Anda di halaman 1dari 34

RESPONSI

DOKTER MUDA

PREEKLAMPSIA

Oleh:

Laily Desy Pratiwi 011623143089


Haris Swastikoputra 011623143090
M. Wahyu Aghdhi Pradipta 011623143092
Anak Agung Mas Wira A. 011623143093
Shaffan Ula Prasetyo 011623143094
Ferdian Rizaliansyah 011623143095

Pembimbing:
Dina Fitriana, dr., SpOG

BAG./ SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


RSUD Dr. SOEWANDHIE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Maternal mortality rate atau angka kematian ibu di Indonesia saat ini mencapai angka
yang memprihatinkan. Angka dihitung dari angka kematian ibu bersalin per 100.000
kelahiran hidup per tahun. Kematian maternal menurut WHO adalah kematian wanita ketika
hamil atau dalam masa 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung umur
kehamilan atau tempat kehamilan, oleh sebab apapun baik yang berhubungan langsung atau
tidak langsung  dengan kehamilan atau proses persalinannya, tetapi bukan karena kecelakaan
atau penyabab kematian lain yang bersamaan (WHO, 2004).
Hipertensi dalam kehamilan, khususnya dalam konteks preeclampsia dan eklampsia,
merupakan salah satu penyebab terbanyak kematian Ibu di Indonesia. Pada dasarnya, setiap
kehamilan merupakan kehamilan yang dikehendaki, dan berakhir dengan ibu dan janin yang
sehat. Adanya berbagai macam penyimpangan fisiologis baik dari maternal maupun janin
memberikan dampak medis dan psikologis yang besar.
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15 % penyulit kehamilan dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Data di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa preeklamsia sendiri mempengaruhi sekitar 3% dari
total kehamilan, sedangkan hipertensi dalam kehamilan lainnya mempengaruhi 5-10%
kehamilan (WHO, 2004).
Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup
tinggi. Hal ini disebabkan selain etiologi tidak jelas, juga disebabkan perawatan dalam
persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistim rujukan yang belum sempurna.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil, sehingga
pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar- benar dipahami
oleh semua tenaga medis baik di pusat maupun di daerah. (Angsar, 2008)
Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada waktu kehamilan yang
ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti hipertensi, proteinuria, dan edema yang
biasanya terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dan eklampsia, yang
merupakan disease of theories, sampai saat ini masih belum terbukti sempurna apa yang
menyebabkan terjadi penyulit kehamilan seperti tersebut. Menurut WHO, angka kejadian
preeklampsia berkisar antara 0,51% - 38,4%. Preeklampsia dan eklampsia di seluruh dunia
diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 14% (50.000-75.000) kematian maternal setiap
tahunnya. Angka kejadian preeklampsia di Amerika Serikat sendiri pernah dilaporkan terjadi
kira-kira 5%-8% dari semua kehamilan, dengan gambaran insidensinya 23 kasus
preeklampsia ditemukan per 1.000 kehamilan setiap tahunnya (Joseph et al, 2008). Sementara
itu di tiap-tiap negara angka kejadian preeklampsia berbeda-beda, tapi pada umumnya
insidensi preeklampsia pada suatu negara dilaporkan antara 3-10 % dari semua kehamilan
(Prawirohardjo, 2006).
Di Indonesia angka kejadian preeklamsia berkisar antara 3,4 – 8,5% (Prasetyo, 2006).
Karena angka kejadian preeklamsia cukup tinggi, diagnosis dini preeklamsia serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan
anak. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda-tanda preeklamsia
sangat penting dalam pencegahan preeklamsia berat, disamping pengendalian terhadap
faktor-faktor predisposisi yang lain. Hipertensi kronis merupakan salah satu faktor yang
dikaitkan dengan peningkatan resiko preeklamsia (Sibai et al, 1998).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI & KLASIFIKASI


2.1.1 Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya hipertensi disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan
diatas 20 minggu (POGI, 2016).
2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan pemeriksaan tekanan darah dan hasil laboratorium, preeklampsia
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu preeklampsia dan preeklampsia berat (POGI,
2016).

a. Kriteria minimal preeklampsia ditegakkan berdasarkan kriteria berikut:


