Oleh:
Herick Alvenus Willim
I11112022
Pembimbing
dr. Vidia Sari, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU KESEHATAN WANITA
RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
LEMBAR PERSETUJUAN
A. Definisi
Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) merupakan suatu endokrinopati yang
ditandai dengan adanya oligoovulasi atau anovulasi, tanda kelebihan androgen,
dan kista kecil multipel di ovarium.1
B. Epidemiologi
PCOS merupakan penyakit endokrin tersering pada wanita usia reproduktif
dan meliputi 4% - 12% wanita. Meskipun manifestasi kelebihan androgen dapat
bervariasi, namun insiden PCOS dijumpai merata pada semua ras dan bangsa.
PCOS berhubungan dengan faktor genetik dan bersifat autosomal dominan.
Penelitian pada kembar identik menunjukkan bahwa pada pasien PCOS, sekitar
50% saudari kandungnya juga menderita PCOS. Sekitar 3% - 35% pasien PCOS
memiliki ibu kandung yang juga menderita PCOS.1,2
Gangguan menstruasi umum dijumpai pada penderita PCOS yang meliputi
oligomenorea, amenorea, dan perdarahan yang berkepanjangan, namun sekitar
30% memiliki menstruasi yang normal. Sekitar 85% - 90% wanita dengan
oligomenorea menderita PCOS, sementara 30 – 40% wanita dengan amenorea
menderita PCOS. Lebih dari 80% wanita yang datang dengan manifestasi
kelebihan androgen, menderita PCOS. Hirsutisme merupakan manifestasi yang
tersering pada hiperandrogenisme dan meliputi 70% wanita dengan PCOS.2
Infertilitas terjadi pada 40% penderita PCOS. PCOS merupakan penyebab
tersering infertilitas anovulasi. Sekitar 90% - 95% wanita anovulasi yang datang
ke klinik infertilitas, menderita PCOS. Kejadian aborsi spontan terjadi lebih sering
pada PCOS dengan insidensi 42 % - 73%.2
C. Faktor Resiko
Penelitian yang dilakukan oleh Begum et al (2017) menunjukkan bahwa
terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya PCOS, yaitu
riwayat keluarga, obesitas, dan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji. Wanita
yang sering mengkonsumsi makanan cepat saji memiliki resiko 1,7 kali lipat lebih
tinggi mengalami PCOS karena berhubungan dengan fluktuasi kadar glukosa
darah, resistensi insulin dan ketidakseimbangan hormonal sehingga meningkatkan
resiko PCOS. Wanita dengan obesitas memiliki resiko 1,74 kali lipat lebih tinggi
mengalami PCOS dibandingkan wanita dengan BMI normal.5
D. Etiopatofisiologi
Etiologi pasti dari PCOS belum diketahui. PCOS bersifat multifaktorial yang
dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti diet yang tidak
sehat dan aktivitas fisik yang kurang.6
Banyak hipotesis yang mencoba menjelaskan patofisiologi PCOS. Pada
awalnya, kelebihan androgen intrauterin diduga menjadi peran utama
perkembangan PCOS. Namun beberapa penelitian terhadap manusia
menunjukkan tidak adanya hubungan antara paparan androgen yang berlebihan di
masa prenatal, dengan perkembangan PCOS pada usia muda, dan juga tidak
berhubungan dengan peningkatan androgen di plasenta pada wanita yang lahir
dari ibu dengan PCOS. Hipotesis lain mengatakan bahwa bayi dengan intra
uterine growth restriction (IUGR) dan tumbuh kejar spontan mengalami
pengurangan kapasitas penyimpanan lipid dalam jaringan adiposa, sehingga
terjadi resistensi insulin yang berkontribusi pada PCOS dan hiperandrogenemia,
namun hal ini tidak terjadi pada pasien dengan PCOS yang tidak mengalami
IUGR atau pasien yang mengalami IUGR namun tanpa kejar tumbuh spontan.3
D.1. Gonadotropin
Anovulasi pada wanita dengan PCOS ditandai dengan sekresi gonadotropin
yang tidak tepat. Secara spesifik, perubahan pulsatil gonodotropin-releasing
hormone (GnRH) mengakibatkan kecenderungan produksi luteinizing hormone
(LH) dibandingkan follicle-stimulating hormone (FSH). Peningkatan LH serum
terjadi pada 50% wanita penderita PCOS. Rasio LH : FSH ditemukan sebesar 2 :
1 pada sekitar 60% pasien.1
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada PCOS dapat bervariasi meliputi menstruasi ireguler,
infertilitas, manifestasi kelebihan androgen, dan manifestasi disfungsi endokrin
lainnya.1
E.1. Disfungsi Menstruasi
Disfungsi menstruasi pada wanita dengan PCOS dapat bervariasi dari
amenorea, oligomenorea, hingga menometroragia episodik dengan anemia. Pada
