Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI REFERAT

Iron Deficiency Anemia, Cystitis, and Bacterial Vaginosis Increase the Risk
for Developing Preterm Labor

Diajukan Kepada :

dr. I Nyoman Tritia W, Sp.OG

Disusun oleh :

Hafiidz Fatich Rosihan

20174011152

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
1
HALAMAN PENGESAHAN

Iron Deficiency Anemia, Cystitis, and Bacterial Vaginosis Increase the Risk
for Developing Preterm Labor

Disusun oleh:

Hafiidz Fatich Rosihan

20174011152

Telah dipresentasikan pada:

Bantul, Januari 2018

Menyetujui dan mengesahkan,

Pembimbing

dr. I Nyoman Tritia W, Sp.OG

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Millenium development goals mempunyai target untuk mengurangi dua-tiga rate

mortalitas bayi dan balita dibandingkan pada tahun 1990 dimana 20 per 1000 bayi lahir

sampai 2015. Sekarang, angka mortalitas bayi masih tinggi, dimana ditemukan 67 per

1000 bayi lahir. Penyebab utama angka mortalitas bayi yang tinggi adalah kelahiran

prematur. Bayi prematur mempunyai 35 kali resiko lebih tinggi menuju kematian

dibandingkan bayi aterm. ( Sumampouw, et al., 2017).

Menurut WHO, prevalensi dunia anemia pada kehamilan adalah 55 % dan akan

meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Di Indonesia, prevalensi

anemia pada ibu hamil adalah 63%, dimana, 46,2% ibu hamil di Bali menderita anemia.

Selain anemia defisiensi besi, banyak faktor lain yang mempengaruhi kelahiran

prematur termasuk infeksi saluran kemih (cystitis) dan bakterial vaginosis. UTI

berhubungan dengan kehamilan buruk, termasuk kelahiran prematur, pertumbuhan janin

terganggu dan bayi mati (Sumampouw, et al., 2017).

Bakterial vaginosis adalah bakteri streptococcus gram positif juga diketahui

dengan sebutan Streptococcus agalactiae. Diperkirakan 40-70% ibu hamil dengan

bakterial vaginosis akan menyebarkan bakteri patogen ke bayi mereka secara vertikal

selama persalinan pervaginam. Hal ini terjadi karena infeksi bakteri retrogade dari

vagina ke uterus dimana kemudian akan masuk ke plasenta, yang akan berkembang

menjadi persalinan prematur, bayi lahir mati dan abortus (Sumampouw, et al., 2017).

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji jurnal ini

sebagai laporan referat.

3
B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui hubungan anemia defisiensi besi, sistitis, dan bakterial vaginosis sebagai

faktor resiko kelahiran prematur.

2. Memenuhi sebagian syarat untuk ujian stase obstetric dan ginekologi di RSUD

Panembahan Senopati Bantul.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PCOS

1. Definisi

Definisi PCOS diadopsi dari European Society for Human Reproduction dan

Embryology and the American Society for Reproductive Medicine pada tahun 2003,

yang dikenal dengan ESHRE/ASRM Rotterdam Consensus 2. Dalam konsensus ini

diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa yaitu:

a. Oligo dan/atau anovulation

b. Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia

c. Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG

Namun dikarenakan penyakit seperti kongenital hiperplasia adrenal, androgen-

secreting tumor dan hiperprolactinemia dapat menyebabkan oligoovulasi dan/atau

kelainan androgen, dalam membantu penegakan pcos penyakit tersebut harus

disingkirkan.

Definisi lain didapatkan dari Androgen Excess and PCOS Society (2009) yang

menyatakan bahwa PCOS dapat ditegakkan jika seorang wanita mengalami:

a. Hiperandrogenisme: hirsutism dan/atau hyperandrogenemia,

b. Disfungsi Ovarium: Oligo-anovulasi dan/atau polikistik ovarium,

c. Menyingkirkan penyakit dengan gangguan androgen dan penyakit dengan gejala

yang mirip

5
2. Prevalensi

PCOS adalah kelainan endokrin wanita yang paling sering dijumpai, yang

melibatkan 5-20% dari wanita dalam masa reproduksi. Walaupun ovarium polikistik

dapat ditemukan dalam 20% populasi wanita, hal ini tidak harus menimbulkan gejala

klinik seperti PCOS, akan tetapi dalam perjalanannya akan menimbulkan gejala klinik

bila diprovokasi oleh kenaikan berat badan atau resisten terhadap insulin. PCOS

berkaitan dengan 75% dari seluruh kelainan anovulasi yang menyebabkan infertility,

90% dari wanita dengan oligomenorrhoea, lebih dari 90% dengan hirsutism dan lebih

dari 80% dengan acne yang persisten (Sujata Kar, 2015).

