Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

G1P0A0 HAMIL 39-40 MINGGU, BELUM INPARTU,


PREEKLAMSIA BERAT, DISPNEA EC EDEMA PARU,
INFERTILITAS PRIMER 18 TAHUN, PRIMIGRAVIDA TUA,
JANIN TUNGGAL HIDUP INTRAUTERIN, PRESENTASI
KEPALA, ANAK MAHAL

Disusun oleh :

DANA IRNANDA NURUL SHAFARANI


ELSA PUSPITA RACHMALIZA
ERWIN SYAHPUTRA RIKA WANDARI
FITRIKA ASMARITA SARI WAHYU
GUSTIEN ENDERINA SUCI AMALIA
HELNI SIPAYUNG WAHYUDI
M. QURAISH SHIHAB WINA ASTARI
NIA PERMATASARI
Pembimbing :
dr. H. Noviardi, Sp.OG(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018

BAB I
PENDAHULUAN

Kematian ibu menurut definisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau
dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang
terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan
disebabkan oleh kecelakaan atau cedera. Indikator yang umum digunakan dalam
kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu (AKI)/ Maternal Mortality Ratio yaitu
jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran hidup.1,2 Survei Penduduk Antar
Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan AKI sebanyak 305 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup.3
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung.
Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan atau
masa nifas dan penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak
langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul
sewaktu kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit
kardiovaskular. Secara global sekitar 80% angka kematian ibu tergolong pada
kematian ibu langsung. Pola penyebab langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan
(25%), sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%),
komplikasi aborsi tidak aman (13%), dan sebab-sebab lain (8%).1
Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari lima penyebab
terbanyak untuk kematian ibu. WHO mengulas secara sistematis Angka Kematian Ibu
terutama di negara berkembang yang mana 16% kematian ibu berkaitan dengan
hipertensi.4 Angka kejadian hipertensi dalam kehamilan menyebabkan kematian ibu
di Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 adalah 26,9% dan 27,1%.2
Salah satu bentuk hipertensi dalam kehamilan adalah preeklampsia.
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan vasospasme,

1
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi organ yang
ditandai adanya hipertensi, proteinuria, dan edema yang timbul karena kehamilan.1
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain adalah sindroma
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan
ginjal, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa
kelahiran prematur, gawat janin, berat badan lahir rendah atau Intra Uterine Fetal
Death (IUFD).1,4
Edema paru pada wanita hamil jarang terjadi, namun hal ini mengancam
nyawa.5 Edema paru dapat terjadi akibat dari komplikasi preeklamsia. Suatu
penelitian di salah rumah sakit rujukan di Jawa Timur selama 2 tahun memaparkan
adanya 62 kasus edema paru dari 1106 pasien dengan preeklamsia. Sekitar 81%
pasien edema paru ini harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan 60%
membutuhkan alat bantu ventilasi mekanik.6

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. VC Nama suami : Tn. S
Usia : 35 tahun Usia : 40 tahun
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Melayu Suku : Melayu
Alamat : Meranti Alamat : Meranti
No MR : 035552

2.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUD EHD Tanjung Uban pada tanggal 31 Juli 2018
pukul 17.30 WIB.
 Keluhan utama
Hamil anak kedua dengan keluhan nyeri perut menjalar sampai ke ari-ari.
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien sedang hamil anak kedua dan mengeluhkanya nyeri perut
menjalar sampai ke ari-ari sejak beberapa jam SMRS. Selain itu, pasien juga
merasakan nyeri kepala dan sedikit mual. Keluhan perdarahan jalan lahir,
keluar air-air, dan keluar lendir darah tidak dirasakan pasien. Tidak ada
keluhan sesak, pandangan kabur, dan demam. Gerakan janin aktif (+).
Pasien mengaku hamil 9 bulan, dengan HPHT 20 September 2019,
usia kehamilan saat ini 36-37 minggu. Taksiran persalinan 27 Juni 2020.
Pasien mengatakan melakukan kontrol kehamilan di bidan sebanyak 3
kali dan dokter kandungan 1 kali serta USG sudah pernah dilakukan dengan
hasil janin dalam keadaan baik. Pada saat kontrol beberapa bulan terakhir
didapatkan tekanan darah pasien tinggi. Pasien diberikan obat penurun
3
tekanan darah dan vitamin tambah darah oleh dokter dan disarankan untuk
mengatur pola makan serta aktivitas. Pasien mengaku gerakan janin mulai
dirasakan pada usia kandungan 4 bulan.
Selama kehamilan pasien tidak ada mengeluhkan demam (-), gigi
berlubang (-), batuk pilek (-), keputihan (-), nyeri saat BAK (-) dan selama
hamil tekanan darah pasien tinggi.
 Riwayat Hamil Muda
Mual (+), muntah (+), tekanan darah tinggi (-), diabetes mellitus (-),
perdarahan (-), keputihan (-).
 Riwayat Hamil Tua
Mual (-), muntah (-),tekanan darah tinggi (+), perdarahan (-), keputihan (-).
 Riwayat Prenatal Care
Kontrol kehamilan di bidan sebanyak 3 kali dan dokter kandungan 1 kali serta
USG sudah pernah dilakukan dengan hasil janin dalam keadaan baik. Pada
saat kontrol beberapa bulan terakhir didapatkan tekanan darah pasien tinggi
 Riwayat Minum Obat
Konsumsi vitamin penambah darah.
Konsumsi obat penurun tekanan darah namun tidak teratur.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+) pada kehamilan sebelumnya, asma (-), diabetes
mellitus (-), penyakit jantung (-), kelainan darah (-) dan alergi (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (+) pada ayah pasien, asma (-), diabetes mellitus (-), penyakit
jantung (-), kelainan darah dan alergi disangkal.
 Riwayat Menstruasi
Haid pertama kali pada usia 12 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama haid 5-
7 hari, ganti pembalut 2-3 kali setiap harinya, dan tidak ada keluhan nyeri
pada saat haid.
 Riwayat Perkawinan

