Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOTERAPI GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DAN

REPRODUKSI

POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME (PCOS)

Dosen Pengampu :Apt. Annisa Septyana Putri, M.Farm

Disusun Oleh : Kelompok 2

1. Prasasti Maydinda Fatihah 201030700042


2. Rudiatna 201030700043
3. Rois Anshori 201030700021
4. Siti Risdah Rosipah 201030700015
5. Syafira Azzahra Putri 201030700016

Kelas : 05FKKP001

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA DHARMA HUSADA

TANGERANG SELATAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami bias menyelesaikan makalah
ilmiah tentang “Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ibu
Apt. Annisa Septyana Putri, M.Farm pada Mata Kuliah Farmakoterapi Gangguan
Sistem Endokrin dan Reproduksi . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)” bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik


dari penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapa tmemperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga informasi untuk pembaca.

Tangerang Selatan, 14 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB 1............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 3

C. Tujuan ............................................................................................................... 3

BAB II .......................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4

A. Definisi............................................................................................................... 4

B. Etiologi .............................................................................................................. 5

C. Patofisiologi....................................................................................................... 7

D. Epidemiologi ..................................................................................................... 8

E. Klasifikasi........................................................................................................ 11

F. Faktor Resiko ................................................................................................. 13

G. Tatalaksana ................................................................................................. 13

BAB III ....................................................................................................................... 17

PENUTUP .................................................................................................................. 17

A. KESIMPULAN ............................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketika memasuki usia reproduksi wanita akan mengalami perubahan
hormonal yang akan mengakibatkan perubahan pada tubuh berupa
perkembangan organ seks primer dan sekunder. Seperti pertumbuhan payudara,
dan perkembangan organ reproduksi yang ditandai dengan terjadinya
menstruasi. Menstruasi adalah proses peluruhan jaringan endometrium yang
tidak dibuahi. Normalnya terjadi setiap 21 hingga 35 hari sekali. Namun pada
beberapa kasus siklus menstruasi ini mengalami pemendekan atau
perpanjangan dikarenakan kelainan endokrin dan metabolik (Dashrati, 2012).
Kelainan endokrin dan metabolik ini dikenal dengan nama Sindrom
Ovarium Polikistik atau disingkat SOPK, dan dalam bahasa inggris biasa
disebut dengan Polycystic Ovary Syndrome atau PCOS. Polycystic Ovary
Syndrome ini masih sangat awam dikenali oleh masyarakat dikarenakan
edukasi seputar sindrom ini masih belum dikenal luas oleh publik. Sebanyak 4-
18% perempuan didunia mengidap Polycystic Ovary Syndrome sedangkan
diIndonesia sendiri sekitar 5-10% wanita diusia 15-40 tahun mengidap
Polycystic Ovary Syndrome (Allahbadia, 2007).
Hal ini diperkuat dengan studi lapangan penulis melalui wawancara
dengan beberapa anggota komunitas PCOS Fighter Bandung yang sebagian
besar merupakan wanita usia dewasa awal yang mengidap sindrom tersebut.
Mereka menyatakan bahwa gejala sindrom ini semakin mereka sadari ketika
mereka telah memasuki masa produktif. Beberapa gejala yang mereka rasakan
antara lain mengalami gangguan metabolisme berupa kekacauan siklus
menstruasi, anovulasi, obesitas, dan hiperandrogenisme yang ditandai dengan
tumbuhnya bulu rambut berlebih seperti diatas bibir, dagu, depan telinga, di
sekitar payudara, dan digaris tengah perut, hingga kesulitan dalam
mendapatkan keturunan. Hal ini disebabkan hormon laki-laki yang mereka