3. Patofisiologi

a. Gonadotropin

Anovulasi pada wanita dengan PCOS dikarenakan sekresi gonadotropin

yang abnormal (Tan H, 2013).

b. Resistensi insulin

Wanita dengan PCOS didapatkan memiliki tingkat resistensi insulin yang

tinggi dan hyperinsulinemia terkompensasi. Resistensi insulin didefinisikan sebagai

berkurangnya respon uptake glukosa saat diberikan insulin.

Mekanisme berkurangnya sensitifitas insulin diduga karena gangguan pada

insulin-receptormediated signal transduction. Resistensi insulin dikaitkan dengan

`meningkatnya beberapa penyakit termasuk DM tipe 2, hipertensi, dislipidemia dan

penyakit kardiovascular. Namun, PCOS bukanlah penyakit simple dalam waktu

yang pendek seperti irreguler periode menstruasi dan hirsutism, namun merupakan

penyakit yang memiliki efek jangka panjang (Tan H, 2013).

6
c. Androgen

Insulin dan LH menstimulasi produksi androgen melalui sel theca di

ovarium. Ovarium yang terpengaruh mensekresikan level testosteron dan

androstenedione. Kenaikan kadar free testosteron ditemukan pada 70-80% wanita

dengan PCOS dan 25-65% menunjukkan kenaikan level DHEAS. Sebaliknya,

kenaikan androstenedione dapat menyebabkan kenaikan level estrogen melalui

konversi periver dari androgen ke estrogen oleh aromatase (Tan H, 2013).

d. Sex Hormone-Binding Globulin

Wanita dengan PCOS menunjukkan berkurangnya SHBG dikarenakan

sintesis SHBG disupresi oleh insulin. Berkurangnya produksi SHBG

mengakibatkan hormon androgen tidak terikat dan menyebabkan tingginya kadar

free testosterone dalam sirkulasi. Berkurangnya kadar SHBG juga dikaitkan dengan

terbentuknya DM tipe 2 (Tan H, 2013).

e. Anovulasi

Meski kadar androgen naik pada wanita dengan PCOS, kadar progesteron

rendah dikarenakan anovulasi. Mekanisme pasti penyebab anovulasi masih belum

jelas, namun hipersekresi dari LH dikaitkan dengan siklus mens yang tidak reguler.

Disisi lain, anovulasi dapat disebabkan oleh resistensi insulin (Tan H, 2013).

4. Tanda dan Gejala

a. Gangguan siklus Menstruasi

Gangguan menstruasi pada wanita dengan PCOS dapat terjadi yakni

amenore, oligomenore ataupun menometrorrhagia episodik dengan anemia.

Amenore dan oligomenore yang terjadi merupakan hasil dari anovulasi. Tidak

7
terjadinya ovulasi ini menghambat produksi progesteron dan progesteron

withdrawal untuk memicu menstruasi. Amenore juga dapat diakibatkan dari level

androgen yang tinggi. Androgen dapat mencegah estrogen untuk menjadikan

endometrium atrofi.

Wanita dengan PCOS dapat terjadi pendarahan banyak dan tak terduga.

Dalam hal ini, progesteron tidak diproduksi karena anovulasi, dan paparan kronis

estrogen. Hal tersebut menghasilkan stimulasi mitogenik konstan pada

endometrium. Ketidakstabilan ketebalan endometrium menyebabkan perdarahan

yang tak terpola.

Oligomenore (kurang dari delapan kali menstruasi dalam 1 tahun) atau

amenore (tidak adanya menstruasi selama 3 bulan atau lebih berturut-turut) dengan

PCOS dapat dimulai sejak menarche. Sekitar 50 persen dari semua perempuan yang

baru mengalami menarke memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur sampai 2

tahun karena ketidakmatangan dari sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium. Namun,

pada gadis dengan PCOS, siklus menstruasi ovulasi tidak stabil dan akan terus

memiliki siklus tidak teratur (William’s Gynecology, 2016).

b. Hiperandrogenisme

Kondisi ini dapat dimanifestasikan dengan gejala:

1) Hirsutisme

Pada perempuan hirsutisme didefinisikan sebagai tumbuhnya rambut

yang kasar dan hitam pada beberapa bagian tubuh seperti pada laki-laki.