4
Menikah 1 kali.
 Riwayat Obstetri
1. Hamil sebelumnya/ SC a/i tekanan darah tinggi dalam kehamilan
2. Hamil ini.
 Riwayat KB
(?)
 Riwayat sosial ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SMA.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 200/120 mmHg
Nadi : 61 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,50 C
TB : 150 cm
BBSH : 72 kg
BBH : 82 kg
IMT : 32 kg/m2 (obesitas grade II)
Status Generalis
Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan peningkatan JVP tidak
ditemukan
Jantung : Kardiomegali, S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Status obstetrikus
Genitalia : Status obstetrikus
5
Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-)
Status obstetrikus
Wajah : Kloasma gravidarum (-)
Mammae
Inspeksi : Papila mammae tidak menonjol, corpus mammae simetris,
tanda-tanda radang (-), retraksi (-), inverted nipple (-), areola
mammae hiperpigmentasi, tidak ada retraksi dan tidak ada
menyerupai kulit jeruk.
Palpasi : Corpus mammae nyeri (-), benjolan (-), areola mammae tidak
mengeluarkan ASI, teraba kenyal
Abdomen
Inspeksi : Tampak membuncit, hiperpigmentasi linea alba (+), striae
gravidarum (+),
Palpasi : Leopold I : - TFU 2 jari dibawah prosesus xiphoideus
- Teraba massa lunak, bulat, tidak melenting,
kesan bokong
Leopold II : Pada sisi kanan abdomen ibu teraba tahanan
memanjang, kesan punggung
Leopold III : Teraba massa keras, bulat, melenting, kesan
kepala
Leopold IV : Konvergen (5/5)
TFU : 30 cm
His : 1x/10 menit/ durasi 10 detik
TBJ klinis : 2635 gram
DJJ : 130 x/menit
Pemeriksaan Genitalia
Genitalia eksterna
Inspeksi : Vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)
Genitalia interna
Inspekulo : Tidak dilakukan

6
VT : Tidak dilakukan

2.4 DIAGNOSIS KERJA


G2P1A0H1 gravid 36-37 minggu belum inpartu, impending eklampsia, previous SC
1x, janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala.

2.5 TATA LAKSANA AWAL


1. Baring posisi miring ke kiri.
2. Awasi hemodinamik ibu dan janin
Observasi KU, TTV, his, DJJ
Observasi tanda-tanda gawat janin
Pemasangan kateter urin.
3. Farmakologi :
- Oksigen 2 L/menit via nasal kanul
- IVFD RL 20 tpm
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (1 Juni 2020)
Hb : 13,2 g/dl Kreatinin : 0,39 mg/dl
Hematokrit : 37,8% CT/BT :8 menit/2
Leukosit : 13.560 /ul menit
Trombosit : 341.000 /ul Protein urin : Negatif
SGOT : 30 U/L VDRL : Non reaktif
SGPT : 20 U/L HIV : Non reaktif
Ureum : 10,7 mg/dl Hep. B : Non reaktif
Elektrokardiografi (1 Juni 2020)
Sinus rhythm
Kardiotokografi (1 Juni 2020)

