Anda di halaman 1dari 49

REFERAT POLYCYSTIC OVARY

SYNDROME
(PCOS)

DISUSUN OLEH:
Sri Ayu Nabila
22710141

PEMBIMBING:
dr. Wahyu Widoyoko Sp.OG

KEPANITRAAN KLINIK SMF ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH SIDOARJO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “POLYCYSTIC OVARY
SYNDROME (PCOS)” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan segala pihak
yang telah berkontribusi dalam penulisan referat ini, khususnya pihak
dokter pembimbing Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo yang telah memberikan dasar materi
yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran
dan kritik yang membangun demi terciptanya kesempurnaan referat ini.
Harapan penulis adalah referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri maupun bagi pembaca.

Penulis,

Sidoarjo, 28 April 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1. Latar Belakang.....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3

2.1 Definisi...............................................................................................4

2.2 Epidemiologi......................................................................................5

2.3 Etiologi...............................................................................................6

2.4 Patofisiologi........................................................................................8

2.5 Problem Usia Reproduktif..................................................................14

2.6 Problem pada Usia Premenopause.....................................................15

2.7 Diagnosis dan Gambaran Klinis.........................................................18

2.8 Penatalaksanaan Awal .......................................................................27

2.9 Penatalaksanaan Farmakologi............................................................28

2.10 Penatalaksanaan Non Farmakologi....................................................33

BAB III KESIMPULAN..................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................36

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Etiologi dan Faktor yang mempengaruhi PCOS..........................7

Gambar 2.2 Mekanisme Dari Produksi Androgen Yang Berlebih Pada

PCOS ............................................................................................................... 10

Gambar 2.3 Skema hubungan esterogen dan androgen....................................11

Gambar 2.4 Perbandingan Gambar Kadar Hormon Wanita Ovulasi Dengan

Wanita PCOS Anouvulasi ...............................................................................13

Gambar 2.5 Skor Ferriman-Galwey yang Dimodifikasi...................................19

Gambar 2.6 Gambaran USG PCOS..................................................................21

Gambar 2.7 Laparoskopik Ovarian Drilling (LOD).........................................34

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan gangguan endokrin yang
ditandai dengan menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan polikistik
ovarium (Sirmans and Pate, 2014). PCOS merupakan penyakit gynecological
endrocrinopathy yang menjadi penyebab paling umum dari infertilitas karena
anovulasi (Barbosa et al., 2016). PCOS merupakan kumpulan dari tanda dan
gejala yang heterogen yang menyebabkan penurunan tingkat fertilitas.
Diagnosisnya ditegakkan dengan menemukan gejala klinis yang timbul tergantung
dari derajat abnormalitas sistem metabolisme dan gonadotropin yang dihubungkan
dengan interaksi antara genetik dan lingkungan. Pemeriksaan diagnostik harus
dimulai dengan riwayat penyakit terdahulu dan pemeriksaan fisik. Sindrom ini
itandai dengan oligo-amenore, dengan atau tanpa hiperandrogenisme/
hiperandrogenemia atau morfologi ovarium polikistik, dan obesitas juga sangat
sering dikaitkan dengannya.
Ini mengacu pada riwayat menstruasi pasien serta berat badan pasien yang
berdampak pada gejala PCOS, dan berdampak pada konsisi kulit (misalnya,
rambut, jerawat dan alopecia).
Sekarang ini PCOS semakin meningkat angka kejadiannya, terutama pada
wanita usia reproduktif, dimana menimbulkan keluhan atau masalah yang
berkaitan dengan fertilitas. Masalah infertilitas yang sering terjadi pada pasien
PCOS adalah oligo ataupun anovulasi. Gangguan ovulasi ini disebabkan
hiperadrogen dan resistensi insulin (Andon dkk, 2013). Diperkirakan 20% wanita
memiliki gambaran polikistik ovarian yang dideteksi factor dilakukan USG, dan
10% dari seluruh factor mengalami gejala PCOS (Andon dkk, 2013).
Sekitar 38-88% wanita dengan PCOS diperkirakan memiliki kelebihan
berat badan atau obesitas, dengan riwayat kenaikan berat badan sebelum adanya
onset oligomenorrhea dan hiperandrogenisme, menunjukkan peran patogenik
obesitas dalam perkembangan sindrom. Didapatkan hasil pada sebuah penelitian

1
yang dilakukan terhadap wanita dengan berat badan berlebih di Spanyol untuk
menilai keberadaan PCOS dan karakteristiknya berupa 28,3% dari 113 wanita
yang berpartisipasi dalam penelitian (CI 20-36,9%) memiliki diagnosis PCOS.

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kondisi kelainan


hormonal (endocrinopathy) yang umum terjadi pada factor usia reproduksi.
Diagnosisnya didasarkan pada setidaknya ada dua kriteria sebagai berikut:
hiperandrogenisme yang ditentukan oleh adanya kelebihan factorcerone bebas
atau hirsutisme, adanya disfungsi ovarium yang ditandai dengan adanya
oligomenore atau amenore dan anovulasi kronis, terlihatnya morfologi spesifik
polikistik ovarium dari pemeriksaan USG. Diagnosis juga membutuhkan eksklusi
factor faktor lain yang terkait dengan kelebihan hormon androgen. Berdampak
pada 5-10% wanita usia muda dan seringkali berakibat kesulitan untuk berhasil
hamil (Norman RJ, dkk. 2004;180:132 – 37). Sering kali ditemukan wanita
dengan keluhan mengalami haid yang tidak teratur, pertumbuhan rambut yang
tidak normal, dan ovarium yang mengandung kistakista kecil, kegemukan, timbul
jerawat, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan ingin memiliki anak akan
menjadi sulit hamil, mungkin wanita ini mengalami gejala atau manifestasi klinis
yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome
(PCOS) (Ali, 2012).
Para wanita dengan PCOS biasannya memiliki tujuan pengobatan untuk
mengobati ketidaksuburan, mengatur siklus menstruasi, mengendalikan kondisi
hiper-androgenik, termasuk hirsutisme dan jerawat. Komplikasi metabolik juga
harus ditangani pada setiap pasien melalui evaluasi tekanan darah, kondisi lipid,
dan tes toleransi glukosa oral dua jam. Pasien yang kelebihan berat badan harus
dievaluasi untuk tanda dan gejala apnea tidur obstruktif. Perubahan pada gaya
hidup, termasuk konseling nutrisi dan penurunan berat badan harus menjadi
bagian penting dari keseluruhan terapi. Diet kalori dianjurkan untuk semua pasien
dengan PCOS dengan kelebihan berat badan. Penurunan berat badan minimal (5%
dari berat badan) pada wanita obesitas dengan PCOS memperbaiki baik angka
kejadian ovulasi maupun angka kehamilan. Penurunan berat badan telah terbukti
memiliki efek positif pada kesuburan dan pro metabolik.
Berdasarkan problematika tersebut, maka melalui referat ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sindrom ovarium
polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS) tentang etiologi manifestasi
klinis serta penatalaksanaanya yang tepat. Dengan demikian dapat menjelaskan
2
bahwa PCOS merupakan suatu keadaan yang dapat berlangsung lama dan bila
tidak ditangani dapat berpotensi untuk berdampak buruk terhadap kesehatan
wanita jangka panjang baik dalam bentuk kesulitan memperoleh keturunan,
gangguan haid maupun gangguan metabolik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom ovarium polikistik (PCOS) adalah patologi endokrin yang paling


