SYNDROME
(PCOS)
DISUSUN OLEH:
Sri Ayu Nabila
22710141
PEMBIMBING:
dr. Wahyu Widoyoko Sp.OG
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “POLYCYSTIC OVARY
SYNDROME (PCOS)” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan segala pihak
yang telah berkontribusi dalam penulisan referat ini, khususnya pihak
dokter pembimbing Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo yang telah memberikan dasar materi
yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran
dan kritik yang membangun demi terciptanya kesempurnaan referat ini.
Harapan penulis adalah referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri maupun bagi pembaca.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
2.1 Definisi...............................................................................................4
2.2 Epidemiologi......................................................................................5
2.3 Etiologi...............................................................................................6
2.4 Patofisiologi........................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................36
iv
DAFTAR GAMBAR
PCOS ............................................................................................................... 10
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang dilakukan terhadap wanita dengan berat badan berlebih di Spanyol untuk
menilai keberadaan PCOS dan karakteristiknya berupa 28,3% dari 113 wanita
yang berpartisipasi dalam penelitian (CI 20-36,9%) memiliki diagnosis PCOS.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
4
ditandai dengan menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan
polikistik ovarium (Sirmans and Pate, 2014). PCOS merupakan penyakit
gynecological endrocrinopathy yang menjadi penyebab paling umum dari
infertilitas karena anovulasi (Barbosa et al., 2016). Anovulasi kronik terjadi
terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral
dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan
akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan peningkatan rasio
LH/ FSH serta androgen.
PCOS berkembang ketika ovarium distimulasi untuk memproduksi jumlah
hormon androgen yang berlebih, terutama testosteron dengan cara melepaskan
hormon LH yang berlebih pada kelenjar pituitari anterior (Kabel, 2016). Hal
tersebut mengganggu perkembangan folikel. Nilai LH yang berlebih inilah
yang dianggap menjadi penyebab utama dari hipergonadisme ovarium PCOS
dalam efek stimulan dari LH pada sel theca (Balen, 2004).
Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan umur reproduksi tanpa
disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau kelenjar adrenal
yang mendasari ataupun sindroma cushing (Stefano, 2015). PCOS merupakan
suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses inflamasi kronik,
ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif protein (CRP), TNF-α dan
reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya penderita PCOS
memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini berhubungan dengan
mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak viseral
memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa
marker inflamasi. Definisi PCOS menurut kriteria Rotterdam adalah kelainan
yang mencakup semua kombinasi dari bukti klinis atau biokimia yang tidak
dapat dijelaskan tentang hiperandrogenisme, bukti oligo-anovulasi, dan
morfologi ovarium polikistik (Rosenfield and Ehrmann, 2016).
2.2 Epidemiologi
5
ini bergantung pada populasi yang diteliti, prevalensi tertinggi yang pernah
dilaporkan adalah 26% (Andon dkk, 2013). Meskipun masih diperdebatkan
konsensus mana yang digunakan untuk menegakkan diagnosis PCOS, namun
angka kejadiannya dipastikan meningkat dari waktu ke waktu (Richard, 2013).
Untuk Indonesia, belum ada data resmi yang menunjukkan jumlah
penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) karena tidak adanya kejelasan
dalam pelaporan dan pencacatan kasusnya. Namun, sebagai gambaran
beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia salah satunya yang dilakukan
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terdapat sekitar 79 orang penderita PCOS
dengan frekuensi usia terbanyak antara 25-44 tahun serta frekuensi diagnosis
tertinggi pada gangguan menstruasi dan terdapatnya ovarium polikistik (Putra,
2019). Penelitian lainnya yang dilakukan di salah satu praktik swasta di Kota
Lampung terdapat 78,8% penderita PCOS dari 316 subjek yang diteliti, dan
paling banyak ditemukan pada usia 24-27 tahun (Mareta, 2018).
