Anda di halaman 1dari 28

PAPER

INDUKSI OVULASI

Makalah ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepanitraan

klinik senior Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSU HajiMedan

DIUSUN OLEH :
DEA YULIA LUBIS
1708320076

PEMBIMBING :
dr. Ahmad Khuwailid, Sp. OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

RSU HAJI

MEDAN

2019

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul
“Induksi Ovulasi”, yang disusun sebagai tugas mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) Ilmu Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Haji Medan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Ahmad Khuwailid, Sp. OG atas bimbingannya dan arahannya sehingga paper ini
dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar bisa lebih baik lagi
dalam tugas selanjutnya.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca, dan bisa membantu
dalam menambah wawasan tentang Induksi Ovulasi.

Medan, 25 Agustus 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2
2.1 Definisi.............................................................................................................................2
2.2 Etiologi.............................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi....................................................................................................................2
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................3
2.5 Manifestasi klinis.............................................................................................................5
2.6 Transmisi..........................................................................................................................8
2.7 Penatalaksanaan.............................................................................................................13

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................22


DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Induksi ovulasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi infertilitas yang
terjadi karena gangguan ovulasi. Induksi ovulasi bertujuan untuk menghasilkan satu
buah sel telur, diharapkan dengan pemberian obat-obatan pemicu ovulasi dapat
memperbaiki proses fisiologis dalam seleksi dan pematangan folikel dominan yang
kemudian akan melepaskan satu buah sel telur.
Penanganan yang dilakukan harus berdasarkan penyebab anovulasi yang terjadi
serta menyingkirkan kemungkinan penyebab infertilitas lainnya. Oleh karena itu,
penting untuk meyakinkan patensi tuba dan analisis semen yang normal sebelum
melakukan induksi ovulasi. Saat ini telah dikembangkan dan diproduksi secara
komersial berbagai macam regimen untuk memicu terjadinya ovulasi. Pada bahasan
ini difokuskan pada satu macam regimen yaitu dengan Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Regulasi Hormon Repoduksi


Hipothamalus mengeluarkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
dengan proses sekresinya melalui aliran portal hipothalamohipofisial. Setelah sampai
di hipofisis anterior, GnRH akan mengikat sel gonadotrop dan merangsang
pengeluaran FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone).
Pada wanita selama masa ovulasi GnRH akan merangsang LH untuk
menstimulus produksi estrogen dan progesteron. Peranan LH pada siklus pertengahan
(midcycle) adalah ovulasi dan merangsang korpus luteum untuk menghasilkan
progesteron. FSH berperan akan merangsang perbesaran folikel ovarium dan
bersama-sama LH akan merangsang sekresi estrogen dan ovarium. Selama siklus
menstruasi yang normal, konsentrasi FSH dan LH akan mulai meningkat pada hari-
hari pertama. Kadar FSH akan lebih cepat meningkat dibandingkan LH dan akan
mencapai puncak pada fase folikular tetapi akan menurun sampai kadar yang yang
terendah pada fase preovulasi karena pengaruh peningkatan kadar estrogen lalu akan
meningkat kembali pada fase ovulasi. Regulasi LH selama siklus menstruasi,
kadarnya akan meninggi di fase folikular dengan puncaknya pada siklus pertengahan,
bertahan selama 1-3 hari, dan menurun pada fase luteal .
Sekresi LH dan FSH dikontrol oleh GnRH yang merupakan pusat kontrol
untuk basal gonadotropin, masa ovulasi dan onset pubertas pada masing-masing
individu. Proses sekresi basal gonadotropin ini dipengaruhi oleh beberapa macam
proses, yaitu:
a. Episode sekresi (Episodic secretadon)
Pada pria dan wanita, proses sekresi LH dan FSH bersifat periodik, dimana
terjadinya secara bertahap dan pengeluarannya dikontrol oleh GnRH.