kebanyakan wanita dengan PCOS, amenorea dan oligomenorea merupakan akibat
dari anovulasi. Dalam hal ini, ovulasi yang gagal dapat menghalangi produksi
progresteron. Amenorea pada PCOS juga dapat diakibatkan oleh peningkatan
kadar androgen. Androgen dapat menghalangi estrogen untuk menghasilkan
endometrium yang atrofi.1
Berlawanan dengan amenorea, wanita dengan PCOS juga dapat mengalami
perdarahan yang berat dan tidak terprediksi. Dalam hal ini progesteron tidak
diproduksi akibat anovulasi dan paparan estrogen yang kronik. Hal ini
menyebabkan stimulasi mitogenik yang konstan pada endometrium. Instabilitas
dari dinding endometrium yang tebal dapat mengakibatkan perdarahan yang tidak
terprediksi.1
Oligomenorea (periode menstruasi yang kurang dari 8 kali dalam 1 tahun)
atau amenorea (tidak adanya menstruasi dalam 3 bulan berturut-turut atau lebih)
pada PCOS dimulai setelah menarche. Pada wanita normal, 50% wanita post
menarche mengalami menstruasi yang ireguler hingga 2 tahun akibat imaturitas
aksis hipotalamis-pituitari. Namun pada wanita dengan PCOS, iregularitas
menstruasi dapat berlangsung terus menerus.1
E.2. Hiperandrogenisme
Manifestasi hiperandrogenisme berupa hirsutisme, acne, dan alopesia
androgenik.1
1) Hirsutisme
Hirsutisme pada wanita merupakan keadaaan munculnya rambut yang
kasar dan gelap yang terdistribusi seperti pola laki-laki. 70% - 80% wanita
dengan hirsutisme mengalami PCOS, sedangkan penyebab terbanyak
hirsutisme lainnya adalah tidak diketahui (idiopatik).1
Gambar 2.4. Hirsutisme pada PCOS1
Peningkatan kadar androgen memainkan peranan penting dalam distribusi
rambut. Dalam folikel rambut, testosteron dikonversikan oleh enzim 5 α-reduktase
menjadi dihydrotestosterone (DHT). Testosteron dan DHT mengonversikan
rambut yang halus menjadi rambut yang kasar. Konversi rambut ini bersifat
ireversibel dan hanya rambut di daerah yang sensitif androgen yang terpengaruh
dengan hal ini. Daerah tersering yang muncul pertumbuhan rambut yang
berlebihan pada wanita PCOS meliputi bibir atas, dagu, cambang, dada, dan linea
alba pada abdomen bawah.1
2) Acne
Acne vulgaris merupakan temuan sering pada remaja. Namun acne
vulgaris yang persisten atau late onset perlu dicurigai PCOS. Prevalensi
acne pada wanita PCOS belum diketahui secara pasti, walaupun terdapat
penelitian yang menemukan bahwa 50% remaja dengan PCOS memiliki
acne vulgaris derajat sedang. Peningkatan kadar androgen dilaporkan pada
80% wanita dengan acne berat, 50% acne sedang, dan 33% acne ringan.
Wanita dengan acne sedang-berat memiliki peningkatan prevalensi (52%
menjadi 83%) ovarium polikistik yang ditemukan pada pemeriksaan
USG.1
Patogenesis acne vulgaris meliputi empat faktor : sumbatan saluran
keluar folikel rambut oleh hiperkeratosis, produksi sebum yang berlebihan,
dan proliferasi Propionibacterium acnes, dan inflamasi. Pada wanita
dengan kelebihan androgen, stimulasi yang berlebihan pada reseptor
androgen di unit pilosebasea mengakibatkan peningkatan produksi sebum
yang mencetuskan inflamasi dan komedon. Inflamasi mengakibatkan efek
samping jangka panjang acne yaitu scarring. Penanganan acne meliputi
pengurangan inflamasi, pengurangan produksi keratin, pengurangan
kolonisasi P acnes, dan pengurangan kadar androgen untuk mengurangi
produksi sebum.1
Pada folikel rambut, testosteron dikonversi dalam kelenjar sebasea
menjadi metabolit aktif yaitu DHT oleh enzim 5 α-reduktase. Enzim 5 α-
reduktase memiliki 2 isoenzim, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Isoenzim tipe 1
mendominasi dalam kelenjar sebasea. Pada kulit yang memiliki
kecenderungan acne misalnya kulit wajah, aktivitas isoenzim tipe 1 lebih
besar dan DHT lebih banyak diproduksi dalam kelenjar sebasea.1
3) Alopesia Androgenik
Alopesia androgenik merupakan keadaan terjadinya noncicatricial
(nonscarring) hair loss yang ditandai dengan minituarisasi atau
transformasi gradual rambut kulit kepala yang matur menjadi vellus hair
follicles yang tidak dapat mencapai panjang atau pertumbuhan yang
potensial. Alopesia androgenik merupakan manifestasi yang tidak sering
ditemukan pada PCOS. Peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT)
