DOKTER MUDA
PREEKLAMPSIA
Oleh:
Pembimbing:
Dina Fitriana, dr., SpOG
Maternal mortality rate atau angka kematian ibu di Indonesia saat ini mencapai angka
yang memprihatinkan. Angka dihitung dari angka kematian ibu bersalin per 100.000
kelahiran hidup per tahun. Kematian maternal menurut WHO adalah kematian wanita ketika
hamil atau dalam masa 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung umur
kehamilan atau tempat kehamilan, oleh sebab apapun baik yang berhubungan langsung atau
tidak langsung dengan kehamilan atau proses persalinannya, tetapi bukan karena kecelakaan
atau penyabab kematian lain yang bersamaan (WHO, 2004).
Hipertensi dalam kehamilan, khususnya dalam konteks preeclampsia dan eklampsia,
merupakan salah satu penyebab terbanyak kematian Ibu di Indonesia. Pada dasarnya, setiap
kehamilan merupakan kehamilan yang dikehendaki, dan berakhir dengan ibu dan janin yang
sehat. Adanya berbagai macam penyimpangan fisiologis baik dari maternal maupun janin
memberikan dampak medis dan psikologis yang besar.
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15 % penyulit kehamilan dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Data di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa preeklamsia sendiri mempengaruhi sekitar 3% dari
total kehamilan, sedangkan hipertensi dalam kehamilan lainnya mempengaruhi 5-10%
kehamilan (WHO, 2004).
Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup
tinggi. Hal ini disebabkan selain etiologi tidak jelas, juga disebabkan perawatan dalam
persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistim rujukan yang belum sempurna.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil, sehingga
pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar- benar dipahami
oleh semua tenaga medis baik di pusat maupun di daerah. (Angsar, 2008)
Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada waktu kehamilan yang
ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti hipertensi, proteinuria, dan edema yang
biasanya terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dan eklampsia, yang
merupakan disease of theories, sampai saat ini masih belum terbukti sempurna apa yang
menyebabkan terjadi penyulit kehamilan seperti tersebut. Menurut WHO, angka kejadian
preeklampsia berkisar antara 0,51% - 38,4%. Preeklampsia dan eklampsia di seluruh dunia
diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 14% (50.000-75.000) kematian maternal setiap
tahunnya. Angka kejadian preeklampsia di Amerika Serikat sendiri pernah dilaporkan terjadi
kira-kira 5%-8% dari semua kehamilan, dengan gambaran insidensinya 23 kasus
preeklampsia ditemukan per 1.000 kehamilan setiap tahunnya (Joseph et al, 2008). Sementara
itu di tiap-tiap negara angka kejadian preeklampsia berbeda-beda, tapi pada umumnya
insidensi preeklampsia pada suatu negara dilaporkan antara 3-10 % dari semua kehamilan
(Prawirohardjo, 2006).
Di Indonesia angka kejadian preeklamsia berkisar antara 3,4 – 8,5% (Prasetyo, 2006).
Karena angka kejadian preeklamsia cukup tinggi, diagnosis dini preeklamsia serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan
anak. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda-tanda preeklamsia
sangat penting dalam pencegahan preeklamsia berat, disamping pengendalian terhadap
faktor-faktor predisposisi yang lain. Hipertensi kronis merupakan salah satu faktor yang
dikaitkan dengan peningkatan resiko preeklamsia (Sibai et al, 1998).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia terjadi sejak tahun 1991
sampai dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. Namun SDKI tahun 2012
menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu
per 100.000 pada tahun 2015 (Kemenkes, 2017)
Pada tahun 2016, AKI Provinsi Jawa Timur mencapai 91,00 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 yang
mencapai 89,6 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Jatim, 2017). Penyebab kematian
utama ibu di Jawa Timur terutama preeklampsia/ eklampsia yang meningkat dalam tahun
2010–2012. Proporsi kejadian preeklampsia/eklampsia di Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2010 sebesar 26,92% yang meningkat menjadi 27,27% pada tahun 2011 dan
36,29% pada tahun 2013 (Dinkes Jatim, 2015). Penyebab tertinggi kematian ibu pada
tahun 2016 adalah Preeklampsia / eklampsia yaitu sebesar 30,90% atau sebanyak 165
orang (Dinkes Jatim, 2017)
2.3.2 PATOFISOLOGI
Patogenesis, patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi organ-organ
pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada yang memuaskan.
Terdapat beberapa patogenesis kehamilan antara lain:
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan berperanan dalam
patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan angka
kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia (Cunningham et al., 2009).
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan
eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas
antigen HLA-DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A
23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan
preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restriction (IUGR) daripada ibu-ibu
tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia
eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi
preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita
preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap
kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada
preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum
dapat diterangkan (Cunningham et al., 2009).