5
b. Umpan balik positif (Positive feedback)
Pada wanita selama siklus menstruasi estrogen memberikan umpan balik
positif pada kadar GnRH untuk mensekresi LH dan FSH dan peningkatan kadar
estrogen selama fase folikular merupakan stimulus dari LH dan FSH setelah
pertengahan siklus, sehingga ovum menjadi matang dan terjadi ovulasi. Ovulasi
terjadi hari ke 10-12 pada siklus ovulasi setelah puncak kadar LH dan 24-36 jam
setelah puncak estradiol. Setelah hari ke-14 korpus luteurn akan mengalami involusi
karena disebabkan oleh penurunan estradiol dan progesteron sehingga terjadi proses
menstruasi.

Gambar 2.1 Umpan balik positif dan negatif dalam pengaturan sekresi hormonal

c. Umpan balik negatif (Negative Feedback)


Proses umpanbalik ini memberi dampak pada sekresi gonadotropin. Pada
wanita terjadinya kegagalan pernbentukan gonad primer dan proses menopause

6
disebabkan karena peningkatan kadar LH dan FSH yang dapat ditekan oleh terapi
estrogen dalam jangka waktu yang lama. Tujuan pemeriksaan FSH dan LH adalah
untuk melihat fungsi sekresi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus dan
mekanisme fisiologis umpan balik dari organ target yaitu testis dan ovarium.
2.2 Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi sudah barang tentu menimbulkan keadaan infertilitas.
Ovulasi yang terjadi sebelumnya, bahkan kehamilan-kehamilan yang terjadi
sebelumnya bukan merupakan jaminan bahwa siklus haid yang ada sekarang adalah
ovulatorik. Siklus haid yang anovulatorik biasanya memang merupakan siklus yang
tidak teratur dan sering menyebabkan timbulnya perdarahan uterus disfungsional
yang berupa menoragia, metroragia, perdarahan bercak yang berkepanjangan sampai
amenorea.
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan
sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa
kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder
adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan
kehamilannya.
Anovulasi dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor berikut ini:
1. Kelainan interaksi susunan saraf pusat (SSP) – hipotalamus
Keadaan anovulasi yang terjadi bisa karena faktor fisiologis, dan pengaruh obat-
obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi hipotalamus. Hal tersebut dapat
menyebakan suatu keadaan anovulasi atau meningkatkan kadar prolaktin. Selain itu
peningkatan kadar progesteron dan estrogen pada sindroma korpus lutein persisten,
penyusutan berat badan yang mencolok pada anoreksia nervosa dan faktor
psikologik-psikiatrik juga akan mempengaruhi fungsi hipotalamus yang pada
akhirnya menyebabkan keadaan anovulasi.

7
2. Kelainan perangkat hipotalamus – hipofisis
Yang termasuk kelainan kelompok ini adalah amenorea, galaktorea dan gangguan
vaskularisasi. Sekitar 10 – 30 % wanita dengan gangguan siklus haid didapatkan
kadar prolaktin yang tinggi. Siklus anovulatorik baru timbul bila kadar prolaktin
darah mencapai 50 ng/ml, sedangkan insufisiensi korpus luteum dan amenorea akan
terjadi bila kadar prolaktin pada seorang wanita diatas 50 ng/ml. Tidak semua wanita
dengan hiperprolaktinemia akan mengalami amenorea. Sampai sejauh mana kadar
prolaktin yang tinggi mampu mengganggu mekanisme poros hipotalamus-hipofisis-
ovarium, hingga kini belum dapat dijelaskan secara pasti. Sementara itu, gangguan
vaskularisasi yang sering timbul di hipofisis dapat menimbulkan gejala klinis berupa
amenorea hipofisis. Gejala klinis dan perjalanan penyakitnya sangat tergantung pada
luasnya daerah yang terkena.
3. Kelainan pada mekanisme umpan balik
Baik umpan balik positi-negatif dari hormon steroid terhadap hipotalamus dan
hipofisis (long feedback loop), umpan balik negatif hormon gonadotropin terhadap
sekresi hipofisis (short feedback loop), maupun inhibisi releasing factor terhadap
sintesanya sendiri (ultrashort feedback loop).
4. Kelainan pada ovarium
a. Sindroma ovarium resisten gonadotropin
Etiologinya belum diketahui dengan pasti. Salah satu penyebabnya yang saat ini
banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan reseptor-reseptor gonadotropin di
ovarium akibat proses autoimun.
b. Penyakit ovarium polikistik
Penyakit ini ditandai dengan adanya gejala klinis berupa haid yang tidak teratur
sampai amenorea, infertilitas, hirsutisme dan obesitas, serta secara laboratorik
endokrinologik menunjukkan kelainan yang khas yaitu berupa LH dan testosteron
yang tinggi.

