Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

SMF ILMU KEDOKTERAN OBSTETRIK & GINEKOLOGI

“ANOVULASI”

Pembimbing :

dr. Nanang Rudianto Widodo, Sp.OG (K)

Oleh :

Mergerizka Amiko Kapindo

20710046

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN OBSTETRIK &


GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA

RSUD KABUPATEN SIDOARJO

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

KehendakNya saya dapat menyelesaikan referat dengan judul “ANOVULASI”.

Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas sebagai Dokter Muda di SMF OBGYN

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo. Penulis sadar masih banyak

kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya.

Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada dr. Nanang Rudianto Widodo, Sp.OG (K) selaku pembimbing yang telah

memberikan masukan yang berguna dalam proses penyusunan referat ini. Tidak lupa

penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut membantu

dalam upaya penyelesaian referat ini.

Akhir kata penulis berharap sekiranya referat ini dapat menjadi masukan yang

berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait

dengan masalah kesehatan pada umumnya khususnya tentang masalah kesehatan

kandungan.

Sidoarjo, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................ ii
Daftar Tabel....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Ovulasi ........................................................................................ 3
2.2 Klasifikasi Gangguan Ovulasi ...................................................................... 4
2.3 WHO Kelompok I ........................................................................................ 5
2.3.1 Functional Hypothalamic Amenorrhea ............................................... 6
2.4 WHO Kelompok II ...................................................................................... 11
2.4.1 Sindrom Ovarium Polikistik ............................................................... 12
2.5 WHO Kelompok III ..................................................................................... 18
2.5.1 Premature Ovarian Failure ................................................................. 18
2.6 WHO Kelompok IV ..................................................................................... 21
2.6.1 Hiperprolaktinemia............................................................................. 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 28

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Ovulasi ............................................... 5

Tabel 2.2 Klasifikasi Amenore ............................................................. 9

Tabel 2.3 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup I ................................. 10

Tabel 2.4 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup II ................................. 17

Tabel 2.5 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup III ................................ 20

Tabel 2.6 Manifestasi Klinis Hiperprolaktinemia................................... 22

Tabel 2.7 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup IV ................................ 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ovulasi merupakan suatu proses pengeluaran materi genetik dari maternal

(ibu) pada oosit sehingga dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Siklus

menstruasi secara regular merupakan manifestasi dari aktifitas siklikal ovarium

yang disertai dengan proses ovulasi. Regularitas dari siklus menstruasi berlangsung

dari interaksi antara Hipotalamus, Anterior Pituitary, dan Ovarium (HPO-aksis).

Permasalahan pada HPO-aksis memberikan efek gangguan pada ovulasi

yang akan berakibat infertilitas serta gangguan siklus menstruasi. Infertilitas

diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai kehamilan setelah 12 bulan

berhubungan. Penyebab dari infertilitas dapat karena faktor pria, gangguan ovulasi

(anovulasi), abnormalitas dari uterus atau kemandulan. 11

Sekitar 18-25% dari pasangan yang memiliki permasalahan kehamilan,

gangguan ovulasi merupakan faktor utama. Anovulasi merupakan suatu kondisi

tidak terjadinya ovulasi pada wanita. Anovulasi dapat terjadi karena

ketidakseimbangan hormonal seperti adanya hambatan pada sekresi hormon FSH

dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi. Pasien dengan masalah

kelainan ovulasi lebih sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi.

Kebanyakan dari beberapa wanita mengeluhkan oligomennorhea yang diartikan

sebagai menstruasi dengan interval siklus 35 hari.1

1
2

Dapat dikatakan siklus menstruasi abnormal bila siklusnya memendek

(kurang dari 24 hari), memanjang (lebih dari 36 hari), atau normal namun dengan

fase luteal yang pendek, atau tidak terjadinya menstruasi. Jika seorang wanita

mengalami tiga atau lebih siklus abnormal dalam satu tahun atau dua siklus

abnormal berturut-turut, sebaiknya segera berkonsultasi untuk dilakukan

pemeriksaan.

Normalnya, proses ovulasi terjadi sekitar hari ke-14 dari siklus mensturasi

dan sekitar 300 hingga 500 telur matang akan dilepaskan selama ovulasi. Ovulasi

yang terjadi teratur setiap bulan akan menghasilkan siklus haid yang teratur pula,

sedangkan siklus anovulasi adalah siklus haid tanpa diikuti ovulasi sebelumnya.

