Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

PRE EKLAMPSIA BERAT, PROLAPS


FUNIKULI DAN FETAL DISTRESS

Disusun Oleh :

dr. Wilda Arfiana

Pembimbing :

dr. Bagus Pandji Udara, Sp.OG

RSUD INDRASARI RENGAT

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Kematian ibu menurut definisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau

dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang

terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan

disebabkan oleh kecelakaan atau cedera. Indikator yang umum digunakan dalam

kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu (AKI)/ Maternal Mortality Ratio yaitu

jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran hidup. Dimana AKI merupakan salah

satu indikator untuk melihat upaya kesehatan ibu. Survei Penduduk Antar Sensus

(SUPAS) tahun 2015 menunjukkan AKI sebanyak 305 kematian ibu per 100.000

kelahiran hidup.1,2,3

Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung.

Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan atau

masa nifas dan penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak

langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul

sewaktu kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit

kardiovaskular. Secara global sekitar 80% angka kematian ibu tergolong pada

kematian ibu langsung. Menurut data SRS 2014 dan Laporan Rutin Kementerian

Kesehatan 2015, penyebab utama kematian ibu langsung yaitu hipertensi dalam

kehamilan sebanyak 33,07%.1,4

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari lima penyebab

terbanyak untuk kematian ibu. Menurut WHO, AKI pada negara berkembang sekitar

1
16% disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan. Angka Kematian Ibu (AKI) yang

disebabkan oleh hipertensi di Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 sebesar 26,9% dan

27,1%. Salah satu bentuk hipertensi dalam kehamilan adalah preeklamsia.2,5

Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan

vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi

organ yang ditandai adanya hipertensi, proteinuria, dan edema yang timbul karena

kehamilan. Prevalensi kejadian preeklamsia di dunia sebesar 2-10% dari seluruh

kehamilan. Di Amerika Serikat, angka kejadian preeklamsia dan hipertensi dalam

kehamilan sekitar 5-8%. Di Indonesia sendiri, angka kematian yang disebabkan oleh

preeklamsi pada ibu hamil sebesar 4,9% atau sebesar 8.739-170.725 ibu hamil.1,6

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas kasus

berikut : wanita, 40 tahun, dengan diagnosis masuk G3P2A0H2 gravid 36-37 minggu

+ belum inpartu + PEB + janin tunggal hidup presentasi kepala.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. H Nama suami : Tn. K
Usia : 40 tahun Usia : 45 tahun
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Guru Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Pasir Kemilu, Rengat
No. MR : 19 53 XX

II. ANAMNESIS
Pasien masuk ruang kebidanan RSUD Indrasari Rengat pada tanggal 05
November 2019 pukul 12.00 WIB dari IGD dengan :

Keluhan Utama : Bengkak pada kedua kaki yang semakin memberat sejak 1 hari
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


PBM rujukan dari Puskesmas Sipayung dengan diagnosa G3P2A0H2 hamil
36-37 mingu, belum inpartu, PEB + JTH preskep. Awalnya pasien ke puskesmas
untuk kontrol kehamilan, setelah pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien tinngi
yaitu 190/100 mmHg. Keluhan pasien saat ini bengkak pada kedua kaki yang
semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Awalnya bengkak sudah muncul sejak 2 bulan
yang lalu, bengkak tidak hilang dengan penekanan. Keluhan mual (-), muntah (-),
nyeri ulu hati (-), nyeri kepala (+) dan pandangan kabur (-). Keluhan nyeri perut yang
menjalar ke ari-ari (-), keluar lendir darah (-), keluar air-air dari kemaluan (-).
Pasien mengaku hamil 9 bulan, dengan HPHT 20 Februari 2019, TP 27
November 2019 sesuai usia kehamilan 36-37 minggu. Pasien mengatakan melakukan

3
kontrol kehamilan di bidan dan 1 kali dengan dokter Sp. OG. ANC dilakukan setiap
bulan di bidan dan USG sudah pernah dilakukan dengan hasil janin dalam keadaan
baik. Pada saat kontrol didapatkan tekanan darah pasien tidak pernah tinggi. Pasien
mengaku gerakan janin mulai dirasakan pada usia kandungan 4 bulan.
Selama kehamilan pasien tidak ada mengeluhkan demam (-), gigi berlubang
(-), batuk pilek (-), keputihan (-), nyeri saat BAK (-).

Riwayat Kehamilan Sekarang

Mual (+), muntah (+), tekanan darah tinggi (-), diabetes mellitus (-),
perdarahan (-), keputihan (-).

Riwayat Antenatal Care

Kontrol kehamilan di Bidan dan dokter Sp.OG, ANC dilakukan setiap bulan
dan sudah pernah USG dengan hasil janin dalam keadaan baik. Selama ANC tekanan
darah pasien tidak pernah tinggi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (-), asma (-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-), kelainan

darah (-) dan alergi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (+) pada ibu pasien, asma (-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-),

kelainan darah dan alergi disangkal.

Riwayat Menstruasi

Haid pertama kali pada usia 12 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama haid 5-7 hari,

ganti pembalut 2-3 kali setiap harinya, dan tidak ada keluhan nyeri pada saat haid.

4
Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, tahun 2000 usia 20 tahun sampai sekarang.