memfasilitasi konversi rambut kulit kepala yang kasar menjadi rambut
kulit kepala yang halus. Alopesia dapat merefleksikan penyakit lainnya
seperti disfungsi tiroid, anemia, dan penyakit kronis lainnya sehingga
perlu diinvestigasi lebih lanjut.1,9
F. Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis PCOS, antara lain kriteria dari Rotterdam 2003, kriteria dari National
Institues of Health (NIH) 1990, dan kriteria dari Androgen Excess and PCOS
Society (AE-PCOS) 2009.1
Endocrine Society (2013) merekomendasikan penggunaan kriteria Rotterdam
untuk mendiagnosis PCOS. Pada kriteria Rotterdam (2003), diagnosis PCOS
ditegakkan jika ditemukan 2 dari 3 kriteria :10
1) Hiperandrogenisme
2) Disfungsi ovulasi (oligoovulasi atau anovulasi)
3) Polikistik ovarium pada USG
Disebutkan dalam kriteria Rotterdam (2003), dikatakan polikistik ovarium
jika ditemukan setidaknya pada satu ovarium 12 atau lebih folikel dengan
diameter 2 mm – 9 mm, dan atau peningkatan ukuran ovarium >10 ml.11
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis PCOS1
H. Tatalaksana
Pilihan terapi pada PCOS tergantung pada target yang diingin dicapai pasien
dan derajat keparahan disfungsi endokrin. Wanita anovulasi yang menginginkan
kehamilan akan menjalani terapi yang berbeda dibandingkan dengan remaja
dengan menstruasi ireguler dan acne. Pasien sering mencari terapi untuk keluhan
tunggal dan dapat menemui berbagai spesialis, antara lain dermatologis,
nutrisionis, estetisian, dan endokrinologis, sebelum dievaluasi lebih lanjut oleh
ginekologis.1
Tatalaksana pada PCOS secara umum meliputi observasi, penurunan berat
badan, latihan fisik, penanganan oligoovulasi/anovulasi, hirsutisme, acne,
acanthosis nigricans, dan pembedahan.1
H.1. Observasi
Wanita dengan PCOS yang memiliki siklus menstruasi reguler yang cukup
(8 – 12 menstruasi per tahun) dan memiliki hiperandrogenisme ringan boleh tidak
perlu diberikan terapi. Pada kelompok wanita ini, skrining periodik untuk
dislipidemia dan DM diperlukan.1
1) Skrining DM Tipe 2
Wanita dengan PCOS perlu dilakukan skrining rutin untuk DM tipe 2.
Penelitian telah menunjukkan bahwa penilaian hanya dengan
menggunakan gula darah puasa belum cukup untuk mendiagnosis DM tipe
2 pada pasien dengan PCOS, karena dapat mengalami missing up hingga
80% pada pasien pre diabetes dan 50% pasien diabetes.1
Endocrine Society (2013) merekomendasikan penggunaan tes
toleransi glukosa oral (meliputi gula darah puasa dan gula darah 2 jam post
pemberian glukosa oral 75 gram) untuk skrining toleransi glukosa
terganggu dan DM tipe 2 pada remaja dan wanita dewasa dengan PCOS.
Tes HbA1C dapat dilakukan jika pasien tidak stabil atau tidak dapat
menyelesaikan tes toleransi glukosa oral. Skrining ulang dilakukan setiap
3 – 5 tahun atau lebih sering jika terdapat klinis adipositas sentral,
peningkatan berat badan yang banyak, dan muncul gejala diabetes.10
2) Skrining Penyakit Kardiovaskuler
Endocrine Society (2013) merekomendasikan remaja dan wanita
dewasa dengan PCOS perlu dilakukan skrining untuk faktor resiko
kardiovaskular, antara lain : riwayat keluarga dengan penyakit dini
kardiovaskular, merokok, toleransi glukosa terganggu/DM tipe 2,
hipertensi, dislipidemia, obstructive sleep apnea, dan obesitas (terutama
peningkatan adipositas abdominal). Perlu dilakukan pengukuran berat
badan, BMI, tekanan darah, dan profil lipid lengkap (kolesterol total,
kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida).10
Tabel 2.3. Stratifikasi Resiko Kardiovaskular pada Wanita PCOS
3) Skrining Psikologis
Endocrine Society (2013) merekomendasikan skrining depresi dan
cemas pada wanita dan remaja dengan PCOS, dan dilakukan
penanganan/rujukan yang tepat jika ditemukan depresi dan cemas.10
H.2. Penurunan Berat Badan
Pada wanita obesitas dengan PCOS, perubahan gaya hidup difokuskan pada
diet dan latihan fisik. Bahkan penurunan sederhana dari berat badan (5% berat
badan) dapat menghasilkan perbaikan siklus ovulasi normal pada beberapa
wanita. Perbaikan ini merupakan hasil dari reduksi kadar insulin dan androgen,
serta peningkatan kadar SHBG.1
Diet optimal yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin belum diketahui.