8
c. Sindroma luteinized unruptured follicle (LUF)
Sindroma ini merupakan kegagalan ovulasi akibat terperangkapnya ovum yang sudah
matang dibawah simpai ovarium. Laboratorik endokrinologik menunjukkan kadar
hormon steroid dan gonadotropin serta prolaktin yang normal. Etiologi pada kasus ini
belum jelas. Gangguan sekresi FSH dan LH diduga merupakan dasar terjadinya
sindroma ini.
d. Keadaan lain yang bisa menimbulkan anovulasi tingkat ovarium antara lain:
kelainan anatomis (akibat infeksi, endometritis, perlengketan, tumor) dan penyebab-
penyebab ekstra gonad (gangguan fungsi tiroid, diabetes mellitus, dan kegemukan).

2.3 Induksi Ovulasi

Induksi ovulasi merupakan suatu cara untuk memacu ovarium supaya menghasilkan
ovum yang lebih baik dan diharapkan dapat menghasilkan oosit lebih banyak. Induksi
ovulasi 22 selain dilakukan pada program teknologi reproduksi bantuan, juga
dilakukan pada kasus unexplained infertility dan gangguan ovulasi yang biasanya
telah dicoba dengan program senggama terencana terlebih dahulu sebelum
dilanjutkan program teknologi reproduksi bantuan. Keadaan lain seperti gangguan
ovarium karena hiperprolaktinemia dan defek fase luteal seringkalai memerlukan
induksi ovulasi untuk mengatasinya.
Prinsip penanganan infertilitas pada gangguan ovulasi:
a) Mengoreksi kelainan dasar
b) Mengoptimalkan kesehatan sebelum terapi selanjutnya
c) Melakukan induksi ovulasi
Beberapa preparat digunakan untuk induksi ovulasi. Diantaranya klomifen sitrat,
tamoxifen, dan hormon gonadotropin. Klomifen sitrat merupakan obat tahap awal
untuk induksi ovulasi. Preparat ini sudah digunakan lebih 40 tahun dan banyak
digunakan dalam praktek sehari-hari. Mulamula klomifen sitrat digunakan untuk
gangguan ovulasi, sekarang klomifen sitrat juga digunakan untuk pengobatan
infertilitas yang tak terjelaskan bersama-sama dilakukan inseminasi intra uterin.

9
Klomifen sitrat merupakan terapi awal terpilih untuk sebagian besar wanita infertil
karena anovulatorik. Pada percobaan klinis, terapi klomifen sitrat menunjukkan
keberhasilan ovulasi pada 80% wanita, dan setengahnya mencapai kehamilan selama
pengobatan. Klomifen sitrat mampu berinteraksi dengan jaringan yang mengandung
reseptor estrogen antara lain hipotalamus, hipofise, ovarium, endometrium, vagina
dan serviks. Klomifen sitrat akan berkompetisi dengan estrogen untuk berikatan pada
reseptor estrogen dan menurunkan jumlah reseptor estrogen intraseluler.48,49
Klomifen sitrat menginduksi ovulasi dengan cara berikatan dengan reseptor estrogen
di hipotalamus, sehingga timbul keadaan hipoestrogenik di hipotalamus, hal ini
menyebabkan peningkatan frekuensi pulsasi GnRH yang akan meningkatkan sekresi
FSH dan LH. Kemudian terjadi steroidogenesis dan folikulogenesis di ovarium, dan
menghasilkan pertumbuhan folikel serta meningkatkan kadar estradiol dalam
sirkulasi. Pada ovarium, klomifen sitrat berpengaruh langsung pada sel granulosa
sehingga menjadi lebih sensitif terhadap FSH dan LH.50-52
Indikasi pemberian klomifen sitrat:
Klomifen sitrat diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ovarium yang
disebabkan karena disregulasi hipotalamus-hipofisis-ovarium. Pada gangguan
tersebut hipotalamus dan hipofisis masih bisa dipicu. Sedangkan pada wanita dengan
disfungsi hipotalamus-hipofisis, klomifen tidak efektif untuk induksi ovulasi karena
mekaninsme kerja klomifen sitrat memerlukan umpan balik yang masih berfungsi
dari poros hipotalamus-hiposis-ovarium. Tidak terjadinya perdarahan lucut setelah
pemberian progesteron menunjukkan wanita anovulasi yang hipoestrogen berat. Pada
wanita ini induksi ovulasi dengan klomifen sitrat biasanya tidak efektif. Secara umum
klomifen sitrat digunakan untuk induksi ovulasi pada wanita dengan siklus
anovulatorik dimana kadar estrogen cukup.55
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) merupakan hormon peptida yang terdiri
dari 10 asam amino, memiliki waktu paruh singkat, ikatan reseptor dan sangat mudah
digancurkan oleh enzim peptidase.

