Oleh :
150611008
Preseptor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat saya yang berjudul “Polycystyc
Ovarium Syndrome” ini dengan baik. Selanjutnya shalawat dan salam penulis
panjatkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat
manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis menyusun laporan referat ini untuk memahami lebih dalam
tentang aspek polycystyc ovarian syndrome dan sebagai salah satu syarat dalam
menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran OBGYN Universitas
Malikussaleh RSU Cut Meutia. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada dr. Cut Elfina Zuhra, Sp.OG (K) selaku preseptor
yang bersedia meluangkan waktunya dan telah memberikan masukan, petunjuk
serta bantuan dalam menyusun referat ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan
saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga
karya ini bisa bermanfaat untuk para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 18
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polycystyc ovarium syndrome (PCOS) merupakan kelainan kompleks
endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik atau
hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium. Pertama
kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit
ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/Ovarium polikistik/Stein-Leventhal
Syndrome). Gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral
dan terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil,
hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. PCOS merupakan
kumpulan dari tanda dan gejala yang heterogen yang menyebabkan penurunan
tingkat fertilitas. Diagnosisnya ditegakkan dengan menemukan gejala klinis yang
timbul tergantung dari derajat abnormalitas sistem metabolisme dan gonadotropin
yang dihubungkan dengan interaksi antara genetik dan lingkungan (1).
Prevalensi PCOS itu sendiri mencapai sekitar 6-21% dari populasi
seluruh dunia pada wanita subur. Prevelanesi di Eropa sebesar 26% wanita yang
menderita PCOS. Prevalensi Amerika terdapat sekitar 5-10% angka kejadian
PCOS dan sebanyak 44,9% ditemukan di Beijing. Prevalensi di Indonesia sendiri,
insidensi pasti dari PCOS belum diketahui. Penelitian yang dilakukan Wahyuni
(2015), didapatkan 67 dari 93 pasien PCOS (72,04%) yang mengalami infertilitas.
PCOS merupakan salah satu gangguan yang kerap menyerang wanita yang
menyebabkan kesulitan memperoleh kehamilan. PCOS menyebabkan 5-10%
wanita usia reproduktif menjadi infertil. Sebagian besar penderita PCOS tidak
mengetahui bahwa dirinya mengalami sindrom tersebut (2).
Wanita seringkali datang ke dokter dengan keluhan peningkatan berat
badan, jerawat, amenorrhea, pertumbuhan rambut yang abnormal, dan infertilitas.
PCOS juga menyebabkan peningkatan resiko untuk terjadinya kanker
endometrium, kelainan kardiovaskular, dislipidemia, dan diabetes mellitus tipe 2.
1
2
2.1 Definisi
PCOS merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan
endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar
hipofise atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan
sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi
peningkatan frekuensi GnRH yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar
LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen. Hiperandrogenisme
secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne), alopesia
akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron
dan androstenedion (4).
2.2 Prevalensi
Sejumlah penelitian telah menunjukkan prevalensi PCOS akan beragam
bergantung dengan kriteria diagnostik yang digunakan. Sebagai kelainan endokrin
tersering yang dialami oleh wanita usia reproduktif, PCOS mempengaruhi sekitar
4 hingga 8% dari populasi. Menurut Christensen et al, PCOS terdapat pada 1 dari
200 wanita pada usia 15 – 19 tahun. PCOS juga terdapat pada 5 juta wanita
berusia reproduktif di Amerika (5). Prevalensi di Indonesia sendiri didapatkan 67
dari 93 pasien PCOS (72,04%) yang mengalami infertilitas. PCOS menyebabkan
5-10% wanita usia reproduktif menjadi infertil.
2.3 Etiologi
Etiologi PCOS tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh genetik. Jika dalam satu keluarga terdapat penderita PCOS maka
50% wanita dalam keluarga tersebut akan menderita PCOS. Faktor lain penyebab
PCOS adalah faktor endokrin (kenaikan rasio LH/FSH, hiperandrogenisme) dan
faktor metabolik (resistensi insulin). Kadar LH yang tinggi merangsang sintesa
3
4
2.4 Patofisiologi
PCOS adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan
bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan feedback antara
pusat (hipotalamus- hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi
yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup
adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui
mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara
normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam
keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai
meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung
ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti testosteron
dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari
hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding globulin
(SHBG) di dalam darah (7).
Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek pada
tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon
estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen
meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar
estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang
merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi
terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron yang diikuti
5
penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai puncak pada
hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi menstruasi
berikutnya. Pada PCOS siklus tersebut terganggu. Karena adanya peningkatan
aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan
androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat
sekresi gonadotropine releasing hormone (GnRH) yang meningkat, sehingga
menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena ovarium pada
penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin (8).
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan
tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya
resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada
keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi andro/gen dan
menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas berikatan. Pada
sebagian kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe
android (8).
2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat
yang biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat
pembentukkan androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3
betahidroksisteroid dehidrogenase.
3. Obesitas
6
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar
suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion
serta peningkatan rasio estron/estradion. Selain itu, dikemukakan pula penurunan
kadar SHBG serum. Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh
untuk menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen
menjadi estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan
lemak.
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak,
dan tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak.
Pengurangan berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan
kadar androgen dan estrogen terutama estron serum. Hiperestronemia dan
hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan dengan kegemukan yang
berperan dalam patogenesis ovarium polikistik.
2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan (10):
1. Data-data subjektif dan objektif :
Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat, hirsutisme,
hipertropi klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan gangguan
hormonal.
2. Temuan penunjang :
Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan ovarium
polikistik mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif terutama pada
wanita gemuk. Tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara USG transvaginal.
