Anda di halaman 1dari 19

Tutorial Klinik Obstetri

Preeklampsia Berat dan Eklampsia

Oleh :
Clara Sita Rahmi Sekundarini
42100084

Dosen Pembimbing Klinik :


Dr. Trianto Susetyo, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016

BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. YP

Usia

: 25 tahun

Alamat

: Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta

Tanggal MRS

: 29 Agustus 2016

No RM

: 01056284

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Ibu G1P0A0 dirujuk dengan keluhan pandangan kabur.
2.

Riwayat Penyakit Sekarang


Ibu G1P0A0, UK 35 minggu hari dirujuk oleh Puskesmas Umbulharjo II ke RSB
dengan keluhan pandangan kabur. Keluhan tersebut mulai dirasakan sejak 15 hari
yang lalu. Pasien juga mengalami bengkak di kedua kaki dan kepalanya pusing.
Menurut pemeriksaan kehamilan di minggu-minggu sebelumnya pasien diprediksi
memiliki anak kembar.
Riwayat merokok (-), minum alkohol (-), menjalani pengobatan jangka lama (-).
Buang air besar dan buang air kecil pasien tidak terganggu.

3. Riwayat penyakit dahulu:


-

Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (-)
Penyakit jantung (-)
Penyakit ginjal (-)
Penyakit yang membutuhkan pengobatan rutin (-)

4. Riwayat penyakit keluarga


Keluarga tidak ada yang pernah mengalami hal seperti yang dirasakan pasien.

5. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat-obat ataupun makanan tertentu.
6. Riwayat Obstetrik
G1P0Ab0, Pasien baru hamil tahun ini yaitu tahun 2016. Hari pertama menstruasi
terakhirnya tanggal 6 Januari 2016 dan HPL tanggal 13 Oktober 2016.
Pasien mens pertama kali saat berusia 12 tahun. Selama ini menstruasi pasien
teratur dan setiap mens biasanya berdurasi selama 7 hari dan setiap hari biasanya
ganti

pembalut 2 sampai 3 kali. Pasien tidak pernah mengalami nyeri saat

menstruasi.
Pasien menikah 1x, lama menikah 1,5 tahun, usia saat menikah 24 tahun. Pasien
belum pernah menggunakan KB.
C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum

: Sedang, lemah.

2. Kesadaran/GCS

: CM / E4V5M6

3. Tanda Vital :
Tek. Darah

: 170/130 mmHg

Respirasi

: 32 x/menit

Nadi

: 100 x/menit

Suhu

: 36,7oC

4. Status Obstetri
Leopold
I

: Presentasi atas kepala-kepala, TFU 34cm.

II

: Punggung kiri (puki) punggung kiri (puki).

III

: Presentasi bawah bokong bokong.

IV

Pemeriksaan genitalia eksterna


Inspeksi :
Rambut pubis hitam
OUE
Dalam batas normal.
Klitoris
Dalam batas normal.
Introitus vagina
Lendir darah (-), fluor albus (-)
Glandula bartholini
Dalam batas normal
Pemeriksaan genitalia interna

Vaginal Touche

Tidak ada pembukaan, portio teraba lunak, lendir (-), darah


(-),

5. Status generalis
Kepala

Normocephali, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


refleks cahaya (+/+).

Leher

Pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-).

Thoraks

Jantung : S1S2 tunggal, reguler, Gallop : (-), Murmur (-).


Paru : Simetris, Vesikuler (+/+), Ronchi (-/-), Wheezing (-/-).

Abdomen

Bising usus (+), striae (+).

Ekstremitas

Akral hangat, CRT < 2 detik, nadi kuat regular,


Edema : Ekstremitas atas (-/-) Ekstremitas bawah (+/+)

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Parameter
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
Leukosit

Hasil
12,0 gr/dl
36,0 %
4,35 juta/ul
250 ribu/ul
7.12 ribu/mmk

Nilai rujukan
11.7-15.5
35-49
4.20-5.40
150-450
4.5-11.5

Eosinofil

2.2%

2-4

Limfosit

32.9%

18-42

Monosit

6,9%

2-8

2.00
9.00
97mg/dL
A
Negatif

1-3
5-15
70-140

BT (Masa perdarahan)
CT (Masa pembekuan)
GDS
Golongan darah
HBSAg

Pemeriksaan Urin
Proteinuri (Puskesmas Umbulharjo II) : (+)
E. Diagnosis Kerja

Negatif

PEB, Gemelli pada ibu G1P0A0 UK : 35 Minggu.


