Anda di halaman 1dari 23

POLYCYSTIC OVARIUM SYNDROME

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu OBGYN
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Dwi Novlita Rozi, S.Ked

150611008

Preseptor :

dr. Cut Elfina Zuhra, Sp.OG (K)

BAGIAN/SMF ILMU OBGYN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA

ACEH UTARA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat saya yang berjudul “Polycystyc
Ovarium Syndrome” ini dengan baik. Selanjutnya shalawat dan salam penulis
panjatkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat
manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis menyusun laporan referat ini untuk memahami lebih dalam
tentang aspek polycystyc ovarian syndrome dan sebagai salah satu syarat dalam
menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran OBGYN Universitas
Malikussaleh RSU Cut Meutia. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada dr. Cut Elfina Zuhra, Sp.OG (K) selaku preseptor
yang bersedia meluangkan waktunya dan telah memberikan masukan, petunjuk
serta bantuan dalam menyusun referat ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan
saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga
karya ini bisa bermanfaat untuk para pembaca.

Lhokseumawe, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 18

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polycystyc ovarium syndrome (PCOS) merupakan kelainan kompleks
endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik atau
hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium. Pertama
kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit
ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/Ovarium polikistik/Stein-Leventhal
Syndrome). Gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral
dan terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil,
hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. PCOS merupakan
kumpulan dari tanda dan gejala yang heterogen yang menyebabkan penurunan
tingkat fertilitas. Diagnosisnya ditegakkan dengan menemukan gejala klinis yang
timbul tergantung dari derajat abnormalitas sistem metabolisme dan gonadotropin
yang dihubungkan dengan interaksi antara genetik dan lingkungan (1).
Prevalensi PCOS itu sendiri mencapai sekitar 6-21% dari populasi
seluruh dunia pada wanita subur. Prevelanesi di Eropa sebesar 26% wanita yang
menderita PCOS. Prevalensi Amerika terdapat sekitar 5-10% angka kejadian
PCOS dan sebanyak 44,9% ditemukan di Beijing. Prevalensi di Indonesia sendiri,
insidensi pasti dari PCOS belum diketahui. Penelitian yang dilakukan Wahyuni
(2015), didapatkan 67 dari 93 pasien PCOS (72,04%) yang mengalami infertilitas.
PCOS merupakan salah satu gangguan yang kerap menyerang wanita yang
menyebabkan kesulitan memperoleh kehamilan. PCOS menyebabkan 5-10%
wanita usia reproduktif menjadi infertil. Sebagian besar penderita PCOS tidak
mengetahui bahwa dirinya mengalami sindrom tersebut (2).
Wanita seringkali datang ke dokter dengan keluhan peningkatan berat
badan, jerawat, amenorrhea, pertumbuhan rambut yang abnormal, dan infertilitas.
PCOS juga menyebabkan peningkatan resiko untuk terjadinya kanker
endometrium, kelainan kardiovaskular, dislipidemia, dan diabetes mellitus tipe 2.

1
2

Penyakit PCOS berhubungan dengan jumlah dan distribusi lemak tubuh


yang seringkali mengalami gangguan. Adipositas abdominal atau obesitas
seringkali dihubungkan oleh wanita dengan PCOS. Menurut Wahyuni (2015)
obesitas berkaitan erat dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan
terjadinya hiperandrogenemia seperti pada pasien PCOS, serta terdapat hubungan
bermakna antara resistensi insulin dan PCOS. Pola hidup yang tidak sehat sangat
berperan dalam terjadinya obesitas. Prevalensi di Indonesia sebanyak 32,9%
perempuan dewasa mengalami obesitas. Pada orang yang obesitas, sering terjadi
gangguan ovulasi sehingga tingginya angka kejadian obesitas dapat menyebabkan
juga tingginya angka kejadian PCOS, yang berakhir dengan infertilitas karena
terjadi gangguan ovulasi (3).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
PCOS merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan
endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar
hipofise atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan
sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi
peningkatan frekuensi GnRH yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar
LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen. Hiperandrogenisme
secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne), alopesia
akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron
dan androstenedion (4).