Prevalensi siklus anovulasi paling sering didapatkan pada perempuan usia di bawah

20 tahun dan di atas usia 40 tahun. 8,12

Pemantauan siklus ovulasi sebaiknya dimulai sejak masa pubertas dan

remaja terutama pada wanita yang mengalami menarke di usia dini atau wanita

yang mengalami menarkenya tertunda, karena hal ini erat kaitannya dengan

kelainan endokrin. Pasien dengan gangguan ovulasi penting untuk dilakukan

analisis dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat

serta membagi dalam kategori gangguan ovulasi berdasarkan penemuan yang

didapatkan.2,11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Ovulasi

Wanita dengan gangguan ovulasi datang dengan oligomenorea atau

amenorea. Oleh sebab itu penting ditanyakan secara detail mengenai pola

menstruasi seperti siklus, regularitas, dan hari terakhir menstruasi (menyingkirkan

terlebih dahulu kehamilan). Selain gejala menstruasi perlu juga ditanyakan

mengenai gejala lain yang bersangkutan. Gejala hiperprolaktinemia seperti

galaktorea, nyeri kepala, serta gangguan penglihatan (efek penekanan masa

prolaktinoma). Tanda dan gejala hiperandrogenisme pada penyakit sindrom

ovarium poli kistik (SOPK) seperti hirsutisme, jerawat, dan pola alopesia atau

kebotakan seperti pada laki-laki umumnya. Perubahan berat badan secara drastis,

diet, stress, dan pola aktifitas serta pertumbuhan sekunder.

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk evaluasi; abnormalitas

kromosomal/kelainan genetic (anosmia, retardasi mental, facial dysmorphia),

pertumbuhan seks sekunder, indeks massa tubuh, tanda dari hiperandrogenisme,

galaktorea, serta abnormalitas pada pertumbuhan genital.

Pemeriksaan penunjang dilakukan tes serum progesterone untuk menilai

status ovulasi (>30nmol/l) pada pertengahan fase luteal. Serum progesterone baik

diambil sekitar 7 hari sebelum periode menstruasi berikutnya. Perhitungan suhu

basal tubuh dan pemeriksaan LH lewat urin tidak direkomendasikan untuk

menentukan ovulasi karena dapat menunjukkan hasil dengan variasi yang besar.

3
4

Pada kasus oligomenorea, pemeriksaan dasar pertama yaitu kadar FSH dan

prolactin. Pada kasus curiga hiperandrogenisme, dibutuhkan tes kadar androgen

(testosterone). Kriteria Rotterdam pada kasus PCOS, ultrasonografi dibutuhkan

untuk kepentingan diagnostik. 2,6,16

2.2 Klasifikasi Gangguan Ovulasi

World Health Organization membagi gangguan ovulasi menjadi 4 kategori

kelompok:2

1. WHO Kelompok I (Hipogonadotropic-hipogonadism)

• Amenorea Hipotalamik Fungsional

2. WHO Kelompok II (Normogonadotropic-normogonadism)

• Sindrom Ovarium Polikistik

3. WHO Kelompok III (Hipergonadotropic-hipogonadism)

• Premature Ovarian Failure

4. WHO Kelompok IV (Hiperprolaktinemia)


5

Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Ovulasi menurut WHO6

2.3 WHO Kelompok I (Hipogonadotropic-hipogonadism)

Gangguan ovulasi WHO Kelompok I dikenal juga sebagai

Hipogonadotropic-hipogonadism, yang disebabkan kegagalan dari hipotalamus-

hipofisis. Kelainan ini terjadi sekitar 10% dari seluruh kelainan ovulasi. Wanita

dengan kondisi tersebut memiliki manifestasi klinis amenorea (primer atau

sekunder) atau sering disebut juga Hypothalamic Amenorrhea yang ditandai

dengan rendahnya hormone gonadotropin disertai defisiensi estrogen.

Hipogonadotropic-hipogonadism dapat terjadi karena faktor kongenital seperti


6

pada kasus Sindroma Kallmann. Hypothalamic Amenorrhea lebih sering

disebabkan oleh karena berat tubuh yang rendah atau aktifitas olahraga yang

berlebihan atau disebut juga Functional Hypothalamic Amenorrhea (FHA).2,5

2.3.1. Functional Hypothalamic Amenorrhea (FHA)

Functional Hypothalamic Amenorrhea (FHA) merupakan kelainan

non-organik yang bersifat reversible dimana gangguan ini diklasifikasikan

sebagai hipogonadotropic-hipogonadism yang berhubungan dengan kelainan

pada sekresi pulsasi dari Gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari

hipotalamus. Sebaliknya, terdapat kelainan sekresi GnRH di hipotalamus,

sehingga sekresi hormon gonadotropin menurun.

Hal tersebut mengakibatkan tidak terbentuknya folikel di ovarium

sehingga estrogen tidak diproduksi. Gangguan axis Hipotalamus-Pituitari-

Ovarium (HPO-axis) pada kasus FHA berhubungan dengan stress, penurunan

berat badan secara signifikan, dan/atau olahraga berlebihan terutama pada atlet.