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri
spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media
dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan material
fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut
telah sampai pada deciduomyometrial junction (Cunningham et al., 2009).
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di
mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga
kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu
penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material
fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding
tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara
pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada
kehamilan (Cunningham et al., 2009).
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta
dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan
kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 :
prostasiklin (Cunningham et al., 2009).
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden,
aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria) (Cunningham et al., 2009).
2.4. PENCEGAHAN
Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan
dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk dapat
menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan
memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan untuk
menentukan proteinuria (POGI,2016).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda- tanda dini
preeklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Karena para
wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda
preeklampsia yang sudah terjadi, maka deteksi dini keadaan ini memerlukan pengamatan
yang cermat dengan masa- masa interval yang tepat. Kita perlu lebih waspada akan
timbulnya pre- eklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi seperti yang telah
diuraikan diatas. Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya,
namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan
pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil, antara lain:
1) Cukup istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4
jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan
aktivitas (RR 0,05; 95% CI 0,00 – 0,83). Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah
suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia (( 0,12; 95% CI 0,03 – 0,51).
Dari 3 studi yang dilakukan telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian
eklampsia (RR 0,33; 95% CI 0,01 – 7,85), kematian perinatal (RR 1,07; 95% CI 0,52 –
2,19), perawatan intensif (RR 0,75; 95% CI 0,49 – 1,17) pada kelompok yang melakukan
tirah baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia
(POGI,2016).
2) Pengawasan antenatal
Pada tingkat permulaan preeklampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat
dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat dibuat dengan antenatal
care. Jika calon ibu melakukan kunjungan setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6
minggu terakhir kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes proteinuri,
mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda edema. Setelah diketahui diagnosa
dini perlu segera dilakukan penanganan untuk mencegah masuk kedalam eclampsia
(Cuningham, 2014).
3) Restriksi Garam
Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita pada 2 RCT
menunjukkan restriksi garam (20 – 50 mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada
perbedaan dalam mencegah preeklampsia (RR 1,11; 95% CI 0,49 – 1,94), kematian
perinatal (RR 1,92; 95% CI 0,18 – 21,03), perawatan unit intensif (RR 0,98; 95% CI 0,69
– 1,40) dan skor apgar < 7 pada menit kelima (RR 1,37; 95% CI 0,53 – 3,53)
(POGI,2016).
5) Suplementasi kalsium
6) Suplementasi antioksidan
Cochrane melakukan metaanalisis 10 (sepuluh) uji klinis yang melibatkan 6533
wanita. Sebagian besar uji klinis menggunakan antioksidan kombinasi vitamin C (1000
mg) dan E (400 IU). Kesimpulan yang didapatkan adalah pemberian antioksidan tersebut
tidak memberikan perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
pada kejadian preeklampsia (RR 0,73, CI 95% 0,51 -1,06; 9 uji klinis, 5446 wanita) atau
terhadap luaran primer lainnya, seperti preeklampsia berat (RR 1,25, CI 95% 0,89 - 1,76;
2 uji klinis, 2495 wanita), kelahiran preterm (sebelum 37 minggu) (RR 1,10, CI 95%
0,99 - 1,22; 5 uji klinis, 5198 wanita), bayi kecil masa kehamilan (RR 0,83, CI 95% 0,62
- 1,11; 5 uji klinis, 5271 bayi) dan mortalitas perinatal (RR 1,12, CI 95% 0,81 - 1,53; 4
uji klinis, 5144 bayi). Wanita yang mendapat suplementasi antioksidan cenderung
membutuhkan antihipertensi (RR 1,77, CI 95% 1,22 - 2,57; 2 uji klinis, 4272 wanita) dan
terapi rawat inap untuk hipertensi selama antenatal (RR 1,54 CI 95% 1,00 - 2,39; 1 uji
klinis, 1877 wanita) (POGI,2016).
2.5. DIAGNOSIS
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai
hipertesi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai
adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan
lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
Penentuan Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam
atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan
yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel
urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Pemeriksaan kadar
protein kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2
berkisar 700-4000mg/24jam (POGI, 2016).
Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi dengan
tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina,
cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for the
Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan
proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif
palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin
tampung 24 jam atau rasio protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang
dilakukan Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding kreatinin
dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik (POGI, 2016).
