Pembimbing :
dr. Adi Setyawan Prianto, Sp.OG (K.FER)
Disusun Oleh:
Fardan Chaisar G4A018057
Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074
Fista Ria Afrilla G4A018076
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Fardan Chaisar G4A018057
Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074
Fista Ria Afrilla G4A018076
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
ii
I. PENDAHULUAN
1
II. ISI JURNAL
A. Abstract
Tujuan : Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah penyebab paling
umum dari ketidaksuburan pada wanita. Kami melaporkan perjalanan klinis
dari 4 wanita dengan PCOS mencoba untuk dapat hamil saat mengikuti diet
ketogenik dan menilai kesuburannya setelah periode 6 bulan.
Metode : Para pasien diikuti sekali dalam sebulan pada pertemuan
medisuntuk total 6 bulan. Setiap kunjungan, pasien dinilai perkembangan
penurunan berat badan, keteraturan menstruasi, dan ovulasi.
Hasil : Rata-rata usia pasien berkirsar antara 24- 29 tahun, rata-rata
indeks masa tubuh mereka berkisar dari 30.75 - 42.46 kg/m2, dan durasi
infertilitas rata-rata dari 1 - 4.5 tahun. Semua pasien tertarik untuk hamil.
Diagnosis PCOS dikonfirmasi oleh konsultasi endokrinologi, dan para pasien
sudah terinisiasi diet Protein-Sparing Modified Fast (PSMF). Diet PSMF
mencakup total asupan harian maksimum karbohidrat 20 g, asupan lemak
hingga 50 g, dan perkiraan asupan karbohidrat 1.5 g untuk setiap 1 kg berat
badan ideal. Metformin dilanjutkan jika mereka sudah memakainya, jika tidak
dimulai dengan diet PSMF dan dititrasi hingga 500 mg dua kali sehari.Semua
pasien mematuhi diet PSMF dan mampu menurunkan berat badan (mulai dari
19 hingga 36 lbs). semua pasien juga memiliki periode menstruasi tidak
teratur sebelum diet PSMF, dan kembali menstruasi secara teratur tak lama
setelah memulai diet PSMF (mulai dari 4 hingga 8 minggu). Dua wanita
mampu hamil secara spontan tanpa induksi ovulasi diperlukan.
Kesimpulan : Diet PSMF mungkin memiliki harapan yang bermanfaat
bagi wanita dengan PCOS dengan mendorong penurunan berat badan dan
memfasilitasi ovulasi.
B. Introduction
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) adalah penyebab umum terbanyak
infertilitas pada wanita. Mayoritas wanita dengan PCOS mengalami obesitas
(Sekitar 80%) dan resistensi insulin. Resistensi insulin dianggap sebagai
gangguan utama pada wanita dengan PCOS. Faktanya, studi terbaru
menunjukan bahwa hiperinsulinemia terdapat pada 85% pasien dengan
2
3
PCOS, khususnya 95% waita dengan obesitas dan 65% wanita dengan berat
badan normal. Peningkatan kadar insulin pada pasien dengan PCOS dapat
bersamaan dengan tingginya kadar hormone luteinizing, memicu terhentinya
pertumbuhan folikel yang berkontribusi terhadap anovulasi. Peningkatan
resistensi insulin menyebabkan hiperglikema yang mengarah ke
hiperinsulinemia dan itu memperkuat aksi hormone luteinisasi pada sel teka
dan selanjutnya meningkatkan androgen level.
Pasien dengan resistensi insulin sering resisten terhadap indusi ovulasi.
Pemberian obat antidiabetes yang menurunkan kadar insulin atau
meningkatkan senstivitas insulin telah dikaitkan dengan penurunan kadar
androgenyang bersirkulasi dan peningkatan tingkat ovulasi. Tikus obesitas
dengan KO selektif reseptor insulin di hipofisis memiliki resolusi sekresi
gonadotropin normal dan peningkatan kesuburan, menyiaratkan peran
langsung untuk aksi insulin dalam PCOS.