FHA merupakan kasus yang paling sering menyebabkan amenorea sekunder.5

a. Epidemiologi

Amenorea sekunder adalah kondisi seorang wanita yang tidak

mengalami menstruasi selama 3 bulan setelah menstruasi terakhirnya.

Sejumlah 3-5% wanita dewasa yang mengalami amenore sekunder dan 20-

35%-nya merupakan FHA. Hanya 3% kasus FHA dengan amenore primer.

Angka insidensi tertinggi pada wanita dengan profesi atlet.5


7

b. Manifestasi Klinis

• Tulang

Kesehatan tulang penting dalam evaluasi pasien dengan

hipoestrogen, karena kebanyakan wanita dengan FHA memiliki

kepadatan tulang yang tidak baik mengingat estrogen merupakan

hormone utama pada wanita muda dalam metabolism tulang.

Fungsi estrogen dalam metabolisme tulang:

− Aktivasi remodelling tulang

− Supresi dari resorpsi tulang oleh osteoclast

− Stimulasi dari formulasi tulang

Berhubungan dengan hal tersebut, International Society for

Clinical Densitometry, kondisi amenore yang disebabkan karena

hipoestrogen yang bertahan lebih dari 6 bulan merupakan indikasi untuk

dilakukan Densitometri (DEXA) pada kolum spinalis. Hal tersebut

merupakan aspek klinis yang penting karena wanita khususnya usia

muda dengan FHA, gangguan HPO-axis merupakan hal utama yang

berpengaruh terhadap Densitas kepadatan tulang (BMD) pada wanita

usia muda. Oleh sebab itu terutama pada wanita atlet dengan amenore

merupakan risiko besar dalam terjadinya stress fraktur dan kerapuhan

sistem skeletal.7,14
8

• Kardiovaskular

Kondisi hiperestrogen berpengaruh terhadap kesehatan

kardiovaskuler. Pembuluh darah koroner dan perifer memiliki reseptor

estrogen, sehingga estrogen mempunyai peran dalam regulasi fungsi

vaskuler. Estrogen mengeksitasi sintesis dari Nitric Oxide (NO) yang

berpengaruh dalam vasodilatasi pembuluh darah. Estrogen memiliki

efek kardioprotektif terhadap endotel, miokardium, dan fungsi vaskuler.

Secara tidak langsung, kondisi hiperestrogen dapat menyebabkan

gangguan/disfungsi endotel serta terganggunya aktifitas dari NO,

gangguan fungsi otonom, serta aktifasi dari system renin-angiotensin,

dan perubahan profil lipid.4

c. Diagnosis Banding

FHA perlu dibedakan dengan kemungkinan penyakit lainnya yang

memiliki keluhan amenore primer atau sekunder. Pendekatan dasar yang

dilakukan untuk membedakan yaitu dengan dilakukan tes kadar gonadotropin

dan hormone gonad (estrogen dan progesteron). Jika hasil analisis didapatkan

hipogonadotropic-hipogonadism, maka perlu dilakukan tes stimulasi GnRH,

dimana pada kasus FHA memberikan respon positif terhadap tes tersebut.

Hal tersebut dapat membedakan kelainan berada pada hipotalamus atau

pada hipofisis/pituitary yang juga memberikan gambaran hipogonadisme

(defisiensi estrogen). Jika kelainan amenore sudah dipastikan terdapat di


9

hipotalamus, penting untuk dibedakan apakah merupakan kelainan genetik

atau kelainan organik.5,17

Kelainan Amenore
Faktor Genetik Faktor Organik
• Sindroma Kallman: • Neoplasma
anosmia, mutase spesifik • Sarcoidosis
• Sindroma Prader-Willi: • Tuberculosis
hiperorxia, obesitas, • Parasitoid
retardasi mental • Lesi infiltrasi lainnya
• Idiopatik hipogonadotropic-
hipogonadism

Tabel 2.2 Klasifikasi Amenore berdasar penyebab

Untuk menyingkirkan kemungkinan faktor organik diperlukan

evaluasi pemeriksaan imaging.

d. Tatalaksana

Memberikan saran dan pengertian kepada wanita dengan gangguan

ovulasi jenis ini bahwa mereka dapat meningkatkan kemungkinan berovulasi

secara regular, terjadi konsepsi, dan menjalani kehamilan tanpa komplikasi

dengan cara:5

• Meningkatkan berat badan jika memiliki indeks massa tubuh di bawah 19

dan/atau

• Membatasi kegiatan olahraga jika mereka berolahraga berlebihan atau

seorang atlet

Memberikan pilihan untuk memakai pulsatile GnRH atau

gonadotropin dengan Lutenizing Hormone untuk menginduksi ovulasi.