umum pada wanita reproduksi di seluruh dunia. Stein dan Leventhal awalnya
menggambarkannya pada tahun 1935. Prevalensi PCOS di seluruh dunia
berkisar antara 5% dan 15% tergantung pada kriteria diagnostik yang
diterapkan. Diterima secara luas di antara pedoman masyarakat khusus bahwa
diagnosis PCOS harus didasarkan pada adanya setidaknya dua dari tiga kriteria
berikut: anovulasi kronis, hiperandrogenisme (klinis atau biologis), dan
ovarium polikistik. Ini adalah diagnosis eksklusi, dan kelainan yang
menyerupai gambaran klinis PCOS harus disingkirkan. Ini termasuk penyakit
tiroid, hiperprolaktinemia, dan hiperplasia adrenal kongenital non-klasik.
Pasien tertentu mungkin memerlukan pemeriksaan yang lebih ekstensif jika
gambaran klinis menunjukkan penyebab lain.
Meskipun prevalensinya tinggi, PCOS kurang terdiagnosis dan seringkali
membutuhkan lebih dari satu kunjungan atau dokter yang berbeda untuk
diidentifikasi, dan ini biasanya terjadi dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun. Ini adalah proses yang sangat membuat frustrasi pasien. Keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan perkembangan komorbiditas sehingga lebih sulit
untuk menerapkan intervensi gaya hidup, yang sangat penting untuk perbaikan
fitur PCOS dan kualitas hidup.
Berbagai morbiditas dikaitkan dengan PCOS, termasuk infertilitas,
sindrom metabolik, obesitas, gangguan toleransi glukosa, diabetes melitus tipe
2 (DM-2), risiko kardiovaskular, depresi, obstructive sleep apnea (OSA),
kanker endometrium, dan penyakit hati berlemak nonalkohol/ steatohepatitis
nonalkohol (NAFLD/NASH). Ada rekomendasi skrining yang berbeda untuk
masing-masing patologi ini, tetapi dokter harus memiliki ambang rendah untuk
pemeriksaan jika ada manifestasi yang ditunjukkan pada pasien PCOS.
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan gangguan endokrin yang

4
ditandai dengan menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan
polikistik ovarium (Sirmans and Pate, 2014). PCOS merupakan penyakit
gynecological endrocrinopathy yang menjadi penyebab paling umum dari
infertilitas karena anovulasi (Barbosa et al., 2016). Anovulasi kronik terjadi
terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral
dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan
akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan peningkatan rasio
LH/ FSH serta androgen.
PCOS berkembang ketika ovarium distimulasi untuk memproduksi jumlah
hormon androgen yang berlebih, terutama testosteron dengan cara melepaskan
hormon LH yang berlebih pada kelenjar pituitari anterior (Kabel, 2016). Hal
tersebut mengganggu perkembangan folikel. Nilai LH yang berlebih inilah
yang dianggap menjadi penyebab utama dari hipergonadisme ovarium PCOS
dalam efek stimulan dari LH pada sel theca (Balen, 2004).
Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan umur reproduksi tanpa
disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau kelenjar adrenal
yang mendasari ataupun sindroma cushing (Stefano, 2015). PCOS merupakan
suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses inflamasi kronik,
ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif protein (CRP), TNF-α dan
reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya penderita PCOS
memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini berhubungan dengan
mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak viseral
memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa
marker inflamasi. Definisi PCOS menurut kriteria Rotterdam adalah kelainan
yang mencakup semua kombinasi dari bukti klinis atau biokimia yang tidak
dapat dijelaskan tentang hiperandrogenisme, bukti oligo-anovulasi, dan
morfologi ovarium polikistik (Rosenfield and Ehrmann, 2016).

2.2 Epidemiologi

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kondisi kelainan endokrin


yang menyerang sekitar 5 - 10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian

5
ini bergantung pada populasi yang diteliti, prevalensi tertinggi yang pernah
dilaporkan adalah 26% (Andon dkk, 2013). Meskipun masih diperdebatkan
konsensus mana yang digunakan untuk menegakkan diagnosis PCOS, namun
angka kejadiannya dipastikan meningkat dari waktu ke waktu (Richard, 2013).
Untuk Indonesia, belum ada data resmi yang menunjukkan jumlah
penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) karena tidak adanya kejelasan
dalam pelaporan dan pencacatan kasusnya. Namun, sebagai gambaran
beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia salah satunya yang dilakukan
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terdapat sekitar 79 orang penderita PCOS
dengan frekuensi usia terbanyak antara 25-44 tahun serta frekuensi diagnosis
tertinggi pada gangguan menstruasi dan terdapatnya ovarium polikistik (Putra,
2019). Penelitian lainnya yang dilakukan di salah satu praktik swasta di Kota
Lampung terdapat 78,8% penderita PCOS dari 316 subjek yang diteliti, dan
paling banyak ditemukan pada usia 24-27 tahun (Mareta, 2018).

2.3 Etiologi

Penyebab Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) hingga saat ini masih belum
diketahui sepenuhnya. Berbagai sumber menjelaskan bahwa PCOS terjadi
akibat interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan
berkembangnya teknologi, fokus penelitian untuk mencari penyebab PCOS
terus berubah, dari faktor ovarium, poros hipotalamus-hipofisis-ovarium,
hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam
mengatur fungsi ovarium (Richard, 2013).

6
Gambar 2.1. Etiologi dan Faktor yang mempengaruhi PCOS

Penyebab sindrom polikistik ovarium ini belum diketahui, namun diduga


terdapat keterkaitan dengan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan
enzim yang berperan dalam sintesis estrogen di ovarium (Irani, 2014). Berikut
ini penjabaran mengenai etiologi dan patogenesis sindrom polikistik ovarium :
1. Peningkatan faktor pertumbuhan menyebabkan peningkatan respon
ovarium terhadap Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH), sehingga perkembangan folikel ovarium bertambah dan
produksi androgen akan meningkat. Perkembangan folikel yang berlebihan
ini akan menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik (Kasim,
2007).
2. Adanya hubungan antara obesitas dan peningkatan resiko polikistik
ovarium melalui peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan sel teka
memproduksi androgen dan menghambat Sex Hormone Binding Globulin
(SHBG) sehingga androgen bebas meningkat. Keadaan ini menyebabkan
androgen banyak di aromatisasi menjadi estrogen yang akan menghasilkan
LH dan memicu pematangan folikel (Kasim, 2007).
3. Hiperandrogen, anovulasi dan polikistik ovarium disebabkan oleh factor
genetic terkait kromosom X (Kasim, 2007).

7
2.4 Patofisiologi

PCOS adalah keadaan hiperandrogenik dengan oligo-anovulasi yang tidak


dapat dijelaskan oleh kelainan lain (diagnosis eksklusi). Namun demikian, PCOS
menyumbang sebagian besar presentasi hiperandrogenik.
Hampir semua penyebab PCOS disebabkan oleh hiperandrogenisme
ovarium fungsional (FOH). Dua pertiga dari presentasi PCOS memiliki
hiperandrogenisme ovarium fungsional yang khas, ditandai dengan disregulasi
sekresi androgen dengan respon berlebihan 17-hidroksiprogesteron (17-OHP)
terhadap stimulasi gonadotropin. PCOS yang tersisa dengan FOH atipikal
kekurangan respon berlebihan 17-OHP, tetapi peningkatan testosteron dapat
mendeteksinya setelah menekan produksi androgen adrenal. Sekitar 3% pasien
PCOS memiliki hiperandrogenisme adrenal fungsional terisolasi terkait. Kasus
PCOS lainnya ringan. Kurangnya bukti kelainan sekresi steroid; sebagian besar
pasien ini mengalami obesitas, yang dipostulatkan oleh para praktisi untuk PCOS
atipikal mereka. Pengujian khusus untuk subpopulasi FOH memiliki kegunaan
klinis yang rendah di zaman kita sekarang ini (Carvalho, 2018).
Hiperandrogenisme Ovarium Fungsional PCOS hadir dengan gambaran
utama: hiperandrogenisme, anovulasi oligo, dan morfologi ovarium polikistik.
Hiperandrogenisme ovarium fungsional bersifat multifaktorial, dengan kombinasi
faktor keturunan dan lingkungan. Penyebab disregulasi ini termasuk kelebihan
insulin, yang diketahui membuat ovarium peka terhadap hormon luteinizing (LH)
dengan mengganggu proses desensitisasi homolog terhadap LH dalam siklus
ovulasi normal serta ketidakseimbangan intrinsik di antara sistem pengaturan
intraovarium. Sel-sel teka pada PCOS memiliki ekspresi berlebih dari sebagian
besar enzim steroidogenik dan protein yang terlibat dalam sintesis androgen, yang
menunjukkan kelainan yang menonjol pada tingkat dan aktivitas enzim
steroidogenik, termasuk P450c17, yang telah sangat teridentifikasi. Sel-sel
granulosa sebelum waktunya mengalami luteinisasi terutama sebagai akibat dari
kelebihan androgen dan insulin.
Kelebihan androgen meningkatkan perekrutan awal folikel primordial ke
dalam kolam pertumbuhan. Secara bersamaan, ini memulai luteinisasi prematur,