 Tekanan darah ≥140 mmHg sistolik atau ≥90 mmHg diastolik pada dua kali
pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
 Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik ≥ positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti dengan gejala salah satu di
bawah ini:
 Trombosit <100.000 / mikroliter
 Kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum
dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
 Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di
daerah epigastrik/regio kanan atas abdomen
 Edema Paru
 Gejala Neurologis seperti stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya
absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
b. Kriteria Preeklampsia berat, ditegakkan bila diagnosa preeklampsia dipenuhi dan jika
didaptkan salah satu kondisi klinis dibawah ini:
 Tekanan darah ≥160 mmHg sistolik atau ≥110 mmHg diastolik pada dua kali
pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
 Trombosit <100.000 / mikroliter
 Kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum dari
sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
 Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik/regio kanan atas abdomen
 Edema Paru
 Gejala Neurologis seperti stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV) (POGI, 2016).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia terjadi sejak tahun 1991
sampai dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. Namun SDKI tahun 2012
menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu
per 100.000 pada tahun 2015 (Kemenkes, 2017)

Pada tahun 2016, AKI Provinsi Jawa Timur mencapai 91,00 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 yang
mencapai 89,6 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Jatim, 2017). Penyebab kematian
utama ibu di Jawa Timur terutama preeklampsia/ eklampsia yang meningkat dalam tahun
2010–2012. Proporsi kejadian preeklampsia/eklampsia di Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2010 sebesar 26,92% yang meningkat menjadi 27,27% pada tahun 2011 dan
36,29% pada tahun 2013 (Dinkes Jatim, 2015). Penyebab tertinggi kematian ibu pada
tahun 2016 adalah Preeklampsia / eklampsia yaitu sebesar 30,90% atau sebanyak 165
orang (Dinkes Jatim, 2017)

2.3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


2.3.1 ETIOLOGI
Zwifel pada tahun 1916 mengungkapkan istilah preeclampsia is a disease of
theories dan hingga sampai saat ini belum dapat diperoleh suatu kesepakatan bersama
tentang penyebab terjadinya preeklampsia. Para ahli mencoba membeberkan beberapa
teori yang diduga menjadi penyebab preeklampsia, yaitu faktor imunologis, faktor
inflamasi, faktor genetik, faktor nutrisi, komponen vasoaktif dan faktor endotel.
Disfungsi endotel berhubungan dengan preeklampsia yang dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan umum keadaan normal dan adaptasi umum inflamasi
intravaskular maternal terhadap kehamilan. Hipotesis ini menjelaskan bahwa
preeklampsia dianggap merupakan suatu penyakit akibat status leukosit yang teraktivasi
secara berlebihan pada darah ibu. Desidua mengandung sel yang berlebih jika
teraktivasi dapat mengeluarkan agen yang berbahaya, kemudian agen ini sebagai
mediator memulai terjadinya kerusakan sel. Sitokin, TNF-α (Tumor necrosis factor
alpha) dan interleukin dapat berperan terhadap stres oksidatif yang berhubungan
dengan kejadian preeklampsia (Redman & Sargent, 2010).

2.3.2 PATOFISOLOGI
Patogenesis, patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi organ-organ
pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada yang memuaskan.
Terdapat beberapa patogenesis kehamilan antara lain:
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan berperanan dalam
patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan angka
kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia (Cunningham et al., 2009).
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan
eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas
antigen HLA-DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A
23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan
preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restriction (IUGR) daripada ibu-ibu
tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia
eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi
preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita
preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap
kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada
preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum
dapat diterangkan (Cunningham et al., 2009).
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri
spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media
dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan material
fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut
telah sampai pada deciduomyometrial junction (Cunningham et al., 2009).
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di
mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga
kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu
penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material
fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding
tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara
pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada
kehamilan (Cunningham et al., 2009).

Gambar 1. Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan


hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan
normotensi.
Di samping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada arteri
spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami
obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta dan
berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta (Cunningham et al., 2009).
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi
vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap
kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan
penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga
kematian bayi (Cunningham et al., 2009).
3) Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang
berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh enzim
sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot polos
dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit (Cunningham
et al., 2009).
Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan
bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan
agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang berlawanan
dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh
darah (Cunningham et al., 2009).

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta
dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan
kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 :
prostasiklin (Cunningham et al., 2009).

Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan menurunnya


produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentuknya prostasiklin dan
meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan
endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi
sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan
sentral pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara tromboksan dan prostasiklin (Cunningham et al., 2009).
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi
prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian
akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III
shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan pelepasan tromboksan
A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel
(Cunningham et al., 2009).
4) Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis sebagai
patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan
proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak
awal trimester II (Cunningham et al., 2009).
Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan
preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%. Maladaptasi sistem imun
dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas
endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan
sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas oleh desidua
(Cunningham et al., 2009).
Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan
dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian aliran
elektron untuk melepaskan radikal bebas- oksigen yang selanjutkan akan membentuk
lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan (Cunningham et al., 2009).
Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akanmenyebabkan kerusakan sel
endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang
akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan
produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel
vaskuler (Cunningham et al., 2009).

Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden,
aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria) (Cunningham et al., 2009).

Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah


terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah
dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas
diantaranya vitamin E (α- tokoferol), vitamin C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat
digunakan untuk melawan perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada
preeclampsia (Cunningham et al., 2009).

2.4. PENCEGAHAN
Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan
dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk dapat
menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan
memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan untuk
menentukan proteinuria (POGI,2016).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda- tanda dini
preeklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Karena para
wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda
preeklampsia yang sudah terjadi, maka deteksi dini keadaan ini memerlukan pengamatan
yang cermat dengan masa- masa interval yang tepat. Kita perlu lebih waspada akan
timbulnya pre- eklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi seperti yang telah
diuraikan diatas. Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya,
namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan
pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil, antara lain:
1) Cukup istirahat

Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4
jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan
aktivitas (RR 0,05; 95% CI 0,00 – 0,83). Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah
suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia (( 0,12; 95% CI 0,03 – 0,51).
Dari 3 studi yang dilakukan telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian
eklampsia (RR 0,33; 95% CI 0,01 – 7,85), kematian perinatal (RR 1,07; 95% CI 0,52 –
2,19), perawatan intensif (RR 0,75; 95% CI 0,49 – 1,17) pada kelompok yang melakukan
tirah baring di rumah dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia
(POGI,2016).

2) Pengawasan antenatal
Pada tingkat permulaan preeklampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat
dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat dibuat dengan antenatal
care. Jika calon ibu melakukan kunjungan setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6
minggu terakhir kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes proteinuri,
mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda edema. Setelah diketahui diagnosa
dini perlu segera dilakukan penanganan untuk mencegah masuk kedalam eclampsia
(Cuningham, 2014).

3) Restriksi Garam
Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita pada 2 RCT
menunjukkan restriksi garam (20 – 50 mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada
perbedaan dalam mencegah preeklampsia (RR 1,11; 95% CI 0,49 – 1,94), kematian
perinatal (RR 1,92; 95% CI 0,18 – 21,03), perawatan unit intensif (RR 0,98; 95% CI 0,69
– 1,40) dan skor apgar < 7 pada menit kelima (RR 1,37; 95% CI 0,53 – 3,53)
(POGI,2016).

4) Aspirin dosis rendah

Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin


dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa studi
menunjukkan hasil penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat
aspirin (POGI,2016).

5) Suplementasi kalsium

Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan


preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami
preeklampsia dan yang memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak
memberikan perbedaan yang signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang
adekuat. Tidak ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini (POGI,2016).

6) Suplementasi antioksidan
Cochrane melakukan metaanalisis 10 (sepuluh) uji klinis yang melibatkan 6533
wanita. Sebagian besar uji klinis menggunakan antioksidan kombinasi vitamin C (1000
mg) dan E (400 IU). Kesimpulan yang didapatkan adalah pemberian antioksidan tersebut
tidak memberikan perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
pada kejadian preeklampsia (RR 0,73, CI 95% 0,51 -1,06; 9 uji klinis, 5446 wanita) atau
terhadap luaran primer lainnya, seperti preeklampsia berat (RR 1,25, CI 95% 0,89 - 1,76;
2 uji klinis, 2495 wanita), kelahiran preterm (sebelum 37 minggu) (RR 1,10, CI 95%
0,99 - 1,22; 5 uji klinis, 5198 wanita), bayi kecil masa kehamilan (RR 0,83, CI 95% 0,62
- 1,11; 5 uji klinis, 5271 bayi) dan mortalitas perinatal (RR 1,12, CI 95% 0,81 - 1,53; 4
uji klinis, 5144 bayi). Wanita yang mendapat suplementasi antioksidan cenderung
membutuhkan antihipertensi (RR 1,77, CI 95% 1,22 - 2,57; 2 uji klinis, 4272 wanita) dan
terapi rawat inap untuk hipertensi selama antenatal (RR 1,54 CI 95% 1,00 - 2,39; 1 uji
klinis, 1877 wanita) (POGI,2016).

