Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang memilki
beban kesehatan tertinggi.World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK kedalam empat besar penyakit tidak
menular yangmemiliki angka kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular, keganasan
dan diabetes. GOLD Report 2014 menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan
PPOK adalah 56% dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi.
Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit ini.
Kematian menjadi beban social yang paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK, namun
diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial. Parameter yang
dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu hasil dari penjumlahan
antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability (YLD). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menempati peringkat ketujuh,
dimana sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini menempati urutan keduabelas.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2014
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis yang
dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten dan
biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis
saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid
berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien. Pada definisi ini tidak lagi
dimasukan terminologi bronkhitis kronik dan emfisema dan secara khusus dikemukakan
pentingnya eksaserbasi dan komorbid pada definis GOLD 2014 sehingga dipandang perlu untuk
dicantumkan pada definisi.
Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari penyakit
saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang ebrbeda antar pasien ke
pasien. Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis
yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis.
Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran
napas dan rusaknya parenkim paru.

2.2 EPIDEMIOLOGI.

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada
pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi
prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur 18-
64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya
meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.

2
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat
dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat
dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.

Tabel 1. Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990.22

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan
asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.1,2,7
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di
buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000
terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat
Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak
tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada
wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000
populasi.

3
2.3 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit
respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai
dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-
sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon
dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru
akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada
mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat.

4
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar
( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema
atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.16
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis
kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta
defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan
netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan
struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan
menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan
PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam
proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines,
interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan
dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses
ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada
tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini
berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah
terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan
remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary

5
capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi
pulmonal.16,25

INFLAMASI PADA PPOK


Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar sitokin
pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang
sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK.
Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat
bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan
struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis.
Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit
T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran
akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan
menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar
bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi
mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah
besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.19
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan
menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas,
juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas
sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel
inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi
terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme
pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok.

6
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK.

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik
melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian
ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme
kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi

7
lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan
kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak
menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang
dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan
adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan
penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada
subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan
saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan
masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas,
akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.21

Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK

2.4 DAIGNOSIS

2.4.1 Anamnesis

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala.
Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya
dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis.

8
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut.
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau
intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak
kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak 11

Tabel 2. Skala Sesak Skala Keluhan Sesak Berkaitan


Sesak dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali
dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila
berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena
merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100
m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau
berpakaian

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat pasien dan
keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Merokok merupakan faktor
resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan
merokok dan orang yang merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak
merokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.

9
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor
resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan
lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada
keluarga dan defisiensi α1-antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan
adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas
terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih
tua.23

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang
signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada
PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau
perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
Inspeksi
-Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
-Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup) -Terlihat penggunaan dan hipertrofi
(pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi
-Sela iga melebar
Perkusi
- Hipersonor
Auskultasi
-Fremitus melemah
-Suara nafas vesikuler melemah atau normal
-Ekspirasi memanjang
-Bunyi jantung menjauh
-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

10
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri.
The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk semua
perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau
dahak persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur sederhana yang
dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 s)
dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan
secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi
dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.
1. Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada
paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal 14

11
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat
sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%

3. Derajat II (PPOK sedang)


Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat
sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%

4. Derajat III (PPOK berat)


Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih sering terjadi
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

5. Derajat IV (PPOK sangat berat)


Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale
atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

2.4.4 Pemeriksaan Penunjang lain


Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan
berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk
mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan
computed tomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus 15
dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk melakukan
elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk
mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan.

12
2.5 TATALAKSANA

Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :


•• Berhenti Merokok
•• Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi
dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas.
•• Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya gejala, risiko
eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
•• Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
•• Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabilitasi yang akan
memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya
sehari-hari.

2.5.1 Terapi Farmakologi


A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau
mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.

•• β2Agonist (short-acting dan long-acting)


Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi
reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional
terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu
4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B).
Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi
dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan
salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health related quality of life dan
frekuensi eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam
penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di
rumah sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu
kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien

13
(Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus
takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.

•• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan tiopropium
bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama disbanding short acting β2
agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi
eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta
memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul
akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bias menimbulkan gejala pada
prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan
penggunaan obat tersebut.

B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan berperan
dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain
tersedia.

C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secararegular dapat memperbaiki gejala, fungsi
paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60%
prediksi.

D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti
mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.

14
Terapi non farmakologis lain
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
4. Terapi Oksigen

PEMANTAUAN DAN FOLLOW UP


Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien termasuk PPOK. Fungsi paru
bias diperkirakan memburuk, bahkan dengan pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran
objektif dari keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan
modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi yang bias timbul.
Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi
•• Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan sekurang-kurangnya
setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT bias dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.
•• Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan terakhir termasuk
batuk dan dahak, sesak napas, fatiq, keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.
•• Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan terhadap rokok.

Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain


Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up
harus termasuk diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap
regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam mengontrol gejala
dan efek samping terapi harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan
untuk menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan.

Pemantauan Riwayat Eksaserbasi


Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi. Peningkatan jumlah
sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan

15
spesifik terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan
dan penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa
diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan
kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk
fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD
executive summary. Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
2. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010 : Description of the global
burden of NCDs, their risk factors and determinants. 2011.
3. Lopez AD, Shibuya K, Rao C, Mathers CD, Hansell AL, Held LS, et al. Chronic obstructive
pulmonary disease: current burden and future projections. European Respiratory Journal.
2006;27(2):397-412.
4. Stockley RA, Mannino D, Barnes PJ. Burden and Pathogenesis of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Proceedings of the American Thoracic Society. 2009;6(6):524-6.
5. Menezes AMB, Perez-Padilla R, Jardim JB, Muiño A, Lopez MV, Valdivia G, et al. Chronic
obstructive pulmonary disease in five Latin American cities (the PLATINO study): a prevalence
study. The Lancet. 2005;366(9500):1875-81.
6. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, et al. International variation in the
prevalence of PPOK (The BOLD Study): a population-based prevalence study. The Lancet.
2007;370(9589):741-50.
7. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
8. Eisner MD, Anthonisen N, Coultas D, Kuenzli N, Perez-Padilla R, Postma D, et al. An
Official American Thoracic Society Public Policy Statement: Novel Risk Factors and the Global
Burden of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine. 2010;182(5):693-718. Arto Yuwono Soeroto,
Hendarsyah Suryadinata 88 Ina J Chest Crit and Emerg Med | Vol. 1, No. 2 | June - August 2014

17

Anda mungkin juga menyukai