Hirsutisme harus dibedakan dari hipertrikosis, yang merupakan peningkatan

8
dalam pertumbuhan rambut lembut, ringan dan berpigmen terkait dengan

beberapa obat dan keganasan.

Sindrom ovarium polikistik menyumbang 70 sampai 80 persen kasus

hirsutisme. Hirsutisme idiopatik menjadi yang kedua tersering setelah PCOS.

Wanita dengan PCOS biasanya melaporkan hirsutisme dimulai pada akhir masa

remaja atau awal 20-an. Selain itu, berbagai obat juga dapat menyebabkan

hirsutisme, dan penggunaannya harus diselidiki (William’s Gynecology, 2016).

2) Acne

Acne vulgaris merupakan hal yang normal ditemukan pada masa remaja,

namun jika ditemukan acne persisten harus dicurigai sebagai PCOS. Moderate

acne ditemukan pada 50 % pada remaja dengan PCOS. Kenaikan androgen juga

ditemukan 80% pada wanita dengan acne yang parah.

Penyebab acne pada kasus PCOS diduga karena overstimulasi dari

androgen reseptor pada unit pilosebacious meningkatkan produksi sebum dan

menyebabkan inflamasi hingga terbentuk acne (William’s Gynecology, 2016).

3) Alopesia

Kebotakan pada wanita dengan PCOS sering ditemukan. Kehilangan

rambut berlangsung perlahan dan ditandai dengan menipisnya pangkal rambut

pada daerah frontalis ataupun bitemporal. Alopesia dapat disebabkan oleh

penyakit serius lainnya, sehingga harus di ekslusikan dari disfungsi tiroid,

anemia, atau penyakit kronis lainnya (William’s Gynecology, 2016).

c. Disfungsi Endokrin
9
1) Resistensi Insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai penurunan kemampuan insulin

untuk menstimulasi pemasukan glukosa kedalam jaringan target, atau

berkurangnya respon glukosa pada pemberian sejumlah insulin sebagai respon

kompensasi terhadap resistensi jaringan target maka terjadilah hiperinsulinemia.

Meski belum diketahui dengan pasti, hubungan antara resistensi nsulin,

hiperandrogenisme dan PCOS telah diketahui sejak lama. Penyebab dari

resistensi insulin pada PCOS sendiri sulit untuk ditentukan dikarenakan

kurangnya metode untuk menentukan sensitivitas insulin.

Meskipun obesitas diketahui memperburuk resistensi insulin, sebuah

studi klasik menunjukkan bahwa kedua wanita kurus dan gemuk dengan PCOS

ditemukan dengan meningkatkan tingkat resistensi insulin dan DM tipe 2

dibandingkan dengan kontrol berat badan-cocok tanpa PCOS (William’s

Gynecology, 2016).

2) Akantosis Nigrican

Kondisi kulit yang ditandai dengan kulit yang menebal, plak berwarna

abu-coklat terlihat di daerah flexure seperti bagian belakang leher, aksila, lipatan

di bawah payudara, pinggang, dan pangkal paha (William’s Gynecology, 2016).

3) Toleransi Glukosa Terganggu dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Wanita dengan PCOS mengalami peningkatan risiko untuk toleransi

glukosa terganggu (TGT) dan DM tipe 2. Berdasarkan pengujian toleransi

glukosa oral pada wanita gemuk dengan PCOS, prevalensi TGT dan DM adalah

sekitar 30 persen dan 7 persen. Temuan serupa dilaporkan dalam kelompok

remaja obesitas dengan PCOS. Bahkan setelah disesuaikan untuk indeks massa

10
tubuh (BMI), wanita dengan PCOS tetap lebih mungkin untuk memiliki DM

(William’s Gynecology, 2016).

4) Dislipidemia

Profil lipoprotein aterogenik terlihat pada kasus PCOS yang ditandai

dengan peningkatan low-density lipoprotein (LDL), kadar trigliserida dan rasio

kolesterol total-HDL, dan oleh tingkat HDL yang rendah. Perubahan profil

lemak ini dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular pada wanita

dengan PCOS. Prevalensi dislipidemia di PCOS mendekati 70 persen (William’s

Gynecology, 2016).