2.3 Etiologi
Penyebab Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) hingga saat ini masih belum
diketahui sepenuhnya. Berbagai sumber menjelaskan bahwa PCOS terjadi
akibat interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan
berkembangnya teknologi, fokus penelitian untuk mencari penyebab PCOS
terus berubah, dari faktor ovarium, poros hipotalamus-hipofisis-ovarium,
hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam
mengatur fungsi ovarium (Richard, 2013).
6
Gambar 2.1. Etiologi dan Faktor yang mempengaruhi PCOS
7
2.4 Patofisiologi
8
yang mengganggu pemilihan folikel dominan. Ini menghasilkan perubahan
histopatologis dan anatomi kasar PCOS klasik yang merupakan PCOM. PCOS
diabadikan oleh peningkatan LH, tetapi bukan disebabkan olehnya. Kelebihan LH
sering terjadi dan diperlukan untuk ekspresi enzim steroidogenik gonad dan
sekresi hormon seks tetapi lebih kecil kemungkinannya menjadi penyebab utama
kelebihan androgen ovarium karena desensitisasi sel teka yang diinduksi LH.
Sekitar setengah dari pasien dengan hiperandrogenisme ovarium
fungsional memiliki tingkat hiperinsulinisme resisten insulin yang abnormal, yang
bekerja pada sel teka, meningkatkan steroidogenesis dan sel granulosa luteinisasi
prematur, dan merangsang akumulasi lemak. Hiperandrogenemia memicu
kelebihan LH, yang kemudian bekerja pada siklus bertahan teka dan granulosa
luteinisasi.
Disregulasi hormon ovarium mengubah pelepasan pulsatile gonadotropin-
releasing hormone (GnRH), berpotensi menyebabkan peningkatan relatif dalam
biosintesis dan sekresi LH dibandingkan hormon perangsang folikel (FSH). LH
merangsang produksi androgen ovarium, sedangkan penurunan relatif FSH
mencegah stimulasi aktivitas aromatase yang memadai di dalam sel granulosa,
menurunkan konversi androgen menjadi estrogen estradiol yang kuat. Ini menjadi
pola hormonal nonsiklik yang mengabadikan diri sendiri.
Peningkatan serum androgen diubah di perifer menjadi estrogen, sebagian
besar estron. Karena konversi terjadi terutama pada sel stroma jaringan adiposa,
produksi estrogen akan meningkat pada pasien PCOS yang obesitas. Konversi ini
menghasilkan umpan balik kronis di hipotalamus dan kelenjar hipofisis, berbeda
dengan fluktuasi normal umpan balik yang diamati dengan adanya folikel yang
tumbuh dan tingkat estradiol yang berubah dengan cepat. Stimulasi estrogen yang
tidak dilawan pada endometrium dapat menyebabkan hiperplasia endometrium.
9
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), ini diakibatkan produksi
berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60-80%
pasien dengan PCOS memiliki konsentrasi Testosteron yang tinggi
di sirkulasi. Androgen yang meningkat pada PCOS mencakup
Testosteron, androstenedion, dehidroepiandosteron (DHEA),
dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen
ovarium disebabkan oleh peningkatan stimulasi bioaktivasi LH
oleh insulin (Andon dkk, 2013).
Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in
vitro, ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah
besar pada keadaan basal maupun terhadap stimulasi LH. Belum
diketahui penyebab pasti hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan
terdapat gangguan jalur sinyal intrasel (Richard, 2013).
10
2.4.2 Gangguan Folikulogenesis
11
Folikel yang berlebih pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
berhenti berkembang ketika diameternya kurang dari 10 mm, yaitu
pada tahap sebelum munculnya folikel dominan. Berhentinya
perkembangan folikel (follicular arrest) ini berhubungan dengan
stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan,
lingkungan hiperandrogen, yang menyebakan tingginya
konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP
intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal
sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini
menyebabkan sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk
mensekresikan estrogen dan progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8
mm (Andon dkk, 2013).
Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang
ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dengan hiperinsulinemia. Sel
granulosa pada PCOS menunjukkan adanya resistensi insulin
selektif dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa,
tetapi tidak pada jalur steroidogenesis. Gangguan metabolisme
glukosa ini juga tampak berhubungan dengan anovulasi pada
PCOS (Andon dkk, 2013).
Pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) yang berovulasi, hanya
terjadi hipersekresi androgen oleh folikel sedangkan PCOS
anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen
dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut
memberikan umpan balik negatif terhadap FSH (Andon dkk,
2013).
13
dan ovarium) (Andon dkk, 2013). Resistensi insulin dan
hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya hiperandrogenisme
dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara (Richard, 2013):
a. Menurunkan kadar Sex-Hormon Binding Globulin (SHBG)
sehingga meningkatkan biovailabilitas Testosteron
b. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan
kelenjar suprarenal.
c. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis
untuk meningkatkan produksi androgen.
d. Sekitar 10-65% perempuan dengan PCOS mengalami kegemukan
dan obesitas sentral yang berdampak pada metabolisme insulin.
Akan tetapi, resitensi insulin bukan merupakan gambaran umum
dari PCOS. Berdasarkan data RSCM, 75% pasien dengan PCOS
mengalami resistensi insulin dengan rata-rata indeks massa tubuh
(IMT) mencapai 28,6 kg/m2 (Richard, 2013).
14
2.5.2 Abortus
15
pertumbuhan dimungkinkan mempengaruhi distribusi lemak dan
aktivitas insulin (Santoso, 2014).
Kriteria diagnosis untuk sindroma metabolik pada wanita yang
menderita PCOS telah diimplementasikan baru-baru ini. Definisi tersebut
mencakup tiga dari lima kriteria berikut: obesitas sentral,
hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah, tekanan darah yang
meningkat, dan hiperglikemia (ESHRE Consensus 2011) (Santoso, 2014).
2.6.3 Keganasan
16
progesteron (unopposed estrogen). Keadaan ini bisa disebabkan estrogen
endogen maupun eksogen. Estrogen endogen banyak disebabkan anovulasi
kronik seperti PCOS atau perimenopause. Obesitas berperan pada paparan
unopposed estrogen karena kadar estrogen yang tinggi secara kronik,
berasal dari aromatisasi androgen pada jaringan lemak dan konversi
androstenedion menjadi estron (Santoso, 2014).
1. Terdapat jerawat
17
3. Kerontokan rambut Kerontokan rambut ini, dialami oleh 10%
wanita penderita PCOS. Biasanya mereka akan mengalami
kerontokan rambut secara berlebih.
18
2.7.2. Pemeriksaan fisik
19
b. Tanda-tanda hiperandrogenism: kebotakan (alopecia androgenik),
jerawat (akne)
c. Tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal,
akantosis nigrikans: penanda dermatologis akibat resistensi insulin
dan hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan warna kulit
menjadi abu-abu kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti veruka
pada leher, selangkangan dan aksila).
d. Pada pemeriksaan bimanual dapat ditemukan ovarium yang
membesar atau dapat juga tidak teraba.
20
Gambar 2.6 Gambaran USG PCOS
Sumber: Robert,
b. Laboratorium 2014
21
TSH 0,5-4,5 μU/mL(0,5-4,5 mU/L) Menyingkirkan
gangguan tiroid
22
Prolaktin < 24 ng/mL Menyingkirkan
hiperprolaktinemia
Testosteron 250 – 1100 ng/dL Menyingkirkan tumor
(total) yang menghasilkan
androgen
Testosteron 20-30 tahun: 0,06-2,57 pg/mL Menegakkan
(bebas) (0,20-8,90 pmol/L) diagnosis atau
40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL (1,40- monitoring terapi
7,00 pmol/L)
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 μmol/L) Menyingkirkan tumor
yang menghasilkan
androgen
Androstenedi 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 nmol/L) Menegakkan diagnosis
one
Insulin puasa 3.2 – 28.5 Menentukan adanya
hiperinsulinemia
Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan DM
mmol/L) tipe 2 atau intoleransi
glukosa
Rasio glukosa ≥ 4,5 Menentukan adanya
puasa:insulin
resitensi insulin
Kolesterol 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan
(total) gaya hidup
Kolesterol 35-85 mg/dL (0,9-2,2 mmol/L) Monitor perubahan
HDL gaya hidup
Kolesterol 80-130 mg/dL (2,1-3,4 mmol/L) Monitor perubahan
LDL gaya hidup
Biopsi Tidak ada tanda hiperplasia atau Menyingkirkan
endometrium keganasan keganasan atau
hiperplasia
Diagnosis PCOS ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain
23
oligomenorea atau hiperandrogenisme.