Riwayat Obstetri

1. 2000, perempuan, aterm, lahir normal di bidan, BBL 3500 gr, sehat
2. 2005, laki-laki, aterm, lahir normal di bidan, BBL 4000 gr, sehat
3. Hamil saat ini
Riwayat KB

Tidak pernah KB

Riwayat sosial ekonomi

Pasien bekerja sebagai guru dengan pendidikan terakhir S1. Suami pasien

bekerja sebagai wiraswasta dengan pendidikan terakhir SMA.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 200/110 mmHg

Nadi : 114 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 360 C

TB : 159 cm

BBSH : 80 kg

BBH : 104 kg

IMT : 31,25 kg/m2 (obesitas grade II)

5
Status Generalis

Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan peningkatan JVP tidak

ditemukan

Jantung : Kardiomegali, S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, vesikuler (+/+),

ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Status obstetrikus

Genitalia : Status obstetrikus

Ekstremitas : Edema (+/+) ekstremitas inferior, akral hangat, CRT <2

detik, sianosis (-/-)

Status obstetrikus

Muka : Kloasma gravidarum (-)

Mammae

Inspeksi : Papila mammae tidak menonjol, corpus mammae simetris,

tanda-tanda radang (-), retraksi (-), inverted nipple (-), areola

mammae hiperpigmentasi, tidak ada retraksi dan tidak ada

menyerupai kulit jeruk.

Palpasi : Corpus mammae nyeri (-), benjolan (-), areola mammae tidak

mengeluarkan ASI, teraba kenyal

Abdomen

Inspeksi : Tampak membuncit, hiperpigmentasi linea alba (+), striae

gravidarum (+),

6
Palpasi : Leopold I : - TFU 3 jari dibawah prosesus xiphoideus

- Teraba massa lunak, bulat, tidak melenting,

kesan bokong

Leopold II : Pada sisi kanan abdomen ibu teraba tahanan

memanjang, kesan punggung

Leopold III : Teraba massa keras, bulat, melenting, kesan

kepala

Leopold IV : Konvergen (5/5)

TFU : 35 cm

His : Tidak ada

TBJ klinis : 3410 gram

DJJ : 141 x/menit

Pemeriksaan Genitalia

Genitalia eksterna

Inspeksi : Vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)

Genitalia interna

Inspekulo : Tidak dilakukan

VT : Tidak dilakukan

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal : 05/11/2019
Darah Rutin Kimia Darah (05/11/2019)
Hb : 11,7 g/dl AST : 21,1 IU/L
Ht : 34,87 vol% ALT : 8,8 IU/L
Leukosit : 10.700 /ul Glu : 99 mg/dl
Trombosit : 325.000 /ul CRS : 0,62 mg/dl
BUN : 11 mg/dl

8
Lampiran EKG RSUD Indrasari (05/11/2019) :

Kesimpulan : Sinus takikardi.

V. DIAGNOSIS KERJA
G3P2A0H2 gravid 36-37 minggu + belum inpartu + PEB + janin tunggal hidup
presentasi kepala.

9
VI. PENATALAKSANAAN
Sikap : - Oksigenasi.
- Regimen SM 40% 1 fls dalam IVFD RL 20 tpm.
- Inj. Furosemide 3x20 mg hingga TDS <180 mmHg.
- Nifedipine 4x10 mg
- Stabilisasi 2-4 jam, jika stabil rencana induksi.
- Rencana PSP.

10
FOLLOW UP

Tgl/
Perjalanan Penyakit Tata Laksana
Jam
05 S : PBM via IGD dengan keluhan bengkak pada kedua -Observasi KU, TTV,
November kaki (+), nyeri perut yang menjalar ke ari-ari (+). Mual Kontraksi.
2019 (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pandangan kabur (-). - O2 3-5 lpm per nasal
11.00 WIB O : Keadaan umum: TSS, kesadaran: kompos mentis canul.
TD : 200/110 mmHg N : 114x/I RR : 20x/I S : 360C -Regimen MgSO4 40% 1 fls
St. Generalis: Edema Tungkai (+/+) dalam RL 20 tpm.
St. Obstetri: Perut tampak membuncit sesuai usia -Inj. Furosemide 3x20 mg
kehamilan hingga TDS<180 mmHg
L1 : TFU teraba pertengahan 3 jari dibawah px, teraba -Nifedipin tablet 4x10 mg
massa bulat, lunak, tidak melenting -Stablilisasi selama 2-4 jam,
L2 : Teraba tahanan memanjang di sisi kanan ibu jika pasien stabil dilakukan
L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting. induksi dengan: Drip
L4 : konvergen 5/5 oksitosin 5 IU dalam RL 20
TFU : 35 cm, TBJ : 3420 gr, DJJ : 141 dpm, His : (-) tpm.
Refleks patella (+). - Pro Partus Pervaginam 
A: G3P2A0H2 gr 36-37 minggu + belum inpartu + jika dalam 24 jam tidak
PEB + JTH presentasi kepala lahir rencana SSTP

06 S : Bengkak pada kedua kaki (+), nyeri kepala (-), Melapor ke dr. Bagus Sp.
November mual (-), muntah (-), pandangan kabur (-). Nyeri perut OG
2019 yang menjalar ke ari-ari (+), keluar lendir darah (-), -Observasi KU, TTV,
00.20 WIB keluar air-air (-). Pergerakan janin (+) aktif. Kontraksi.
O : Keadaan umum: TSS, kesadaran: kompos mentis -Mulai induksi persalinan
TD : 150/90 mmHg N : 92x/I RR : 20x/I S : 360C dengan drip oksitosin 5 IU
St. Generalis: Edema Tungkai (+/+) dalam IVFD RL 20 tpm
St. Obstetri: Perut tampak membuncit sesuai usia - Jika tidak lahir  rencana
kehamilan SSTP