10
Indikasi pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
a) Kasus anovulasi akibat gangguan pada tingkat hipotalamus atau hipofisis
sehingga menyebabkan rendahnya sekresi dan sintesis Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH). Pada akhirnya terjadi penurunan FSH (Follicle Stimulating
Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone) dan ovarium gagal mengeluarkan
telur yang disebut anovulasi hipotalamik.
Syarat Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
a) Hipofisis harus cukup menyediakan gonadotropin
b) Gangguan Hipotalamus dapat diketahui dengan uji fungsional dinamik dengan
klomifen sitrat atau GnRH.

A. Regimen Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Agonis


Pemberian GnRH agonis ini tidak langsung menekan sekresi gonadotropin.
Pada awalnya pemberian GnRH agonis ini akan memberikan rangsangan (flare
up) setelah beberapa waktu baru memberikan penekanan (down regulation).
Terdapat beberapa macam protokol pemberian GnRH agonis ini, tetapi saat ini
metode yang dipakai adalah protokol jangka pendek dan protokol jangka panjang.
Pada protokol jangka pendek pemberian GnRH agonis pada umumnya dimulai
pada hari ke-2 siklus haid dan diakhiri pada saat penentuan bahwa folikel sudah
matang, dan dilanjutkan dengan pemberian Human Chorionic Gonadotropin
(hCG). Protokol jangka panjang, pemberian GnRH agonis dimulai pada hari ke
21 (pertengahan fase luteal) siklus sebelumnya, dan diakhiri sama seperti pada
protokol jangka pendek.
B. Regimen Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Antagonis
GnRH antagonis bekerjanya langsung menekan sekresi gonadotropin, dan
tujuan utama pemberiannya adalah untuk menghindari terjadinya lonjakan LH,
maka pemberiannya langsung pada saat kemungkinan lonjakan LH tersebut akan
muncul. Terdapat dua macam protokol pemberian GnRH antagonis ini, dosis
tunggal dan dosis ganda atau beruntun.
11
Pada umumnya dosis tunggal GnRH antagonis cukup diberikan sekali pada
hari ke 8 siklus haid, dengan dosis 3 mg. Pada kasus yang stimulasinya
gonadotropin memerlukan waktu yang lama (slow responders), pemberian GnRH
antagonis dapat diulangi setiap 3-4 hari sampai saat pemberian hCG. Pada
protokol dosis ganda GnRH antagonis mulai diberikan pada hari ke-7 siklus haid,
dengan dosis 0,25 mg setiap hari sampai saat pemberian hCG.
Apabila dibandingkan antara pemakaian GnRH antagonis dengan GnRH
agonis protokol panjang. Protokol GnRH antagonis ternyata lebih pendek, lebih
sederhana dan jumlah ampul gonadotropin yang dipakai lebih sedikit.
Kemampuan untuk mencegah lonjakan LH premature, dan kemampuan menekan
terjadinya hiperstimulasi, sama antara kedua protokol ini. Tetapi terdapat
perbedaan antara jumlah oosit yang didapat dan angka kehamilan yang
dihasilkannya. GnRH antagonis protokol tetap, menghasilkan jumlah oosit dan
angka kehamilan yang lebih rendah, dibandingkan dengan GnRH agonis protokol
panjang. Apakah kekurangan protokol tetap GnRH antagonis ini bisa diatasi
dengan menyesuaikan protokolnya dengan karakteristik setiap individu, masih
perlu diteliti lebih lanjut.
1) Pemantauan estrogen
Pengukuran kadar estrogen sangatlah penting guna mengetahui kapan waktu
yang tepat untuk memberikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) guna