Sumber: Norwitz, 2012
24
Saat ini, kriteria diagnosis PCOS yang digunakan secara luas adalah
kriteria Rotterdam 2003 (Andon dkk, 2013). Kriteria Rotterdam :
1. Oligo atau anovulasi
25
Sumber: Ehrmann DA, 1995
26
2.8 Penatalaksanaan Awal
27
2.9 Penatalaksanaan Farmakologi
2.9.2.1 Antiestrogen
28
2.9.2.2 Antidiabetes
dengan anovulasi WHO kelas 2 yang resisten terhadap klomifen sitrat atau
didapatkan dengan lapisan endometrium yang tipis dikarenakan
berkurangnya reseptor estrogen akibat terapi klomifen sitrat, mendapatkan
manfaat dari pemberian aromatase inhibitor (Robert, 2014). Aromatase
inhibitor telah dipelajari untuk menginduksi ovulasi pada PCOS dimana
secara fungsional menekan produksi estrogen melalui stimulasi aksis
hipotalamus-pituitari yang berimplikasi meningkatkan gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) and follicle stimulating hormone (FSH)
(Londonkar et al, 2018).
Pengunaan letrozole sekarang ini sudah dapat dijadikan sebagai terapi
lini pertama dalam induksi ovulasi, khususnya pada pasien PCOS yang
resisten terhadap klomifen sitrat. Letrozole sangat memiliki angka
kehamilan yang setara dengan injeksi gonadotropin dengan biaya dan efek
samping yang lebih sedikit (Nayereh et al, 2015). Serta keuntungannya
yang tidak memilik efek anti estrogenik negatif pada endometrium dan
lendir serviks, sehingga lebih rendah risiko terjadinya OHSS (Ovarian
Hyperstimulation Syndrome), dan lebih sedikit membutuhkan monitoring
(Nayereh et al, 2015). Pada pasien dengan kanker payudara, maka induksi
ovulasi/ stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat tentu bukanlah pilihan
30
yang baik akibar kadar estradiol yang meningkat lebih tinggi setelah
pemberian klomifen sitrat. Pilihan pada pasien kanker payudara tentunya
adalah aromatase inhibitor (Nayereh et al, 2015; Londonkar et al, 2018).
Dosis yang biasa digunakan untuk Letrozole adalah 2,5 dan 5 mg,
dosis yang lebih tinggi dari 5 mg per hari selama 5 hari dapat
mengakibatkan resisten aromatase inhibitor, diikuti rendahnya kadar
estrogen untuk pertumbuhan endometrium pada saat ovulasi. Dosis yang
disarankan pada beberapa penelitian adalah dosis tunggal 20 mg diberikan
pada hari ke-3 siklus menstruasi, perpanjangan dosis 2,5 atau 5 mg hingga
7-10 hari, dan peningkatan dosis berjenjang dimulai 2,5 mg pada hari ke-3
hingga 10 mg pada hari ke-6 (Nayereh et al, 2015).
2.9.2.5 Anti-Androgen
2.9.2.6 Gonadotropin
32
ovulasi dan memaksimalkan perkembangan folikel. Berbeda dengan
clomiphene, terapi gonadotropin tidak mencetuskan antiestrogenik perifer
sehingga meningkatkan kemungkinan pematangan folikel yang multipel,
meningkatkan kejadian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan
multipel dibandingkan clomiphene, sehingga perlu diawasi pemberiannya
yang dimulai dari dosis rendah yaitu 3,75-7,5 IU/hari. Evaluasi dilakukan
33
Komplikasi yang bersifat akut jarang sekali terjadi pada pembedahan.
