Anda di halaman 1dari 26

Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736

Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Pengaruh Asam Ursodeoksikolat Terhadap Kadar Bilirubin Total pada Pasien Neonates
dengan Kolestasis Akibat Sepsis

Dwi Hidayah, Diah Lintang Kawuryan


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Umum Dr
Moewardi, Surakarta

Abstrak
Pendahuluan: Asam Ursodeoksikolate (Ursodeoxycholic acid : UDCA) adalah asam dihidroksi
hidrofilik, yang dilaporkan berguna untuk meningkatkan aliran empedu. Kolestasis neonatal
adalah terjadinya hyperbilirubinemia terkonjugasi yang disebabkan berkurangnya aliran empedu.
Penelitian ini untuk menilai dan menganalisis efek asam ursodeoksikolat terhadap kadar bilirubin
total pada pasien dengan kolestasis akibat sepsis neonatorum. Metode: Studi eksperimental
analitik ini dilakukan pada neonates dengan diagnosis kolestasis akibat sepsis neonatorum di
HCU Neonatus dan NICU RSUD dr. Moewardi Surakarta tahun 2017-2018. Pasien neonates
dengan diagnosis kolestasis akibat sepsis neonatorum diambil darahnya dan diperiksa kadar
bilirubin serum menggunakan metode ELISA. Karakteristik dasar subjek penelitian
didiskripsikan dalam bentuk angka. Hasil: Sebanyak 36pasien diikutkan dalam penelitian ini.
Kelompok perlakuan sebesar 55,6% adalah laki-laki, kelompok kontrol 83,3%. Bilirubin total pre
pada kelompok perlakuan rata-rata 10.25+10.42 sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata
5.29+3.57, dengan uji statistic didapatkan nilai p=0,090 (p>0,05). Bilirubin total post pada
kelompok perlakuan rata-rata 7.07+8.42 sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata 6.96+6.54,
dengan uji statistic didapatkan nilai p=0,937 (p>0,05). Selisih kadar bilirubin total pada
kelompok perlakuan 3.18+3.32 sedangkan pada kelompok kontrol 1.67+4.50, nilai p=0,000
(p<0,05). Kesimpulan: Pemberian terapi asam ursodeoksikolat pada neonates dengan kolestasis
akibat sepsis dapat menurunkan kadar bilirubin total yang secara statistic bermakna (p=0,001).

Kata kunci: sepsis neonatorum, kolestasis, hyperbilirubinemia, asam ursodeoksikolat.

1
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Pendahuluan Metode
Asam ursodeoksikolat dilaporkan Studi eksperimental analitik dilakukan pada
memberikan manfaat yang potensial pada neonatus dengan diagnosis kolestasis akibat
kolestasis yang disebabkan sepsis. Peran sepsis neonatorum di HCU Neonatus dan
UDCA pada kolestasis akibat sepsis masih NICU RSUD dr. Moewardi Surakarta tahun
belum banyak dilakukan penelitian. Asam 2017-2018.
ursodeoksikolik atau ursodeoxycholic acid Sepsis neonatorum yang dimaksud
(UDCA) adalah asam empedu dihidroksi disini adalah neonatus dengan kelainan
hidrofilik, yang dilaporkan berguna untuk multipel sistem organ, lebih dari 2 sistem
meningkatkan aliran empedu. Asam organ, dengan atau tanpa diikuti bakteremia.
ursodeoksikolik bisa menurunkan bilirubin Pemberian asam ursodeoksikolat dengan
serum 25%, alanin aminotransferase dosis berdasarkan berat badan, peracikan
(ALT/SGPT) 35%, aspartat obat dilakukan di apotek RSUD Dr.
aminotransferase (AST/SGOT) 33%, alkalin Moewardi Surakarta. Pemberian diberikan
phospatase 40%, dan gamma glutamil oleh perawat HCU neonates atau NICU
transpeptidase(GGT) 50%. Selain RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dengandosis
meningkatkan aliran empedu, UDCA juga 10 mg/kg/8 jam, diberikan secara per oral,
mampu mencegah apoptosis hepatosit, selama 7 hari. Kadar bilirubin total diperoleh
merubah komponen asam empedu, dan dari sampel darah vena, diambil serum
mempunyai efek imunomodulator (1). darahnya, kemudian diperiksa dengan alat
Sepsis neonatorum menyebabkan Advia 1800, dengan metode pengukuran
morbiditas dan mortalitas pada bayi baru spektofotometri dan dilakukan
lahir. Sepsis neonatorum berawal dari dilaboratorium RSUD Dr. Moewardi
kondisi infeksi sistemik bakteri, virus, atau Surakarta yang dinyatakan dengan satuan
jamur yang berhubungan dengan perubahan mg/dl. Dikatakan meningkat jika lebih dari
hemodinamik dan manifestasi klinis yang sama dengan 1 mg/dl atau 20% dari bilirubin
menyebabkan morbiditas dan mortalitas (2, total.
3). Kolestasis intrahepatal yang disebabkan Pasien yang orang tua nya menolak
oleh sepsis mempunyai prognosis yang mengikuti penelitian, neonatus memiliki
buruk (1) penyakit hati bawaan dikeluarkan, dan
Kolestasis neonatal adalah terjadinya neonatus yang tidak bisa nutrisi oral juga
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang dikeluarkan. Kami memperoleh data dari
disebabkan berkurangnya aliran empedu. pasien neonatus yang memenuhi kriteria
Kolestasis neonatal terjadi jika konsentrasi inklusi dan eksklusi diambil sebagai subyek
bilirubin terkonjugasi/direk serum >1mg/dl penelitian. Orangtua/wali subyek penelitian
jika bilirubin total serum <5 mg/dl atau diberi penjelasan dan akan diminta
>20% jika bilirubin total serum > 5 mg/dl persetujuan tertulis. Pencatatan identitas
(4). Diperlukan terapi antibiotik, namun lengkap (nama, usia, jenis kelamin),
masih perlu diberikan terapi tambahan (1). diagnosis kerja kolestasis akibat sepsis
Neonatus yang mengalami kolestasis neonatorum. Dilakukan pemeriksaan kadar
akibat sepsis di RSUD Dr. Moewardi sangat bilirubin total. Kelompok perlakuan
banyak dan penggunaan UDCA pada diberikan asam ursodeoksikolat 10mg/kg/8
kolestasis akibat sepsis neonatorum sangat jam dan kelompok kontrol diberikan plasebo
bermanfaat, akan tetapi penelitian tentang selama 7 hari. Semua sampel dilakukan
peran UDCA pada pasien kolestasis akibat pemeriksaan kadar bilirubin total.
sepsis neonatorum di RSUD Dr. Moewardi Karakteristik subjek penelitian
belum pernah dilakukan. didiskripsikan dalam bentuk angka. Data
diolah dengan menggunakan SPSS versi
17.0.

2
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Hasil pada kelompok kontrol mayoritas juga laki-


Penelitian ini dilakukan pada 36 adalah laki yaitu ada 83,3%. Uji statistik didapatkan
neonatus dengan diagnosiskolestasis akibat nilai p=0,070 (p>0,05) yang berarti bahwa
sepsisneonatorum di HCU Neonatus dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
NICU RSUD dr. Moewardi Surakarta tahun antara kelompok perlakuan dan kelompok
2018 dimana 18 pasien kelompok perlakuan kontrol berdasarkan jenis kelamin.
diberikan asam ursodeoksikolat dengan dosis Usia getasi pada kelompok perlakuan
berdasarkan berat badan, peracikan obat mayoritas dengan prematur yaitu ada 72,2%,
dilakukan di apotek RSUD Dr. Moewardi dan pada kelompok kontrol mayoritas juga
Surakarta. Sedangkan 18 pasien lainnya premature yaitu ada 77,8%. Uji statistik
sebagai kelompok kontrol. didapatkan nilai p=1,000 (p>0,05) yang
Hasil penelitian sebagai berikut. berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang
Karakteristik subyek penelitian ini meliputi signifikan antara kelompok perlakuan dan
jenis kelamin, usia getasi, usia kronologis, kelompok kontrol berdasarkan usia getasi.
berat badan, hscrp, karbohidrat, lemak, Usia kronologis pada kelompok
protein sebagai berikut: perlakuan mayoritas dengan usia >2-4
minggu dan >4 minggu yaitu masing-masing
Tabel 1. Karakterstik Subyek Penelitain ada 38,9%, dan pada kelompok kontrol
mayoritas >2 – 4 minggu yaitu ada 50,0%.
Kelompok p Uji statistik didapatkan nilai p=0,706
Karaktersitik
Perlakuan Kontrol (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat
Jenis Kelamin 0,070
perbedaan yang signifikan antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol berdasarkan
L 10 (55,6%) 15 (83,3%)
usia kronologis.
P 8 (44,4%) 3 (16,7%)
Berat badan pada kelompok
Usia Getasi 1,000 perlakuan mayoritas 1500-2500 g yaitu ada
Matur 5 (27,8%) 4 (22,2%) 66,7%, dan pada kelompok kontrol
Prematur 13 (72,2%) 14 (77,8%) mayoritas juga dengan berat badan 1500-
Usia 2500 g yaitu ada 55,6%. Uji statistik
Kronologis 0,706
didapatkan nilai p=1,000 (p>0,05) yang
0-2 minggu 4 (22,2%) 2 (11,1%)
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang
>2 – 4
minggu 7 (38,9%) 9 (50,0%) signifikan antara kelompok perlakuan dan
> 4 minggu 7 (38,9%) 7 (38,9%) kelompok kontrol berdasarkan berat badan.
Hscrp pada kelompok perlakuan rata-
Berat Badan 1,000
rata 6,19+6,08 sedangkan pada kelompok
<1000 0 (0,0%) 0 (0,0%)
1000- <1500
kontrol rata-rata 4,43+4,61. Hasil uji statistik
g 3 (16,7%) 4 (22,2%) didapatkan nilai p = 0,235 (p>0,05) yang
1500 - <2500 berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang
g 12 (66,7%) 10 (55,6%) signifikan antara kelompok perlakuan dan
2500 – 4000 g 3 (16,7%) 4 (22,2%) kelompok kontrol berdasarkan kadar hscrp.
Hscrp 6,19+6,08 4,43+4,61 0,235 Pemberian karbohidrat pretest pada
Karbohidrat 5,55+0,90 5,48+0,91 0,828 kelompok perlakuan rata-rata 5,55+0,90,
Lemak 1,81+0,55 1,97+0,53 0,370 sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata
Protein 2,68+0,77 2,64+0,77 0,766 5,48+0,91. Hasil uji statistik didapatkan nilai
p = 0,828 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara
Berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
pada kelompok perlakuan mayoritas dengan berdasarkan karbohidrat.
jenis kelamin laki-laki yaitu ada 55,6%, dan Pemberian lemak (lipofundin) pada
kelompok perlakuan rata-rata 1,81+0,55