8
yang mengganggu pemilihan folikel dominan. Ini menghasilkan perubahan
histopatologis dan anatomi kasar PCOS klasik yang merupakan PCOM. PCOS
diabadikan oleh peningkatan LH, tetapi bukan disebabkan olehnya. Kelebihan LH
sering terjadi dan diperlukan untuk ekspresi enzim steroidogenik gonad dan
sekresi hormon seks tetapi lebih kecil kemungkinannya menjadi penyebab utama
kelebihan androgen ovarium karena desensitisasi sel teka yang diinduksi LH.
Sekitar setengah dari pasien dengan hiperandrogenisme ovarium
fungsional memiliki tingkat hiperinsulinisme resisten insulin yang abnormal, yang
bekerja pada sel teka, meningkatkan steroidogenesis dan sel granulosa luteinisasi
prematur, dan merangsang akumulasi lemak. Hiperandrogenemia memicu
kelebihan LH, yang kemudian bekerja pada siklus bertahan teka dan granulosa
luteinisasi.
Disregulasi hormon ovarium mengubah pelepasan pulsatile gonadotropin-
releasing hormone (GnRH), berpotensi menyebabkan peningkatan relatif dalam
biosintesis dan sekresi LH dibandingkan hormon perangsang folikel (FSH). LH
merangsang produksi androgen ovarium, sedangkan penurunan relatif FSH
mencegah stimulasi aktivitas aromatase yang memadai di dalam sel granulosa,
menurunkan konversi androgen menjadi estrogen estradiol yang kuat. Ini menjadi
pola hormonal nonsiklik yang mengabadikan diri sendiri.
Peningkatan serum androgen diubah di perifer menjadi estrogen, sebagian
besar estron. Karena konversi terjadi terutama pada sel stroma jaringan adiposa,
produksi estrogen akan meningkat pada pasien PCOS yang obesitas. Konversi ini
menghasilkan umpan balik kronis di hipotalamus dan kelenjar hipofisis, berbeda
dengan fluktuasi normal umpan balik yang diamati dengan adanya folikel yang
tumbuh dan tingkat estradiol yang berubah dengan cepat. Stimulasi estrogen yang
tidak dilawan pada endometrium dapat menyebabkan hiperplasia endometrium.

Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi Polycystic Ovary


Syndrome (PCOS), yaitu :

2.4.1 Kelainan Androgen

Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan

9
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), ini diakibatkan produksi
berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60-80%
pasien dengan PCOS memiliki konsentrasi Testosteron yang tinggi
di sirkulasi. Androgen yang meningkat pada PCOS mencakup
Testosteron, androstenedion, dehidroepiandosteron (DHEA),
dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen
ovarium disebabkan oleh peningkatan stimulasi bioaktivasi LH
oleh insulin (Andon dkk, 2013).
Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in
vitro, ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah
besar pada keadaan basal maupun terhadap stimulasi LH. Belum
diketahui penyebab pasti hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan
terdapat gangguan jalur sinyal intrasel (Richard, 2013).

Gambar 2.2 Mekanisme dari produksi androgen yang


berlebihan pada PCOS
Sumber: Homburg R

Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang


merangsang produksi androgen meningkat. Peningkatan insulin
dan LH, baik secara sendirian ataupun kombinasi akan
meningkatkan produksi androgen. Adanya single gene dengan
kode cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi aktifitas 17a-
hydroxylase dan 17-20- desmolase pada tingkat ovarium.

10
2.4.2 Gangguan Folikulogenesis

Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium


polikistik adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium
normal. Mekanisme yang mendasari hal ini belum sepenuhnya
diketahui, tetapi tampaknya berhubungan dengan gangguan
signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya
korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan
androstenedion serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada
monyet juga menghasilkan morfologi serupa Polycystic Ovary
Syndrome (PCOS), yaitu peningkatan volume ovarium dan jumlah
folikel (Andon dkk, 2013).

Gambar 2.3 Skema Hubungan Estrogen dengan Androgen

Sumber : Fritz and Speroff, 2011

Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih


juga mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS), folikel berkembang dengan lambat, yang
mungkin disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau
efek inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebih
(Andon dkk, 2013).

11
Folikel yang berlebih pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
berhenti berkembang ketika diameternya kurang dari 10 mm, yaitu
pada tahap sebelum munculnya folikel dominan. Berhentinya
perkembangan folikel (follicular arrest) ini berhubungan dengan
stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan,
lingkungan hiperandrogen, yang menyebakan tingginya
konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP
intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal
sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini
menyebabkan sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk
mensekresikan estrogen dan progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8
mm (Andon dkk, 2013).
Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang
ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dengan hiperinsulinemia. Sel
granulosa pada PCOS menunjukkan adanya resistensi insulin
selektif dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa,
tetapi tidak pada jalur steroidogenesis. Gangguan metabolisme
glukosa ini juga tampak berhubungan dengan anovulasi pada
PCOS (Andon dkk, 2013).
Pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) yang berovulasi, hanya
terjadi hipersekresi androgen oleh folikel sedangkan PCOS
anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen
dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut
memberikan umpan balik negatif terhadap FSH (Andon dkk,
2013).

2.4.3 Gangguan Sekresi Gonadotropin

Pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) terjadi hipersekresi LH


dengan kadar FSH yang normal atau cenderung rendah sehingga
rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH disebabkan
karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi
pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kadar FSH yang lebih
rendah disebabkan oleh peningkatan kadar estradiol, estron, dan
12
inhibin B (Richard, 2013).
Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan
gangguan perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH
meningkatkan produksi androgen pada ovarium. Konsentrasi
androgen yang tinggi pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
menyebabkan desensitisasi hipotalamus terhadap umpan balik
negatif progesteron, yang bersifat reversibel bila diberikan obat
anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan sekresi
gonadotropin pada PCOS merupakan dampak sekunder dari
gangguan sekresi steroid pada

ovarium atau kelenjar suprarenal (Richard, 2013; Fritz and Speroff,


2011)

Gambar 2.4 Perbandingan Gambaran Kadar Hormon Wanita


Ovulasi dengan Wanita PCOS Anovulasi.
Sumber : Fritz and Speroff, 2011

2.4.4 Gangguan Kerja Insulin

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75%


penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Penderita PCOS
menunjukan resistensi insulin perifer yang serupa dengan diabetes
tipe 2 dimana terjadi penurunan glukosa yang dimediasi insulin
sebesar 35-40%. Resistensi insulin yang terjadi pada PCOS bersifat
selektif, artinya resiten pada beberapa jaringan (seperti pada
jaringan otot), tetapi sensitif pada jaringan lain (seperti suprarenal

13
dan ovarium) (Andon dkk, 2013). Resistensi insulin dan
hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya hiperandrogenisme
dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara (Richard, 2013):
a. Menurunkan kadar Sex-Hormon Binding Globulin (SHBG)
sehingga meningkatkan biovailabilitas Testosteron
b. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan
kelenjar suprarenal.
c. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis
untuk meningkatkan produksi androgen.
d. Sekitar 10-65% perempuan dengan PCOS mengalami kegemukan
dan obesitas sentral yang berdampak pada metabolisme insulin.
Akan tetapi, resitensi insulin bukan merupakan gambaran umum
dari PCOS. Berdasarkan data RSCM, 75% pasien dengan PCOS
mengalami resistensi insulin dengan rata-rata indeks massa tubuh
(IMT) mencapai 28,6 kg/m2 (Richard, 2013).