2.2 Prevalensi
Sejumlah penelitian telah menunjukkan prevalensi PCOS akan beragam
bergantung dengan kriteria diagnostik yang digunakan. Sebagai kelainan endokrin
tersering yang dialami oleh wanita usia reproduktif, PCOS mempengaruhi sekitar
4 hingga 8% dari populasi. Menurut Christensen et al, PCOS terdapat pada 1 dari
200 wanita pada usia 15 – 19 tahun. PCOS juga terdapat pada 5 juta wanita
berusia reproduktif di Amerika (5). Prevalensi di Indonesia sendiri didapatkan 67
dari 93 pasien PCOS (72,04%) yang mengalami infertilitas. PCOS menyebabkan
5-10% wanita usia reproduktif menjadi infertil.

2.3 Etiologi
Etiologi PCOS tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh genetik. Jika dalam satu keluarga terdapat penderita PCOS maka
50% wanita dalam keluarga tersebut akan menderita PCOS. Faktor lain penyebab
PCOS adalah faktor endokrin (kenaikan rasio LH/FSH, hiperandrogenisme) dan
faktor metabolik (resistensi insulin). Kadar LH yang tinggi merangsang sintesa

3
4

androgen. Testosteron menekan sekresi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin)


oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan
kadar estradiol memberi umpan balik positif terhadap LH sehingga kadar LH
makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang apalagi terjadi
ovulasi. Penyebab terbanyak PCOS adalah akibat adanya gangguan hormonal.
Gangguan hormonal berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak sentral
(obesitas) dan Diabetes Melitus tipe 2 sering dianggap berhubungan dengan
kejadian PCOS pada wanita usia subur (6).

2.4 Patofisiologi
PCOS adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan
bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan feedback antara
pusat (hipotalamus- hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi
yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup
adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui
mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara
normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam
keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai
meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung
ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti testosteron
dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari
hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding globulin
(SHBG) di dalam darah (7).
Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek pada
tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon
estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen
meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar
estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang
merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi
terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron yang diikuti
5

penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai puncak pada
hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi menstruasi
berikutnya. Pada PCOS siklus tersebut terganggu. Karena adanya peningkatan
aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan
androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat
sekresi gonadotropine releasing hormone (GnRH) yang meningkat, sehingga
menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena ovarium pada
penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin (8).
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan
tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya
resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada
keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi andro/gen dan
menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas berikatan. Pada
sebagian kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe
android (8).

2.5 Gambaran Klinis


1. Gangguan menstruasi dan infertilitas
Penderita PCOS sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat
berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya
anovulasi kronik dan hiperandrogenemia (9).

2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat
yang biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat
pembentukkan androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3
betahidroksisteroid dehidrogenase.

3. Obesitas
6

Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar
suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion
serta peningkatan rasio estron/estradion. Selain itu, dikemukakan pula penurunan
kadar SHBG serum. Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh
untuk menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen
menjadi estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan
lemak.
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak,
dan tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak.
Pengurangan berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan
kadar androgen dan estrogen terutama estron serum. Hiperestronemia dan
hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan dengan kegemukan yang
berperan dalam patogenesis ovarium polikistik.

4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.


Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan.

2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan (10):
1. Data-data subjektif dan objektif :
Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat, hirsutisme,
hipertropi klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan gangguan
hormonal.
2. Temuan penunjang :
Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan ovarium
polikistik mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif terutama pada
wanita gemuk. Tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara USG transvaginal.

3. Pemeriksaan hormonal :
7

Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya penyakit


ovarium polikistik adalah kadar : progesterone, LH, testosteron, androstenedion,
nisbah LH/FSH, nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah puasa/insulin puasa.
Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of
Child Health and Human Development (NIH-NICHD) untuk mendiagnosa PCOS
ditetapkan Kriteria mayor :
- Anovulasi
- Hiperandrogenemia
- Tanda klinis hiperandrogenisme
- Penyebab lainnya dapat disingkirkan