2.5. DIAGNOSIS
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai
hipertesi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai
adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan
lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

4. Edema Paru

5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :


Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV) (POGI,2016).

Penegakkan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90


mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya
160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.1,2 Mat tensimeter sebaiknya
menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan
tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru
menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan alat otomatis sering memberikan
hasil yang lebih rendah. (POGI, 2016)

Ibu diberi kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan


pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk posisi
manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi
korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga
senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat. Pemeriksaan
tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan,
dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi (POGI, 2016).

Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam
atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan
yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel
urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Pemeriksaan kadar
protein kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2
berkisar 700-4000mg/24jam (POGI, 2016).

Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi dengan
tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina,
cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for the
Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan
proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif
palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin
tampung 24 jam atau rasio protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang
dilakukan Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding kreatinin
dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik (POGI, 2016).
2.6. TATALAKSANA
Penanganan preeklampsia bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal dengna
mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usa kehamilan danpa
membahayakan ibu (POGI, 2016). Tujuan utama perawatan preeklampsia pada ibu yaitu

mencegah kejang, mencegah pendarahan intra cranial, mencegah gangguan fungsi organ
vital dan melahirkan bayi sehat (Angsar, 2008). Penanganan preeklampsia dilakukan
berdasarkan temuan klinis dari gejala preeklampsia. Pada umumnya layanan primer tidak
melakukan perawatan terhadap kasusu preeklampsia, dan akan dilakukan rujukan dari
fasilitas kesehatan primer ke fasilitas kesehatan sekunder pada setiap skrining yang
ditemukan positif kasus preeklamsia. Namun, pada keadaan preeklampsia berat lakukan
penanganan awal stabilisasi sebelum dilakukan rujuk segera (Gumilar D., et al., 2017).
Pada fasilitas kesehatan primer, dapat diberikan aspirin dosis rendah 80 – 150 mg/
hari sampai dengan 7 hari sebelum persalinan dan kalsium 1 g/hari serta lakukan rujuk
poliklinis ke fasilitas kesehatan sekunder segera. Jika didapatkan pasien preeklampsia
dalam konsisi inpartu di fasilitas kesehatan primer, jika akan segera lahir tetap lakukan
persalinan dan tetap rujuk setelah melahirkan. Beri injeksi MgSO4 pada kasus PEB
inpartu dilakukan sesuai prosedur. Namun, jika tidak segera lahir, lakukan stabilisasi
pasien dan rujuk segera ke fasilitas kesehatan sekunder (Gumilar D., et al., 2017).
Perawatan Aktif (aggressive management) yang dilakukan dirumah sakit dengan
fasilitas yang optimal yaitu sembari memberi pengobatan, kehamilan diakhiri dengan
indikasi:
 Ibu:
– Umur kehamilan 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil batasan umur
kehamilan >37 minggu untuk preeclampsia ringan dan batasan umur
kehamilan >37 minggu untuk preeclampsia berat.
– Adanya tanda-tanda atau gejala-gejala Impending Eclampsia.
– Kegagalan terapi pada perawatan konservatip, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk.
– Diduga terjadi solutio placentae.
– Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan.
 Janin:
– Adanya tanda-tanda fetal distress.
– Adanya tanda-tanda IUGR (Intra uterine growth restriction).
– NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal.
– Terjadinya oligohidramnion.
 Laboratorik
– Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat.
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan), dilakukan berdasar keadaan
obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum in partu.

Gambar 3. Algoritma Manajemen Ekspektatif

Perawatan Konservatif dilakukan dengan Indikasi ialah bila kehamilan preterm


<37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
A. Diberikan pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif.
B. Selama perawatan konservatif; sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi
dan evaluasi sama seperti perawatan aktip, hanya kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan,
maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus
diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau
tanda-tanda preeclampsia ringan (Angsar, 2008).
Tata cara pemberian MgSO4 harus memenuhi syarat yaitu tersedia Ca Gluconas 1%,
ada refleks patella, jumlah urin minimal 0,5 ml/KgBB/ jam dan tidak ada distress napas.
Prosedur pemberian MgSO4 menurut WHO dalam tahap rujukan adalah sebagai berikut:
 Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang atau
kejang berulang.
 Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam sesuai
prosedur.
 Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
 Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks tendon
patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam), segera
hentikan pemberian MgSO4.
 Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus
dalam 10 menit.
 Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai adanya
perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan penilaian awal dan
tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 g IV perlahan (15-20
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit (Angsar, 2013).