Diet tinggi karbohidrat meningkatkan derajat sekresi insulin. Sebaliknya, diet
tinggi protein dan rendah lemak dapat menurunkan sekresi insulin. Namun diet
yang sangat tinggi protein perlu berhati-hati karena dapat membebani fungsi
ginjal. Diet rendah kalori yang seimbang dapat bermanfaat pada wanita obesitas
dengan PCOS.1
Endrocine Society (2013) merekomendasikan strategi penurunan berat badan
ditujukan untuk wanita dengan PCOS yang overweight atau obesitas. Namun pada
kelompok wanita dengan berat badan normal, strategi penurunan berat badan
kurang bermanfaat. Strategi penurunan berat badan dapat dimulai dari diet
pembatasan kalori, namun belum ada bukti jenis tipe diet apa yang superior).10
H.3. Latihan Fisik
Latihan fisik diketahui memiliki manfaat bagi pasien DM tipe 2. Pria dan
wanita dengan resiko DM tipe 2. Publikasi tentang diabetes prevention program
pada tahun 2002 menunjukkan bahwa wanita dan pria dengan resiko diabetes
disarankan untuk mengurangi berat badannya setidaknya 7% dan melakukan
latihan fisik selama 150 menit setiap minggu, dan hal ini menunjukkan manfaat
hingga 2 kali lipat dalam memperlambat onset diabetes, dibandingkan dengan
grup yang hanya diberikan metformin.1
Endocrine Society (2013) merekomendasikan latihan fisik dalam penanganan
overweight dan obesitas pada PCOS. Meskipun belum ada penelitian yang
meneliti tentang latihan fisik pada PCOS, latihan fisik dengan atau tanpa
kombinasi dengan intervensi diet dapat menurunkan berat badan dan mengurangi
faktor resiko kardiovaskular dan diabetes pada populasi umum.10
H.4. Penanganan Infertilitas
Endocrine Society (2013) merekomendasikan penggunaan clomiphene citrate
atau letrozole sebagai terapi lini pertama untuk infertilitas pada wanita dengan
PCOS. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa letrozole berhubungan dengan
angka kelahiran dan ovulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan clomiphene
pada wanita dengan PCOS.10
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hingga 40% wanita anovulasi
dengan PCOS akan mengalami ovulasi dan kebanyakan dapat mencapai
kehamilan dengan hanya menggunakan metformin. Metformin merupakan obat
kategori B dan aman sebagai agen induksi ovulasi. Metformin dapat digunakan
sendiri atau bersama dengan obat lain seperti clomiphene citrate. Metformin dapat
meningkatkan respons ovulasi terhadap clomiphene citrate pada pasien yang
sebelumnya resisten clomiphene. Penelitian oleh Legro et al (2007) menunjukkan
bahwa angka kelahiran lebih tinggi pada penggunaan tunggal clomiphene citrate
(22%) dibandingkan penggunaan tunggal metformin (7%).1
Penggunaan metformin untuk fertilitas masih kontroversial. Metformin
diduga dapat digunakan untuk terapi infertilitas, namun penelitian Cochrane
review (2012) menunjukkan bahwa metformin tidak meningkatkan fertilitas pada
pasien dengan PCOS. Metformin direkomendasikan oleh Endocrine Society
(2013) sebagai terapi adjuvan pada infertilitas untuk mencegah Ovarian
Hyperstimulation Syndrome (OHSS) pada wanita dengan PCOS yang menjalani
in vitro fertilization (IVF).10,12
H.5. Penanganan Menstruasi Ireguler
Wanita dengan oligoovulasi atau anovulasi memiliki menstruasi kurang dari 8
kali per tahun, sering tidak mengalami menstruasi selama beberapa bulan, atau
mengalami amenorea. Darah menstruasi dapat hanya sedikit, atau dapat sangat
banyak hingga menyebabkan anemia.1
1) Combination Oral Contraceptive Pills (COCs)
Terapi lini pertama menstruasi yang ireguler adalah combination oral
contraceptive pills (COCs), yang dapat menginduksi siklus menstruasi
reguler. COCs dapat mengurangi kadar androgen. Secara spesifik, COCs
menekan pengeluaran gonadotropin, sehingga produksi androgen ovarian
dapat berkurang. Komponen estrogen juga dapat meningkatkan kadar
SHBG. Komponen progestin mengantagonisasi efek proliferasi
endrometrium dari estrogen, sehingga mengurangi resiko hiperplasia
endometrium.1
Dalam inisiasi terapi, jika menstruasi terakhir wanita lebih dari 4
minggu, maka tes kehamilan diindikasikan. Jika negatif, maka progesteron
dapat diberikan untuk menghasilkan withdrawal bleed sebelum inisiasi
COC. Regimen ini meliputi: medroxyprogesterone acetate (MPA) 10 mg
oral per hari selama 10 hari, MPA 10 mg oral dua kali per hari selama 5
hari, atau micronized progesterone 200 mg oral perhari selama 10 hari.