2.6. TATALAKSANA
Penanganan preeklampsia bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal dengna
mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usa kehamilan danpa
membahayakan ibu (POGI, 2016). Tujuan utama perawatan preeklampsia pada ibu yaitu
mencegah kejang, mencegah pendarahan intra cranial, mencegah gangguan fungsi organ
vital dan melahirkan bayi sehat (Angsar, 2008). Penanganan preeklampsia dilakukan
berdasarkan temuan klinis dari gejala preeklampsia. Pada umumnya layanan primer tidak
melakukan perawatan terhadap kasusu preeklampsia, dan akan dilakukan rujukan dari
fasilitas kesehatan primer ke fasilitas kesehatan sekunder pada setiap skrining yang
ditemukan positif kasus preeklamsia. Namun, pada keadaan preeklampsia berat lakukan
penanganan awal stabilisasi sebelum dilakukan rujuk segera (Gumilar D., et al., 2017).
Pada fasilitas kesehatan primer, dapat diberikan aspirin dosis rendah 80 – 150 mg/
hari sampai dengan 7 hari sebelum persalinan dan kalsium 1 g/hari serta lakukan rujuk
poliklinis ke fasilitas kesehatan sekunder segera. Jika didapatkan pasien preeklampsia
dalam konsisi inpartu di fasilitas kesehatan primer, jika akan segera lahir tetap lakukan
persalinan dan tetap rujuk setelah melahirkan. Beri injeksi MgSO4 pada kasus PEB
inpartu dilakukan sesuai prosedur. Namun, jika tidak segera lahir, lakukan stabilisasi
pasien dan rujuk segera ke fasilitas kesehatan sekunder (Gumilar D., et al., 2017).
Perawatan Aktif (aggressive management) yang dilakukan dirumah sakit dengan
fasilitas yang optimal yaitu sembari memberi pengobatan, kehamilan diakhiri dengan
indikasi:
Ibu:
– Umur kehamilan 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil batasan umur
kehamilan >37 minggu untuk preeclampsia ringan dan batasan umur
kehamilan >37 minggu untuk preeclampsia berat.
– Adanya tanda-tanda atau gejala-gejala Impending Eclampsia.
– Kegagalan terapi pada perawatan konservatip, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk.
– Diduga terjadi solutio placentae.
– Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan.
Janin:
– Adanya tanda-tanda fetal distress.
– Adanya tanda-tanda IUGR (Intra uterine growth restriction).
– NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal.
– Terjadinya oligohidramnion.
Laboratorik
– Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat.
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan), dilakukan berdasar keadaan
obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum in partu.
2.7.2 Prognosis
Penderita preklampsia yang terlambat penanganannya akan berdampak pada ibu
dan janin. Pada ibu dapat terjadi perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema
paru, payah ginjal, dan aspirasi saat kejang. Prognosis janin tergantung dari usia
kehamilan saat janin dilahirkan. Pada janin dapat terjadi kematian akibat hipoksia atau
kelahiran prematur (Wiknjosastro, 2006).
1. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat pada
wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara (RR 1,68 95%CI 1,23
- 2,29), maupun multipara (RR 1,96 95%CI 1,34 - 2,87). Usia muda tidak
meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Resiko preeklampsia pada
kehamilan kedua meningkat dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan umur;
p<0,0001) (POGI,2016).
2. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91, 95% CI
1,28 - 6,61) (POGI,2016).
3. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma (POGI,2016).
4. Jarak antar kehamila
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau
lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. 3 Robillard, dkk
melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan
lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan
pertama dan kedua; p<0,0001) (POGI,2016).
5. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama.
Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR 7,19 95%CI 5,85 - 8,83).
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak
perinatal yang buruk (POGI,2016).
6. Riwayat keluarga preeclampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat
(RR 2,90 95%CI 1,70 – 4,93). Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan
risiko sebanyak 3.6 kali lipat (RR 3,6 95% CI 1,49 – 8,67) (POGI,2016).
7.
7. Kehamilan multiple
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat (RR 2.93 95%CI 2,04 – 4,21).
Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali
lipat dibandingkan kehamilan duplet (RR 2,83; 95%CI 1.25 - 6.40). 3 Sibai dkk
menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal (RR 2,62; 95% CI,
2,03 – 3,38) (POGI,2016).
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma
masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi
preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia
yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan
terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka
waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan
berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek
protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk
melaporkan adanya peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada
wanita dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia
(OR 1,8; 95 % CI 95%, 2-2,6) (POGI,2016).
9. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan
semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang
juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko
preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat (95% CI, 1,66 – 3,67), sedangkan wanita
dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko
preeklampsia 4 kali lipat (95% CI, 3,52-5,49) (POGI,2016). Pada studi kohort yang
dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada 878.680 kehamilan, ditemukan
fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang kurus
(BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk
(BMI > 29,0) (POGI,2016).
10.
10. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil (RR 3.56; 95% CI 2,54 - 4,99) (n=56.968) (POGI,2016)
Nama : Ny. EE
Umur : 31 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal periksa : 14 Januari 2019
No.RM : 581149
3.2. ANAMNESIS
Nyeri kepala
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dikeluhkan pasien sejak 2
minggu terakhir. Nyeri kepala muncul terkadang dan tidak menentu. Nyeri kepala pada
pasien seluruh kepala dan pasien tidak dapat menunjuk letak nyeri kepalanya. Pasien adalah
pasien kontrol poli Risti RSUD dr. M. Soewandhie. Pasien sebelumnya rujukan dari
Puskesmas Banyu Urip dengan tekanan darah tinggi saat usia kehamilan 28-29 minggu.
Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua pada pasien. Kehamilan pertama pada pasien
lahir di bidan, aterm, spontan, berat 2900g dan saat ini anak berumur 4 tahun. Gerak janin
masih terasa aktif. Riwayat trauma disangkal, keputihan disangkal. Tidak didapatkan keluhan
BAB maupun BAK. Riwayat merokok disangkal. Sesak disangkal. Gangguan pandangan
disangkal.
3.2.3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis, darah tinggi maupun alergi baik pada
kehamilan sebelumnya maupun saat tidak hamil. Pasien saat ini rutin mengonsumsi Aspilet
dan Dopamet dari poli risti RSUD dr. M. Soewandhie.
Tidak ada di keluarga pasien yang mengalami seperti ini. Tekanan darah tinggi,
kencing manis dan alergi disangkal.
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari
Lama : 7 hari
Nyeri sebelum/sesudah/setelah haid : -
Jumlah : 3-4 ganti softex/hari
Warna : merah
Bau :-
Keputihan saat kehamilan disangkal.
HPHT : 05-05-2018
Usia Kehamilan 36-37 minggu
TP : 14-01-2019
Perdarahan (-)
Transfusi (-)
b. Primi tua, 4
hamil I kawin ≥
4th
3 Primi tua 4
sekunder
5 Grande Multi 4
6 Umur ≥ 35 4
tahun
7 Tinggi badan ≤ 4
145 cm
8 Riwayat 4
Obstetri Jelek
(ROJ)
9 Persalinan yang 4
lalu, pernah:
a. Tindakan
Pervaginam
b. Placenta
manuil
c. Perdarahan
Post Partum
1 Penyakit pada 4
1 ibu hamil
1 Preeklamsia 4 v
2 ringan
1 Gemelli 4
3
1 Hydramnion 4
4
1 IUFD 4
5
1 Hamil 4
6 Serotinus
1 Kelainan letak 8
7 a. Letak
Sungsang
b. Letak
Lintang
1.5. DIAGNOSIS
GII P1001 36/37 mgg THIU + Letak kepala + PEB + Obesitas Grade I
1.6. TATALAKSANA
KIE MRS pro terminasi
Nifedipine 3x10mg
3.7. MONITORING
Keluhan
VS
His
DJJ
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan edisi VI - tahun 2008. Bagian SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran UNAIR/RSU Dr.
Soetomo: Surabaya
Cunningham, F Gary. 2010. Pregnancy Hypertension. William Obstetrics 23rd Ed. New York: McGraw-Hill.
Cunningham, F.Gary. 2014. Pregnancy Hypertension. Williams obstetrics Edisi 24. New York: McGraw-Hill.
Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium Indonesia 2010. Retrieved: August 27, 2015.
Available at: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/lap-pemb-milenium-ind-2010.pdf
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2014. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2016. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur
Duffus, G.M. and Mac Gillivray, 1994. I. The incidence of penyakit jantung koroner bukan merupakan preeklampsia toxcaemia in smolers and
non smoker. Lancet.
Fairlie FM, Sibai BM. 1992. Hypertencive Disorder in Pregnancy. Medicine of fetus and mother. Philadelphia: JB. Lippincott Company.
Gumilar D, E., T J, H., Sulistyono, A., Wardhana, M. and Gumilang, K. (2017). Penatalaksanaan Preeklampsia-eklampsia & Perdarahan Pasca
Persalinan. surabaya: Forum Koordinasi penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi Kesehatan Ibu. Retrieved: August 27, 2015. Available at:
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html
Redman, C. W. G., & Sargent, I. L. (2010). Immunology of Pre-Eclampsia. American Journal of Reproductive Immunology, 63(6), 534–543.
http://doi.org/10.1111/j.1600-0897.2010.00831.x
Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-eklamsia.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
World Health Organization. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Retrieved: August 26, 2015. Available
at: http://www.searo.who.int/indonesia/documents976-602-235-265-5-buku-saku-pelayanan-kesehatan-ibu.pdf
World Health Organization. 2014. Maternal Mortality. Retrieved: August 27, 2015. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs348/en/