Anda di halaman 1dari 24

JOURNAL READING

ROLE OF LIFESTYLE MODIFICATION THROUGH DIETARY CHANGES TO


ENDOMETRIAL RECEPTIVITY ON INFERTILITY WOMEN AND OBESITY
WITH POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

Pembimbing :
dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG

Disusun Oleh:
Helni Syahriani Hasibuan G4A019011
Nabila Diar Isnaini G4A019012

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Journal Reading dengan judul:


“ROLE OF LIFESTYLE MODIFICATION THROUGH DIETARY CHANGES
TO ENDOMETRIAL RECEPTIVITY ON INFERTILITY WOMEN AND
OBESITY WITH POLYCYSTIC OVARY SYNDROME’

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:
Helni Syahriani Hasibuan G4A019011
Nabila Diar Isnaini G4A019012

Purwokerto, 7 Februari 2021

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG


I. ISI JURNAL

Abstrak

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh modifikasi gaya hidup pada daya penerimaan
endometrium perempuan obesitas dengan sindrom ovarium polikistik menggunakan
ultrasonografi.

Metode : Penelitian observasional ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Cipto


Mangunkusumo Jakarta dari bulan Agustus 2019 hingga Mei 2020. Sebanyak 14
subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Semua subyek disarankan untuk
mendapatkan konseling gizi oleh ahli gizi dan dilakukan observasi profil
endometrium selama 6 bulan dengan ultrasonografi.

Hasil : Sebanyak 19 subjek menerima konseling gizi oleh ahli gizi klinis, tetapi
kemudian, hanya 14 subjek yang dievaluasi profil endometrium dengan
Ultrasonografi. Ada beberapa hasil yang signifikan antara sebelum dan sesudah
perawatan beberapa subjek seperti kalori, berat badan, indeks massa tubuh, lingkar
pinggang (p<0,05) dan tipe zona vascular endometrium, volume endometrium dan
indeks aliran vascular dengan ultrasonografi (p<0.05). Dalam penelitian ini, tidak
ditemukan hasil yang signifikan pada korelasi antara perubahan pola makan dan
perubahan dalam profil daya penerimaan endometrium.

Kesimpulan : Tidak ada korelasi yang signifikan antara perubahan antropometrik


dan asupan kalori harian dengan perubahan zona vaskular endometrium.

Kata kunci: endometrium, obesitas, reseptivitas, sindrom ovarium polikistik,


ultrasonografi.
Pendahuluan

Sindrom Ovarium Polikistik merupakan suatu bentuk gangguan ovulasi terbanyak


(85%) yang menyebebkan infertilitas tipe II menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dan menjadi salah satu endokrinopati yang paling umum dan mempengaruhi
sekitar 5% hingga 10% pada wanita usia subur. Kondisi obesitas dapat memperburuk
kondisi ini karena peningkatan kadar androgen sehingga bertanggung jawab untuk
menimbulkan gejala sindrom ovarium polikistik seperti anovulasi kronis. Di RSU dr.
Cipto Mangunkusumo didapatkan sekitar 73% obesitas terjadi pada wanita dengan
sindrom ovarium polikistik.

Obesitas dan sindrom ovarium polikistik berdampak pada kapasitas endometrium


untuk menerima hasil pembuahan. Oleh karena itu, daya penerimaan endometrium
saat ini dianggap sebagai salah satu faktor penentu yang bertanggung jawab untuk
pengobatan infertilitas. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2020 menyimpulkan
bahwa angka kehamilan pengguna Klomifen Sitrat hanya 12,2%, namun modifikasi
gaya hidup berhasil meningkatkan angka kehamilan pada pasien sindrom ovarium
polikistik hingga 20%.

Pemeriksaan daya penerimaan endometrium dengan metode biopsi endometrium


yang telah dilakukan oleh Noyes sejak tahun 1950 hingga saat ini memiliki
kelemahan, karena prosedur klinis traumatis yang dilakukan selama masa implantasi
embrio. Sehingga prosedur ini tidak dijadikan sebagai standar dalam pemeriksaan
reseptivitas endometrium. Kemudian pemeriksaan ultrasonografi (USG) telah
menggantikan peran penting dalam evaluasi dan pengobatan reseptivitas
endometrium pada pasien infertilitas karena diharapkan dapat lebih efisien, hemat
biaya dan prosedur proses klinis traumatis. Pengobatan pada daya penerimaan
endometrium menggunakan ultrasonografi. Oleh karena itu, penelitian ini
menekankan pengaruh modifikasi gaya hidup melalui perubahan pola makan terhadap
daya penerimaan endometrium pada wanita obesitas dengan sindrom ovarium
polikistik menggunakan ultrasonografi.