mencetuskan ovulasi dan mencegah keadaan hiperstimulasi. Pada hari ke-7
pemberian terapi, kadar estradiol serum harus diukur, dari hasil pengukuran ini
kita dapat mengambil keputusan mengenai kadar pemberian Human Menopause
Gonadotropin (hMG) berikutnya. Hal ini diambil sebagai patokan berdasarkan
pengalaman dilapangan dan untuk menghindari pemeriksaan kadar estradial
serum setiap hari, walaupun kadang kala hal ini penting untuk dilakukan.
Kadar estradiol yang maksimal untuk terjadinya ovulasi antara 1000 – 1500
pg/mL. Bila kadarnya lebih dari 2000 pg/mL maka ini menandakan telah terjadi
keadaan hiperstimulasi, pada kadar tersebut diatas pemberian GnRH dihentikan
12
dan injeksi hCG tidak lagi diberikan. Hal ini untuk menghindari terjadinya
keadaan ovarium polikistik. Pada kadar 1000-1500 pg/mL, menandakan pasien
mendekati saat ovulasi, ini merupakan waktu yang tepat untuk memberikan
injeksi hormon hCG.
2) Pemantauan ultrasonografi
Pemeriksaan USG serial transvaginal dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan pertumbuhan dan perkembangan folikel serta derajat maturitasnya.
Pada perkembangan yang normal pertumbuhan folikel dapat diidentifikasi dengan
USG pada hari ke-5 hingga ke-7. Folikel ini akan menjadi lebih jelas pada hari
ke-8 dan ke-10 dari terapi. Pada siklus yang normal, diameter rata-rata dari folikel
matur, sebagai suatu folikel praovulasi adalah 20 – 24 mm ( range: 14 – 28 mm).
Dari hasil pengamatan, kehamilan biasanya tidak akan terjadi pada ovulasi
dengan ukuran folikel kurang dari 17 mm. Umumnya hanya satu folikel yang
dominan, diikuti oleh subordinat folikel dengan diamater rata-rata 14 mm. Pada 5
– 11 % siklus didapati 2 atau lebih folikel dominan yang berkembang.
Lebih kurang 5 hari sebelum terjadinya ovulasi, folikel akan tumbuh secara
linier dengan rata-rata 2–3 mm perharinya, dan pertumbuhan akan meningkat
pesat 24 jam sebelum ovulasi. Dikatakan hal ini berhubungan dengan kejadian
mittelschmerz, bukan terjadi saat pecahnya folikel matang. Ovulasi terjadi
bersamaan dengan pengosongan isi folikel 1 – 45 menit kemudian. Ovulasi akan
berhasil bila pemberian hCG dilakukan pada saat folikel berukuran 18 – 20 mm.
Lebih kurang 36 jam setelah pemberian hCG biasanya akan terjadi ovulasi.
USG juga digunakan pula untuk mengetahui ketebalan dari endometrium,
terutama saat akan diberikannya hCG sebagai induksi ovulasi. Ini sangat penting
untuk mengetahui pada saat ovulasi dan kemudian terjadi pembuahan, hasil
konsepsi dapat berimplantasi untuk selanjutnya menjadi suatu kehamilan. Tidak
akan terjadi kehamilan bila saat akan terjadi implantasi ketebalan endometrium
kurang dari 6 mm. Kemungkinan untuk terjadi kehamilan menjadi besar apabila
saat implantasi hasil konsepsi ketebalan endometrium 9 – 10 mm atau lebih.
13
3) Saat inseminasi atau hubungan seksual
Inseminasi biasanya dilakukan 36 jam setelah pemberian injeksi hCG atau
dengan melihat kadar LH (LH surge) yang disesuaikan dengan temperatur suhu
badan yang menandakan suatu ovulasi. Bila penderita tidak dalam program
inseminasi, pasangan diperintahkan untuk melakukan hubungan seksual 24
hingga 36 jam setelah pemberian hCG, setelah sebelumnya absen paling tidak
untuk 48 jam.