11
L1 : TFU teraba pertengahan 3 jari dibawah px, teraba
massa bulat, lunak, tidak melenting
L2 : Teraba tahanan memanjang di sisi kanan ibu
L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting.
L4 : konvergen 5/5
TFU : 35 cm, TBJ : 3420 gr, DJJ : 129 dpm, His : (+)
Refleks patella (+).
A: G3P2A0H2 gr 36-37 minggu + belum inpartu +
PEB + JTH presentasi kepala
06 S : Nyeri perut yang menjalar ke ari-ari (+), nyeri Rencana SC cito.
November kepala (-), pandangan kabur (-).
2019 O : Keadaan umum: TSS, kesadaran: kompos mentis
06.00 WIB TD : 160/110 mmHg N : 90x/I RR : 20x/I S : 360C
St. Generalis: Edema Tungkai (+/+)
St. Obstetri: Perut tampak membuncit sesuai usia
kehamilan
L1 : TFU teraba pertengahan 3 jari dibawah px, teraba
massa bulat, lunak, tidak melenting
L2 : Teraba tahanan memanjang di sisi kanan ibu
L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting.
L4 : konvergen 5/5
TFU : 35 cm, TBJ : 3420 gr, DJJ : 178 dpm, His : (+)
sering
VT : Ø 7-8, ketuban (+), merembes, porsio tipis,
kepala H2, teraba tali pusat, pulsasi (+/N)
A: G3P2A0H2 gr 36-37 minggu + Inpartu kala 1
fase aktif + PEB + Prolaps Funikuli + JTH
presentasi kepala + Fetal distress

LAPORAN OPERASI

12
TANGGAL DAN WAKTU RUANG KELAS
06 November 2019 Jam 08.15 WIB OK 3
DIAGNOSIS PRA OPERASI : G3P2A0H2 hamil 40-41 minggu, inpartu kala I fase
aktif + PEB dengan oksitosin drip gagal, JTH presentasi kepala + Fetal distress ec
prolaps funikuli
DIAGNOSIS PASCA OPERASI : P3A0H3 post SSTP ai fetal distress
JARINGAN YANG DIEKSISI/ INSISI : Uterus
DIKIRIM UNTUK PEMERIKSAAN : Tidak
NAMA JENIS OPERASI : SSTP
TANGGAL JAM OPERASI LAMA ANESTESI BERLANGSUNG
OPERASI 08.15 WIB s/d 20 menit
06 November 2019 08.35 WIB
1. Incisi Pfanenhstiehl
2. Incisi konkaf pada SBR
3. Bayi dilahirkan dengan cara meluksir kepala.
4. Lahir bayi hidup perempuan tak langsung menangis AS : 1/3/5 BB: 4350 gr, PB :
53 cm, LK : 35 cm
5. Plasenta lengkap implantasi corpus belakang, ketuban hijau kental
6. Uterus dijahit one layer dengan WEGO PGA no. 2
7. Kavum abdomen dicuci dengan NaCl 0,9% sampai bersih.
8. Fascia dijahit secara jelujur dengan WEGO PGA no 1
9. Kulit dijahit secara subkutikuler dengan optime no. 3/0
10. Luka operasi ditutup dengan kassa betadin + Fixomul
INSTRUKSI PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Observasi tanda vital (TD, N, R, Temp)
- Tiap 15 menit sekali selama 1 jam pertama
- Tiap 30 menit sekali selama 3 jam pertama
- Tiap 1 jam sekali selama 20 jam terakhir

2. Cek Hb  jika Hb < 9 gr%, transfusi hingga Hb > 10 gr%


3. IVFD D5: RL = 1:1 + drip oxytocin 2 amp/kolf
4. Pasang kateter (dauer) menetap 1 hari. Catat intake/output cairan

13
5. Mobilisasi sesuai
- Bila KU baik, setelah 6 jam pasca operasi boleh miring kiri-
miring kanan.
- Bila KU baik, setelah 12 jam pasca operasi boleh setengah
duduk.
- Bila KU baik, setelah 24 jam pasca operasi boleh berdiri.
6. Diet
- Bila BU (+) setelah 6 jam pasca operasi boleh minum air
hangat sedikit-sedikit.
- Bila BU (+) setelah 12 jam pasca operasi boleh makan
bubur.
- Bila BU (+) setelah 24 jam pasca operasi boleh makan biasa.
7. Obat
- Inj. Ceftriaxone 3x1 gr
- Inj. Metronidazol 2x500 mg
- Inj. Tramadol 3x1 amp
- Drip MgSO4 40% 6 gr/kolf
8. Jika ada sesuatu lapor dokter konsulen
Catatan : Th/ Oral : Clindamisin 3x1, Asam mefenamat 3x500 mg, Livron B
plex 3x1, Nifedipin 3x1

Follow up post operasi

Tanggal/ Perjalanan Penyakit Terapi


Jam
06 S : Nyeri luka operasi (+), Pandangan kabur (-), -Observasi KU, TTV,

14
Novemb Nyeri kepala (-), demam (-), BAB (-), BAK (+) Kontraksi, perdarahan.
er 2019 lewat kateter, ASI (-) -IVFD D5% : RL = 1:1 +
11.50 O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos drip oksitosin 2 amp/kolf
WIB mentis -Drip MgSO4 40% 6 gr/kolf
TD : 195/111 mmHg , N : 89 x/I RR : 20 x/I  10 tpm
S : AF -Inj. Cefotaxime 1 gr/8 jam
Mata : CA (-/-), SI (-/-) -Inf. Metronidazol 500 mg/8
Thoraks : vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ jam
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-) -Inj. Tramadol 1 amp/8 jam
Abdomen : -Inj. Furosemide 2x40 mg
I : Tampak luka operasi baik, rembesan (-) -Nifedipine 3x10 mg
Pal : TFU 3 jari dibawah pusat, kontraksi baik, -Paracetamol tab 4x500 mg
supel
Aus : BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
pretibial
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia rubra (+)
A: P3A0H3 post SSTP a/i fetal distress POD 1
07 S : Nyeri luka operasi (+), rembesan (-). -Diet MBTKTP
Novemb Pandangan kabur (-), Nyeri kepala (-), kejang (-), -Mobilisasi bertahap
er 2019 sesak nafas (-), demam (-), BAB (-), BAK (+) -Clindamisin 3x200 mg
lewat kateter, ASI (-) -Nifedipin 3x10 mg
O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos -Asam mefenamat 3x500
mentis mg
TD : 120/80 mmHg , N : 88 x/I RR : 22 x/I S : -Livron B plex 3x1
36,70C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thoraks : vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ

15
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
I : Tampak luka operasi baik, rembesan (-)
Pal : TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik,
supel
Aus : BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
pretibial
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia rubra (+)
A: P3A0H3 post SSTP a/i fetal distress POD 2
08 S : Nyeri luka operasi (+), rembesan (-). -Observasi KU, TTV,
Novemb Pandangan kabur (-), Nyeri kepala (-), kejang (-), Kontraksi, perdarahan.
er 2019 sesak nafas (-), demam (-), BAB (-), BAK (+) -Clindamisin tab 3x300 mg
lewat kateter, ASI (-) -Asam Mefenamat 3x500
O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos mg
mentis -Nifedipine 3x10 mg
TD : 120/90 mmHg , N : 79 x/I RR : 20 x/I S : -Livron B plex 2x1
36,60C -BLPL
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thoraks : vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
I : Tampak luka operasi baik, rembesan (-)
Pal : TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik,
supel
Aus : BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
pretibial

16
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia rubra (+)
A: P3A0H3 post SSTP a/i fetal distress POD 3

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertensi dalam kehamilan

3.1.1 Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan

17
A. Hipertensi kronis

Hipertensi kronis didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi yang timbul sebelum

umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah

umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca

persalinan.7

B. Preeklampsia-eklampsia

Preeklampsia adalah penyakit hipertensi spesifik kehamilan dengan

keterlibatan multisistem. Biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan yang disertai

dengan proteinuria.5,7

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan

diastolik ≥ 90. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali

selang 4 jam, walaupun kadang kala, terutama bila dihadapkan pada hipertensi berat,

diagnosis dapat dikonfirmasi dalam interval yang lebih pendek (bahkan menit) untuk

memfasilitasi terapi antihipertensi tepat waktu. 5,7

Proteinuria ialah adanya ≥ 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau

pembacaan dipstick kualitatif ≥ +1. Pengukuran protein pada urin dilakukan

sekurang-kurangnya 2 kali selang 6 jam. 5,7

Eklampsia adalah fase kejang dari preeklampsia dan merupakan salah satu

manifestasi klinis yang lebih berat. Hal ini sering didahului dengan gejala seperti

sakit kepala berat dan hyperreflexia, tapi bisa terjadi tanpa tanda atau gejala

peringatan.1,5

C. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia

18
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik

disertai dengan tanda-tanda preeklampsia. Tanda-tanda superimposed preeklampsia

pada hipertensi kronik adalah proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala

hebat, gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh (anasarka), oligouria,

edema paru, kelainan laboratorium berupa kenaikan serum kreatinin,

trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar. 5,7

D. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional paling sering ditandai dengan kenaikan tekanan darah

onset baru setelah kehamilan 20 minggu dengan tidak adanya proteinuria yang

menyertainya, kemudian tekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu pasca

persalinan. Diagnosis akhir hanya dapat dibuat pasca persalinan. Penyebab tidak

jelas. Dengan demikian, hipertensi gestasional, bahkan ketika peningkatan tekanan

darah ringan, memerlukan pengawasan yang lebih baik.5,7

3.2 Preeklampsia-eklampsia

3.2.1 Definisi

Preeklamsi merupakan kondisi spesifik dimana dijumpai adanya disfungsi

endotel dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan adanya

aktivasi endotel dan koagulasi. Preeklampsia adalah sindrom yang terutama

19
terjadinya hipertensi pada kehamilan >20 minggu, seringnya diikuti oleh proteinuria.

Preeklampsia salah satu penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra,

dan post partum. Sedangkan eklampsia merupakan kasus akut pada penderita

preeklampsia, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia juga

dapat terjadi ante, intra, dan post partum. 2,5,7

3.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologinya belum dapat diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa

faktor resiko terjadinya preeklampsia5 :

 Pada kehamilan sebelumnya terjadi preeklampsia

 Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya

 Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, bayi

besar

 Pembuahan in vitro

 Riwayat keluarga mengalami preeklampsia

 Diabetes mellitus tipe I dan II

 Obesitas

 Lupus erimatosus sistemik

 Ibu usia lanjut (> 40 tahun)

3.2.3 Patofisiologi

Hingga saat ini patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih belum

diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari

20
patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum memuaskan.

Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :

a. Peran plasenta dan pengembangan vascular plasenta

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan

miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi

arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika

media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan

material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses

tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.9

Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel

trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam

hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu

penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material

fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding

tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara

pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada

kehamilan. 9,10

21
Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan
hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan
normotensi

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana

mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami

invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi

tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak

berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap

mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat

resistensi vaskuler.10

22
Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada

arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan

mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta

dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta. 9,10

Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi

vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada

tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang

menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan

iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra

uterin (IUGR) hingga kematian bayi.9,10

b. Disfungsi endotel ibu dan perubahan hemodinamik

Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel

yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh

enzim siklooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel

otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.10

Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat

dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasokonstriktor

dan agregasi trombosit. Prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang

berlawanan dalam mekanisme pengaturan interaksi antara trombosit dan dinding

pembuluh darah.10

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,

plasenta, dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi

23
prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio

tromboksan A2 : prostasiklin.10

Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel sehingga akan

mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat

pembentukan prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai

kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan

dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan

aktivitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini

sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan

prostasiklin.9,10

Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan

produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang

kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi

antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan

pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan

kerusakan endotel.10

c. Peradangan dan perubahan imunologis

Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis

sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi

penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang

dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada

50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.9

24
Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri

spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi

oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal

bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang

berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah

sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan

akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan.10

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan

sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida

yang akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini

akan menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan

mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi

25
peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari

endotel vaskuler.10

Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid

laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta

peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria). Antioksidan

merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya

overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah dikenal

beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas diantaranya

vitamin E (α-tokoferol), vitamin C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat digunakan

untuk melawan perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.10

d. Genetik

Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan

dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan

angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu

yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia. Bukti yang mendukung

berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah

peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita preeklampsia.

Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas antigen HLADR4

dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan

DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia

dan intra uterin growth restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut.10

3.2.4 Diagnosis

26
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ditemukan adanya hipertensi, dan

didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklamsia tersebut. Kebanyakan

preeklamsia ditegakkan dengan adanya proteinuria, namun jika tidak didapatkan,

salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan. Preeklampasia ditegakkan

apabila ditemukan:11

- Tekanan darah ≥ 140 mmhg tekanan sistolik atau tekanan diastolik

meningkat > 90 mmHg setelah pasien beristirahat selama 15 menit.

- Proteinuria ≥300 mg dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif

menunjukkan +1, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.

- Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

- Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dl atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

lainnya.

- Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal atau

adanya nyeri didaerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

- Edema paru

- Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

- Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : oligohidramnio, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan gejala berikut:11

- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg

- Trombositipenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

27
- Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dl atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada

kelainan ginjal lainnya.

- Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal atau

adanya nyeri didaerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

- Edema paru

- Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

- Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : oligohidramnio, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

- Proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥3 pada tes celup

- Oligouria (< 500 ml dalm 24 jam)

- Sindrom HELLP (Hemolytic, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet

Count)

Bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa gejala

dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan

kenaikan tekanan darah yang progresif, dikatakan pasien tersebut menderita

impending preeclampsia. Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gajala-gejala

preeklampsia disertai kejang atau koma.5,7

28
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu:

1. Tingkat awal atau aura

Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa

melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar kekanan atau

kekiri.

2. Tingkat kejangan tonik

Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajah

kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke dalam. Pernafasan

berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit. Stadium ini akan

disusul oleh tingkat kejangan klonik.

3. Tingkat kejangan klonik

Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua otot

berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka

dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol Dari mulut

keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan kongesti dan sianotis. Setelah

kejang terhenti, pasien bernafas dengan mendengkur.

4. Tingkat koma

Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan penderita biasa

menjadi sadar lagi.

29
3.2.5 Penatalaksanaan7,12

1. Preeklampsia

Tujuan utama perawatan preeklampsia yaitu mencegah kejang, perdarah

intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital dan melahirkan bayi sehat.

 Rawat jalan (ambulator)

Ibu hamil dengan preeklamsia dapat dirawat secara rawat jalan.

Dianjurkan ibu hamil banyk istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak

harus mutlak selalu tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu,

tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena

kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan

mencambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah

ke organ-organ vital. Diet pada preeklamsia tidak perlu dilakukan restriksi

garam sepajang fungsi ginjal masih baik. Diet yang mengandung 2 g

natrium atau 4-6 Nacl (garam dapur) sudah cukup. Obat-obatan seperti

diuretik, antihipertensi dan sedatif tidak diberikan.

 Rawat inap

Kriteria preeklamsia dirawat di rumah sakit ialah:

1. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2

minggu

30
2. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklamsia berat

Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa USG dan Doppler juga perlu

dilakukan.

 Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Pada kehamilan preterm, bila tekanan darah mencapai normotensif,

selama perawatan, persalinannya ditunggu ampai aterm.

Pada kehamilan aterm, persalinan ditunggu sampai onset persalinan atau

dipertimbangkan dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal

persalinan.

2. Preeklampsia berat

Perawatan dan pengobatan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit

organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Perawatan preeklamsia berat

dinilai dari 2 aspek yaitu sikap terhadap penyakitnya dan kehamilannya.

Perawatan terhadap penyakit yaitu penderita harus segera masuk rumah sakit

untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang

penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia

dan eklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.

Oleh sebab itu monitoring input dan output cairan sangatlah penting. Diberikan

antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat

menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.

31
Pemberian obat anti kejang yang menjadi pilihan ialah MgSO4. Syarat

pemberian MgSO4 yaitu harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi

yaitu kalsium glukonas 10% (10%=1 g dalam 10 cc) diberikan iv 3-5 menit, refleks

patella positif kuat dan frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda

distres pernafasan. Cara pemberian MgSO4 dibagi menjadi 2 tahap, yaitu loading

dose dan maintenance dose. Loading dose berupa 4 gram MgSO4 (40% dalam 10cc)

selama 15 menit secara intravena. Maintenance dose berupa pemberian infus MgSO4

sebanyak 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam atau diberikan sebanyak 4 gram secara

intramuskular tiap 4-6 jam. Diuretikum diberikan juga ada edema paru, gagal jantung

kongestif atau anasarka. Diuretikum yang digunakan yaitu furosemid.7

 Antihipertensi

Berdasarkan Cochrane Review, pemberian antihipertensi pada preeklamsia

ringan maupun berat tidak jelas kegunaannya. Pemberian antihipertensi diserahkan

kepada klinikus masing-masing tergantung pengalaman dan pengenalan dengan obat

tersebut.

Sikap terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif maupun konservatif.

1. Perawatan aktif: sambil diberi pengobatan, kehamilan diakhiri.

Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini:

Ibu:

a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

b. Adanya tanda-tanda/gejala impending eklampsia

c. Kegagaln terapi pada perawatan konservatif

32
d. Diduga terjadi solusio plasenta

e. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin:

a. Adanya tanda-tanda fetal distress

b. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)

c. NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal

d. Terjadinya oligohidramnion

e. Adanya tanda-tanda HELLP sindrom khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat

2. Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa

disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.

