Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 10 Maret 2022

UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU

PENATALAKSANAAN POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

OLEH :
Ella Anggi Famela S.Lalusu, S.Ked
13 19 777 14 478

PEMBIMBING :
dr. H. Abdul Faris, Sp. OG(K)

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Ella Anggi Famela S.Lalusu, S. Ked
No. Stambuk : 13 19 777 14 478
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul Refarat : Polikistik Ovarium Sindrom
Bagian : Bagian Obstetri dan Ginekologi

Bagian Obstetri Ginekologi


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 10 Maret 2022

Pembimbing Dokter Muda

dr. Abdul Faris Sp.OG (K) Ella Anggi Famela S.Lalusu, S.Ked
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endokrinologi


reproduksi dan fungsi metabolik yang sering terjadi dan sampai saat ini masih
menjadi kontroversi. Penyakit yang juga dikenal dengan nama Stein-Leventhal
Syndrome ini adalah suatu sindrom dengan karakteristik berupa anovulasi kronis
dan hiperandrogenisme yang dapat menyebabkan beragam manifestasi klinis.
Selain itu, SOPK juga disertai oleh perubahan metabolik berupa gangguan
toleransi glukosa, hiperinsulinemia dan resistensi insulin.1,2
Sejak dikemukakan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935 pada
mulanya diterangkan bahwa SOPK merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri
dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirutisme dan obesitas. Kelainan
ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormonal. Pada awal 1980an, kasus
ini kemudian diketahui memiliki kaitan dengan hiperinsulinemia dan gangguan
toleransi glukosa. Pada awal 1990an, ditemukan adanya defek reseptor insulin
pada penderita ini. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik mengalami
abnormalitas metabolik yang berasal dari androgen dan estrogen serta kontrol dari
produksi androgen. Sindrom ovarium polikistik dapat juga berasal dari fungsi
yang abnormal dari aksis Hipotalamus-Pituitary-ovarian (HPO) 3,4,5
Sindrom ovarium polikistik merupakan kelainan endokrin utama pada
wanita usia reproduksi dan diperkirakan mengenai 5-10% populasi. Diperkirakan
5 juta wanita di Amerika mengidap sindrom ini. Di Indonesia jumlah penderitanya
diperkirakan sekitar 8 juta walaupun tidak ada data pasti yang mendukung karena
sedikitnya wanita yang memeriksakan diri. Gejala sindrom ini begitu tersembunyi
bahkan cenderung diabaikan oleh banyak wanita sehingga banyak yang pada
akhirnya tidak terdiagnosis dan timbul sebagai infertilitas, kista ovarium yang
berulang, penyakit diabetes melitus atau penyakit jantung kronik. Sindroma
Ovarium Polikistik merupakan penyebab 70% kejadian anovulasi subfertil.
Abnormalitas yang utama terlihat pada produksi androgen yang berlebihan
dengan kecilnya preovulasi folikel. Berkaitan dengan penemuan tersebut,
perhatian terhadap SOPK sekarang dipusatkan pada masalah hiperandrogenisme,
hiperinsulinemia, abnormalitas kadar lemak darah dan obesitas yang memberikan
dampak yang lebih luas terhadap kesehatan.2,4,6
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi

Sindrom polikistik ovarium atau polycystic ovarian syndrome (PCOS)


adalah gangguan hormon yang terjadi pada wanita di usia subur. Hormon
androgen yang berlebihan pada penderita PCOS dapat mengakibatkan ovarium
atau indung telur memproduksi banyak kantong-kantong berisi cairan. Kondisi ini
menyebabkan sel-sel telur tidak berkembang dengan sempurna dan gagal
dilepaskan secara teratur PCOS dapat menyebabkan penderitanya tidak subur 
(mandul), dan lebih rentan terkena diabetes juga tekanan darah tinggi. 