Kriteria minor :
- Resistensi insulin
- Hirsutisme dan obesitas yang menetap
- Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH
- Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia
- Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik
Terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis PCOS: anovulasi dan
adanya hiperandrogenisme yang ditetapkan secara klinis dan laboratorium.
Adanya dua kelainan ini cukup untuk mendiagnosis PCOS tanpa adanya penyakit
primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari seperti neoplasma
adrenal atau ovarium, sindrom Cushing, hypogonadotropic atau gangguan
hypergonadotropic, hyperprolactinemia, dan penyakit tiroid. Dibutuhkan 1 kriteria
mayor yaitu anovulasi dan 2 kriteria minor yaitu rasio LH/FSH > 2,5 dan terbukti
adanya ovarium polikistik secara USG. USG dan atau laparoskopi merupakan alat
utama untuk diagnosis. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat.
Terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10
mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah satu
ovarium pasti membesar (11).
Wanita PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan
LH sedikit meninggi (nisbah LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan
8

sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar


T yang tinggi membuat folikel atresi. LH menghambat enzim aromatase. Bila di
temukan hirsutismus, perlu diperiksa testosteron, dan umumnya kadar T tinggi.
Untuk mengetahui, apakah hirsutismus tersebut berasal dari ovarium, atau
kelenjar suprarenal, perlu di periksa DHEAS. Kadar T yang tinggi selalu berasal
dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal
dari suprarenal (> 5-7ng/ml). Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di
lihat dari ringan beratnyapertumb uhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang
terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya
androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium, berupa anovulasi kronik,
sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan
androgen kemugkinan besar berasal dari kelenjar suprarenal, berupa hiperplasia,
atau tumor (12).

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain
yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan
ovarium yang sklerokistik (13) :

a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital,


dan tumor-tumor adrenal virilisasi.
b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer
c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari
estrogen atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-
tumor sel steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti hiperplasia sel
Leydig dan hipertekosis troma.

2.8 Penatalaksanaan
9

Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan


kesehatan akibat gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali PCOS
menyebabkan gangguan pada pola haid dan menimbulkan kesulitan untuk
mendapatkan kehamilan (14).
Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan
kebiasaan merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama
pengobatan PCOS. Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan
obat untuk menyeimbangkan hormon. Tidak terdapat pengobatan definitif untuk
PCOS, namun pengendalian penyakit dapat menurunkan resiko infertilitas,
abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma uterus (15).

2.8.1 Penatalaksanaan Awal


1. Pengendalian dan penurunan berat badan
Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan
hiperkolesterolemia. Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat
mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat menurunkan kadar
androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih pada 75%
kasus PCOS (13).

- Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan


memperbaiki kesehatan penderita dan dapat mengatasi masalah kesehatan
jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan makanan sehat
merupakan kunci pengendalian berat badan.
- Olah raga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai
bagian penting dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas
yang paling baik dan sederhana yang dapat dengan mudah dikerjakan.
- Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah dan
sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang dapat memuaskan
nafsu makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil.
- Pertahankan berat badan yang sehat.
10

- Hentikan kebiasaan merokok

2.8.2. Terapi Medikamentosa


Pengobatan tergantung tujua pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi
kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.
Kebanyakan pasien dengan PCOS mencari pengobatan untuk hirsutisme dan
infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen yang
menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas pada PCOS sering berespon
terhadap klomifen sitrat (16).

1. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen,
dan mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain (17):
1. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi
androgen ovarium
2. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan
penurunan testosteron bebas.
3. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
4. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron
pada kulit dengan menghambat 5α-reduktase.
Pasien dengan PCOS terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya
distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan
dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien PCOS dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.
Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme,
keseimbangan harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan
androgenisitas intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat
dalam kontrasepsi oral (norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat)
diyakini merupakan androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin
baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas
11

androgenik yang minimal. Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan
dalam hasil uji klinis yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro
dari potensi androgenik. (1)

2. Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh
ovarium. Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang
secara signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari
dalam dosis terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai
3 bulan dalam bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95%
pasien. Efek samping dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan
mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan
penambahan berat badan.

3. Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal
yang dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium
pada pasien PCOS. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan
intramuskular setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada
hirsutisme idiopatik atau pada hirsutisme sekunder pada PCOS. Tingkat androgen
ovarium secara signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan
dengan dosis tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda
setiap hari 0,25 mg mulai hari ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau
terapi penggantian estrogen untuk pengobatan agonis GnRH dapat mencegah
keropos tulang dan efek samping lainnya dari menopause, seperti hot flushes dan
atrofi genital. Supresi hirsutisme tidak menambah potensi dengan terapi
penambahan estrogen untuk pengobatan agonis GnRH.
12

4. Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg/hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion,
testosteron, dan testosteron bebas.

5. Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak
mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin.
Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa
dilaporkan modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa
dengan spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati
kanker prostat pada laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-
250 mg dua kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan
meningkatkan nafsu makan.

6. Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan,
menekan gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat
DHEAS. Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg /
hari pada hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5
- 26), jadwal siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat
kontrasepsi yang sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan
bahkan jerawat yang parah. Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan,
13

meningkatnya berat badan, penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan
sakit kepala. Gejala ini terjadi lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.

7. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat
secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
samping spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan
dosis yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat
kalium, wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau
sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya.

8. Insulin Sensitizers
Hiperinsulinemia memainkan peran dalam PCOS terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain.
Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai
terapi utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik
dalam pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum
ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara
individu dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal
yang direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-
anak dalam sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai
pada dosis yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan
secara progresif. Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat
makan besar, biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan
menjadi 2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu
kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam
14

selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat
sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis
metformin pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada
pasien diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur
outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal.
Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita PCOS dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan
dosis 500 mg tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan
clomiphene citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering
menemukan efek samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut,
sehingga banyak yang tidak melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat
waktu dan meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba
pemberian metformin yang lebih singkat. Hwu dkk memberikan metformin
dengan dosis 500 mg tiga kali sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan
dengan clomiphene citrate. Pada penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada
42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok kontrol. Khorram dkk
memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari hari pertama
withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate 10 mg
perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

9. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi
ovulasi. Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja
klomifen sitrat yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat
mengikat dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang
lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium.
15

Blokade ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.


Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene
citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis
atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingkat
endometrium atau serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada
sebagian kecil individu.
Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek
umpan balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan
LH-FSH-RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior
meningkatkan sekresi FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan
dan pematangan folikel serta ovulasi.
Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal
perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.

2.8.3. Terapi Pembedahan


Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat
PCOS yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil (14)
Alternatif tindakan :
 “Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini
dilakukan untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi
berlangsung secara normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh
karena memiliki potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan
parut. 2
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk
memicu terjadinya ovulasi pada penderita PCOS yang tidak segera
16

mengalami ovulasi setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-


obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan eletrokauter atau laser
untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian
memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi
sebesar 80% dan angka kehamilan sebesar 50%.11 Wanita yang lebih muda
dan dengan BMI dalam batas normal akan lebih memperoleh manfaat
melalui tindakan ini.
BAB 3
KESIMPULAN

Polycystyc Ovarian Syndrome (PCOS) merupakan kelainan kompleks


endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik atau
hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium.
Polycystic ovarian syndome (PCOS) merupakan masalah yang kompleks yang
dikarakteristikkan dengan oligoovulasi atau anovulasi, peningkatan kadar
androgen, dan ditemukannya kista ovarian yang kecil dan multipel. PCOS juga
dapat mempengaruhi periode menstruasi, fertilitas, kadar hormonal, serta
mempengaruhi penampilan yang memiliki efek jangka panjang pada kesehatan.

Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya PCOS meliputi riwayat


keluarga, pola hidup, obesitas, dan adanya faktor perkembangan saat prenatal
maupun masa kanak-kanak.  Penyebab yang mendasari terjadinya PCOS tidak
jelas dan belum diketahui. Hal ini dapat menyebabgkan gangguan seperti adanya
kelainan neuroendokrin, hiperandrogenisme, obesitas, hiperinsulinemia, dan
resistensi insulin. Oleh karena itu PCOS dapat ditegakkan melalui diagnosis yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. PCOS sendiri
juga memiliki resiko kehamilan dimana wanita dengan PCOS yang hamil
memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya aborsi spontan pada trimester
pertama

Kondisi PCOS belum dapat disembuhkan, tetapi Penatalaksanaan awal


berupa pengendalian dan penurunan berat badan. Terapi medikamentosa dengan
pemberian kontrasepsi oral, medroksiprogesteron asetat, agonis gonadotropin
releasing hormone (gn-rh), ketokonazol, flutamide, cyproterone acetate,
spironolactone, insulin sensitizers, dan clomiphene citrate. Terapi pembedahan
dengan “Wedge Resection” dan “Laparoscopic ovarian drilling”

17
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Zetira Z, dan Hanif Fakhruddin R, Fakhruddin H. Pengaruh Metformin


