Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sekitar delapan juta perempuan pertahun mengalami komplikasi kehamilan
dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan
persalinan di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh
lebih rendah dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan
meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di


Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan
dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara
Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Tren AKI di
Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan ASEAN, AKI pada tahun 2007
masih cukup tinggi, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei
33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta
Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup.
Meskipun, Millenium development goal (MDG) menargetkan penurunan AKI
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, namun pada tahun 2012
SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359 kematian
ibu per 100.000 kelahiran hidup. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah
kehamilan berisiko turut mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan
prediksi Biro Sensus Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai
255 juta pada tahun 2015 dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari
seluruh kehamilan.
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273 pertahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada
1
dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata
terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin
menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki
tingkat kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena
preeklampsia berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga
menimbulkan masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai
organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya. Hasil
metaanalisis menunjukkan peningkatan bermakna risiko hipertensi, penyakit
jantung iskemik, stroke dan tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat
preeklampsia dengan risiko relatif. Dampak jangka panjang juga dapat terjadi
pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir
rendah akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat,
serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua
morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit
metabolik pada saat dewasa.
Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di
antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum
ada teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun
juga akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah.
Selain masalah kedokteran, preeklampsia juga menimbulkan masalah
ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi. Dari
analisis yang dilakukan di Amerika memperkirakan biaya yang dikeluarkan
mencapai 3 milyar dollar Amerika pertahun untuk morbiditas maternal,
sedangkan untuk morbiditas neonatal mencapai 4 milyar dollar Amerika per
tahun. Biaya ini akan bertambah apabila turut menghitung beban akibat dampak
jangka panjang preeklampsia.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. N
Umur : 31 Tahun
Agama : Hindu
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : IRT
Alamat : Ulundanu
Nama Suami : Tn. S
Tanggal Mrs : 7 Juli 2022

2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang melalui IGD Pueskesmas Kintamani V, Pasien datang sadar dengan
keluhan sekarang kepala terasa sakit, kejang disangkal pasien, dan pandangan kabur
juga disangkal. Blood slime: (-), cairan putih jernih: (-), nyeri perut: (+) jarang,
gerakan janin: (+), trauma: (-), demam: (-), keputihan: (+) normal. BAK terakhir 2
jam sebelum masuk MRS.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengalami menstruasi pertama kali pada usia 14 tahun, pasien
mengatakan siklus menstruasi tidak teratur. Lamanya menstruasi 6-7 hari dengan
volume ± 50cc. keluhan pada saat menstruasi yaitu nyeri perut dan pinggang.
Hari pertama haid terakhir pada tanggal 12 oktober 2021 dengan taksiran
persalinan tanggal 19 juli 2022.

3
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali dengan suami sekarang, lama menikah 10 tahun, usia saat
menikah 21 tahun.
Riwayat Obstetri
1. Hamil pertama : Persalinan spontan pervaginam di puskesmas, jenis
kelamin laki-laki, usia 9 tahun.
2. Hamil kedua : Persalinan spontan pervaginam di RSUD Bangli, jenis
kelamin perempuan, usia 2,5 tahun
3. Kehamilan ketiga : Saat ini.
Riwayat Antenatal Care (ANC)
Pasien melakukan antenatal care sebanyak lebih dari 10 kali di bidan puskesmas,
dan melakukan pemeriksaan kandungan dengan USG di dokter spesialis
kandungan sebanyak 4 kali.
Riwayat Kontrasepsi
Pasien mengatakan tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya.
Riwayah Penyakit Terdahulu
Riwayat tekanan darah tinggi sebelum kehamilan disangkal. Hipertensi mulai
mucul saat usia kehamilan 24 minggu. Asma, dan kencing manis di sangkal oleh
pasien, pasien juga tidak memiliki alergi makanan ataupun obat-obatan.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


KEADAAN UMUM : Baik
KESADARAN : Compos Mentis
TANDA VITAL
TEKANAN DARAH : 170/120 mmHg
NADI : 102x/menit
RR : 20x/menit
SUHU :37,1֯C
BERAT BADAN : 78,2 kg
TINGGI BADAN : 163 cm

4
STATUS GENERAL
MATA : anemis -/-, icterus -/-
THT : T1/T1
THORAX COR : S1 S2 tunggal reguler, murmur –
PULMU : Vaskular +/+, ronchi -/-
MAMAE : Dalam batas normal
ABDOMEN : Sesuai status obstetric
EKSTREMITAS : Hangat +/+, Edema -/-