Metode

Penelitian ini merupakan studi observasional longitudinal prospektif yang


menyelidiki pengaruh diet yang dikontrol oleh ahli gizi klinis pada wanita infertil
dengan sindrom ovarium polikistik terhadap perubahan zona vaskuler endometrium.
Penelitian ini dilakukan di Klinik Yasmin RSUD dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
dari bulan Agustus 2019 sampai bulan Mei 2020. Wanita usia subur (20-35 tahun)
yang menderita sindrom ovarium polikistik, wanita yang mengalami infertilitas
primer atau sekunder, dan obesitas menurut WHO Asia Pasifik dimana kami
memasukkan ke dalam penelitian ini.

Subjek penelitian mendapatkan intervensi gizi klinis oleh ahli gizi klinis
setiap seminggu sekali pada kontrol pertama, kemudiaan setiap dua minggu sekali
hingga sebulan sekali. Setiap subjek yang telah diberikan intervensi juga melakukan
pengukuran antropometri klinis dan asupan harian. Subjek juga melakukan
pemeriksaan USG pada kontrol pertama dan kemudian dievaluasi kembali pada bulan
ketiga dan atau pada bulan keenam diantara siklus menstruasi 19-21 hari setelah
pemeriksaan kadar progesteron. Subjek yang sedang hamil dianggap memiliki
keinginan untuk merawat subjek dan tetap dimasukkan ke dalam hasil penelitian.
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Nomor 596/UN2.F1/ETIK/PPM.00.002/ 2019.

Hasil

Sebanyak 32 subjek yang bersedia untuk berpartisipasi dan memenuhi kriteria inklusi
dan ekslusi yang sudah dilakukan. Setelah proses pemeriksaan USG ditahap awal,
subjek langsung diberikan edukasi tentang pentingnya mengubah gaya hidup berupa
pola makan dan aktivitas fisik secara langsung oleh ahli gizi. Namun pada akhir
penelitian hanya terdapat 14 subjek yang dapat menyelesaikan penelitian dan
sebanyak 18 subjek yang tergolong drop out. Karakteristik dasar dari 14 subjek yang
telah diselesaikan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada semua subjek baik dalam kelompok siklus ovulasi dan anovulasi, rasio yang
signifikan (p = 0,001) diperolah antara asupan kalori harian sebelum dan sesudah
menerima terapi medis oleh spesialis gizi klinis. Semua subjek mampu menurunkan
rata-rata 374,6 kalori hingga akhir penelitian. Secara keseluruhan, ada juga
perbandingan yang signifikan (p = 0,008) dalam berat badan sebelum dan sesudah
menerima terapi medis oleh spesialis nutrisi klinis, meskipun tidak menunjukkan
signifikansi statistik pada setiap kelompok. Rerata penurunan berat badan pada
kelompok yang mengalami siklus ovulasi lebih besar daripada kelompok anovulasi
yaitu sebesar 4 kg dibandingkan 1,8 kg. Secara keseluruhan terdapat perbedaan yang
signifikan (p = 0,036) pada Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum dan sesudah
menerima terapi media oleh spesialis nutrisi klinis, meskipun tidak menunjukkan
signifikansi statistik pada setiap kelompok. Pada kelompok subjek yang mengalami
siklus ovulasi rata-rata penurunan ukuran lingkar pinggang sebesar 6,6 cm hingga
selesainya penelitian dibandingkan dengan rata-rata penurunan ukuran lingkar
pinggang pada kelompok subjek yang mengalami siklus anovulasi rata-rata
penurunan ukuran lingkar pinggang adalah 5 cm. Hasil tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.

Dalam profil USG tipe zona vaskuler endometrium (ZV), kelompok yang mengalami
siklus ovulasi menemukan perbedaan yang signifikan (p = 0,026) dari zona vaskular
1 hingga 3 dibandingkan dengan kelompok yang menjalani siklus anovulasi. Pada
semua subjek baik pada kelompok siklus ovulasi maupun pada kelompok siklus
anovulasi terjadi peningkatan dalam Volume Endometrium (VE) dan peningkatan
Vascular Flow Index (VFI) yang signifikan secara statistic (p < 0,05). Akan tetapi
tidak ada peningkatan Flow Index (FI) yang signifikan secara statistik pada subjek
yang telah menerima terapi medis oleh spesialis gizi klinis. Hasil tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.
Pada penelitian ini menggunakan metode Spearman didapatkan korelasi positif (r > 1)
antara perubahan berat badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang pada 14
subjek yang mendapat terapi medis dari dokter spesialis gizi klinis dengan perubahan
zona vascular endometrium, walaupun secara statistik tidak signifikan (p > 0,05).
Sedangkan korelasi antara perubahan kalori dengan perubahan zona vascular
endometrium pada penelitian ini berkorelasi negative ( r < 1). Hasil penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4.