2.7 RESUME PEMERIKSAAN

7
Pasien Ny. R, usia 38 tahun, rujukan dari salah satu RS swasta di Pekanbaru
dengan G1P0A0 hamil 39-40 minggu belum inpartu dengan PEB + dispnea ec suspek
edema paru. Pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin memberat sejak 5 jam
SMRS. Sesak napas tidak berkurang dengan istirahat ataupun perubahan posisi, tidak
dipengaruhi debu ataupun suhu lingkungan. Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual
(+), muntah (+), pandangan kabur dan demam tidak ada. Keluhan keluar air-air,
keluar lendir darah, keluhan mulas-mulas, dan keinginan untuk mengejan tidak
dirasakan pasien. Gerakan janin aktif (+).
Pasien merasa hamil 9 bulan, dengan HPHT 25 Oktober 2017, TP 01 Agustus
2018 sesuai usia kehamilan 39-40 minggu. Kontrol kehamilan di bidan dan RS swasta
di Pekanbaru dengan Sp.OG. ANC dilakukan sebanyak 2 kali pada kehamilan 3 bulan
pertama dan USG pernah dilakukan dengan hasil janin dalam keadaan baik. Tekanan
darah tinggi selama hamil (+), tidak rutin minum obat, hipertensi sejak 7 tahun yang
lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 190/120, nadi 112 x/menit, frekuensi
nafas 32 x/menit. Auskutasi paru didapatkan suara nafas vesikuler dengan suara
tambahan ronkhi di kedua lapangan paru. L1 kesan bokong, L2 kesan PUKA, L3
kesan kepala, L4 konvergen 5/5. TFU 34 cm, his (-), TBJ 3.255 gram, DJJ 134 dpm,.
Proteinuria +2 (dipstick).

2.8 DIAGNOSIS PASTI


G2P1A0H1 gravid 36-37 minggu belum inpartu, impending eklampsia, previous SC
1x, janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala.

2.9 TATA LAKSANA LANJUTAN


1. Baring posisi miring ke kiri.
2. Awasi hemodinamik ibu dan janin
Observasi KU, TTV, his, DJJ
Observasi tanda-tanda gawat janin
3. Pemasangan kateter urin.

8
4. Farmakologi :
- Oksigen 2 L/menit via nasal kanul
- IVFD RL 20 tpm
- Terapi regimen magnesium sulfat:
Loading dose: Bolus MgSO4 40% 10 cc (4 g).
Maintenance dose: IVFD MgSO4 40% 15 cc (6 g) yang dilarutkan ke
dalam 500 cc RL sebanyak 30 tpm.
- Nifedipin tablet 10 mg PO, diulang 15 menit kemudian jika tekanan
darah masih tinggi.
5. Rencana terminasi perabdominal

2.10 PROGNOSIS
Dubia

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kehamilan
Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan
didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum
dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.7 Kehamilan normal akan
berlangsung selama 40 minggu atau 10 bulan lunar.
3.1.1 Tanda-tanda kehamilan
- Tanda-tanda presumtif
Terdiri dari amenorea, mual dan muntah, mengidam, tidak ada selera makan
(anoreksia) terutama pada triwulan pertama, payudara membesar,
konstipasi/obstipasi karena tonus otot usus menurun oleh pengaruh hormon
steroid, pigmentasi kulit pada wajah akibat hormon kortikosteroid plasenta
(chloasma gravidarum), aerola payudara, leher, dan dinding perut.7,8
- Tanda-tanda kemungkinan hamil
Terdiri dari perut membesar, uterus membesar, tanda Hegar (ditemukannya
serviks dan isthmus uteri yang lunak pada pemeriksaan bimanual), tanda
Chadwick (perubahan warna menjadi kebiruan yang terlihat di portio, vagina,
dan vulva akibat pelebaran vena karena penngkatan kadar esterogen), tanda
Piskacek (pembesaran dan pelunakan rahim ke salah satu sisi rahim yang
berdekatan dengan tuba uterina), kontraksi-kontraksi kecil uterus (Braxton-
Hicks), teraba ballotement, dan reaksi kehamilan positif.7,8
- Tanda pasti
Terdiri dari adanya gerakan janin, denyut jantung janin, terlihat tulang-tulang
janin dalam foto rontgen.8
3.1.2 Penentuan usia kehamilan
Usia kehamilan dapat ditentukan dengan berbagai cara seperti berikut.8
- Hari pertama haid terakhir (HPHT)