5) Obesitas

Wanita dengan PCOS lebih cenderung menjadi gemuk jika

dibandingkan dengan kontrol wanita dengan usia yang sama. Hal ini ditandai

dengan peningkatan BMI dan rasio pinggang : pinggul

Resistensi insulin diyakini memainkan peran besar dalam patogenesis PCOS dan

sering diperburuk oleh obesitas (William’s Gynecology, 2016).

d. Obstructive Sleep Apnea

Obstructive Sleep Apnea sering terjadi pada wanita dengan PCOS dan

kemungkinan terkait dengan obesitas sentral dan resistensi insulin yang dialami

(William’s Gynecology, 2016).

e. Sindrom metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Sindrom ini ditandai dengan resistensi insulin, obesitas, dislipidemia

aterogenik, dan hipertensi. Sindrom metabolik dikaitkan dengan peningkatan risiko

penyakit kardiovaskular (CVD) dan DM tipe 2 (William’s Gynecology, 2016).

11
f. Infertilitas

Infertilitas atau subfertility adalah keluhan yang sering pada wanita dengan

PCOS dan hasil dari siklus anovulasi. Selain itu, pada wanita dengan infertilitas

sekunder untuk anovulasi, PCOS adalah penyebab paling umum dan menyumbang

80 sampai 90 persen dari kasus (William’s Gynecology, 2016).

g. Keguguran

Wanita dengan PCOS yang hamil diketahui mengalami peningkatan (30

sampai 50 persen) keguguran dibandingkan dengan 15 persen pada populasi umum.

Penyebab keguguran pada wanita dengan PCOS tidak jelas. Awalnya, studi

retrospektif dan observasional menunjukkan hubungan antara LH hipersekresi dan

keguguran (William’s Gynecology, 2016).

h. Endometrium Neoplasia

Pada wanita dengan PCOS, tiga kali lipat mengalami risiko peningkatan

kanker endometrium telah dilaporkan. Hiperplasia endometrium dan kanker

endometrium adalah risiko jangka panjang dari anovulasi kronik, dan perubahan

neoplastik di endometrium dirasakan timbul dari paparan estrogen kronis (William’s

Gynecology, 2016).

i. Komplikasi Kehamilan

Beberapa kehamilan dan komplikasi neonatal telah dikaitkan dengan PCOS.

Satu metaanalisis besar menemukan wanita dengan PCOS memiliki dua sampai tiga

kali lipat risiko tinggi diabetes gestasional dan hipertensi pada kehamilan (William’s

Gynecology, 2016).

j. Psikologis Kesehatan

12
Wanita dengan PCOS dapat ditemukan dengan berbagai masalah psikososial

seperti kecemasan, depresi, rendah diri, berkurangnya kualitas hidup, dan citra

negatif pada tubuh (William’s Gynecology, 2016).

B. Metformin

1. Definisi

Metformin (1,1-dimethylbiguanide hydrochloride) adalah obat golongan

biguanide yang dipergunakan sebagai anti hiperglikemik oral pada penderita diabetes

mellitus tipe 2. Kerja utamanya adalah menghambat produksi glukosa dari hepar, selain

itu metformin juga menghambata pengambilan glukosa dari saluran pencernaan dan

meningkatkan sensitifitas insulin di jaringan lemak dan otot. Metformin juga

mempunyai efek anti lipolitik, menurunkan konsentrasi asam lemak bebas dalam

sirkulasi darah sehingga menyebabkan menurunnya gluconeogenesis (FKUI, 2013).

Metformin mengaktifkan adenosine monophosphate (AMP)-activated protein

kinase pathway (AMPK) baik secara in vitro maupun in vivo sehingga menyebabkan

penurunan produksi glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak di dalam sel-sel

hepar (hepatocytes), otot-otot dan di dalam jaringan ovarium (FKUI, 2013).

2. Dosis Metformin

Dosis Awal 2 x 500mg, dosis pemeliharaan 3 x 500mg, dosis maksimal 2,5 gram.

Pemberian obat ini dilakukan secara peroral dan saat pasien makan (FKUI, 2013).