14
BAB III

KESIMPULAN

Induksi ovulasi merupakan bagian penting pada penanganan infertilitas.


Pemahaman yang baik terhadap fisiologi ovulasi berperan besar pada keberhasilan
induksi ovulasi. Protokol induksi ovulasi dengan menggunakan berbagai macam
regimen tersebut telah dikembangkan, namun pemilihannya harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu tujuan induksi ovulasi tersebut, efek samping dan keamanannya.
Saat ini telah diproduksi berbagai macam regimen untuk induksi ovulasi atau
stimulasi ovarium, diantaranya klomifen sitrat, tamoxifen dan Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH).

15
BAB IV
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. F

Umur : 53 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Alamat : Jalan Letda Sujono, Medan

Masuk RS : 20 Agustus 2019

Dokter yang merawat : dr. Yuri Andriansyah, Sp. OG

IDENTITAS SUAMI

Nama : Tn.E

Umur : 60 tahun

Agama : Islam

16
Suku : Minang

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jalan Letda Sujono, Medan

B. ANAMNESIS

Ny.F 55 tahun, P2A0, Islam, Jawa, SMA, Ibu Rumah Tangga, i/d Tn.E , 60 tahun,

Minang, Islam, SMA, Swasta datang ke RS Haji Medan pada tanggal 20

Agustus 2019.

KeluhanUtama :

Pendarahan menstruasi yang lama dan banyak

Telaah :

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan Pasien
datang ke rumah sakit pada tanggal 20-8-2019 dengan keluhan gangguan haid sejak 5
tahun yang lalu. Dalam sebulan haid sebanyak 1 kali. Setiap haid lamanya 7-20 hari.
Setiap hari ganti pembalut + 4 sampai 5 kali. Darah haid berwarna merah kehitaman.
Sakit perut saat haid disangkal. Riwayat keputihan tidak ada. Pasien juga mengeluh

17
rasa penuh dan berat sejak 2 tahun yang lalu pada perut bagian bawah. Nyeri dan rasa
kemeng di daerah perut bagian bawah. Teraba benjolan di perut disangkal. Sebelum
MRS pasien pernah memeriksakan kesehatannya di dokter Sp.OG pada tanggal 17-
12-2018 karena gangguan haid. Dari hasil pemeriksaan USG di dokter Sp.OG
tersebut didapatkan uterus membesar dengan ukuran 10 x 7 cm dan didiagnosis
mioma uteri. Kemudian pasien MRS melalui poli kandungan dan direncanakan untuk
operasi elektif histerektomi.

Riwayat demam (-), riwayat angkat beban berat (-), riwayat trauma atau terjatuh (-),
BAB dan BAK dalam batas normal.

RPT

 Anemia (-)
 Hipertensi (-)
 Penyakit Ginjal (-)
 Reumatik (-)
 Diabetes (-)
 Tuberkulosis (-)
 Penyakit jantung (-)
 Penyakit lain (-)
 Veneral Disease (-)
 Operasi (-)

18
RPO : -

RPK : -

Riwayat Alergi

Riwayat Alergi makanan : (-)

Riwayat alergi obat-obatan : (-)

Gizi dan Kebiasaan

Nafsu makan : sedang

Perubahan berat badan : sedang

Merokok/suntik : tidak

Alkohol : tidak

Kebiasaan makan obat : tidak ada

Obat-obat yang dimasukkan ke dalam vagina : tidak ada

Riwayat Haid

Menarche : 14 tahun

Siklus haid : 28 hari

Lama haid : 7 hari ( 2-3 kali ganti pembalut)


Dismenorhes : (-)