Adipokin seperti leptin juga penting dalam mengendalikan fungsi
ovulasi. Diilustrasikan dengan baik pada pasien dengan anoreksia nervosa
atau amenore hipotalamus, dimana sekresi gonadotropin ditekan dengan
hilangnya fungsi ovulasi. Fakta bahwa penggantian leptin saja dapat
menghasilkan dimulainnya kembali sekrei gonadotropin, perkembangan
folikel, dan dalam beberapa kasus ovulasi pada wanita dengan amenore
hipotalamus, mendukung peran langsung untuk penanda metabolisme lemak
dan energi pada reproduksi funsi reproduksi.
Ketika asupan karbohidrat diet dibatasi pada tingkat dimana sintesis
lemak minimal (ambang batas yang bervariasi dari orang ke orang), tanda dan
gejala resistensi insulin meningkat atau sering hilang sepenuhnya. Studi
terbaru menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat dan ketigenik dapat
menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan resistensi insulin.
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengkarakterisasi profil metabolik
dan reproduksi dari 8 pasien dengan diagnosis PCOS yang memprakarsaidiet
karbohidrat atau ketogenik yang sangat rendah, selanjutnya disebut sebagai
diet Protein-Sparing modified Fast (PSMF), selama 6 bulan di institusi atau
lembaga kami.
4
C. Case Report
Pasien PCOS kami dirujuk oleh dokter perawatan primer mereka ke
klinik endokrinologi untuk pengobatan PCOS, obesitas, dan resitensi insulin.
Para pasien terdaftar dalam program penunjukan medis bersama (SMA) yang
terdiri dari janji temu bulanan untuk instruksi diet PSMF di klinik kami.
Peserta semuanya adalah wanita obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2),
usia subur (18 hingga 50 tahun), yang telah didiagnosis secara klinis dengan
PCOS (periode tidak teratur, tanda-tanda hiperandrogenism) dan telah
menyeleaikan tes laboratorium dengan atau tanpa USG panggul.
Pertemuan pertama program SMA terutama terfokus pada alasan dan
implementasi intervensi diet melalui penggunaan buku diet PSMF dan
selebaran yang berisi saran tentang pilihan makanan yang tepat. Diet PSMF
menysratkan asupan karbohidrat total harian tidak lebih dari 20 g, asupan
lemak minimum 50 g, dan protein perkiraan asupan sekitar 1.5 g untuk setiap
1 kg berat badan ideal. Contoh makanan diet PSMF bisa berupa protein shake
rendah karbohidrat atau 2 telur dan 3 strip bacon untuk sarapan, salad dengan
protein (ayam atau ikan) untuk makan siang, daging 4 hingga 6 ons daging
dengan sayuran rendah karbohidrat untuk makan malam, dan batang seledri
dengan selai kacang, satu tangan penuh almond, satu telur sedang, atau
gulungan keju kalkun sebagai makanan ringan.
Selama setiap kunjungan bulanan berikutnya, ulasan singkat tentang
komposisi diet diberikan. Pasien menjalani rekonsiliasi obat dan juga dinilai
kepatuhannya terhadap diet, tekanan darah, berat badan, laboratorium dan
riwayat reproduksi mereka (siklus menstruasi, pemeriksaan ovulasi dengan
strip urin, dan potensi kehamilan). Setiap SMA berlangsung 90 menit. Pasien
juga didorong untuk meningkat tingkat aktivitas fisik mereka seperti dengan
berjalan setidaknya setengah jam 3 kali per minggu, para pasien selalu
diingatkan untuk menghentikan diet PSMF sesegera mungkin jika mereka
tahu mereka hamil. Informasi tentang kesehatan nutrisi selama kehamilan
juga diberikan selama SMA.