3. Efek Samping

13
Masalah dalam sistim gastrointestinal terjadi pada 20% pasien seperti mual,

muntah, diare dan rasa lidah pahit. Pada pasien dengan insulin eksogen dapat terjadi

ketosis yang tidak disertai hiperglikemia (FKUI, 2013).

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovascular, dapat

meningkatkan kadar asam laktat dalam darah sehingga dapat menganggu keseimbangan

elektrolit dalam tubuh (FKUI, 2013).

4. Metformin dalam PCOS

Penggunaan metformin sebagai obat untuk PCOS pertama kali dilakukan oleh

Velazquez dkk, dan hasilnya membuktikan bahwa metformin memperbaiki sensitivitas

insulin, menurunkan kadar serum LH, total dan free testosterone dan menyebabkan

peningkatan kadar serum FSH dan SHBG pada wanita obesitas dengan PCOS.

Modifikasi yang signifikan pada sekresi spontan LH dan perbaikan fungsi reproductive

axis setelah pemakaian metformin pada wanita PCOS yang tidak obesitas dilaporkan

dalam penelitian Genazzani (Tan H, 2013).

Penelitian Kolodziejczyk didapatkan hasil mengobati 39 wanita dengan PCOS

dan hiperinsulinemia puasa dengan metformin, menemukan penurunan yang signifikan

pada insulin puasa dan total testosterone dan juga meningkatkan SHBG sehingga

menurunkan free testosterone index. Sebagai tambahan, juga ditemukan penurunan

yang signifikan pada mean BMI, waist-to-hip ratio, hirsutism, acne dan juga

memperbaiki siklus menstruasi. Tetapi tidak terdapat perubahan pada kadar LH atau

LH-to-FSH ratio. Penurunan testosterone dan free index nya yang paling tinggi terjadi

pada pasien dengan hiperandrogenemia yang berat (Tan H, 2013).

14
Peranan metformin dalam memperbaiki induksi ovulasi pada wanita penderita

PCOS melalui beberapa cara meliputi menurunkan kadar insulin, merubah efek insulin

pada ovarium dalam pembentukan androgen, proliferasi sel-sel theca dan pertumbuhan

endometrium. Dan juga melalui efek langsung pada penghambatan gluconeogenesis di

ovarium sehingga menurunkan produksi androgen di ovarium. Attia membuktikan

adanya penghambatan pada produksi androgen pada sel theca manusia. Yang juga

penting, kerja metformin tidak menyebabkan peningkatan sekresi insulin, sehingga

tidak terjadi hipoglikemia. Dalam beberapa penelitian juga dijumpai kemungkinan

penurunan berat badan dengan pemakaian metformin jangka panjang dan hal ini

merupakan suatu keuntungan bagi PCOS (Tan H, 2013).

C. Chlomiphene Citrate

1. Definisi

Clomiphene citrate adalah obat oral, nonsteroid, stimulan ovulasi, dengan rumus

kimia 2-[p-(2-chloro-1,2-diphenylvinyl) fenoksi] triethylamine sitrat. Clomiphene

citrate memiliki sifat agonis estrogen dan sifat antagonis. Sifat antagonis mendominasi

kecuali pada kadar estrogen sangat rendah. Akibatnya, umpan balik negatif yang

biasanya dihasilkan oleh estrogen di hipotalamus berkurang. Gonadotropin releasing

hormone (GnRH) sekresi diubah dan merangsang hipofisis pelepasan gonadotropin

(FKUI, 2013).

2. Cara Kerja

15
Clomiphene berikatan dengan reseptor estrogen di hipofisis dan hipotalamus.

Hal ini menyebabkan berkurangnya efektifitas dari jumlah reseptor estrogen di

hipotalamus. Karena jumlah reseptor berkurang, hipotalamus dan hipofisis mengikat

kadar estrogen yang beredar secara efektif, dan dirasakan hasil hipoestrogenisme. Hal

ini menyebabkan umpan balik negatif estrogen terganggu, dan sekresi follicle-

stimulating hormone (FSH) meningkat dari hipofisis anterior. Hal ini menyebabkan

pematangan banyak folikel. Pada fase folikuler akhir, karena retensi clomiphene citrate

yang lama dalam jaringan, deplesi reseptor estrogen terus terpusat. Akibatnya,

peningkatan estradiol (E2) sekresi dari ovarium tidak mampu mengerahkan umpan balik

negatif normal pada rilis FSH. Hal ini menyebabkan pertumbuhan beberapa folikel

dominan dan beberapa ovulasi (FKUI, 2013).