Pasien diberikan konseling bahwa perdarahan diharapkan dimulai setelah
menyelesaikan terapi progestin.1
Endocrine Society (2013) merekomendasikan penggunaan kontrasepsi
hormonal (kontrasepsi oral, patch, dan vaginal ring) sebagai terapi lini
pertama untuk abnormalitas menstruasi dan hirsutisme/acne pada PCOS.
Belum ada penelitian yang meneliti tentang obat kontrasepsi oral yang
paling superior dalam penanganan menstruasi ireguler pada PCOS.10,12
2) Cyclic Progestogens
Pada pasien yang bukan merupakan kandidat kontrasepsi hormonal
kombinasi, progesterone withdrawal direkomendasikan setiap 1 – 3 bulan.
Contoh regimen yang digunakan meliputi: Medroxyprogesterone acetate
(MPA) 5 – 10 mg oral per hari untuk 12 hari, atau micronized
progesterone 200 mg oral setiap malam untuk 12 hari. Pasien perlu
diberikan konseling bahwa progestin intermiten tidak akan mengurangi
gejala acne atau hirsutisme, dan juga tidak memberikan kontrasepsi.1
3) Insulin Sensitizing Agents
Metformin merupakan insulin sensitizing agents yang paling sering
digunakan pada wanita dengan toleransi glukosa terganggu dan resistensi
insulin. Metformin meningkatkan sensitivias insulin perifer dengan
mengurangi produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas
organ target insulin. Metformin dapat mengurangi kadar androgen pada
wanita obesitas dan BMI normal, sehingga dapat meningkatkan
kemungkinan ovulasi spontan.1
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metformin dapat
memperbaiki siklus menstruasi reguler pada 50% - 70% wanita dengan
PCOS, namun obat kontrasepsi oral lebih superior daripada metformin
dalam memperbaiki siklus menstruasi dan menurunkan kadar androgen.12
Endocrine Society (2013) merekomendasikan penggunaan metformin
sebagai terapi lini pertama pada PCOS untuk manifestasi kutaneus,
pencegahan komplikasi kehamilan, dan penanganan obesitas. Metformin
juga direkomendasikan pada wanita PCOS dengan toleransi glukosa
terganggu atau DM tipe 2 yang gagal dengan modifikasi gaya hidup pada
wanita PCOS dengan menstruasi ireguler yang tidak dapat menggunakan
kontrasepsi hormonal.10
Thiazolidinediones, atau dikenal dengan glitazone merupakan kelas
lain yang digunakan pada pasien DM, meliputi rosiglitazone dan
pioglitazone. Obat ini mengikat reseptor insulin pada sel dan
meningkatkan respons terhadap insulin sehingga dapat mengurangi kadar
glukosa serum. Sama seperti metformin, rosiglitazone dan pioglitazone
juga dapat meningkatkan ovulasi pada beberapa wanita. Namun glitazone
merupakan obat kategori C sehingga penggunaannya perlu dihentikan bila
tercapai kehamilan.1
H.6. Penanganan Hirsutisme
Dalam penanganan hirsutisme, target utama dalah menurunkan kadar
androgen sehingga konversi rambut halus (vellus) menjadi rambut kasar dapat
dicegah. Namun terapi tidak akan mengeliminasi rambut abnormal yang sudah
muncul. Terapi hirsutisme membutuhkan 6 – 12 bulan sebelum mencapai
perbaikan klinis. Terapi kosmetik permanen dapat diimplementasikan jika
medikasi sudah mencapai efek terapi maksimal.1
1) Combination Oral Contraceptives (COCs)
Menurut cochrane review (2015), terapi lini pertama yang paling
efektif untuk hirsutisme ringan merupakan kontrasepsi oral. COCs efektif
dalam memperbaiki siklus menstruasi reguler dan dapat menurunkan
produksi androgen. COCs juga dapat meningkatkan SHBG. Semakin
tinggi SHBG, maka semakin banyak testosteron bebas yang diikat oleh
SHBG, sehingga kadar testosteron dalam folikel rambut berkurang.1,10
2) Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists (GnRH agonis)
GnRH agonis efektif dalam menurunkan kadar gonadotropin sehingga
akhirnya kadar androgen dapat menurun. Namun agen ini tidak dianjurkan
penggunaan jangka panjang untuk hirsutisme karena berhubungan dengan
berkurangnya massa tulang, biaya yang mahal, dan efek samping
menopause.1
3) Eflornithine Hydrochloride
Krim eflornithine hydrochloride topikal dapat diaplikasikan 2 kali
sehari pada daerah wajah hirsutisme. Obat ini merupakan inhibitor
ireversibel dari enzim ornithine decarboxylase. Enzim ornithine
decarboxylase penting dalam pertumbuhan dan fungsi sel folikel rambut.