1.2 PENATALAKSANAAN
Pengobatan ditekankan pada 2 hal yang umum timbul pada penderita
sindrom ovarium polikistik yaitu terapi gangguan proses reproduksi (infertilitas,
anovulasi kronik dan hirsutisme) serta terapi jangka panjang yang mengutamakan
pada sequelae kelainan metaboliknya. Secara umum tujuan terapi pada pasien
sindrom ovarium polikistik adalah mengurangi produksi dan kadar androgen
dalam sirkulasi darah, melindungi endometrium dari efek unopposed estrogen,
perubahan gaya hidup untuk menurunkan berat badan, menghindari efek
hiperinsulinemia terhadap risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus,
induksi ovulasi untuk mendapatkan kehamilan.1,4-6
Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta
menghentikan kebiasaan merokok dan mengendalikan berat badan merupakan
kunci utama pengobatan SOPK. Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan
menggunakan obat untuk menyeimbangkan hormon. Tidak terdapat pengobatan
definitif untuk SOPK, namun pengendalian penyakit dapat menurunkan resiko
infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma uterus.1,4-6,9

A. Terapi awal
 Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki
gangguan hormonal dan efek jangka panjang akibat SOPK. Pentingnya
memberikan penjelasan mengenai terapi SOPK dan target terapi yang akan
dicapai.3
 Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan terapi lini pertama, yang
mencakup intervensi diet dan aktivitas fisik. Modifikasi diet pada
perempuan dengan SOPK memiliki efek perbaikan profil hormonal dan
metabolik. Pengaturan diet harus didasari pada diet seimbang dengan
mempertimbangkan indeks glikemik dari jumlah karbohidrat yang
dikonsumsi.38 Pembatasan asupan nutrisi dan olahraga merupakan
landasan utama tatalaksana SOPK dengan obesitas. Dengan melakukan
modifikasi gaya hidup, diharapkan dapat menurunkan kadar lemak dalam
tubuh serta meningkatkan sensitivitas insulin. Dengan berolahraga, kadar
glukosa dapat diperbaiki serta menurunkan risiko gangguan
kardiovaskular. Kombinasi antara olahraga dan pembatasan jumlah kalori
yang dikonsumsi lebih cepat mengecilkan lingkar pinggang dan
menurunkan massa lemak pada hepar dibandingkan hanya pembatasan
nutrisi saja.3
 Diet
Sekitar 30-75% perempuan dengan SOPK di seluruh dunia
mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.Berdasarkan data RSCM
tahun 2008, sebesar 73% perempuan SOPK mengalami obesitas
sedangkan non obes mencapai 12%.28 Sehingga penanganan pertama pada
perempuan SOPK dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 adalah
penurunan berat badan dan pada perempuan SOPK dengan IMT ≤25kg/m2
disarankan untuk menjaga berat badan agar tidak berlebih. Pada kedua
kelompok perempuan tersebut disarankan untuk mengurangi asupan kalori
dan berolahraga sebagai terapi lini pertama SOPK.4
Telah dilaporkan bahwa penurunan berat badan sebesar 2-5%
sudah dapat memperbaiki fungsi metabolik dan reproduksi secara
signifikan, yang mencakup peningkatan kadar SHBG sehingga
menurunkan kadar androgen bebas dan memperbaiki fungsi ovulasi.39
Pada pasien obesitas, diupayakan target penurunan berat badan sebesar 5-
10% dari berat badan awal.4
Intervensi gizi yang dilakukan untuk menurunkan berat badan
adalah pengurangan jumlah kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dengan
komposisi seimbang disertai peningkatan asupan serat.4
Komposisi makanan seimbang yang dimaksud adalah 50%
karbohidrat, 20% protein, dan 30% lemak. Asupan lemak tersebut juga
dibagi menjadi 10% lemak jenuh, 10% lemak polyunsaturated, dan 10%
lemak monounsaturated. Umumnya, penurunan berat badan berkisar 0,5-
1,0 kg/minggu, yakni sebesar 3.500-7.000 kalori/minggu. Selain itu, diet
rendah kalori tidak harus kurang dari 1.200 kalori setiap hari, karena
pembatasan kalori yang cukup besar dapat menyebabkan penurunan berat
badan yang cepat, namun penurunan berat badan ini hanya sementara dan
berat badan akan naik kembali.Sangat disarankan pasien mengikuti prinsip
dasar diet. Asupan kalori harus dibagi menjadi beberapa makanan dalam
porsi kecil setiap harinya, yaitu sarapan, makan siang, makan malam dan
dua sampai tiga kali makanan selingan dalam porsi yang lebih kecil
diantara makanan utama. Selain itu, harus ada keseimbangan antara
kategori makanan yang berbeda. Karbohidrat, protein, lemak dan serat
harus dikonsumsi dalam proporsi yang tepat.4