F. Terapi

Infus RL 20tpm

SC Emergency

Medikamentosa:
Inj MgSO4 40 gram (10 cc MgSO4 40%) IM boka-boki.
Inj Cefuroxim 2 x 1 amp.
Inj Metilprednisolone 2 x 125 mg
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Inj Thramal 3 x 1 amp (Dimulai post SC)

G. Follow up
Tanggal 30 Agustus 2016 pukul 01.00, pasien mengeluh pusing, TD :
190/130 mmHg diberi Inf. Paracetamol 1000mg.
Tanggal 30 Agustus 2016 pukul 02.00, pasien mengeluh pusing, tidak
dapat melihat, TD: 190/130 mmHg diberikan Ranitidin 1 amp +
Metiprednisolone 1 amp, rencana konsul dr spesialis mata pagi
harinya.
Tanggal 30 Agustus 2016 pukul 03.00, pasien Kejang, TD: 190/130
mmHg Rujuk RS Sardjito dengan Dx Eklampsia.

BAB II
DASAR TEORI

A. PENDAHULUAN
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan
lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di negara
berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di negara
maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan
di negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan (WHO, 2007).
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan dan
nifas (WHO, 2007). Angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan salah satu
yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390
menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan ASEAN, AKI
pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran
hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran
hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000 kelahiran
hidup. Meskipun, Millenium development goal (MDG) menargetkan penurunan AKI
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, namun pada tahun 2012
SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359 kematian
ibu per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2010 & Kemenkes RI, 2015).
Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut mempengaruhi
sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus Kependudukan
Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun 2015 dengan
jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20% dari seluruh kehamilan (Bappenas, 2010)
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%) (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan data WHO
(2007) kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di
negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18% (Osungbade & Ige, 2011). Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.

Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya
penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi
yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik (Right
Diagnosis from Healthgrades, 2004).
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah
pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit
kardiometabolik dan komplikasi lainnya (Pampus, 2005). Dampak jangka panjang
juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti
berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan
janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan
mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab
tersering kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir
rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit
metabolik pada saat dewasa (POGI, 2016).
Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di
antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada
teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga
akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah. Selain masalah kedokteran,
preeklampsia juga menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan
untuk kasus ini cukup tinggi. Dari analisis yang dilakukan di Amerika memperkirakan
biaya yang dikeluarkan mencapai 3 milyar dollar Amerika pertahun untuk morbiditas
maternal, sedangkan untuk morbiditas neonatal mencapai 4 milyar dollar Amerika per
tahun. Biaya ini akan bertambah apabila turut menghitung beban akibat dampak
jangka panjang preeklampsia (POGI, 2016).

B. DEFINISI
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah kehamilan
20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90 mmHg) dan
proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya normal pada usia
kehamilan sebelum 20 minggu. Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak

hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi pembuluh
darah, disfungsi endotel difus, proteinuria, dan koagulopati. Pada 20% wanita
preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Low Platelet Count) yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar,
trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem koagulasi. Angka kejadian sindrom
HELLP ini sekitar 1 dari 1000 kehamilan. Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami
koagulasi intravaskuler diseminata, yang memper burukprognosis baik ibu maupun
bayi. Eklampsia merupakan jenis preeklampsia berat yang ditandai dengan adanya
kejang, terjadi pada 3% dari seluruh kasus preeklampsia. Kerusakan otak pada
eklampsia disebabkan oleh edema serebri. Perubahan substansia alba yang terjadi
menyerupai ensefalopati hipertensi. Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke dan
perdarahan serebri, merupakan penyebab kematian terbesar pada eklampsia (Myrtha,
2015).
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta dangkal,
aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal trimester kedua. Hal
ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang menyebabkan terjadinya
kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan penyakit mikrovaskuler, seperti
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit kolagen, didapatkan peningkatan insiden
preeklampsia; mungkin preeklampsia ini didahului gangguan perfusi plasenta.
Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan darah
disebabkan adanya peningkatan resistensi vaskuler (Myrtha, 2015).
C. ETIOLOGI
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia :

Nullipara

Multiparietas

Riwayat keluarga preeklampsia

Hipertensi kronis

Diabetes melitus

Penyakit ginjal

Riwayat preeklampsia onset dini pada kehamilan sebelumnya (<34 minggu)

Riwayat sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet)

Obesitas

Mola hidatidosa

(Myrtha, 2015)

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan perfusi
plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu pertama
kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling dinding arteri
spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta, diikuti produksi
substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom
maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini
merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok respons infl amasi sistemik
maternal dan disfungsi endotel.
Selain itu, didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah
sering kali lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas
vasokonstriktor simpatis, yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini
mendukung penggunaan metildopa sebagai antihipertensi. Tirah baring sering dapat
memperbaiki hipertensi pada kehamilan, mungkin karena perbaikan perfusi
uteroplasenta.3
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya preeklampsia.
Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko preeklampsia dua
kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel.3
Pada preeklampsia, fraksi filtrasi renal menurun sekitar 25%, padahal selama
kehamilan normal, fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam urat serum
menurun, biasanya sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5 mg/dL akibat
penurunan klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda penting
preeklampsia.3
Edema Paru pada Preeklampsia
Preeklampsia masih merupakan salah satu penyebab terpenting edema paru
akut dengan hipertensi pada kehamilan. Edema paru akut merupakan penyebab
penting morbiditas dan mortalitas pada kehamilan, di tandai dengan sesak nafas
mendadak, dapat disertai agitasi, dan merupakan manifestasi klinis proses penyakit

yang berat. Terapi meliputi oksigenasi, ventilasi, dan kontrol sirkulasi dengan
venodilator.15
Dibandingkan dengan wanita pada kehamilan fisiologis, wanita preeklampsia
memperlihatkan berbagai abnormalitas jantung, mulai dari peningkatan curah jantung
dan peningkatan ringan resistensi vaskuler sistemik, hingga penurunan curah jantung
dengan peningkatan resistensi vaskuler sistemik. Sering kali didapatkan gangguan
fungsi diastolik dengan peningkatan massa ventrikel kiri. Pada preeklampsia juga
terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma dan gangguan permeabilitas endotel.
Krisis hipertensi yang mencetuskan edema paru akut mungkin karena aktivasi sistem
saraf simpatis yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, sehingga meningkatkan
afterload dan redistribusi cairan dari sirkulasi perifer ke sirkulasi pulmonal. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan pada alveolus dan penurunan oksigenasi (Myrtha,
2015).
E. DIAGNOSIS
Menurut American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis dibuat
jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran disertai proteinuria >300
mg/ hari. Edema, yang merupakan gambaran klasik preeklampsia, tidak lagi
digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas maupun spesifisitasnya rendah.
Pada 20% kasus tidak ditemukan proteinuria ataupun hipertensi. Pemeriksaan
laboratorium, seperti tes fungsi hepar, pemeriksaan protein urin, dan kreatinin serum
dapat membantu mengetahui derajat kerusakan target organ, tetapi tidak ada yang
spesifik untuk diagnosis preeklampsia.
(Myrtha, 2015).

F.

