi yang dirawat di RSUP. Dr. Hasan Sadikin akibat hepatitis karena CMV dari 86 bayi
sebanyak 1 bayi (1,2%) tidak diberi antivirus ganciclovir, 85 (98,8%) bayi lainnya diberikan.
Pada bayi kolestastasis hepatitis karena toxoplasma didapatkan sebanyak 2 bayi (100%)
mendapatkan pemberian sulfadiazine. Beberapa literatur menyatakan bahwa antivirus
diberikan selama 6 minggu, tetapi pemberian antivirus selama 2 minggu sudah memberikan
dampak yang baik pada perjalanan penyakit evaluasi secara berkala dilakukan pada anak
untuk mengetahui perkembangan dari perjalanan penyakit infeksi CMV.18,37
Penatalaksanaan kolestasis ekstrahepatik dapat dilihat pada Tabel 4.6.1 sebagai berikut.
Tabel 4.6.1 Penatalaksanaan kolestasis ekstrahepatik
Penatalaksanaan Atresia biliaris Kista duktus koledokus Kolesistitis
n % n % n %
Operasi 3 75 1 100 3 75
Tidak dilakukan 1 25 0 0 1 25
operasi
Total 4 100 1 100 4 100

6
Hasil penelitian menunjukkan penatalaksanaan kolestasis ekstrahepatik berdasarkan
penyebabnya. Dari 4 bayi yang mengalami atresia biliaris, sebanyak 3 bayi (75%) diantaranya
memiliki riwayat operasi Kasai dan hanya 1 bayi (25%) yang tidak dilakukan operasi,
penyebab tidak dilakukan operasi tidak dicantumkan dalam rekam medik namun pasien disini
merupakan pasien BPJS kemungkinan karena keterbatasan biaya lalu bayi meninggal karena
sirosis. Pada kista duktus koledokus hanya ada satu bayi (100%) dan dilakukan operasi.
Sebanyak 3 bayi (75%) dilakukan operasi pada kolesistitis dan 1 bayi (25%) tidak dilakukan
operasi karena bayi meninggal sebelum dilakukan operasi akibat sepsis.
Dari penelusuran literatur didapatkan bahwa keberhasilan operasi Kasai dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain keadaan histologi hati dan tipe atresia biliaris, kadar bilirubin
serum dan kejadian kolangitis asenden pascaoperasi, serta pengalaman pusat pelayanan yang
bersangkutan dalam melakukan operasi Kasai dan perawatan pascaoperasi. Apabila operasi
dilakukan pada pasien yang berusia lebih dari enampuluh hari umumnya hasil tidak
memuaskan. Peran operasi Kasai dalam tatalaksana pasien atresia biliaris semakin nyata
dengan keterbatasan melakukan transplantasi hati di Indonesia. Pada kista duktus koledokus
diagnosis mudah ditegakkan dengan USG sehingga memungkinkan diagnosis dan segera
dilakukan pembedahan dini koreksi, yang nantinya akan meningkatkan prognosis.12,15
Gambaran outcome pasien
Karakteristik outcome pasien pada pasien kolestasis dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai
berikut.
Tabel 4.7 Gambaran outcome pasien berdasarkan penyebab
N Hidup Persentase Meninggal Persentase
Intrahepatik
Hepatitis karena 86 82 95,4% 4 4,6 %
CMV
Hepatitis karena 2 2 100% 0 0%
Toxoplasma
Ekstrahepatik
Atresia biliaris 4 1 25% 3 75%
Kista duktus 1 1 100% 0 0%
koledokus
Kolesistitis 4 2 50% 2 50%
Total 97 88 90,8% 9 9,2%