 Diet Karbohidrat
Pemilihan jenis karbohidrat yang baik, dapat menggunakan Indeks
Glikemik (IG). IG merupakan suatu indeks yang menggambarkan potensi
karbohidrat yang terkandung dalam makanan untuk menaikkan kadar
glukosa darah setelah konsumsi makanan tersebut. Semakin tinggi nilai IG
semakin besar potensinya dalam menaikkan kadar glukosa darah. IG yang
rendah dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam makanan (serat larut)
serta cara memasak makanan.4
 Diet Protein
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi
protein dan diet rendah karbohidrat memiliki efek yang menguntungkan
bagi perempuan SOPK dengan adanya penurunan yang signifikan massa
tubuh, akumulasi lemak viseral dan adanya peningkatan metabolisme
glukosa.4
 Diet Lemak
Lemak merupakan komponen makronutrien yang paling kaya akan
energi, dimana lemak mengandung 9 kkal/gram, sedangkan karbohidrat
dan protein hanya 4 kkal/gram. Tubuh memiliki kemampuan hampir tak
terbatas untuk menyimpan lemak, terutama pada individu dengan
hiperinsulinemia.Suatu studi potong lintang menunjukkan bahwa asupan
lemak yang lebih tinggi berhubungan dengan terganggunya sensitivitas
insulin, akan tetapi hubungan ini terutama disebabkan oleh
obesitas.Peningkatan konsumsi asam lemak tak jenuh telah dilaporkan
dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada penderita obesitas dan
penderita diabetes mellitus tipe 2.50 Secara keseluruhan, asupan lemak
sebaiknya tidak lebih dari 30% dari total kalori dari diet, dengan
maksimum 10% dari kalori berasal dari lemak jenuh.4

B.Terapi Medikamentosa
 Regulasi Haid
Tatalaksana gangguan menstruasi pada pasien SOPK yang tidak hamil
adalah dengan kontrasepsi kombinasi. Regimen kombinasi ini akan menginduksi
siklus haid teratur dan menekan pertumbuhan endometrium. Pada pasien yang
memiliki kontraindikasi penggunaan kontrasepsi kombinasi, alternatif yang dapat
digunakan adalah sediaan progestin dan metformin.
 Kontrasepsi oral digunakan untuk menurunkan produksi steroid
ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon
binding globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan
menurunkan konsentrasi testosterone dalam sirkulasi. Mengembalikan
siklus haid yang normal, sehingga dapat mencegah terjadinya
hiperplasia endometrium dan kanker endometrium. pada penderita
dengan haid tidak teratur atau amenorea. Medroxyprogesteron asetat
dapat dijadikan terapi untuk menghilangkan gejala hirsutime seperti
membantu mengatasi jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan dan
kerontokan rambut. Progestin diperlukan agar terjadi pertumbuhan dan
pengelupasan endometrium secara teratur seperti yang terjadi pada haid.
Pengelupasan endometrium yang terjadi setiap bulan dapat mencegah
karsinoma uterus.
 Progestin sintetis. Bila penderita tidak dapat menggunakan hormon
estrogen maka penggunaan progestin yang dapat digunakan adalah yang
tidak meningkatkan kadar androgen dan baik untuk penderita SOPK
yaitu: norgestimate, desogestrel dan drospirenon.Efek samping yang
mungkin terjadi: nyeri kepala, retensi air dan perubahan emosi.
 Antiandrogen. Tujuan antiandrogen adalah untuk menurunkan
produksi dan kerja dari testosteron. Beberapa jenis antiandrogen yaitu :
- Cyproteron asetat yang bersifat kompetitif inhibisi terhadap testosteron
dan dyhidrotestosteron pada reseptor androgen. Dosis 100 mg/hari pada
hari 5-15 siklus haid. merupakan preparat yang paling sering digunakan
di Eropa untuk menurunkan kadar androgen dan jika dikombinasi
dengan etinil estradiol menjadi obat kontrasepsi yang dapat digunakan
pada penderita sindrom ovarium polikistik yang tidak menginginkan
kehamilan.
- Flutamide bersifat menekan biosintesa testosteron. Dosis yang
digunakan 250 mg 3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.
- Finasteride yang merupakan inhibitor spesifik enzim 5α reduktase
digunakan dengan dosis 5mg/hari.
 Diuretik. Spironolakton yang dapat menurunkan androgen (Aladactone)
diberikan bersama dengan pil kontrasepsi kombinasi. Terapi ini dapat
mengatasi kerontokan rambut, pertumbuhan jerawat dan rambut abnormal
(hirsuitisme).
 Metformin (Glucophage). Obat diabetes ini digunakan untuk
mengendalikan insulin, gula darah dan androgen. Obat ini menurunkan
resiko diabetes dan penyakit jantung serta memulihkan siklus haid dan
fertilitas. Metformin dapat memperbaiki derajat fertilitas, menurunkan
kejadian abortus, dan diabetes gestasional serta mencegah terjadinya
masalah kesehatan jangka panjang.Obat ini bertujuan untuk menekan
aktifitas sitokrom P450c-17α ovarium yang akan menurunkan produksi
androgen. Diberikan dengan dosis 500 mg 3 kali sehari selama 30 hari.
 Klomifen sitrat. Klomifen sitrat dapat diberikan bersama dengan
metformin bila metformin dapat memicu terjadinya ovulasi. Kombinasi
kedua jenis obat ini akan memperbaiki kerja dari klomifen sitrat.
Merupakan salah satu terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan
mengembalikan fungsi fertilisasi. Dosis yang diberikan adalah 50 mg satu
kali sehari dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi 200
mg.