2.5 Problem pada Usia Reproduksi

2.5.1 Oligomenorea - Amenorea dan /atau Anovulasi

Gambaran PCOS ditemui pada 60 – 85% pasien dengan keluhan


gangguan menstruasi berupa oligomenorea dan amenorea. Consensus on
Women’s Health Aspects of PCOS menyatakan 90% perempuan dengan
oligoamenorrhea atau amenorrhea dapat didiagnosis dengan PCOS ,
dan hampir 95% perempuan dengan PCOS mengeluhkan oligoamenorrhea
atau amenorrhea. Pasien PCOS dengan amenorrhea umumnya memiliki
hiperandrogenisme berat dan jumlah folikel antral lebih tinggi. Kondisi
anovulasi terjadi akibat sekresi hormon gonadotropin yang tidak sesuai,
sehingga produksi hormon sehingga Luteinizing Hormone (LH) lebih
tinggi dibandingkan Follicle Stimulating Hormone (FSH).

14
2.5.2 Abortus

Diperkirakan 40% kehamilan dari wanita dengan PCOS akan


mengalami keguguran spontan. Pada beberapa penelitian didapatkan
prevalensi resistensi insulin yang lebih tinggi pada wanita dengan
keguguran berulang bila dibandingkan dengan kontrol cocok dan
pengobatan resistensi insulin. Pada penderita dengan abortus berulang
dengan insulin-sensitizing agent (metformin) telah terbukti menurunkan
tingkat keguguran dini. Selain efek pada resistensi insulin, metformin
menurunkan tingkat sirkulasi Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1).
PAI-1 menghambat fibrinolisis yang meningkat pada wanita dengan
PCOS. Peningkatan kadar PAI-1 telah dilaporkan menjadi faktor risiko
independen untuk keguguran spontan awal kehamilan (Santoso, 2014).

2.6 Problem Jangka Panjang (Usia Premenopause)

Pada prinsipnya digolongkan ke dalam dua golongan besar yakni


sindroma metabolik yang meliputi diabetes mellitus, hipertensi,
dislipidemia, obesitas, dan keganasan yang meliputi keganasan pada
endometrium dan keganasan pada payudara (Santoso, 2014).

2.6.1 Sindroma Metabolik,


Resistensi Insulin dan Diabetes Mellitus tipe 2 Penyebab resistensi insulin
pada PCOS tidak semuanya dapat dipahami dengan baik. Banyak mekanisme
molekular yang dapat menjelaskan sumber dari resistensi insulin pada PCOS
yakni rendahnya kadar GLUT 4 yang berfungsi pada transportasi glukosa
(Santoso, 2014).
Penyebab hiperinsulinemia pada wanita PCOS masih belum diketahui,
dimungkinkan berhubungan dengan abnormalitas pada tingkat jalur informasi
post reseptor insulin dan/atau sekresi insulin yang abnormal. Hal ini
dimungkinkan bahwa ketidaknormalan metabolisme pada PCOS telah
dimulai pada awal kehidupan, yaitu selama periode prenatal atau prepubertal,
dan pemaparan dini terhadap androgen selama masa

15
pertumbuhan dimungkinkan mempengaruhi distribusi lemak dan
aktivitas insulin (Santoso, 2014).
Kriteria diagnosis untuk sindroma metabolik pada wanita yang
menderita PCOS telah diimplementasikan baru-baru ini. Definisi tersebut
mencakup tiga dari lima kriteria berikut: obesitas sentral,
hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah, tekanan darah yang
meningkat, dan hiperglikemia (ESHRE Consensus 2011) (Santoso, 2014).

2.6.2 Penyakit Kardiovaskuler


Wanita dengan PCOS cenderung memiliki kelainan pada profil lipid,
seperti peningkatan trigliserida, peningkatan kadar kolesterol LDL, serta
menurunnya kadar kolesterol HDL, sehingga secara tidak langsung
memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena penyakit-penyakit koroner
seperti penyempitan pembuluh darah koroner, sampai obstruksi pembuluh
darah (Santoso, 2014).

2.6.3 Keganasan

Peningkatan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) bebas di sirkulasi ini


diduga dapat meningkatkan risiko pertumbuhan tumor/kanker melalui
rangsangan IGF-1 bebas pada target organ. Ini dibuktikan dengan
meningkatnya IGF-1 bebas maka IGF-1R di target sel juga meningkat.
Keadaan hiperinsulin pun dapat berakibat pada proliferasi sel melalui
ikatan langsung insulin dengan reseptor insulin di jaringan target atau
dapat juga melalui bentuk IGF-1 (Santoso, 2014).
Menurut The Cancer and Steroid Hormone Studi yang dikutip dari
Allahbadia kanker yang terdapat pada ovarium wanita penderita PCOS
risikonya meningkat menjadi dua kali lebih tinggi (Cristy, 2020).

2.6.4 Hiperplasia dan Keganasan Endometrium

Patofisiologi terjadinya hiperplasi endometrium selama ini yang


banyak disepakati adalah stimulasi estrogen terus-menerus tanpa oposisi

16
progesteron (unopposed estrogen). Keadaan ini bisa disebabkan estrogen
endogen maupun eksogen. Estrogen endogen banyak disebabkan anovulasi
kronik seperti PCOS atau perimenopause. Obesitas berperan pada paparan
unopposed estrogen karena kadar estrogen yang tinggi secara kronik,
berasal dari aromatisasi androgen pada jaringan lemak dan konversi
androstenedion menjadi estron (Santoso, 2014).

2.6.5 Keganasan pada Payudara

Penderita PCOS yang memiliki jumlah hormon estrogen yang tinggi


hingga berlebihan dapat meningkatkan risiko terkenanya kanker payudara
yang disebabkan oleh tingginya hormon estrogen pada wanita (Santoso,
2014).

1. Terdapat jerawat

Pada penderita PCOS biasanya ditemukan 1 sampai 3 wanita yang


mengalami gejala ini. Keadaan dimana terdapat jerawat yang
berlebihan merupakan salah satu gejala dari PCOS.
2. Hirsutism

Sebanyak 70% wanita yang menderita PCOS memiliki gejala ini.


Hirsutism sendiri memiliki pengertian sebagai keadaan dimana
wanita memiliki rambut yang berlebih dan umumnya hanya
tumbuh pada pria dewasa seperti adanya rambut berlebihan pada
bagian perut bagian bawah dan dada seorang wanita.

17
3. Kerontokan rambut Kerontokan rambut ini, dialami oleh 10%
wanita penderita PCOS. Biasanya mereka akan mengalami
kerontokan rambut secara berlebih.

4. Penggelapan kulit di area leher

Pada gejala ini, biasanya wanita memiliki keadaan dimana kulit di


area leher mengalami penggelapan dan bertekstur. Sebanyak 1-3%
wanita yang menderita PCOS mengalami hal tersebut.

2.7 Diagnosis dan Gambaran Klinis


2.7.1 Anamnesis
Anamnesa pada penderita PCOS harus memperhatikan (Norwitz,
2012):
1. Perubahan Pola siklus mentruasi/ Ketidakteraturan menstruasi
(80%) terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore
sekunder dan atau oligomenore.
2. Masalah kesuburan/ infertilitas
3. Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara
berlebihan. Kerontokan rambut dan pertumbuhan rambut
berlebihan dimuka, dada, perut (hirsuitisme) disebabkan oleh
kadar androgen yang tinggi.
4. Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula
oleh kadar androgen yang tinggi.
5. Adanya riwayat keluarga yang menderita PCOS atau diabetes.

18
2.7.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus memperhatikan pada


(Norwitz, 2012):
a. Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola
pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada
seorang wanita. Penilaian hirsutisme dilakukan dengan
menggunakan skor Ferriman Galwey yang dimodifikasi (mFG).
Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut
dijumlahkan. Skor
≤15: hirsutisme ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan skor ≥25:
hirsutisme berat (Andon, 2013; Fritz and Speroff, 2011).