3. Eklampsia

Perawatan eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi

vital, mengatasi kejang dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan

asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan

tekanan darah khusunya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada

waktu yang tepat dan dengaan cara yang tepat. Pilihan pertama obat anti

kejang yaitu magnesium sulfat. Cara pemberiannya sama seperti pada

preeklamsa berat. Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama

pertolongan mencegah terjadinya trauma akibat kejang tersebut. Jika pasien

jatuh ke dalam kondisi koma, yang harus diperhatikan adalah menjaga jalan

nafas agar tetap terbuka dan aspirasi lambung. Jika terjadi edema paru,

33
sebaiknya pasien dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan dengan

respirator.

Sikap terhadap persalinan ialah dengan terminasi kehamilan tanpa

memandang umur maupun keadaan janin.

4. Sindroma HELLP

Penatalaksanaan sindroma HELLP sama dengan preeklamsia-eklamsi dengan

melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit

<50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa

waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pemberian

deksametason rescue pada anterpartum diberikan dalam bentuk double

strength dexamethasone (double dose). Jika didapatkan kadar trombosit <

100.000/ml atau trombosit 100.000 – 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda

eklamsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason

10 mg i.v tiap 12 jam. Pada postpartum, dekasametason diberikan 10 mg i.v

tiap 12 jam 2 kali kemudian diikuti 5 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi

deksametason dhentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu

trombosit > 100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-

gejala klinik preeklamsia-eklamsia. Dapat dipertimbangkan pemberian

transfusi trombosit bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.

3.2.6 Komplikasi

34
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin, usaha utama

ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Berikut

adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada preeklampsia berat dan

eklampsia : 5,7

a. Solutio plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut

dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.

b. Hipofibrinogemia, kadar fibrin dalam darah yang menurun.

c. Hemolisis, penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan

plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.

d. Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian

maternal penderita eklampsia

e. Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang

berlangsung selama seminggu.

f. Edema paru, pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena penyakit

jantung.

g. Nekrosis hati, nekrosis periportan pada preeklampsia, eklamsi merupakan

akibat vasopasmus anterior umum. Kelainan ini diduga khas untuk

eklampsia.

h. Sindrome HELLP, Hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelete

count.

i. Kelainan ginjal, kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu

pembengkakkan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan

35
struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal

ginjal.

j. Komplikasi lain, lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh akibat

kejang-kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated Intravascular

Coogulation)

k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uteri.

3.2.7 Prognosis

Penderita preeklampsia/eklampsia yang terlambat penanganannya akan dapat

berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat terjadi perdarahan

otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, gagal ginjal, aspirasi isi lambung saat

kejang. Pada janin dapat terjadi kematian karena hipoksia intrauterin dan kehamilan

prematur.

3.3 Prolaps Tali Pusat

Prolaps tali pusat atau prolaps funikuli merupakan komplikasi yang jarang

terjadi, tetapi dapat mengakibatkan tingginya angka kematian janin. Prolaps tali pusat

dapat diklasifikasikan : 13

a) Tali pusat terkemuka : jika tali pusat berada dibawah bagian terendah

janin dan ketuban masih intak.

b) Tali pusat menumbung : jika tali pusat keluar melalui ketuban yang

sudah pecah menuju serviksa dan turun ke vagina.

36
c) Occult prolapse : jika tali pusat berada disamping bagian terendah

janin dan turun ke vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban

dapat pecah atau tidak.

Klasifikasi Prolaps Tali Pusat

3.3.1. Etiologi Prolaps Tali Pusat

Faktor dasar terjadinya prolaps tali pusat adalah tidak terisinya secara penuh

pintu atas panggul dan serviks oleh bagian terendah janin. Faktor etiologi meliputi

beberapa faktor yang sering berhubungan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat dan

iatrogenik, yaitu : 13

a. Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang terutama

presentasi kaki.

37
b. Prematuritas

c. Kehamilan ganda

d. Polihidramnion

e. Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi

f. Disporposi janin-panggul

g. Tumor di panggul yang mengganggu masuknya bagian terendah janin

h. Tali pusat abnormal panjang (>75 cm)

i. Plasenta letak rendah

j. Solusio plasenta

k. Ketuban pecah dini

l. Amniotomi

3.3.2. Patofisiologi Prolaps Tali Pusat

Adanya penekan tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir dapat

menghambat sirkulasi plasenta. Jika keadaan ini tidak ditatalaksana dengan segera

dapat menyebabkan kematian janin.13

Obstruksi total dari tali pusat dapat menyebabkan berkurangnya detak jantung

janin (deselerasi variabel) segera. Jika obstruksi hilang dengan cepat, detak jantung

janin dapat kembali normal. Namun, jika obstruksi menetap maka terjadi deselerasi

hingga kemudian terjadi hipoksia pada miokard yang menyebabkan deselerasi lama

yang dapat mengakibatkan kematian janin.13

Pada obstruksi sebagian akan menyebabkan akselerasi detak jantung janin.

Tertutupnya vena umbilikalis yang mendahului penutupan arteri akan menghasilkan

38
hipovolemi janin dan menyebabkan akselerasi jantung janin. Gangguan aliran darah

dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan asidosis respirasi dan metabolik

yang berat sehingga berkurangnya oksigenasi janin, bradikardi yang menetap dan

pada akhirnya menyebabkan kematian janin.13

3.3.3. Diagnosis Prolaps Tali Pusat

Penegakan prolaps tali pusat dapat dilakukan dengan beberapa cara : 13

1) Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina

2) Teraba tali pusat saat pemeriksaan dalam

3) Detak jantung janin yang ireguler, sering terjadi bradikardi terutama

berhubungan dengan kontraksi uterus

4) Pada monitoring denyut jantung janin menunjukkan deselerasi variabel

5) Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu

atas panggul meyebabkan menurunnya detak jantung janin secara tiba-tiba

yang menandakan kompresi tali pusat.

