Disusun Oleh :
Kelompok 1
B. DEFINISI
Ovarium polikistik adalah perubahan bentuk struktur ovarium yang
terdiri dari peningkatan volume, jumlah folikel dan penebalan stroma yang
menyebabkan bentuk polikistik pada ovarium dan perubahan kadar hormon yang
sebelumnya fluktuatif menjadi relatif menetap (Jadi et al., 2021).
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau yang biasa disebut Sindrom
Ovarium Polikistik merupakan gangguan endokrin yang paling umum terjadi pada
wanita dengan konsekuensi luas yang memengaruhi setiap aspek kehidupan
wanita sekitar 6-10%, termasuk kesehatan reproduksi, mental, kardiovaskular, dan
metabolisme (Irene et al., 2020). Menurut (Mareta et al., 2018) Polycystic Ovary
Syndrome (PCOS) adalah suatu kumpulan gejala yang dialami oleh perempuan
usia produktif berupa amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan
obesitas.
C. PATOGENESIS
Patogenesis PCOS adalah gen CYP19. CYP19 merupakan suatu kompleks
enzim yang berfungsi untuk mengonversi androgen (C19) menjadi estrogen
(C18). Kompleks enzim ini terdiri dari sitokrom P450 aromatase (P450arom) dan
sitokrom NADPH P450 reduktase yang dikode oleh gen CYP19 pada kromosom
15p21.1. Aromatase (P450 arom) merupakan enzim kunci dalam sintesis estrogen
dengan mengatalisis konversi testosteron dan androstenedion menjadi estradiol
dan estrone secara terpisah. Ekspresi dari CYP19 pada sel granulosa berperan
penting dalam perkembangan folikel (Panda et al., 2016; Zaree et al., 2015).
Dilaporkan bahwa adanya polimorfisme pada satu nukleotida/single
nucleotide polymorphism (SNP) dari gen CYP19 berhubungan dengan
konsentrasi androgen pada serum darah wanita. Beberapa penelitian melaporkan
adanya korelasi antara SNP rs2414096 dalam gen CYP19 dengan
hiperandrogenisme. Hiperandrogenisme merupakan salah satu patofisiologi dari
CYP19 yang digunakan dalam penegakan diagnosis PCOS (Jin et al., 2009).
Perbedaan distribusi alel A terjadi pada pasien PCOS. Polimorfisme pada
satu basa yang terletak pada rs2414096. Basa guanine (G) seharusnya mengisi
urutan basa pada rs2414096, tetapi pada pasien PCOS terjadi mutasi SNP menjadi
basa adenin (A) (NCBI, 2016). Menurut penelitian Petry et al (2005), distribusi
alel A yang lebih banyak pada wanita muda berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi testosteron yang berkaitan dengan hiperandrogenisme sebagai salah
satu patofisiologi dari PCOS (Petry et al., 2005)
D. TANDA GEJALA
1. Gangguan menstruasi
PCOS kerap ditandai dengan periode menstruasi yang tidak teratur atau
berkepanjangan (amenorrhoea), kondisi ini berkaitan dengan menurunnya
aktivitas ovulasi pada sistem reproduksi sehingga dinding rahim tidak
dapat meluruh. Sebagai contoh, penderita PCOS hanya akan mengalami
haid kurang dari 8–9 kali dalam 1 tahun. Jarak antar haid dapat kurang dari
21 hari atau lebih dari 35 hari, atau darah menstruasi mengalir deras
disebabkan dinding rahim membutuhkan waktu lebih lama untuk
menumpuk dan meluruh.
2. Gejala akibat kadar hormon androgen yang meningkat
Peningkatan kadar hormon androgen pada penderita PCOS dapat
menyebabkan munculnya gejala fisik seperti pria, seperti tumbuhnya
rambut yang lebat di wajah dan tubuh (hirsutisme), serta munculnya
jerawat yang parah dan kebotakan. Hirsutisme ditemukan pada 70%
perempuan dengan PCOS.
3. Berat badan naik secara drastis
Sebanyak 80% wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik
mengalami kenaikan berat badan secara signifikan. Selain itu, penderita
juga umumnya kesulitan menurunkan berat badan.