Gambar 2.5 Skor Ferriman-Galwey yang Dimodifikasi

Sumber: Andon, 2013; Fritz and Speroff, 2011

19
b. Tanda-tanda hiperandrogenism: kebotakan (alopecia androgenik),
jerawat (akne)
c. Tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal,
akantosis nigrikans: penanda dermatologis akibat resistensi insulin
dan hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan warna kulit
menjadi abu-abu kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti veruka
pada leher, selangkangan dan aksila).
d. Pada pemeriksaan bimanual dapat ditemukan ovarium yang
membesar atau dapat juga tidak teraba.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

a. USG: USG dan/atau laparoskopi merupakan alat utama untuk


diagnosis PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat
dibuat. Pada USG terlihat gambaran seperti roda pedati atau
folikel- folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG,
maupun dengan laparoskopi, kedua atau salah satu ovarium pasti
tampak membesar (Norwitz, 2012).
Tabel 2.1 Perbandingan Pemeriksaan USG transabdominal
dan transvaginal pada PCOS

Sumber: Norwitz, 2012

20
Gambar 2.6 Gambaran USG PCOS

Sumber: Robert,
b. Laboratorium 2014

Peningkatan kadar androgen di sirkulasi. Androgen


terpenting yang biasanya digunakan untuk diagnosis adalah
Testosteron. Androgen lain yang meningkat mencakup
androstenedion, DHEA, dan DHEA-S. Pemeriksaan laboratorium
seperti testosterone (T) atau dehidroepiandrosteronsulfat (DHEAS)
bermanfaat untuk menunjukkan hiperandrogenisme ovarium. Kadar
T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan
kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-
7ng/ml). Diantara androgen tersebut, yang lebih sensitif untuk
mendiagnosis hiperandrogenisme adalah Testosteron bebas (free T)
atau free androgen index (FAI).Pemeriksaan penunjang pada PCOS
beserta tujuan pemeriksaannya akan dijelaskan sebagai berikut
(Norwitz, 2012):
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium pada PCOS

Pemeriksaan Nilai normal Tujuan


B-hCG < 5 mIU/mL Menyingkirkan
kehamilan

21
TSH 0,5-4,5 μU/mL(0,5-4,5 mU/L) Menyingkirkan
gangguan tiroid

22
Prolaktin < 24 ng/mL Menyingkirkan
hiperprolaktinemia
Testosteron 250 – 1100 ng/dL Menyingkirkan tumor
(total) yang menghasilkan
androgen
Testosteron 20-30 tahun: 0,06-2,57 pg/mL Menegakkan
(bebas) (0,20-8,90 pmol/L) diagnosis atau
40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL (1,40- monitoring terapi
7,00 pmol/L)
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 μmol/L) Menyingkirkan tumor
yang menghasilkan
androgen
Androstenedi 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 nmol/L) Menegakkan diagnosis
one
Insulin puasa 3.2 – 28.5 Menentukan adanya
hiperinsulinemia
Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan DM
mmol/L) tipe 2 atau intoleransi
glukosa
Rasio glukosa ≥ 4,5 Menentukan adanya
puasa:insulin
resitensi insulin
Kolesterol 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan
(total) gaya hidup
Kolesterol 35-85 mg/dL (0,9-2,2 mmol/L) Monitor perubahan
HDL gaya hidup
Kolesterol 80-130 mg/dL (2,1-3,4 mmol/L) Monitor perubahan
LDL gaya hidup
Biopsi Tidak ada tanda hiperplasia atau Menyingkirkan
endometrium keganasan keganasan atau
hiperplasia
Diagnosis PCOS ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain
23
oligomenorea atau hiperandrogenisme.
Sumber: Norwitz, 2012

2.7.4. Kriteria Diagnosis

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah sindroma klinis yang hingga


saat ini belum ada kriteria tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit
ini.

Tabel. 2.3 Kriteria Diagnosis PCOS

Kriteria Kriteria Kriteria Androgen


NICHD/NIH (1990) ESHRE/ASRM Excess Society
Rotterdam (2003) (AES)
(2006
)
Memenuhi kedua Memenuhi 2 dari 3 Memenuhi kedua
kriteria : kriteria : kriteria:
1. Oligo-ovulasi/ 1. Hiperandrogenemia 1. Oligo-ovulasi/
anovulasi kronis 2. Oligo-ovulasi/ Anovulasi dan/atau
2. Hiperandrogenism Anovulasi ovarium polikistik
dengan eksklusi 3. Ovarium polikistik dari dari hasil USG
kemungkinan lain hasil USG. Tampak 2. Gambaran klinis
seperti kelainan lebih dari 12 foliket dan/atau Laboratorium
kongenital hyperplasia berdiameter 2-9 mm menunjukan
adrenal dan sindroma atau peningkatan peningkatan hormon
Cushing. volume androgen
ovarium > 10 mL
Sumber : Crasto and Rao, 2014

24
Saat ini, kriteria diagnosis PCOS yang digunakan secara luas adalah
kriteria Rotterdam 2003 (Andon dkk, 2013). Kriteria Rotterdam :
1. Oligo atau anovulasi

2. Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi

3. Gambaran polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi

Untuk mendiagnosis PCOS dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria tersebut


dan tidak ditemukan kelainan – kelainan endokrin lainnya, seperti Congenital
andrenal hyperplasia (CAH), hiperprolaktinemia, kelainan tiroid, ataupun
tumor yang menghasilkan hormon androgen (Andon, 2013; Fritz and Speroff,
2011).

2.7.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain
yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi
kronik, dan ovarium yang sklerokistik. Ovarium yang sklerokistik
merupakan ekspresi morfologi yang nonspesifik dari anovulasi kronik
pada pasien premenopause, dan dapat disertai:
a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal
kongenital, dan tumor-tumor adrenal virilisasi.
b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer
c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari
estrogen atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal,
tumor-tumor sel steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti
hiperplasia sel Leydig dan hipertekosis troma.
Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis
autoimun, setelah penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang,
berhubungan dengan adhesi periovarium, setelah terapi androgen jangka
panjang pada wanita agar menjadi pria transeksual dan ditemukan normal
pada individu-indivudi prespubertas (Anonym, 2010).

Tabel 2.4 Diagnosa Banding PCOS

25
Sumber: Ehrmann DA, 1995

26
2.8 Penatalaksanaan Awal

2.8.1 Penatalaksanaan Awal

2.8.1.1 Perubahan Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup merupakan langkah utama seperti pengaturan pola


makan dan olahraga mengingat obesitas menjadi faktor pencetus resistensi
insulin dan sindrom metabolik. Penurunan berat badan menurunkan
sirkulasi androgen dan insulin, memperbaiki lipid dan meningkatkan FSH,
sehingga mengurangi gejala fisik seperti hirsutisme, alopesia, jerawat, skin
tags, menormalkan siklus menstruasi, dan menstimulasi ovulasi (Guang
and Li, 2018). Program perubahan gaya hidup, yang mana ditekankan
pada pengontrolan prilaku dan intervensi pada diet dan olah raga,
menunjukkan hasil yang sangat efektif dalam memperbaiki reproduksi dan
juga gangguan metabolik yang terjadi pada pasien berat badan berlebih
ataupun obesitas dengan atau tanpa PCOS (Dimitrios et al, 2013; Robert,
2014)

2.8.1.2 Perubahan Diet

Penanganan pertama pada perempuan PCOS dengan Indeks Massa


Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 adalah penurunan berat badan dan pada
perempuan PCOS dengan IMT ≤25kg/m2 disarankan untuk menjaga berat
badan agar tidak berlebih. Pada kedua kelompok perempuan tersebut
disarankan untuk mengurangi asupan kalori dan berolahraga sebagai terapi
lini pertama PCOS. Diet pada pasein obesitas harus seimbang, komposis
yang ideal adalah 50% karbohidrat, 20% protein, dan 30% lemak. Asupan
lemak 10% harus merupakan lemak jenuh, 10% lemak tak jenuh ganda,
10% lemak tak jenuh. Secara umum penurunan berat badan 0,5-1 kg per
minggunya, dengan cara pengurangan kalori 3.500-7.000 kalori per
minggunya. Diet rendah kalori tidak boleh kurang dari 1.200 kalori per
hari (Dimitrios et al, 2013; Robert, 2014).