3
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata uji statistic didapatkan nilai p = 0,090
1,97+0,53. Hasil uji statistik didapatkan nilai (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat
p = 0,370 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak perbedaan yang signifikan antara kelompok
terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan dan kelompok control berdasarkan
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol bilirubin total pretest.
pada pemberian lipofundin pada TPN. Bilirubin total post pada kelompok
Kadar protein (aminosteril) yang perlakuan rata-rata 7.07+8.42sedangkan
diberikan pada kelompok perlakuan rata-rata pada kelompok kontrol rata-rata 6.96+6.54.
2,68+0,77 sedangkan pada kelompok kontrol Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,937
rata-rata 2,64+0,77. Hasil uji statistik (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat
didapatkan nilai p = 0,766 (p>0,05) yang perbedaan yang signifikan antara kelompok
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang perlakuan dan kelompok control berdasarkan
signifikan antara kelompok perlakuan dan bilirubin total posttest.
kelompok kontrol. Selisih kadar bilirubin total pada
kelompok perlakuan mengalami penurunan
Tabel 2. Ekspresi Bilirubin darah pada rata-rata 3.18+3.32 sedangkan pada
keadaan sebelum dan sesudah perlakuan kelompok control mengalami peningkatan
rata-rata 1.67+4.50. Hasil uji statistic
Bilirubin Kelompok didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) yang
p
Total Sehat Sakit berarti bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok perlakuan
Pre test 05.29+3.57 10.25+10.42 0,090 dan kelompok control berdasarkan
Post test 06.96+6.54 07.07+08.42 0,937 perubahan bilirubin pre post atau dapat
Selisih 01.67+4.50 -03.18+03.32 0,000 dikatakan bahwa pemberian asam
ursodeoksikolat berpengaruh pada
penurunan kadar bilirubin total.
Bilirubin pretest pada kelompok
perlakuan rata-rata 7,96+8,74 sedangkan Diskusi
pada kelompok kontrol rata-rata 3,63+3,03. Pada penelitian ini, pasien kolestasis
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,062 akibat sepsis neonatorum paling banyak
(p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat didapatkan pada bayi preterm sebanyak
perbedaan yang signifikan antara kelompok 72,2% pada kelompok perlakuan dan 77,8%
perlakuan dan kelompok kontrol berdasarkan pada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini
bilirubin. sesuai dengan penelitian Tufano, dimana
Berdasarkan uraian diatas maka distribusi pasien kolestasis akibat sepsis
diketahui bahwa karakteristik pasien pada neonatorum paling banyak pada bayi
penelitian ini semua mendapatkan nilai preterm sebanyak 92,5 % (5). Pasien
p>0,05 yang berarti bahwa karakteristik kolestasis akibat sepsis neonatorum dengan
pasien dalam penelitian ini homogen. jenis kelamin laki-laki lebih didapatkan
Hasil uji normalitas data penelitian sebesar 55,6% pada kelompok perlakuan dan
menggunakan uji Shapiro wilk didapatkan 83,3% pada kelompok kontrol. Penelitian ini
nilai p<0,05, jadi distribusi data penelitianin sejalan dengan penelitian Carneiro, dimana
itidak berdistribusi normal, laki-laki (60,2%) lebih banyak daripada
sehinggaujistatistik yang digunakan adalah perempuan (39,8%) (4).
uji mann whitney. Rata-rata selisih penurunan bilirubin
Berdasarkan tabel 2 diketahui total sebesar-3.18+3.32 pada kelompok
Bilirubin total pre pada kelompok perlakuan perlakuan setelah mendapatkan terapi asam
rata-rata 10.25+10.42 sedangkan pada ursodeoksikolat selama 7 hari, dibandingkan
kelompok kontrol rata-rata 5.29+3.57. Hasil dengan kelompok kontrol1.67+4.50. Hasil
uji statistik didapatkan nilai p=0,000

4
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

(p<0,05) yang berarti bahwa pemberian di:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-


asam ursodeoksikolat berpengaruh pada 6736(17)31002-4
penurunankadar bilirubin total pada neonates 4. Carneiro C, Pissarra S, Flor-de-Lima F,
dengan kolestasis akibat sepsis. Asam Costa S, Guimaraes H. Cholestasis in
ursodeoksikolat merupakan obat yang the newborn: experience of a level ill
disarankan pada kolestasis pada pasien yang neonatal intensive care unit during 19
dirawat di Neonatal Intensive Care Unit years. Journal of pediatric and neonatal
(NICU), yang sebagian besar disebabkan individualized medicine. 2017;6:1-9
oleh sepsis neonatorum. Asam 5. Tufano M, Nicastro E, Giliberti P,
ursodeoksikolat sering digunakan pada Vegnente A, Raimondi F, Lorio R.
pasien-pasien yang masih hidup, yaitu Cholestasis in neonatal intensive care
sebanyak 50,9% sedang yang meninggal unit: incidence, aetiology and
19,2%, dengan nilai p=0,007 (4). Sedangkan management. 2009. Acta
penelitian yang lain mengatakan bahwa Paediatr.2009;98:1756-61.
pemberian asam ursodeoksikolat dapat 6. Kowdley KV. Ursodeoxycholic acid
memperbaiki kadar total bilirubin, bilirubin therapy in hepatobiliary disease. Am J
direk dan AST pada kolestasis yang Med. 2000;108:481-6.
disebabkan sepsis neonatorum. Dan
menyebabkan penurunan bilirubin total
sebanyak 2,2 (SD=2,9) (1). Penggunaan
asam ursodeoksikolat pada pasien kolestasis
karena sepsis neonatorum dapat memberikan
hasil negative atau tidak berpengharuh
terhadap kadar bilirubin total baik klinis
maupun biokimia (5) dimana hasil bilirubin
direk pada pasien yang mendapatkan asam
ursodeoksikolat selama 3 minggu, kelompok
terapi dibandingkan kelompok non terapi
4,20+1,38 vs 3,14+2,49, dengan nilai p =
0,47. Pada penelitian tersebut tidak
menyebutkan berapa penurunan bilirubin
direk sebelum dan sesudah terapi
asamursodeoksikolat (6).

Kesimpulan:
Pemberian terapi asam ursodeoksikolat pada
neonates dengan kolestasis akibat sepsis
dapat menurunkan kadar bilirubin total yang
secara statistic bermakna (p=0,001).

Kepustakaan
1. Rina RM, Oswari H, Amalia P.
Ursodeoxycholic acid in neonatal sepsis
associaated cholestasis. Paediatr
Indones. 2014;54:206-12
2. Russel ARB. Neonatal sepsis.
Paediatrics and child health.
2010;21:265-9.
3. Shane AL, Shances PJ, Stol BJ.
Neonatal sepsis. 2017 Apr 20. Tersedia

5
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PERBEDAAN STATUS GIZI ANTARA PEMBERIAN ASUPAN ZAT GIZI MAKANAN


STANDAR RUMAH SAKIT DAN FORMULA MODIFIKASI PADA PASIEN POST
KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI

Ahmad Farudin, Bonita Estu Pratiwi


Instalasi Gizi RSUD Dr. Moewardi Surakarta

ABSTRAK
Pendahuluan: Pasien post kemoterapi mengalami penurunan berat badan karena berbagai
macam sebab. Pemberian asupan makan standar rumah sakit saat ini belum belum cukup
memenuhi kebutuhan gizi. Oleh karenanya intervensi modifikasi asupan makanan dalam rangka
meningkatkan asupan zat gizi pasien post kemoterapi sangat diperlukan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui perbedaan status gizi antara asupkan zat gizi makanan standart dan
formula modifikasi pada pasien post kemoterapi
Metode: Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan design post test only.
Subjek penelitian berupa pasien dengan kanker yang mendapatkan kemoterapi di bangsal
Flamboyan 10 RSUD Dr. Moewardi sesuai kriteri inklusi. Data yang terkumpul berupa nilai
IMT. Untuk mengetahui perbedaan status gizi antara yang diberi asupan gizi makanan standar
dengan formula modifikasi dianalisis menggunakan T-Test SPSS 19.
Hasil: Nilai IMT antara kelompok asupan gizi makanan standart rumah sakit (SR) dengan
formula modifikasi (FM) dengan nilai rerata SR=21,14 dan FM=21,61. Tidak ada pebedaan
status gizi yang signifikan antara kelompok asupan gizi makanan standar rumah sakit dengan
kelompok formula modifikasi pada pasien post kemoterapi (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi pasien dengan asupan
makanan standart rumah sakit dan makanan modifikasi formula.

Kata Kunci : IMT, makanan standar rumah sakit, makanan formula modifikasi, pasien post
kemoterapi,

6
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Pendahuluan Metode Penelitian

Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia Jenis penelitian berupa eksperimental


untuk perawatan penyakit. Di dalam analitik karena dalam penelitian ini untuk
penggunaan modern, istilah kemoterapi mengetahui gambaran perbedaan variabel
hampir merujuk secara eksklusif kepada obat asupan zat gizi makanan pasien antara diet
sitostatik yang digunaan untuk mengobati standar dengan diet modifikasi formula
kanker 1 Semakin tahu pasien tentang dalam waktu yang sama. Dengan design
tindakan kemoterapi, akan mempengaruhi penelitian post-test only.
tingkat kecemasan pasien kemoterapi, Subjek penelitian berupa pasien
sehingga menurunkan asupan makan pasien dengan kanker yang mendapatkan
dengan kemoterapi. 2 kemoterapi di bangsal Flamboyan 10 RSUD
Mual dan muntah merupakan dua Dr. Moewardi. Pasien yang menjadi sasaran
masalah umum dan sangat mengganggu bagi merupakan semua pasien yang masuk ke
penderita kanker, khususnya yang dalam kriteria inklusi.
mengalami kemoterapi. Hal ini dikarenakan Rancangan Penelitian ini dengan membagi 2
hampir semua obat yang digunakan dalam kelompok yaitu kelompok yang
pengobatan kanker terutama antibiotik dan mendapatkan makanan standar rumah sakit
analgesik dapat menyebabkan mual dan dan kelompok yang mendapatkan Formula
muntah pada individu tertentu. Data National Modifikasi. Jumlah sampel masing
Hospital Study, dilaporkan bahwa dari kelompok adalah 30 sampel. Variabel yang
156penderita kanker stadium lanjut 62% diamati adalah asupan zat gizi, status gizi
mengalami mual dan muntah setelah dan faktor2 yang mempengaruhi penerimaan
menjalani kemoterapi 3 makanan baik makanan standar RS atau
Pemberian asupan makanan yang Formula modifikasi. Pengamatan asupan zat
diberikan standar rumah sakit masih belum gizi dilakukan selama 3 hari dengan metode
memenuhi kebutuhan gizinya, oleh karena food recall 24 jam. Analisa data statistik
itu diperlukan modifikasi untuk untuk mengetahui hubungan kedua variable
meningkatkan asupan makanan pada pasien yang diteliti.
post kemoterapi. Modifikasi dapat dilakukan
dengan pemberian formula makanan dengan Hasil
memperhatikan total kebutuhan gizi pasien
post kemoterapi. Pada penelitian yang Penerimaan terhadap makanan juga
dilakukan di RSUD Moewardi pada pasien mempengaruhi bagaimana asupan. Uji
dengan kanker nasofaring pada tahun 2015 secara organoleptik telah dilakukan untuk uji
di dapatkan hasil tidak ada pengaruh kesukaan terhadap Formula Modifikasi yang
kemoterapi terhadap asupan energi, protein dibuat. Berikut adalah hasil penilaian
dan status gizi. Penelitian lain dilaporkan terhadap penerimaan makanan yang
ada pengaruh kemoterapi terhadap asupan disediakan oleh rumah sakit, serta
lemak dan asupan karbohidrat. 4 perbandingan penerimaan antara snack
Menurut data diatas belum pernah dengan formula modikasi rumah sakit yang
dilakukan penelitian mengenai perbedaan diberikan, untuk mengetahui perbedaan
asupan zat gizi dan status gizi pada pasien kesukaan antara keduanya.
post kemoterapi standar rumah sakit dengan
modifikasi makanan formula di Rumah sakit
dr. Moewardi, sehingga peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian terkait dengan
masalah asupan makan post kemoterapi di
Rumah Sakit Dr. Moewardi.