3. Pemeriksaan hormonal :
7
Kriteria minor :
- Resistensi insulin
- Hirsutisme dan obesitas yang menetap
- Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH
- Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia
- Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik
Terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis PCOS: anovulasi dan
adanya hiperandrogenisme yang ditetapkan secara klinis dan laboratorium.
Adanya dua kelainan ini cukup untuk mendiagnosis PCOS tanpa adanya penyakit
primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari seperti neoplasma
adrenal atau ovarium, sindrom Cushing, hypogonadotropic atau gangguan
hypergonadotropic, hyperprolactinemia, dan penyakit tiroid. Dibutuhkan 1 kriteria
mayor yaitu anovulasi dan 2 kriteria minor yaitu rasio LH/FSH > 2,5 dan terbukti
adanya ovarium polikistik secara USG. USG dan atau laparoskopi merupakan alat
utama untuk diagnosis. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat.
Terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10
mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah satu
ovarium pasti membesar (11).
Wanita PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan
LH sedikit meninggi (nisbah LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan
8
2.8 Penatalaksanaan
9
1. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen,
dan mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain (17):
1. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi
androgen ovarium
2. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan
penurunan testosteron bebas.
3. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
4. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron
pada kulit dengan menghambat 5α-reduktase.
Pasien dengan PCOS terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya
distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan
dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien PCOS dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.
Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme,
keseimbangan harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan
androgenisitas intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat
dalam kontrasepsi oral (norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat)
diyakini merupakan androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin
baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas
11
androgenik yang minimal. Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan
dalam hasil uji klinis yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro
dari potensi androgenik. (1)
2. Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh
ovarium. Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang
secara signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari
dalam dosis terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai
3 bulan dalam bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95%
pasien. Efek samping dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan
mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan
penambahan berat badan.
4. Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg/hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion,
testosteron, dan testosteron bebas.
5. Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak
mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin.
Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa
dilaporkan modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa
dengan spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati
kanker prostat pada laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-
250 mg dua kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan
meningkatkan nafsu makan.
6. Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan,
menekan gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat
DHEAS. Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg /
hari pada hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5
- 26), jadwal siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat
kontrasepsi yang sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan
bahkan jerawat yang parah. Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan,
13
meningkatnya berat badan, penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan
sakit kepala. Gejala ini terjadi lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.
7. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat
secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
samping spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan
dosis yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat
kalium, wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau
sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya.
8. Insulin Sensitizers
Hiperinsulinemia memainkan peran dalam PCOS terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain.
Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai
terapi utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik
dalam pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum
ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara
individu dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal
yang direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-
anak dalam sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai
pada dosis yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan
secara progresif. Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat
makan besar, biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan
menjadi 2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu
kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam
14
selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat
sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis
metformin pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada
pasien diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur
outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal.
Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita PCOS dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan
dosis 500 mg tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan
clomiphene citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering
menemukan efek samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut,
sehingga banyak yang tidak melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat
waktu dan meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba
pemberian metformin yang lebih singkat. Hwu dkk memberikan metformin
dengan dosis 500 mg tiga kali sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan
dengan clomiphene citrate. Pada penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada
42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok kontrol. Khorram dkk
memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari hari pertama
withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate 10 mg
perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.
9. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi
ovulasi. Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja
klomifen sitrat yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat
mengikat dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang
lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium.
15
17
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20
10. Megli C, Valent AM, Caughey AB. 736: Adverse pregnancy outcomes in
singleton pregnancies with PCOS. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2017;216(1):S428. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2016.11.470
11. Megli C, Prince A, Takahashi D, Bishop C, Stouffer R, Aagaard K. 72:
Dysbiosis of the cervicovaginal microbiome and decreased fertility occur in
a nonhuman primate model of PCOS. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2018;218(1):S54. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2017.10.483
12. Teede HJ, Misso ML, Boyle JA, Garad RM, McAllister V, Downes L, et al.
Translation and implementation of the Australian-led PCOS guideline:
clinical summary and translation resources from the International
Evidence-based Guideline for the Assessment and Management of PCOS.
Med J Aust. 2018;209(S7):S3–8.
13. Zeng B, Lai Z, Sun L, Zhang Z, Yang J, Li Z, et al. Structural and
functional profiles of the gut microbial community in PCOS with insulin
resistance (IR-PCOS): a pilot study. Res Microbiol [Internet].
2019;170(1):43–52. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.resmic.2018.09.002
14. Prince A, Ma J, Megli C, Takahashi D, Grove K, Stouffer R, et al. 207: The
intestinal microbiome is regulated by diet in a novel primate model of
polycystic ovarian syndrome (PCOS). Am J Obstet Gynecol [Internet].
2016;214(1):S125. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.10.244
15. Kesehatan JI, Husada S, Aziza DO, Kurniati KI. Suplementasi Vitamin D
pada Wanita dengan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) Vitamin D
Supplementation in Women with Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS).
Jiksh [Internet]. 2019;10(2):169–77. Available from: https://akper-
sandikarsa.e-journal.id/JIKSH
16. Irene A, Alkaf S, Zulissetiana EF, Usman F, Larasaty V. Hubungan Pola
Makan dengan Risiko Terjadinya Sindrom Ovarium Polikistik pada
Remaja. Sriwij J Med. 2020;3(1):65–72.
17. Julia Elviethasari, Budi Santoso, Budiono, Sulistiawati. Pengetahuan
Dokter Umum tentang Sindroma Ovarium Polikistik di Puskesmas
Surabaya, Indonesia Julia. J Indones Med Assoc. 2020;70(8):144–50.