Diskusi
Menurut analisis kami, hal ini disebabkan oleh kesulitan mengubah persepsi pasien
bahwa perubahan gaya hidup dalam bentuk diet dan olahraga merupakan manajemen
lini pertama dalam pengobatan sindrom ovarium polikistik (PCOS), sebagian besar
subjek ingin mendapatkan obat atau tindakan segera tanpa perubahan gaya hidup.
Pendapat ini telah dibantah dalam sebuah penelitian bahwa angka kehamilan pada
pengguna Klomifen Sitrat hanya 12,2% sedangkan kasus lain dengan perubahan gaya
hidup dari penelitian tersebut dapat meningkatkan angka kehamilan pasien yang
mengalami sindrom ovarium polikistik sebesar 20%. Sebanyak 71,4% subjek
merupakan pekerja/wiraswasta sehingga menjadi kendala dalam mengatur waktu
untuk datang ke RSCM. Begitu pula pada 28,6% subjek yang walaupun berstatus ibu
rumah tangga masih kesulitan mengatur pola makan dan olahraga karena belum
terbiasa dalam kesehariannya, terutama pada era COVID-19 yang menuntut
masyarakat untuk tetap tinggal di rumah. Jika dalam kondisi di rumah lebih banyak
dan tidak ada aktivitas di luar rumah. Hal ini berkorelasi dengan sebuah penelitian
yang mengungkapkan bahwa kejadian obesitas sangat erat kaitannya dengan berbagai
aktivitas fisik yang dapat dilakukan, semakin gemuk seorang wanita akan malas
bergerak dan melakukan aktivitas fisik. Penelitian lain mengungkapkan bahwa
dengan bertambahnya waktu menonton televisi maka aktivitas fisik akan semakin
berkurang sehingga semakin meningkatkan terjadinya obesitas. Studi lain yang
dilakukan di Meksiko menyatakan bahwa kurangnya waktu luang untuk berolahraga
secara teratur merupakan kunci untuk meningkatkan angka obesitas di kalangan
wanita karier.

Keseluruhan subjek dalam penelitian ini juga melakukan aktivitas fisik berupa
langkah kaki yang dipantau melalui aplikasi handphone dan senam ringan rutin tiap
minggu dan berhasil mencapai angka kehamilan sebesar 21,4% (3 subjek). Hal ini
sejalan dengan penelitian yang menyimpulkan bahwa dengan mengurangi pola makan
500 Kalori / hari yang terdiri dari 50-60% karbohidrat, 25-30% lemak, 15-20%
protein disertai dengan aktivitas bebas risiko seperti naik tangga, jalan santai ,
setidaknya selama 30 menit 3 sampai 5 kali seminggu selama 6 bulan dapat
meningkatkan angka kehamilan sebesar 20%.

Koefisien (r) paling mendekati 1 dalam korelasi antara penurunan ukuran pinggang
dan peningkatan zona vaskular endometrium. Hal ini sesuai dengan pernyataan WHO
bahwa bertambahnya lingkar pinggang dikaitkan dengan peningkatan obesitas viseral
yang dapat meningkatkan terjadinya sindrom metabolik seperti resistensi insulin.
Sesuai dengan review yang dilakukan oleh Schulte tentang resistensi insulin yang
merupakan salah satu penyebab memburuknya daya terima endometrium pada pasien
obesitas yang menderita PCOS akibat efek penimbunan asam lemak bebas (FFA)
yang dihasilkan dari lemak viseral. Tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan
antara perubahan berat badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang serta asupan
kalori harian dengan perubahan zona vaskuler endometrium akibat tingginya angka
hilang dalam pengawasan (loss to follow up) dan asupan kalori harian yang tidak
terkontrol untuk tiap subjek, bahkan pada beberapa subjek justru mengalami
peningkatan asupan kalori harian karena hal ini. Namun, secara umum terdapat
perbedaan yang signifikan dalam daya penerimaan endometrium subjek yang pernah
mendapat terapi medis dari dokter spesialis gizi klinis yang dibuktikan dengan nilai p
< 0,05 pada tipe zona vascular, volume endometrium dan Vascular Flow Index (VFI)
untuk semua subjek. Peningkatan median vascular zone type 1 menjadi 3 menurut
penelitian Sonal dapat meningkatkan angka kehamilan dari 8,3% menjadi 33,8%.
Peningkatan volume endometrium pada kelompok subjek yang mengalami siklus
ovulasi dari 1,67 menjadi 3,44 cm3 dapat meningkatkan angka kehamilan hingga
47%. Peningkatan presentase Vascular Flow Index (VFI) dari 0,02 menjadi 2,87%
pada kelompok subjek dengan siklus ovulasi juga menurut tahun yang sama mampu
meningkatkan angka kehamilan menjadi 41,4%.

