Anda di halaman 1dari 27

JOURNAL READING

“A Ketogenic Diet May Restore Fertility In Women With Polycystic Ovary


Syndrome: A Case Series”

Pembimbing :
dr. Adi Setyawan Prianto, Sp.OG (K.FER)

Disusun Oleh:
Fardan Chaisar G4A018057
Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074
Fista Ria Afrilla G4A018076

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

“A Ketogenic Diet May Restore Fertility In Women With Polycystic Ovary


Syndrome: A Case Series”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Fardan Chaisar G4A018057
Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074
Fista Ria Afrilla G4A018076

Purwokerto, Desember 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Adi Setyawan Prianto, Sp.OG (K.FER)

ii
I. PENDAHULUAN

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kelainan endokrin yang


paling umum pada wanita usia reproduksi dan merupakan penyebab infertilitas
akibat anovulasi (Anahita et al., 2015). Di Amerika Serikat, sindrom ovarium
polikistik (PCOS) adalah salah satu gangguan endokrin yang paling umum pada
wanita usia reproduksi, dengan prevalensi 4-12%. Hingga 10% wanita didiagnosis
dengan PCOS selama kunjungan ginekologis. Dalam beberapa penelitian di
Eropa, prevalensi PCOS telah dilaporkan 6,5-8% warga eropa (Cahill, 2009).
Banyak variasi etnis dalam hirsutisme yang diamati. Sebagai contoh, wanita Asia
(Asia Timur dan Tenggara) memiliki hirsutisme yang lebih sedikit daripada
wanita kulit putih yang diberi nilai androgen serum yang sama. Dalam sebuah
penelitian yang menilai hirsutisme pada wanita Cina selatan, para peneliti
menemukan prevalensi 10.5%. Pada wanita kurus, ada peningkatan yang
signifikan dalam insiden jerawat, penyimpangan menstruasi, ovarium polikistik,
dan acanthosis nigricans (Zhao et al., 2011).
PCOS juga dikaitkan dengan resistensi insulin perifer dan
hiperinsulinemia, dan obesitas memperkuat derajat kedua kelainan tersebut.
Resistensi insulin pada PCOS dapat terjadi akibat defek pengikatan reseptor
insulin yang mengikat, dan peningkatan kadar insulin mungkin memiliki efek
penambahan gonadotropin pada fungsi ovarium. Hiperinsulinemia juga dapat
menyebabkan supresi generasi globulin pengikat hormon (SHBG) hati, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan androgen (Barber et al., 2006).
Modifikasi gaya hidup dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk
wanita dengan PCOS. Perubahan tersebut termasuk diet, exercise, weight loss
(ACOG, 2009). Salah satu diet yang dapat diberikan untuk pasien yang tidak
responsif terhadap pemberian obat adalah diet ketogenik. Diet ketogenik
merupakan pola makan yang berfokus pada asupan makanan tinggi lemak serta
rendah karbohidrat, dengan kandungan lemaknya mencapai 70-90 % atau 3
sampai 4 kali lebih besar dari kandungan karbohidrat dan protein (Paoli, 2014).

1
II. ISI JURNAL
A. Abstract
Tujuan : Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah penyebab paling
umum dari ketidaksuburan pada wanita. Kami melaporkan perjalanan klinis
dari 4 wanita dengan PCOS mencoba untuk dapat hamil saat mengikuti diet
ketogenik dan menilai kesuburannya setelah periode 6 bulan.
Metode : Para pasien diikuti sekali dalam sebulan pada pertemuan
medisuntuk total 6 bulan. Setiap kunjungan, pasien dinilai perkembangan
penurunan berat badan, keteraturan menstruasi, dan ovulasi.
Hasil : Rata-rata usia pasien berkirsar antara 24- 29 tahun, rata-rata
indeks masa tubuh mereka berkisar dari 30.75 - 42.46 kg/m2, dan durasi
infertilitas rata-rata dari 1 - 4.5 tahun. Semua pasien tertarik untuk hamil.
Diagnosis PCOS dikonfirmasi oleh konsultasi endokrinologi, dan para pasien
sudah terinisiasi diet Protein-Sparing Modified Fast (PSMF). Diet PSMF
mencakup total asupan harian maksimum karbohidrat 20 g, asupan lemak
hingga 50 g, dan perkiraan asupan karbohidrat 1.5 g untuk setiap 1 kg berat
badan ideal. Metformin dilanjutkan jika mereka sudah memakainya, jika tidak
dimulai dengan diet PSMF dan dititrasi hingga 500 mg dua kali sehari.Semua
pasien mematuhi diet PSMF dan mampu menurunkan berat badan (mulai dari
19 hingga 36 lbs). semua pasien juga memiliki periode menstruasi tidak
teratur sebelum diet PSMF, dan kembali menstruasi secara teratur tak lama
setelah memulai diet PSMF (mulai dari 4 hingga 8 minggu). Dua wanita
mampu hamil secara spontan tanpa induksi ovulasi diperlukan.
Kesimpulan : Diet PSMF mungkin memiliki harapan yang bermanfaat
bagi wanita dengan PCOS dengan mendorong penurunan berat badan dan
memfasilitasi ovulasi.
B. Introduction
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) adalah penyebab umum terbanyak
infertilitas pada wanita. Mayoritas wanita dengan PCOS mengalami obesitas
(Sekitar 80%) dan resistensi insulin. Resistensi insulin dianggap sebagai
gangguan utama pada wanita dengan PCOS. Faktanya, studi terbaru
menunjukan bahwa hiperinsulinemia terdapat pada 85% pasien dengan