1
miliki lebih dominan daripada hormon perempuan. Selain itu prevalensi
perempuan dengan Polycystic Ovary Syndrome cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Dalam jurnal tahun 90-an, ditemukan 2 sekitar 4-
6%. Kemudian, pada penelitian yang dilakukannya di Surabaya tahun 2007,
Prof. Bus menemukan hasil sebesar 4,5%. Sementara penelitian lain sejumlah
8-12%. Bahkan, ada pihak yang mengklaim sebanyak 12-20% perempuan usia
reproduktif (Santoso, 2020).
Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara dengan ketua PCOS
Fighter Bandung yang menyatakan bahwa adanya peningkatan jumlah member
grup setiap tahunnya. Kenaikan jumlah member grup ini dapat terjadi
dikarenakan berbagai faktor baik dari buruknya pola hidup, pola makan, hingga
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi mereka. Di
Indonesia Polycystic Ovary Syndrome ini merupakan kelainan hormonal pada
perempuan yang paling banyak ditemui, dan menjadi salah satu penyebab
terbesar akan terjadinya kekacauan menstruasi dan infertilitas di Indonesia.
Proses pengobatan sindrom ini tidaklah mudah dan singkat. Banyak penderita
yang berjuang melawan sindrom ini untuk mencapai keinginanya, baik untuk
mengurangi gejala sindrom yang ditimbulkan hingga untuk mendapatkan
keturunan. Banyak juga penderita yang menganggap gejala yang ditimbulkan
Polycystic Ovary Syndrome seperti jerawat berlebih, obesitas, dan penipisan
rambut merupakan gangguan metabolisme yang tidak biasa, atau karena
bawaan keturunan saja. Sehingga mereka membiarkannya bertahun-tahun
hingga akhirnya gejala tersebut semakin parah, dan seringkali justru berujung
kepada misdiagnosis (Muharam, 2020).
Dikarenakan informasi masalah Polycystic Ovary Syndrome yang runut
dan lengkap masih belum tersebar maksimal ke masyarakat, maka banyak
penderita justru akhirnya hanya mendapatkan pengobatan atas gejalanya saja
dan tidak mendapatkan penanganan yang lebih dalam lagi. Keadaan tersebut
seringkali membuat situasi penderita menjadi lebih panjang dan rumit. Oleh
karena itu edukasi seputar sindrom ini ke masyarakat sangat diperlukan agar

2
penanganan sindrom ini dapat dilakukan sedini dan se-efektif mungkin untuk
mengurangi efek negatif sindrom tersebut. Polycystic Ovary Syndrome
merupakan sindrom metabolik yang cukup kompleks, sehingga untuk
memahami-nya diperlukan pemahaman awal yang runut dan menyeluruh agar
tidak terjadinya kesalahan pemahaman. Sedangkan media 3 informasi seputar
sindrom ini dibeberapa media, terutama media digital masih belum sistematis.
Sehingga masyarakat masih banyak yang kesulitan memahami sindrom
tersebut. Salah satu media yang dapat menampung informasi secara
komprehensif dan runut salah satunya adalah buku, namun media buku yang
menjelaskan mengenai Polycystic Ovary Syndrome ini masih sedikit, terutama
yang berbahasa Indonesia, sehingga penderita yang ingin memahami sindrom
ini masih sangat kesulitan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
2. Bagaimana etiologi dari Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
3. Patofisiologi dari Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
4. Epidemiologi dari Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
5. Apa saja klasifikasi Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
6. Apa saja faktor resiko Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?
7. Tatalaksana Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)?

C. Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu meengetahui dan memahami
tentang Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
Tujuan Khusus : Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami
definisi, etiologi, patofisiologi, epidemiologi,
klasifikasi, faktor resiko dan tatalaksana Polycystic
Ovarian Syndrome (PCOS)