10

Stimulasi rFSH + rLH dapat diulang sampai 2 siklus dengan dosis dinaikkan bertahap

Bila tidak terjadi kehamilan setelah 3 siklus, berikan penjelasan pada pasien terkait

prognosis fertilitasnya

Tabel 2.3 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup I 6


11

2.4 WHO Kelompok II (Normogonadotropic-normogonadism)

Sekitar 85% wanita dengan gangguan ovulasi merupakan

Normogonadotropic-normogonadism anovulation. Sekitar 30% wanita dengan

amenore sekunder memiliki kadar konsentrasi hormon gonadotropin yang normal.

Analisis secara teliti akan didapatkan suatu abnormalitas mengenai pola sekresi

LH pada kelompok ini dimana didapatkan kegagalan dalam LH surge. Wanita

dengan kondisi tersebut lebih banyak datang dengan gangguan pola menstruasi

yang ireguler dibandingkan dengan amenore sekunder.

Pembentukan dan perkembangan sel folikel serta produksi estrogen terus

berlanjut hingga satu titik tertahan dan tidak dapat mencapai kematangan folikel.

Walaupun tidak terjadi ovulasi pada kondisi tersebut, namun tidak ada defisiensi

estrogen. Hal tersebut menyebabkan tidak diproduksinya progesterone oleh korpus

luteum akibat tidak terjadinya ovulasi. Paparan oleh estrogen yang tidak diikuti

dengan peningkatan progesterone, akan menyebabkan hyperplasia endometrium.

Pola sekresi LH dan FSH yang abnormal dapat diperbaiki pada beberapa

wanita dengan pemberian hormone progesterone atau dengan cara menginduksi

ovulasi. Prostaglandin dan progesterone merupakan factor penting yang penting

untuk mencapai ovulasi yang berperan untuk membuat dinding folikel rupture.

Pemakaian obat-obatan yang menginhibisi sintesis prostaglandin (NSAID) juga

dapat berpengaruh dalam proses ovulasi.2,15


12

2.4.1. Sindrom Ovarium Polikistik

Sindrom ovarium polikistik atau PCOS merupakan kelainan ovulasi

yang paling sering ditemukan pada kelompok Normogonadotropik-

normogonadisme. Manifestasi klinis dari PCOS:

• Oligo atau amenorea

• Infertilitas

• Obesitas

• Hiperandrogenisme

Resistensi insulin memainkan peran penting sebagai pathogenesis dari

penyakit ini. Pada PCOS, pemeriksaan USG ovarium menggambarkan

tampakan karakteristik folikel-folikel anrum (>12 folikel) kecil dan banyak.

a. Epidemiologi

PCOS merupakan kelainan pada sistem endokrin wanita yang paling

sering dijumpai, melibatkan 5-10% pada wanita dengan usia reproduksi.

Walaupun ovarium polikistik dapat ditemukan dalam 20% populasi wanita,

hal ini tidak harus menimbulkan gejala klinik seperti PCOS, namun dalam

perjalanannya akan menimbulkan gejala klinik jika terprovokasi oleh

kenaikan berat badan atau resisten terhadap insulin seperti pada diabetes

mellitus.15
13

b. Etiologi

Sampai saat ini etiologi atau penyebab masih belum diketahui.

Namun beberapa studi mengatakan adanya keterlibatan faktor genetik.

Walaupun sebagian besar kasus ditransmisikan secara genetik akan tetapi

faktor lingkungan juga dapat terlibat karena pada PCOS didapatkan adanya

paparan androgen yang berlebihan pada saat tertentu dalam masa reproduktif.
3,15

c. Patofisiologi

Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi dari PCOS,

yaitu:3,15

1. Morfologi abnormal pada ovarium

Kurang lebih 6-8 kali lebih banyak folikel pre-antral pada ovarium

polikistik dibandingkan dengan ovarium normal. Folikel-folikel pre-antral

tersebut tertahan pertumbuhannya pada ukuran 2-9 mm.

2. Produksi androgen ovarium yang berlebihan

Pada wanita dengan PCOS, kadar hormone androgen di ovarium

meningkat akibat kontribusi dari folikel yang tidak mengalami pematangan

dan ovulasi. Sel techa di ovarium akan mempertahankan fungisnya dalam

menghasilkan hormone androgen. Peningkatan sekresi androgen, diikuti

dengan peningkatan aktifitas dari enzim yang berhubungan dengan sinstesis

testosterone, seperti 3B-hydroxysteroid dehydrogenase, CYP17, CYP11A.


14

Adrenal hiperandrogenisme merupakan kondisi yang sering pada pasien

PCOS.

3. Hiperinsulinemia

Kondisi ini disebabkan oleh resistensi insulin yang terjadi kurang

lebih pada 80% wanita dengan PCOS dan obesitas sentral dan pada 30-40%

wanita berbadan kurus dengan PCOS. Penelitian secara in vitro

menunjukkan kerja insulin secara sinergis dengan LH untuk stimulasi

sinstesi dari hormone testosterone oleh sel techa di ovarium. Insulin bekerja

bersamaan dengan gonadotropin di ovarium, meningkatkan kerja LH dalam

menginduksi sekresi dan sintesis dari androgen.