2
3

PCOS, khususnya 95% waita dengan obesitas dan 65% wanita dengan berat
badan normal. Peningkatan kadar insulin pada pasien dengan PCOS dapat
bersamaan dengan tingginya kadar hormone luteinizing, memicu terhentinya
pertumbuhan folikel yang berkontribusi terhadap anovulasi. Peningkatan
resistensi insulin menyebabkan hiperglikema yang mengarah ke
hiperinsulinemia dan itu memperkuat aksi hormone luteinisasi pada sel teka
dan selanjutnya meningkatkan androgen level.
Pasien dengan resistensi insulin sering resisten terhadap indusi ovulasi.
Pemberian obat antidiabetes yang menurunkan kadar insulin atau
meningkatkan senstivitas insulin telah dikaitkan dengan penurunan kadar
androgenyang bersirkulasi dan peningkatan tingkat ovulasi. Tikus obesitas
dengan KO selektif reseptor insulin di hipofisis memiliki resolusi sekresi
gonadotropin normal dan peningkatan kesuburan, menyiaratkan peran
langsung untuk aksi insulin dalam PCOS.
Adipokin seperti leptin juga penting dalam mengendalikan fungsi
ovulasi. Diilustrasikan dengan baik pada pasien dengan anoreksia nervosa
atau amenore hipotalamus, dimana sekresi gonadotropin ditekan dengan
hilangnya fungsi ovulasi. Fakta bahwa penggantian leptin saja dapat
menghasilkan dimulainnya kembali sekrei gonadotropin, perkembangan
folikel, dan dalam beberapa kasus ovulasi pada wanita dengan amenore
hipotalamus, mendukung peran langsung untuk penanda metabolisme lemak
dan energi pada reproduksi funsi reproduksi.
Ketika asupan karbohidrat diet dibatasi pada tingkat dimana sintesis
lemak minimal (ambang batas yang bervariasi dari orang ke orang), tanda dan
gejala resistensi insulin meningkat atau sering hilang sepenuhnya. Studi
terbaru menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat dan ketigenik dapat
menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan resistensi insulin.
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengkarakterisasi profil metabolik
dan reproduksi dari 8 pasien dengan diagnosis PCOS yang memprakarsaidiet
karbohidrat atau ketogenik yang sangat rendah, selanjutnya disebut sebagai
diet Protein-Sparing modified Fast (PSMF), selama 6 bulan di institusi atau
lembaga kami.
4

C. Case Report
Pasien PCOS kami dirujuk oleh dokter perawatan primer mereka ke
klinik endokrinologi untuk pengobatan PCOS, obesitas, dan resitensi insulin.
Para pasien terdaftar dalam program penunjukan medis bersama (SMA) yang
terdiri dari janji temu bulanan untuk instruksi diet PSMF di klinik kami.
Peserta semuanya adalah wanita obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2),
usia subur (18 hingga 50 tahun), yang telah didiagnosis secara klinis dengan
PCOS (periode tidak teratur, tanda-tanda hiperandrogenism) dan telah
menyeleaikan tes laboratorium dengan atau tanpa USG panggul.
Pertemuan pertama program SMA terutama terfokus pada alasan dan
implementasi intervensi diet melalui penggunaan buku diet PSMF dan
selebaran yang berisi saran tentang pilihan makanan yang tepat. Diet PSMF
menysratkan asupan karbohidrat total harian tidak lebih dari 20 g, asupan
lemak minimum 50 g, dan protein perkiraan asupan sekitar 1.5 g untuk setiap
1 kg berat badan ideal. Contoh makanan diet PSMF bisa berupa protein shake
rendah karbohidrat atau 2 telur dan 3 strip bacon untuk sarapan, salad dengan
protein (ayam atau ikan) untuk makan siang, daging 4 hingga 6 ons daging
dengan sayuran rendah karbohidrat untuk makan malam, dan batang seledri
dengan selai kacang, satu tangan penuh almond, satu telur sedang, atau
gulungan keju kalkun sebagai makanan ringan.
Selama setiap kunjungan bulanan berikutnya, ulasan singkat tentang
komposisi diet diberikan. Pasien menjalani rekonsiliasi obat dan juga dinilai
kepatuhannya terhadap diet, tekanan darah, berat badan, laboratorium dan
riwayat reproduksi mereka (siklus menstruasi, pemeriksaan ovulasi dengan
strip urin, dan potensi kehamilan). Setiap SMA berlangsung 90 menit. Pasien
juga didorong untuk meningkat tingkat aktivitas fisik mereka seperti dengan
berjalan setidaknya setengah jam 3 kali per minggu, para pasien selalu
diingatkan untuk menghentikan diet PSMF sesegera mungkin jika mereka
tahu mereka hamil. Informasi tentang kesehatan nutrisi selama kehamilan
juga diberikan selama SMA.
Kami meninjau perjalanan klinis pasien yang mengikuti kelas dan
memiiki riwayat infertilitas terkait PCOS (tidak dapat hamil setelah 1 tahun
5

melakukan hubungan seksual tanpa kondom). Kami juga membahas


parameter reproduksi dan perubahan kesuburan selama periode 6 bulan di
mana pasien mengikuti diet PSMF. Empat wanita tidak dapat mematuhi diet
karena preferensi makanan dan tidak termasuk dalam seri kasus ini. Tinjauan
grafik retrospektif dilakukan pada 4 pasien yang mampu mematuhi program
PSMF. Setiap pertemuan klinis setiap pasien diringkas secara rinci,
katagorikal dan berkelanjutan variabel yang dirangkum menggunakan
persentase, median, dan rentang. Tidak ada efek samping yang signifikan
pada diet PMSF dilaporkan oleh pasien.
Sebagai kelompok, pasien memiliki usia rata-rata 25 tahun, mulai dari
20 hingga 29 tahun, BMI rata-rata 35,4 kg/m2 dengan kisaran 30.8-42.5
kg/m2, dan mediane persen penurunan berat badan pada 6 bulan 9% dengan
kisaran 8 hingga 20% penurunan berat badan. Karakteristik pasien bisa
terlihat pada tabel 2.1. Kursus klinis dari 4 pasien ini dijelaskan dibawah ini.