7
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Tabel 1. Penilaian terhadap Makanan Pokok Kesimpulan


(Nasi) Rumah Sakit:
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
Rasa Porsi Tektur status gizi antara Makanan Rumah Sakit
Mutu Cukup Enak Kecil Cukup Besar Lunak Cukup Keras dengan Modifikasi Makanan Formula pada
Penilaian
Nasi 66,7 33,3 3 87.9 9,1 39,4 9,1 51,5
pasien post kemoterapi dibangsal Flamboyan
Lauk 45,5 54.5 12.1 87,9 0 15, 48,5 36,4 10 RSUD Moewardi.
Hewani 1
Lauk 54,5 45.5 9,1 90,9 0 30,3 45,5 24,2 Kepustakaan
Nabati
Sayur 33,3 66,6 18,2 78,8 3 15,2 57,6 27,3
Snack 44,7 53,3 39,5 60,5 0 36,6 47,4 26
1. Tramer MR, Carroll D, Campbell FA,
Reynolds DJ, Moore RA, Mc uay HJ.
Ada pebedaan yang signifikan antara Cannabinoids for control of
kelompok SR (Standar Rumah Sakit) dengan chemotherapy induced nausea and
kelompok FM (Formula Modifikasi) vomiting: quantitative systematic review.
terhadap status gizi pada pasien post BMJ 2001; 323:16-21. PMID 11440936.
kemoterapi (p= ). Nilai IMT antara
2. Setiawan, Dharma Satria. The Effect Of
kelompok SR dengan FM mempunyai nilai
rerata yang sama baik (SR=21,14, Chemotherapy In Cancer Patient To
FM=21,61). Anxiety. Lampung: University Lampung
Press. 2015
Pembahasan 3. Boediwarsono. Mual dan Muntah Pada
Kanker. 1998. Majalah Ilmu Penyakit.
Bahwa ada pengaruh ntara tindakan Dalam No.2. Bruera ... dan Efek Samping
kemoterapi pada asupan lemak dan
Pengobatan Kanker. Edisi Ke- 2. PT.
karbohidrat. 4
Makanan adalah bahan selain obat yang 4. Nigngrum, Dyah Ayu Retno. Pengaruh
mengandung zat zat gizi dan unsur ikatan Kemoterapi Terhadap Asupan Makan
kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi Dan Status Gizi Penderita Kanker
oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan Nasofaring. Surakarta : Profesi UMS.
kedalam tubuh. Makanan sehari-hari yang 2015
dipilih dengan baik akan memberikan semua
5. Kelvin J. F. dan Tyson, L. B. 2011. 100
zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi
normal tubuh (). Tanya-Jawab Mengenai Gejala Kanker
Tindakan kemoterapi akan mempengaruhi dan Efek Samping Pengobatan Kanker.
tingkat kecemasan pasien kemoterapi, Jakarta : PT-Indeks
sehingga menurunkan asupan makan pasien
dengan kemoterapi. Kemoterapi merupakan
pengobatan kanker dengan obat obatan 2
Kemoterapi dapat menjalar melalui
tubuh dan dapat membunuh sel kanker
dimanapun di dalam tubuh. Kemoterapi juga
dapat merusak sel normal dan sehat,
terutama sel sehat dalam lapisan mulut dan
sistem gastrointestinal, sumsum tulang serta
kantung rambut 5

8
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PERBEDAAN ANTARA SEKS ANAL DAN VAGINAL TERHADAP KEJADIAN


INFEKSI SIFILIS PADA PENDERITA INFEKSI HIV

Endra ustin Ellistasari


Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.Moewardi Surakarta

Abstrak
Latar belakang: Infeksi menular seksual (IMS) ditularkan melalui hubungan seksual (oral, anal
dan genital). Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dengan IMS saling berkaitan erat.
Lelaki seks lelaki (LSL) merupakan perilaku seksual laki-laki dalam berhubungan seks dengan
laki-laki lain dimana mempunyai orientasi seksual genito-anal (seks anal). Seks anal berisiko
meningkatkan transmisi IMS, terutama sifilis, sehingga diperlukan skrining sifilis pada penderita
infeksi HIV dengan riwayat seks anal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh seks anal
terhadap kejadian infeksi sifilis pada penderita HIV.
Metode: Subjek Penelitian adalah 100 orang pasien laki-laki dan perempuan yang menderita
HIV di VCT Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu:
kelompok seks anal dan genital dengan mengisi kuisioner serta pemeriksaan sifilis dan HIV
melalui darah subjek.
Hasil: Jenis kelamin terbanyak pada penelitian ini adalah laki-laki (66%) usia 31-40 tahun
(34%), dari 100 subjek penderita infeksi HIV didapatkan (35%) subjek positif infeksi sifilis. Pada
kelompok seks anal didapatkan 33 (66 %) subjek yang menderita sifilis, sedangkan pada
kelompok seks genital 2 (4%).
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara seks anal dengan kejadian infeksi sifilis pada
penderita infeksi HIV (p=0,001). Seks anal memiliki risiko terkena infeksi sifilis 48 kali lebih
tinggi dibanding seks genital.

Kata Kunci: Anal seks, Human Immunodeficiency Virus, Infeksi menular seksual, Sifilis.

9
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PENDAHULUAN menghasilkan morbiditas dan mortalitas


Infeksi menular seksual (IMS) yang substansial. Meskipun upaya program
merupakan suatu kelompok/sindroma klinis nasional eliminasi sifilis telah terbukti sangat
penyakit menular dengan transmisi utama sukses, akan tetapi terdapat peningkatan
melalui kontak seksual yang disebabkan oleh jumlah infeksi penyakit ini pada komunitas
berbagai etiologi seperti kuman atau virus LSL.10
patogen yang didapat atau ditularkan melalui Infeksi menular seksual yang sering
aktifitas atau hubungan seksual.1 Hubungan ditemui pada LSL adalah sifilis, diikuti
seksual tersebut baik secara genito-genital, dengan kondiloma akuminata, herpes
genito-anal (seks anal), genito-oral. IMS genitalis dan gonore. Infeksi sifilis seringkali
masih menjadi salah satu masalah kesehatan, asimtomatik dan seringkali didapatkan saat
sosial dan ekonomi yang utama di negara skrining, yaitu sekitar 85% berdasarkan
berkembang serta dapat menyebabkan sebuah studi di Melbourne. Prevalensi sifilis
peningkatan morbiditas, mortalitas dan diantara LSL secara umum tinggi pada
stigma.2 IMS dan komplikasinya merupakan beberapa studi, berkisar dari 3,2% hingga
salah satu dari lima penyebab utama tuntutan 5,6 % di Indonesia, 1,5% di Nepal, 1% di
perawatan kesehatan di negara berkembang.3 Bangladesh, 14,1% di Myanmar, 5% di Sri
Infeksi human immunodeficiency Lanka dan 15,5% di Timor-Leste.
virus (HIV) merupakan bagian dari IMS dan eerakoon (2012) menyebutkan bahwa satu
sering ditularkan melalui kontak seksual. dari tujuh LSL yang menyatakan sebagai
Hubungan seksual mencakup 85% penularan kontak dengan sifilis terkena sifilis, dan
HIV, meskipun HIV dapat juga ditularkan sebagian besar memiliki infeksi laten yang
melalui transfusi darah atau dari ibu ke awal.11, 12, 13
anak.4 Infeksi menular seksual dapat Risiko terkena HIV pada LSL yang
meningkatkan transmisi HIV dan begitu juga memiliki sifilis meningkat menjadi 2 hingga
sebaliknya. Hal ini disebut sebagai 5 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh karena
epidemiological synergy . Peningkatan ulkus durum pada sifilis mudah berdarah
transmisi HIV yang disertai IMS mungkin sehingga merupakan titik masuk virus HIV
disebabkan oleh adanya gangguan integritas kedalam tubuh. Pada LSL dengan HIV
mukosa, atau meningkatnya jumlah sel positif, ko-infeksi dengan sifilis
inflamasi yang terjadi pada IMS sehingga meningkatkan jumlah virus HIV, dengan
memudahkan replikasi HIV, atau demikian meningkatkan risiko transmisi HIV
peningkatan pelepasan HIV pada sekret kepada orang lain.14
genital karena meningkatnya jumlah virus Tingginya proporsi sifilis
sebagai akibat adanya infeksi oleh IMS.5 asimtomatik mungkin menandakan adanya
Hubungan seksual melalui anal infeksi asimtomatik yang tidak terdiagnosis
diperkirakan menjadi salah satu penyebab dikarenakan tidak adanya strategi skrining
peningkatan kasus IMS dan infeksi HIV. yang komprehensif untuk sifilis. Sifilis
Lelaki seks lelaki (LSL) didefinisikan dengan HIV positif dapat berkembang
sebagai pria yang berhubungan seks dengan menjadi sifilis tahap lanjut seperti sifilis
pria lain baik untuk keuntungan komersial tersier dalam satu waktu tertentu dalam
atau sebagai masalah preferensi seksual. 6 perjalanan penyakit, dan infeksi menjadi
Kaum LSL memiliki risiko tinggi terkena lebih sulit untuk diterapi. Komplikasi yang
IMS dan HIV, hal ini mungkin disebabkan dapat dialami penderita HIV dengan sifilis
karena sering berganti pasangan, dan peran antara lain kelemahan sistem imun dan
seks anal yang diperkirakan sangat kemampuan untuk mengatasi sifilis, chancre
berpengaruh.7,8,9 multipel yang dapat muncul pada tahap
Sifilis adalah penyakit infeksi infeksi awal, sifilis dengan cepat menjadi
menular seksual yang disebabkan oleh sifilis tersier dalam waktu yang singkat
kuman Treponema pallidum yang