STATUS OBSTETRI
ABDOMEN
INSPEKSI : Perut tampak membesar, strae gravi (+)
PALPASI
TFU : Tinggi fundus 31 cm
LEOPOLD : 1: kesan bokong
2: punggung (kanan), ekstremitas (kiri)
3: kesan kepala
4: masuk PAP
HIS : (+) Jarang
AUSKULTASI : DJJ (+) 144x/menit
VAGINA : Pendarahan aktif (-), blood slime (-),
INSPEKSI air (-)

INSPEKULUM : Tidak dilakukan


VAGINAL TOUCHER : Pembukaan 1cm, porsio lunak, eff
25%, air ketuban (+)

2.5 DIAGNOSIS
G3P2A0H2 umur kehamilan 38-39 minggu T/H + PEB
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Rujuk ke RSU
2. IVFD Rl 20 tpm
3. O2 2 lpm via nasal kanul

5
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 PREEKLAMSIA
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dua
kali dengan selang waktu 4-6 jam, menetap sekurang-kurangnya selama 7 hari,
disertai proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24 jam) yang didapatkan
setelah umur kehamilan 20 minggu, dan semua kelainan ini akan menghilang
sebelum 6 minggu post partum.
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu.
Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
Penyebab preeklampsia berat belum sepenuhnya diketahui, berbagai
komplikasi preeklampsia terhadap ibu dapat berupa gagal ginjal akut, eklampsia,
edema paru, penyakit hepar akut, hemolisis dan trombositopenia. Tiga tanda yang
terakhir disebutkan muncul bersama-sama sebagai bagian dari sindroma HELLP
(haemolysis, elevated liver enzymes and low platelets). Komplikasi terhadap
janin meliputi prematuritas, gangguan perkembangan janin, oligohidramnion,
dan solusio plasenta.

6
3.2 PREVALENSI
WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju
adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273 pertahun atau sekitar 5,3%.

Kejadiaan preeklampsia sebesar 4,4-17,5% dari ibu hamil. Pada primipara


3-7 % dan multipara 1-3 % di negara berkembang 16 % dari kematian maternal
disebabkan preeklampsia, kematian maternal lain disebabkan perdarahan 13 %,
abortus 8 %, dan sepsis 2 %.

Di Indonesia angka kejadian preeklampsia 3-10% dan memberikan


kontribusi sebesar 39,5% pada angka kematian ibu pada tahun 2001 dan
meningkat tajam menjadi 55,56% pada tahun 2002.
3.3 KLASIFIKASI
Hipertensi dalam kehamiln terdiri atas:

1. Gestasional hipertensi:
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya pada
kehamilan > 20 minggu tanpa disertai dengan proteinuria dan tekanan darah
kembali normal < 12 minggu post partum.
2. Hipertensi kronis:
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan
20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu post partum.
3. Preeklampsia:
a. Preeklampsia ringan
Tekanan darah sistol ≥140 sampai < 160 mmHg, tekanan diastolik ≥ 90
sampai < 110 mmHg dan proteinuria > 0,3 g/L atau kwalitatif +2
b. Preeklampsia berat
Tekanan darah sistol ≥160 mmHg, tekanan diastolik ≥ 110 mmHg dan
proteinuria > 5 gr/24 jam atau kwalitatif +4, oligouria, edema paru atau
sianosis, sindroma HELLP, dan tanda-tanda impending eklampsia.
4. Superimposed preeklampsia: preeklampsia pada pasien hipertensi kronis
5. Eklampsia: Preeklampsia disertai oleh kejang-kejang dan atau koma.

7
3.4 ETIOLOGI
Penyebab hipertensi kehamilan hingga saat ini belum di ketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.
Teori-teori yang sekarang dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi
invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penururnan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah
uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, sehingga aliran
darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel
yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
 Gangguan metabolisme prostaglandin
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu
vasokonstriktor kuat. Pada hipertensi kehamilan kadar tromboksan
8
lebih tinggi sehingga terjadi vasokontriksi, dan terjadi kenaikan
tekanan darah
 Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
 Peningkatan permeabilitas kapilar
 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin
 Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen
Protein G (HLA-G) yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis
oleh sel Natural Killer (NK) ibu.Namun, pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Padahal Invasi trofoblas
penting agar jaringan desidua lunak dan gembur sehingga memudahkan
dilatasi arteri spiralis.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter
pembuluh darah karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh
darah. Akan tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan
daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan vasopresor.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah
terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak
perempuan akan mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti
defisiensi kalsium pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko
terjadinya preeklampsia/eklampsia.
7. Teori Stimulus Inflamasi
9
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas,
sebagai sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres
oksidatif. Bahan-bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi.
Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut
berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi
peningkatan stress oksidatif dan peningkatan produksi debris apoptosis dan
nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas reaksi inflamasi dalam darah
ibu sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.
3.5 PATOFISIOLOGI
Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan
terjadinya iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang
mendasari patogenesisnya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena
kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan
dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar
dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus
diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang
berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas
dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan
menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal
bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada
tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi
endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah
pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara

10
keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan
organ seperti:
 Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
 Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru
dan oedema menyeluruh.
 Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
 Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
 Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang,
kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
 Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.
3.6 FAKTOR RESIKO
Faktor risiko adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita penyakit tertentu. Hal ini penting untuk diketahui agar pemberi
layanan kesehatan dapat melakukan tindakan preventif atau rencana tata laksana
untuk mencegah atau mengurangi derajat kesakitan penyakit tersebut. Faktor
risiko pada preeklampsia meliputi usia, paritas, riwayat preeklampsia
sebelumnya, kehamilan multipel, penyakit terdahulu, jarak antara kehamilan,
indeks masa tubuh dan usia kehamilan.
1. USIA
Ibu dengan usia ≥ 40 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih besar
untuk mengalami preeklampsia. Dari penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa risiko preeklampsia meningkat hingga 30% setiap
penambahan 1 tahun setelah ibu mencapai usia 34 tahun. Sedangkan ibu
yang hamil di usia muda cenderung tidak mempengaruhi risiko terjadinya
preeklampsia.
2. PARITAS

Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama


kalinya. Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit
primagravida karena memang lebih banyak terjadi pada primigravida
daripada multigravida. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nuliparitas

11
meningkatkan kemungkinan terjadinya preeklampsia sebanyak 3 kali
lipat. Sedangkan ibu yang masuk ke dalam golongan multipara adalah ibu
yang sudah melahirkan lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4 kali,
memiliki risiko sebesar 1% untuk mengalami preeklampsia.

3. RIWAYAT PREEKLAMPSIA SEBELUMNYA

Ibu yang mengalami preeklampsia pada kehamilan pertamanya, akan


memiliki risiko 7 kali lipat lebih besar untuk mengalami preeklampsia
pada kehamilan berikutnya.

4. KEHAMILAN MULTIPEL
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam
kandungannya, maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia
meningkat hampir 3 kali lipat. Satu buah penelitian menunjukkan bahwa
ibu hamil dengan 3 janin berisiko mengalami preeklampsia 3 kali lipat
lebih besar dari pada ibu hamil dengan 2 janin.
5. RIWAYAT PENYAKIT

Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan


terkena preeklampsia meningkat 4 kali lipat. Keadaan pada penyakit-
penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil juga akan
mingkatkan risiko preeklampsia.
6. JARAK ANTARA KEHAMILAN

Hubungan antara risiko terjadinya preeklampsia dengan interval


kehamilan lebih signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan
dari pergantian pasangan seksual. Ketika intervalnya adalah ≥ 10 tahun,
maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia adalah sama dengan ibu
yang belum pernah melahirkan sebelumnya.

7. INDEKS MASA TUBUH

Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko munculnya


preeklampsia pada setiap peningkatan indeks masa tubuh. Sebuah studi
kohort mengemukakan bahwa ibu dengan indeks masa tubuh >35
memiliki risiko untuk mengalami preeklampsia sebanyak 2 kali lipat.
Sebuah studi lain yang membandingkan risiko antara ibu dengan indeks
12
masa tubuh rendah dan normal menemukan bahwa risiko terjadinya
preeklampsia menurun drastis pada ibu dengan indeks masa tubuh <20.

3.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya.
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
3.8 PENEGAKAN PREEKLAMSIA BERAT
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia
atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg


diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

13
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein
urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan
preeklampsia (preeklampsia berat).

Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,


dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam
waktu singkat.