Tabel 2.1. Karakteristik dasar pasien

1. Pasien 1
Wanita usia 26 tahun dengan riwayat infertilitas 4,5 tahun dan BMI
42,5 kg/m2 melaporkan periode absen dan tidak menerima terapi induksi
ovulasi sebelumnya. Hasil pemeriksaan Histosalpingogram normal,
analisis semen untuk pasangannya tidak dilakukan. Pasien tidak pernah
mendapat terapi metformin sebelumnya, lalu pada awal program ini pasien
diberikan metformin 500 mg dua kali sehari. Periode menstruasi menjadi
teratur dan berat badan pasien turun 3 Ibs (1% dari berat badannya), lalu
6

pasien hamil setelah 2 bulan menyelesaikan program (setelah kehilangan


8% berat badan). Berat badan awal pasien adalah 279 Ibs, berat badan
setelah 6 bulan menjadi 256 Ibs.
2. Pasien 2
Wanita usia 29 tahun dengan riwayat 2,5 tahun infertilitas dan BMI
33,3 kg/m2 dengan periode absen. Pasien mengatakan telah mencoba
klomifen sitrat selama 3 siklus dalam satu tahun terakhir tetapi konsepsi
tidak berhasil. HSG dan analisa semen menunjukkan hasil normal. Pasien
kemudian mencoba konsumsi metformin (500 mg dua kali sehari) selama
3 tahun terakhir sebelum memulai program diet PSMF dengan tidak ada
perbaikan dalam periode maupun ovulasinya. Pasien diminta untuk
melanjutkan terapi metformin. Periode menstruasi menjadi teratur setelah
1 bulan (pengukuran berat badan tidak dilakukan dalam 1 bulan pertama).
Pasien berhasil hamil dengan usia kehamilan 7 bulan setelah
menyelesaikan program dan kehilangan total 36 Ibs atau 20% dari berat
badan awal, dan terus menurun sebelum kehamilan. Berat badan awal
pasien adalah 176 Ibs, berat badan setelah program 6 bulan adalah 140 Ibs.
3. Pasien 3
Wanita usia 24 tahun mengalami infertilitas selama 4,5 tahun
dengan BMI 37.5/m2 dengan periode menstruasi tidak teratur. Pasien telah
mengkonsumsi metformin XR 500 mg dua kali sehari selama 3 tahun
sebelum mendaftar program diet PSMF, namun tidak ada perbaikan dalam
periode menstruasi atau ovulasi. Pasien diminta untuk menlajutkan
konsumsi metformin. Pasien tidak pernah mencoba terapi induksi ovulasi
sebelum program. Periode menstruasi menjadi teratur dalam bulan
pertama program sekaligus kehilangan berat badan 10 Ibs, atau 5% dari
total berat tubuhnya. Pemeriksaan HSG menunjukkan penyumbatan satu
sisi tuba falopi sehingga dirujuk ke departemen ginekologi. Analisis air
mani pasangan pasien tidak dilakukan. Berat badan awal pasien adalah
218 Ibs, berat badan setelah 6 bulan adalah 197 Ibs.
7

4. Pasien 4
Wanita usia 27 tahun dengan riwayat infertilitas 1 tahun. BMI
pasien adalah 30,8 kg/m2. Pasien memiliki periode menstruasi tidak
teratur. Pasien tidak tolerir terhadap pemberian metformin karena pasien
mengalami diare berat sebelum program dimulai, sehingga pasien tidak
menerima metformin pada awal program. Pasien tidak pernah mencoba
terapi induksi ovulasi sebelum program. Menstruasi menjadi teratur
setelah 2 bulan menjalani program diet PSMF dan kehilangan berat badan
sebesar 9 Ibs, atau 5% dari total berat badan. HSG dan analisis air mani
pasangan pasien menunjukkan hasil normal. Pasien mangkir setelah
program. Berat badan awal pasien adalah 190 Ibs, sedangkan berat badan
setelah program selama 6 bulan adalah 171 Ibs. Perbandingan hasil antar
pasien tersaji pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perbandingan hasil antar pasien

D. Discussion
Kasus ini menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat dapat membantu
dalam mengembalikan resistensi insulin dan penyimpangan siklus ovulasi
yang diamati pada wanita dengan obesitas dan PCOS. Kasus ini menunjukkan
hasil yang sama dengan studi yang dilakukan oleh Mavropolous et al. (2005),
serta seri kasus oleh Douglas et al. (2006). Namun, dalam observasi kasus ini
menunjukkan bahwa kembalinya periode menstruasi secara reguler dibarengi
dengan kehilangan berat badan minimal satu bulan sejak memulai diet, hal ini
berarti penurunan berat badan saja tidak hanya bertanggung jawab untuk
memperbaiki sisklus ovulasi. Hasil pengamatan ini mungkin dijelaskan
8

dengan adanya pengurangan kadar insulin, yang memainkan peran penting


dalam patofisiologi ovarium yang diamati pada pasien PCOS.
Pasien yang menjalani diet rendah kalori cenderung mengalami
peningkatan kadar ghrelin selama beberapa minggu pertama mengikuti diet.
Selain itu, pasien PCOS terbukti memiliki masalah regulasi pada ghrelin
puasa, postprandial, pada awal, dan setelah penurunan berat badan yang
signifikan dibandingkan dengan pasien non-PCOS ketika keduanya menjalani
program penurunan berat badan yang sama (Moran et al., 2004). Peningkatan
kadar ghrelin yang berhubungan dengan pembatasan kalori dapat berdampak
pada kepatuhan dalam menjalani program diet.
Mengingat fakta-fakta tersebut, kontrol nafsu makan tampaknya akan
menjadi pendekatan yang lebih ideal dalam membantu pasien PCOS yang
ingin menurunkan berat badan. Namun, karena semua pasien tertarik pada
kehamilan, penekan nafsu makan tidak diresepkan karena tidak ada obat yang
terbukti aman selama kehamilan. Oleh karena itu, kami mengusulkan solusi
terbaik untuk pasien ini adalah diet ketogenik. Peningkatan sirkulasi asam
lemak bebas dalam keadaan ketosis sebenarnya dapat mengurangi asupan
makanan dan produksi glukosa melalui proses spesifik pada hipotalamus.
Telah dikemukakan bahwa efek ini diperantarai oleh peningkatan konsentrasi
ko-enzim asam lemak rantai panjang, suatu ester dalam nukleus arkuata
hipotalamus dengan mengurangi ekspresi neuropeptida Y. Neuropeptide Y
adalah neuropeptida orexigenic yang merupakan target leptin dan insulin
dalam hipotalamus (Paoli et al., 2015; Lloyd et al., 2001).
Selain itu, ketosis telah dilaporkan mempengaruhi regulasi pencernaan
dari rasa kenyang (Sumithran et al., 2013). Dalam serangkaian 39 pasien
yang mengikuti diet ketogenik selama 8 minggu yang dibarengi dengan fase
refeeding 2 minggu, ghrelin tercatat mengalami penurunan selama periode
ketogenik. Glukosa dan asam lemak bebas lebih tinggi, dan amylin, leptin,
serta nafsu makan secara subjektif dilaporkan lebih rendah selama periode
tersebut.
Kami meminta pasien untuk tetap diet PSMF selama periode 6 bulan
atau sampai mencapai target penurunan berat badan. Setelah periode 6 bulan,
9