C.Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas
akibat SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil.
Metode pembedahan yang dapat dilakukan yaitu: 5,6,11
 Wedge Resection, dengan mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini

dilakukan untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan


ovulasi berlangsung secara normal. Tindakan ini sudah jarang
dikerjakan oleh karena memiliki potensi merusak ovarium dan
menimbulkan jaringan parut.Dapat dilakukan secara laparotomi atau
laparoskopi. Lakukan insisi 2-3 cm pada korteks ovarium yang
menebal sesuai alur ovarium. Melalui lubang insisi, bagian medulla
sebanyak mungkin diangkat dan bagian korteks ovarium
dipertahankan.
 Laparoscopic ovarian drilling, merupakan tindakan pembedahan
untuk memicu terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak
segera mengalami ovulasi setelah menurunkan berat badan dan
memperoleh obat-obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan
eletrokauter atau laser untuk merusak sebagian ovarium (gambar 8).
Dilakukan dengan caramenggunakan densitas laser yang terkontrol,
biasanya menggunakan jenis karbon dioksida, argon, dan YAG.
Dilakukan dengan laparoskop diameter 10 mm dihubungkan dengan
laser CO2. Seluruh folikel subkapsular divaporasi dan dibuat lubang 4
mm secara acak pada stroma ovarium selama 2 detik setiap tusukan.
Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini
dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka kehamilan sebesar
50%.Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam batas normal
akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini.

Gambar . Laparoscopic
ovarian drilling
 
DAFTAR PUSTAKA

1. Nandi A, Chen Z, Patel R, Poretsky L. Polycystic ovary syndrome. Endocrin


Metab Clin 2014;43(1):123-47.
2. Sirmans S, Pate K. Epidemiology, diagnosis, and management of polycystic
ovary syndrome. Clin Epidemiol 2013;6(1):1-13. Lisa,e,more. Hydatiform
mole. FACOG.2016. http://emedicine.medscape.com
3. Sumapraja K, Pangastuti N. Profile of Policystic Ovarian Syndrome Patients
in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta March 2009 - March
2010. Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology 2011;35
4. Marshall J, Dunaif A. Should all women with PCOS be treated for insulin
resistance? Fertil steril 2012;97(1):18-22.
5. Gambinery A.,et.al. Obesity and Polycystic Ovary Syndrome. International Journal
of Obesity. 2002; 7:883-896
6. Tarlatzis B.C., et.al. Consensus on infertility treatment related to polycystic ovary
syndrome. Humrep. 2008;23:462-477
7. POGI. 2006. Sindroma Ovarium Polikistik. Dalam: Standar Pelayanan
Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: POGI.
8. Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw,
K.D., Cunningham,F.G. 2008. Williams Gynecology. The Mcgraw-Hill
Companies: USA
9. Cunningham F.G.,et.al. Williams Obstetrics, 22nded. New York: McGraw-Hill
Company. 2007; 2:345-56
10. Guyton A.C., Hall J.E. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders. 2006;74:1011-6
11. Strong M.S. Hirsutism.In: Curtis M.G.,et.al.(Ed.). Glass’ Office Gynecology, 6 th
ed. Stanford: Lippincott Williams and Wilkins. 2006; 9:203-19

Anda mungkin juga menyukai