10
Wanita harus mengetahui HPHT supaya dapat ditaksir umur kehamilan dan
taksiran tanggal persalinan, yang dihitung menggunakan rumus Naegel, yaitu
(hari+7), (bulan-3), dan (tahun+1). Rumus ini dapat dipakai apabila seseorang
memiliki siklus haid 28 hari.
- Tinggi fundus uteri
Minggu Tinggi fundus uteri
4 Belum teraba
8 Di belakang simfisis
12 1-2 jari di atas simfisis
16 Pertengahan simfis-pusat
20 2-3 jari di bawah pusat
24 Kira-kira setinggi pusat
28 2-3 jari di atas pusat
32 Pertengahan pusat-prosesus xiphoideus
36 3 jari di bawah Px atau sampai setinggi Px
40 Sama dengan kehamilan 36 minggu, tetapi melebar ke
samping
- Menurut Spiegelberg: dengan jalan mengukur tinggi fundus uteri dari simfisis,
diperoleh tabel:
Minggu Tinggi fundus uteri
22-28 24-25 cm di atas simfisis
28 26,7 cm di atas simfis
30 29,5-30 cm di atas simfis
32 29,5-30 cm di atas simfis
34 31 cm di atas simfis
36 32 cm di atas simfis
38 33 cm di atas simfis
40 37,7 cm di atas simfis

11
- Menurut Mac Donald: adalah modifikasi cara Spiegelberg, yaitu jarak fundus-
simfisis dalam cm dibagi 3,5 merupakan usia kehamilan dalam bulan.
- Ultrasonografi
3.1.3 Inpartu
Inpartu adalah tanda persalinan dimulai. Tanda – tanda inpartu adalah
sebagai berikut:9
1. Adanya his yang adekuat yaitu kontraksi uterus yang berulang minimal 2 kali
dalam 10 menit dengan durasi lebih sama dengan 30 detik.
2. Keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) karena serviks membuka
(dilatasi) dan mendatar (effacement). Darah berasal dari pecahnya pembuluh
darah kapiler di sekitar kanalis servikalis karena pergeseran saat serviks
membuka dan mendatar.

3.2 Hipertensi dalam kehamilan


3.2.1 Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan
A. Hipertensi kronis
Hipertensi kronis didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi yang timbul sebelum
umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah
umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan.10

B. Preeklampsia-eklampsia
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi spesifik kehamilan dengan
keterlibatan multisistem. Biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan yang
disertai dengan proteinuria.4,10
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan
tekanan diastolik ≥ 90. Dikatakan hipertensi ringan bila belum mencapai
sitolik dan diastoliknya 160 mmHg/110 mmHg. Pengukuran tekanan darah
sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam, walaupun kadang kala,
terutama bila dihadapkan pada hipertensi berat, diagnosis dapat dikonfirmasi

12
dalam interval yang lebih pendek (bahkan menit) untuk memfasilitasi terapi
antihipertensi tepat waktu.4,10
Proteinuria ialah adanya ≥ 300 mg protein dalam urin selama 24 jam
atau pembacaan dipstick kualitatif ≥ +1. Pengukuran protein pada urin
dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali selang 6 jam. 4,10
Eklampsia adalah fase kejang dari preeklampsia dan merupakan salah
satu manifestasi klinis yang lebih berat. Hal ini sering didahului dengan gejala
seperti sakit kepala berat dan hyperreflexia, tapi bisa terjadi tanpa tanda atau
gejala peringatan.1,4
C. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai dengan tanda-tanda preeklampsia. Tanda-tanda
superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik adalah proteinuria, gejala-
gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik yang
menyeluruh (anasarka), oligouria, edema paru, kelainan laboratorium berupa
kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum
hepar.4,10
D. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional paling sering ditandai dengan kenaikan tekanan
darah onset baru setelah kehamilan 20 minggu dengan tidak adanya
proteinuria yang menyertainya, kemudian tekanan darah kembali normal
sebelum 12 minggu pasca persalinan.4,10 Diagnosis akhir hanya dapat dibuat
pasca persalinan. Penyebab tidak jelas. Dengan demikian, hipertensi
gestasional, bahkan ketika peningkatan tekanan darah ringan, memerlukan
pengawasan yang lebih baik.
3.3 Preeklampsia-eklampsia
3.3.1 Definisi
Preeklampsia merupakan sindrom yang terutama terjadinya hipertensi pada
kehamilan >20 minggu, seringnya diikuti oleh proteinuria. Preeklampsia salah satu
penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan post partum.