2.7. KOMPLIKASI & PROGNOSIS


2.7.1 Komplikasi
a. Maternal
Preeklampsia yang terjadi pada ibu dapat memburuk dan berkembang menjadi
 Sistem saraf pusat
Perdarahan intrakranial, thrombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati,
edema cerebri, edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan
kortek. Terdapat dua teori utama yang menjelaskan abnormalitas saraf pusat.
Teori pertama mengatakan dalam respon hipertensi yang akut dan parah,
overregulasi serebrovaskular mengarah pada vasospasme. Teori kedua yaitu
peningkatan mendadak pada tekanan darah sistemik melebihi kapasitas
daripada autoregulasi serebrovaskular normal.
 Kadriovaskular
Terkait perubahan kardiovaskular seperti vasospasme menyeluruh,
peningkatan resistensi perifer, meningkatan index sekuncup ventrikel kiri,
maupun penurunan tekanan vena sentral.
 Gastrointestinal-hepatik
Subscapular hematoma hepar, kerusakan hepatoseluler, rupture kapsul hepar
 Ginjal
Dengan perjalanan preeklampsia, terdapat beberapa perubahan anatomi dan
patofisiologi yang reversible. Perfusi ginjal dan filtrasi glomerolus menurun,
terutama disebabkan oleh peningkatan resistensi arteriol afferent ginjal yang
dapat meningkat sampai lima kali lipat. Secara morfologi ditandai juga
dengan karakteristik perubahan glomerular endhotheliosis yang memblok
barier filtrasi. Vasopspasme menyeluruh menyebabkan gagal ginjal akut.
necrosis tubular akut biasanya terjadi karena perdarahan obstetrik yang parah
namun penggantian komponen darah tidak adekuat.
 Hematologik
DIC, thrombositopenia, dan hemokonsentrasi masuk dalam komplikasi pre-
eklampsia yang dapat terkait juga dengan sindrom HELLP. Perubahan
morfologi eritrosit, peningkatan sifat adhesif dan agregasi menjadi poin-poin
pemicu hemolysis maupun hiperkoagulasi. Perubahan samar yang konsisten
akan koagulasi intravaskular,meningkatkan pemakaian faktor pembekuan
darah namun jarang menunjukkan tanda klinis.
 Lain-lain
Ascites, edema laring, hipertensi tidak terkendali serta sepsis.
b. Fetal
Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth
restriction, solutio placenta, prematuritas, sindroma distres nafas, kematian
janin intrauterin, perdarahan intraventricular, necrotizing enterocolitis, sepsis,
cerebral palsy, kematian neonatal (Cuningham, 2014).

2.7.2 Prognosis
Penderita preklampsia yang terlambat penanganannya akan berdampak pada ibu
dan janin. Pada ibu dapat terjadi perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema
paru, payah ginjal, dan aspirasi saat kejang. Prognosis janin tergantung dari usia
kehamilan saat janin dilahirkan. Pada janin dapat terjadi kematian akibat hipoksia atau
kelahiran prematur (Wiknjosastro, 2006).

2.8 FAKTOR RESIKO

Faktor resiko dari preeclampsia antara lain:

1. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat pada
wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara (RR 1,68 95%CI 1,23
- 2,29), maupun multipara (RR 1,96 95%CI 1,34 - 2,87). Usia muda tidak
meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Resiko preeklampsia pada
kehamilan kedua meningkat dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan umur;
p<0,0001) (POGI,2016).
2. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91, 95% CI
1,28 - 6,61) (POGI,2016).
3. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma (POGI,2016).
4. Jarak antar kehamila
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau
lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. 3 Robillard, dkk
melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan
lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan
pertama dan kedua; p<0,0001) (POGI,2016).
5. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama.
Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR 7,19 95%CI 5,85 - 8,83).
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak
perinatal yang buruk (POGI,2016).
6. Riwayat keluarga preeclampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat
(RR 2,90 95%CI 1,70 – 4,93). Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan
risiko sebanyak 3.6 kali lipat (RR 3,6 95% CI 1,49 – 8,67) (POGI,2016).
7.
7. Kehamilan multiple
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat (RR 2.93 95%CI 2,04 – 4,21).
Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali
lipat dibandingkan kehamilan duplet (RR 2,83; 95%CI 1.25 - 6.40). 3 Sibai dkk
menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal (RR 2,62; 95% CI,
2,03 – 3,38) (POGI,2016).

8. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma
masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi
preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia
yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan
terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka
waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan
berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek
protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk
melaporkan adanya peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada
wanita dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia
(OR 1,8; 95 % CI 95%, 2-2,6) (POGI,2016).

9. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan
semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang
juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko
preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat (95% CI, 1,66 – 3,67), sedangkan wanita
dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko
preeklampsia 4 kali lipat (95% CI, 3,52-5,49) (POGI,2016). Pada studi kohort yang
dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada 878.680 kehamilan, ditemukan
fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang kurus
(BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk
(BMI > 29,0) (POGI,2016).
10.
10. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil (RR 3.56; 95% CI 2,54 - 4,99) (n=56.968) (POGI,2016)

11. Penyakit Ginjal


Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat sebanding
dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal (POGI,2016).

12. Hipertensi kronik


Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden
preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah
preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang
lebih buruk. Chappel juga menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat
dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklampsia superimposed pada
wanita hamil dengan hipertensi kronik (POGI,2016).

13. Faktor genetika


Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit
ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau
mempunyai riwayat pre eklampsia/ eklampsia dalam keluarga.
Faktor ras dan genetik merupakan unsur yang penting karena mendukung insiden
hipertensi kronis yang mendasari. Kami menganalisa kehamilan pada 5.622 nulipara
yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland dalam tahun 1986, dan 18% wanita kulit
putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit hitam menderita hipertensi yang
memperberat kehamilan.
Insiden hipertensi dalam kehamilan untuk multipara adalah 6,2% pada kulit putih,
6,6% pada Hispanik, dan 8,5% pada kulit hitam, yang menunjukkan bahwa wanita
kulit hitam lebih sering terkena penyakit hipertensi yang mendasari. Separuh lebih
dari multipara dengan hipertensi juga mendrita proteinuria dan karena menderita
superimposed preeclampsia. Kecenderungan untuk preekalmpsia-eklampsia akan
diwariskan. Chesley dan Cooper (1986) mempelajari saudara, anak, cucu dan
menantu perempuan dari wanita penderita eklampsia yang melahirkan di Margareth
Hague Maternity Hospital selam jangka waktu 49 tahun, yaitu dari tahun 1935
sampai 1984. Mereka menyimpulkan bahwa preeklampsia – eklampsia bersifat
sangat diturunkan, dan bahwa model gen-tunggal dengan frekuensi 0,25 paling baik
untuk menerangkan hasil pengamatan ini (Cuningham, 2014).
14. Status Gizi
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga
menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam
badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula
jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi
pemompaan jantung. Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya preeklampsia
(Cuningham, 2014).
15. Stress / Cemas
Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya dengan kejadian
preeklampsia, namun pada teori stres yang terjadi dalam waktu panjang dapat
mengakibatkan gangguan seperti tekanan darah. Manifestasi fisiologi dari stres
diantaranya meningkatnya tekanan darah berhubungan dengan:
- Kontriksi pembuluh darah reservoar seperti kulit, ginjal dan organ lain
- Sekresi urin meningkat sebagai efek dari norepinefrin
- Retensi air dan garam meningkat akibat produksi mineralokortikoid sebagai akibat
meningkatnya volume darah
- Curah jantung meningkat.
16. Pemeriksaan Antenatal
Preeklapmsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan berkelanjutan, oleh
karena itu melalui antenatal care yang bertujuan untuk mencegah perkembangan
preeklampsia, atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat
mengurangi kejadian kesakitan. Pada tingkat permulaan preeklampsia tidak
memberikan gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa
dini hanya dapat dibuat dengan antenatal care. Jika calon ibu melakukan kunjungan
setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu terakhir kehamilannya, ada
kesempatan untuk melekukan tes proteinuri, mengukur tekanan darah, dan
memeriksa tanda-tanda edema. Setelah diketahui diagnosa dini perlu segera
dilakukan penanganan untuk mencegah masuk kedalam eklampsia (Cuningham,
2014).
Disamping faktor-faktor yang sudah diakui, jelek tidaknya kondisi ditentukan juga
oleh baik tidaknya antenatal care. Dari 70% pasien primigravida yang menderita
preeklampsia, 90% nya mereka tidak melaksanakan atenatal care (Cuningham,
2014).
17. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial dan ekonomi termasuk Pendidikan dan pekerjaan ibu maupun
pasangannya juga dapat mempengaruhi terjadinya preeklamsi secara langsung
maupun tidak langsung (Cuningham, 2014).
BAB III
KASUS
3.1. IDENTITAS

