Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang
terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota
keluarga dan berkurangnya usia harapan hidup. Dampak ekonomi langsung yang
dirasakan pada penderita DBD adalah biaya pengobatan, sedangkan yang tidak langsung
adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang dikeluarkan selain
untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita.
Sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus
DBD maupun luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan
meningkatnya mobilitas dan kepadatan pe\nduduk.
Sedangkan dari data Puskesmas Talang Padang pada bulan desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus dengan supek penyakit Demam Bedarah Dengue.
Upaya pencegahan penyakit ini telah dilakukan antara lain dengan pemutusan
rantai nyamuk penularnya dengan cara penaburan larvasida, fogging focus serta
pemberantasan sarang nyamuk (PSN). PSN merupakan cara pemberantasan yang lebih
aman, murah dan sederhana. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah dalam pengendalian
vektor DBD lebih menitikberatkan pada program ini, walaupun cara ini sangat tergantung
pada peran serta masyarakat.
Pemahaman penyakit DBD dan penanggulangannya masih kurang, yang tampak
pada masih dibebankannya masalah DBD dan tanggung jawabnya pada sektor kesehatan,
padahal DBD sebenarnya harus menjadi tanggung jawab semua pihak karena erat
kaitannya dengan kebersihan dan perilaku manusia. Penanggulangan penyakit DBD lebih
banyak terkait dengan peranserta masyarakat.
Pada wilayah Talang Padang, belum pernah dilakukan kegiatan Jumantik (juru
pemantau jentik). Padahal jumantik merupakan salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat agar ada solusi untuk menekan populasi jentik Aedes aegypti, karena
jumantik bertugas melakukan pemeriksaan jentik secara berkala dan terus menurus.
1
Bentuk peran serta masyarakat lain yang diharapkan dapat meningkatkan ABJ
(Angka Bebas Jentik) adalah dengan mengikutsertakan bidan desa dan ketua Rukun
tetangga (RT) sebagai supervisor pelaksanaan PSN. Ketua RT diharapkan mampu
memotivasi warganya untuk mengamati keberadaan jentik di rumah masing-masing,
kemudian menuliskan hasilnya ke form jentik dan menyerahkan form tersebut kepada
kepala desa yang nantinya akan berkoordinasi bersama dengan bidan desa setempat.
Peran serta aktif dari pemilik rumah, diharapkan mampu meningkatkan ABJ di
lingkungan masing-masing. Pada penelitian ini, sebelum dan sesudah jumantik dan ketua
RT melakukan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, akan dilakukan pengamatan
jentik untuk mengetahui ABJ di masing-masing desa.

1.2 Rumusan Masalah


“ Bagaimana peranan kader kesehatan untuk mengedukasi masyarakat dalam
upaya pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas Turi? “

I.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran kader Kesehatan dalam


mengedukasi dan mendorong masyarakat dalam pelaksanaan program PSN-DBD, dengan
memberikan penyuluhan DBD untuk membantu menurunkan angka kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Turi.

1.3.2 Tujuan Khusus

- Mengoptimalkan kinerja kader kesehatan dalam mencegah DBD melalui


penyuluhan Kader Kesehatan untuk mengedukasi dan mendorong masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Brondong.
- Membentuk kerjasama dan koordinasi yang baik pihak puskesmas dengan pihak
kader Kesehatan serta masyarakat.

I.4 Manfaat Penelitian


2
1.4.1 Bagi Puskesmas

 Untuk meningkatkan pencapaian penurunan angka kejadian DBD.


1.4.2 Bagi Kader

 Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dalam


mendorong masyarakat dalam program PSN-DBD
1.4.3 Bagi Masyarakat

 Untuk meningkatkan pengetahuan tentang bahaya dan cara mencegah


DBD

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 PENDAHULUAN
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

II.2 ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat
reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever,
Japanese enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survey epidemiologi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian
pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.

4
II.3 EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A.aegypti dan A.albopictus). peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).

Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue


yaitu: 1). Vektor: perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di
lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain; 2). Penjamu: terdapatnya
penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan
jenis kelamin; 3). Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

II.4 PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antiobodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2
5
dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit dan
makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d). Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halsstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-
fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-
α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan
terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi
sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tilang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadinya trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi
di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi
trombosit.
6
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada
demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway).
Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi
kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).

II.5 MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT


Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom
syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.

II.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RTPCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis
yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM
maupun IgG.

Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:


 Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15%
7
dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
 Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
 Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
 Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
 Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
 Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
 Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi
darah atau komponen darah.
 Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
 Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.

II.7 DIAGNOSIS
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah.
8
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
 Nyeri kepala
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia/artralgia
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
 Leukopenia
dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

Diagnosis Banding

9
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

Sindroma Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.

DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui


klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.

II.8 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien
dewasa berdasarkan kriteria:
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi
 Praktis dalam pelaksanaannya
 Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
10
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok


Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Lekosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila dalam keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat
Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55-20)} = 2200 ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000, jumlah pemberian cairan
11
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12
jam.

 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%


Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan
infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam,
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol
tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan

12
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan
tekanan darah, nadi pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan
renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak
adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilhan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis
0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu
60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam

13
waktu 60-120 menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap
stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika
reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru
atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-
20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-
1,5 l/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O, bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral
14
penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.

BAB III
METODE

III.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dimana
pengambilan data dilakukan dua kali pada setiap responden, yang bertujuan untuk
mengetahui peran serta siswa Sekolah Dasar dalam pelaksanaan program PSN-DBD,

15
dengan memberikan penyuluhan DBD dan pelatihan jumantik untuk membantu
menurunkan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Talang Padang.

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian


a. Lokasi : SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN
04, SD Alharijah, MIM
b. Waktu penelitian : 23 September 2013 hingga 28 September 2013

III.3 Populasi dan Sampel


Polulasi pada penelitian ini di SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN
04, SD Alharijah, MIM. Sedangkan sampel pada penelitian ini adalah adalah semua
siswa kelas 4 dan 5 di SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN 04, SD Alharijah, MIM
pada 23 September 2013 hingga 28 September 2013 yaitu sebanyak 617 orang.

III.4 Kriteria Responden


a. Kriteria inklusi : semua siswa kelas 4 dan 5 di SDN 01, SDN 01,
SDN 02, SDN 03, SDN 04, SDN Alharijah, MIM.
b. Kriteria eksklusi : subyek yang tidak masuk sekolah.

III.5 Instrumen Penelitian


Alat atau instrumen pengumpul data yang digunakan dalam survey ini berupa
materi pertanyaan – pertanyaan untuk mengetahui tingkat pengetahuan subjek mengenai
seberapa jauh pengetahuannya mengenai penyakit DBD berupa gejala, pencegahan serta
pertolongan pertama pada penyakit DBD. Selain materi pertanyaan juga terdapat lembar
jumantik.

III.6 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam survey ini menggunakan data primer yaitu data
yang diambil dari sumbernya langsung (responden) yang dikumpulkan melalui lembar
materi pertanyaan serta lembar jumantik yang dikumpulkan setiap minggu. Sebelum
penyuluhan dan pelatihan jumantik diberikan, responden diberikan materi pertanyaan
pretest mengenai penyakit DBD, kemudian setelah penyuluhan dan pelatihan jumantik
16
dilakukan, diberikan materi pertanyaan posttest mengenai penyakit DBD dan jumantik.
Lembar jumantik diisi 3 kali dalam seminggu, dan dikumpulkan setiap 1 kali dalam
seminggu yaitu pada hari Senin kepada guru UKS masing – masing SD. Kemudian setiap
2 minggu sekali, akan dilakukan pengumpulan lembar jumantik serta evaluasi kegiatan
oleh petugas puskesmas.