4. Kista ovarium yang banyak
Pada penderita PCOS, bisa ditemukan kantong-kantong kista di sekitar sel
telur (ovarium).
5. Warna kulit menjadi gelap
Beberapa bagian tubuh penderita PCOS bisa menjadi gelap, terutama di
area lipatan, seperti lipat leher, selangkangan, dan bagian bawah payudara.
E. TATALAKSANA
1. Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki
gangguan hormonal dan efek jangka panjang akibat PCOS.
Pentingnya memberikan penjelasan mengenai terapi PCOS dan
target terapi yang akan dicapai.
2. Modifikasi Gaya Hidup
a). Diet
Kelebihan lemak pada penderita PCOS dapat mengakibatkan
resistensi insulin dan kelainan lebih lanjut sehingga diperlukan diet
dengan kalori restriktif yang tinggi serat. Konsumsi karbohidrat,
lemak jenuh, dan lemak trans harus dikurangi, sementara konsumsi
asam lemak omega-3 dan omega-9 harus ditambah. Pengurangan
berat badan pada perempuan penderita PCOS juga memperbaiki
kondisi hiperandrogenik. Diet yang disarankan bagi wanita dan
remaja PCOS dengan kondisi obesitas adalah diet hipokalori
(pengurangan 500-700 Kkal/hari) dan diet rendah glikemik.
b). Olahraga
Aktivitas fisik bermanfaat untuk kondisi PCOS dan juga kesehatan
pasien secara umum. Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah
intensitas sedang minimal 30 menit 5 kali dalam seminggu, atau
intensitas berat minimal selama 20 menit 3 kali dalam seminggu,
atau kombinasi keduanya. Aktivitas fisik yang rutin dapat
mengurangi risiko infertilitas dan memperbaiki fungsi reproduksi
maupun siklus menstruasi pada wanita penderita PCOS.
3. Regulasi Haid
F. PERAN BIDAN
1. Pencegahan
a). Memberikan KIE mengenai 'lifestyle' untuk hidup sehat seperti tidak
merokok, istirahat dan makan teratur, pola stress dan makanan yang
bergizi.
b). Memberikan informasi terkait PCOS dan gejalanya dan meyakinkan
untuk tidak takut konseling apabila terdapat tanda-tandanya.
2. Tatalaksana
a). Anamnesis apabila terdapat gejala : Gejala berupa menstruasi yang
tidak teratur, pertumbuhan rambut berlebih, jerawat, dan obesitas. Sebagai
bidan harus waspada tetapi tidak boleh untuk langsung mendiagnosis.
b). Mamberikan motivasi untuk hidup sehat supaya siklus menstruasi
lancar dan tidak stress.
c). Memfasilitasi ke pelayanan selanjutnya untuk diagnosis yang lebih
tepat.
d). Jika pasien berkenan menawarkan untuk terapi non farmakologis
meliputi : yoga,diet, olahraga dan terapi spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Irene, A., Alkaf, S., Zulissetiana, E. F., Usman, F., & Larasaty, V. (2020).
Hubungan Pola Makan dengan Risiko Terjadinya Sindrom
Ovarium Polikistik pada Remaja. SRIWIJAYA JOURNAL OF
MEDICINE, 3(1), 65–72.
https://doi.org/10.32539/sjm.v3i1.141
Jadi, M., Kedokteran, F., Kesehatan, I., & Jambi, U. (2021). SINDROM
OVARIUM POLIKISTIK (SOPK): SEBUAH KAJIAN
PUSTAKA. MIDWIFERY HEALTH JOURNAL, 6(2),1–10.
http://ojs.stikeskeluargabunda.ac.id/index.php/midwiferyhealthjour
nal/article/view/68
Mareta, R., Amran, R., Larasati, V., Studi Pendidikan Dokter, P.,
Kedokteran, F., Sriwijaya, U., Moh Ali Komp RSMH Km, J.,
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, B., Obstetri dan Ginekologi
RSUP drMohammad Hoesin Palembang, D., Jend Sudirman Km,
J., & Histologi Fakultas Kedokteran, B. (2018). Hubungan
Polycystic Ovary Syndrome(PCOS)dengan Infertilitas di Praktik
Swasta Dokter ObstetriGinekologi Palembang. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, 50(2), 85–91.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/8552