10
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

(sekitar 6 bulan setelah infeksi sifilis), risiko Tabel 1. Data Karakteristik Subjek Penderita
neurosifilis yang lebih tinggi.12, 15 HIV.
Tingginya prevalensi IMS pada
komunitas LSL baik disertai HIV ataupun Jumlah
tidak diperkirakan kemungkinan karena Karakteristik (n=100)
aktifitas seksual genito-anal (seks anal). Jenis kelamin
Penelitian tentang pengaruh seks anal Laki-laki 66
terhadap kejadian infeksi sifiis pada Perempuan 34
penderita HIV belum pernah dilaporkan Usia
sebelumnya. 18-30 tahun 31
31-40 tahun 34
Tujuan dari dilakukannya penelitian 41-50 tahun 29
ini adalah untuk mengetahui pengaruh seks 51-60 tahun 6
anal terhadap kejadian infeksi sifilis pada
penderita HIV. Berdasarkan orientasi seks, pada seks
anal 50 (100%) subjek adalah laki-laki,
METODE sedangkan pada seks genital/ non anal 34
Penelitian ini merupakan suatu (68%) subjek wanita dan 16 (32%) subjek
penelitian analitik observasional dengan laki-laki. Berdasarkan usia antara seks anal
menggunakan rancangan studi potong dan non anal, jumlah terbanyak pada seks
lintang (cross sectional). Penelitian anal rata-rata usia 18-30 tahun yaitu 26
dilakukan di Rumah Sakit DR. Moewardi (52%) subjek dan makin berkurang dengan
Surakarta, yang dimulai dari bulan Juni 2018 bertambahnya usia, sedangkan pada seks non
sampai dengan selesai. Subjek penelitian ini anal/ seks genital pada usia 31-40 tahun
adalah semua penderita HIV yang terdaftar sebanyak 21 (42%) subjek. Orientasi seks
dalam VCT Rumah Sakit DR. Moewardi berdasarkan jenis kelamin dan usia secara
Surakarta. Subjek Penelitian adalah 100 statistik menggunakan chi-square test
orang pasien yang menderita HIV di VCT bermakna secara signifikan dengan nilai
Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta dan p=0.000 (Tabel 2)
dari kerja sama LSM yang bergerak dalam
pendampingan orang dengan HIV/AIDS Tabel 2. Tabel karakteristik Subjek
(ODHA) yang dibagi dalam 2 kelompok Penelitian Berdasarkan Orientasi Seksual
yaitu: kelompok seks anal dan genital
dengan mengisi kuisioner serta pemeriksaan Orientasi Seks Total
nilai p
sifilis. Analisis yang digunakan untuk karakteristik (%)
menguji hipotesis adalah uji chi s uare (x 2) Vaginal Anal
dengan menggunakan program SPSS 23 for Jenis Kelamin P: 0.0001
Perempuan 34 0 34 34
Windows. Laki-laki 16 50 66 66
Umur (tahun) P: 0.0001
HASIL 18-30 5 26 31 31
Berdasarkan hasil anamnesis dan 31-40 21 13 34 34
41-50 20 9 29 29
kuisioner didapatkan 100 subjek, terdiri dari
51-60 4 2 6 6
34 (34%) subjek perempuan dan 66 (66 %)
subjek laki-laki. Berdasarkan usia dibagi
Dari 100 subjek penderita infeksi
menjadi 4 kelompok yaitu usia 18-30 tahun
HIV didapatkan 35 (35%) subjek yang
31 (31%) subjek, usia 31-40 tahun 34 (34%)
reaktif terhadap pemeriksaan test VDRL dan
subjek, usia 41-50 tahun 29 (29%) subjek
TPHA. Dari 35 subjek yang reaktif pada
dan usia 51-60 tahun sebanyak 6 (6%)
pemeriksaan VDRL semuanya reaktif saat
subjek. (Tabel 1)
dikonfirmasi dengan pemeriksaan TPHA
(100% positif terinfeksi sifilis). Berdasarkan

11
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

orientasi seksual, diagnosis infeksi sifilis % within 96.0% 34.0% 65.0%


didapatkan 2 (4%) subjek pada non Orientasi.Sex
anal/genital sex, dan 33 (66%) subjek % of Total 48.0% 17.0% 65.0%
dengan orientasi anal seks. (Tabel 3 dan 4) R Count 2 33 35
Hasil pemeriksaan VDRL reaktif % within TPHA 5.7% 94.3% 100.0%
didapatkan titer 1/2 pada 12 subjek, 1/4 pada % within 4.0% 66.0% 35.0%
9 subjek, 1/8 pada 10 subjek, 1/16 pada 2 Orientasi.Sex
subjek dan 1/32 pada 2 subjek. Subjek % of Total 2.0% 33.0% 35.0%
dengan titer >/ 1/8 harus diterapi sebagai
sifilis dini dan berisiko menularkan ke
pasangan kontak seksual. Pada subjek Tabel 5. Risiko Seks Anal Terhadap
dengan titer 1/2 atau 1/4 bisa karena sifilis Kejadian Infeksi Sifilis
laten lanjut dengan kemungkinan bentuk
klinis yang tidak bisa diprediksi dan harus di Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
terapi sebagai sifilis laten lanjut apabila Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
belum pernah dilakukan terapi sebelumnya. Pearson Chi- 42.242a 1 .000
(tabel 1.3) S uare
Continuity 39.560 1 .000
Tabel 3 Hasil pemeriksaan titer VDRL Correctionb
(Sifilis) sebagai nilai evaluasi pengobatan Likelihood 48.591 1 .000
Ratio
Orientasi Seks Total (%) Fisher s .000 .000
VDRL Exact Test
Genital Anal
Non Reaktif 48 17 65 Linear-by- 41.819 1 .000
Reaktif 2 33 35 Linear
1/32 0 2 2 Association
1/6 0 2 2 N of Valid 100
1/8 0 10 10 Cases
1/4 2 7 9
1/2 0 12 12
PEMBAHASAN
Tabel 4. Hasil pemeriksaan VDRL dan Diagnosis sifilis ditegakkan
TPHA pada penderita infeksi HIV berdasarkan pemeriksaan VDRL reaktif
berdasarkan orientasi seksual yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
TPHA reaktif. Dari hasil penelitian pada
Orientasi.Sex
kelompok orientasi seksual didapatkan 50
Total (100%) subjek adalah LSL dan terdapat 33
Anal
Genital Sex (66 %) subjek yang menderita sifilis,
VDRL N Count 48 17 65 sedangkan pada kelompok seks genital/non
R % within VDRL1 73.8% 26.2% 100.0%
anal hanya didapatkan 2 (4%) yang
menderita sifilis. Hasil penelitian tersebut
% within 96.0% 34.0% 65.0%
Orientasi.Sex sesuai dengan penelitian-penelitian
% of Total 48.0% 17.0% 65.0% sebelumnya yang menyatakan peningkatan
R Count 2 33 35
insidensi sifilis pada kelompok risiko tinggi
LSL.8,9 Dari 100 penderita infeksi HIV
% within VDRL1 5.7% 94.3% 100.0%
didapatkan 35 (35%) subjek menderita
% within 4.0% 66.0% 35.0%
Orientasi.Sex sifilis, peningkatan insidensi sifilis pada
% of Total 2.0% 33.0% 35.0%
penderita HIV sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa Infeksi
TPHA N Count 48 17 65
R HIV berkorelasi dengan Infeksi sifilis.14
% within TPHA 73.8% 26.2% 100.0%

12
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Insidensi sifilis banyak terjadi pada DAFTAR PUSTAKA


kelompok dengan orientasi seks anal, hal 1. ang, .- ., Chen, .-S., in, .-P.,
tersebut dimungkinkan karena pada seks Liang, G.-J., Jiang, N., Dai, T., Huan,
anal, spinkter ani dan rektum lebih rentan .-P., ang, B., Liu, ., hou, .-J.
dan mudah terjadi luka sehingga peningatan dan ang, B.- . (2011) HIV/STD
transmisi bakteri ataupun virus pathogen pattern and its associated risk factors
lebih meningkat, koinfeksi antara infeksi among male STD clinic attendees in
HIV dan IMS juga akan lebih tinggi. Usia China: a foci for HIV intervention.,
terbesar pada kelompok orientasi seksual BMC public health, 11(1), hal. 1–8. doi:
seks anal adalah 18-30 tahun sebanyak 26 10.1186/1471-2458-11-955.
(52%) subjek, dan semakin menurun dengan 2. Okonko, I. O., Akinpelu, A. O. dan
bertambahnya usia. Hal tersebut perlu Okerentugba, P. O. (2012) Prevalence
diwaspadai karena saat ini terjadi of Sexually Transmitted Infections (
peningkatan jumla LSL sebagai tren jaman STIs ) among Attendees of AFRH
sekarang. Apabila hal tersebut tidak di Centre in Ibadan , Southwestern
tanggapi secara serius, maka insidensi Nigeria, Middle-East Journal of
infeksi sifilis dan HIV akan semakin Scientific Research, 11(1), hal. 24–31.
meningkat, karena terjadi peningkatan 3. Diez, M. Diaz, A. 2011. Sexually
penularan di kalangan LSL. 15 transmitted infections: Epidemiology
Melihat hasil data penelitian diatas and control. Rev Esp Sanid Penit 13,
dengan tinnginya insidensi sifilis pada 58-66.
penderita HIV dengan orientasi seksual seks 4. Ali, H., Micallef, J. Donovan, B.
anal, maka perlu dipertimbangkan untuk 2012. Global Epidemiology of HIV
membuat regulasi baru protokol pemeriksaan Infection. Dalam: Gupta, S. Kumar,
penderita HIV harus disertai pemeriksaan B. (eds.) Sexually Transmitted
sifilis terutama pada penderita dengan Infections. Edisi ke 2. India: Elsevier.
orientasi seksual seks anal, yang sebelumnya 5. Mulhall, B. P. 2012. Epidemiological
belum menjadi pemeriksaan rutin, dengan Interactions between HIV-1 and other
tujuan untuk memutus rantai penularan STI: A Complex, Continuing, Narrative.
infeksi sifilis. Dalam: Gupta, S. Kumar, B. (eds.)
Sexually Transmitted Infections. Edisi
ke 2. India: Elsevier.
KESIMPULAN 6. Mayer, K. H. Carballo-Dieguez, A.
Seks anal memiliki pengaruh 2008. Homosexual and bisexual
terhadap kejadian infeksi sifilis pada behaviour in men in relation to STDs
penderita infeksi HIV secara signifikan and HIV infection. Dalam: K. K.
(p=0.00). dan perilaku seks anal memiliki Holmes, P. F. Sparling, Stamm, . E.,
risiko terkena sifilis 48 kali lebih besar P. Piot, J. N. asserheit, L. Corey, M.
dibanding seks genital. S. Cohen atts, D. H. (eds.) Sexually
Transmitted Diseases. Edisi ke 4. New
ork: McGraw Hill.
7. Clinical Guidelines for Sexual Health
Care of Men Who Have Sex with Men.
2006. online . http://www.iusti.org/sti-
information/pdf/iusti ap msm nov 200
6.pdf Accessed 28 December 2016 .
8. Illa, L., Brickman, A., Saint-Jean, G.,
Echeni ue, M., Metsch, L., Eisdorfer,
C., dkk. 2008. Sexual risk behaviors in
late middle age and older HIV