kami meminta mereka untuk beralih ke program diet PSMF yang


dimodifikasi di mana jumlah karbohidrat yang diperbolehkan adalah 90 g/hari
karbohidrat untuk menjaga kehilangan berat badan (Chang et al., 2017).
Kami juga mengedukasi pasien untuk menghentikan diet ketogenik jika
mereka hamil dan kami menyediakan program diet sehat bagi mereka selama
kehamilan untuk membantu menghindari kembalinya berat badan berlebih.
Data mengenai keamanan ketosis selama kehamilan sangatlah terbatas.
Namun, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ketosis berbahaya bagi
wanita hamil atau janin. Faktanya, kadar keton urin sedikit berhubungan
dengan kadar darah dengan nilai asetoasetat sebesar 0,1 mmol / L, dan oleh
karena itu hasil tes keton urin yang positif selama kehamilan tidak selalu
menunjukkan kadar keton darah yang berbahaya (Coetzee et al., 1980). Selain
itu, setidaknya 13% dari total kebutuhan oksigen otak pada 2 hingga 4
minggu kehidupan neonatal berasal dari keton (Soling et al., 1970), dan
selama beberapa hari pertama kehidupan, keton menyumbang 25% dari
kebutuhan kalori tubuh mereka (Bougneres et al., 1986).
Sementara itu metformin telah berperan dalam memulihkan siklus
ovulasi normal dan memungkinkan terjadinya kehamilan, 2 pasien dalam
kasus kami sudah menggunakan metformin selama bertahun-tahun tanpa
memberikan manfaat ovulasi dan hanya dapat melanjutkan menstruasi teratur
/ periode ovulasi setelah memulai diet PSMF. Pasien nomor 4 juga tidak
pernah diberikan metformin dengan diet karena ia memiliki riwayat
intoleransi lambung terhadap metformin. Selain itu, metformin mampu
mengembalikan menstruasi dan ovulasi secara teratur hanya pada 25 hingga
50% kasus PCOS dalam seri kasus terbesar yang dilaporkan dalam literatur
(Unlühizarci et al., 1999; Moghetti et al., 2000). Mavropolous et al. (2005)
juga menyatakan bahwa diet ketogenik memiliki efek tanpa penggunaan
metformin, jadi kami menyimpulkan dalam kasus bahwa melakukan diet akan
lebih efektif dalam memulihkan menstruasi secara reguler daripada
metformin. Namun, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk
membandingkan efek diet dengan metformin dan juga untuk melihat apakah
gabungan antara keduanya memiliki manfaat tambahan.
10

PSMF atau intervensi diet ketogenik lainnya mungkin juga merupakan


pendekatan pengobatan yang masuk akal untuk pasien dengan PCOS yang
tidak mencari fertilitas. Pil KB yang biasanya digunakan untuk mengatur
menstruasi pada pasien PCOS tidak selalu merupakan pilihan yang aman.
Sebagai contoh, satu kasus dari 9 wanita dengan PCOS dan 10 wanita dengan
kontrol usia dan berat badan yang sesuai diamati sebelum dan selama bulan
ketiga terapi dengan dosis rendah norethindrone yang mengandung pil
kontrasepsi oral kombinasi triphasic (Korytkowski et al., 1995).
Menggunakan teknik hyperglycemic clamp para peneliti menemukan terapi
jangka pendek dengan pil (selama 3 bulan) menghasilkan penurunan indeks
sensitivitas insulin pasien PCOS. Parameter resistensi insulin juga telah
terbukti memburuk dengan pil kontrasepsi oral bahkan jika pasien
menggunakan metformin secara bersamaan (Glintborg et al., 2017).
Selain itu, kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli
vena pada pasien obesitas. Dalam studi Multiple Environmental and Genetic
Assessment (MEGA) (Pomp et al., 2008), 3.834 pasien yang menggunakan
kontrasepsi oral dengan trombosis vena pertama dan melibatkan 4.683 subyek
kontrol. Semuanya dalam kondisi tidak hamil dan tidak ada kondisi
keganasan yang aktif. Dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT
normal (<25 kg/m2), wanita yang overweight (IMT 25-29,9 kg/m2) memiliki
peningkatan risiko trombosis vena sebesar 1,7 kali lipat dan wanita obesitas
(IMT >30 kg/m2) mengalami peningkatan risiko 2,4 kali lipat.
Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah populasi dan kurangnya
kelompok pembanding pasien PCOS yang dirawat secara konvensional
daripada dengan diet ketogenik. Keterbatasan lainnya adalah kurangnya data
laboratorium (hormonal dan metabolik) sebelum dan sesudah perlakuan
dengan diet ketogenik. Informasi tambahan ini akan sangat penting untuk
mengidentifikasi mekanisme yang mendasari penelitian ini terjadi. Hal ini
harus diamati dalam penelitian prospektif kedepannya.
11