27
2.9 Penatalaksanaan Farmakologi

2.9.2.1 Antiestrogen

Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru


aktivitas antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas
untuk induksi ovulasi. Clomiphene citrat masih menjadi pilihan terapi
utama untuk menstimulasi ovulasi pada kasus PCOS. Dosis awal adalah 50
mg/hari selama 5 hari sejak haid hari ke-3 (Qadr and Adetunji, 2018). Bila
terjadi ovulasi tetapi tidak terjadi pembuahan pada siklus pertama dosis
masih bisa dilanjutkan 50 mg/ hari pada siklus berikutnya (Qadr and
Adetunji, 2018). Namun, bila pada siklus awal tidak terjadi ovulasi, pada
siklus berikutnya dosis bisa dinaikkan menjadi 100 mg/hari. Peningkatan
dosis ini juga berisiko memicu terjadinya resistensi clomiphene (Qadr and
Adetunji, 2018). Pemberian dapat diulang maksimal 6 siklus (Londonkar
et al, 2018).
Clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan memblokir
reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga
mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade
ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.
Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium.
Clomiphene citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan
langsung pada hipofisis atau ovarium (Maharani, 2002).

28
2.9.2.2 Antidiabetes

Saat ini yang paling banyak digunakan adalah metformin yang


merupakan agen sentisisasi insulin biguanida yang menghambat produksi
glukosa hepatik dan meningkatkan pemakainan glukosa perifer. Metformin
tidak merangsang sekresi insulin atau menyebabkan hipoglikemia
(Nusrattudin, 2009).
Mekanisme kerja metformin adalah menghambat produksi glukosa di
hepar dan memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin. (Nusrattudin,
2009). Tetapi metformin pada pasien PCOS akan menyebabkan penurunan
kadar insulin dalam sirkulasi, sehingga secara tidak langsung akan
menurunkan produksi androgen ovarium. Selain itu metformin juga
memberikan efek langsung terhadap sel teka dalam menurunkan produksi
androgen, sehingga secara kumulatif akan terjadi penurunan kadar
androgen total dan androgen bebas dalam sirkulasi (Nusrattudin, 2009).

Resistensi insulin disertai hiperinsulinemia memiliki peran penting


terhadap hiperandrogenemia dan resistensi insulin (Londonkar et al, 2018).
Selain pemberian clomiphene, pemberian antidiabetes yaitu metformin 3 x
500 mg/ hari meningkatkan sensitivitas insulin perifer dengan mengurangi
produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin (Crasto and Rao, 2014). Metformin juga menurunkan kadar
androgen pada wanita kurus dan wanita gemuk, sehingga meningkatkan
kemungkinan ovulasi spontan (Crasto and Rao, 2014). Metformin secara
signifikan mengurangi indeks massa tubuh (IMT) dengan dosis >1500 mg/
hari dan durasi pengobatan jangka panjang juga menunjukkan efek
berkelanjutan pada penurunan berat badan >8 minggu (Crasto and Rao,
2014).
Metformin tidak hanya digunakan untuk pengobatan PCOS namun
juga digunakan sebagai profilaksis terjadinya PCOS. Metformin dapat
memperbaiki gangguan menstruasi, infertilitas berkaitan dengan anovulasi,
abortus, hiperandrogen, gangguan endometrial, kelainan kardivaskular dan
metabolik. Oleh karenan efek baiknya ini banyak praktisi yang
melanjutkan pemakain metformin bahkan sampai masa kehamilan
29
(Stefano, 2014).

2.9.2.3 Aromatase Inhibitors

Aromatase inhibitor adalah enzim mikrosom sitokrom P450 (dikode


oleh gen CPY19) yang berperan untuk katalisasi produksi estrogen dari
androgen. Aromatase bertanggung jawab untuk mengubah
androestenedion menjadi estron dan Testosteron menjadi estradiol.
Aromatase inhibitor adalah preparat yang dapat dimnfaatkan untuk
menghambat aktivitas enzim aromatase secara spesifik (Robert, 2014).
Saat ini yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan klinis adalah
generasi ketiga aromatase inhibitor, yaitu yang bersifat non steroid
(Anastrozole dan Letrozole), serta yang bersifat steroid (Anat and Robert,
2015).
Aromatase inhibitor diperkenalkan sebagai pengobatan alternatif
untuk induksi ovulasi pada wanita dengan PCOS. Dari penelitian terbukti
wanita

dengan anovulasi WHO kelas 2 yang resisten terhadap klomifen sitrat atau
didapatkan dengan lapisan endometrium yang tipis dikarenakan
berkurangnya reseptor estrogen akibat terapi klomifen sitrat, mendapatkan
manfaat dari pemberian aromatase inhibitor (Robert, 2014). Aromatase
inhibitor telah dipelajari untuk menginduksi ovulasi pada PCOS dimana
secara fungsional menekan produksi estrogen melalui stimulasi aksis
hipotalamus-pituitari yang berimplikasi meningkatkan gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) and follicle stimulating hormone (FSH)
(Londonkar et al, 2018).
Pengunaan letrozole sekarang ini sudah dapat dijadikan sebagai terapi
lini pertama dalam induksi ovulasi, khususnya pada pasien PCOS yang
resisten terhadap klomifen sitrat. Letrozole sangat memiliki angka
kehamilan yang setara dengan injeksi gonadotropin dengan biaya dan efek
samping yang lebih sedikit (Nayereh et al, 2015). Serta keuntungannya
yang tidak memilik efek anti estrogenik negatif pada endometrium dan
lendir serviks, sehingga lebih rendah risiko terjadinya OHSS (Ovarian
Hyperstimulation Syndrome), dan lebih sedikit membutuhkan monitoring
(Nayereh et al, 2015). Pada pasien dengan kanker payudara, maka induksi
ovulasi/ stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat tentu bukanlah pilihan
30
yang baik akibar kadar estradiol yang meningkat lebih tinggi setelah
pemberian klomifen sitrat. Pilihan pada pasien kanker payudara tentunya
adalah aromatase inhibitor (Nayereh et al, 2015; Londonkar et al, 2018).
Dosis yang biasa digunakan untuk Letrozole adalah 2,5 dan 5 mg,
dosis yang lebih tinggi dari 5 mg per hari selama 5 hari dapat
mengakibatkan resisten aromatase inhibitor, diikuti rendahnya kadar
estrogen untuk pertumbuhan endometrium pada saat ovulasi. Dosis yang
disarankan pada beberapa penelitian adalah dosis tunggal 20 mg diberikan
pada hari ke-3 siklus menstruasi, perpanjangan dosis 2,5 atau 5 mg hingga
7-10 hari, dan peningkatan dosis berjenjang dimulai 2,5 mg pada hari ke-3
hingga 10 mg pada hari ke-6 (Nayereh et al, 2015).

Beberapa kelebihan aromatase inhibitor dibandingkan klomifen sitrat,


membuat preparat ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kegagalan
ovulasi pada pemberian klomifen sitrat (resisten klomifen sitrat).
Aromatase inhibitor dapat memperbaiki ovulasi sebesar 60-90% dengan
angka kehamilan sekitar 9-42%. Kelebihan lain dari aromatase inhibitor
dibandingkan dengan klomifen sitrat adalah tidak adanya penekanan
terhadap peetumbuhan endometrium dan tidak mempengaruhi kekentalan
lendir serviks (Andon, 2009).

2.9.2.4 Kontrasepsi Oral

Regulasi pil KB mengatasi PCOS terutama dalam mengatur siklus


menstruasi. Terapi dengan kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat:
a. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan
produksi androgen ovarium
b. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG,
menghasilkan penurunan testosteron bebas.
c. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.

d. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi


dehidrotestosteron pada kulit dengan menghambat 5α-
reduktase (Maharani, 2002).

Pasien dengan PCOS terjadi anovulasi yang kronis dimana


endometriumnya distimulasi hanya dengan estrogen. Banyak
dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan
31
menggunakan progesteron dosis tinggi, seperti megestrol
asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan (Melissa, 2010). Tiga
progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral
(norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini
merupakan androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi
progestin baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan
drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal
(Maharani, 2002).