Inhibisi pada enzim ini akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan
rambut. Hal ini tidak bersifat permanen, sehingga wanita perlu secara rutin
melanjutkan metode penghilang rambut sambil menggunakan obat ini.
4) Androgen-Receptor Antagonists
Spironolactone, dalam dosis 50 mg – 100 mg per oral dua kali sehari,
digunakan sebagai obat primer antiandrogen di Amerika. Spironolactone
dapat menghambat konversi rambut halus menjadi rambut kasar dengan
menginhibisi 5 α-reduktase. Perlu diingat bahwa spironolactone juga
merupakan obat diuretik hemat kalium, sehingga sebaiknya tidak
digunakan secara kombinasi jangka panjang dengan obat yang dapat
meningkatkan kadar kalium, seperti suplemen kalium, ACE inhibitors,
NSAID seperti indomethacin, dan diuretik hemat kalium lainnya.1
5) 5 α-Reductase Inhibitors
Konversi testosteron menjadi DHT dapat dihambat oleh obat 5 α-
Reductase Inhibitors, yaitu finasteride. Beberapa penelitian menggunakan
dosis finasteride 5 mg per hari dan mendapatkan hasil bahwa finasteride
efektif dalam menangani hirsutisme.1
Efek samping finasteride berupa penurunan libido dan dapat
menyebabkan teratogenisitas pada janin laki-laki, sehingga
penggunaannya perlu berhati-hati dan kontrasepsi yang efektif perlu
digunakan secara bersamaan.1
6) Hair Removal
Penghilangan rambut pada hirsutisme dapat berupa teknik depilasi dan
epilasi. Depilasi merupakan tindakan menghilangkan rambut diatas
permukaan kulit. Mencukur rambut merupakan tindakan depilasi yang
paling sering dilakukan. Epilasi merupakan tindakan menghilangkan
seluruh tangkai rambut misalnya mencabut rambut. Epilasi dapat berupa
teknik mekanik seperti mencabut rambut, atau teknik destruksi termal
seperti electrolysis dan terapi laser.1
H.7. Penanganan Acne
Prinsip penanganan acne mirip dengan prinsip penanganan hirsutisme, yaitu
menurunkan kadar androgen. Terapi untuk acne dapat berupa kontrasepsi oral
kombinasi, antiandrogen seperti spironolactone, 5 α-reduktase inhibitor seperti
finasteride. Beberapa terapi lainnya dapat ditambahkan untuk menurunkan kadar
androgen. Pada kasus acne sedang-berat, pasien perlu dikonsultasikan dengan
dermatologis.
1) Retinoid Topikal
Retinoid topikal merupakan derivat vitamin A. Retinoid topikal
meregulasi keratinosit folikular dan menormalisasi proses deskuamasi.
Agen ini juga memiliki efek antiinflamasi langsung. Retinoid topikal yang
paling sering digunakan adalah tretinoin. Adepalene dan tazarotene juga
efektif.1
Mengingat teratogenisitas, tretinoid dan adapalene merupakan obat
kategori C, sehinga tidak direkomendasikan digunakan saat kehamilan
atau menyusui. Namun data epidemiologi tidak mendukung hubungan
antara retinoid topikal dan cacat lahir. Tazarotene merupakan obat kategori
X sehingga tidak boleh digunakan saat hamil atau menyusui.1
2) Benzoyl Peroxide Topikal
Benzoyl Peroxide merupakan agen antimikroba dan antiinflamasi
yang baik. Beberapa produk yang tersedia mengkombinasikan benzoyl
peroxide dengan antibiotik seperti clindamycin atau erythromycin.1
3) Antibiotik Topikal dan Sistemik
Antibiotik topikal yang digunakan untuk terapi acne meliputi
erythromycin dan clindamycin, sedangkan antibiotik oral yang paling
sering digunakan untuk terapi acne meliputi doxycycline, minocycline,
dan erythromycin. Antibiotik oral lebih efektif daripada antibiotik topikal,
namun memiliki efek samping yang beragam seperti sensitivitas sinar
matahari, dan gangguan gastrointestinal.1
4) Isotretinoin
Isotretinoid oral merupakan analog vitamin A yang sangat efektif
untuk penanganan acne berat. Namun isotretinoin oral bersifat teratogenik
bila dikonsumsi saat hamil trimester pertama. Malformasi dapat mengenai
kranium, wajah, jantung, sistem saraf pusat, dan timus.1
H.8. Penanganan Acanthosis Nigricans
Penanganan optimal untuk acanthosis nigricans ditujukan pada pengurangan
resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Beberapa penelitian menunjukkan insulin