13
Sedangkan eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia juga dapat terjadi ante,
intra, dan post partum.4,8,10
3.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologinya belum dapat diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa
faktor resiko terjadinya preeklampsia4 :
 Pada kehamilan sebelumnya terjadi preeklampsia
 Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
 Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, bayi
besar
 Pembuahan in vitro
 Riwayat keluarga mengalami preeklampsia
 Diabetes mellitus tipe I dan II
 Obesitas
 Lupus erimatosus sistemik
 Ibu usia lanjut (> 40 tahun)
3.3.3 Patofisiologi
Hingga saat ini patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih
belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk
mencari patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini
belum memuaskan. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :
a. Peran plasenta dan pengembangan vascular plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua
dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan
elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta
mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada
akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada
deciduomyometrial junction.11

14
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis
lebih dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti
tahap pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis
serta perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah
pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong
yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan.11,12
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri
spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal
tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis
yang berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding muskulo-elastis
yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.12

15
Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan
hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada
kehamilan normotensi

Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis)


pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil
atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan
aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada
plasenta.11,12
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri
spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah

16
intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini
dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi.11,12
b. Disfungsi endotel ibu dan perubahan hemodinamik
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel
yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh
enzim siklooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel
otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.12
Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat
dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasokonstriktor
dan agregasi trombosit. Prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme pengaturan interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah.12
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,
plasenta, dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi
prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio
tromboksan A2 : prostasiklin.12
Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel sehingga akan
mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentukan prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai
kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan
dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan
aktivitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini
sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan
prostasiklin.11,12
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan
produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan

17
pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan
kerusakan endotel.12
c. Peradangan dan perubahan imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis
sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi
penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang
dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada
50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.11
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi
oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal
bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang
berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah
sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan
akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan.12

Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia


Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan
kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan

18
pembentukan lipid perioksida yang akan membuat radikal bebas lebih toksik
dalam merusak sel endotel. Hal ini akan menyebabkan gangguan produksi
nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan mempengaruhi keseimbangan
prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan produksi tromboksan
A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler.12
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag
lipid laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia)
serta peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).
Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah
terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas.
Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari
radikal bebas diantaranya vitamin E (α-tokoferol), vitamin C dan β-caroten.
Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan perusakan sel akibat
pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.12
d. Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut
berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan
adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita
yang dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan
eklampsia.12 Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan
antara histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga
ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih
tinggi terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin
growth restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut.
3.3.4 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ditemukan adanya hipertensi,
proteinuria, dan edema (edema yang dimaksud adalah pada wajah, lengan dan perut,
atau generalisata). Preeklampasia ringan ditegakkan apabila ditemukan:

19
- Tekanan darah ≥ 140 mmhg atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg
atau tekana diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat
selama 30 menit.
- Proteinuria ≥300 mg dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan +1, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
- Edema (edema yang dimaksud adalah pada wajah, lengan dan perut, atau
generalisata).
Preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan gejala berikut:10
- Tekanan darah sistolik ≥ 169 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg
- Proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥3 pada tes celup
- Oligouria (< 500 ml dalm 24 jam)
- Kenaikan kadar kreatinin plasma
- Sakit kepala hebat atau gangguan penglihatan
- Edema paru atau sianosis
- Trombositopenia
- Pertumbuhan janin terhambat
- Sindrom HELLP (Hemolytic, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet
Count)
Bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa gejala
dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan
kenaikan tekanan darah yang progresif, dikatakan pasien tersebut menderita
impending preeclampsia. Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gajala-gejala
preeklampsia disertai kejang atau koma. 4,10
Pemeriksaan penunjang meliputi10:
- Darah rutin: trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit dengan cepat
- Urinalisis
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif
- Kimia darah
Kenaikan kadar kreatinin plasma