13
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

seropositive adults. AIDS Behav, 12,


935-42.
9. Ciesielski, C. A. 2003. Sexually
transmitted diseases in men who have
sex with men: An epidemiologic
review. Curr Infect Dis Rep, 5, 145-152.
10. Holmes KK, Sprarling PF, Stamm E,
Piot P, asserheit JN, Corey L, dkk.
Sexually Transmitted Diseases. The
McGrow-Hill Companies.Singapore.
2008;(4). h. 203-18.
11. Garg, T., Chander, R., Jain, A.
Barara, M. 2012. Sexually transmitted
diseases among men who have sex with
men: A retrospective analysis from
Suraksha clinic in a tertiary care
hospital. Indian J Sex Transm Dis, 33,
16-9.
12. Bissessor, M., Fairley, C. K., Leslie, D.,
Howley, K. Chen, M. . 2010.
Fre uent Screening for Syphilis as Part
of HIV Monitoring Increases the
Detection of Early Asymptomatic
Syphilis Among HIV-Positive
Homosexual Men. J Acquir Immune
Defic Syndr, 55, 211-216.
13. eerakoon, A. P., Fairley, C. K., Read,
T. R., Bradshaw, C., Forrester, C.,
Bissessor, M., dkk. 2012. Syphilis
infection among homosexual men
reporting contact with syphilis: a case
control study. BMJ Open, 2.
14. Syphilis and MSM 2009. CDC Fact
Sheet. March 2009 ed.: CDC.
15. etola, N. M. Klausner, J. D. 2007.
Syphilis and HIV infection: an update.
Clin Infect Dis, 44, 1222-8.

14
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PERBEDAAN KUMAN PENYEBAB PIODERMA PRIMER DAN PIODERMA DENGAN


SKABIES

Suci idhiati, Intan, Fi ri..


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi/
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Jl. Kolonel Sutarto no 132 Jebres Surakarta,
suciwidhiati staff.uns.ac.id

Abstrak
Latar belakang:
Skabies merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang serius, dengan tidak ditemukannya
penurunan angka kesakitan akibat scabies dalam 25 tahun terakhir. Indonesia memiliki beban
skabies tertinggi berdasarkan Global Burden Survey. Skabies dapat memicu komplikasi serius
berupa glumerulo nefritis, sistemik sepsi dan nefritis akibat adanya infeksi sekunder khusunya
akibat invasi bakteri Staphylococcus Pyogenes dan Staphylococcus Aureus.
Metode:
Tujuan: Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan mikroba penyebab pioderma primer dan
pyoderma dengan skabies. Sampel mikroba diambil dari pasien dengan diagnosis pyoderma,
kemudian dilakukan kultur bakteri untuk mengetahui spesies mikroba yang ada.
Hasil:
Didapatkan perbedaan signifikan untuk penyebab pioderma primer dan pioderma dengan skabies
(p= 0.059) Sebagian besar penyebab pioderma baik primer maupun pyoderma dengan skabies
adalah stafilokokusaureus, sedang sebagian kecil lainnya adalah stafilokokus piogenes,
stafilokokus disgalactiae dan stafilokokus hominis
Kesimpulan:
Didapatkan perbedaan kuman penyebab infeksi pioderma primer dan pioderma dengan skabies.

Kata Kunci : pyoderma primer, pyoderma dengan skabies, Staphylococcus

15
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

PENDAHULUAN Pseudomonasaeroginosa,
Skabies merupakan infeksi kulit yang Staphylococcusepidermidis,
disebabkan oleh Staphylococcussaprohyticus dan
Sarcoptesscabieivarhominis, suatu parasit Enterococcusfecalis. Sehingga penelitian ini
obligat manusia (1). Permasalahan skabies ingin mengetahui adanya perbedaan kuman
didaerah tropis dan negara berkembang penyebab pioderma sekunder pada skabies
lebih besar di banding daerah lain, terutama dengan pioderma primer. (Bowenetal, 2014)
pada anak-anak, remaja dan lansia.(2) ang
perlu menjadi perhatian lebih adalah tidak Metode
adanya penurunan angka kesakitan akibat Penelitian dilakukan di RSUD Dr.
scabies dalam 25 tahun terakhir, terutama di Moewardibulan Juli 2018- September 2019.
Asia Timur, Asia Tenggara, Oceania dan Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis
Amerika Latin mulai dari tahun 1990 sampai menggunakan desain penelitian
2015.(3) Berdasarkan survei Global Burden, eksperimental. Besar sampel diperoleh dari
Indonesia memiliki beban scabies tertinggi total sampling pasien dengan infeksi
di ikuti oleh Cina, Timor-Leste, Vanuatu dan pioderma dan atau skabies yang datang di
Fiji. Menurut data prevalensi skabies di poliklinik kulit dan kelamin. Penelitian ini
Indonesia di tahun 2008 adalah 5,6-12,96%, dilakukan atas persetujuan diri dengan cara
yang meningkat menjadi 64,2% sampai menandatangani informedconsent yang
78,7% di pondok pesantren.(4).Dari 30 diajukan peneliti, setelah sebelumnya
(19,6%) pasien dengan skabies, 3,9% dengan mendapat penjelasan tentang tujuan dan
pioderma, sebanyak 18,3% dengan skabies manfaat penelitian ini.
dan pioderma dan sebanyak 25,5% dengan
pasca pioderma. Sedang penelitian di Fiji Hasil
menunjukkan bahwa lesi impetigo lebih aktif Subyek penelitian sebagian besar berumur
2,4 kali pada anak-anak dengan skabies 13 sampai dengan 14 tahun, bertempat
dibandingkan dengan anak tanpa skabies.(5) tinggal di jawa tengah dan bersekolah di
Garukan pada lesi dapat menjadi pencetus pesantren. Pada uji homogenitas, tidak
awal terjadinya infeksi sekunder pada terdapat perbedaan signifikan pada umur dan
penderita skabies (6). Infeksi skabies jenis kelamin dan penyakit yang mendasari
menjadi portal masuk bagi bakteri. Selain (tabel1).
itu, komplemen inhibitor yang dihasilkan Dengan menggunakan uji
oleh tungau skabies akan menjadi normalitasKomogorov-Smirnov didapatkan
pendukung bagi bakteri untuk hidup secara data untuk jenis kelamin dan penyakit yang
in vitro (7). menasari, yaitu pioderma primer dan
Bakteri yang paling sering ditemukan pioderma dengan skabies tidak normal,
pada kasus infeksi sekunder skabies adalah sehingga data diuji dengan test non
S. pyogenes. Selain itu, S. aureus juga parametrik (Tabel 2).
dilaporkan sebagai pathogen penyebab
infeksi sekunder pada skabies di Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
sana.Berdasarkan hasil penelitian terhadap
siswa sekolah dasar di Indonesia oleh ahya Karakteristik Frekuensi JumlahPresentase
etal (2018), angka kejadian pioderma Jenis Kelamin Laki-laki 13 72.2
Perempuan 5 27.8
sekunder yang menyertai skabies lebih tinggi Penyakit Pioderma primer 13 72.2
daripada kejadian pioderma primer. Hasil Pioderma dengan 5 27.8
kultur bakteri ditemukan berturut turut skabies
sebanyak 11,8% group A ( hemolytic) Umur 12 2 11.1
streptococcus (GAS), 2,9% ditemukan 13 10 55.6
14 5 27.8
Staphylococcusaureus, dan 85,3% 15 1 5.6
ditemukan jenis kuman lain antara lain

16
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Jenis bakteri Staphylococcus 13 72.2 menunjukkan bahwa penurunan prevalensi


aureus skabies disebabkan karena program preventif
Staphylococcussp. 5 27.8
yang baik pada pasien-pasien yang
menderita skabies maupun yang skabies
Tabel 2. Uji Normalitas terinfeksi. (9, 10, 11, 12, 13). Penelitian
ong dkk menemukan bahwa infeksi pada
Jumlah Asymp. Sig
(N) (2-tailed) skabies dan pioderma non skabies
Umur 18 0.062 mempunyai prevalensi yang sama pada
Jenis Kelamin 18 0.001 komunitas Aborigin di wilayah Australia
Penyakit yang 18 0.001 Utara. (9)
mendasari Studi sistematik review yang
dilakukan oleh HO tahun 2005
Dari hasil penelitian, tidak didapatkan menemukan bahwa studi bakteriologis yang
perbedaan signifikan penyebab pioderma bertanggung jawab untuk terjadinya
primer dan pioderma sekunder. Sebagian pioderma pada negara berkembang hanyalah
besar penyebab pioderma baik primer sedikit, terdapat 14 penelitian yang dapat
maupun sekunder adalah stafilokokusaureus, dimasukkan dalam pembahasan tersebut.
sedang sebagian kecil lainnya adalah Dari studi tersebut didapatkan bahwa
stafilokokuspiogenes, Stafilokokusaureus merupakan penyebab
stafilokokusdisgalactiae dan utama pioderma, namun demikian,
stafilokokushominis (Tabel 3). streptococcus grup A merupakan bakteri
yang banyak ditemukan pada studi-studi
Tabel 3. Perbedaan kuman penyebab tahun 1970an (14)
pioderma primer dan pioderma pada skabies. Pada penelitian ini ditemukan bakteri
penyebab pioderma paling banyak adalah
Karakteristik Pioderma p
Pyoderma Pyoderma
S.aureus, namun namun ditemukan pula
primer dengan bakteri S.hominis dan S.disgalactiae dalam
skabies jumlah sedikit, dan tidak ditemukan bakteri
Staphylococcus 3 9 0.059 streptokokus grup A pada studi ini.
aureus Tidak ditemukannya bakteri streptokokus
Staphylococcus 2 3
sp.
grup A (GAS) dapat disebabkan karena
bakteri streptokokus lebih sulit di
Diskusi identifikasi dari swab, karena adanya S.
Pioderma sekunder adalah pioderma yang Aureus yang dapat menghambat
terjadi akibat adanya lesi kulit sebelumnya, pertumbuhan mereka; sehingga pada
dapat berupa mikro lesi ataupun lesi terbuka pengambilan sampel dengan swab yang
yang dapat menyebabkan mudah masuknya tidak langsung penanaman, bila terdapat
kuman ke dalam kulit dan mengakibatkan pertumbuhan mixed dari bakteria, S. Aureus
peradangan dan infeksi(8). dapat bertahan sedang GAS tidak (14)
Kejadian pioderma sekunder akibat skabies Bakteri stafilokokusspp merupakan bakteri
pada penelitian ini lebih banyak gram positif termasuk dalam flora kulit
dibandingkan pioderma primer. Hasil ini karena mudahnya tumbuh dalam media
sesuai dengan penelitian yang telah kultur. S. aureus diperkirakan merupakan
dilakukan oleh peneliti lain, bahwa skabies bakteri patogen pada kulit, namun ditemukan
merupakan faktor risiko utama terjadinya pula mengkoloni kulit normal yang lembab.
pioderma, diikuti oleh tineakapitis. Infeksi (15) S.aureus yang mengeluarkan protease
pioderma pada pasien non-skabies dapat yaitu Aureolysin, Staphopain A (ScpA) dan
diakibatkan penularan superinfeksi pioderma Staphopain B (SspB) yang dapat
pada pasien skabies; sehingga penelitian menghambat fagositosis yang diperantarai
sel komplemen melalui pembelahan