Haid terakhir : 19-08-2019

Metorrhagia : (+)

Menorrhagia : (-)

Spotting : (+)

Darah beku : (-)

Contact Bleeding : (-)

Climacterium : (-)

Keputihan

Jumlah : DBN

Warna : DBN

Bau : (-)

Konsistensi : DBN

Gatal (Pruritus vulvae) : (-)

Riwayat Perkawinan

Umur kawin : Kawin ke-1, masih kawin


Istri : 20 tahun

Suami : 27 tahun

Lama Perkawinan : 33 tahun

Kemandulan : (-)

Vaginismus/Frigiditas : Tidak ditanyakan

Libido : Tidak ditanyakan

Frekuensi coitus : Tidak ditanyakan

Orgasmus : Tidak ditanyakan

Dispareunia : Tidak ditanyakan

Riwayat kontrasepsi : IUD

Riwayat Operasi : (-)

Riwayat Persalinan

1. Perempuan, aterm, PSP, dr. Sp. OG, RS, 3.000 gram, sehat, 26 tahun
2. Laki-laki, aterm, PSP, dr. Sp. OG, RS, 3.200 gram, sehat, 22 tahun

Pemeriksaan Fisik

 Status Present

Keadaan umum : Tidak tampak sakit Anemis :-


Sensorium : Compos Mentis Ikterik :-

TD : 100/70 mmHg Dyspnoe :-

HR : 80 x/i Sianosis :-

RR : 20 x/i Oedem :-

T : 37,9°C Cor : DBN

TB : 165 cm Pulmo : DBN

BB : 57 kg THT : DBN

 Status Generalisata
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher : KGB tidak teraba, TVJ tidak Meningkat
Thorak : Cor: Bunyi jantung Normal, Reguler, bunyi tambahan (-)
Pulmo : Suara Pernapasan Vesikuler, Suara tambahan (-)
Abdomen : distensi (-), BU(+) Normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (-), Edema (-/-)

C. STATUS GINEKOLOGI
 Pemeriksaan Luar

Abdomen

Membesar : (-)
Simetris/asimetris : simetris

Meteorismus : (-)

Soepel : (+)

Asites : (-)

Inspeksi
Mons Pubis : tertutup bulu kemaluan secara merata
Labia mayor : bentuk : DBN
warna : DBN
pembengkakan : (-)
Labia minor : bentuk : DBN
warna : DBN
pembengkakan : (-)
Klitoris : dalam batas normal
Orificium uterus eksterna : dalam batas normal
Introcoitus vagina : dalam batas normal
Fluor albus : (-)
Perineum : dalam batas normal

 Pemeriksaan Dalam

Inspekulo

Portio : licin

Erosi : (-)

Ectropion : (-)

Laserasi : (-)

Ovulanaboti : (-)
Darah : (-)

Polip : (-)

Bunga Kol (exophytik) : (-)

Leukoplakia : (-)

Schiller test : (-)

Vaginal Toucher (VT)

Uterus
Posisi : antefleksi
Besar : ukuran lebih besar dari normal 12 minggu
Mobilitas : Mobile
Konsistensi : kenyal
Nyeri tekan : (-)
Serviks
Portio : licin
OUE : (-)
Contact Bleeding : (-)
Sakit sewaktu digerakkan : (-)
Parametrium kanan / kiri : lemas / lemas
Adneksa kanan/kiri : tidak teraba
Besar : (-)
Konsistensi : (-)
Mobilitas : (-)
Permukaan : (-)
Nyeri tekan : (-)
Cavum Douglass
Douglass Crise : (-)
Menonjol/tidak : tidak menonjol

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium tanggal 20-18-2019 pukul 15.30 WIB
Hematologi
Darah rutin Nilai Nilai Rujukan satuan
Hemoglobin 10,9 11,7 – 15,5 g/dl
Hitung eritrosit 4,0 3,6 - 5,2 10*6/µl
Hitung leukosit 10,000 4,000- 11,000/µl
Hematokrit 40,5 36-47 %
Hitung trombosit 272.000 150,000-450,000/µl