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi

Sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovarian syndrome/ PCOS


adalah kondisi ginekologi yang ditandai dengan peningkatan kadar androgen,
ketidakteraturan menstruasi, atau kista pada satu atau kedua ovarium. Sindrom
ovarium polikistik dapat bersifat morfologi dimana ditemukan kista multipel
pada ovarium, ataupun biokimia dimana manifestasi hiperandrogenemia lebih
menonjol.
Abnormalitas sindrom ovarium polikistik ada pada metabolisme dari
androgen dan estrogen, serta pada kontrol produksi hormon androgen. Sindrom
ovarium polikistik dapat diakibatkan fungsi abnormal dari aksis hipotalamus-
pituitari-ovarium (HPO-axis). Timbulnya sindrom ovarium polikistik juga
melibatkan berbagai faktor,mulai dari genetik hingga pengaruh lingkungan
Tanda dan gejala klinis sindrom ovarium polikistik bervariasi, tetapi
manifestasi tersering mencakup ketidakteraturan ovulasi, peningkatan kadar
androgen, dan ovarium kistik. Manifestasi dari hiperandrogenisme akan
menyebabkan inhibisi perkembangan folikel, yang ditandai oleh anovulasi dan
gangguan menstruasi. Pasien juga banyak mengalami hirsutisme, acne,
ataupun alopecia. Pada USG, dapat tampak adanya polikista di ovarium.
Pendekatan terapi sindrom ovarium polikistik melibatkan aspek
nonfarmakologis dan farmakologis. Penurunan berat badan telah dikaitkan
dengan penurunan kadar androgen, luteinizing hormone (LH), dan insulin,
yang akan berdampak pada perbaikan ovulasi dan meningkatkan potensi
kehamilan. Tindakan bedah laparoskopi, dimana dilakukan perforasi multipel
pada permukaan ovarium dan stroma, juga diduga dapat bermanfaat
menurunkan kadar androgen.Klomifen dapat digunakan untuk terapi anovulasi.
Obat antidiabetes, seperti metformin dan pioglitazone, dapat digunakan untuk
memperbaiki resistensi insulin. Perawatan kosmetik untuk hirsutisme, jerawat,

4
dan alopecia dapat digunakan untuk manifestasi
hiperandrogenisme. Spironolactone dan finasteride dapat digunakan sebagai
antiandrogen. Kontrasepsi hormonal per oral dapat digunakan untuk mengatur
siklus menstruasi pada pasien yang tidak berencana hamil.

B. Etiologi
Etiologi PCOS bersifat multifaktorial. Etiologi dan patofisiologinya
berawal dari adanya gangguan sistem endokrin. Beberapa etiologi dan
patofisiologi yang terkait dengan PCOS adalah:
1. Peningkatan faktor pertumbuhan atau inadekuatnya produksi
protein pengikat faktor pertumbuhan akan menyebabkan
meningkatnya faktor pertumbuhan yang tidak terikat sehingga akan
meningkatkan respon ovarium terhadap Luteinizing Hormone (LH)
dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Dengan demikian
perkembangan folikel ovarium akan bertambah dan produksi
androgen juga meningkat. Perkembangan folikel yang berlebih ini
akan menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik
2. Produksi androgen yang berlebih oleh ovarium, kelenjar adrenal
atau keduanya, akan menyebabkan aromatisasi androgen menjadi
estrogen juga meningkat. Karena estrogen meningkat maka akan
mengganggu pulsasi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
sehingga pulsasi yang dihasilkan akan meningkatkan kadar LH. LH
yang tinggi akan menyebabkan produksi androgen meningkat.
3. Obesitas akan menyebabkan hiperinsulin yang kronis atau resistensi
insulin. Hiperinsulin akan menstimulasi sel teka ovarium secara
berlebihan untuk memproduksi androgen. Stimulasi tersebut akan
menghambat produksi Sex Hormone Binding Globulin (SHBG)
sehingga androgen bebas akan meningkat. Di perifer, androgen akan
diaromatisasi menjadi estrogen schingga dengan estrogen yang
tinggi dapat menyebabkan kelainan pulsasi LH.1 Selain itu, pada

5
obesitas juga terdapat gangguan dalam pengendalingan sinyal rasa
lapar (pengendalian rasa lapar berkurang). Akibatnya asupan
glukosa akan meningkat. Meningkatnya glukosa akan menyebabkan
hiperinsulin yang akan menstimulasi sekresi steroid adrenal
sehingga terjadi hiperandrogen.
4. Hiperinsulin akan menyebabkan sensitivitas sel teka terhadap
insulin meningkat sehingga sel teka terstimulasi berlebihan Kondisi
ini mengakibatkan terjadinya fosforilasi serine dari komponen
17,20-lyase yang terdapat pada sitokrom 9P450c17 alfa di sel teka.
Fosforilasi tersebut akan memicu sintesis androgen di kelenjar
adrenal dan ovarium
5. Infertilitas pada PCOS disebabkan oleh adanya hambatan ovulasi
dan hipersekresi LH. Ovulasi terhambat karena hiperinsulin dan
hiperandrogen (Gambar 3). Berat/ringannya infertilitas yang terjadi
tergantung dengan berat/ringannya PCOS.
6. Hiperandrogen, anovulasi dan polikistik pada ovarium dapat
disebabkan oleh faktor genetik yang terkait kromosom X dominan.
Tapi pada kasus lain juga dapat terkait dengan kromosom autosom
dominan. Jika seorang wanita yang memiliki ibu atau saudara
perempuan yang menderita PCOS, maka sebesar 50% wanita
tersebut juga akan menderita PCOS.
7. Karena PCOS terkait dengan resistensi insulin pada diabetes tipe 2,
maka kelainan genetik yang menyebabkan diabetes tipe 2 juga dapat
menjadi penyebab PCOS, yaitu kelainangen pada reseptor insulin di
kromosom 19