20
- Fungsi hati
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu:
1. Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar kekanan atau
kekiri.
2. Tingkat kejangan tonik
Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajah
kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke dalam. Pernafasan
berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit. Stadium ini akan
disusul oleh tingkat kejangan klonik.
3. Tingkat kejangan klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka
dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol Dari mulut
keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan kongesti dan sianotis. Setelah
kejang terhenti, pasien bernafas dengan mendengkur.
4. Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan penderita biasa
menjadi sadar lagi.
3.3.5 Penatalaksanaan10,13
1. Preeklampsia ringan
Tujuan utama perawatan preeklampsia yaitu mencegah kejang, perdarah
intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital dan melahirkan bayi sehat.
 Rawat jalan (ambulator)
Ibu hamil dengan preeklamsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan.
Dianjurkan ibu hamil banyk istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak
harus mutlak selalu tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu,
tirah baring dennan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena
kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan
21
mencambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah
ke organ-organ vital. Diet pada preeklamsia tidak perlu dilakukan restriksi
garam sepajang fungsi ginjal masih baik. Diet yang mengandung 2 g
natrium atau 4-6 Nacl (garam dapur) sudah cukup. Obat-obatan seperti
diuretik, antihipertensi dan sedatif tidak diberikan.
 Rawat inap
Kriteria preeklamsia ringan dirawat di rumah sakit ialah:
1. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu
2. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklamsia berat
Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa USG dan Doppler juga perlu
dilakukan.
 Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Pada kehamilan preterm, bila tekanan darah mencapai normotensif,
selama perawatan, persalinannya ditunggu ampai aterm.
Pada kehamilan aterm, persalinan ditunggu sampai onset persalinan atau
dipertimbangkan dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan.
2. Preeklampsia berat
Perawatan dan pengobatan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit
organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Perawatan preeklamsia berat
dinilai dari 2 aspek yaitu sikap terhadap penyakitnya dan kehamilannya.
Perawatan terhadap penyakit yaitu penderita harus segera masuk rumah sakit
untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang
penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia
dan eklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.
Oleh sebab itu monitoring input dan output cairan sangatlah penting. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
22
Pemberian obat anti kejang yang menjadi pilihan ialah MgSO4. Syarat
pemberian MgSO4 yaitu harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10% (10%=1 g dalam 10 cc) diberikan iv 3-5 menit, refleks
patella positif kuat dan frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda
distres pernafasan. Cara pemberian MgSO4 dibagi menjadi 2 tahap, yaitu loading
dose dan maintenance dose. Loading dose berupa 4 gram MgSO4 (40% dalam 10cc)
selama 15 menit secara intravena. Maintenance dose berupa pemberian infus MgSO4
sebanyak 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam atau diberikan sebanyak 4 gram secara
intramuskular tiap 4-6 jam.10 Berdasarkan standard prosedur operasional RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau, pemberian MgSO4 dilakukan dengan cara, yaitu 10
gram (40cc MgSO4 20% atau 25 cc MgSO4 40% dilarutkan kedalam 500 RL, 200 cc
diberikan sebagai insial dose dalam waktu 15 menit, sisanya 300 cc untuk
maintanance dose dengan tetesan 30 tetes per menit (2 gr/jam). Magnesium sulfat
dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam pasca persalinan atau 24
jam setelah kejang terakhir.14
 Diuretikum diberikan juga ada edema paru, gagal jantung kongestif atau
anasarka. Diuretikum yang digunakan yaitu furosemid.
 Antihipertensi
Berdasarkan Cochrane Review, pemberian antihipertensi pada preeklamsia
ringan maupun berat tidak jelas kegunaannya. Pemberian antihipertensi diserahkan
kepada klinikus masing-masing tergantung pengalaman dan pengenalan dengan obat
tersebut.
Sikap terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif maupun konservatif.
1. Perawatan aktif: sambil diberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini:
Ibu:
a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda/gejala impending eklampsia
c. Kegagaln terapi pada perawatan konservatif
d. Diduga terjadi solusio plasenta
23
e. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin:
a. Adanya tanda-tanda fetal distress
b. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)
c. NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
d. Terjadinya oligohidramnion
e. Adanya tanda-tanda HELLP sindrom khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat
2. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
3. Eklampsia
Perawatan eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi
vital, mengatasi kejang dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan
asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan
tekanan darah khusunya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada
waktu yang tepat dan dengaan cara yang tepat. Pilihan pertama obat anti
kejang yaitu magnesium sulfat. Cara pemberiannya sama seperti pada
preeklamsa berat. Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama
pertolongan mencegah terjadinya trauma akibat kejang tersebut. Jika pasien
jatuh ke dalam kondisi koma, yang harus diperhatikan adalah menjaga jalan
nafas agar tetap terbuka dan aspirasi lambung. Jika terjadi edema paru,
sebaiknya pasien dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan dengan
respirator.
Sikap terhadap persalinan ialah dengan terminasi kehamilan tanpa
memandang umur maupun keadaan janin.
4. Sindroma HELLP
Penatalaksanaan sindroma HELLP sama dengan preeklamsia-eklamsi dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit
<50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa

24
waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pemberian
deksametason rescue pada anterpartum diberikan dalam bentuk double
strength dexamethasone (double dose). Jika didapatkan kadar trombosit <
100.000/ml atau trombosit 100.000 – 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda
eklamsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason
10 mg i.v tiap 12 jam. Pada postpartum, dekasametason diberikan 10 mg i.v
tiap 12 jam 2 kali kemudian diikuti 5 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi
deksametason dhentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu
trombosit > 100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-
gejala klinik preeklamsia-eklamsia. Dapat dipertimbangkan pemberian
transfusi trombosit bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.
3.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin, usaha utama
ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Berikut
adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada preeklampsia berat dan
eklampsia :4,10
a. Solutio plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.
b. Hipofibrinogemia, kadar fibrin dalam darah yang menurun.
c. Hemolisis, penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan
plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.
d. Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
maternal penderita eklampsia
e. Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung selama seminggu.
f. Edema paru, pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena penyakit
jantung.
g. Nekrosis hati, nekrosis periportan pada preeklampsia, eklamsi merupakan
akibat vasopasmus anterior umum. Kelainan ini diduga khas untuk
eklampsia.