Dengan begitu, keadaan hiperinsulinemia secara tidak langsung

menstimulasi perkembangan dari antrum folikel, meningkatkan sensitifitas

sel granulosa terhadap FSH. Oleh sebab itu, terjadi perkembangan kista

folikel menjadi lebih besar dan bertambah jumlahnya. Mekanisme yang

sama terjadi juga di adrenal oleh insulin dengan ACTH dalam sintesis dan

sekresi androgen.

4. Kadar serum LH berlebihan

Sekitar 40-50% dapat ditemukan kadar serum LH yang berlebihan

pada sampel darah wanita dengan PCOS.


15

d. Manifestasi Klinis

PCOS merupakan suatu kumpulan gejala yang beragam disertai

manifestasi laboratorium. Beratnya suatu gejala pada pasien dengan PCOS

bergantung dari factor dari luar seperti obesitas, resistensi terhadap insulin,

serta konsentrasi dari LH.15

Kumpulan dari berbagai gejala:

• Oligo/amenore

• Hiperandrogenisme (hirsutisme, jerawat, alopesia)

• Infertilitas

• Obesitas

e. Kriteria diagnosis

Pada tahun 2003, pertemuan consensus di Rotterdam oleh European

society for human reproduction and embryology/American society for

reproductive medicine (ESHRE/ASRM) menyetujui mengenai kriteria

diagnosis dari PCOS, yaitu memenuhi minimal 2 dari 3 kriteria di bawah

ini:3,15

• Oligoovulasi dan/atau anovulasi: ovulasi yang terjadi kurang dari satu

kali dalam 35 hari.

• Hiperandrogenisme

▪ Tanda klinis: hirsutisme, jerawat, alopesia.


16

▪ Indikator biokimia: konsentrasi testosterone dan

androstenedione serta peningkatan kadar free androgen index

yang diukur dengan membandingkan total testosterone dan sex

hormone binding globulin (SHBG).

• Gambaran USG ovarium dengan polikistik (>12 folikel antrum kecil

dengan ukuran 2-9 mm dan/atau peningkatan volume ovarium > 10 ml).

• Selain kriteria di atas, etiologi lain seperti Cushing Syndrome, androgen

producing tumor dan Congenital adrenal hyperplasia harus disingkirkan.

f. Tatalaksana

Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan

dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen

sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin.

Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan insulin

sensitizer seperti metformin.

Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk

mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6

bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom

hiperstilmulasi, rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada

pasien SOPK dengan IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat

dikombinasi dengan metformin karena diketahui dapat meningkatkan laju

ovulasi dan kehamilan.


17

Tindakan drilling ovarium per-laparaskopi dengan tujuan

menurunkan kadar LH dan androgen adalah suatu tindakan bedah untuk

memicu ovulasi perempuan SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat.

Review sistematik terhadap empat penelitian acak melaporkan bahwa

tidak ada perbedaan bermakna dalam laju kehamilan atau laju keguguran

antara 6-12 bulan pasca tindakan drilling ovarium perlaparaskopi

dibandingkan 3-6 siklus pemicu ovulasi menggunakan gonadotropin pada

perempuan SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat.16

Tabel 2.4 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup II6


18

2.5 WHO Kelompok III (Hipergonadotropic-hipogonadism)

Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan

kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh gangguan ovulasi.

Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi ovarium,

sampai saat ini masih belum ditemukan bukti yang cukup kuat terhadap pilihan

tindakan yang dapat dilakukan.2

2.5.1. Premature Ovarian Failure (POF)

Kegagalan ovarium dini adalah kondisi Ketika wanita di bawah usia 40

tahun telah berhenti menstruasi (amenorea sekunder) atau tidak pernah

menstruasi (amenorea primer) dan memiliki kadar FSH yang tinggi di dalam

darah serta kadar estrogen yang rendah.12

a. Etiologi

Penyebab pada POF sangat beragam. Penyebab yang didapatkan seperti

pada kasus dengan pengobatan kemoterapi atau pada penyakit autoimun. POF

memiliki komponen genetic yang kuat pada abnormalitas kromosom X dan

berperan penting pada kasus POF dengan disgenesis ovarium. Gen pada POF

terletak pada Xq21.3-Xq27 yang mengalami delesi. Gen kedua pada POF terjadi

translokasi pada XQ13.3-q21.1. 12

Penyebab yang berbeda-beda dapat terjadi pada kasus POF:

• Iatrogenic (pembedahan, kemoterapi, radiasi)


19

• Autoimun

• Infeksi (herpes zoster, cytomegalovirus, dll)

• Defek pada kromosom X:

o Sindrom Turner (45X)

o Fragile X syndrome

• Idiopatik

b. Gejala klinis

Gejala klinis dapat bervariasi secara signifikan pada satu pasien dengan

pasien lainnya. Bentuk keparahan pada kasus POF yaitu tidak ada tanda

perkembangan pubertas dan amenore primer. Gambaran klinisnya yaitu tidak

terjadi menarche serta adanya hambatan masa pubertas. Pada perempuan, hambatan

masa pubertas ditandai dengan tidak tumbuhnya payudara disertai rambut pubis

dan menarche pada usia 13 tahun. Sekitar setengah dari kasus amenore primer

karena disgenesis ovarium. Dapat ditemukan gambaran hypoplasia uterus dari

USG.