III.7 Metode Analisa Data


Setelah data penelitian didapatkan, maka dilakukan entry data dan dilakukan
editing, yaitu memeriksa adanya kesalahan atau ketidaklengkapan data.

BAB IV
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

IV.1 Data Geografis

Puskesmas Talang Padang adalah Puskesmas wilayah Kabupaten Tanggamus di


Kecamatan Talang Padang dengan luas wilayah 45,13 km2 dengan batas - batas wilayah
sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Gunung Alip


- Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Pugung
17
- Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Pugung
- Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Pulau Punggung

IV.2 Data Demografik

Penduduk wilayah kerja Puskesmas Talang Padang terdiri dari 42.699 jiwa yang
tersebar di 19 (sembilan belas) desa.

IV.3 Sumber Daya Kesehatan yang Ada\

Sumber daya kesehatan yang terdapat di Puskesmas Talang Padang berjumlah


64 orang, dengan diversifikasi sebagai berikut :

- dokter umum :2 - refraksi optisian :-

- perawat :16 - penatalaksana rontgen :-

- dokter gigi :1 - pelaksana kesehatan lingkungan : 2

- perawat gigi :1 - kesehatan masyarakat :1

- bidan : 31 - bagian keuangan :2

- apoteker :1 - loket :1

- asisten apoteker :1 - tenaga non kesehatan :1

- nutrisionis :1 - cleaning service :1

- bagian laboratorium : 2

IV.4 Sarana Pelayanan Kesehatan yang Ada

Sarana kesehatan yang tersedia di Puskesmas Kecamatan Talang Padang


untuk kesehatan sekolah saat ini sedang dikembangkan, yang digunakan
puskesmas Talang Padang untuk memantau kesehatan lingkungan sekolah dan
kesehatan lingkungan masyarakat pada umumnya dilakukan bersaaman dengan
18
program Unit Kegiatan Sekolah (UKS) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang dilakukan rutin setiap hari Jum’at. Sehingga dengan adanya
pelaksanaan program ini, puskesmas Kecamatan Talang Padang mendapatkan
data mengenai kesehatan lingkungan baik di sekolah maupun di masyarakat.

IV.5 Data Kesehatan Masyarakat (Primer)

Penelitian dilakukan pada 7 SD di wilayah kerja Puskesmas Talang


Padang yaitu SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN 04, SD Alharijah, MIM,
kabupaten Tanggamus pada bulan September 2013. Dengan populasi pada murid
kelas IV dan V dengan jumlah 617 murid.
Di bawah ini adalah gambaran distribusi frekuensi atau besarnya frekuensi
pada masing-masing variabel yang diteliti :

Tabel IV.1. Distribusi frekuensi variabel

Kelas N Persen (%)