2.9.2.5 Anti-Androgen

Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi


pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan
mengikat secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis
pemberian spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar
mengganggu aktivitas sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total
androgen sintesis dan sekresi. Efek samping spironolakton ialah
menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis yang lebih tinggi.
Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium, wanita
dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau sebaiknya
diberikan alternatif obat lainnya (Duarsa, 2004).
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak
mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau
antigonadotropin. Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak
berubah, meskipun beberapa dilaporkan modulasi produksi androgen.
Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan spironolakton dan
cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker prostat pada
laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua
kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan
meningkatkan nafsu makan (Duarsa, 2004).

2.9.2.6 Gonadotropin

Pemberian hormon gonadotropin eksogen, yaitu kombinasi follicle-


stimulating hormone (FSH) atau human menopausal gonadotropin
(HMG). Mekanisme kerja hormon gonadotropin adalah menstimulasi

32
ovulasi dan memaksimalkan perkembangan folikel. Berbeda dengan
clomiphene, terapi gonadotropin tidak mencetuskan antiestrogenik perifer
sehingga meningkatkan kemungkinan pematangan folikel yang multipel,
meningkatkan kejadian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan
multipel dibandingkan clomiphene, sehingga perlu diawasi pemberiannya
yang dimulai dari dosis rendah yaitu 3,75-7,5 IU/hari. Evaluasi dilakukan

setiap minggu dengan bantuan USG dan dipertimbangkan peningkatan


dosis 50% bila tidak ada folikel yang berkembang. Penurunan dosis juga
dilakukan 50% jika pasien telah mencapai respons perkembangan folikel
yang maksimal (Hayek et al, 2016).

2.10 Penatalaksanaan Non-Farmakologi

2.10.2.1 Bedah Laparoskopi Ovarium (LOD)

Bedah laparoskopi ovarium juga dipertimbangkan sebagai terapi lini


kedua tetapi merupakan metode invasif dan memerlukan anastesi umum
(Lee and Rausch, 2012). Terapi ini dipilih untuk pasien yang sulit dipantau
dengan terapi gonadotropin. Kelebihan terapi ini dibandingkan terapi
gonadotropin mengurangi risiko kehamilan multipel. Terapi ini lebih
efektif pada pemeriksaan awal hormon LH yang tinggi, karena didapatkan
penurunan hormon LH dan androgen yang bermakna setelah terapi (Lee
and Rausch, 2012).
Tindakan Pembedahan dapat dilakukan dengan membuat sayatan kecil
di perut bagian bawah (perut) kemudian alat seperti mikroskop yang
panjang dan tipis yang disebut laparoskop akan dimasukan ke dalam perut
pasien. Kemudian dilakukan eletrokauter atau laser untuk merusak
sebagian ovarium. Mekanisme LOD masih belun jelas, diduga LOD
merusak stroma ovarium sebagai penghasil androgen, sehingga kadar
androgen menurun. Hal ini menyebabkan hormon androgen ovarium baik
produksi, sekrsi dan kadarnya dalam sirkulasi menurun. Penelitian telah
membuktikan bahwa LOD berguna untuk menurunkan kadar hormon
testosteron dan luteinising (LH) serta meningkatkan kadar hormon
perangsang folikel (FSH). Teknik operasi ini dapat digunakan dalam
mengembalikan keseimbangan hormon pada penderita PCOS (Ziba et al,
2015).

33
Komplikasi yang bersifat akut jarang sekali terjadi pada pembedahan.
Dari 778 kasus laparoskopi ovarium, ditemukan dua kasus dengan
pendarahan yang membutuhkan laparotmi dan satu kasus dengan perforasi
usus. Efek samping jangka panjang yang dapat ditemukan adalah

34
perlengketan dengan organ obdomen dan menopause dini,
terutama bila dilakukan jumlah tusukan yang banyak (Ziba et al, 2015).

Gambar 2.7 Laparoskopik Ovarian Drilling (LOD)


Sumber : Amer, 2015

2.10.2.2 In vitro Fertilization (IVF)

IVF merupakan pilihan bila terjadi kegagalan terapi lini


pertama dan kedua. Biasanya IVF menjadi pilihan pada kelainan
berat pada perempuan (endometriosis, obstruksi tuba, dan kelainan
obstetri lain yang mengganggu kesuburan) dan laki-laki
(azoospermia dan kelainan kesuburan pria). IVF merupakan
transfer embrio tunggal pada endometrium, sehingga merupakan
alternative untuk mengurangi kemungkinan komplikasi tersebut
(Barbosa et al, 2016)

35
BAB III
KESIMPULAN

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kumpulan gejala dan


tanda dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh
gangguan sistem endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit
primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari.
Berdasarkan epidemiologinya kelainan endokrin ini menyerang sekitar 5-
10% wanita pada usia reproduktif. Walaupun penyebab pastinya belum
diketahui sepenuhnya tetapi terdapat empat permasalahan yang berkaitan
dengan patofisiologi PCOS yaitu: Kelainan androgen, gangguan
folikulogenesis, gangguan sekresi gonadotropin dan gangguan kerja insulin.
Kelainan ini dapat menimbulkan beberapa masalah pada kesehatan yang
dikelompokan menjadi permasalan pada usia reproduksi dan usia
premenopause.
Diagnosis PCOS dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dengan mempertimbangkan beberapa kriteria
diagnosis, salah satunya yang saat ini digunakan secara luas adalah kriteria
Rotterdam 2003 yang meliputi 2 dari 3 kriteria berikut: Oligo atau anovulasi,
Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi dan Gambaran
polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi.
Merujuk pada banyaknya permasalahan yang ditimbulkan, maka
diperlukan penanganan yang tepat. Perubahan pola hidup yang sehat, olahraga
teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan merokok dan
mengendalikan berat badan merupakan kunci utama pengobatan PCOS.
Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan terapi farmakologis untuk
menyeimbangkan hormon seperti Klomifen sitrat dan kombinasinya,
metformin, kontrasepsi oral, aromatase inhibitor, antiandrogen, gonadotropin.
Serta terapi non farmakologis seperti bedah laparoskopi ovarium dan In vitro
Fertilization (IVF).

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdoulaye, d., et al. 2014. Prior caloric restriction increase survival of


prepubertal obese- and PCOS-prone rats exposed to a challenge of time
limited feeding and physical activity. (serial online), Tersedia dari:
http://www.the- aps.org/publications/jappl.

2. Ahsan B, Hakim A, Tamar M (2012). Faktor Risiko Yang Memengaruhi


Keterlambatan Konsepsi (Infertlitas) Pasangan Suami Istri Di Kecamatan
Palu Utara Kota Palu. Makasar: Universitas Hasanuddin.

3. Anonym. 2010. Ovarium polikistik Sindrom - Penyebab, Gejala dan


Metode Pengobatan. Tersedia Dari URL :
http://id.hicow.com/polikistik-ovarium-sindrom/kehamilan/hormon-
772734.html

4. Amer, S.K.A. 2015. Laparoscopic Ovarian Drilling. Department of


Gynaecology, Nottingham University.

5. Anat, H.K., Robert, F.C., 2015. The use of aromatase inhibitors for ovulation
induction. Fertilty, in-vitro fertilization and reproductive genetics. Wolters
Kluwer Health, Ontario, Canada. P 1-4.

6. Andon, H. 2009. Antiestrogen. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi dan Stimulasi


Ovarium Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Perkumpulan
Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H., Sagung Seto,
Jakarta. P 37-48.

7. Andon, H., dkk. 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates in


Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon, H., dkk.
Sagung Seto, Jakarta. P 1-52.

37
8. Ali B. Sindrom ovarian polikistik dan penggunaan GnRH. Divisi Imuno
endokrinologi, Departemen Ginekologi dan Obstetric, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia [internet]. 2012:39(8). Tersedia dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium%20Polikis
tik%20dan%20Penggunaan%20Analog%20GnRH.pdf .