3.3.4. Penatalaksanaan Prolaps Tali Pusat

Tatalaksana definitif prolaps tali pusat adalah dengan melahirkan janin dengan

segera. Persalinan secara pervaginam dilakukan bila pembukaan lengkap, bagian

terendah janin telah masuk panggul dan tidak ada cehpalopelvic disporpotion (CPD).

Pemilihan persalinan yang paling direkomendasikan adalah dengan seksio sesaria.

Pencegahan penekanan tali pusat oleh bagian terendah janin dapat dilakukan dengan

posisi knee-chest, Trendelenburg atau posisi Sim.13

39
3.4 Gawat Janin

Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ)
dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amnion. DJJ
dikatakan abnormal jika ditemukan mekonium yang menandakan hipoksia dan
asidosis. Gawat janin dikatakan jika ditemukan denyut jantung janin diatas 160 kali
per menit atau dibawah 100 kali per menit, denyut jantung janin tidak teratur atau
keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.14

Pemeriksaan denyut jantung janin dapat dilakukan dengan cara :


a) Kasus risiko rendah : auskultasi teratur DJJ selama persalinan.
a. Setiap 15 menit selama kala 1
b. Setiap setelah his pada kala 1
c. Hitung selama satu menit bila his telah selesai
b) Kasus risiko tinggi : pemantauan DJJ secara elektronik secara
berkesinambungan.
Interpretasi dan tatalaksana :
1) Untuk memperbaiki aliran darah uterus : 14
a) Miringkan ibu kesebelah kiri untuk memperbaiki sirkulasi plasenta
b) Hentikan infus oksitosin (jika sedang diberikan)
c) Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anestesi
epidural) segera berikan infus 1 liter kristaloid (ringer laktat)
d) Menaikkan kecepatan infus cairan intravaskular agar meningkatkan
aliran darah arteri uterina
2) Untuk memperbaiki aliran darah umbilikus : 14
a) Beri ibu oksigen dengan kecepatan 6-8 l/menit
b) Perlu kehadiran seorang spesialis anak
Lakukan resusitasi intrauterin selama 20 menit.14

40
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ditegakkan diagnosa G3P2A0H2 gravid 36-37 minggu + belum


inpartu + PEB + janin tunggal hidup presentasi kepala. Diagnosa ditegakkan dari
hasil anamnesis didapatkan keluhan pasien bengkak pada kedua tungkai yang
memberat sejak 1 hari smrs, pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala.
Sedangkam dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 200/110 mmHg,
serta ditemukan adanya edema pada kedua tungkai. Menurut PNPK diagnosis dan
tatalaksana preeklamsia POGI 2016, diagnosa preeklamsia berat dapat ditegakkan
dengan ditemukan TDS ≥160 mmHg + TDD ≥110 mmHg pada 2 kali pemeriksaan
serta dapat ditemukan adanya proteinuria atau didapatkan adanya gangguan organ
spesifik. Penegakan diagnosa pada pasien sesuai dengan PNPK POGI 2016 dimana
pada pasien ditemukan TDS ≥160 mmHg disertai dengan keluhan adanya nyeri
kepala, nyeri kepala merupakan salah satu gejala gangguan neurologis.10
Faktor risiko terjadinya preeklamsia berat pada pasien ini yaitu ibu usia lanjut
(usia 40 tahun) serta adanya obesitas grade II. Pada pasien didapatkan IMT 31,25
yang berarti obesitas grade II, dimana menurut penelitian Jeyabalan obesitas dapat
meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia sebesar 2 hingga 3 kali lipat. Penelitian
Mbah et al. menyebutkan pentingnya status Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai

41
prediktor untuk preeklamsi ditekankan oleh efek IMT sejajar terhadap angka kejadian
preeklmasia, dimana sekitar 7% ibu hamil dengan obesitas grade I (IMT 30-34,9)
mengalami preeklamsi, sedangkan pada ibu hamil dengan obesitas grade II (IMT 35-
39,9) dan ibu hamil dengan obesitas grade III (IMT 40-49,9) sebanyak 9%, pada ibu
hamil dengan super obesitas (IMT 50) sebanyak 13%. Sedangkan pada ibu hamil
dengan IMT normal (18,5-24,9) memiliki peluang 3 % untuk mengalami preeklamsi.
Hasil penelitian di RSUP M. Djamil Padang didapatkan hasil terdapat hubungan
bermakna antara peningkatan IMT dengan angka kejadian preeklamasi, dimana
ditemukan rerata IMT pada pasien preeklamsi sebesar 24,15 kg/m 2. Patofisiologi
antara obesitas dengan terjadinya preeklamsia memiliki berbagai mekanisme, salah
satunya disebebkan oleh resistensi insulin yang terjadi pada pasien obesitas sebelum
hamil maupun pada pasien dengan peningkatan berat badan berlebih selama hamil
yang mengakibatkan terjadinya penurunan migrasi sinsitiotrofoblas dan remodelling
arteri spiralis sehingga menyebabkan hipoksia dan iskemik pada plasenta. Kondisi
plasenta tersebut menyebabkan peningkatan faktor antiangiogenik dan faktor
inflamasi pada sirkulasi maternal sehingga terjadi disfungsi endotel pembuluh darah.
Disfungsi endotel ini menyebabkan penurunan produksi nitrit oksida dan peningkatan
oksidatif strees oleh endotel sehingga muncul gejala preeklamsia seperti hipertensi,
proteinuria dan edema. Usia 40 tahun pada pasien merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya preeklamsia. Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklamsia hampir 2
kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih, baik pada primipara maupun
multipara.11,15,16,17,18
Saat dilakukan observasi keadaan umum, tanda-tanda vital dan kemajuan
persalinan pada pasien, ditemukan dari hasil pemeriksaan denyut jantung janin 178
kali/menit serta pemeriksaan dalam pada tanggal 6 November 2019 pukul 06.00 WIB
teraba tali pusat dengan pulsasi (+/N) dengan ketuban yang masih utuh yang
menandakan adanya prolaps funikuli dengan klasifikasi tali pusat terkemuka. Hal ini
sesuai menurut Buku Ilmu Kebidanan Prawirohardjo dan Guideline Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists dimana penegakan prolaps uteri melalui hasil
pemeriksaan dalam teraba tali pusat dibawah bagian terendah janin serta diikuti