IV 337 54,6

V 280 45.4

Nilai Pretest dan Posttest

SD Kelas Pretest Posstest

SDN 01 IV – V 3 4

SDN 01 IV – V 3 3

SDN 02 IV – V 4 4

SDN 03 IV 4 5

SDN 04 IV 4 3

SD Alharijah IV 2 5
19
MIM IV 3 5

Nilai Rata-Rata

SD Kelas Nilai

SDN 01 IV – V 7,65

SDN 01 IV – V 7,55

SDN 02 IV – V 7,51

SDN 03 IV-V 7,23

SDN 04 IV-V 7,02

SD Alharijah IV-V 6,88

MIM IV-V 6.87

20
BAB V
DISKUSI

V.1 Kinerja Jumantikid terhadap upaya penurunan kejadian penyakit DBD

beberapa wilayah kerja Puskesmas Talang Padang

Penelitian dilakukan terhadap beberapa wilayah kerja puskesmas Talang


Padang antara lain Talang Padang, Banding Agung, dan Sinar Banten.
Adapun para peserta Jumantikid merupakan siswa dari 7 sekolah dasar yang
dipilih mewakili tiap – tiap wilayah, dengan jumlah siswa total 617 orang
anak.
Telah dijadwalkan kegiatan Jumantikid yang dilakukan di rumah masing-
masing dan sekolah yaitu untuk di rumah para Jumantikid memeriksa setiap
hari Senin, Rabu, dan Jum’at sedangkan untuk pemeriksaan di sekolah adalah
pada Jum’at setiap minggu. Lalu hasil pemeriksaan ditulis menjadi satu di
lembar jumantik dan dikumpulkan setiap 1 minggu pada masing-masing guru
UKS. Direncanakan ke depan bahwa pengumpulan lembar jumantik oleh
petugas Puskesmas adalah setiap 2 minggu. Namun untuk 1 bulan ini, peneliti
bersama dengan petugas puskesmas melakukan pengumpulan setiap minggu
dan langsung melakukan PSN ke rumah-rumah yang di nyatakan jentik (+).
21
Hal yang banyak terjadi di lapangan saat PSN adalah ketidakcocokan antara
pengisian lembar dan kenyataan dilapangan. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor baik dari Jumantikid sendiri, orangtua, para guru,dan
penyuluh / petugas puskesmas.
Data angka kesakitan penyakit DBD pada bulan Desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus sedangkan pada bulan Januari 2013 ditemukan
sebanyak 2 kasus dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 4 kasus
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa wilayah mengalami
penurunan angka kejadian DBD setelah direkrutnya Jumantikid dan berjalan
pemberantasan sarang nyamuk. Namun ,ada beberapa Jumantikid dari
beberapa SD yang tidak melaporkan hasil sebagaimana yang telah
dijadwalkan. Hal ini sangat disayangkan karena pada wilayah SD tersebut,
angka kejadian DBD cenderung masih meningkat.
Hal ini dipengaruhi banyak faktor antara lain adalah waktu antara
penyuluhan, pengisian lembar jumantik, PSN mingguan, dan pembuatan
laporan terlalu singkat. Pemeriksaan yang dilakukan hanya terbatas di rumah
siswa dan sekolah saja.

V.2 Mengetahui tingkat pengetahuan siswa SD sebelum dan sesudah dilakukan


penyuluhan DBD

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa siswa kelas SDN 01 Banding


Agung dapat menjawab pretest sebanyak 2 soal dan posttest sebanyak 4 soal.
Pada siswa SDN 01 Talang Padang didapatkan jawaban soal pretest sebanyak 2
soal dan posttest sebanyak 3 soal.Pada siswa SDN 02 Talang Padang dapat
menjawab soal pretest sebanyak 1 soal dan posttest sebanyak 3 soal. Sedangkan
pada SDN 03 Talang Padang dapat menjawab prestest sebanyak 2 soal dan
posttest sebanyak 5 soal. Pada siswa SDN 04 Talang Padang dapat menjawab soal
pretest sebanyak 1 soal dan posttest sebanyak 3 soal. Kemudian pada siswa SD
Alharijah dapat menjawab soal pretest sebanyak 2 soal dan posttest sebanyak 4
soal. Pada siswa MIM Sinar Banten dapat menjawab soal pretest sebanyak 2 soal
dan jumlah soal posttest sebanyak 4 soal.
22
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sekolah SDN 01 Sinar Banten ,
SDN 01 Talang Padang, SDN 02 Talang Padang merupakan sekolah dengan
siswa yang paling banyak menjawab soal pretest dan posttest dengan benar. Hal
ini berbanding lurus dengan nilai rata-rata kelas masing-masing SD. Hal ini juga
didukung oleh kondisi kelas yang memadai, kondusif dan bantuan dari pihak
sekolah.