3.9 PENATALAKSANAAN
Pengelolaan preeklamsia berat sebelum 34 minggu masih kontroversial. Di
beberapa lembaga, persalinan dicapai terlepas dari kematangan janin. Di sisi lain,
persalinanan ditunda untuk jangka waktu terbatas untuk memungkinkan
pemberian kortikosteroid. Empat uji coba terkontrol acak luas yang
membandingkan magnesium sulfat dengan pengobatan metode lain untuk
mencegah kejang pada wanita dengan preeklamsia berat telah menunjukkan
bahwa magnesium sulfat dikaitkan dengan jumlah yang signifikan lebih rendah
dari eklampsia daripada tidak ada pengobatan atau nimodipin. Lucas dan rekan
melaporkan tidak ada kejang di antara 1.049 wanita preeklampsia yang
menerima profilaksis magnesium sulfat.
Kehamilan yang dipersulit hipertensi gestasional dikelola menurut tingkat
keparahan, umur kehamilan, dan adanya preeklampsia. Prinsip penatalaksanaan,
sebagaimana ditekankan sebelumnya, juga memperhitungkan cedera sel endotel

14
dan disfungsi multiorgan yang disebabkan oleh sindrom preeklamsia. Tujuan
pengelolaan dasar untuk setiap kehamilan yang dipersulit oleh preeklamsia
meliputi:
1. Terminasi kehamilan dengan meminimalisir kemungkinan trauma
terhadap ibu dan janin
2. Kelahiran bayi yang kemudian tumbuh subur
3. Restorasi lengkap kesehatan untuk ibu
Pada banyak wanita dengan preeklampsia terutama yang mendekati atau
pada aterm, ketiga tujuan didapat sama baiknya dengan induksi persalinan. Salah
satu pertanyaan klinis yang paling penting untuk penatalaksanaan yang sukses
adalah pengetahuan yang tepat dari usia janin.

Cara pemberian MgSo4 awal

 4 gr MgSo4 (10cc MgSo4 40% + 10 cc Aquades atau 20 cc MgSo4 20%)


diberikan IV secara perlahan selama 10 – 15 menit
 Atau jika akses intravena sulit, berikan 5 gr MgSo4 40% (12,5 cc MgSo4
40%) IM di bokong kanan dan kiri

Cara membuat dosis rumatan MgSo4

 6 gr MgSo4 40% (15 cc MgSo4 40%) dan larutkan dalam 500 cc larutan
Ringer Laktat/Ringer Asetat lalu berikan melalui infus 28 tetes/menit
selama 6 jam (1gr/jam)
 Diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia)

Syarat pemberian MgSo4

 Tersedia Ca glukonase 10%


 Adanya refleks patella
 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg/BB/jam

Preeklampsia berat memerlukan rawat inap. Persalinanan diindikasikan jika


usia kehamilan 34 minggu atau lebih, kematangan paru janin dapat dipastikan, atau
tampak perburukan status ibu atau janin. Pemeliharaan tekanan darah akut dapat
dicapai dengan hidralazine, labetalol, atau nifedifin. Tujuan terapi antihipertensi
adalah untuk mencapai tekanan darah sistolik < 160 mmHg dan tekanan darah
15
diastolik < 105 mmHg. Kontrol tekanan darah yang terlalu agresif dapat
mengganggu perfusi maternal ruang intravilus dan mempengaruhi oksgenasi
janin. Hidralazin adalah vasodilator perifer yang dapat diberikan dalam dosis 5 -
10 mg secara intravena (IV). Onsetnya adalah 10-20 menit, dan dapat diulang
dalam 20 - 30 menit jika diperlukan. Labetalol dapat diberikan dalam dosis 5 - 20
mg IV dengan tekanan lambat. Dosis dapat diulang dalam 10 - 20 menit.
Nifedipin adalah penghambat kanal kalsium yang dapat digunakan dalam dosis
5-10 mg oral. Pemberian melalui sublingual tidak boleh digunakan. Dosis dapat
diulang dalam 20 - 30 menit, sesuai kebutuhan.

Namun, kejang tonik-klonik dapat tetap terjadi meskipun menerima terapi


magnesium sulfat. Magnesium sulfat diberikan, status janin dipantau terus
menerus, dan obat antihipertensi digunakan untuk menjaga tekanan darah sistolik
<160 mmHg dan tekanan darah diastolik <105 mm Hg antara 33 dan 35 minggu,
pertimbangan harus diberikan untuk amniosentesis untuk studi kematangan paru.
Jika matur, persalinan segera diindikasikan. Jika imatur, diberikan kortikosteroid
dan jika mungkin, persalinan ditunda 24-28 jam. Antara 24 dan 32 minggu,
terapi antihipertensif diberikan sesuai indikasi, diberikan kortikosteroid, dan
dilakukan konseling ibu ekstensif untuk memperjelas risiko dan manfaat
perpanjangan kehamilan.