Kami meninjau perjalanan klinis pasien yang mengikuti kelas dan
memiiki riwayat infertilitas terkait PCOS (tidak dapat hamil setelah 1 tahun
5
1. Pasien 1
Wanita usia 26 tahun dengan riwayat infertilitas 4,5 tahun dan BMI
42,5 kg/m2 melaporkan periode absen dan tidak menerima terapi induksi
ovulasi sebelumnya. Hasil pemeriksaan Histosalpingogram normal,
analisis semen untuk pasangannya tidak dilakukan. Pasien tidak pernah
mendapat terapi metformin sebelumnya, lalu pada awal program ini pasien
diberikan metformin 500 mg dua kali sehari. Periode menstruasi menjadi
teratur dan berat badan pasien turun 3 Ibs (1% dari berat badannya), lalu
6
4. Pasien 4
Wanita usia 27 tahun dengan riwayat infertilitas 1 tahun. BMI
pasien adalah 30,8 kg/m2. Pasien memiliki periode menstruasi tidak
teratur. Pasien tidak tolerir terhadap pemberian metformin karena pasien
mengalami diare berat sebelum program dimulai, sehingga pasien tidak
menerima metformin pada awal program. Pasien tidak pernah mencoba
terapi induksi ovulasi sebelum program. Menstruasi menjadi teratur
setelah 2 bulan menjalani program diet PSMF dan kehilangan berat badan
sebesar 9 Ibs, atau 5% dari total berat badan. HSG dan analisis air mani
pasangan pasien menunjukkan hasil normal. Pasien mangkir setelah
program. Berat badan awal pasien adalah 190 Ibs, sedangkan berat badan
setelah program selama 6 bulan adalah 171 Ibs. Perbandingan hasil antar
pasien tersaji pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perbandingan hasil antar pasien
D. Discussion
Kasus ini menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat dapat membantu
dalam mengembalikan resistensi insulin dan penyimpangan siklus ovulasi
yang diamati pada wanita dengan obesitas dan PCOS. Kasus ini menunjukkan
hasil yang sama dengan studi yang dilakukan oleh Mavropolous et al. (2005),
serta seri kasus oleh Douglas et al. (2006). Namun, dalam observasi kasus ini
menunjukkan bahwa kembalinya periode menstruasi secara reguler dibarengi
dengan kehilangan berat badan minimal satu bulan sejak memulai diet, hal ini
berarti penurunan berat badan saja tidak hanya bertanggung jawab untuk
memperbaiki sisklus ovulasi. Hasil pengamatan ini mungkin dijelaskan
8
E. Conclusion
Laporan ini menunjukkan bahwa diet ketogenik sebagai pilihan terapi
yang potensial pada pasien PCOS, yang berpotensi memulihkan siklus
menstruasi normal, ovulasi, dan dengan demikian dapat meningkatkan
fertilitas. Pada beberapa kasus, pendekatan diet ketogenik bahkan mungkin
menghilangkan kebutuhan yang lebih mahal untuk mendapatkan terapi
kesuburan (dan berpotensi lebih berbahaya). Kajian kami mendukung
kebutuhan untuk penelitian prospektif yang lebih luas untuk membandingkan
diet ketogenik rendah karbohidrat dengan diet lain yang digunakan untuk
pasien PCOS, untuk mengarahkan apakah diet ketogenik memiliki efek yang
lebih cepat untuk memperbaiki siklus ovulasi dan fertilitas. Gagasan lain akan
membandingkan pasien PCOS yang hanya menjalani diet ketogenik dengan
pasien yang menjalani diet ketogenik dan diberi metformin, terapi induksi
ovulasi atau keduanya dan mengamati jika beberapa modalitas lebih superior
untuk mengembalikan menstruasi dan ovulasi atau jika kombinasi beberapa
modalitas memberikan lebih banyak manfaat.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketogenic Diet
Diet ketogenik merupakan pola makan yang berfokus pada asupan
makanan tinggi lemak serta rendah karbohidrat, dengan kandungan lemaknya
mencapai 70-90 % atau 3 sampai 4 kali lebih besar dari kandungan
karbohidrat dan protein (Paoli, 2014).
Berbeda dengan jenis diet lain yang umumnya menganjurkan
pembatasan konsumsi lemak, diet ketogenik menganjurkan konsumsi
makanan tinggi lemak namun rendah atau bahkan tanpa karbohidrat, hingga
tubuh mencapai ketosis. Ketosis merupakan keadaan dimana tubuh
memproduksi badan keton untuk digunakan sebagai bahan bakar energi yang
akan digunakan oleh tubuh. Ketosis ini umunya terjadi jika tubuh dalam
kondisi kelaparan (starvation). Dalam kondisi normal, tubuh menggunakan
karbohidrat (glukosa) sebagai sumber energi utama, sedangkan pada kondisi
kelaparan sumber glukosa di dalam tubuh tidak tersedia sehingga tubuh akan
memecah lemak sebagai pengganti energi dan membentuk badan keton (Paoli
et al., 2013).