Nama : Ny. EE
Umur : 31 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal periksa : 14 Januari 2019
No.RM : 581149

3.2. ANAMNESIS

3.2.1. KELUHAN UTAMA

Nyeri kepala

3.2.2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dikeluhkan pasien sejak 2
minggu terakhir. Nyeri kepala muncul terkadang dan tidak menentu. Nyeri kepala pada
pasien seluruh kepala dan pasien tidak dapat menunjuk letak nyeri kepalanya. Pasien adalah
pasien kontrol poli Risti RSUD dr. M. Soewandhie. Pasien sebelumnya rujukan dari
Puskesmas Banyu Urip dengan tekanan darah tinggi saat usia kehamilan 28-29 minggu.
Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua pada pasien. Kehamilan pertama pada pasien
lahir di bidan, aterm, spontan, berat 2900g dan saat ini anak berumur 4 tahun. Gerak janin
masih terasa aktif. Riwayat trauma disangkal, keputihan disangkal. Tidak didapatkan keluhan
BAB maupun BAK. Riwayat merokok disangkal. Sesak disangkal. Gangguan pandangan
disangkal.
3.2.3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis, darah tinggi maupun alergi baik pada
kehamilan sebelumnya maupun saat tidak hamil. Pasien saat ini rutin mengonsumsi Aspilet
dan Dopamet dari poli risti RSUD dr. M. Soewandhie.

3.2.4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada di keluarga pasien yang mengalami seperti ini. Tekanan darah tinggi,
kencing manis dan alergi disangkal.

3.2.5. RIWAYAT PERAWATAN ANTENATAL

PAN : - HPHT pasien 5 Mei 2018


- Pasien rutin kontrol ke PKM sejak 11 Juni 2018
- Pasien pada awalnya memiliki tekanan darah normal tetapi UK 15/16 minggu
tekanan darah pasien menjadi 140/90, pasien diberikan obat Aspilet
- Pasien dirujuk ke RS dr. M. Soewandhie UK 28/29 minggu dengan TD 170/100 dan
rutin diberikan Kalk 1x1 tab, Aspilet 1x1 tab dan Dopamet 3x250mg

3.2.6. RIWAYAT HAID

Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari
Lama : 7 hari
Nyeri sebelum/sesudah/setelah haid : -
Jumlah : 3-4 ganti softex/hari
Warna : merah
Bau :-
Keputihan saat kehamilan disangkal.
HPHT : 05-05-2018
Usia Kehamilan 36-37 minggu
TP : 14-01-2019

3.2.7. RIWAYAT PERSALINAN

No Usia Persalinan Tempat Penolong Jenis BB Keadaan lahir Usia


kehamilan Kelamin

1 38 minggu Spontan Puskesmas Bidan Laki - laki 2900g Sehat 4 tahun

2 Kehamilan saat ini

Perdarahan (-)

Gangguan kesadaran/kejang (-)

Rujukan berjenjang lebih dari 1x (-)

Transfusi (-)

Rawat ICU (-)

3.2.8. RIWAYAT PERNIKAHAN

Pasien menikah 1x  5 tahun menikah


3.2.12. Kartu Skor Poedji Rochjati

Kelompok faktor No Kondisi Ibu Hamil Poin 21/11/2018 14/01/19


resiko
Skor awal ibu 2 v v
hamil

Ada Potensi 1 Primi muda 4


Gawat
Obstetri 2 a. Primi tua, 4
hamil I U≥35 th

b. Primi tua, 4
hamil I kawin ≥
4th

3 Primi tua 4
sekunder

4 Anak terkecil < 4


2 tahun

5 Grande Multi 4

6 Umur ≥ 35 4
tahun

7 Tinggi badan ≤ 4
145 cm

8 Riwayat 4
Obstetri Jelek
(ROJ)
9 Persalinan yang 4
lalu, pernah:
a. Tindakan
Pervaginam
b. Placenta
manuil
c. Perdarahan
Post Partum