Index eritrosit
MCV 84,0 80 – 100fL
MCH 28.4 26 – 34pg
MCHC 31,6 32 – 36 %

Hitung jenis leukosit


Eosinofil 2 1–3 %
Basofil 0 0–1 %
N.Stab 0 2– 6 %
N. Seg 60 53–75 %
Limfosit 35 20–45 %
Monosit 6 4–8 %
Laju Endap Darah 16 0-20 mm/jam
Klinis Klinik
Glukosa Darah 90 <140 mg/dL

Ultrasonografi (USG) Abdomen :


 Uterus antefleksi dengan ukuran membesar yaitu 80 mm x 75 mm
 Adneksa kiri dan kanan normal
 Kesan: Mioma uteri

DIAGNOSA : Mioma uteri

 Lapor Supervisor dr H. M. Muslich, Sp. OG


 Rencana Operasi TAH a/I Mioma Uteri tanggal 22 Agustus 2019 pukul 08:00

PENATALAKSANAAN :

 Lapor Supervisor dr H. M. Muslich, Sp. OG


 Th/ - IVFD RL 20 gtt/I abocat 18, puasa 8 jam
 Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
 Inj. Keterolac 30 mg/ 8 jam

PERSIAPAN OPERASI

Tanggal 22 Agustus 2019

1. SIO dan Informed Concent

2. Pasien di informasikan untuk puasa 6-8 jam sebelumnya operasi

3. IVFD RL 20 gtt/i

4. Buat resep obat ketorolac, ondansentron, ranitidine untuk premedikasi

5. Pemasangan kateter

6. Konsul anestesi

7. Awasi vital sign

8. Hasil lab awal telah terlampir

9. Hygiene pribadi
DAFTAR PUSTAKA

1. Aleida G, Huppelschoten, Noortje T, Peter FJ, van Bommel , Kremer J, Nelen W.


Do infertile women and their partners have equal experiences with fertility care.
Fertil Steril. 2013;99(3).
2. Al-Inany HG, Youssef MA, Aboulghar M, Broekmans F, Sterrenburg M, Smit J,
et al. Gonadotrophin-releasing hormone antagonists for assisted reproductive
technology. Cochrane Database Syst Rev. 2011(5):CD001750. Epub 2011/05/13.
3. Copperman AB and Benadiva C, 2013. Optimal usage of the GnRH antagonists:
a review of the literature. Reproductive Biology and Endocrinology, No.11 Vol.2
pp 1-13.
4. Scheiber M and Liu J, 2011. The Use of Gonadotropin-Releasing Hormone to
Induce Ovulation. Global library of Women’s medicine.
5. Speroff L, Fritz MA, 2011. Clinical Ginecologic Endrokinology and Infertility,
PA USA :Lippincot williams and wilkin.
48. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Induction of ovulation. In: Mitchell C, Reter R,
Stewart J, Magee RD, editors. Clinical gynecologic endocrinology and fertility. 6th
ed. Baltimore:William & Wilkins; 1994.p.1097-132.
49. Chrousos GP. The gonadal hormones and inhibitors. In: Katzung BG, editor.
Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York:McGraw Hill 2004.p.661-92.
50. Goldfien A. Ovaries. In: Greenspan FS, Gardner DG, editors. Basic & clinical
endocrinology. 6th ed. New York:Mc Graw Hill; 2001.p.453-508.
51. American College of Obstetricians and Gynecologists. Management of infertility
caused by ovulatory dysfunction. Clinical management guidelines for
obstetriciangynecologists. Obstet Gynecol 2002;99(2):347-58
52. Wallach EE. Induction ovulation. In: Wallach EE , Zacur HA, editors.
Reproductive medicine and surgery. 1st ed. St Lous Missouri:Mosby; 1995.p.555-67.
55. Shoham Z. Drug used for controlled ovarian stimulation: clomiphene citrate and
gonadotropins. In: Gardner DK, Weissman A, Howles CM, Shoham Z, editors.
Textbook of assisted reproductive techniques. Laboratory and clinical perspectives.
London:Martin Dunitz Ltd; 2001.p.413-24.

Anda mungkin juga menyukai