3. Dosis

Dosis untuk infertilitas wanita adalah 1-2 x 50 mg, dimulai pada hari ke 5 siklus

menstruasi selama 5-7 hari. (FKUI. 2013)

4. Efek Samping

Penggunaan jangka panjang klomifen dapat menimbulkan vasomotor flushes,

kista ovarii, rasa kembung, mual, muntah dan gangguan penglihatan (FKUI, 2013)

16
BAB III

PEMBAHASAN

Pada jurnal ini membahas efek induksi ovulasi dari metformin dibandingkan atau

dikombinasikan dengan clomiphene citrate. Di New Zeland pengobatan standart untuk wanita

yang anovulatori adalah perubahan gaya hidup dan olahraga pada wanita dengan BMI >

32kg/m2 dan pemberian CC pada wanita dengan BMI <32kg/m2.

Penelitian ini dilakukan menggunakan A multi-centre double-blind placebo-controlled

parallel randomized trial pada wanita dengan oligo atau anovulatory dengan PCOS. Pemilihan

sampel didasarkan oleh kriteria PCOS oleh ESHRE/ASRM Rotterdam Consensus 2. Dalam

konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa yaitu :

a. Oligo dan/atau anovulation

b. Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia

c. Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG

Faktor ekslusi penelitian ini adalah wanita dengan terapi CC atau metformin selama 5

bulan, infertil dikarenakan faktor tuba dan wanita dengan penyakit lain yang parah. Obat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Metformin 500mg 3 kali sehari, CC 50 mg dosis awal

dan CC 150mg digunakan sebagai dosis tertinggi dan plasebo. Pemberian obat dihentikan saat

subjek didiagnosis hamil.

Keluaran primer yang diharapkan dalam penelitian ini adalah hamil (positif pp test, hasil

USG menunjukkan gestational sac, hasil PA yang menunjukkan bukti kehamilan jika terjadi

aborsi atau kehamilan ektopik). Keluaran sekunder yang dicari adalah adverse events, ovulasi

(dikonfirmasi dengan serum progesterone lebih dari sama dengan 25 nmol/l), abortus spontan,

kehamilan ektopik, hamuil ganda dan efek ke ibu maupun perinatal.

17
Subjek dibagi menjadi dua kelompok besar berdasar BMI. Kelompok pertama dengan

BMI >32 dibagi menjadi 2 yakni mendapat placebo atau metformin, sedangkan kelompok

dengan BMI <32 dibagi tiga yakni mendapat CC, Metformin atau kombinasi CC dan

Metformin.

Hasil dari penelitian ini adalah dari 677 wanita sebagai subjek awal, 349 wanita tidak

memenuhi kriteria inklusi, 157 wanita tidak bersedia menjadi subjek, sehingga tersisa 171

wanita.

Keluaran Primer

Pada wanita dengan BMI >32kg/m2 tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada

penggunaan metformin dan plasebo dalam hal angka kelahiran hidup (p=0.21) dan angka

kehamilan (p=0.48). Pada subjek dengan BMI <32 tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara pemberian metformin, CC atau kombinasi CC dan metformin dalam hal angka kelahiran
18
hidup (p=0.04) dan angka hamil (p=0.35). Dengan kesimpulan akhir bahwa angka lahir hidup

pada pelayanan standar tidak begitu berbeda dengan pemberian metformin (p=28) dna angka

kehamilan (p=0.16)

Keluaran Sekunder

Untuk keluaran sekunder tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada angka aborsi

(<20 minggu) dan tidak ditemukan fetal death (>20 minggu), kehamilan ectopic terlalu sedikit

untuk dijadikan pembanding.

Efek samping dan komplikasi kehamilan juga diteliti pada studi ini. Kehamilan ektopik

terjadi pada seorang wanita dari BMI.>32 kg/m2 yang menerima plasebo dan wanita dari BMI

≤ 32 kg / m2 dengan CC ditambah metformin dan satu terminasi kehamilan yang dilakukan di

usia kehamilan 23 minggu dikarenakan fetal hypoplastic heart pada wanita BMI ≤32 kg / m2

yang menerima pengobatan CC.