E. Conclusion
Laporan ini menunjukkan bahwa diet ketogenik sebagai pilihan terapi
yang potensial pada pasien PCOS, yang berpotensi memulihkan siklus
menstruasi normal, ovulasi, dan dengan demikian dapat meningkatkan
fertilitas. Pada beberapa kasus, pendekatan diet ketogenik bahkan mungkin
menghilangkan kebutuhan yang lebih mahal untuk mendapatkan terapi
kesuburan (dan berpotensi lebih berbahaya). Kajian kami mendukung
kebutuhan untuk penelitian prospektif yang lebih luas untuk membandingkan
diet ketogenik rendah karbohidrat dengan diet lain yang digunakan untuk
pasien PCOS, untuk mengarahkan apakah diet ketogenik memiliki efek yang
lebih cepat untuk memperbaiki siklus ovulasi dan fertilitas. Gagasan lain akan
membandingkan pasien PCOS yang hanya menjalani diet ketogenik dengan
pasien yang menjalani diet ketogenik dan diberi metformin, terapi induksi
ovulasi atau keduanya dan mengamati jika beberapa modalitas lebih superior
untuk mengembalikan menstruasi dan ovulasi atau jika kombinasi beberapa
modalitas memberikan lebih banyak manfaat.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketogenic Diet
Diet ketogenik merupakan pola makan yang berfokus pada asupan
makanan tinggi lemak serta rendah karbohidrat, dengan kandungan lemaknya
mencapai 70-90 % atau 3 sampai 4 kali lebih besar dari kandungan
karbohidrat dan protein (Paoli, 2014).
Berbeda dengan jenis diet lain yang umumnya menganjurkan
pembatasan konsumsi lemak, diet ketogenik menganjurkan konsumsi
makanan tinggi lemak namun rendah atau bahkan tanpa karbohidrat, hingga
tubuh mencapai ketosis. Ketosis merupakan keadaan dimana tubuh
memproduksi badan keton untuk digunakan sebagai bahan bakar energi yang
akan digunakan oleh tubuh. Ketosis ini umunya terjadi jika tubuh dalam
kondisi kelaparan (starvation). Dalam kondisi normal, tubuh menggunakan
karbohidrat (glukosa) sebagai sumber energi utama, sedangkan pada kondisi
kelaparan sumber glukosa di dalam tubuh tidak tersedia sehingga tubuh akan
memecah lemak sebagai pengganti energi dan membentuk badan keton (Paoli
et al., 2013).
Diet ketogenik ini pertama kali diakui oleh American Medical
Association pada tahun 1920an sebagai terapi diet yang digunakan untuk
mengontrol kejang-kejang pada penderita epilepsi terutama pada anak-anak
(Nelms et al. 2010). Diet ini terus berkembang dan semakin dikenal luas serta
menjadi populer pada tahun 1970an karena dapat menurunkan berat badan
(Paoli et al., 2013).
Selain terbukti efektif dalam menurunkan berat badan dan berperan
positif terhadap kelainan epilepsi, ternyata berbagai penelitian juga
membuktikan bahwa diet ketogenik ini juga dapat mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular dan mengontrol kadar gula darah pada penderita
diabetes tipe 2. Diet ketogenik juga dianggap berperan terhadap penyakit
neurological atau kelainan saraf seperti Alzheimer’s dan Parkinson’s disease
(Paoli et al. 2013).
Saat ini, beberapa tipe diet ketogenik digunakan pada terapi epilepsi.
Tipe yang paling sering digunakan adalah diet ketogenik yang dikenalkan

12
13

oleh Wilder pada tahun 1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang
serta protein dan karbohidrat dalam persentase yang rendah. Protokol ini,
seperti yang diterapkan pada Johns Hopkins Hospital, terdiri dari lemak
dalam rasio 4:1 dengan gabungan protein dan karbohidrat. Pada jenis
protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan dipuasakan selama 24 jam
sebelum memulai diet. Selain itu juga terdapat tipe diet yang menggunakan
trigliserida rantai sedang serta tipe diet yang menggunakan gabungan antara
diet lemak jenuh rantai panjang dan diet trigliserida rantai sedang.
Diet ketogenik trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-
4 gram lemak untuk setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Total kalori yang
diberikan pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien.
Sumber lemak yang digunakan pada diet ini berupa mentega, krim kocok
kental, mayonnaise, maupun berbagai jenis minyakminyakan. Karena jumlah
karbohidrat dan lemak pada diet ini sangat dibatasi, maka penyiapan makanan
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Biasanya seorang ahli gizi akan
memonitor pemberian diet ini.
Diet ketogenik diperkirakan menstimulasi efek metabolik dari
kelaparan dengan memaksa tubuh kita menggunakan lemak sebagai sumber
energi utama. Sistem saraf pusat tidak dapat menggunakan lemak sebagai
sumber energi, oleh karenanya secara normal glukosa merupakan sumber
energi utama. Setelah 3-4 hari tanpa konsumsi karbohidrat, SSP "dipaksa"
untuk menemukan sumber energi alternatif yang didapatkan dari produksi
berlebih acetyl coenzyme A (CoA). Kondisi ini menyebabkan produksi badan
keton dalam jumlah diatas normal oleh hati. Dalam kondisi produksi
berlebihan, asam asetoasetat akan berakumulasi dalam jumlah diatas normal
dan sebagian akan dikonversi menjadi betahidroksibutirat dan aseton yang
menyebabkan ketonemia dan ketonuria.
Dalam kondisi normal, konsentrasi badan keton (>0.3 mmol/l)
sangatlah rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4 mmol). Dan karena
glukosa dan badan keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke
otak, benda keton mulai digunakan sebagai sumber energi utama saat
konsentrasinya sekitar 4 mmol/l. Selanjutnya benda keton digunakan oleh
14

jaringan sebagai sumber energi melalui jalur yang membentuk dua molekul
asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil KoA yang dihasilkan akan
digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan dari benda keton lebih
besar dibanding glukosa.

Gambar 3.1. Jalur metabolism dari ketosis dan ketolisis oleh jaringan
Ketosis yang terjadi pada kondisi ini merupakan mekanisme fisiologis
dimana ketonemia mencapai kadar maksimum 7-8 mmol/l dan tanpa
penurunan pH. Sedangkan pada ketoasidosis diabetikum, ketonemia
mencapai kadar lebih dari 20 mmol/l dengan penurunan pH darah.