V.3 Mengetahui efektivitas dan pengetahuan penyuluh terhadap respon dari


siswa SD

Dari hasil kerja lapangan untuk pelatihan juru pemantau jentik di ke 7 SD


yang dilakukan oleh 5 orang penyuluh, terdapat 2 orang dari 5 penyuluh tersebut
yang melakukan pelatihan sebanyak 2 sesi di sekolah yang berbeda, didapatkan
hasil pretest dan posttest yang berbeda antara sekolah masing-masing. Dan
diketahui bahwa SD yang memiliki nilai pretest dan posttest yang baik, ternyata
tidak memliki hubungan yang signifikan dengan keterampilan penyuluh dalam
memberikan pelatihan . Hal ini lebih berhubungan dengan nilai rata – rata kelas
dan kondisi lingkungan yang mendukung saat pelatihan berlangsung, seperti
koordinasi yang baik dengan guru, ketertiban siswa saat mendengarkan materi,
media audio visual, serta keaktifan siswa saat bertanya kepada penyuluh.

V.4 Mengetahui efektivitas dari penyuluhan terhadap lingkungan sekolah


dengan melihat kebersihan sekolah

Pada saat penyuluhan SDN 1, 2, 3, 4 didapatkan jentik nyamuk DBD dan


pada SDN 01, Alharijah, MIM tidak ditemukan jentik. Setelah dilakukan
penyuluhan selanjutnya kami melakukan kunjungan 2 minggu kemudian ke tiap-
tiap sekolah tersebut, didapatkan bahwa SDN 03 tidak ditemukan jentik nyamuk,
sedangkan SDN 1, 2 dan 3 masih terdapat jentik nyamuk. Sedangkan SDN 01,
Alharijah, dan MIM tetap tidak ditemukan jentik,

Sesuai dengan kesepakatan jadwal pemeriksaan di sekolah yang mana


dilakukan tiap 1 minggu sekali, para siswa mengatakan rutin melakukan
23
pemeriksaan secara berkelompok saat jumat bersih, baik setelah senam bersama
maupun kerja bakti setiap pagi. Para Jumantikid juga menerapkan langkah –
langkah cara memeriksa jentik sesuai yang diterangkan saat pelatihan. Pada
beberapa sekolah Jumantikid selain mendapat tugas untuk memeriksa jentik juga
dihimbau untuk menguras bak mandi sekolah. Menurut guru UKS selaku
pengawas Jumantikid mengatakan bahwa terdapat beberapa kendala dalam
melakukan pemeriksaan jentik. Adapun beberapa kendala adalah ketidak
tersediaan alat (lampu senter). Namun saat peneliti mengunjungi sekolah untuk
melakukan PSN bersama Jumantikid, kami melihat kurangnya koordinasi antara
guru UKS dan guru wali kelas, sehingga pada beberapa sekolah PSN tidak
berjalan dengan lancar. Pentingnya pengetahuan dasar mengenai DBD, PSN, dan
3M di kalangan guru perlu diperhatikan. Seperti salah satu SD di daerah Banding
Agung, terdapat tanaman air dengan jentik (+) namun tidak menaburkan bubuk
abate karena takut tanaman tersebut mati.

V.5 Mengetahui kepatuhan siswa SD dalam mengisi lembar jumatik

Dari ke 7 SD yang melakukan program jumantikid hanya SD 01 yang


selalu mengumpulkan hasil lembar pemeriksaan jumantik setiap minggunya dan
disusun dengan rapi. Sedangkan SD 03 merupakan SD yang paling tidak patuh
dalam mengumpulkan lembar pemeriksaan jumantik. Pada SD 01, 02, 04,
Alharijah dan MIM masih mengumpulkan lembar pemeriksaan jumantik tiap
minggunya, meskipun ada beberapa siswa yang terlambat mengumpulkan lembar
tersebut. Kepatuhan mengumpulkan lembar jumantik ini sangat memerlukan
koordinasi yang baik antara guru UKS dengan murid, serta koordinasi guru UKS
dengan petugas Puskesmas Talang Padang. Selain itu, kendala biaya untuk
memperbanyak lembar jumantik juga berperan penting dalam kepatuhan
mengumpulkan hasil lembar jumantik ini. Disini kami juga menilai bagaimana
tingkat pemahaman dan keakuratan para siswa dalam mengisi lembar jumantik.
Kami menilainya dengan beberapa kriteria sebagai berikut, yaitu :
1. Terdapatnya nama petugas jumantikid