17
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

kompleks protein C3, dan memfasilitasi


penghindaran imun, yang pada akhirnya Daftar Pustaka
menyuburkan perkembangbiakan bakteri. 1. Hicks MI, Elston DM. Scabies. Vol. 22,
Stafilokokus dengan bantuan protease Dermatologic Therapy. 2009. p. 279–92.
membuat suatu biofilm, yang dapat 2. Anderson KL, Strowd LC.
memberikan pertahanan organisme tersebut Epidemiology, Diagnosis, and
dari sel imunitas inang. (16) S.hominis dan Treatment of Scabies in a Dermatology
S.disgalactiae merupakan mikrobiota Office. J Am Board Fam Med Internet .
komensal pada kulit, keberadaannya dalam 2017;30(1):78–84.
menyebabkan pioderma juga telah 3. Karimkhani C, Colombara D V,
disebutkan dalam berbagai penelitian. Drucker AM, Norton SA, Hay R,
Pada penelitian ini tidak didapatkan Engelman D, et al. The global burden of
perbedaan kuman penyebab infeksi scabies: a cross-sectional analysis from
pioderma primer maupun pioderma the Global Burden of Disease Study
sekunder, sehingga tidak terdapat perbedaan 2015. Lancet Infect Dis Internet . 2017
terapi yang diberikan pada kedua kelainan Dec;17(12):1247–54. Available from:
tersebut, hanya saja pada pioderma sekunder https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/
perlu ditambahkan terapi sesuai dengan pii/S1473309917304838
kelainan lain yang mendasari. 4. Ramdiah S. Seminar Nasional
Kultur sebagai salah satu penanda kuman Pendidikan Biologi FKIP UNS. Jurnal.
infeksi pioderma tidak perlu dilakukan 2011;(Tabel 1):1–7.
secara rutin pada pemeriksaan klinis. Tanda 5. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, alton
klinis pioderma berupa pus dapat merupakan S. Scabies in the developing world–-its
suatu penanda atau marker adanya infeksi prevalence, complications, and
kuman stafilokokus, sehingga terapi empirik management. Clin Microbiol Infect
berupa pemberian antibiotik topikal standar Internet . 2012 Apr;18(4):313–23.
baku dapat diberikan. Standar baku terapi 6. Romani L, Koroivueta J, Steer AC,
pioderma adalah pemberian antibiotik Kama M, Kaldor JM, and H, et al.
topikal yaitu mupirosin. Scabies and Impetigo Prevalence and
Penelitian terkini menyebutkan bahwa kultur Risk Factors in Fiji: A National Survey.
memerlukan waktu yang panjang, dan tidak PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(3).
spesifik dalam mendeteksi mikroorganisme 7. Engelman D, Kiang K, Chosidow O,
penyebab infeksi. Saat ini telah McCarthy J, Fuller C, Lammie P, et al.
dikembangkan deteksi mikroorganisme Toward the Global Control of Human
secara lebih spesifik dengan menggunakan Scabies: Introducing the International
s uencing DNA mikroorganisme. Dengan Alliance for the Control of Scabies.
menggunakan metode ini, mikroorganisme PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(8).
penyebab infeksi dapat lebih spesifik 8. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
terdeteksi dan kemungkinan mendeteksi Paller AS, Leffell DJ, olff K.
lebih dari satu mikroorganisme sangat Fitzpatrick s Dermatology in General
dimungkinkan. (17) Medicine Eighth Edition. McGraw-Hill.
2012;150(4):22.
Kesimpulan 9. ong LC, Amega B, Barker R, Connors
Penelitian ini tidak ditemukan perbedaan C, Dulla ME, Ninnal A, et al. Factors
bakteri penyebab antara infeksi pioderma supporting sustainability of a
primer dan pioderma dengan scabies. community-based scabies control
program. Australas J Dermatol.
2002;43(4):274–7.
10. Currie BJ, Carapetis JR. Skin infections
and infestations in Aboriginal

18
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

communities in northern Australia.


Australas J Dermatol. 2000;
11. Carapetis JR, Connors C, armirr D,
Krause V, Currie BJ. Success of a
scabies control program in an Australian
Aboriginal community. Pediatr Infect
Dis J. 1997;
12. ong LC, Amega B, Connors C, Barker
R, Dulla ME, Ninnal A, et al. Outcome
of an interventional program for scabies
in an Indigenous community. Med J
Aust Internet . 2001 Oct 1;175(7):367–
70.
13. Taplin D, Meinking TL, Porcelain SL,
Athey RL, Taplin D, Porcelain SL, et al.
Community control of scabies: a model
based on use of permethrin cream.
Lancet Internet . 1991
Apr;337(8748):1016–8.
14. Organization H, Others.
Epidemiology and management of
common skin diseases in children in
developing countries. Geneva orld
Heal Organ Internet . 2005;54.
15. Scharschmidt TC, Fischbach MA. hat
lives on our skin: Ecology, genomics
and therapeutic opportunities of the skin
microbiome. Drug Discov Today Dis
Mech. 2013;10(3–4):83–9.
16. Suleman L. Extracellular Bacterial
Proteases in Chronic ounds: A
Potential Therapeutic Target Adv
ound Care Internet . 2016;5(10):455–
63.
17. Misic AM, Gardner SE, Grice EA. The
ound Microbiome: Modern
Approaches to Examining the Role of
Microorganisms in Impaired Chronic
ound Healing. Adv ound Care
Internet . 2014;3(7):502–10.

19
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Nilai Bilirubin Total pada Pasien Infark Miokard Akut

Aji KB , Arifianto H , Nursidi AA , Indriani S , asyanto T


Cardiology Resident; Cardiologist
Medical Faculty of Sebelas Maret University - Dr. Moewardi Hospital, Surakarta Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang :
Nilai serum bilirubin total berhubungan terbalik dengan kejadian penyakit jantung koroner (PJK),
diabetes melitus, hipertensi dan sindroma metabolik. Hubungan antara nilai bilirubin total dengan
kejadian kardiovaskular mayor belum diketahui dengan jelas.
Metode :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai bilirubin total pada pasien infark miokard
akut (IMA). Studi kohort prospektif dilakukan pada 75 pasien dengan SKA yang masuk ke unit
rawat intensif Rumah Sakit Dr. Moewardi, Surakarta sejak Januari-Maret 2014. Bilirubin total
dicek saat 24 jam pertama masuk rumah sakit dan dikelompokkan menjadi kuartil. Nilainya akan
diobservasi, dihubungkan dengan kejadian gagal jantung akut, kematian dan aritmia maligna
sebagai kejadian kardiovaskular mayor.
Hasil :
Kelompok dengan kadar bilirubin total tinggi (n = 38) adalah 2 kuartil teratas dengan nilai
bilirubin total >0.57 mg/dl dan kelompok dengan kadar bilirubin total rendah (n=37) adalah 2
kuartil terbawah dengan nilai bilirubin total <0.57 mg/dl. Kejadian gagal jantung akut secara
signifikan terjadi lebih banyak pada kelompok dengan kadar bilirubin total tinggi (86.8% vs
67.6%) odds ratio (OR) 3.17; confidence interval (CI) 0.99-10.16, p = 0.046.
Kesimpulan :
Kadar bilirubin yang tinggi saat awal masuk rumah sakit berhubungan erat dengan kejadian gagal
jantung akut pada pasien IMA.