Tabel 3.1. Perbedaan level glukosa, insulin, badan keton dan pH antara ketosis
fisiologis pada diet ketogenik dan ketoasidosis diabetikum

B. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)


1. Definisi
Polycystic ovary syndrome (PCOS) merupakan kelainan endokrin
dan metabolik pada wanita usia reproduksi. PCOS adalah kelainan yang
ditandai oleh dengan hiperandrogenisme, disfungsi ovulasi, dan ovarium
polikistik (ACOG, 2018). Dalam bentuk klasiknya, PCOS digambarkan
15

dengan adanya anovulasi kronik (80%), menstruasi yang irregular (85-


90%) dan hiperandrogen (80%) yang dapat disertai dengan hirsutism
(70%), acne (30%), seborrhea dan obesitas (40%) (Sirmans & Pate, 2014).
2. Epidemiologi
Kejadian PCOS bervariasi sesuai dengan kriteria diagnostik yang
dipakai. Wanita dengan anovulasi kronis hiperandrogenik (yaitu kriteria
NIH / the National Institutes of Health) terjadi sekitar 7% wanita usia
reproduksi. Tidak ada perbedaan signifikan dalam prevalensi hirsutisme
atau peningkatan kadar sirkulasi androgen sirkulasi antara wanita kulit
putih dan kulit hitam. Sedangkan pada kriteria Rotterdam yang lebih luas
akan meningkatkan prevalensi PCOS pada wanita dengan anovulasi
normogonadotropik menjadi 91% dari 55% jika menggunakan kriteria
NIH (ACOG, 2018).
Prevalensi gambaran klinis PCOS sangat beragam. Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa 5% – 10% wanita usia reproduksi
menderita PCOS (Wahyuni, 2015). Dari seluruh perempuan usia
reproduksi yang tersebar diseluruh dunia, 4-18% diantaranya mengalami
PCOS (Ivo & Giuseppe, 2015). PCOS menyebabkan 5-10% wanita usia
reproduktif menjadi infertil. Berdasarkan penelitian Wahyuni tahun 2015,
didapatkan 67 (72,04%) dari 93 pasien PCOS mengalami infertilitas.
3. Etiologi
Penyebab kausal dari PCOS sampai saat ini tidak diketahui dengan
pasti. PCOS merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan
proses inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif
protein (CRP), TNF-α dan reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6).
Pada umumnya penderita PCOS memiliki timbunan lemak viseral yang
banyak dan hal ini berhubungan dengan mekanisme terjadinya resistensi
insulin. Penumpukan lemak viseral memberikan efek parakrin dan
endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa marker inflamasi.
Resistensi insulin diyakini sebagai principal underlying etiologic factor.
Hal ini juga dibuktikan dengan tingginya angka kejadian resistensi insulin
pada penderita PCOS (Wahyuni et al., 2015). Menurut Wahyuni (2015)
16

obesitas berkaitan erat dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan


terjadinya hiperandrogenemia seperti pada pasien PCOS, serta terdapat
hubungan bermakna antara resistensi insulin dan PCOS. Pola hidup yang
tidak sehat sangat berperan dalam terjadinya obesitas. Lebih dari 1,4
milyar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan. Pada tahun 2012,
hampir 300 juta wanita mengalami obesitas. Di Indonesia, prevalensi
obesitas perempuan dewasa pada tahun 2013 sebesar 32,9% (Kemenkes
RI, 2013). Pada orang yang obesitas, sering terjadi gangguan ovulasi
sehingga tingginya angka kejadian obesitas dapat menyebabkan juga
tingginya angka kejadian PCOS, yang berakhir dengan infertilitas karena
terjadi gangguan ovulasi (Mareta et al., 2018).
4. Patogenesis
Banyak hipotesis yang menjelaskan patofisiologi PCOS. Awalnya,
androgen intrauterin yang berlebihan dianggap sebagai penyebab utama
dalam perkembangan penyakit ini. Namun penelitian terbaru tidak
menunjukkan adanya hubungan antara paparan androgen prenatal yang
berlebihan dengan terjadinya PCOS (Hickey et al., 2009) atau peningkatan
kadar androgen dalam plasenta dari wanita yang dilahirkan oleh ibu
dengan PCOS (Anderson et al., 2010).
Kontribusi genetik pada PCOS tidak diketahui dengan pasti, dan
saat ini tidak ada tes skrining genetik yang direkomendasikan. Tidak ada
substansi lingkungan spesifik yang diidentifikasi sebagai penyebab PCOS.
Resistensi insulin diyakini sebagai etiologi utama dari penyakit ini.
Obesitas adalah komorbiditas yang dapat memperkuat terjadinya PCOS
(ACOG, 2018). Namun, obesitas bukan kriteria diagnostik untuk PCOS,
dan sekitar 20% wanita dengan PCOS tidak mengalami obesitas.
Prevalensi obesitas lebih umum terjadi di Amerika Serikat daripada di
negara lain dan oleh karena itu, fenotip PCOS mungkin berbeda.
Kompensasi hiperinsulinemia dapat menyebabkan penurunan kadar sex
hormone-binding globulin (SHBG) dan dengan demikian, sirkulasi
androgen yang beredar menjadi lebih banyak dan berfungsi sebagai
stimulus trofik untuk produksi androgen di kelenjar adrenal dan ovarium.
17

Insulin juga memiliki efek langsung terhadap hipotalamus, seperti


stimulasi nafsu makan abnormal dan sekresi gonadotropin.
Hiperandrogenisme, meskipun merupakan penyebab utama dari sindrom
ini, mungkin memiliki banyak etiologi, beberapa tidak berhubungan
dengan resistensi insulin (ACOG, 2018).
Patogenesis PCOS telah dikaitkan dengan perubahan luteinizing
hormone (LH), resistensi insulin, dan hiperandrogenisme. Salah satu teori
menyatakan bahwa resistensi insulin mendasari terjadinya
hiperandrogenisme yaitu dengan menekan sintesis sex hormone-binding
globulin (SHBG) dan meningkatkan kerja adrenal dan ovarium untuk
sintesis androgen, sehingga akan meningkatkan kadar androgen. Androgen
kemudian menyebabkan menstruasi tidak teratur dan manifestasi fisik
hiperandrogenisme (Williams et al., 2016).