Diet ketogenik ini pertama kali diakui oleh American Medical
Association pada tahun 1920an sebagai terapi diet yang digunakan untuk
mengontrol kejang-kejang pada penderita epilepsi terutama pada anak-anak
(Nelms et al. 2010). Diet ini terus berkembang dan semakin dikenal luas serta
menjadi populer pada tahun 1970an karena dapat menurunkan berat badan
(Paoli et al., 2013).
Selain terbukti efektif dalam menurunkan berat badan dan berperan
positif terhadap kelainan epilepsi, ternyata berbagai penelitian juga
membuktikan bahwa diet ketogenik ini juga dapat mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular dan mengontrol kadar gula darah pada penderita
diabetes tipe 2. Diet ketogenik juga dianggap berperan terhadap penyakit
neurological atau kelainan saraf seperti Alzheimer’s dan Parkinson’s disease
(Paoli et al. 2013).
Saat ini, beberapa tipe diet ketogenik digunakan pada terapi epilepsi.
Tipe yang paling sering digunakan adalah diet ketogenik yang dikenalkan
12
13
oleh Wilder pada tahun 1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang
serta protein dan karbohidrat dalam persentase yang rendah. Protokol ini,
seperti yang diterapkan pada Johns Hopkins Hospital, terdiri dari lemak
dalam rasio 4:1 dengan gabungan protein dan karbohidrat. Pada jenis
protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan dipuasakan selama 24 jam
sebelum memulai diet. Selain itu juga terdapat tipe diet yang menggunakan
trigliserida rantai sedang serta tipe diet yang menggunakan gabungan antara
diet lemak jenuh rantai panjang dan diet trigliserida rantai sedang.
Diet ketogenik trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-
4 gram lemak untuk setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Total kalori yang
diberikan pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien.
Sumber lemak yang digunakan pada diet ini berupa mentega, krim kocok
kental, mayonnaise, maupun berbagai jenis minyakminyakan. Karena jumlah
karbohidrat dan lemak pada diet ini sangat dibatasi, maka penyiapan makanan
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Biasanya seorang ahli gizi akan
memonitor pemberian diet ini.
Diet ketogenik diperkirakan menstimulasi efek metabolik dari
kelaparan dengan memaksa tubuh kita menggunakan lemak sebagai sumber
energi utama. Sistem saraf pusat tidak dapat menggunakan lemak sebagai
sumber energi, oleh karenanya secara normal glukosa merupakan sumber
energi utama. Setelah 3-4 hari tanpa konsumsi karbohidrat, SSP "dipaksa"
untuk menemukan sumber energi alternatif yang didapatkan dari produksi
berlebih acetyl coenzyme A (CoA). Kondisi ini menyebabkan produksi badan
keton dalam jumlah diatas normal oleh hati. Dalam kondisi produksi
berlebihan, asam asetoasetat akan berakumulasi dalam jumlah diatas normal
dan sebagian akan dikonversi menjadi betahidroksibutirat dan aseton yang
menyebabkan ketonemia dan ketonuria.
Dalam kondisi normal, konsentrasi badan keton (>0.3 mmol/l)
sangatlah rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4 mmol). Dan karena
glukosa dan badan keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke
otak, benda keton mulai digunakan sebagai sumber energi utama saat
konsentrasinya sekitar 4 mmol/l. Selanjutnya benda keton digunakan oleh
14
jaringan sebagai sumber energi melalui jalur yang membentuk dua molekul
asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil KoA yang dihasilkan akan
digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan dari benda keton lebih
besar dibanding glukosa.
Gambar 3.1. Jalur metabolism dari ketosis dan ketolisis oleh jaringan
Ketosis yang terjadi pada kondisi ini merupakan mekanisme fisiologis
dimana ketonemia mencapai kadar maksimum 7-8 mmol/l dan tanpa
penurunan pH. Sedangkan pada ketoasidosis diabetikum, ketonemia
mencapai kadar lebih dari 20 mmol/l dengan penurunan pH darah.