sensitizers berguna untuk acanthosis nigricans. Metode lain seperti antibiotik
topikal, retinoid topikal/sistemik, keratolitik, dan kortikosteroid topikal
menunjukkan keberhasilan yang terbatas untuk acanthosis nigricans.1
H.9. Pembedahan
Meskipun ovarian wedge resection sekarang jarang dilakukan, laparascopic
ovarian drilling menunjukkan perbaikan ovulasi pada beberapa wanita dengan
PCOS yang telah resisten terhadap obat clomiphene citrate. Oophorectomy
merupakan salah satu pilihan untuk wanita dengan PCOS yang tidak
menginginkan kehamilan, dan mengalami tanda dan gejala ovarian hyperthecosis
dan hiperandrogenisme berat.1
Penelitian yang dilakukan oleh Escobar-Morreale et al (2005) menunjukkan
bahwa penurunan berat badan dengan pembedahan bariatrik dapat menghasilkan
perbaikan siklus menstruasi, sensitivitas insulin, hirsutisme, dan menurunkan
kadar androgen pada wanita PCOS dengan obesitas. Pembedahan bariatrik dapat
menjadi pilihan untuk penanganan obesitas pada wanita PCOS dengan BMI ≥ 40
kg/m2 atau ≥ 35 kg/m2 dengan komorbid jika strategi penurunan berat badan
yang standar tidak berhasil.13
J. Prognosis
Wanita dengan PCOS memiliki peningkatan resiko komplikasi obstetri,
kardiovaskular, metabolik, onkologi, dan psikologis sepanjang hidupnya dan perlu
dilakukan follow-up yang rutin. Komplikasi yang dapat terjadi pada PCOS
meliputi komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang.15
1) Jangka pendek
a) Infertilitas
Infertilitas merupakan salah satu manifestasi utama PCOS. PCOS
merupakan penyebab tersering kelainan ovulasi dan berkaitan dengan
peningkatan resiko infertilitas. Pada sebuah penelitian terhadap 1.741
wanita dengan PCOS, ditemukan 50% wanita mengalami infertilitas
primer dan 25% wanita mengalami infertilitas sekunder. Beberapa
komorbid PCOS berkontribusi terhadap infertilitas. Resistensi insulin
dan obesitas secara independen berhubungan dengan peningkatan
resiko aborsi, berkurangnya kehamilan, dan angka kelahiran hidup.15
b) Komplikasi Obstetrik
Beberapa meta analisis menunjukkan bahwa resiko hipertensi
gestasional dan pre-eklamsia pada wanita dengan PCOS meningkat
hingga 3 kali lipat. DM gestasional merupakan komplikasi kehamilan
yang paling sering pada wanita dengan PCOS. Resiko DM gestasional
meningkat 3 kali lipat, dengan resiko absolut 6-15%.15
Resiko persalinan prematur meningkat hingga 2 kali lipat dan lebih
pada pasien PCOS. Neonatus yang lahir dari wanita dengan PCOS
memiliki peningkatan kemungkinan dirawat di ICU hingga 2 kali lipat,
dan mortalitas meningkat hingga 3 kali lipat.15
2) Jangka Panjang
a) Penyakit Kardiovaskular
Wanita dengan PCOS mengalami peningkatan faktor resiko klasik
penyakit kardiovaskular seperti obesitas, dislipidemia, toleransi
glukosa terganggu, dan diabetes. Terjadi juga peningkatan faktor
resiko non-klasik penyakit kardiovaskuler seperti peningkatan C-
Reactive Protein (CRP), homocysteine, tumor necrosis factor-α, IL-6,
IL-18. Pada wanita dengan PCOS juga terjadi peningkatan bukti
anatomis atherosklerosis seperti disfungsi endotel, impaired pulse
wave velocity, peningkatan ketebalan dinding intima-media karotis,
adanya plak karotis, dan peningkatan kalsifikasi arteri koroner.16
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan faktor resiko
kardiovaskuler independen dan ditemukan 5 – 30 kali lipat lebih sering
terjadi pada wanita dengan PCOS. Resiko trombosis dan stroke juga
meningkat 2 kali lipat pada PCOS. Tidak semua faktor resiko
kardiovaskular dapat terlihat pada saat diagnosis PCOS ditegakkan,
sehingga diperlukan follow up jangka panjang untuk mengidentifikasi
faktor resiko penyakit kardiovaskular.16
b) Penyakit Metabolik
Pada PCOS, ketidakseimbangan hormonal yang ditandai dengan
resistensi insulin dan peningkatan produksi androgen meningkatkan
resiko terjadinya abnormalitas metabolik. Sindrom metabolik meliputi
resistensi insulin, dislipidemia, dan obesitas. Prevalensi obesitas pada
PCOS sebesar 42% - 74% dibandingkan populasi umum 25%.