Amenore sekunder merupakan karakteristik saat onset kegagalan ovarium

setelah pubertas. Sama seperti kasus menopause secara normal, gejala dari POF

yaitu manifestasi dari klimaterium; palpitasi, intoleransi panas, flushes, keringat

malam, iritabilitas, depresi, gangguan tidur, penurunan libido, vagina kering, dan

lemas.
20

Permasalahan infertilitas pada wanita dengan POF merupakan masalah

utama yang bersifat ireversibel. Kondisi POF dan hipoestrogen yang akan

menyebabkan osteopenia dan osteoporosis untuk efek jangka Panjang. Terlebih

lagi, efek dari defek sexual hormone merupakan factor risiko gangguan neurologi,

metabolic, serta gangguan kardiovaskuler.12

c. Tatalaksana

Pasien dengan POF memiliki 2 kondisi yaitu infertile dan defisit hormonal.

Jika diagnosis ditegakkan setelah deplesi folikel secara komplit, infertile tidak

dapat dikembalikan. Pada beberapa kasus, diagnosis awal dengan investigasi

genetic sebelum terjadi deplesi folikel, dapat diintervensi dengan pemberian saran

konsepsi dini hingga fertilisasi in vitro. Untuk permasalahan hormonal, dapat

diberikan terapi pengganti hormonal.2,12

Tabel 2.5 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup III6


21

2.6 WHO Kelompok IV (Hiperprolaktinemia)

Prolactin (PRL) merupakan hormone anterior pituitary yang memiliki

fungsi mempengaruhi kelenjar susu dalam mempersiapkan, memulai, dan

mempertahankan laktasi. Hiperprolaktinemia adalah suatu kondisi peningkatan

kadar prolactin dalam tubuh, dapat terjadi karena suatu proses fisiologis, patologis,

ataupun idiopatik.

Hiperprolaktinemia paling sering muncul dengan permasalahan gangguan

ovulasi yang diikuti bersamaan dengan keluhan amenore atau oligomenore.

Galaktorea merupakan gejala yang khas pada pasien dengan hiperprolaktinemia,

namun tidak semua pasien dengan hiperprolaktin mengeluhkan galaktorea. Pada

kasus hiperprolaktinemia, 50% disebabkan oleh karena tumor pituitari dan perlu

dievaluasi lebih lanjut terutama pada pasien tanpa Riwayat konsumsi obat-obatan

yang menginduksi hiperprolaktinemia.10

a. Etiologi

Hiperprolaktinemia bisa merupakan kondisi fisiologis atau patologis.

Secara fisiologis, Hiperprolaktinemia dapat ditemui pada kehamilan dengan

peningkatan kadar prolactin sekitar 200-500 ng/ml. secara patologis, keadaan

hiperprolaktinemia dapat terjadi karena penyakit hipotalamus-pituitari

(prolaktinoma) ataupun non hipotalamus-pituitari. Pada kasus

Hiperprolaktinemia kronis, prolactinoma merupakan penyebab tersering.

Sekitar 25-30% pada kasus tumor pituitary fungsional adalah prolactinoma.


22

Prolaktinoma dibagi menjadi 2 kelompok:

1. Mikroadenoma (<10mm), sering terjadi pada wanita premenopause.

2. Makroadenoma (>10mm), sering ditemukan pada laki-laki dan wanita post

menopause10

b. Manifestasi Klinis

Konsekuensi fisiologis pada kasus hiperprolaktinemia adalah

hipogonadotropik-hipogonadisme yang berhubungan dengan supresi dari pulsasi

GnRH. Manifestasi klinis bergantung pada usia dan jenis kelamin serta kadar

prolactin. Kelainan yang dialami oleh wanita lebih nampak dan terjadi lebih cepat

dibandingkan dengan pria.10

Wanita Pria
1. Oligomenore/amenore 1. Disfungsi ereksi
2. Galaktore 2. Penurunan libido
3. Penurunan libido 3. Infertile/kemandulan
4. Infertile/kemandulan 4. Ginekomastia
5. Penurunan massa 5. Penurunan massa
tulang tulang
6. Sangat jarang galaktore
Tabel 2.6 Manifestasi klinis hiperprolakitnemia pada wanita dan pria10

c. Diagnosis

Kadar serum prolaktin bervariasi namun dalam batas 5-25 ng/ml pada

perempuan. Serum prolactin lebih tinggi saat siang hari dibandingkan dengan pagi

hari. Pemeriksaan kadar serum prolactin baik dilakukan pada pagi hari.