Sebanyak 14 subjek pada awal penelitian telah mendapatkan Klomifen Sitrat sebagai
standar manajemen Polycystic Ovarium syndrome (PCOS). Dimana klomifen sitrat
ini digunakan sebagai anti infertilitas, dan masih menjadi pilihan terapi utama untuk
menstimulasi ovulasi pada kasus PCOS. Namun pada penelitian ini tidak dijelaskan
secara detail terkait pemberian Klomifen sitrat pada masingmasing subjek, apakah
memang setiap subjek diberikan obat tsb dari penelitian ini atau memang pengobatan
yang sedang dipakai per subjek itu sendiri. dengan begitu Namun pada penelitian ini
hingga akhir penelitian terhadap 14 pasien, hanya 3 subjek yang dinilai daya
penerimaan endometriumnya dikarenakan nilai progesteron > 10 ng / ml, sisa 3
pasien lagi dipastikan hamil sehingga total 6 pasien yang dipertimbangkaan untuk
dapat berovulasi, mengenai kadar progesteron ≥ 10 ng / ml pada fase luteal tengah
dapat menjadi penanda ovulasi pada wanita normal. Tinjauan tersebut mengatakan
bahwa 75 - 80% pasien PCOS akan mengalami ovulasi setelah penggunaan Klomifen
Sitrat, namun dalam penelitian ini persentase ovulasi adalah 42%. Kemungkinan
penyebab kegagalan Klomifen Sitrat adalah obesitas, resistensi insulin dan
hiperandrogen yang selain membutuhkan Klomifen Sitrat juga harus menurunkan
berat badan sebesar 5-10% dalam bentuk perubahan gaya hidup. Kemungkinan pada
subjek ini nilai progesteronnya masih rendah karena masih dalam fase proliferasi
lanjut atau fase ovulasi awal sehingga belum terjadi peningkatan kadar progesteron.
Oleh karena itu, kedepannya subjek-subjek ini masih harus menunggu ovulasi jika
ingin menilai daya penerimaan endometriumnya, walaupun kita melihat gambaran
USG endometrium saat ini, kita juga dapat melihat peningkatan pada
endometriumnya.

Keterbatasan penelitian ini adalah tingginya angka hilang dari pengawasan sebanyak
56% yang kemungkinan disebabkan oleh sulitnya untuk merubah pola gaya hidup
tanpa adanya keinginan yang kuat dari subjek yang terlibat dalam penelitian.
Sebagian pasien lebih menyukai pemberian obat atau tindakan segera dalam kasus
ini. sehingga kesadaran dan niat bersungguh-sungguh secara sukarela serta
pemahaman akan modifikasi gaya hidup dalam menerapkan dikehidupan ehari-hari
sangat diperlukan pada setiap subjek. Loss to follow up dalam berlangsunga
penelitian ini sebanyak 56% didapatkan sekitar 18 orang subjek dari 32 yang bersedia
berpatisipasi dan memnuhi kriteria inklusi-eksklusi yang dimana tidak daapt
menyelesaikan penelitian hingga akhir penelitian. Kemungkinan lainnya adalah
minimnya proses pengambilan subjek penelitian dimana pasien yang diambil dalam
penelitian ini bukanlah pasien murni yang berobat ke RSCM melainkan mengajak
pasien melalui media sosial yang letaknya jauh dari RSCM, sehingga menjadi
kendala untuk mengikuti proses kontrol yang dilakukan oleh Departemen Gizi Klinik.
Dimana jika melihat dr karateristik pasien sebanyak 14 org, didapati 7/14 berlokasi
diluar Jakarta serta ditambah pekerjaan mereka yg menjadi kendala dalam mengatur
waktu untuk datang ke RSCM. Selain itu, penelitian ini masih bersifat observasional,
sehingga belum terdapat keseragaman tingkat obesitas atau sindrom metabolik pada
masing-masing subjek, serta jumlah asupan kalori harian dan jenis aktivitas fisik
harian pada setiap subjek sehingga dapat memberikan hasil yang berbeda pada setiap
subjek penelitian.