25
h. Sindrome HELLP, Hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelete
count.
i. Kelainan ginjal, kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu
pembengkakkan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan
struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal
ginjal.
j. Komplikasi lain, lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh akibat
kejang-kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated Intravascular
Coogulation)
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uteri.
3.3.7 Prognosis
Penderita preeklampsia/eklampsia yang terlambat penanganannya
akan dapat berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat
terjadi perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, gagal
ginjal, aspirasi isi lambung saat kejang. Pada janin dapat terjadi kematian
karena hipoksia intrauterin dan kehamilan prematur.

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Apakah diagnosis G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB, dispnea
ec edema paru, primigravida tua, janin tunggal hidup intrauterin pada pasien
sudah tepat?
4.2 Apakah faktor resiko terjadinya PEB pada pasien ini?
4.3 Apakah tatalaksana pada pasien sudah sesuai?
4.4 Bagaimana pemeriksaan kehamilan pada pasien ini dan bagaimana alur
rujukannya?

4.1 Apakah diagnosis G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB,
dispnea ec edema paru, primigravida tua, janin tunggal hidup intrauterin pada
pasien sudah tepat?
Hamil 39-40 minggu
Usia kehamilan pada pasien yaitu 39-40 minggu ditentukan dari HPHT yaitu
25 Oktober 2017. Dengan menggunakan rumus Naegele didapatkan taksiran
persalinan adalah tanggal 1 Agustus 2018. Sehingga usia kehamilan pasien saat
datang ke RSUD AA adalah 39 minggu + 6 hari. Usia kehamilan juga didapatkan dari
anamnesis, yaitu pasien merasakan gerakan janin sejak 5 bulan yang lalu (saat usia
kehamilan 4 bulan). Dari pemeriksaan Leopold didapatkan L1 kesan bokong dengan
TFU 3 jari dibawah prosessus xyphoideus, L2 kesan PUKA, L3 kesan kepala, dan L4
konvergen (5/5). TFU 3 jari sesuai dengan usia kehamilan 38-40 minggu. Usia
kehamilan juga dapat ditentukan menurut Spiegelberg yang diperoleh dari tinggi
fundus uteri. Pada pasien didapatkan tinggi fundus uteri 34 cm yang sesuai dengan
usia kehamilan berkisar 38 minggu.8 Namun berdasarkan HPHT, gerakan janin dan
leopold, usia kehamilan pada pasien sesuai dengan 39-40 minggu. Sehingga
seharusnya tinggi fundus uteri (TFU) pasien adalah 37,7 cm di atas simfisis. Hal ini
dapat terjadi akibat kurang tepat pengukuran TFU saat pemeriksaan. Berdasarkan

27
anamnesis dan pemeriksaan pada pasien dapat disimpulkan usia kehamilannya adalah
39-40 minggu. Diagnosis kehamilan pada pasien ini sudah tepat.
Belum Inpartu
Pada pasien ini dicantumkan diagnosis belum inpartu. Tanda-tanda
inpartu pada kehamilan terdiri dari adanya rasa nyeri oleh adanya his yang
datang lebih kuat, sering dan teratur, keluar lendir bercampur darah (show)
yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks.9 Tanda-tanda
tersebut tidak ditemukan pada pasien sehingga ditegakkannya diagnosis
belum inpartu sudah tepat.
PEB
Berdasarkan anamnesis pada pasien didapatkan pasien sudah menderita
hipertensi sebelum kehamilan sekitar 7 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan IMT 32 (obesitas grade II), tekanan darah 190/120 mmHg. Pada
pemeriksaan labor didapatkan proteinuria +2 (dipstick test).
Pemeriksaan proteinuria dengan dipstick test sebaiknya digunakan hanya
untuk skrining. Hal ini dikarenakan angka positif palsu sangat tinggi. Sehingga harus
dikonfirmasi dengan cara menampung urin selama 24 jam (Esbach test), dikatakan
positif jika hasilnya lebih dari positif 4 atau 5 g/24 jam.4,10
Namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan Esbach test tersebut dikarenakan
pasien sudah memenuhi kriteria terminasi sehingga dilakukan pemeriksaan
proteinuria semi kuantitatif menggunakan dipstick test.
Berdasarkan data-data yang diperoleh, diagnosis pasien ini lebih cenderung ke
hipertensi kronik dangan superimposed preeklampsia. Temuan yang diperoleh pada
pasien cocok dengan superimposed preeklampsia, yaitu hipertensi kronik yang
disertai tanda-tanda preeklampsia atau proteinuria.4,10
Dispnea ec edema paru
Dispnea ec edema paru ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pasien merasakan
sesak, dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 32 kali permenit,
auskultasi diperoleh adanya ronkhi dan wheezing, dan dari foto thoraks