Dari 778 kasus laparoskopi ovarium, ditemukan dua kasus dengan
pendarahan yang membutuhkan laparotmi dan satu kasus dengan perforasi
usus. Efek samping jangka panjang yang dapat ditemukan adalah
34
perlengketan dengan organ obdomen dan menopause dini,
terutama bila dilakukan jumlah tusukan yang banyak (Ziba et al, 2015).
35
BAB III
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
5. Anat, H.K., Robert, F.C., 2015. The use of aromatase inhibitors for ovulation
induction. Fertilty, in-vitro fertilization and reproductive genetics. Wolters
Kluwer Health, Ontario, Canada. P 1-4.
37
8. Ali B. Sindrom ovarian polikistik dan penggunaan GnRH. Divisi Imuno
endokrinologi, Departemen Ginekologi dan Obstetric, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia [internet]. 2012:39(8). Tersedia dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium%20Polikis
tik%20dan%20Penggunaan%20Analog%20GnRH.pdf .
10. Bulent, O.Y., Ricardo, A. 2010. Polycystic Ovary Syndrome and Ovulation
Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen Disorder in Women :
Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder, 2nd Edition. Azziz, R., et al.
Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389- 404.
38
11. Crasto W, Rao P. 2014. The effect of metformin on reproduction–A short
review. J Endocrinol. Diabetes Obesity ;2(2):1038.
12. Dimitrios, P., et al. 2013. Infertilty treatment in Polycystic Ovary Syndrome :
Lifestyle intervention, medication and surgery. Polycystic syndrome, Novel
Insight into Causes and Therapy. Horn Res. Basel, Karger, vol 40, p 128-141.
14. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan
PCOS. Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/healthsciences/pendekatan-
medisinalis-dan-bedah-pada-penanganan-PCOS/mrdetail/914/
15. Ehrmann DA, Barnes RB, Rosenfield RL. 1995. Polycystic ovary syndrome
as a form of functional ovarian hyperandrogenism due to dysregulation of
androgen secretion. Endocr Rev. 1995;16:322-53.
16. Fitria saptarina, Indrani Nur. 2016. Pengaruh Sindrom Polikistik Ovarium
terhadap Peningkatan Faktor Risiko Infertilitas. Universitas Lampung
(UNILA). 5(2): 43-48
17. Farzana, A., Nesreen, A., Hafeez, H. 2015. Frequency and outcome of
treatment in polycystic ovaries related infertility. Pak Journal Medicine
Science. (serial online), Tersedia dari URL:
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.313.8003.
18. Fritz, M.A, Speroff, L. 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic Ovary
Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th Edition.
39
Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529.
19. Giovanni M. 2016. Induksi Ovulasi Pada Pasien Sindroma Ovarii Polikistik.
Denpasar. Sari pustaka, Fakultas kedokteran universitas udayana.
20. Guang Hui-jan, Li Feng. 2018. Letrozole for all patients with polycystic
ovarian syndrome: A retrospective study. Medicine 2018;97:44(e13038).
21. Hayek ES, Bitar L, Hamdar LH, Mirza FG, Daoud G. 2016. Polycystic
ovarian syndrome: Update overview. Front Physiol. 2016;7:124.
22. Irani M, Merhi Z. Role of vitamin D in ovarian physiology and its implication
in reproduction: a systematic review.
40
23. Jeffrey R.C. 2014. Polycystic Ovary Syndrome and Hyperandrogenic States.
Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 7th
Edition.Elsevier Sandera P 485- 511.
24. Jennifer, F.K., Tammy, L.L, Sarah, L.B. 2010. An algorithm for treatment of
infertile women with polycystic ovary syndrome. Middle East Fertility Society
Journal. (serial online). Tersedia dari URL: www.mefsjournal.com.