Hiperprolaktinemia adalah kondisi dimana serum prolactin >20 ng/ml pada pria

dan >25 ng/ml pada wanita paling tidak 2 jam setelah bangun tidur dan puasa.
23

Pemeriksaan kadar serum prolactin tinggi harus diulang untuk memastikan pasien

benar hiperprolaktinemia, tetapi jika hasil normal tidak perlu diulang.

Kondisi yang harus dieksklusi sebelum pemeriksaan kadar prolactin (hasil

false positive):

• Olahraga yang berlebihan sebelum pemeriksaan

• Tidak puasa

• Pemakaian obat yang dapat meningkatkan kadar prolactin

• Operasi dinding dada atau trauma

• Gangguan ginjal

• Sirosis

• Kejang dalam 1-2 jam sebelum pemerksaan

Hiperprolaktinemia dengan penyebab yang tidak jelas diperlukan untuk

evaluasi imaging pada daerah hipotalamus-pituitari untuk menyingkirkan

penyebab organik. Peningkatan serum prolactin yang sedang dapat dikarenakan

pituitary adenoma nonfungsional atau kraniofaringioma yang mengkompresi

batang dari pituitary, namun kadar prolactin yang tinggi, paling sering

dikarenakan oleh tumor penghasil prolactin yaitu prolactinoma.

Gambaran prolactinoma biasanya disertai kadar serum prolactin >250

ng/ml dan kadar serum prolactin >500 ng/ml merupakan diagnose dari

makroprolaktinemia. Pengobatan dengan Risperidone dan Metoklopramid

dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin >200 ng/ml. Jika penyebab


24

hiperprolaktinemia sudah dieksklusikan dan tidak ditemukan adenoma pada

gambaran imaging, maka kondisi hiperprolaktinemia tersebut terbilang

“idiopatik”.10

d. Tatalaksana

Dilakukan pemeriksaan terhadap Thyroid Stimulating Hormone (TSH)

karena hormon ini merupakan salah satu Prolactin Releasing Factor (PRF).

Kondisi hipotiroid menyebabkan tingginya TSH karena hilangnya umpan balik

negatif, karena itu pada kondisi hiperprolaktin yang disertai dengan

peningkatan TSH harus dilakukan penanganan terhadap hipotiroid. Bila TSH

normal dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk

menilai kelenjar hipofisis.

Pada hipofisis yang normal, harus dicari penyebab lain terjadinya

hiperprolaktin seperti penggunaan obat-obatan antagonis reseptor H2, SSRI

atau rangsangan terhadap payudara. Tindakan operasi direkomendasikan bila

dijumpai penekanan pada chiasma opticus. Stalk effect tumor akan terlihat

apabila dijumpai tumor yang menekan tangkat kelenjar hipofisis pada MRI.

Bromokriptin merupakan pilihan pertama agonis dopamin untuk

menekan sekresi prolaktin yang berlebihan. Pemberian bromokriptin dimulai

dengan dosis 2,5 mg/hari, bertahap sesuai dengan keluhan dan respon pasien

hingga dosis maksimal 3 x 2,5 mg/hari. Untuk penyesuaian dosis dilakukan

pemeriksaan hormon prolaktin secara berkala setiap minggu. Bila dijumpai

efek samping bromokriptin (mual dan muntah) atau respon yang buruk,
25

pemberian cabergoline sebesar 1 x 0,25 mg/minggu merupakan pilihan.

Cabergoline memiliki afinitas lebih baik dan lebih selektif terhadap reseptor

dopamine D2 serta memiliki waktu kerja lebih panjang. Efek Cabergoline

dalam kehamilan masih belum diketahui.

Apabila kepatuhan pasien berobat baik dan tidak ada efek samping yang

mengganggu dilakukan evaluasi dalam hal klinis (siklus haid), kadar prolaktin

(6 bulan pasca pengobatan) dan MRI (1 tahun pasca pengobatan). Bila kadar

prolaktin normal tetapi tidak terjadi ovulasi, tatalaksana dengan agonis

dopamine tetap dilanjutkan. Pertimbangkan pemberian pemicu ovulasi. Ovulasi

akan terjadi bila kadar prolaktin normal, biasanya kehamilan akan terjadi secara

alami.6,16

Tabel 2.7 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Grup IV6


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anovulasi merupakan suatu kondisi tidak terjadinya ovulasi pada

wanita. Anovulasi dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti

adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh

besar terhadap ovulasi. Manifestasi klinis dari anovulasi pun beragam mulai

dari amenorea, menstruasi tidak teratur, hirsutisme sampai infertile.

