Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN DISKUSI MATERI SINDROM OVARIUM POLIKISTIK

ASUHAN KESEHATAN REPRODUKSI

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Mita Kusumawardani 011911233074


2. Nyimas Vira Ghafira 012011233017
3. Muntia Rizki Alzahra Pramesti 012011233026
4. Nabella Indra Putry S 012011233032
5. Raihan Kiara Murti 012011233033
6. Galuh Zediara 012011233036
7. Nadhifa Alya Hamidah 012011233037
8. Siti Komariah 012011233046
9. Nur Ayafida Putri Trianto 012011233055
10. Egidia Eisca L Gultom 012011233060
11. Syarafina Asrofa 012011233062
12. Enok Tuti Nurhayati 012011233065
13. Chalimatus Sa'diyyah Chanif 012011233076

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022
A. LATAR BELAKANG
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah suatu kumpulan gejala yang
dialami oleh perempuan usia produktif berupa amenorrhea, haid yang tidak
teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas. Pada beberapa kasus, tidak ditemui tanda-
tanda tersebut tetapi dari hasil laboratorium dan USG ditemukan gambaran PCOS.
Salah satu penyebab terjadinya gangguan ovulasi adalah Polycystic Ovary
Syndrome (PCOS). Menurut Missmer et al. (2013) sebanyak 30% orang PCOS
mengalami anovulasi. Dari seluruh perempuan usia reproduksi yang tersebar
diseluruh dunia, 4-18% diantaranya mengalami PCOS. PCOS menyebabkan 5-
10% wanita usia reproduktif menjadi infertil.
Pada PCOS, jumlah dan distribusi lemak tubuh seringkali mengalami
gangguan. Adipositas abdominal atau obesitas seringkali ditampilkan oleh wanita
dengan PCOS. Menurut Wahyuni (2015) obesitas berkaitan erat dengan resistensi
insulin yang akan menyebabkan terjadinya hiperandrogenemia seperti pada pasien
PCOS, serta terdapat hubungan bermakna antara resistensi insulin dan PCOS.
Pola hidup yang tidak sehat sangat berperan dalam terjadinya obesitas. Lebih dari
1,4 milyar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan. Di Indonesia,
prevalensi obesitas perempuan dewasa pada tahun 2013 sebesar 32,9%. Pada
orang yang obesitas, sering terjadi gangguan ovulasi sehingga tingginya angka
kejadian obesitas dapat menyebabkan juga tingginya angka kejadian PCOS yang
berakhir dengan infertilitas karena terjadi gangguan ovulasi.