Gejala-Gejala Polycystic Ovary Syndrome Menurut Allahbadia gejala-


gejala Polycystic Ovary Syndrome adalah (Cristy, 2020, hal. 33-35):

1. Menstruasi yang terganggu

6
Menurut Balen, penderita PCOS sebanyak 50% diantaranya mengalami
keterlambatan menstruasi lebih dari siklus normal yaitu di antara 21
sampai dengan 35 hari dan 20% diantaranya belum atau tidak
mendapatkan menstruasi pertamanya sampai dengan usia 15 tahun.
2. Kelebihan berat badan (obesitas)
Pada penderita PCOS 50% diantaranya mengalami obesitas yang
disebabkan karena banyaknya jaringan lemak sehingga hormon insulin
yang diproduksi oleh tubuh dapat menjadi semakin tinggi dan
meningkatkan terjadinya PCOS. Dilihat dari BMI dapat dilihat kelebihan
berat badan yang melebihi 25 kg/m2 22
3. Terdapat jerawat
Pada penderita PCOS biasanya ditemukan 1 sampai 3 wanita yang
mengalami gejala ini. Keadaan dimana terdapat jerawat yang berlebihan
merupakan salah satu gejala dari PCOS.
4. Hirsutism
Sebanyak 70% wanita yang menderita PCOS memiliki gejala ini.
Hirsutism sendiri memiliki pengertian sebagai keadaan dimana wanita
memiliki rambut yang berlebih dan umumnya hanya tumbuh pada pria
dewasa seperti adanya rambut berlebihan pada bagian perut bagian
bawah dan dada seorang wanita.
5. Kerontokan rambut
Kerontokan rambut ini, dialami oleh 10% wanita penderita PCOS.
Biasanya mereka akan mengalami kerontokan rambut secara berlebih.
6. Penggelapan kulit di area leher
Pada gejala ini, biasanya wanita memiliki keadaan dimana kulit di area
leher mengalami penggelapan dan bertekstur. Sebanyak 1-3% wanita
yang menderita PCOS mengalami hal tersebut.
C. Patofisiologi

7
Patofisiologi dari sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovarian
syndrome/ PCOS diduga melibatkan defek primer pada aksis hipotalamus-
hipofisis, sekresi dan aktivitas insulin, serta fungsi ovarium. Meskipun
penyebab dasar PCOS tidak diketahui, PCOS telah dikaitkan dengan resistensi

8
insulin dan obesitas, karena insulin membantu mengatur fungsi ovarium dan
ovarium merespon kelebihan insulin dengan memproduksi androgen.
Resistensi Insulin, Hiperinsulinemia, Serta Obesitas
Hiperinsulinemia dan resistensi insulin telah ditemukan berkaitan
dengan manifestasi klinis sindrom ovarium polikistik (PCOS).
Hiperinsulinemia dan resistensi insulin, seperti yang ditemukan pada
pasien obesitas, dapat meningkatkan sekresi dari 9ormone androgen. Hal ini
dikonfirmasi dengan adanya penurunan kadar androgen dan meningkatnya
fungsi ovarium pada pasien yang mendapatkan terapi sensitisasi insulin.
Resistensi Insulin dan Hiperinsulinemia

Resistensi insulin menyebabkan hipersekresi insulin kompensatorik


untuk menjaga kondisi normoglikemik. Resistensi insulin pada PCOS dapat
disebabkan kerusakan pada jalur pensinyalan reseptor insulin. Selain itu,
resistensi insulin ini juga diketahui memiliki hubungan dengan adiponektin,
hormon yang dihasilkan adiposit yang mengatur metabolisme lipid dan kadar
glukosa.