24
2. Ada 6 nomor yang diperiksa (hari Senin memeriksa rumah petugas dan tetangga
kanan, hari Rabu memeriksa rumah petugas dan tetangga kiri, hari Jum’at
memeriksa rumah petugas dan sekolah petugas.)
3. Tanggal dan hari pemeriksaan benar
Dari kriteria yang disebut diatas kami bisa memilih sampel yang menjadi tujuan
kami untuk survey lapangan. Dari hasil kerja evaluasi pengumpulan lembar
Jumatikid dengan keakuratan pemeriksaan jentik di lapangan berbanding lurus
dengan tingkat prestasi siswa di sekolahnya. Keakuratan dalam pengisian lembar
Jumantik ini juga berbanding lurus dengan tingkat prestasi siswanya.
V.6 Kendala Pelaksanaan Kegiatan
Dalam melaksanakan kegiatan Jumantikid ini, peneliti menemukan beberapa
kendala yang cukup bermakna terhadap hasil kegiatan dalam menurunkan angka
kejadian DBD.
Adapun berikut adalah beberapa kendala dalam hal lembar jumantik yaitu
kurangnya dana puskesmas dan sekolah untuk memperbanyak lembar jumantik
(biaya fotokopi). Beberapa pihak sekolah merasa keberatan dengan pengeluaran
biaya tersebut dikarenakan dana BOS yang keluar tidak tepat waktu . Hal ini
mengakibatkan beberapa sekolah tidak mengumpulkan lembar jumantik sesuai
jadwal. Masalah lain yaitu pengisian lembar jumantik, banyak kami temukan
kesalahan pada pengisian. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat kegiatan
pelatihan, guru UKS yang mana berlaku sebagai pembimbing karena beberapa hal
tidak hadir mendampingi siswa. Beberapa guru UKS juga tidak memahami secara
baik tujuan dan pelaksanaan kegiatan Jumantikid ini. Sehingga saat siswa bingung
dalam cara mengisi lembar, guru pun tidak dapat menjawab secara benar. Kendala
lain adalah tidak tersedianya alat periksa berupa lampu senter di rumah siswa dan
sekolah. Tidak terpenuhinya kriteria juru pemantau jentik yang telah ditetapkan
resmi oleh dinas kesehatan Republik Indonesia.
Kader juru pemantau jentik direkrut dari masyarakat sesuai dengan tujuan
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk.
Adapun kriteria yang dimaksud :
a. Pendidikan : minimal SMU atau sederajat
25
b. Berasal dari desa/kelurahan yang bersangkutan
c. Belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap
d. Mampu melaksanakan tugas dan bertanggung jawab
e. Mampu menjadi motivator ditempat tinggalnya
f. Mampu bekerja sama dengan petugas PUSTU dan puskesmas dan
masyarakat
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang kami laksanakan proses berjalan dengan lancar dan
perlu dilkakukan evaluasi kedepannya untuk kesinambungan program yang sudah terlaksana ini.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan adalah terdapat hubungan antara kinerja jumantikid
terhadap penurunan angka penyakit DBD di beberapa wilayah kerja Puskesmas Talang Padang
yang sebelumnya data angka kesakitan penyakit DBD pada bulan Desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus sedangkan pada bulan Januari 2013 ditemukan sebanyak 2
kasus dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 4 kasus. D an masyarakat sekitar pun telah
menyadari bahwa angka kejadian penyakit DBD ini berhubungan erat dengan kesehatan
lingkungan masyarakat itu sendiri. Tingkat pengetahuan siswa/i sebelum dan sesudah
dilakukannya pelatihan dan penyuluhan tentang penyakit DBD, serta kepatuhan dan keakuratan
dalam mengisi lembar jumantik berbanding lurus dengan tingkat prestasi siswanya. Untuk
efektifitas dari penyuluh terhadap kesehatan lingkungan sekolah dengan survei lapangan secara
langsung untuk melihat kebersihan sekolah berbanding lurus dengan diadakannya pelatihan dan
penyuluhan tentang penyakit DBD. Namun dalam pelatihan dan penyuluhan jumantikid tidak
ditemukan nilai bermakna ataupun hubungan antara efektifitas dan pengetahuan penyuluh
terhadap respon dari siswa/i tersebut, ini dikarenakan oleh banyaknya faktor yang menjadi
peranan dalam responsif siswa/i.