PENATALAKSANAAN
Terdapat perbedaan manajemen hipertensi pada kehamilan dan di luar
kehamilan. Kebanyakan kasus hipertensi di luar ke hamilan merupakan hipertensi
esensial yang bersifat kronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan ditujukan untuk
mencegah komplikasi jangka panjang, seperti stroke dan infark miokard, sedangkan
hipertensi pada kehamilan biasanya kembali normal saat post-partum, sehingga terapi
tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi jangka panjang. Preeklampsia berisiko
menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan tekanan darah yang cepat pada
preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia melibatkan komplikasi multisistem dan
disfungsi endotel, meliputi kecenderungan protrombotik, penurunan volume
intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas endotel.
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat
antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring dan monitoring baik
terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya sudah mengalami deplesi
volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan darah yang
terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu diperhatikan karena
iskemi plasenta merupakan hal pokok dalam patofi siologi preeklampsia. Selain itu,

menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses primernya. Tujuan utama terapi
antihipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu, yang meliputi abrupsi plasenta,
hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap, dan kerusakan organ target
(komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler). Risiko kerusakan organ target
meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba-tiba pada wanita yang sebelumnya
normotensi.
Tekanan darah >170/110 mmHg merusak endotel secara langsung. Pada
tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi kegagalan risiko perdarahan serebral.
Selain itu risiko abrupsi plasenta dan asfi ksia juga meningkat. Penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat dan mendadak dapat menurunkan perfusi uteroplasenta,
sehingga dapat menyebabkan hipoksia janin. Target tekanan darah adalah sekitar
140/90 mmHg (Myrtha, 2015).

Obat Antihipertensi
a. Hipertensi ringan-sedang
Keuntungan dan risiko terapi antihi pertensi pada hipertensi ringansedang (tekanan darah sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90109 mmHg) masih kontroversial. Guideline European Society of Hypertension
(ESH) / European Society of Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan
pemberian terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90
mmHg pada wanita dengan:
1) Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria)
2) Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional
3) Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala
selama masa kehamilan.
b. Hipertensi berat
ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau diastolik
>110 mmHg pada wanita hamil diklasifi kasikan sebagai emergensi dan merupakan

indikasi rawat inap. Terapi farmakologis dengan labetalol intravena, metildopa oral,
atau nifedipin sebaiknya segera diberikan. Obat pilihan untuk preeklampsia dengan
edema paru adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus intravena dengan dosis 5
g/menit dan ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 100
g/menit. Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (2040 mg bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit jika
respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan untuk
venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat memerlu kan ventilasi mekanik (Myrtha,
2015).

Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator. Magnesium
sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat lini pertama
untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu, direkomendasikan untuk profilaksis
eklampsia pada wanita dengan preeklampsia berat (Myrtha, 2015).

Syarat pemberian MgSO4 :


-

Tersedia Ca Glukonas 10%.

Ada refleks patella.

Jumlah urin minimal0,5ml/kgBB/jam.

Cara pemberian dosis awal :


-

Ambil 4 g larutan MgSO4 (20 ml larutan MgSO4 20%) dan larutkan dengan
10 ml akuades.

Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit.

Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml larutan


MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.

Cara pemberian dosis rumatan :


-

Ambil 6 g MgSO4 (30 ml larutan MgSO4 20%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat.

Berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang


hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila eklampsia).

Observasi dan tatalaksana lanjutan setelah pemberian MgSO4 lanjutan :


-

Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.

Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks


tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam),
segera hentikan pemberian MgSO4.

Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)


bolus dalam 10 menit.

Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2
g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO 4 ulangan masih
terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV
selama 2 menit (WHO, 2013).

Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan


-

Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak
terjadinya kejang.

Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan janin
yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.

Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan,
asalkan tidak terdapat kontraindikasi (lihat algoritma di halaman berikut).
Lakukan pengawasan ketat.

Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan 37
minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat
hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan
pengawasan ketat.

Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,


persalinan dini dianjurkan.

Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang
sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.