B. DEFINISI
Ovarium polikistik adalah perubahan bentuk struktur ovarium yang
terdiri dari peningkatan volume, jumlah folikel dan penebalan stroma yang
menyebabkan bentuk polikistik pada ovarium dan perubahan kadar hormon yang
sebelumnya fluktuatif menjadi relatif menetap (Jadi et al., 2021).
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau yang biasa disebut Sindrom
Ovarium Polikistik merupakan gangguan endokrin yang paling umum terjadi pada
wanita dengan konsekuensi luas yang memengaruhi setiap aspek kehidupan
wanita sekitar 6-10%, termasuk kesehatan reproduksi, mental, kardiovaskular, dan
metabolisme (Irene et al., 2020). Menurut (Mareta et al., 2018) Polycystic Ovary
Syndrome (PCOS) adalah suatu kumpulan gejala yang dialami oleh perempuan
usia produktif berupa amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan
obesitas.
C. PATOGENESIS
Patogenesis PCOS adalah gen CYP19. CYP19 merupakan suatu kompleks
enzim yang berfungsi untuk mengonversi androgen (C19) menjadi estrogen
(C18). Kompleks enzim ini terdiri dari sitokrom P450 aromatase (P450arom) dan
sitokrom NADPH P450 reduktase yang dikode oleh gen CYP19 pada kromosom
15p21.1. Aromatase (P450 arom) merupakan enzim kunci dalam sintesis estrogen
dengan mengatalisis konversi testosteron dan androstenedion menjadi estradiol
dan estrone secara terpisah. Ekspresi dari CYP19 pada sel granulosa berperan
penting dalam perkembangan folikel (Panda et al., 2016; Zaree et al., 2015).
Dilaporkan bahwa adanya polimorfisme pada satu nukleotida/single
nucleotide polymorphism (SNP) dari gen CYP19 berhubungan dengan
konsentrasi androgen pada serum darah wanita. Beberapa penelitian melaporkan
adanya korelasi antara SNP rs2414096 dalam gen CYP19 dengan
hiperandrogenisme. Hiperandrogenisme merupakan salah satu patofisiologi dari
CYP19 yang digunakan dalam penegakan diagnosis PCOS (Jin et al., 2009).
Perbedaan distribusi alel A terjadi pada pasien PCOS. Polimorfisme pada
satu basa yang terletak pada rs2414096. Basa guanine (G) seharusnya mengisi
urutan basa pada rs2414096, tetapi pada pasien PCOS terjadi mutasi SNP menjadi
basa adenin (A) (NCBI, 2016). Menurut penelitian Petry et al (2005), distribusi
alel A yang lebih banyak pada wanita muda berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi testosteron yang berkaitan dengan hiperandrogenisme sebagai salah
satu patofisiologi dari PCOS (Petry et al., 2005)

D. TANDA GEJALA
1. Gangguan menstruasi
PCOS kerap ditandai dengan periode menstruasi yang tidak teratur atau
berkepanjangan (amenorrhoea), kondisi ini berkaitan dengan menurunnya
aktivitas ovulasi pada sistem reproduksi sehingga dinding rahim tidak
dapat meluruh. Sebagai contoh, penderita PCOS hanya akan mengalami
haid kurang dari 8–9 kali dalam 1 tahun. Jarak antar haid dapat kurang dari
21 hari atau lebih dari 35 hari, atau darah menstruasi mengalir deras
disebabkan dinding rahim membutuhkan waktu lebih lama untuk
menumpuk dan meluruh.
2. Gejala akibat kadar hormon androgen yang meningkat
Peningkatan kadar hormon androgen pada penderita PCOS dapat
menyebabkan munculnya gejala fisik seperti pria, seperti tumbuhnya
rambut yang lebat di wajah dan tubuh (hirsutisme), serta munculnya
jerawat yang parah dan kebotakan. Hirsutisme ditemukan pada 70%
perempuan dengan PCOS.
3. Berat badan naik secara drastis
Sebanyak 80% wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik
mengalami kenaikan berat badan secara signifikan. Selain itu, penderita
juga umumnya kesulitan menurunkan berat badan.
4. Kista ovarium yang banyak
Pada penderita PCOS, bisa ditemukan kantong-kantong kista di sekitar sel
telur (ovarium).
5. Warna kulit menjadi gelap
Beberapa bagian tubuh penderita PCOS bisa menjadi gelap, terutama di
area lipatan, seperti lipat leher, selangkangan, dan bagian bawah payudara.

E. TATALAKSANA
1. Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki
gangguan hormonal dan efek jangka panjang akibat PCOS.
Pentingnya memberikan penjelasan mengenai terapi PCOS dan
target terapi yang akan dicapai.
2. Modifikasi Gaya Hidup
a). Diet
Kelebihan lemak pada penderita PCOS dapat mengakibatkan
resistensi insulin dan kelainan lebih lanjut sehingga diperlukan diet
dengan kalori restriktif yang tinggi serat. Konsumsi karbohidrat,
lemak jenuh, dan lemak trans harus dikurangi, sementara konsumsi
asam lemak omega-3 dan omega-9 harus ditambah. Pengurangan
berat badan pada perempuan penderita PCOS juga memperbaiki
kondisi hiperandrogenik. Diet yang disarankan bagi wanita dan
remaja PCOS dengan kondisi obesitas adalah diet hipokalori
(pengurangan 500-700 Kkal/hari) dan diet rendah glikemik.
b). Olahraga
Aktivitas fisik bermanfaat untuk kondisi PCOS dan juga kesehatan
pasien secara umum. Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah
intensitas sedang minimal 30 menit 5 kali dalam seminggu, atau
intensitas berat minimal selama 20 menit 3 kali dalam seminggu,
atau kombinasi keduanya. Aktivitas fisik yang rutin dapat
mengurangi risiko infertilitas dan memperbaiki fungsi reproduksi
maupun siklus menstruasi pada wanita penderita PCOS.