Obesitas dapat memperparah hiperinsulinemia, hiperaktivitas aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal, dan semakin memperparah keadaan
hiperandrogenisme. Resistensi insulin terjadi pada 50% - 80% wanita
dengan PCOS tanpa terkait BMI, dan menyebabkan wanita dengan
PCOS lebih rentan mengalami pre-diabetes dan percepatan progresi
menjadi diabetes. Resistensi insulin juga berperan dalam terjadinya
dislipidemia, yang ditandai dengan peningkatan trigliseria,
peningkatan kolesterol LDL, dan penurunan kolesterol HDL.
Dislipidemia terjadi pada 70% wanita dengan PCOS.16
c) Resiko Onkologi
Wanita dengan PCOS mengalami siklus anovulasi kronik yang
menyebabkan paparan estrogen jangka panjang pada endometrium.
Hal ni menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium dan dapat
berkembang menjadi kanker. Predisposisi ini meningkat dengan
adanya obesitas, DM tipe 2, sindrom metabolik, yang merupakan
faktor resiko kanker endometrium. Wanita dengan PCOS semua umur
memiliki peningkatan resiko hiperplasia endometrium dan kanker
endometrium sebesar 3 – 4 kali lipat.16
d) Masalah Psikologis
PCOS mengganggu body image akibat obesitas, acne, dan
hirsutisme. Infertilitas dan gangguan kesehatan jangka panjang juga
menyebabkan penurunan quality of life dan dampak negatif pada mood
dan kesejahteraan psikologis. Wanita dengan PCOS cenderung lebih
mudah mengalami depresi, cepat, kurang percaya diri, negative body
image, dan disfungsi psikoseksual. Terdapat peningkatan prevalensi
depresi pada wanita dengan PCOS yaitu 28% - 64%, dan peningkatan
prevalensi cemas pada wanita dengan PCOS yaitu 34% - 57%. Semua
masalah psikologis perlu ditelusuri dan dijadikan bagian dari asesmen
dan tatalaksana PCOS.16
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD,
Cunningham FG. Williams gynecology. 2nd Edition. New York: McGraw Hill
Medical. 2012; 460-477.
2. Sirmans SM, Pate KA. Epidemiology, diagnosis, and management of
polycystic ovary syndrome. Clin Epidemiol. 2014;6:1-13.
3. Hayek SE, Bitar L, Hamdar LH, Mirza FG, Daoud G. Polycystic ovarian
syndrome: an updated overview. Front Physiol. 2016;4(7).
4. Rosenfield RL. The diagnosis of polycystic ovary syndrome in adolescents. J
Pediatr. 2015;136(6).
5. Begum GS, Shariff A, Ayman G, Mohammad B, Housam R, Khaled N.
Assessment of risk factors for development of polycystic ovarian syndrome.
International Journal of Contemporary Medical Research. 2017;1(4).
6. Dennett CC, Simon J. The role of polycystic ovary syndrome in reproducive
and metabolic health: overview and approaches for treatment. Nutrition FYI.
2015;28(2).
7. Lee TT, Rausch ME. Polycystic ovarian syndrome: role of imaging in
diagnosis. Radiographics. 2012;32:1643-1657.
8. Bergh CM, Moore M, Gundell C. Evidence based management of infertility in
women with polycystic ovary syndrome. JOGNN. 2016;45:112-122.
9. Quinn M, Shinkai K, Pasch L, Kuzmich L, Cedars M, Huddleston H.
Prevalence of androgenic alopecia in patients with polycystic ovary syndrome
and characterization of associated clinical and biochemical features. Reprod
Biol Endocrinol. 2014;101(4).
10. Legro RS et al. Diagnosis and treatment of polycystic ovary syndrome: An
endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab.
2013;98:4565-4592.
11. Barbosa G, SA LBPCD, Rocha DRTW, Arbex AK. Polycystic ovary
syndrome (PCOS) and fertility. Open J Endocr Metab Dis. 2016;6:58-65.
12. Williams T, Mortada R, Porter S. Diagnosis and treatment of polycystic ovary
syndrome. Am Fam Physician. 2016;94(2).
13. Escobar-Morreale HF, Botella-Carretero JI, Alvarez-Blasco F, Sacho J, San
Millan JL. The polycystic ovary syndrome associated with morbid obesity
may resolve after weight loss induced by bariatric surgery. J Clin Endocrinol
Metab. 2005;90:6364-9.
14. Tehrani FR, Gandevani SB. Polycystic ovary syndrome. Contemporary
Gynecologic Practice. 2015;2.
15. Palomba S, Santagni S, Falbo A, Sala GBL. Complications and challenges
associated with polycystic ovary syndrome: current perspectives. Int J
Women’s Health. 2015;7:745-763.
16. Kachhawa G, Singh A. Long term complications of polycystic ovary
syndrome. Glob J Reprod Med. 2017;2(1).