Gambar 3.2. Interaksi antara resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan


hyperandrogenemia pada etiopatogenesis dan
perkembangan polycystic ovary syndrome (PCOS) dan
komorbiditas terkait (Rojas et al., 2014)
18

5. Tatalaksana
PCOS merupakan sindrom yang mempengaruhi berbagai sistem
organ dengan manifestasi metabolisme dan reproduksi yang signifikan.
Tatalaksana bergantung individu berdasarkan presentasi pasiendan
keinginan untuk hamil. Dengan peningkatan berat badan pada wanbita,
dan tingkat kenaikan berat badan yang lebih tinggi ditunjukkan pada
PCOS, diperlukan strategi pencegahan. Studi intervensi gaya hidup
sebelumnya dlam PCOS telah melibatkan intervensi diet jangka pendek
dengan atau tanpa komponen olahraga. Studi intervensi diet telah
menunjukkan manfaat dengan penurunan berat badan. Terapi perilaku
menghasilkan penurunan berat badan yang jauh lebih besar daripada
plasebo dan terapi perilaku yang dikombinasikan dengan diet dan olahraga
memiliki khasiat. Mengingat perlunya meningkatkan kepatuhan dan
dampak intervensi gaya hidup pada PCOS (Teede, 2018). Modifikasi gaya
hidup dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk wanita dengan
PCOS. Perubahan tersebut termasuk sebagai berikut (ACOG, 2009):
1. Diet
2. Exercise
3. Weight loss
Manajemen pembedahan untuk PCOS ditujukan terutama untuk
mengembalikan ovulasi. Beberapa metode laparoskopi meliputi (ACOG,
2009):
1. Electrocautery
2. Laser drilling
3. Multiple biopsy

Perawatan farmakologi digunakan untuk gangguan metabolisme


seperti anovulasi, hirsutisme, dan ketidak teraturan menstruasi. Berikut
merupakan bagan untuk pengobatan PCOS (Tracy et al., 2016):
19

Gambar 3.3. Management of polycystic ovary syndrome. Treatment options


vary depending on patient's desire for contraception. Lifestyle
modification is a central part of treatment for all
manifestations of polycystic ovary syndrome. (Tracy et al.,
2016)

Tabel 3.2. MY PCOS: Mnemonic for Assessment of Polycystic Ovary


Syndrome (Tracy et al., 2014)
20

Tabel 3.3. Treatment for Polycystic Ovary Syndrome


21

6. Prognosis
Bukti menunjukan bahwa wanita dengan PCOS mungkin
beresiko lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler dan
sereberovaskuler. Wanita dengan hiperandrogenisme mengalami
peningkatan kadar lipoprotein serum yang serupa dengan pria
(Dokras, 2008). Sekitar 40% pasien dengan PCOS memiliki
resistensi insulin yang tidak tergantung pada berat badan. Kemudian,
40% wanita tersebut mempunyai resiko lebih tinggi untuk menjadi
diabetes mellitus tipe 2 serta penyakit kardiovaskular. American
Association of Clinical Endocrinologists dan American College of
Endocrinology merekomendasikan skrining untuk diabetes pada usia
30 tahun pada semua pasien dengan PCOS, termasuk wanita obesitas
dan nonobese (ACOG, 2009). Pada pasien dengan risiko yang sangat
tinggi, pengujian sebelum usia 30 tahun dapat diindikasikan. Pasien
yang awalnya tes negatif untuk diabetes harus ditinjau ulang secara
berkala sepanjang hidup mereka.
Pasien dengan PCOS juga berisiko lebih tinggi mengalami
hiperplasia endometrium dan karsinoma. Anovulasi kronis pada
PCOS menyebabkan stimulasi endometrium konstan dengan
estrogen tanpa progesteron, dan ini meningkatkan risiko hiperplasia
endometrium dan karsinoma. Royal College of Obstetricians and
Gynecologists (RCOG) merekomendasikan induksi perdarahan
penghentian dengan progestogen minimal setiap 3-4 bulan Tidak ada
hubungan yang diketahui dengan kanker payudara atau ovarium
telah ditemukan (RCOG, 2007).Dengan demikian, tidak diperlukan
pengawasan tambahan.
7. Edukasi
Diskusikan dengan pasien PCOS serta peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Ajarkan wanita dengan
kondisi ini mengenai modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat
badan, peningkatan olahraga, dan modifikasi diet (ACOG, 2009).
Edukasi pasien bahwa diet ketogenik sebagai pilihan terapi yang
22

potensial pada pasien PCOS, yang berpotensi memulihkan siklus


menstruasi normal, ovulasi, dan dengan demikian dapat
meningkatkan fertilitas.
8. Komplikasi
Komplikasi metabolik dari PCOS terkait dengan peningkatan
tekanan darah, obesitas, dyslipidemia, penyakit kardiovaskular, non-
alcoholic fatty liver dan non-alcoholic steatoheaptitis (Tracy et al.,
2014)
Tabel 3.4. Metabolic Complication in PCOS (Tracy et al., 2014)
23

DAFTAR PUSTAKA
American College of Obstetrican and Gynecologists. 2009. Polycystic Ovary
Syndrome. Washington DC: American College of Obstetrican and
Gynecologists.
Anahita, J. Faezah, K. Fatemah, S. Koursoh, S. Zahra, K. Malihe, A. 2015.
Pravelence of Polycystic Ovary Syndome and its Associated
Complication in Iranian Women: A Metaanalysis. Iran Journal
Reproduction Medical. Vol. 13(10): 591-604.
Anderson, H., Fogel, N., Grebe, S.K., Singh, R.J., Taylor, R.L., and Dunaif, A.
2010. Infants Of Women With Polycystic Ovary Syndrome Have Lower
Cord Blood And Rostenedione And Estradiol Levels.
J.Clin.Endocrinol.Metab. Vol. 95: 2180–2186.
Barber, T.M. Mc Carthy, M.I. Wass, J.A. Franks, S. 2006. Obesity and Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Endocrinology Oxford. Vol. 65(2): 137-145.
Bougneres, P.F., Lemmel, C., Ferré, P., Bier, D.M. 1986. Ketone Body Transport
In The Human Neonate And Infant. J Clin Invest. Vol. 77: 42-48.
Cahill, D. 2009. PCOS. BMJ Clinical Evid. Vol. 15(1): 1-10.
Chang, J.J., Bena, J., Kannan, S., Kim, J., Burguera, B., Kashyap, S.R. 2017.
Limited Carbohydrate Refeeding Instruction For Long-Term Weight
Maintenance Following A Ketogenic, Very-Low-Calorie Meal Plan.
Endocr Pract. Vol. 23: 649-656.
Coetzee, E.J., Jackson, W.P., Berman, P.A. 1980. Ketonuria In Pregnancy- -With
Special Reference To Calorie-Restricted Food Intake In Obese Diabetics.
Diabetes. Vol. 29: 177-181.
Dokras, A. 2008. Cardiovascular Disease Risk Factors in Polycystic Ovary
Syndrome. Senim Reproduction Medical. Vol. 26(1): 39-44.
Douglas, C.C., Gower, B.A., Darnell, B.E., Ovalle, F., Oster, R.A., Azziz, R.
2006. Role Of Diet In The Treatment Of Polycystic Ovary Syndrome.
Fertil Steril. Vol. 85: 679-688.
Glintborg, D., Mumm, H., Holst, J.J., Andersen, M. 2017. Effect Of Oral
Contraceptives And/Or Metformin On GLP-1 Secretion And Reactive
Hypoglycaemia In Polycystic Ovary Syndrome. Endocr Connect. Vol. 6:
267-277.
Hickey, M., Sloboda, D.M., Atkinson, H.C., Doherty, D.A., Franks, S., Norman,
R. J., et al. 2009. The Relationship Between Maternal And Umbilical
Cord Androgen Levels And Polycystic Ovary Syndrome In Adolescence:
A Prospective Cohort Study. J.Clin.Endocrinol.Metab. Vol. 94: 3714–
3720.
24