Kesimpulan

Tidak ada korelasi signifikan yang ditemukan antara perubahan berat badan, indeks
massa tubuh dan lingkar pinggang dan asupan kalori harian dengan perubahan zona
vaskular endometrium karena tingginya angka hilang dalam pengawasan pada
penelitian ini dan asupan kalori harian yang tidak terkontrol untuk setiap subjek.
Namun, secara umum terdapat perbedaan yang signifikan pada daya terima
endometrium subjek yang pernah mendapatkan terapi medis oleh dokter spesialis gizi
klinis.
II. TELAAH KLINIS
A. Telaah Klinis
a. Uji Validitas
Pertanyaan Keterangan
1. Apakah Studi ini Yes Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
membahas sebuah pengaruh modifikasi gaya hidup pada
masalah dengan daya terima endometrium pada
fokus yang jelas? perempuan obesitas dengan sindrom
ovarium polikistik menggunakan
ultrasonografi

2. Apakah peneliti Yes Studi ini menggunakan alat berupa USG


menggunakan alat sebagai standar evaluasi dan pemeriksaan
dan pertanyaan yang pada kasus ini pada tahap awal kemudian
sesuai dengan tujuan setelahnya edukasi pengarahan terkait
dari studi? modifikasi gaya hidup secara langsung
antara subjek dengan spesialis gizi klinis

3. Apakah subjek Yes Subjek yang diikutsertakan pada studi ini


diikutsertakan didasarkan pada wanita usia subur (20-
dengan cara dan 35 tahun) yang menderita sindrom
kriteria yang benar? ovarium polikistik, wanita yang
mengalami infertilitas primer atau
sekunder, dan obesitas menurut WHO
Asia Pasifik.
4. Apakah data diambil Yes Pengambilan data pada penelitian
dengan cara yang sesuai dengan studi penelitian yang
sesuai dengan tujuan berupa studi observasional
studi? longitudinal prospektif

5. Apakah studi No Tidak, dikarenakan dalam penelitian ini


memiliki partisipan terjadi tingginya angka “loss to follow
yang cukup? up “ sebanyak 56%, dimana 18 subjek
dari 32 subjek mengalami drop out
dalam berlangsungnya penelitian ini.

6. Bagaimana hasil uji Hasil temuan pada studi ini berupa hasil
ini dipresentasikan yang signifikan antara sebelum dan
dan apakah temuan sesudah perawatan dari spesialis gizi
utamanya? klinis beberapa subjek seperti kalori,
berat badan, indeks massa tubuh, lingkar
B. PICO
1. Problem
- Permasalahan yang diangkat yaitu mengetahui pengaruh modifikasi gaya
hidup pada daya terima endometrium pada perempuan obesitas dengan
sindrom ovarium polikistik menggunakan ultrasonografi dengan cara
membandingkan sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
- Tingginya angka “loss to follow up” sebanyak 56%
2. Intervention
Subjek penelitian mendapatkan intervensi gizi klinis oleh ahli gizi klinis
setiap seminggu sekali pada kontrol pertama dimana edukasi tentang
pentingnya mengubah gaya hidup berupa pola makan dan aktivitas fisik
secara langsung oleh ahli gizi, kemudiaan setiap dua minggu sekali hingga
sebulan sekali. Setiap subjek yang telah diberikan intervensi juga melakukan
pengukuran antropometri klinis dan asupan harian. Subjek juga melakukan
pemeriksaan USG pada kontrol pertama dan kemudian dievaluasi kembali
pada bulan ketiga dana tau pada bulan keenam diantara siklus menstruasi 19-
21 hari setelah pemeriksaan kadar progesteron. Keseluruhan subjek dalam
penelitian ini juga melakukan aktivitas fisik berupa langkah kaki yang
dipantau melalui aplikasi handphone dan senam ringan rutin tiap minggu dan
berhasil mencapai angka kehamilan sebesar 21,4% (3 subjek).

3. Comparison
Penelitian ini dapat mengetahui perbandingan pengaruh modifikasi pola gaya
hidup pada wanita obesitas yang mengalami PCOS yang termasuk infertile
dalam hal asupan kalori, berat badan, indeks massa tubuh, dan lingkar
pinggang sebelum dan sesudah perawatan dari spesialis gizi klinis. Subjek
baik pada kelompok siklus ovulasi maupun pada kelompok siklus anovulasi
terjadi perbedaan peningkatan dalam Volume Endometrium (VE) dan
peningkatan Vascular Flow Index (VFI) dan tipe zona vascular endometrium.
4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan berupa tidak ada korelasi yang
signifikan antara perubahan antropometrik dan asupan kalori harian dengan
perubahan zona vaskular endometrium