42
dengan adanya tanda-tanda gawat janin. Faktor risiko prolaps funikuli yang
ditemukan pada pasien ini yaitu kehamilan preterm, dimana usia kehamilan pada
pasien yaitu 36-37 minggu serta usia ibu diatas 35 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Waleed dan Mostafa tahun 2018, usia diatas 35 tahun,
kehamilan preterm, polihidramnion dan ketuban pecah dini merupakan faktor risiko
terjadinya prolaps funikuli.13,19,20
Pada pasien tatalaksana awal yang diberikan berupa pemberian oksigenasi dan
regimen MgSO4 40%. Pemberian regimen MgSO4 40% menurut American College
Obstetricians and Gynecologists dapat digunakan untuk mencegah kejang. MgSO4
dapat menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang mana jika
teraktivasi akibat asfiksia dapat menyebabkan masuknya kalsium kedalam neuron
sehingga menyebabkan kerusakan sel dan muncul kejang. Selain itu MgSO4 juga
dapat sebagai antihipertensi dan tokolitik dengan menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos termasuk pembuluh darah perifer dan uterus. Pasien ini juga
mendapatkan terapi antihipertensi nifedipine 3x10 mg. Tujuan pemberian
antihipertensi pada pasien ini adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
serebrovaskukar dan mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter yang
akan mengganggu kesejateraan janin. Nifedipine merupakan antihipertensi pilihan
pertama pada ibu hamil yang mengalami preeklamsi dikarenakan nifedipine oral lebih
cepat menurunkan tekanan darah dibandingkan dengan labetalol intravena dengan
menurunkan tekanan darah 1 jam setelah pemberian. Selain efek nifedipine sebagai
vasodilator arteri ginjal yang selektif, nifedipine juga bersifat natriuretik dan dapat
meningkatkan produksi urin.11,21
Pilihan terminasi kehamilan pada pasien ini dilakukan sectio sesaria cito.
Terminasi secara sectio sesaria cito dilakukan karena selama diobservasi, pasien
ditemukan adanya prolaps funikuli serta gawat janin. Prolaps funikuli dan gawat janin
merupakan indikasi sectio sesaria cito, sesuai dengan Buku Ilmu Kebidanan
Prawirohardjo dan Guideline Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.
Sectio sesaria direkomendasikan pada kasus prolaps funikuli ketika terminasi
kehamilan secara pervaginam tidak dimungkinkan untuk mencegah asidosis hipoksia.

43
Sectio sesaria juga dihubungkan dengan menurunkan angka mortalitas perinatal dan
menurunkan risiko Apgar Score jelek pada 5 menit pertama setelah kelahiran 3 kali
lebih baik dibandingkan dengan terminasi secara pervaginam.19

DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin AB. Kematian Ibu Dam Perinatal. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu


Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Pus Data dan Inf Kementrian Kesehat RI Penyebab Kematian Ibu.
Jakarta: 2014.
3. Ministry of Health Republic of Indonesia. Health Profile of Indonesia
2016.Jakarta: Ministry of Health Republic of Indonesia; 2017.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Tahunan 2018. Puslitbang
Upaya Kesehatan Masyarat. Jakarta: 2018.
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et all.
Hypertension disorders in pregnancy. In: Williams obstetrics. 23th ed. New York:
McGraw-Hill New York. 2010; 567-618.
6. Liwang F, Bhargah A. Preeclampsia management: different insight from hospital
to hospital approach in Indonesia. IJBS; 13(1) : 1-6.
7. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

44
8. Sofian A. Sinopsis Obstetri Rustam Mochtar Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2015.
9. Silver HM, et al. Mechanism of increased maternal serum total aktivin A and
inhibin A in preeklampsia. J Soc Gynecol Investig. 2002. p. 308-12.
10. Young BC, Levine RJ, Karumanchi A. Preeclampsia and Angiogenic Factors.
Annual Reviews; 2010. p. 176-85.
11. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran
Fetomaternal. Diagnosis dan Tatalaksana Pre Eklamsiaa. Jakarta: Balai penerbit
FKUI. 2016.
12. Kementerian Kesehatan RI, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
13. Wijayanegara H. Prolaps Tali Pusat. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan.
Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
14. Wijayanegara H. Gawat Janin dalam Persalinan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
15. Jeyabalan A. Epidemiology of Preeclampsia: Impact of obesity. Nutr Rev. 2013
Oct;71(01):10.
16. Mbah A, Kornosky J, Kristensen S, August E, Alio A, Marty P,Belogolovkin V,
Bruder K, Salihu H. Super-obesity and risk for early and late pre-eclampsia.
BJOG 2010;117:997–1004.
17. Andriani C, Lipoeto NI, Utama BI. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan
kejadian Preeklampsia di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2016; 5(1).
18. Lopez-Jaramillo P, Barajas J, Rueda-Quijano SM, Lopez-lopez C and Felix C.
Obesity and preeclampsia: common pathophysiologycal mechanisms. Front
Physiol; 9:1838.

45
19. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Umbilical Cord Prolapse.
Green-top guideline. 2014 Nov; 50.
20. Ahmed WAS, Hamdy MA. Optimal management of umbilical cord prolapse.
International Journal of Women’s Health. 2018: 10(459-465).
21. The American College Obstetricians and Gynecologists. Gestational hypertension
and preeclampsia. Wolter Kluwer Health. 2019 Jan; 1(133).

46

Anda mungkin juga menyukai