Menurut WHO, anovulasi terbagi menjadi 4 kelompok yaitu:

Kelompok I dimana terjadi kegagalan hipofisis hipotalamus, Kelompok II

terjadi akibat disfungsi aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium, Kelompok III

disebabkan oleh kegagalan ovarium, serta kelompok IV akibat gangguan

ovulasi dengan hiperprolaktinemia.

Wanita dengan gangguan ovulasi biasanya datang dengan oligomenorea

atau amenorea. Oleh sebab itu penting ditanyakan secara detail mengenai pola

menstruasi seperti siklus, regularitas, dan hari terakhir menstruasi

(menyingkirkan terlebih dahulu kehamilan). Kemudian dapat ditanyakan

apakah terdapat gejala hiperprolaktinemia seperti galaktorea, nyeri kepala, serta

gangguan penglihatan (efek penekanan masa prolaktinoma). Tanda dan gejala

hiperandrogenisme pada penyakit sindrom ovarium poli kistik (SOPK) seperti

hirsutisme, jerawat, dan pola alopesia atau kebotakan seperti pada laki-laki

26
27

umumnya. Perubahan berat badan secara drastis, diet, stress, dan pola aktifitas

serta pertumbuhan sekunder.

Pasien dengan gangguan ovulasi penting untuk dilakukan analisis dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat karena

penting untuk mengetahui pasien masuk di kelompok yang mana yang nantinya

akan berguna untuk pemilihan pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Amalin, D. B. Herlina, E. C. Fulyani, F. (2018). Hubungan Kualitas Hidup

dengan Tingkat Depresi dan Kecemasan Pasien Infertil.

2. O’Flynn, Norma. (2017). Assessment and Treatment for People with Fertility

Problems. NICE Clinical Guidelines, No. 156.

3. Dewi, N. L. P. (2020). Pendekatan Terapi Polycystic Ovary Syndrome (PCOS).

Jurnal CDK Edisi 290/Vol. 47 No. 9.

4. Ganong, W. F. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Hal 451-465.

Jakarta: EGC.

5. Gordon, M. C. (2010). Functional Hypothalamic Amenorrhea. N Engl J Med.

Hal. 363-371.

6. Hestiantoro, Andon dkk. (2014). Usulan Panduan Tatalaksana Induksi Ovulasi

& Stimulasi Ovarium. HIFERI – POGI. Hal. 2-15.

7. Hind, K. (2008). Recovery of Bone Mineral Density and Fertility in A Former

Amenorrheic Athlete. J Sports Sci Med. Hal. 415-418.

8. Holesh, Julie E. et al. (2019). Physiology, Ovulation.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441996/

9. Khosla, S. Oursler, M. J. Monroe, D. G. (2012). Estrogen and the Skeleton.

Trends Endocrinology Metab. Edisi 23;576-581.

28
29

10. Majundar, A. Mangal, N. S. (2013). Hyperprolactinemia: Journal of Human

Reproductive Sciences Edisi 6;168-175.

11. Mikhael, S. et al. (2019). Hypothalamic-Pituitary-Ovarian Axis Disorders

Impacting Female Infertility. http://www.mdpi.com/journal/biomedicines

12. Persani, L. Beck-Peccoz, P. (2006). Premature Ovarian Failure. Orphanet

Journal of Rare Diseases. Hal. 9.

13. Samsulhadi. (2011). Haid dan Siklusnya. Dalam Anwar, M. Baziad, A.

Prabowo, P. Ilmu kandungan (hal. 73-91). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirihardjo.

14. Shen, Z.Q. et al. (2013). Resumption of Menstruation and Pituitary Response

to Gonadotropin Releasing Hormone Infunctional Hypothalamic Amenorrhea

Subjects Undertaking Estrogen Replacement Therapy. Journal Endocrinology

Invest Edisi 36;812-815.

15. Sirmans, S. M. et al. (2014). Epidemiology, Diagnosis, and Management of

polycystic Ovary Syndrome. Clinical Epidemiology. Hal. 1-13.

16. Soebijanto, Soegiharto dkk. (2013). Konsensus Penanganan Infertilitas.

HIFERI-PERFITRI-IAUI-POGI. Hal. 13-14;18-20;26-27.

17. Valdes-Socin, H. et al. (2014). Reproduction, Smell, and Neurodevelopmental

Disorder: Genetic Defects in Different Hypogonadotropic Hypogonadal

Syndromes. Front Endocrinology (Lausanne) Edisi 5;109.

18. Vigil, Pilar et al. (2017). Ovulation: A Sign of Health. The Linacre Quarterly

Edisi 84;343-355.

Anda mungkin juga menyukai