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.


Korytkowski, M.T., Mokan, M., Horwitz, M.J., Berga, S.L. 1995. Metabolic
Effects Of Oral Contraceptives In Women With Polycystic Ovary
Syndrome. J Clin Endocrinol Metab. Vol. 80: 3327-3334.
Lloyd, R.V., Jin, L., Tsumanuma, I., et al. 2001. Leptin And Leptin Receptor In
Anterior Pituitary Function. Pituitary. Vol. 4: 33-47.
Mareta, R., Rizani, A., Veny, L. 2018. Hubungan Polycystic Ovary Syndrome
(PCOS) dengan Infertilitas di Praktik Swasta Dokter Obstetri Ginekologi
Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya. Vol. 50(2): 85-91.
Mavropoulos, J.C., Yancy W.S., Hepburn J., Westman E.C. 2005. The Effects Of
A Low-Carbohydrate, Ketogenic Diet On The Polycystic Ovary
Syndrome: A Pilot Study. Nutr Metab (Lond). Vol. 2(35)
Moghetti, P., Castello, R., Negri, C., et al. 2000. Metformin Effects On Clinical
Features, Endocrine And Metabolic Profiles, And Insulin Sensitivity In
Polycystic Ovary Syndrome: A Randomized, Double-Blind, Placebo-
Controlled 6-Month Trial, Followed By Open, Long-Term Clinical
Evaluation. J Clin Endocrinol Metab. Vol. 85: 139-146.
Moran, L.J., Noakes, M., Clifton, P.M., et al. 2004. Ghrelin And Measures Of
Satiety Are Altered In Polycystic Ovary Syndrome But Not Differentially
Affected By Diet Composition. J Clin Endocrinol Metab.Vol. 89:3337-
3344.
Paoli, A., Rubini, A., Volek, J.S., Grimaldi, K.A. 2013. Beyond Weight Loss: A
Review Of The Therapeutic Uses Of Very-Low-Carbohydrate
(Ketogenic) Diets. European Journal of Clinical Nutrition. Vol. 67: 789–
796.
Paoli, A. 2014. Ketogenic Diet for Obesity: Friend or Foe?. International Journal
of Public Health. Vol. 11: 2092-2107.
Paoli, A., Bosco, G., Camporesi, E.M., Mangar, D. 2015. Ketosis, Ketogenic Diet
And Food Intake Control: A Complex Relationship. Front Psychol. Vol.
6 (27)
Pomp, E.R., Rosendaal, F.R., Doggen, C.J. 2008. Alcohol Consumption Is
Associated With A Decreased Risk Of Venous Thrombosis. Thromb
Haemost. Vol. 99: 59-63.
Rojas, J., Mervin, C., Luis, O., Milagros, R., Jessenia, M., José, M., María, C.,
and Valmore, B. 2014. Polycystic Ovary Syndrome, Insulin Resistance,
and Obesity: Navigating the Pathophysiologic Labyrinth. International
Journal of Reproductive Medicine. Vol. 2014: 1-17.
25

Soling, H.D., Zahlten, R., Reimold, W.V., Willms, B. 1970. Utilization Of Ketone
Bodies By Adipose Tissue And Its Regulation By Carbohydrate
Metabolism. Horm Metab Res. Vol. 2: 56-63.
Sumithran, P., Prendergast, L.A., Delbridge, E., et al. 2013. Ketosis And
Appetite-Mediating Nutrients And Hormones After Weight Loss. Eur J
Clin Nutr. Vol. 67: 759-764.
Teede, Prof. Helena. 2018. International Evidenced-Based Guidline for The
Assessment and Management of Polycystic Ovary Syndrome. Melbourn:
Monash University.
Tracy, L. Setji, Ann, J. Brown. 2014. Plycystic Ovary Syndrome: Update on
Diagnosis and Treatment. The American Journal of Medicine. Vol.
127(10): 912-919.
Tracy, W. Rami, M. Samuel, P. 2016. Diagnosis and Treatment of Polycystic
Ovary Syndrome. American Family Physician. Vol. 15 (2): 106-113.
Unlühizarci, K., Keleştimur, F., Bayram, F., Sahin, Y., Tutuş, A. 1999. The
Effects Of Metformin On Insulin Resistance And Ovarian
Steroidogenesis In Women With Polycystic Ovary Syndrome. Clin
Endocrinol (Oxf). Vol. 51: 231-236.
Williams, T., Rami, M., Samuel, P. 2016. Diagnosis and Treatment of Polycystic
Ovary Syndrome. American Family Physician. Vol. 94(2): 106-113.
Zhao, X. Ni, R. Li, L. et al. 2011. Defining Hirsutisme in Chinese Women: A
Cross-Sectional Study. Journal Fertil Steril. Vol. 96(3): 792-796.

Anda mungkin juga menyukai