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindrom Ovarium Polikistik


a) Definisi
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan gangguan endokrin
yang ditandai dengan menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan
polikistik ovarium (Sirmans and Pate, 2014). PCOS merupakan penyakit
gynecological endrocrinopathy yang menjadi penyebab paling umum dari
infertilitas karena anovulasi (Barbosa et al., 2016).
b) Etiologi
Wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memiliki kelainan
pada metabolisme androgen dan estrogen serta dalam pengendalian produksi
androgen. Konsentrasi serum hormon androgenik yang tinggi, seperti
testosteron, androstenedion, dan dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S),
dapat ditemukan pada pasien ini. Namun, variasi individu cukup besar, dan
pasien tertentu mungkin memiliki kadar androgen normal. PCOS juga
dikaitkan dengan resistensi insulin perifer dan hiperinsulinemia, dan obesitas
memperkuat derajat kedua kelainan tersebut. Resistensi insulin pada PCOS
dapat menjadi sekunder akibat defek pasca-pengikatan pada jalur
pensinyalan reseptor insulin, dan peningkatan kadar insulin mungkin
memiliki efek peningkatan gonadotropin pada fungsi ovarium.
Hiperinsulinemia juga dapat menyebabkan supresi globulin pengikat hormon
seks (SHBG) di hati, yang pada gilirannya dapat meningkatkan
androgenisitas. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pasien memiliki
kelainan fungsional sitokrom P450c17, 17-hidroksilase, yang merupakan
enzim pembatas kecepatan dalam biosintesis androgen. PCOS adalah
sindrom heterogen genetik di mana kontribusi genetik tetap tidak dijelaskan
secara lengkap. PCOS merupakan kondisi yang pada dasarnya sulit untuk
dipelajari secara genetik karena heterogenitasnya, kesulitan dengan
diagnosis retrospektif pada wanita pascamenopause, subfertilitas terkait,
etiologi yang tidak dipahami sepenuhnya, dan ukuran efek gen (Lucidi RS.,
2019).
c) Patofisiologi
Mekanisme yang diusulkan untuk anovulasi dan peningkatan kadar
androgen menunjukkan bahwa, di bawah efek stimulasi hormon luteinizing
(LH) yang meningkat yang disekresikan oleh hipofisis anterior, stimulasi sel
teka ovarium meningkat. Sel-sel ini, pada gilirannya, meningkatkan produksi
androgen (misalnya, testosteron, androstenedion). Karena penurunan kadar
hormon perangsang folikel (FSH) relatif terhadap LH, sel-sel granulosa
ovarium tidak dapat mengaromatisasi androgen menjadi estrogen, yang
menyebabkan penurunan kadar estrogen dan mengakibatkan anovulasi.
Resistensi insulin secara bermakna dieksaserbasi oleh obesitas.
Sebagian besar PCOS diakibatkan oleh resistensi insulin yang juga
dikompensasi oleh hyperinsulinemia. Resistensi insulin terjadi pada sel-sel
otot, sehingga kadar insulin yang tinggi dalam darah membuat insulin masuk
ke ovarium, dapat mempengaruhi perkembangan folikel serta berikatan
dengan reseptor androgen yang merupakan reseptor homolognya, sehingga
menimbulkan peningkatan produksi androgen. Disisi lain insulin juga akan
masuk ke hepar, menghambat produksi globulin yang bertugas mengikat
hormone sex (SBHG) sehingga free testosterone pun beredae dalam jumlah
berlebihan. Insulin juga akan masuk ke hipofise sehingga mempengaruhi
produksi gonadotropin menyebabkan berkurangnya FSH dan meningkatnya
LH. Keseluruhan proses tersebut dapat mengakibatkan hiperandrogenisme.
Penurunan kadar hormone perangsang folikel (FSH) relative terhadap LH,
sel-sel granulosa ovarium tidak dapat mengaromatisasi androgen menjadi
estrogen yang menyebabkan penurunan kadar estrogen sehingga
menyebabkan anovulasi (Wonggokusuma, 2014).
d) Penegakkan Diagnosis
Manifestasi klinis PCOS bervariasi dari gangguan menstruasi ringan
hingga gangguan fungsi reproduksi dan metabolisme. Wanita PCOS
memiliki kecenderungan diabetes melitus tipe 2 atau kelainan
kardiovaskular. Konsensus saat ini adalah bahwa penggunaan kriteria
Rotterdam sesuai untuk wanita dewasa. Untuk diagnosis PCOS, wanita harus
memenuhi dua dari tiga karakteristik: oligo-ovulasi atau anovulasi,
hiperandrogenisme klinis dan / atau biokimiawi, atau morfologi ovarium
polikistik pada USG dengan menyingkirkan gangguan lain. AE-PCOS
menyimpulkan bahwa kriteria utama untuk PCOS harus mencakup (dalam
urutan kepentingan): i) hiperandrogenisme dan / atau hiperandrogenemia, ii)
disfungsi menstruasi, (dan) iii) pengecualian dari gangguan lain yang
diketahui (Dewi NLP., 2020). Survei ini mengidentifikasi PCOS sebagai
kelainan eksklusi androgen yang berlebihan, dengan etiologi dan / atau
konsekuensi ovarium. Lokakarya PCOS Metodologi Berbasis Bukti
Kesehatan yang disponsori oleh Institut Kesehatan Nasional tahun 2012
mengelompokkan PCOS menjadi empat fenotipe sebagai berikut (Dennet &
Simon, 2015) :
1. fenotipe A, hiperandrogenisme, disfungsi ovulasi, dan morfologi
ovarium polikistik
2. fenotipe B, hiperandrogenisme dan disfungsi ovulasi
3. fenotipe C, hiperandrogenisme dan morfologi ovarium polikistik
4. fenotipe D, disfungsi ovulasi dan morfologi ovarium polikistik