(WHO, 2013)

Konseling dan Follow Up Pascapersalinan


Hipertensi sering menetap pasca-persalinan pada pasien dengan hipertensi
antenatal atau preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil pada beberapa hari
postpartum.
Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat. Obat
antihipertensi antenatal sebaiknya diberikan kembali post-partum dan dapat dihentikan
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah tekanan darah normal. Jika
tekanan darah sebelum konsepsi normal, tekanan darah biasanya normal kembali
dalam 2-8 minggu. Hipertensi yang menetap setelah 12 minggu postpartum mungkin

menunjuk kan hipertensi kronis yang tidak ter diag nosis atau adanya hipertensi
sekunder.
Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada pasien preeklampsia onset dini,
preeklampsia berat atau rekuren, atau pada pasien dengan proteinuria yang menetap;
perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi sekunder, dan trombofilia
(misalnya sindrom antibodi antifosfolipid).
Wanita yang mengalami hipertensi gestasional mempunyai risiko lebih tinggi
untuk mengalami hipertensi di kemudian hari. Setelah follow up selama 7 tahun pada
223 wanita yang mengalami eklampsia, didapatkan bahwa risiko paling tinggi adalah
pada wanita yang mengalami hipertensi pada usia kehamilan sebelum 30 minggu.
Wanita dengan hipertensi gestasional juga mengalami resistensi insulin lebih tinggi.
Wanita preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskuler lebih tinggi bahkan
hingga bertahun-tahun pascapersalinan, serta mempunyai risiko lebih besar terjadinya
disfungsi dan hipertrofi ventrikel kiri asimptomatik dalam 1-2 tahun pasca-persalinan.
Risiko kematian karena penyakit kardio-serebrovaskuler juga dua kali lebih besar
pada wanita dengan riwayat preeklampsia. Wanita dengan riwayat preeklampsia onset
sebelum 34 minggu atau preeklampsia yang disertai persalinan preterm mempunyai
risiko kematian karena penyakit kardiovaskuler 4-8 kali lebih besar dibandingkan
wanita dengan kehamilan normal.
Mekanismenya masih belum diketahui pasti, tetapi disfungsi endotel yang
berkaitan erat dengan proses aterosklerosis menetap selama bertahun-tahun setelah
kejadian preeklampsia. Tiga bulan hingga paling tidak tiga tahun pasca-persalinan
masih di dapat kan gangguan dilatasi endotel. Wanita dengan riwayat preeklampsia
juga dilaporkan lebih sensitif terhadap angiotensin II dan garam. Penanda aktivasi
endotel, meliputi vascular cell adhesion molecule-1 dan intercellular adhesion
molecule-1 kadarnya lebih tinggi hingga >15 tahun pasca-persalinan. Adanya diabetes
melitus, hipertensi kronis, dan penyakit ginjal sebelum kehamilan dapat meningkatkan
risiko preeklampsia. Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya dapat lebih tinggi
di air susu ibu (ASI). Paparan neonatus pada penggunaan obat metildopa, labetalol,
captopril, dan nifedipin rendah, sehingga obat-obat ini dianggap aman diberikan
selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada konsentrasi rendah, tetapi dapat
mengurangi produksi ASI. Metildopa sebaiknya dihindari pascapersalinan karena
dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan (Myrtha, 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2010. Report on the Achievement of
Millennium Development Goals Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI: 2015.
Myrtha, Risalina. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia. Cermin
Dunia Kedokteran 227(42): 262-264.
Osungbade, Kayode O. dan Ige, Olusimbo K. 2011. Public Health Perspectives of
Preeclampsia in Developing Countries: Implication for Health System Strengthening.
Journal of Pregnancy 2011 (2011): 1-6.
Pampus MG, Aarnoudse JG. 2005. Long term outcomes after preeclampsia. Clin Obs Gyn.
2005 (48):489-494.
Pogi. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis Dan Tata Laksana PreEklamsia. Jakarta: POGI.
Right Diagnosis from Healthgrades. 2004. Statistics by Country for Preeclampsia.
Diunduh dari: http://www.wrongdiagnosis.com/p/preeclampsia/stats-country.htm (Diakses
pada 25 September 2016).
World Health Organization (WHO). 2007. Dibalik angka - Pengkajian kematian maternal
dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman. Indonesia: WHO.
World Health Organization (WHO). 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di
Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Indonesia: WHO.

Anda mungkin juga menyukai