Kondisi hiperinsulinemia mendorong produksi androgen dari ovarium


dan dari kelenjar adrenal. Kadar insulin yang tinggi juga menekan produksi
hormon SHBG (sex hormone binding globulin) yang diproduksi di hati. Kondisi
ini turut memperburuk hiperandrogenemia karena meningkatkan proporsi
androgen yang bersirkulasi bebas.

Peran Obesitas

Di antara wanita dengan PCOS yang overweight atau obesitas,


anovulasi dan abnormalitas siklus menstruasi dilaporkan lebih berat. Penurunan
berat badan sebesar 5% terbukti dapat memperbaiki kondisi ini. Selain itu,
wanita overweight dengan PCOS juga lebih sering mengalami komplikasi pada
kehamilan.

9
Peningkatan Kadar Luteinizing Hormone (LH)
Faktor lain yang mendorong produksi androgen dari ovarium adalah
kadar LH yang tinggi dalam jangka waktu lama. Peningkatan LH yang
berlebihan ini diduga merupakan hasil dari peningkatan frekuensi pulsasi
GnRH dari hipotalamus. Lingkungan hormonal yang abnormal ini juga diduga
mengakibatkan perkembangan folikel yang tidak sempurna sehingga
menghasilkan morfologi ovarium polikistik.

Sindrom Ovarium Polikistik dan Inflamasi

Sitokin merupakan protein pembawa sinyal yang disintesis oleh sel


imun tipe spesifik yang memiliki pengaruh besar pada sel lain. Di ovarium, sel
tersebut disekresikan oleh leukosit, oosit, dan sel folikular. Sitokin mengontrol
sintesis dari steroid gonad, folikulogenesis, teroidogenesis, luteogenesis,
proliferasi dari sel ovarium, oogenesis, keseimbangan hormon, dan fungsi dari
korpus luteum.

Beberapa ekspresi dari sitokin yang proinflamasi meningkat pada


pasien dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS). Kondisi ini diduga
menyebabkan ketidakseimbangan antara sitokin antiinflamasi dan proinflamasi
yang berkontribusi lebih lanjut pada disfungsi ovarium. Selain itu, PCOS juga
telah dilaporkan berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes
mellitus tipe 2.

Hiperandrogenisme Ovarium Fungsional


Manifestasi hiperandrogenisme ovarium fungsional (FOH) terjadi pada
kebanyakan pasien dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS). Pasien dengan
FOH mengalami disregulasi sekresi androgen dan respon berlebih dari 17-
hydroxyprogesteron (17-OHP) terhadap stimulasi gonadotropin. Penyebab

10
disregulasi tersebut salah satunya adalah kelebihan insulin, yang mana dapat
mensensitisasi ovarium terhadap Luteinizing Hormone (LH).
Kelebihan androgen dapat meningkatkan perekrutan awal folikel
primordial ke dalam growth pool. Secara bersamaan, hal ini dapat memulai
luteinisasi prematur yang mengganggu pemilihan folikel dominan.

D. Epidemiologi

Data epidemiologi memperkirakan sindrom ovarium polikistik


atau polycystic ovarian syndrome/ PCOS dialami oleh lebih dari 116 juta atau
sekitar 3,4% wanita di seluruh dunia. PCOS diperkirakan merupakan penyakit
metabolik yang paling sering dialami wanita usia subur.

Global
Prevalensi sindrom ovarium polikistik (PCOS) secara global
diperkirakan sebesar 3,4%. Di Amerika Serikat, diperkirakan PCOS
mempengaruhi sekitar 5 juta wanita usia reproduktif Pada beberapa penelitian
di Eropa, prevalensi PCOS dilaporkan berkisar antara 6,5% hingga 8%.

E. Klasifikasi
Sindrom Polikistik Ovarium (Polycystic ovary syndrome) atau PCOS
terjadi karena hormon reproduksi wanita yang tidak seimbang. Kelainan
kesehatan ini ternyata terbagi menjadi empat jenis, yaitu resistensi insulin,
adrenal, post pill, dan inflamasi.