25. Joham AE, Teede HJ, Ranasinha S, et al. 2015. Prevalence of Infertility and
Use of Fertility Treatment in Women with Polycystic Ovary Syndrome: Data
from A Large Community-based Cohort Study. J Womens Health (Larchmt).
24(4):299-307. doi: 10.1089/jwh.2014.5000.
26. Johnny, A., et al. 2013. Guideline for the use of Insulin Sensitizing Drugs in
the management of PCOS-associated Infertilty. Clinical Practice Guidelines
Middle East Fertility Society.
28. Lee Tony T, Rausch Mary E. 2012. Polycystic ovarian syndrome: Role of
imaging in diagnosis. RadioGraphics J. 2012;32:1643–57.
29. Londonkar RL, Hugar AL, Kanjikar AP. 2018. Polycystic ovary syndrome
(PCOS)-A mini review. J Gynecol. 2018;2(1):000148.
41
31. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic
Ovarian Syndrome. Dari URL:
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm
32. Mareta R., Rizani Amran, Veny Larasati. 2018. Hubungan Polycystic Ovary
Syndrome(PCOS)dengan Infertilitas di Praktik Swasta Dokter
ObstetriGinekologi Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, Th. 50
Nomor 2
33. Mascarenhas MN, Flaxman SR, Boerma T, et al. 2012. National, Regional,
and Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: A Systematic
Analysis of 277 Health Surveys. PLoS Med. 9(12):e1001356.
doi:10.1371/journal.pmed.1001356.
42
34. Missmer SA, Mary EA, Robert LB, Marlene BG. 2013. Infertility: Women
and Health. 2nd Edition chapter 17
35. Mohamed, N.E.G., Amal, E.M., Manal, A.F., 2015. Comparison of Letrozole
Versus Tamoxifen Effects in Clomiphene Citrate Resistant women with
Polycystic Ovarian Syndrome. J Reprod Infertil. (serial online), Tersedia dari
URL: http://www.jri.lir.
36. Nayereh, G., Ashraf, K., Nezhat, M., 2015. A Randomized Clinical Trial on
Comparing The Cycle Characteristics of Two Different Initiation Days of
Letrozole Treatment in Clomiphene Citrate Resistant PCOS Patient in IUI
Cycle. International Journal of Fertility and Sterility. Vol 9, No.1. p 17-28.
37. Nusrattudin, A., 2009. Insulin Sensitizing Agents. Aplikasi klinis Induksi
Ovulasi dan Stimulasi Ovarium. Himpunan Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H.,
Hendy, H., Sagung Seto, Jakarta. P 65-81
38. Norwitz, Errol, Schorge, John. At Glance: Obstetrik dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Erlangga medical series (EMS); 2012. p: 74-8
39. Putra, Dhiva Dwi. 2019. Profil Sindroma Ovarium Polikistik di RS Soetomo
Surabaya Periode Januari 2013- Desemer 2018. Tersedia dari URL:
http://repository.unair.ac.id/93541/2/2.%20.pdf
41. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
43
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s.
42. Robert, L.B. 2014. Female Infertility. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s
Reproductive Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P 485- 520-531.
44. Sirmans SM, Pate KA. 2014. Epidemiology, Diagnosis, and Management of
Polycystic Ovary Syndrome. Clinical Epidemiology. 6:1-13.
doi:10.2147/CLEP.S37559.
44
45. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S. 2014. Metformin and gonadotropins
for ovulation induction in patiens with polycystic ovary syndrome : a
systematic review with meta-analysis of randomized controlled trials.
Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial online), Tersedia dari URL:
http://www.rbej.com/content/12/1/3.
46. Triwani. 2013. Faktor Genetik Sebagai Salah Satu Penyebab Infertilitas Pria.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
48. Ziba, Z.S., et al. 2015. Comparison between Unilateral nd Bilateral Ovarian
Drilling in Clomiphene Citrate Resistance Polycystic Ovary Syndrome
Patients : A Randomized Clinical Trial of Efficacy. Royal Institute
International Journal of Fertility and Sterility Vol.9, No.1. P 1-16.
45