Dari 9 bayi yang meninggal 4 bayi meninggal karena kolestasis intrahepatik semuanya
diakibatkan oleh hepatitis karena CMV, salah satu bayi tidak mendapatkan ganciclovir dan
seluruh bayi sudah mengalami sirosis. Lima bayi yang meninggal karena kolestasis
7
ekstrahepatik. Sebanyak 3 bayi meninggal karena atresia biliaris. Dari 3 bayi yang meninggal
salah satu bayi tidak dilakukan tindakan operatif dan 2 bayi dilakukan operatif, tetapi tindakan
operatif dilakukan pada saat usia diatas 45 hari. 2 bayi meninggal karena kolesistitis dan
disertai dengan sepsis.
Menurut penelitian yang dilakukan Oswari dan Waiman Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RS. Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1998–2009 terdapat 34 pasien atresia biliaris.
Median usia saat berobat adalah 4 bulan 3 minggu. Jumlah pasien yang berobat pada usia
kurang dari dua bulan hanya 12 orang (20%) dan sisanya (80%) berobat lebih dari dua bulan.
Tingginya angka keterlambatan dalam kunjungan pertama kali ini menimbulkan
keterlambatan diagnosis dan terapi operatif.40 Tindakan opertif yang dilakukan sebelum usia
30 atau 45 hari angka keberhasilannya 80%, bila operasi dilakukan diatas usia 90 hari maka
hanya 20% dan apabila tidak dilakukan operasi hanya dapat bertahan hidup sampai 2 tahun. 7
Gambaran kelainan kongenital pada kolestasis intrahepatik
Gambaran kelainan kongenital pada pasien kolestasis intrahepatik yang dirawat di RSUP
Dr. Hasan Sadikin periode 2013-2017 dapat dilihat pada Tabel 4.8 sebagai berikut.
Tabel 4.8 Jumlah kelainan kongenital pada kolestasis intrahepatik
Hepatitis karena CMV Hepatitis karena
toxoplasmosis
n % n %
Dengan 20 23,3 0 0
kelainan
kongenital
Tanpa 66 76,7 2 100
kelainan
kongenital
Total 86 100 2 100

Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 86 bayi hepatitis karena CMV sebanyak 20
bayi (23,3%) disertai dengan kelainan kongenital, pada hepatitis karena toxoplasmosis dari 2
bayi terinfeksi seluruhnya (100%) tanpa disertai kelainan kongenital. Kelainan kongenital
yang ditemukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.8.1 sebagai berikut.
Tabel 4.8.1 Kelainan kongenital yang ditemukan
Kelainan kongenital Jumlah Persentase
Atrium septal defek 1 5%
Cerebral palsy 2 10%
Mikrosefal 5 25%
Stenosis pulmonal 1 5%
Ventrikel septal defek 2 10%
8
Hidrosefalus 5 25%
Gangguan pendengaran 2 10%
Patent ductus arteriosus 2 10%
Total 20 100%

Penelitian ini menunjukkan bahwa bayi yang mengalami kelainan kongenital terinfeksi
CMV pada trimester pertama. Karena pada saat trimester pertama sedang terjadi proses
pembentukan organ atau organogenesis. Sebagian besar anak yang lahir dengan infeksi CMV
tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) saat lahir. Anak yang menunjukkan gejala infeksi
CMV saat lahir hanya berkisar antara 7–10%. Kematian akibat hepatitis karena infeksi virus
CMV dikarenakan keterlambatan diagnosis dan pengobatan sehingga terjadi komplikasi yang
berlanjut, hepatitis karena infeksi CMV mengakibatkan kerusakan hepar yang serius. 37

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien kolestasis yang dilakukan pada bayi yang
dirawat di Bagian Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode 2013-2017 didapatkan
hasil bahwa:
1. Kolestasis terbanyak disebabkan oleh intrahepatik yaitu sebanyak 92 bayi (94,8%)
penyebab terbanyak diakibatkan oleh Hepatitis karena infeksi CMV sebanyak 86 bayi
(88,7%).
2. Penelitian ini menujukan kolestasis intrahepatik dan esktrahepatik terbanyak datang pada
saat usia 28 hari – 1 tahun, pada kolestasis intrahepatik terbanyak jenis kelamin laki-laki
sedangkan ekstrahepatik perempuan.
3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bayi intrahepatik terbanyak mengalami feses
fluktuasi sedangkan ekstrahepatik feses dempul dempul, hamper seluruh pasien kolestasis
mengalami hepatomegali.
4. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien kolestasis intrahepatik menunjukan rata-rata
kadar SGOT sebesar 480,3 U/L , rata-rata kadar SGPT sebesar 379,6 U/L , rata-rata kadar
GGT sebesar 133,6 U/L, dan rata-rata kadar ALP sebesar 198,2 U/L. Pemeriksaan
laboratorium kolestasis ekstrahepatik menunjukkan rata-rata kadar SGOT sebesar 174,0
U/L, rata-rata kadar SGPT sebesar 156,4 U/L, rata-rata kadar GGT sebesar 288,0 U/L dan
rata-rata kadar ALP sebesar 687,6 U/L.
5. Hasil pemeriksaan dari USG sebanyak 94 bayi (97%) dilakukan pemeriksaan USG
sedangkan hanya 3 bayi (3%) yang tidak dilakukan pemeriksaan. Hasil USG kolestasis
9
intrahepatik hanya menunjukkan hepatomegali, dari 9 bayi kolestasis ekstrahepatik, 4
bayi triangular chord sign, 4 bayi pembesaran kandung empedu, 1 bayi kista duktus
koledokus.
6. Penatalaksanaan kolestasis intrahepatik akibat hepatitis karena CMV diberikan
ganciclovir, sedangkan hepatitis karena toxoplasmosis sulfadiazine. Pada kolestasis
ekstrahepatik dilakukan tindakan operatif terutama pada atresia biliaris dilakukan Kasai.
7. Outcome pasien kolestasis pada bayi didapatkan sebanyak 88 bayi (90,8%) hidup dan
sebanyak 9 bayi (9,2%) meninggal. Dari 4 bayi yang meninggal karena kolestasis
intrahepatik, 4 diantaranya diakibatkan oleh hepatitis karena CMV. Sedangkan 5 bayi
yang meninggal karena kolestasis ekstrahepatik, 3 bayi meninggal karena atresia biliaris
dan 2 bayi meninggal karena kolesistitis.
8. Hasil penelitian ini menunjukan 86 bayi hepatitis karena CMV sebanyak 20 bayi (23,3%)
disertai dengan kelainan kongenital, pada hepatitis karena toxoplasmosis seluruhnya
(100%) tanpa disertai kelainan kongenital.

SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyarankan beberapa hal sebagai
berikut.
1. Agar dilakukan penyuluhan kepada dokter dan tenaga kesehatan di tingkat pertama
sebagai peningkatan mutu pelayanan kesehatan agar lebih waspada dan cepat dalam
mendiagnosis pasien kolestasis sehingga nantinya diharapkan dapat melakukan rujukan
dengan tepat
2. Melakukan program prevensi dan edukasi kepada ibu hamil maupun kepada ibu yang
akan mempunyai anak untuk dilakukan pemeriksaan TORCH.
3. Dilakukan penelitian lebih dalam mengenai infeksi CMV pada ibu hamil sebagai faktor
risiko kejadian kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, Stanton, Geme ST, Schor. Nelson textbook of Pediatrics. Elsevier 20 th Ed;
2015.p.1928-36.
2. Dani C, Pratesi S, Raimondi F, Romagnoli C. Italian guidelines for the management and
treatment of neonatal cholestasis. Ital J Pediatr 2015; 41: 1-12.

10
3. Dooley JS, Lok ASF, Burroghs AKA, Heathcote EJ. Sherlock’s Disease of the Liver and
Biliary System 12th Ed. The Atrium Southern Gate Chicester West Sussex: John Wiley &
sons; 2011.p.488-9
4. Gomella TC. Neonatology, Management, Procedures, on-Call Problems, Diseases and
Drug. United states of America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2009. Hlm 288-93.
5. Ullah S, Rahman K, Hedayati M. Hyperbilirubinemia in neonates: Types, causes, clinical
examinations, preventive measures and treatments: A narrative review article. Iran J
Public Health 2016; 45(5): 558-568.
6. Queensland Clinical Guidelines. Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Obesity in
pregnancy. 2015.p.2-40 www.health.qld.gov.au/qcg
7. Mawardi M, Warouw SM, Salendu PM. Kolestasis Ekstrahepatik et Causa Atresia Billier.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi Manado 2011; 3(2):
123-8.
8. Feldman AG, Sokol RJ. Neonatal Cholestasis. American Academy of Pediatric 2015; 14:
1-11.
9. Fawaz R, Baummann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL. Guideline for the
Evaluation of Cholestatic Jaundice in Infants: Joint Recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. JPGN 2017;
154-64.
10. Feldman AG, Mack CL. Biliary atresia: Clinical lessons learned. J Pediatr Gastroenterol
Nutr 2015; 61(2): 167-75.
11. Juffrie M, YS SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Sri Mulyani N. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi 4th ed. Jakarta: UKK Gastrohepatoenterologi-Hepatologi
IDAI 2015: 365-81.
12. Gotze T, Blessing H, Grillhosl C, Gerner P, Hoerning A. Neonatal Cholestasis -
Differential Diagnoses, Current Diagnostic Procedures, and Treatment. Front Pediatr
2015; 3: 1-10.
13. Lee WS, Malaya M, Chai PF, Mahes M. Clinical Features Differenciating Biliary Atresia
From Other Causes of Neonatal Cholestasis 1996: 648-654.
14. Cauduro SM. Extrahepatic biliary atresia: diagnostic methods. J Pediatr 2003;7 9(2): 107-
114.
15. Murase N, Uchida H, Ono Y, et al. A new era of laparoscopic revision of kasai
portoenterostomy for the treatment of biliary atresia. Biomed Res Int 2015; 2015.
16. Watchko JF. Recent Advances in the Management of Neonatal Jaundice. Res Reports
Neonatol 2014; 4: 183-93.
17. De Oliveira NLG, Kanawaty FR, Costa SCB, Hessel G. Infection by Citomegalovirus in
Patient with Neonatal Cholestasis. Arq Gastro Enterol 2002; 39 (2): 132-6.
18. Ayu Putri M, Oswari H. The Association between Biliary Atresia and Citomegalovirus
Infection 2017; 5 (2).
19. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 12th ed. Jakarta: EGC; 2014.