1. PCOS resistensi insulin adalah jenis PCOS yang paling umum yang
memengaruhi sekitar 70 persen pengidap PCOS. Resistensi insulin
sendiri pada dasarnya adalah kondisi ketika tingkat insulin di dalam
tubuh menjadi lebih tinggi dari biasanya, yang dikenal pula dengan
sebutan hiperinsulinemia.

11
PCOS ini terjadi ketika sel-sel tubuh menjadi kebal dan mati rasa
terhadap efek insulin. Alhasil, organ pankreas harus memompa
lebih banyak insulin, hingga sel-sel yang ada pada tubuh dapat
menerima pesan dan mengambil glukosa darah.

Gejala dari PCOS resistensi insulin adalah memiliki keinginan


tinggi untuk mengonsumsi makanan manis, dan memiliki
penumpukan lemak pada area perut. Sering kali, dokter akan
menguji kadar HbA1c atau glukosa untuk mendiagnosis hal ini.

2. PCOS Post Pill, PCOS jenis ini terjadi pada beberapa wanita setelah
berhenti mengonsumsi pil kontrasepsi oral yang termasuk dalam
jenis progestin sintetis. Gejala yang muncul biasanya seperti
munculnya jerawat, siklus menstruasi yang tidak teratur, dan
pertumbuhan rambut yang berlebihan.

Setelah berhenti mengonsumsi pil kontrasepsi oral, rahim


cenderung mengalami lonjakan hormon androgen secara alami,
yang bisa memicu munculnya gejala khas PCOS. Hanya saja, pada
jenis ini tidak terdapat resistensi insulin. Biasanya, kondisi ini
muncul pada wanita setelah 3-6 bulan berhenti mengonsumsi pil KB
oral. PCOS jenis ini membutuhkan waktu untuk sembuh dengan
sendirinya. Namun, dapat diatasi lebih cepat dengan asupan nutrisi
harian yang tepat, perubahan gaya hidup sehat, dan konsumsi
suplemen tertentu

3. PCOS adrenal disebabkan oleh respons stres yang tidak normal dan
mempengaruhi sekitar 10 persen wanita. Jenis PCOS ini biasanya
terjadi selama periode stres besar. Indikator yang ditandai adalah
tingkat kortisol dan DHEA yang tinggi. Biasanya, DHEA-S (jenis
androgen lain dari kelenjar adrenal) akan meningkat dengan
sendirinya, dan kadar testosteron serta androstenedion yang tinggi

12
tidak begitu terlihat. Sayangnya, jenis androgen ini tidak sering
diuji, kecuali jika kamu melakukan pemeriksaan melalui ahli
endokrin.

4. PCOS Inflamasi, PCOS ini terjadi karena peradangan kronis yang


menyebabkan ovarium memproduksi lebih banyak hormon
testosteron. Alhasil, memicu munculnya serangkaian gejala fisik
dan masalah dengan proses ovulasi. Saat mengalaminya, akan
merasakan gejala seperti nyeri sendi, sakit kepala, lelah yang tidak
bisa dijelaskan, masalah pada kulit, dan saluran pencernaan.

Tes darah biasanya akan melihat adanya peradangan yang


meningkat, seperti CRP (protein reaktif C) yang tinggi di atas 5. Tes
lain seperti glukosa puasa dan insulin berada dalam kisaran normal,
tetapi terkadang dapat terpengaruh karena peradangan yang terjadi.

F. Faktor Resiko
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan yang akan menentukan fenotipe klinis dan biokimia pada
masing-masing pasien.

Faktor Genetik

Adanya polimorfisme dalam promotor pentanucleotide atau


polimorfisme CYP11A1 telah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko
PCOS. Riwayat keluarga dengan PCOS juga ditemukan meningkatkan
kemungkinan mengalami PCOS.