9. Barbosa G, Rocha DRTW, Arbex A, de Sa LBPC. 2016. Polycystic ovary


syndrome (PCOS) and fertility. J Endocrine and Metabolic Dis. ;06(01):58-65

10. Bulent, O.Y., Ricardo, A. 2010. Polycystic Ovary Syndrome and Ovulation
Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen Disorder in Women :
Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder, 2nd Edition. Azziz, R., et al.
Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389- 404.

38
11. Crasto W, Rao P. 2014. The effect of metformin on reproduction–A short
review. J Endocrinol. Diabetes Obesity ;2(2):1038.

12. Dimitrios, P., et al. 2013. Infertilty treatment in Polycystic Ovary Syndrome :
Lifestyle intervention, medication and surgery. Polycystic syndrome, Novel
Insight into Causes and Therapy. Horn Res. Basel, Karger, vol 40, p 128-141.

13. Dumaris S, Hiswani, Jemadi. 2012. Karakteristik Penderita Kista Ovarium


yang di Rawat Inap di RS St Elizabeth Medan tahun 2008-2012. Medan:
Departemen Epidemiologi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2012.

14. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan
PCOS. Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/healthsciences/pendekatan-
medisinalis-dan-bedah-pada-penanganan-PCOS/mrdetail/914/

15. Ehrmann DA, Barnes RB, Rosenfield RL. 1995. Polycystic ovary syndrome
as a form of functional ovarian hyperandrogenism due to dysregulation of
androgen secretion. Endocr Rev. 1995;16:322-53.

16. Fitria saptarina, Indrani Nur. 2016. Pengaruh Sindrom Polikistik Ovarium
terhadap Peningkatan Faktor Risiko Infertilitas. Universitas Lampung
(UNILA). 5(2): 43-48

17. Farzana, A., Nesreen, A., Hafeez, H. 2015. Frequency and outcome of
treatment in polycystic ovaries related infertility. Pak Journal Medicine
Science. (serial online), Tersedia dari URL:
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.313.8003.

18. Fritz, M.A, Speroff, L. 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic Ovary
Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th Edition.
39
Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529.

19. Giovanni M. 2016. Induksi Ovulasi Pada Pasien Sindroma Ovarii Polikistik.
Denpasar. Sari pustaka, Fakultas kedokteran universitas udayana.

20. Guang Hui-jan, Li Feng. 2018. Letrozole for all patients with polycystic
ovarian syndrome: A retrospective study. Medicine 2018;97:44(e13038).

21. Hayek ES, Bitar L, Hamdar LH, Mirza FG, Daoud G. 2016. Polycystic
ovarian syndrome: Update overview. Front Physiol. 2016;7:124.

22. Irani M, Merhi Z. Role of vitamin D in ovarian physiology and its implication
in reproduction: a systematic review.

40
23. Jeffrey R.C. 2014. Polycystic Ovary Syndrome and Hyperandrogenic States.
Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 7th
Edition.Elsevier Sandera P 485- 511.

24. Jennifer, F.K., Tammy, L.L, Sarah, L.B. 2010. An algorithm for treatment of
infertile women with polycystic ovary syndrome. Middle East Fertility Society
Journal. (serial online). Tersedia dari URL: www.mefsjournal.com.

25. Joham AE, Teede HJ, Ranasinha S, et al. 2015. Prevalence of Infertility and
Use of Fertility Treatment in Women with Polycystic Ovary Syndrome: Data
from A Large Community-based Cohort Study. J Womens Health (Larchmt).
24(4):299-307. doi: 10.1089/jwh.2014.5000.

26. Johnny, A., et al. 2013. Guideline for the use of Insulin Sensitizing Drugs in
the management of PCOS-associated Infertilty. Clinical Practice Guidelines
Middle East Fertility Society.

27. Kasim-Karakas SE., Cunningham,WM., Tsodikov,. 2007. A.Relation of


nutrients and hormones in polycystic ovary syndrome. Am J Clin
Nutr[internet]; 85(3):688-94. Tersedia dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 7344488

28. Lee Tony T, Rausch Mary E. 2012. Polycystic ovarian syndrome: Role of
imaging in diagnosis. RadioGraphics J. 2012;32:1643–57.

29. Londonkar RL, Hugar AL, Kanjikar AP. 2018. Polycystic ovary syndrome
(PCOS)-A mini review. J Gynecol. 2018;2(1):000148.

30. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik:


Permasalahan Dan Penatalaksanaannya. Tersedia Dari URL :
http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf

41
31. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic
Ovarian Syndrome. Dari URL:
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm

32. Mareta R., Rizani Amran, Veny Larasati. 2018. Hubungan Polycystic Ovary
Syndrome(PCOS)dengan Infertilitas di Praktik Swasta Dokter
ObstetriGinekologi Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, Th. 50
Nomor 2

33. Mascarenhas MN, Flaxman SR, Boerma T, et al. 2012. National, Regional,
and Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: A Systematic
Analysis of 277 Health Surveys. PLoS Med. 9(12):e1001356.
doi:10.1371/journal.pmed.1001356.

42
34. Missmer SA, Mary EA, Robert LB, Marlene BG. 2013. Infertility: Women
and Health. 2nd Edition chapter 17

35. Mohamed, N.E.G., Amal, E.M., Manal, A.F., 2015. Comparison of Letrozole
Versus Tamoxifen Effects in Clomiphene Citrate Resistant women with
Polycystic Ovarian Syndrome. J Reprod Infertil. (serial online), Tersedia dari
URL: http://www.jri.lir.

36. Nayereh, G., Ashraf, K., Nezhat, M., 2015. A Randomized Clinical Trial on
Comparing The Cycle Characteristics of Two Different Initiation Days of
Letrozole Treatment in Clomiphene Citrate Resistant PCOS Patient in IUI
Cycle. International Journal of Fertility and Sterility. Vol 9, No.1. p 17-28.

37. Nusrattudin, A., 2009. Insulin Sensitizing Agents. Aplikasi klinis Induksi
Ovulasi dan Stimulasi Ovarium. Himpunan Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H.,
Hendy, H., Sagung Seto, Jakarta. P 65-81

38. Norwitz, Errol, Schorge, John. At Glance: Obstetrik dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Erlangga medical series (EMS); 2012. p: 74-8

39. Putra, Dhiva Dwi. 2019. Profil Sindroma Ovarium Polikistik di RS Soetomo
Surabaya Periode Januari 2013- Desemer 2018. Tersedia dari URL:
http://repository.unair.ac.id/93541/2/2.%20.pdf

40. Qadr A, Adetunji H. 2018. Systematic review and meta-analysis of letrozole


and clomiphen citrat in polycystic ovarian syndrome. Middle East Fertil Soc
J. 2018;23:163-70.

41. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
43
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s.

42. Robert, L.B. 2014. Female Infertility. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s
Reproductive Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P 485- 520-531.

43. Santoso, B. 2014. Problematika Reproduksi dan Tantangannya Terkait


dengan Gaya Hidup Perempuan Indonesia. Surabaya. Fakultas kedokteran
universitas airlangga.

44. Sirmans SM, Pate KA. 2014. Epidemiology, Diagnosis, and Management of
Polycystic Ovary Syndrome. Clinical Epidemiology. 6:1-13.
doi:10.2147/CLEP.S37559.

44
45. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S. 2014. Metformin and gonadotropins
for ovulation induction in patiens with polycystic ovary syndrome : a
systematic review with meta-analysis of randomized controlled trials.
Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial online), Tersedia dari URL:
http://www.rbej.com/content/12/1/3.

46. Triwani. 2013. Faktor Genetik Sebagai Salah Satu Penyebab Infertilitas Pria.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

47. WHO. 2004. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing


Countries. DHS Comparative Reports No.9.

48. Ziba, Z.S., et al. 2015. Comparison between Unilateral nd Bilateral Ovarian
Drilling in Clomiphene Citrate Resistance Polycystic Ovary Syndrome
Patients : A Randomized Clinical Trial of Efficacy. Royal Institute
International Journal of Fertility and Sterility Vol.9, No.1. P 1-16.

45

Anda mungkin juga menyukai