Keywords: Bilirubin,infark miokard akut, kejadian kardiovaskular

20
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Pendahuluan masuk rumah sakit dan dikelompokkan


Penyakit kardiovaskular adalah penyebab menjadi kuartil. Nilainya akan diobservasi,
kematian utama di negara berkembang dan dihubungkan dengan kejadian gagal jantung
sepertiga penyebab kematian di seluruh akut, kematian dan aritmia maligna sebagai
dunia.1 Pembentukan oksidan radikal bebas kejadian kardiovaskular mayor. Kriteria
yang berlebihan dari stress oksidatif telah inklusi sampel adalah masuk dengan
dikenali sebagai mediator sinyal proses yang diagnosis infark miokard akut ditegakkan
mendasari terjadinya inflamasi pembuluh dengan adanya nyeri dada khas angina
darah pada proses atherogenesis.2 disertai deviasi segmen ST (baik
Antioksidan telah lama dikenali memiliki peningkatan maupun penurunan segmen ST)
peran proteksi melawan atherosklerosis dan dan peningkatan enzim jantung, baik
penyakit jantung koroner dengan mencegah troponin I maupun CKMB, sampel yang
oksidasi dari kolesterol LDL.3 diambil memenuhi seluruh ketiga kriteria
Bilirubin adalah antioksidan yang tersebut. Pasien yang masuk dengan syok
potent dibawah kondisi fisiologis yang kardiogenik, infeksi, yang didefinisikan
normal dan mampu menekan proses oksidasi dengan angka leukosit >11 ribu, riwayat
dari lemak dan lipoprotein. Pada percobaan sakit liver, hepatitis B dan C positif lewat
in vitro, bilirubin mampu mencegah pemeriksaan laboratorium, gagal ginjal
pembentukan plak yang berujung dengan kronik, peningkatan serum transaminase >2x
pembentukan atherosklerosis.4 Kadar nilai normal disingkirkan. Dari follow up
bilirubin yang rendah berhubungan erat pasien dievaluasi kejadian kardiovaskular
dengan kejadian penyakit jantung koroner mayor berupa gagal jantung akut, aritmia
lebih awal (prematur).5 Studi sebelumnya maligna dan kematian. Aritmia maligna yang
juga memperlihatkan bahwa ada hubungan dimasukkan kedalam penelitian ini adalah
yang terbalik antara kadar serum bilirubin ventrikel takikardi baik dengan maupun
total dengan kejadian penyakit arteri perifer, tanpa nadi dan ventrikel fibrillasi.
penebalan tunika intima arteri carotis 6 dan Data karakteristik dasar
kalsifikasi arteri koroner.7 menggunakan Uji T untuk variabel numerik
Studi epidemiologi menunjukkan (rasio, interval), bila tidak memenuhi syarat
bahwa kadar serum bilirubin total menggunakan Uji Mann ithney (yaitu
berbanding terbalik dengan kejadian sebaran data normal), Uji Chi s uare bila
penyakit jantung koroner yang stabil, variabel berupa katagorik. Hubungan antara
hipertensi, diabetes dan sindroma Billirubin dengan kejadian kardiovaskuler
5
metabolik. Kebanyakan penelitian berfokus menggunakan uji chi s uare, dikatakan
pada hubungan serum bilirubin total dengan memiliki efek signifikan jika nilai P<0.05.
penyakit jantung koroner yang stabil, masih Analisis ketahanan hidup selama 7 hari masa
sedikit yang meneliti tentang hubungan rawat inap pada kedua kelompok
antara serum bilirubin total pada kondisi menggunakan kurva Kapplan Meier.
stress akut dan prognosis jangka pendek.
Penelitian ini mencoba mengevaluasi Hasil
hubungan serum bilirubin dengan kejadian Data karakteristik dasar dari pasien dibagi
kardiovaskular mayor pada kondisi infark menjadi kuartil (4 bagian), dua kuartil teratas
miokard akut dikelompokkan menjadi grup dengan kadar
bilirubin tinggi dengan jumlah pasien 38
Metode orang dan nilai bilirubin >0,57 mg/dl,
Studi kohort prospektif dilakukan pada 75 sedangkan dua kuartil terbawah dengan
pasien dengan IMA yang masuk ke unit jumlah pasien 37 orang dikelompokkan
rawat intensif Rumah Sakit Dr. Moewardi, menjadi grup dengan kadar bilirubin rendah,
Surakarta sejak Januari-Maret 2014. yaitu <0,57 mg/dl. Dari data karakteristik
Bilirubin total dicek saat 24 jam pertama dasar tidak didapatkan perbedaan yang

21
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

bermakna antara kedua kelompok pada Creatinin 1.26 0.67 1.21 0.42 0.63
seluruh parameter, kecuali tekanan darah SGOT 41.57 20.84 45.82 27.30 0.66
SGPT 29.54 16.94 32.97 19.42 0.63
saat awal masuk dengan nilai 141.59 32.21
Bilirubin 0.41 0,11 0.95 0.31 <0.001
pada kelompok bilirubin rendah dan Albumin 4.00 0.41 4.03 0.45 0.69
129.05 30.39 pada kelompok bilirubin HDL 39.81 10.55 37.11 10.67 0.27
tinggi dengan nilai p=0.03, ini menandakan LDL 124.66 35.77 126.92 34.38 0.78
tingkat homogenitas yang tinggi antara Riwayat 21 (57%) 23(61%) 0.74
kedua kelompok sampel. Pasien dengan merokok
ACS dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Diabetes 6(16%) 7(18%) 0.80
Hipertensi 21(57%) 19(50%) 0.56
dengan dan tanpa adanya suatu elevasi
segmen ST pada EKG, tidak didapatkan
perbedaan kadar bilirubin yang signifikan
pada keduanya.
Kedua kelompok diamati presentasi Tabel 2. Hubungan antara Billirubin
saat awal masuk dan selama berada diruang dengan kejadian kardiovaskuler
intensif, dilihat kejadian kardiovaskuler Menggunakan uji chi square
berupa gagal jantung akut, aritmia maligna
Variabel Atrib Bilirubin Bilirubin p OR CI 95%
dan kematian. Didapatkan hasil kelompok ut tinggi rendah
dengan bilirubin tinggi memiliki hubungan N % N % Min Max
yang signifikan dengan kejadian gagal (38) (37)
jantung akut dengan persentase 86.8% vs Kematian es 2 5.2 5 13.5 0.262 0.356 0.096 1.961
67.5% (P=0.046, OR=3.168) sedangkan No 36 32
Gagal es 33 86. 25 67.5 0.046 3.168 0.99 10.16
kejadian aritmia maligna lebih banyak jantung 8
terjadi pada kelompok bilirubin rendah akut
dengan hubungan yang tidak signifikan No 5 12
(P=0.728, OR 0.804) dan kematian juga Aritmia es 6 15. 7 18.9 0.728 0.804 0.242 2.665
lebih banyak terjadi pada kelompok bilirubin maligna 7
No 32 30
rendah dengan hubungan yang tidak
signifikan (P=0.262, OR=0.356).
Kurva Kapplan-Meier menunjukkan
angka ketahanan hidup yang lebih tinggi
Tabel 1. Data karakteristik dasar
pada kelompok bilirubin tinggi walaupun
menggunakan Uji T untuk variabel
nilainya tidak signifikan (P=0.243).
numerik (rasio, interval), bila tidak
memenuhi syarat (sebaran data normal)
menggunakan Uji Mann Withney, Uji Chi
square bila variabel katagorik

Parameter TB rendah (n=TB tinggi (n= p-


37) 38) value
(<0,57 mg/dl) (>0,57 mg/dl)
Usia 58.19 4.90 55.05 8.07 0.13
Jenis kelamin27 (73%) 25 (67%) 0.50
laki-laki
Tipe ACS 0.84
NSTEMI 8 10
STEMI 29 28
Tekanan darah 141.59 32.21 129.05 30.39 0.03
Skor GRACE 135.68 37.52 133.16 31.98 0,76 Gambar 1. Kurva Kapplan-Meier
Haemoglobin 12.80 2.13 13.71 1.31 0.03 menunjukkan tingkat ketahanan hidup
Leucocyte 10.95 4.61 11.48 3.81 0.57 selama diruang intensif kelompok dengan
Trombosit 241.49 66,257 262.89 76,91 0,20 bilirubin tinggi lebih tinggi
Ureum 43.11 27.32 34.29 16.01 0.28

22
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

dibandingakan kelompok bilirubin tinggi nilai bilirubin berhubungan dengan


rendah. perbaikan fungsi endotel arteri koroner.15
Semua studi diatas menyimpulkan
Diskusi bahwa kadar bilirubin yang tinggi
Hemoglobin ekstraseluler dapat dengan berhubungan dengan efek protektif terhadap
mudah teroksidasi dan melepaskan heme, penyakit kardiovaskular. Tetapi memang
dimana heme bebas ini akan bekerja sebagai semua studi diatas tidak dilakukan pada
agen sitotoksik, terutama jika ada suatu kondisi stress akut, dan belum ada yang
stress oksidatif dan inflamasi. Ini akan meneliti tentang hubungan kejadian
berfungsi sebagai katalis untuk oksidasi kardiovaskular yang mengikuti kondisi
LDL kolesterol. Heme juga sindroma koroner akut dengan nilai
mengekspresikan molekul adhesi seluler.8 bilirubin. Okuhara melaporkan bahwa ada
Heme juga ternyata berhubungan dengan kenaikan serum bilirubin pada kondisi
pathogenesis atherosklerotik.9 Sebagai serangan akut infark miokard, tetapi tidak
molekul hidrofobik, heme bebas memiliki pada kondisi non akut.16 Kadar heme
efek pada membran sel menyebabkan oksigenase (HO) juga meningkat, dan
kerusakan. Ini akan mengkatalisis protein memilki hubungan yang positif dengan
peroksidasi pada membran yang akan bilirubin. Itu adalah studi yang pertama kali
membawa kepada pemecahan protein. yang mengemukakan bahwa kadar bilirubin
Enzim heme oxygenase (HO) merombak dan HO meningkat pada kondisi stress akut
pro-oksidan heme menjadi biliverdin, besi pada manusia. Pada studi tersebut disebutkan
dan karbonmonoksida. Dari biliverdin akan onset puncak kadar tertinggi HO adalah 21
dirubah menjadi bilirubin dengan aktivitas jam dan bilirubin 15-18 jam setelah infark
biliverdin reduktase. Bilirubin ternyata akut, dan itu merupakan marker
berperan sebagai antioksidan dan berfungsi laboratorium yang sangat baik sebagai
mencegah oksidasi dari LDL kolesterol. penanda kerusakan otot jantung. Pada studi
Bilirubin juga berperan sebagai pemakan in vitro memperlihatkan bahwa protein HO
oksigen radikal bebas dan memilki efek dan aktivitasnya diatur didalam miokard
antikomplement.10 Akhir-akhir ini banyak pada respon terhadap infark.17
studi memfokuskan pada hubungan antara Ada 3 jenis protein HO, yaitu HO-1,
bilirubin dengan PJK stabil. HO-2 dan HO-3, yang paling umum dikenal
Schwertner memperlihatkan sebagai isoenzim dari HO adalah HO-1 dan
hubungan berlawanan yang signifikan antara HO-2, sedangkan HO-3 adalah pseudogene,
kadar bilirubin dengan prevalensi PJK.11 turunan dari transkripsi HO-2. Pelepasan
Huang meneliti pasien dengan sindrom x HO-1 diinduksi oleh kondisi stress akut,
kardiak dan memberikan hasil kelompok tetapi tidak dikeluarkan pada kondisi normal.
dengan kadar bilirubin terendah memiliki Sedangkan HO-2 memiliki aktifitas rendah
keluaran terburuk dengan durasi follow up (<10% aktifitas HO-1). Hasil penelitian ini
selama 5 tahun.12 Gullu menyatakan bahwa menunjukkan bahwa peningkatan bilirubin
serum bilirubin yang lebih tinggi memiliki menggambarkan aktifitas HO-1.
efek protektif melawan disfungsi Kemungkinan mekanisme aktivasi HO-1
mikrovaskular dan coronary flow reserve adalah karena efek HO-1 dan produknya
yang terganggu. 13 Erdogan mengevaluasi yaitu bilirubin, memiliki efek sitoprotektif
179 pasien yang akan dilakukan angiografi yang mendukung kapasitasnya sebagai
koroner dengan kecurigaan PJK dan antiinflamasi dan antioksidan. Derajat
menemukan bahwa makin tinggi nilai aktivasi HO-1 berhubungan dengan
bilirubin berhubungan dengan adanya intensitas respon inflamasi terhadap
kolateral arteri koroner pada oklusi total kerusakan miokard yang menyebabkan
kronik.14 oshino melaporkan bahwa makin peningkatan kadar bilirubin.18