13
Faktor Lingkungan

Pada penelitian mengenai SOPK pada berbagai ras etnik, ditemukan


bahwa prevalensi SOPK pada berbagai ras tidak berbeda, tetapi ras berpengaruh
terhadap manifestasi klinis (resistensi insulin, obesitas, hiperandrogenisme,
dislipidemia) SOPK. Perbedaan manifestasi klinis ini mungkin disebabkan oleh
faktor lingkungan, seperti pola makan, kebiasaan olahraga, dan gaya hidup

Komorbiditas pada PCOS, misalnya obesitas atau diabetes mellitus tipe


2, dapat diperburuk oleh faktor lingkungan seperti pilihan diet yang buruk dan
kurangnya aktivitas fisik. Selain itu, paparan berbagai bahan kimia lingkungan
yang disebut endocrin disruptor dilaporkan berkaitan dengan memburuknya
fungsi reproduksi normal, regulasi metabolisme, dan pada akhirnya PCOS.
Bisfenol-A (BPA) dapat meningkatkan kadar androgen dalam darah.
Paparan terhadap endocrin disruptor ini telah dikaitkan dengan PCOS. Kadar

14
BPA ditemukan meningkat pada pasien dengan PCOS. Selain itu, wanita
dengan PCOS dilaporkan memiliki konsentrasi serum perfluorooctanoate dan
perfluorooctane-sulfonate yang lebih tinggi, dengan konsentrasi mono-n-butil
ftalat dan mono-benzil ftalat yang lebih rendah dalam urine.

G. Tatalaksana

Penatalaksanaan sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovarian


syndrome/ PCOS lini pertama meliputi modifikasi gaya hidup, seperti diet dan
olahraga. Tata laksana farmakologis dibutuhkan pada pasien yang mengalami
gangguan metabolik, anovulasi, hirsutisme, dan ketidakteraturan menstruasi.
Pemilihan terapi bergantung pada apakah pasien merencanakan kehamilan atau
tidak.
Obat-obatan yang dapat digunakan mencakup kontrasepsi
oral, metformin, klomifen, dan spironolactone. Terapi bedah dilakukan
terutama untuk memulihkan ovulasi dan biasanya digunakan sebagai salah satu
terapi infertilitas pada penderita PCOS yang ingin hamil.
Dalam pencegahan Polycystic Ovary Syndrome sebenarnya belum
ditemukan, maka dari itu, dalam pencegahannya lebih disesuaikan dengan
keadaan si penderita PCOS.
Dalam pencegahannya dianjurkan untuk melakukan pengecekan
terhadap keadaan wanita yang mempunyai keturunan PCOS dari ibu atau
kakaknya. (Cristy, 2020, hal. 35-36) Terdapat beberapa cara untuk mengobati
PCOS antara lain :
1. Mengkonsumsi obat Metformin dan Thiazolidinediones yang memiliki
fungsi untuk meningkatkan responsibel hormon insulin yang dikarenakan
resistensi insulin.
2. Melakukan diet yang disebabkan oleh obesitas dengan pola hidup yang
lebih baik dan sehat.
3. Mengkonsumsi pil kontrasepsi (pil KB)

15
4. Mengkonsumsi obat anti androgen agar hormon androgen yang berlebihan
sebelumnya dapat disesuaikan dengan jumlah yang seharusnya.
5. Analog GnR

16
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sindrom polikistik ovarium merupakan kumpulan gejala yang ditandai oleh
peningkatan hormon androgen di dalam darah, oligoovulasi atau anovulasi, dan
adanya gambaran polikistik ovarium pada pemeriksaan sonografi. Sindrom ini
dapat menyebabkan gangguan infertilitas dimana suatu pasangan tidak dapat
memiliki anak dalam waktu 12 bulan aktifitas seksual regular tanpa menggunakan
metode kontrasepsi apapun.

17
DAFTAR PUSTAKA

UNIKOM_Yunisa Yas Putri. Makalah Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS).


Tersedia online di
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/6187/7/UNIKOM_Yunisa%20Yas%2
0Putri_%20BAB%20I.pdf Diakses pada 14 November 2022.

Dr. Utari Nur Alifah. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS). Disease. Tersedia
online di https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-
ginekologi/sindrom-ovarium-polikistik/penatalaksanaan Diakses pada 14
November 2022.

Anonim.2020. Bab II Tinjauan Pustaka. Tersedia online di


https://kc.umn.ac.id/15752/4/BAB_II.pdf Diakes pada 16 November 2022.

Price, Sylvia A dan Lorraine M.wilson. 2006. Patofisologi konsep klinis proses-
proses penyakit (vol 2). Jakarta: buku kedokteran EGC.

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedoktemin Universitas Padjajaran. Stein-


Leventhal Ovary dalam Ginekologi. Bandung, 1981. Hal. 181.

18

Anda mungkin juga menyukai