Terhadap Wanita Infertilitas dengan Sindrom Polikistik Ovarium. Fak
Kedokt Univ Lampung. 2019;8(infertilitas, metformin, polycystic ovarian
syndrome):172–7.
2. Mareta R, Amran R, Larasati V. Hubungan PCOS (PCOS) dengan
Infertilitas di Praktik Swasta Dokter Obstetri Ginekologi Palembang. Maj
Kedokt Sriwij [Internet]. 2018;50(2):85–91. Available from:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/8552
3. Maggyvin E, Barliana MI. Literature Review : Inovasi Terapi PCOS (Pcos)
Menggunakan Targeted Drug Therapy Gen Cyp19 Rs2414096. Farmaka.
2019;17(1):107–18.
4. Kakoly NS, Khomami MB, Joham AE, Cooray SD, Misso ML, Norman
RJ, et al. Ethnicity, obesity and the prevalence of impaired glucose
tolerance and type 2 diabetes in PCOS: A systematic review and meta-
regression. Hum Reprod Update. 2018;24(4):455–67.
5. Patel S. PCOS (PCOS), an inflammatory, systemic, lifestyle
endocrinopathy. J Steroid Biochem Mol Biol [Internet].
2018;182(February):27–36. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsbmb.2018.04.008
6. Megli C, Valent AM, Caughey AB. 735: Comparison between singleton
and twin gestations of adverse obstetric outcomes of women with PCOS.
Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2017;216(1):S427–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2016.11.469
7. Wetta L, Mancuso M, Sutton A, Pekarek D, Cliver S, Biggio J. 727:
Association between polcystic ovarian syndrome (PCOS) and first trimester
pregnancy associated plasma protein-a (PAPP-A). Am J Obstet Gynecol
[Internet]. 2011;204(1):S286. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2010.10.749
8. Kort DH, Lobo RA. Preliminary evidence that cinnamon improves
menstrual cyclicity in women with PCOS: A randomized controlled trial.
Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2014;211(5):487.e1-487.e6. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2014.05.009
9. Palomba S, La Sala GB. Menstrual preconditioning for the prevention of
pregnancy complications in women with PCOS (PCOS): Clinical opinion
or viewpoint - This is the question. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2016;214(3):417–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.11.040

19
20

10. Megli C, Valent AM, Caughey AB. 736: Adverse pregnancy outcomes in
singleton pregnancies with PCOS. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2017;216(1):S428. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2016.11.470
11. Megli C, Prince A, Takahashi D, Bishop C, Stouffer R, Aagaard K. 72:
Dysbiosis of the cervicovaginal microbiome and decreased fertility occur in
a nonhuman primate model of PCOS. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2018;218(1):S54. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2017.10.483
12. Teede HJ, Misso ML, Boyle JA, Garad RM, McAllister V, Downes L, et al.
Translation and implementation of the Australian-led PCOS guideline:
clinical summary and translation resources from the International
Evidence-based Guideline for the Assessment and Management of PCOS.
Med J Aust. 2018;209(S7):S3–8.
13. Zeng B, Lai Z, Sun L, Zhang Z, Yang J, Li Z, et al. Structural and
functional profiles of the gut microbial community in PCOS with insulin
resistance (IR-PCOS): a pilot study. Res Microbiol [Internet].
2019;170(1):43–52. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.resmic.2018.09.002
14. Prince A, Ma J, Megli C, Takahashi D, Grove K, Stouffer R, et al. 207: The
intestinal microbiome is regulated by diet in a novel primate model of
polycystic ovarian syndrome (PCOS). Am J Obstet Gynecol [Internet].
2016;214(1):S125. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.10.244
15. Kesehatan JI, Husada S, Aziza DO, Kurniati KI. Suplementasi Vitamin D
pada Wanita dengan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) Vitamin D
Supplementation in Women with Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS).
Jiksh [Internet]. 2019;10(2):169–77. Available from: https://akper-
sandikarsa.e-journal.id/JIKSH
16. Irene A, Alkaf S, Zulissetiana EF, Usman F, Larasaty V. Hubungan Pola
Makan dengan Risiko Terjadinya Sindrom Ovarium Polikistik pada
Remaja. Sriwij J Med. 2020;3(1):65–72.
17. Julia Elviethasari, Budi Santoso, Budiono, Sulistiawati. Pengetahuan
Dokter Umum tentang Sindroma Ovarium Polikistik di Puskesmas
Surabaya, Indonesia Julia. J Indones Med Assoc. 2020;70(8):144–50.

Anda mungkin juga menyukai