23
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Nekrosis miokard akan memicu dan dengan analisis multivariate regresi nilai
reaksi inflamasi, dimana akan mengaktivasi total bilirubin 0.1–0.4 mg/dl berhubungan
suatu jalur secara beruntun yang akhirnya signifikan dengan angka mortalitas yang
akan membentuk jaringan parut pada lebih tinggi (hazard ratios, 1.36; 95%
miokard yang akan berujung pada terjadinya confidence interval, 1.07–1.72; P = 0.012).25
suatu remodeling ventrikel kiri.19 Hubungan antara nilai bilirubin total
Remodelling adalah suatu perubahan dari yang rendah dengan mortalitas total yang
bentuk, ukuran dan komposisi dari miokard lebih tinggi diduga karena bilirubin memiliki
karena adanya respon terhadap suatu efek antioksidan dan anti inflamasi.10,26
keadaan. Sitokin inflamasi memiliki efek Horsfall dkk menyatakan nilai bilirubin total
yang signifikan terhadap remodelling dari yang lebih rendah berhubungan dengan
ventrikel kiri. Banyak data menunjukkan IL- resiko kejadian penyakit jantung koroner dan
1 dan TNF- sebagai sitokin inflamasi yang mortalitas.27 Hubungan yang berlawanan
terutama menyebabkan remodeling ventrikel antara nilai total bilirubin dan kematian
kiri. Dilatasi ventrikel kiri dan perubahan karena kardiovaskular juga telah dilaporkan
komposisi kolagen juga telah diobservasi distudi yang lain.18 Nilai total bilirubin
pada hewan dengan ekspresi TNF- yang sering meningkat pada kondisi dengan
berlebihan.20 penyakit liver dan mungkin berhubungan
Kondisi gagal jantung sendiri dengan resiko kematian yang lebih tinggi,
dipengaruhi erat oleh adanya proses tetapi pada penelitian ini kita sudah
inflamasi.21 Proses inflamasi sendiri dapat menyingkirkan sampel dengan peningkatan
menyebabkan kerusakan miokard dan enzim transaminase dan dari anamnesa
memperburuk gagal jantung yang mengikuti memilki riwayat sakit liver. Pada penelitian
episode infark. Hubungan gagal jantung kali ini didapatkan kematian terjadi lebih
dengan proses inflamasi pertama kali diteliti tinggi pada kelompok dengan kadar bilirubin
pada 1955 dimana ditemukannya hubungan rendah, walaupun tidak signifikan,
yang signifikan antara gagal jantung dengan penjelasan yang mendukung hasil ini adalah
kadar CRP, dan berhubungan positif dengan karena bilirubin memiliki efek antioksidan
severitas gagal jantung.22 Data terkini dan anti inflamasi yang bersifat protektif.
menunjukkan bahwa sitokin inflamasi Pada studi yang melihat hubungan
seperti TNF- , TNFR1 dan IL-6 nilai bilirubin total dengan kejadian atrial
berhubungan erat dengan fungsi sistolik dan fibrilasi bukan valvular dengan sampel 102
diastolik ventrikel kiri pada studi pasien AF lone tanpa adanya penyakit
ekokardiografi.23 Data secara eksperimental kardiovaskular yang lain dibandingkan
menunjukkan bahwa menurunkan efek dari dengan kontrol 100 pasien dengan irama
sitokin inflamasi akan menghambat sinus didapatkan kadar bilirubin pada
progesifitas gagal jantung, setelah kelompok AF lebih rendah signifikan
menginduksi infark miokard pada hewan uji, dibanding kelompok kontrol. Ini
penghambatan NF Kappa B menghasilkan dikarenakan adanya stress oksidatif dan
perbaikan fungsi sistolik dan diastolik inflamasi yang berperan penting pada
ventrikel kiri.24 kejadian AF yang dilihat dengan nilai CRP
Pada studi yang dilakukan Leung meningkat dua kali dibanding kelompok
Ong dkk pada tahun 2014 yang melihat control.28
hubungan antara nilai bilirubin total dengan
angka mortalitas total setelah diikuti selama Kesimpulan
4,5 tahun dengan total sampel 4,303 pasien bilirubin berhubungan dengan kejadian gagal
menyatakan pasien dengan nilai bilirubin jantung akut pada pasien infark miokard
total 0.1–0.4 mg/dl memilki angka mortalitas akut.
terbesar (19.8%) dibanding dengan pasien
yang memilki kadar bilirubin 0.5–0.7 mg/dl,

24
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

Kepustakaan 11. Schwertner HA, Jackson G and Tolan


1. Ross R. The pathogenesis of G. Association of low serum
atherosclerosis: a perspective for the concentration of bilirubin with
1990s. Nature 1993;362:801-9. increased risk of coronary artery
2. Madamanchi NR, Vendrov A and disease. Clin Chem 1994;40:18-23.
Runge MS. Oxidative stress and 12. Huang SS, Huang PH, Leu HB, et al.
vascular disease. Arteriosclerosis, Serum bilirubin predicts long-
Thrombosis, and Vascular Biology term clinical outcomes in patients with
2005;25:29-38. cardiac syndrome . Heart
3. Frankel EN, Kanner J, German JB, et al. 2010;96:1227-1232.
Inhibition of oxidation of human low 13. Gullu H, Erdogan D, Tok D, et al. High
density lipoprotein by phenolic serum bilirubin concentrations preserve
substances in red wine. Lancet coronary ow reserve and coronary
1993;341:454-7. microvascular functions. Arterioscler
4. Stocker R, amamoto , McDonagh Thromb Vasc Biol 2005;25:2289-2294.
AF, et al. Bilirubin is an antioxidant of 14. Erdogan T, Ci ek , Kocaman SA, et
possible physiological importance. al. Increased serum bilirubin level is
Science 1987;235:1043-6. related to good collateral development
5. Hopkins PN, u LL, Hunt SC, et al. in patients with chronic total coronary
Higher serum bilirubin is associated occlusion. Intern Med 2012;51:249-255.
with decreased risk for early familial 15. oshino S, Hamasaki S, Ishida S, et al.
coronary artery disease. Characterization of the effect of serum
Arteriosclerosis, Thrombosis, and bilirubin concentrations on coronary
Vascular Biology 1996;16: 250-5. endothelial function via measurement of
6. Perlstein TS, Pande RL, Beckman JA, high sensitivity C reactive protein
et al. Serum total bilirubin level and and high density lipoprotein cholesterol.
prevalent lower extremity peripheral Heart Vessels 2013;28(2):157-65.
arterial disease: National Health and 16. Okuhara K, Kisaka T, Ozono R, et al.
Nutrition Examination Survey Change in bilirubin level following
(NHANES) 1999 to 2004. acute myocardial infarction is an index
Arteriosclerosis, Thrombosis, and for heme oxygenase activation. South
Vascular Biology 2008;28:166-72. Med J 2010;103:876-881.
7. hang , Bian L , Kim SJ, et al. 17. Mito S, Ozono R, Oshima T, et al.
Inverse relation of total serum bilirubin Myocardial protection against pressure
to coronary artery calci cation score overload in mice lacking Bach1, a
detected by multidetector computed transcriptional repressor of
tomography in males. Clinical heme oxygenase-1.Hypertension
Cardiology 2012;35:301-6. 2008;51:1570-1577.
8. Morita T. Heme oxygenase and 18. Gul M, Uyarel H, Ergelen M, et al.
atherosclerosis. Arterioscler Thromb Prognostic Value of Total Bilirubin in
Vasc Biol 2005;25:1786-1795. Patients ith ST SegmentElevation
9. Jeney V, Balla J, achie A, et al. Pro Acute Myocardial Infarction
oxidant and cytotoxic effects of Undergoing Primary Coronary
circulating heme. Blood 2002;100:879- Intervention. Am J Cardiol
887. 2013;111:166-171.
10. Shibahara S. The heme oxygenase 19. Frangogiannis NG. Regulation of the
dilemma in cellular homeostasis: new Inflammatory Response In Cardiac
insights for the feedback regulation of Repair. Circ Res 2012;110:159-173.
heme catabolism. Tohoku J Exp Med 20. Diwan A, Dibbs , Nemoto S, et al.
2003;200:167-186. Targeted overexpression of

25
Pik Siong, Dian Ariningrum ISSN: 2301-6736
Patologi Klinik FK-UNS / RSUD Dr. Moewardi

noncleavable and secreted forms of


tumor necrosis factor provokes
disparate cardiac phenotypes.
Circulation. 2004;109:262-268.
21. Levine B, Kalman J, Mayer L, et al.
Elevated circulating levels of tumor
necrosis factor in severe chronic heart
failure. N Engl J Med. 1990; 323:236-
241.
22. Elster SK, Braunwald E, ood HF, et
al. A study of C reactive protein in the
serum of patients with congestive heart
failure. Am Heart J. 1956; 51:533-541.
23. Chrysohoou C, Pitsavos C, Barbetseas
J, et al. Chronic systemic inflammation
accompanies impaired ventricular
diastolic function, detected by Doppler
imaging, in patients with newly
diagnosed systolic heart failure
(Hellenic Heart Failure Study). Heart
Vessels. 2009; 24: 22-26.
24. Kawano S, Kubota T, Monden , et al.
Blockade of NF kappaB improves
cardiac function and survival after
myocardial infarction. Am J Physiol
Heart Circ Physiol. 2006; 291:1337-
1344.
25. Ong KL, Allison MA, Cheung BM, et
al. The Relationship between Total
Bilirubin Level and Total Mortality in
Older Adults: The United
States National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) 1999
to 2004. PloS ONE 9(4):94479.
26. Lin JP, Vitek L, Schwertner HA, et al.
Serum bilirubin and genes controlling
bilirubin concentrations as biomarkers
for cardiovascular disease. Clin Chem
56: 1535–1543.
27. Horsfall LJ, Nazareth I, Petersen I, et al.
Cardiovascular events as a function of
serum bilirubin levels in a large, statin-
treated cohort. Circulation 126: 2556–
2564.
28. Demira M, Demirb C, Uyana U, et al.
The Relationship Between Serum
Bilirubin Concentration and Atrial
Fibrillation Cardiol Res. 2013;4(6):186-
191.

26

Anda mungkin juga menyukai