11
20. Agur AMR. Abdomen. Dalam: Moore KL, Agur A. (Laksman H, Sadikin V, Saputra V,
eds.). Anatomi Klinis Dasar. 1st ed. (Laksman H, Sadikin V, Saputra V, eds.). Jakarta:
Hipokrates; 2002.
21. Mescher AL. Histologi Dasar Janquera. 12th ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012.
22. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 8th ed. Jakarta: EGC; 2014: 565-9.
23. Friedrich P, Jens W. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-Organ Dalam. 23rd ed.
Jakarta: EGC; 2012.
24. Eroschenko VP. Atlas Histologi DiFiore. 11th ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012.
25. Murray RK, Bender DA, Botham K. Biokimia Harper. 29th ed. New York: McGraw-Hill
Medical; 2012.
26. Schreiber RA, Kleinman RE. Biliary Atresia. J Pediatr. 2002; 35: S11-S16.
27. Ramachandran P, Safwan M, Reddy MS, Rela M. Recent trends in the diagnosis and
management of biliary atresia in developing countries. Indian Pediatr. 2015; 52: 871-879.
28. Feldman AG, Sokol RJ. Neonatal Cholestasis. NIHPA 2004; 14 1 -11.
29. Robie DK, R Sarah. Differentiating biliary atresia from other causes of Cholestatic
Jaundice.HHS Public Access 2015; 25; 368-379.
30. Marcdante KJ, Kliegman RM, Hal B. Jenson M, E. Behrman R. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. 6th ed. Jakarta: IDAI; 2013.
31. López Panqueva RDP, Jaramillo Barberi LE. Neonatal and Infantil Cholestasis: An
Approach to Histopatological Diagnosis. Rev Colomb Gastroenterol 2014; (5): 304-311.
32. Bellomo-Brandao MA, Arnaut LT, Tommaso AMA De, Hessel G. Differential diagnosis
of neonatal cholestasis: clinical and laboratory parameters. J Pediatr 2010; 86(1): 40-44.
33. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Colletti RB, et al. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 2004; 39: 115-28.
34. Tufano M, Nicastro E, Giliberti P et al. Cholestasis in neonatal intensive care unit:
Incidence, aetiology and management. Acta Paediatr Int J Paediatr 2009; 98(11): 1756-
1761.
35. Geneva. Pedoman etik internasional untuk penelitian biomedis yang melibatkan subyek
manusia. Dewan Organisasi Ilmu-ilmu Kedokteran Internasional (CIOMS) dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1993: 19-92.
36. Gutawan IW, Ariyasa KN, Karyana IPG, Putra IGNS. Kolelitiasis pada Anak. Maj
Kedokt Indon 2007; Volum: 57 (10): 353-62.
37. Pratama BF. Infeksi Cytomegalovirus Kongenital. Jurnal Kesehatan Melayu 2018; Vol 1
(2): 114-7.
38. Young S. Infantile Cholestasis Approach and Diagnostic Alghoritm Switzerland.
Textbook of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition 2016: p. 625-31.
39. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of Liver Disease in The Pediatric Patient.
Pediatric Rev 1999; 20 (11): 376-90.

12
40. Waiman E, Oswari H. Peran Operasi Kasai pada Pasien Atresia Bilier yang Datang
Terlambat. Sari Pediatri Jakarta 2010; Vol 11 (6): 463-70.

13

Anda mungkin juga menyukai