Syarat pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai gambaran ovarium


polikistik adalah :

a Dilakukan oleh operator berpengalaman.


b Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara transvaginal
terutama pada pasien obesitas.
c Pada perempuan dengan menstruasi teratur, pemeriksaan dilakukan
pada fase folikuler awal (3-5 hari). Pada perempuan dengan
oligo/amenorea, pemeriksaan dapat dilakukan pada hari manapun
atau diantara hari 3-5 setelah progestin-induce withdrawal bleeding.
d Perhitungan volume ovarium dilakukan dengan rumus 0,5 x panjang
x lebar x tebal
e Jumlah folikel dihitung pada potongan longitudinal dan
anteroposterior. Ukuran folikel dinyatakan sebagi rata-rata diameter
kedua potongan tersebut.
USG tidak boleh digunakan untuk diagnosis PCOS pada <8 tahun setelah
menarche, karena tingginya insiden ovarium multifolikuler. USG
transvaginal lebih disukai dalam diagnosis PCOS jika pasien aktif secara
seksual dan jika tes dapat diterima oleh individu.

Gambaran klasik USG pada PCOS adalah adanya ovarium yang membesar
dengan folikel / kista kecil-kecil (diameter 2-8cm) yang multiple lebih dari
10 folikel yang tersusun melingkar ditepi ovarium dengan stroma yang
menebal.

e) Penatalaksanaan
1. Konseling
Konseling tentang masalah kesuburan adalah penting. Pendidikan dan
penyuluhan tentang kondisi tersebut sangat penting. Penjelasan dan
diskusi tentang SOPK harus peka budaya serta sesuai, komprehensif, dan
disesuaikan dengan individu. Diskusi ini harus menggunakan pendekatan
empati, mempromosikan perawatan diri, dan menyoroti kelompok
dukungan sebaya, yang tersedia di banyak negara.
2. Modifikasi gaya hidup dan nutrisi
Perubahan gaya hidup merupakan langkah utama seperti pengaturan
pola makan dan olahraga mengingat obesitas menjadi faktor pencetus
resistensi insulin dan sindrom metabolik. Penurunan berat badan
menurunkan sirkulasi androgen dan insulin, memperbaiki lipid dan
meningkatkan FSH, sehingga mengurangi gejala fisik seperti hirsutisme,
alopesia, jerawat, skin tags, menormalkan siklus menstruasi, dan
menstimulasi ovulasi.3 Keseimbangan energi negatif (dengan defisit
350-1.000 kkal/ hari) menjadi faktor kunci penurunan berat badan dan
lemak, perbaikan siklus menstruasi, dan sensitivitas insulin, terlepas dari
pola dietnya. Defisiensi vitamin D juga sering terjadi pada pasien PCOS.
Namun, penelitian terkait pemberian vitamin D untuk meningkatkan
fungsi reproduksi dan sensitivitas insulin masih terbatas (Laganà, Vitale
et al. , 2018).
3. Farmakologi
Terapi farmakologi yang telah digunakan dalam menangani PCOS antara
lain ovulatory dysfunction-related infertility (klomifen sitrat, metformin,
aromatase inhibitor, dan glukokortikoid), gangguan menstruasi
(progestin siklik dan kombinasi oral kontrasepsi seperti estrogen dan
progestin), dan androgen related symptom (anti-androgen,
glukokortikoid, gonadotropin-releasing hormone agonist, oral
kontrasepsi seperti etinil estradiol) (Badawy and Elnashar, 2011).
Kekurangan dari pengobatan PCOS yang digunakan saat ini diantaranya
penurunan fertilitas, biaya yang relatif mahal, embryotoxic, dan
menyebabkan Ovarian Hyperstimulation Syndrome (OHSS) (Zetira,
2019).
Clomiphene citrat masih menjadi pilihan terapi utama untuk
menstimulasi ovulasi pada kasus PCOS. Dosis awal adalah 50 mg/hari
selama 5 hari sejak haid hari ke-3. Bila terjadi ovulasi tetapi tidak terjadi
pembuahan pada siklus pertama dosis masih bisa dilanjutkan 50 mg/ hari
pada siklus berikutnya. Namun, bila pada siklus awal tidak terjadi
ovulasi, pada siklus berikutnya dosis bisa dinaikkan menjadi 100
mg/hari. Peningkatan dosis ini juga berisiko memicu terjadinya resistensi
clomiphene. Pemberian dapat diulang maksimal 6 siklus. Efek samping
terapi ini adalah ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS), distensi,
dan rasa tidak nyaman gastrointestinal, dan kehamilan kembar atau lebih.
Regulasi pil KB mengatasi PCOS terutama dalam mengatur siklus
menstruasi. Obatobatan ini juga mengurangi hirsutisme, jerawat, dan
kadar androgen. Kombinasi estrogen dan progestin adalah kontrasepsi
oral primer yang digunakan dalam pengobatan hirsutisme dan jerawat
yang berhubungan dengan PCOS. Meskipun datanya jarang, beberapa
kontrasepsi oral baru yang mengandung progestin antiandrogenik, seperti
drosperenone dan dienogest secara teoritik lebih efektif untuk mengobati
gejala androgenik. Wanita dengan hirsutisme biasanya menunjukkan
perbaikan klinis setelah sekitar 6 bulan pengobatan dengan kontrasepsi
oral.
Resistensi insulin disertai hiperinsulinemia memiliki peran penting
terhadap hiperandrogenemia dan resistensi insulin. Selain pemberian
clomiphene, pemberian antidiabetes yaitu metformin 3 x 500 mg/ hari
meningkatkan sensitivitas insulin perifer dengan mengurangi produksi
glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Metformin juga menurunkan kadar androgen pada wanita kurus dan
wanita gemuk, sehingga meningkatkan kemungkinan ovulasi spontan.
Metformin secara signifikan mengurangi indeks massa tubuh (IMT)
dengan dosis >1500 mg/ hari dan durasi pengobatan jangka panjang juga
menunjukkan efek berkelanjutan pada penurunan berat badan >8
minggu. Metformin efektif meningkatkan ovulasi pada PCOS.
Selanjutnya, pengobatan metformin meningkatkan induksi ovulasi pada
46% wanita PCOS dibandingkan 24% pada kelompok plasebo. Dalam
terapi kombinasi metformin dan clomiphene, 76% wanita mencapai
ovulasi dibandingkan 42% pada pengguna clomiphene saja. Namun,
penelitian terbatas pada kemungkinan peningkatan kelahiran hidup pada
PCOS (Zetira et al., 2019).
4. Pembedahan
Bedah laparoskopi ovarium juga dipertimbangkan sebagai terapi
lini kedua tetapi merupakan metode invasif dan memerlukan anastesi
umum. Terapi ini dipilih untuk pasien yang sulit dipantau dengan terapi
gonadotropin. Kelebihan terapi ini dibandingkan terapi gonadotropin
mengurangi risiko kehamilan multipel. Terapi ini lebih efektif pada
pemeriksaan awal hormon LH yang tinggi, karena didapatkan penurunan
hormon LH dan androgen yang bermakna setelah terapi. Siklus
menstruasi yang teratur setelah terapi pada 63-85% wanita dan
meningkatkan kesuburan.