VI.2 Saran

26
Agar pemantauan jentik yang berkesinambungan dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, perlu dilakukan motivasi kepada ketua RT dan kader
jumantik secara berkesinambungan. Keterlibatan petugas kesehatan sangat
diperlukan untuk memberdayakan masyarakat dalam pemantauan jentik secara
berkala. Lalu untuk tolak ukur data angka kejadian penyakit DBD maka pihak
puskesmas dapat menyediakan fasilitas laboratorium lengkap untuk menunjang
dignosis penyakit DBD. Untuk mencapai Angka Bebas Jentik pada wialayah kerja
puskesmas Talang Padang peneliti menyarankan perekrutan kader Juru Pemantau
Jentik ( JUMANTIK ) resmi yang memenuhui kriteria dari Departemen
Kesehatan 2012. Adapun kegiatan Jumantikid ini merupakan kegiatan sekolah
yang bermanfaat khususnya bagi program UKS, terkait dengan kendala lembar
jumantik maka disarankan kepada sekolah untuk menggunakan kertas buku tulis
saja tidak perlu lembar jumantik untuk diperbanyak. Untuk mendapatkan
keakuratan data tentang angka bebas jentik, maka nantinya diperlukan peran serta
kader JUMANTIK beserta petugas puskesmas dalam survei lapangan secara
berkesinambungan pada hari jum’at.
Menyikapi kendala tidak tersedianya alat jumantik maka dibutuhkan dana
khusus untuk pengadaan alat tersebut (senter dan lembar jumantik).

VI.3 Ucapan Terima Kasih

Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten Tanggamus, Kepala Puskesmas Talang Padang, Kepala Sekolah SDN
01 Banding Agung, Kepala Sekolah SDN 01 Talang Padang, Kepala Sekolah
SDN 02 Talang Padang, Kepala Sekolah SDN 03 Talang Padang, Kepala Sekolah
SDN 04 Talang Padang, Kepala Sekolah SD Alhariyah Sinar Banten, Kepala
Sekolah MIM Sinar Banten atas izin penelitian dan dukungan yang telah
diberikan kepada kami. Terima kasih juga kami ucapkan kepada pengelola
program UKS , DBD, dan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Talang Padang,
para jumantikid dan guru UKS atas bantuannya selama penelitian ini berlangsung
sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Terima kasih yang
27
tak terhingga juga kami ucapkan kepada masyarakat di daerah penelitian yang
secara koperatif telah mendukung kegiatan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan R.I. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Sarang


Nyamuk Demam Berdarah Dengeu (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik
(Jumantik), Dirjen P2M dan PL. Jakarta. 2004.
2. Hayani A., Ahmad Erlan, Yunus W., Samarang. Pengaruh pelatihan guru UKS
terhadap efektivitas pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue di
Tingkat Sekolah Dasar, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan
5(1): 376-379. 2006.
3. http://irwandykapalawi.wordpres.com/ 2008/03/01mengenal-ilmu-kesehatan-
masyarakat/# . comment. Diakses pada tanggal 15 November 2012.
4. Departemen kesehatan R.I. Pedoman Survey Entomologi DBD. Dirjen P2M dan
PL. Jakarta. 2002.
5. Suroso, T. Strategi baru Penangggulangan DBD di Indonesia. Jakarta. Depkes RI .
2003.
6. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
7. Zulkarnain I. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSCM.
dalam: Hadinegoro SR, Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
1999. hlm 150-66.

28

Anda mungkin juga menyukai