Tabel 3.1. Perbedaan level glukosa, insulin, badan keton dan pH antara ketosis
fisiologis pada diet ketogenik dan ketoasidosis diabetikum
5. Tatalaksana
PCOS merupakan sindrom yang mempengaruhi berbagai sistem
organ dengan manifestasi metabolisme dan reproduksi yang signifikan.
Tatalaksana bergantung individu berdasarkan presentasi pasiendan
keinginan untuk hamil. Dengan peningkatan berat badan pada wanbita,
dan tingkat kenaikan berat badan yang lebih tinggi ditunjukkan pada
PCOS, diperlukan strategi pencegahan. Studi intervensi gaya hidup
sebelumnya dlam PCOS telah melibatkan intervensi diet jangka pendek
dengan atau tanpa komponen olahraga. Studi intervensi diet telah
menunjukkan manfaat dengan penurunan berat badan. Terapi perilaku
menghasilkan penurunan berat badan yang jauh lebih besar daripada
plasebo dan terapi perilaku yang dikombinasikan dengan diet dan olahraga
memiliki khasiat. Mengingat perlunya meningkatkan kepatuhan dan
dampak intervensi gaya hidup pada PCOS (Teede, 2018). Modifikasi gaya
hidup dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk wanita dengan
PCOS. Perubahan tersebut termasuk sebagai berikut (ACOG, 2009):
1. Diet
2. Exercise
3. Weight loss
Manajemen pembedahan untuk PCOS ditujukan terutama untuk
mengembalikan ovulasi. Beberapa metode laparoskopi meliputi (ACOG,
2009):
1. Electrocautery
2. Laser drilling
3. Multiple biopsy
6. Prognosis
Bukti menunjukan bahwa wanita dengan PCOS mungkin
beresiko lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler dan
sereberovaskuler. Wanita dengan hiperandrogenisme mengalami
peningkatan kadar lipoprotein serum yang serupa dengan pria
(Dokras, 2008). Sekitar 40% pasien dengan PCOS memiliki
resistensi insulin yang tidak tergantung pada berat badan. Kemudian,
40% wanita tersebut mempunyai resiko lebih tinggi untuk menjadi
diabetes mellitus tipe 2 serta penyakit kardiovaskular. American
Association of Clinical Endocrinologists dan American College of
Endocrinology merekomendasikan skrining untuk diabetes pada usia
30 tahun pada semua pasien dengan PCOS, termasuk wanita obesitas
dan nonobese (ACOG, 2009). Pada pasien dengan risiko yang sangat
tinggi, pengujian sebelum usia 30 tahun dapat diindikasikan. Pasien
yang awalnya tes negatif untuk diabetes harus ditinjau ulang secara
berkala sepanjang hidup mereka.
Pasien dengan PCOS juga berisiko lebih tinggi mengalami
hiperplasia endometrium dan karsinoma. Anovulasi kronis pada
PCOS menyebabkan stimulasi endometrium konstan dengan
estrogen tanpa progesteron, dan ini meningkatkan risiko hiperplasia
endometrium dan karsinoma. Royal College of Obstetricians and
Gynecologists (RCOG) merekomendasikan induksi perdarahan
penghentian dengan progestogen minimal setiap 3-4 bulan Tidak ada
hubungan yang diketahui dengan kanker payudara atau ovarium
telah ditemukan (RCOG, 2007).Dengan demikian, tidak diperlukan
pengawasan tambahan.
7. Edukasi
Diskusikan dengan pasien PCOS serta peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Ajarkan wanita dengan
kondisi ini mengenai modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat
badan, peningkatan olahraga, dan modifikasi diet (ACOG, 2009).
Edukasi pasien bahwa diet ketogenik sebagai pilihan terapi yang
22
DAFTAR PUSTAKA
American College of Obstetrican and Gynecologists. 2009. Polycystic Ovary
Syndrome. Washington DC: American College of Obstetrican and
Gynecologists.
Anahita, J. Faezah, K. Fatemah, S. Koursoh, S. Zahra, K. Malihe, A. 2015.
Pravelence of Polycystic Ovary Syndome and its Associated
Complication in Iranian Women: A Metaanalysis. Iran Journal
Reproduction Medical. Vol. 13(10): 591-604.
Anderson, H., Fogel, N., Grebe, S.K., Singh, R.J., Taylor, R.L., and Dunaif, A.