DAFTAR PUSTAKA

Dennet, C. C., & Simon, J. (2015). The Role of Polycystic Ovary Syndrome in
Reproductive and Metabolic Health: Overview and Approaches for Treatment.
J Spectrum Diabetes, 28(2), 116–120. https://doi.org/10.2337/diaspect.28.2.116
Sirmans, S. M. & Pate, K. A. 2014. Epidemiology, diagnosis, and management of
polycystic ovary syndrome. Clin. Epidemiol. 6, 1–13.

Badawy A, Elnashar A. Treatment options for polycystic ovary syndrome. Int J


Womens Health. 2011 Feb 8;3:25-35. doi: 10.2147/IJWH.S11304. PMID:
21339935; PMCID: PMC3039006

Wahyuni M., Eza D., Putri S. 2015. Hubungan Resistensi Insulin dengan Gambaran
Klinis Sindrom Ovarium Polikistik. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3):909-918.

Wonggokusuma G. 2014. The Pathophysiology and Treatment of Polycystic Ovarian


Syndrome: A Systematic Review. CDK Journal 41(2); 100-103.

Zetira et al., 2019. Pengaruh Metformin Terhadap Wanita Infertilitas dengan Sindrom
Polikistik Ovarium. Majority 8(1):172-177.

Lucidi, R. (2019, September 19). Polycystic Ovarian Syndrome. Retrieved from


www. Emedicine.Medscape.com: http://www.emedicine.com/article/256806-
overview#a3.

Laganà, A. S., Vitale, S. G., Noventa, M., Vitagliano, A., & Vitale, S. G. (2018).
Editorial Current Management of Polycystic Ovary Syndrome : From Bench to
Bedside. International Journal of Endocrinology, 2018. Retrieved from
https://doi.org/10.1155/2018/723454.

Anda mungkin juga menyukai