Wanita dengan BMI >32 kg / m2 yang mengalami efek samping adalah 42% pada

mereka yang menerima plasebo dan 41% pada mereka yang menerima metformin; sedangkan

perempuan dengan BMI ≤ 32 kg /m2, 31% dengan CC, 43% dengan metformin dan 54%

dengan CC ditambah metformin. Jumlah keseluruhan wanita mengalami side efek tidak

berbeda secara signifikan antara lima perlakuan yang berbeda kelompok (P ¼ 0,51), untuk

gastrointestinal side efek (P ¼ 0,23). Hanya dua wanita dilaporkan mengalami vasomotor side

efek. Dari 45 wanita dengan kelahiran bayi hidup, satu menderita gestational diabetes, tiga

menderita gangguan hipertensi padakehamilan dan tiga mengalami kelahiran prematur (usia

kehamilan 32-36 minggu).

19
Pada penelitian ini tidak didapatkan manfaat dari metformin jika ditambahkan dalam

terapi standart untuk menimbulkan ovulasi pada PCOS dan tidak ditemukan side efek yang

berarti antar group.

Kekuatan penelitian ini adalah multi-centre RCT dengan metode yang memiliki

keamanan tinggi (menggunakan komputer sebagai pihak ketiga) dan penggunaan placebo

secara terkontrol, sehingga tidak ada pihak yang mengetahui siapa yang mendapat plasebo atau

obat lain. Meskipun memungkinkan bagi peserta untuk menebak apa obat yang mereka terima

berdasarkan efek samping obat. Kekuatan lain dari penelitian ini adalah kategorisasi menurut

BMI, karena ada bahwa teori yang menyebutkan bahwa induksi ovulasi memiliki perbedaan

efektivitas pada wanita yang berbeda BMInya.

Kelemahan penelitian ini adalah Kelemahan utama pada penelitian ini adalah tidak

cukup adekuat untuk mendeteksi perbedaan klinis yang terjadi dikarenakan hanya terdapat kecil

perbedaan antar perlakuan sehingga subjek akan mempertanyakan hasil penelitian ini.

Poin lain yang mungkin dianggap kelemahan termasuk tidak dilakukan pengawasan

perubahan BMI pada subjek penelitian dan standar BMI yang tinggi jika dibanding dengan

WHO.

20
Kerugian penggunaan metformin yakni tingginya insiden efek samping pada

gastrointestinal. Tetapi penelitian lain menyebutkan bahwa banyak potensi keuntungan dari

metformin lebih CC. Termasuk tidak adanya efek pada endometrium seperti penipisan

endometrium sehingga dapat mengurangi implantasi embrio bagi beberapa wanita

menggunakan CC.

Dan tidak didapatkannya efek jangka panjang yakni meningkatnya risiko kanker

ovarium seperti pada wanita yang menggunakan CC. Meskipun demikian CC merupakan first

line untuk PCOS dengan anovulasi dan metformin adalah pilihan alternatif yang masuk akal

untuk pengganti CC.

Kesimpulan penelitian ini adalah tidak didapatkannya ada bukti bahwa menambahkan

metformin untuk perawatan standar memberi keuntungan dalam meningkatkan tingkat

kehamilan dan kelahiran hidup untuk wanita dengan anovulasi pada PCOS.

21
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

The Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored PCOS Consensus Workshop Group.

Revised 2003 consensus on diagnostic criteria and long-term health risks related to polycystic

ovary syndrome. Fertil Steril 2004;8:19-25.

Sujata Kar. 2015. Clomiphene citrate, metformin or a combination of both as the first

line ovulation induction drug for Asian Indian women with polycystic ovarían syndrome: A

randomized controlled trial. DOI:10.4103/0974-1208.170373

Tan H. 2013. Perbandingan Efektifitas dan Efek Samping Pemakaian Metformin Xr

Dan Metformin Ir Dalam Pengobatan Pcos. USU.

Schorge, Schaffer, Halvorson, et al. William’s Gynecology: Polycystic Ovarian

Syndrome and Hyperandrogenism: Introduction. McGraw-Hill Company 2016.

Johnson. 2010. PCOSMIC: a multi-centre randomized trial in women with PolyCystic

Ovary Syndrome evaluating Metformin for Infertility with Clomiphene.

doi:10.1093/humrep/deq100

FKUI. 2013. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

22

Anda mungkin juga menyukai