3. Regulasi Haid

Tatalaksana gangguan menstruasi pada pasien PCOS yang tidak


hamil adalah dengan kontrasepsi kombinasi. Regimen kombinasi
ini akan menginduksi siklus haid teratur dan menekan
pertumbuhan endometrium. Pada pasien yang memiliki
kontraindikasi penggunaan kontrasepsi kombinasi, alternatif yang
dapat digunakan adalah sediaan progestin dan metformin.

F. PERAN BIDAN
1. Pencegahan
a). Memberikan KIE mengenai 'lifestyle' untuk hidup sehat seperti tidak
merokok, istirahat dan makan teratur, pola stress dan makanan yang
bergizi.
b). Memberikan informasi terkait PCOS dan gejalanya dan meyakinkan
untuk tidak takut konseling apabila terdapat tanda-tandanya.
2. Tatalaksana
a). Anamnesis apabila terdapat gejala : Gejala berupa menstruasi yang
tidak teratur, pertumbuhan rambut berlebih, jerawat, dan obesitas. Sebagai
bidan harus waspada tetapi tidak boleh untuk langsung mendiagnosis.
b). Mamberikan motivasi untuk hidup sehat supaya siklus menstruasi
lancar dan tidak stress.
c). Memfasilitasi ke pelayanan selanjutnya untuk diagnosis yang lebih
tepat.
d). Jika pasien berkenan menawarkan untuk terapi non farmakologis
meliputi : yoga,diet, olahraga dan terapi spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Maggyvin, E., & Barliana, M. I. (2019). Literature Review : Inovasi Terapi


Polycystic Ovary Syndrome (Pcos) Menggunakan Targeted Drug
Therapy Gen Cyp19 Rs2414096. Farmaka, 17(1), 107–118.

Irene, A., Alkaf, S., Zulissetiana, E. F., Usman, F., & Larasaty, V. (2020).
Hubungan Pola Makan dengan Risiko Terjadinya Sindrom
Ovarium Polikistik pada Remaja. SRIWIJAYA JOURNAL OF
MEDICINE, 3(1), 65–72.
https://doi.org/10.32539/sjm.v3i1.141
Jadi, M., Kedokteran, F., Kesehatan, I., & Jambi, U. (2021). SINDROM
OVARIUM POLIKISTIK (SOPK): SEBUAH KAJIAN
PUSTAKA. MIDWIFERY HEALTH JOURNAL, 6(2),1–10.
http://ojs.stikeskeluargabunda.ac.id/index.php/midwiferyhealthjour
nal/article/view/68

Mareta, R., Amran, R., Larasati, V., Studi Pendidikan Dokter, P.,
Kedokteran, F., Sriwijaya, U., Moh Ali Komp RSMH Km, J.,
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, B., Obstetri dan Ginekologi
RSUP drMohammad Hoesin Palembang, D., Jend Sudirman Km,
J., & Histologi Fakultas Kedokteran, B. (2018). Hubungan
Polycystic Ovary Syndrome(PCOS)dengan Infertilitas di Praktik
Swasta Dokter ObstetriGinekologi Palembang. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, 50(2), 85–91.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/8552

Anda mungkin juga menyukai