Ada Gawat 1 Bekas Operasi 8


Obstetri 0 sesar

1 Penyakit pada 4
1 ibu hamil

1 Preeklamsia 4 v
2 ringan

1 Gemelli 4
3

1 Hydramnion 4
4

1 IUFD 4
5

1 Hamil 4
6 Serotinus

1 Kelainan letak 8
7 a. Letak
Sungsang
b. Letak
Lintang

Ada Gawat 1 Perdarahan 8


Darurat 8
Obstetrik
1 Preeklampsia 8 v
9 berat/eclampsia

Total Skor = 6 & 10 KRT

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


1.3.1. KUNJUNGAN PERTAMA (14/1/2019)
Status Umum 14/1/2019 pkl. 10.00
GCS 456 A(-) I(-) C(-) D(-)
TD: 160/100 N: 90 RR: 20 T: 36,6 oC
Cor : S1/S2 tunggal, murmur (-)
Pulmo : ves +/+ , rh -/-, wh -/-
Edema : -/-
TB : 155 cm BB saat ini: 80 kg BMI: 33,29 kg/cm2

Status Obstetri Status Umum 14/1/2019 pkl. 10.00


TFU : 29 cm
Leopold I : teraba bagian yang terasa lunak curiga bokong
II: punggung kanan
III: teraba bagian yang terasa keras curiga kepala
IV: bagian terendah janin belum masuk pintu atas panggul
Letak : kepala
DJJ : 139
His : (-)
VT : tidak dilakukan

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


LABORATORIUM 22/11/2018
Hematologi
• WBC 7.090
• RBC 3,32 x 10^6/uL
• Hb 10,3 g/dl
• HCT 31,0 %
• PLT 307.000
Kimia Klinik
• GDP 82
• GD2JPP 92
Urinalisis
• Protein (-)
• Glukosa (-)
• Bilirubin (-)
• Keton (-)
• BJ 1.030
• Eri (-)
• Urobilinogen +1
• Nit (-)
• Leu (-)
• Warna: Kuning tua
• Eritrosit 0 - 2/ lp
• Leukosit 0 - 2 / lp
• Epitel 4 – 6 / lp

1.5. DIAGNOSIS
GII P1001 36/37 mgg THIU + Letak kepala + PEB + Obesitas Grade I

1.6. TATALAKSANA
KIE MRS pro terminasi
Nifedipine 3x10mg

3.7. MONITORING
Keluhan
VS
His
DJJ
DAFTAR PUSTAKA

Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan edisi VI - tahun 2008. Bagian SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran UNAIR/RSU Dr.
Soetomo: Surabaya

Armenian Medical Network. 2006. Chronic Hypertension. Available at: http://www.health.am/pregnancy/chronic-hypertension/#2

Cunningham, F Gary. 2010. Pregnancy Hypertension. William Obstetrics 23rd Ed. New York: McGraw-Hill.

Cunningham, F.Gary. 2014. Pregnancy Hypertension. Williams obstetrics Edisi 24. New York: McGraw-Hill.

Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium Indonesia 2010. Retrieved: August 27, 2015.
Available at: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/lap-pemb-milenium-ind-2010.pdf

Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2014. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2016. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur
Duffus, G.M. and Mac Gillivray, 1994. I. The incidence of penyakit jantung koroner bukan merupakan preeklampsia toxcaemia in smolers and
non smoker. Lancet.

Fairlie FM, Sibai BM. 1992. Hypertencive Disorder in Pregnancy. Medicine of fetus and mother. Philadelphia: JB. Lippincott Company.

Gumilar D, E., T J, H., Sulistyono, A., Wardhana, M. and Gumilang, K. (2017). Penatalaksanaan Preeklampsia-eklampsia & Perdarahan Pasca
Persalinan. surabaya: Forum Koordinasi penurunan angka kematian ibu dan bayi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi Kesehatan Ibu. Retrieved: August 27, 2015. Available at:
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html

Redman, C. W. G., & Sargent, I. L. (2010). Immunology of Pre-Eclampsia. American Journal of Reproductive Immunology, 63(6), 534–543.
http://doi.org/10.1111/j.1600-0897.2010.00831.x
Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-eklamsia.

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
World Health Organization. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Retrieved: August 26, 2015. Available
at: http://www.searo.who.int/indonesia/documents976-602-235-265-5-buku-saku-pelayanan-kesehatan-ibu.pdf

World Health Organization. 2014. Maternal Mortality. Retrieved: August 27, 2015. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs348/en/

Anda mungkin juga menyukai