Meskipun berbagai pengobatan telah berhasil dikembangkan, morbiditas


dan kematian ibu yang disebabkan oleh preeklampsia belum menunjukkan
penurunan yang bermakna. Hal ini sebagian disebabkan oleh masih belum
jelasnya etiologi dan patogenesis/mekanisme penyakit ini. Saat ini terdapat
banyak teori etiologi yang mencoba menjelaskan patogenesis penyakit
preeklamsia di antaranya predisposisi genetik, trombofilia, endokrinopati,
vaskulopati, iskhemi plasenta, stres oksidatif dan maladaptasi imun.

16
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 DIAGNOSIS
Diagnosis preeklmapsia dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis, keluahan-keluhan yang
dialami oleh pasien preeklampsia adalah adanya nyeri kepala, penglihayan kabur
atau nyeri perut kuadran kanan atas yang memperberat keluhan, dari anamnesis
juga perlu diketahui pada saat umur kehamilan berapa mulai terjadinya tekanan
darah tinggi, dan mengetahui umur kehamilan sekarang untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri kepala,
tidak ada penglihatan kabur, pasien mengatakan tekanan darah tinggi mulai sejak
kehamilan kedua.
Dari pemeriksaan fisik pasien dengan preeklampsia dapat di tegakkan
dengan mengukur tekana darah yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140, diastolik ≥ 90
mmHg, edema paru atau sianosis. Pada pasien tersebut di dapatkan hasil
pemeriksaan tekana darah 180/120 mmHg, tidak ada edema paru dan tidak ada
sianosis.
Pada meriksaan penunjang, preeklampsia dapat terdiagnosis dengan
pemeriksaan proteinuria meningkat ≥ +2, Platelet < 100.000, SGOT/SGPT > 70,
Lactic Acid Dehydrogenase (LDH) > 600. Namun pada kasus ini, pemeriksaan
penunjang masih dalam batas normal.

4.2 PENATALAKSANAAN

Preeklampsia berat memerlukan rawat inap, penatalaksanaan yang utama pada


keadaan preeklampsia adalah menghindari terjadinya kejang pada wanita hamil yaitu
dengan menggunakan magnesium sulfat. Persalinanan diindikasikan jika usia
kehamilan 34 minggu atau lebih, kematangan paru janin dapat dipastikan, atau
tampak perburukan status ibu atau janin. Pemeliharaan tekanan darah akut dapat
dicapai dengan hidralazine, labetalol, atau nifedifin. Tujuan terapi antihipertensi
adalah untuk mencapai tekanan darah sistolik < 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik < 105 mmHg. Kontrol tekanan darah yang terlalu agresif dapat
mengganggu perfusi maternal ruang intravilus dan mempengaruhi oksgenasi
janin.
17
Pada kasus ini, wanita usia 31 tahun dengan umur kehamilan 38 minggu.
Dimana terapi utama ialah memberikan magnesium sulfat (Loading Dose: 4gr
MgSO4 40% dilarutkan dalam normal saline I.V/10-15 menit. Maintenance dose:
6gr MgSO4 40% dilarutkan dalam Ringer Dextrose 5% diberikan perinfuse dengan
tetesan 28 tpm dalam 6 jam), bertujuan menghindari kejang yang akan memperberat
keadaan. Setelah itu, karena umur kehamilan aterm direncanakan persalinan
pervaginam dengan persetujuan keluarga. Setelah percobaan persalinam pervaginam
dengan bantuan drip oxytocin tidak ada kemajuan, diaman pembukaan masih tetap
1cm sehingga dilakukan persalinan secara caesar.

18
DAFTAR PUSTAKA

A.A Gde Kiki Sanjaya Dharma. Faktor Resiko, Patogenesis, Dan Penatalaksanaan.

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Report on the achievement of

millennium development goals Indonesia. Jakarta: Bappenas; 2010.

Cunningham FG, dkk. 2006. Kehamilan pada Manusia. Dalam Hartanto Huriawati,

editor. Obstetric Williams volume satu. Edisi ke-21. Jakarta: ECG.

Hadijanto B. 2014. Dalam ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo: Pendarahan

pada kehamilan muda. Edisi ke-4. Cetakan ke-4. Jakarta: Bina pustaka

Sarwono Prawirohardjo

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015.

Mochtar, Rustam. 2005. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis Obstetri Patologi

Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Saifuddin, Abdul bari. 2002. Buku Panduan Praktik Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal. Jakarta: Bina pustaka Sarwono Prawirohardjo

Sastrawinata S. 2004. Ilmu kesehatan reproduksi obstetri patologi. Edisi ke-2.

Jakarta: EGC

World Health Organization (WHO). Dibalik angka - Pengkajian kematian maternal

dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman. Indonesia:

WHO; 2007.

19

Anda mungkin juga menyukai