2010. Infants Of Women With Polycystic Ovary Syndrome Have Lower
Cord Blood And Rostenedione And Estradiol Levels.
J.Clin.Endocrinol.Metab. Vol. 95: 2180–2186.
Barber, T.M. Mc Carthy, M.I. Wass, J.A. Franks, S. 2006. Obesity and Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Endocrinology Oxford. Vol. 65(2): 137-145.
Bougneres, P.F., Lemmel, C., Ferré, P., Bier, D.M. 1986. Ketone Body Transport
In The Human Neonate And Infant. J Clin Invest. Vol. 77: 42-48.
Cahill, D. 2009. PCOS. BMJ Clinical Evid. Vol. 15(1): 1-10.
Chang, J.J., Bena, J., Kannan, S., Kim, J., Burguera, B., Kashyap, S.R. 2017.
Limited Carbohydrate Refeeding Instruction For Long-Term Weight
Maintenance Following A Ketogenic, Very-Low-Calorie Meal Plan.
Endocr Pract. Vol. 23: 649-656.
Coetzee, E.J., Jackson, W.P., Berman, P.A. 1980. Ketonuria In Pregnancy- -With
Special Reference To Calorie-Restricted Food Intake In Obese Diabetics.
Diabetes. Vol. 29: 177-181.
Dokras, A. 2008. Cardiovascular Disease Risk Factors in Polycystic Ovary
Syndrome. Senim Reproduction Medical. Vol. 26(1): 39-44.
Douglas, C.C., Gower, B.A., Darnell, B.E., Ovalle, F., Oster, R.A., Azziz, R.
2006. Role Of Diet In The Treatment Of Polycystic Ovary Syndrome.
Fertil Steril. Vol. 85: 679-688.
Glintborg, D., Mumm, H., Holst, J.J., Andersen, M. 2017. Effect Of Oral
Contraceptives And/Or Metformin On GLP-1 Secretion And Reactive
Hypoglycaemia In Polycystic Ovary Syndrome. Endocr Connect. Vol. 6:
267-277.
Hickey, M., Sloboda, D.M., Atkinson, H.C., Doherty, D.A., Franks, S., Norman,
R. J., et al. 2009. The Relationship Between Maternal And Umbilical
Cord Androgen Levels And Polycystic Ovary Syndrome In Adolescence:
A Prospective Cohort Study. J.Clin.Endocrinol.Metab. Vol. 94: 3714–
3720.
24
Soling, H.D., Zahlten, R., Reimold, W.V., Willms, B. 1970. Utilization Of Ketone
Bodies By Adipose Tissue And Its Regulation By Carbohydrate
Metabolism. Horm Metab Res. Vol. 2: 56-63.
Sumithran, P., Prendergast, L.A., Delbridge, E., et al. 2013. Ketosis And
Appetite-Mediating Nutrients And Hormones After Weight Loss. Eur J
Clin Nutr. Vol. 67: 759-764.
Teede, Prof. Helena. 2018. International Evidenced-Based Guidline for The
Assessment and Management of Polycystic Ovary Syndrome. Melbourn:
Monash University.
Tracy, L. Setji, Ann, J. Brown. 2014. Plycystic Ovary Syndrome: Update on
Diagnosis and Treatment. The American Journal of Medicine. Vol.
127(10): 912-919.
Tracy, W. Rami, M. Samuel, P. 2016. Diagnosis and Treatment of Polycystic
Ovary Syndrome. American Family Physician. Vol. 15 (2): 106-113.
Unlühizarci, K., Keleştimur, F., Bayram, F., Sahin, Y., Tutuş, A. 1999. The
Effects Of Metformin On Insulin Resistance And Ovarian
Steroidogenesis In Women With Polycystic Ovary Syndrome. Clin
Endocrinol (Oxf). Vol. 51: 231-236.
Williams, T., Rami, M., Samuel, P. 2016. Diagnosis and Treatment of Polycystic
Ovary Syndrome. American Family Physician. Vol. 94(2): 106-113.
Zhao, X. Ni, R. Li, L. et al. 2011. Defining Hirsutisme in Chinese Women: A
Cross-Sectional Study. Journal Fertil Steril. Vol. 96(3): 792-796.