28
dperoleh kardiomegali dengan edema paru. Hal ini kemungkinan memiliki
hubungan terhadap preeklampsia yang dialami pasien. Pasien hamil dengan
hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia memiliki tekanan darah
yang tinggi. Hipertensi kronik dapat menyebabkan kerja jantung meningkat
dalam waktu yang cukup lama sehingga terjadi hipertrofi otot jantung yang
dari foto thoraks tampak gambaran kardiomegali. Pasien hamil mengalami
peningkatan volume darah dan bendungan pada hamil tua juga cukup tinggi.
Hal ini dapat menjadi faktor yang lebih memperberat kerja jantung sehingga
terjadi kongesti yang dapat menyebabkan edema paru.
Infertilitas primer
Diagnosis infertilitas primer pada pasien ini dinilai sudah tepat. Alasannya
ialah pasien ini memenuhi kriteria infertilitas primer, yaitu kegagalan suatu pasangan
untuk mendapatkan kehamilan sekurang kurangnya dalam 12 bulan berhubungan
seksual secara teratur tanpa kontrasepsi.15,18
Penilaian faktor resiko terjadinya infertilitas primer pada pasien membutuhkan
data yang lebih lengkap. Misalnya, adakah pekerjaan pernah digeluti pasien dan
suami yang mempengaruhi kesuburan, tempat tinggal, makanan, kebiasaan. Faktor-
faktor resiko tersebut tidak ditemukan pada pasien ini.
Primigravida tua
Berdasarkan anamnesis, pasien hamil pertama kali di usia 38 tahun. Pasien ini
memenuhi kriteria primigravida tu, yaitu keadaan dimana seorang wanita mengalami
masa kehamilan untuk pertama kalinya di atas usia 35 tahun.
Wanita hamil usia di atas 35 tahun memiliki faktor resiko 1,5 kali lipat lebih
tinggi. Hal ini berkaitan salah satunya adalah penuaan pembuluh darah uterus. Selain
itu, pada wanita ini sudah muncul arteriosklerosis yang merupakan salah satu faktor
pemicu terjadinya hipertensi.20

4.2 Apakah faktor resiko terjadinya PEB pada pasien ini?

29
Beberapa faktor resiko terjadinya PEB terdiri dari primigravida,
primipaternitas, hiperplasentosis, umur ekstrim, penyakit ginjal atau hipertensi
sebelum hamil, obesitas.8,10
Pada pasien terdapat empat faktor resiko PEB yaitu primigravida, umur
ekstrim yaitu 38 tahun, hipertensi sebelum hamil, dan obesitas grade II. Obesitas
meningkatkan resiko preeklampsia sekitar 2-3 kali lipat. Hal ini berkaitan dengan
resistensi insulin, peningkatan CRP sebagai enzim inflamasi akibat banyaknya jumlah
lemak yang merupakan bahan sintesis enzim tersebut, stress oksidatif, faktor
angiogenik, dan menurunnya sintesis nitrit oksida (sebagai vasodilator).19

4.3 Apakah tatalaksana pada pasien sudah sesuai?


O2 NRM 10 l/menit dan MgSO4
Penanganan pada pasien ini berupa pemberian O2 NRM 10 l/menit dan
MgSO4 40% dalam infus ringer laktat, loading dose 4 gram, selanjutnya maintenance
2 gram/jam. Keterangan pemberian MgSO4 pada pasien masih kurang dalam
penjelasannya. Seharusnya pemberian loading dose 4 gram ditentukan waktu dan
jumlah tetesan, begitu juga dengan maintenance dose.
Menurut standar prosedur operasional RSUD Arifin Achmad seharusnya pada
pasien baring tirah baring diberikan oksigen 6 liter/menit. Pemberian terapi MgSO 4
dengan cara 8 gram (40cc MgSO4 20% atau 20 cc MgSO4 40% dilarutkan kedalam
500 RL, 250 cc diberikan sebagai insial dose dalam waktu 15 menit, sisanya 250 cc
untuk maintanance dose dengan tetesan 30 tetes per menit (2 gr/jam) selanjutnya 8 gr
(40 cc MgSO4 20% atau 20 cc MgSO4 40%) dilarutkan kedalam 500 cc RL 30
tetes/menit.14 Tetapi, protap ini sebenarnya tidak sesuai dengan yang dikerjakan di
RSUD Arifin Achmad sehari-harinya dalam penanganan preeklampsia.
Tata laksana lini pertama untuk pasien dengan superimposed preeklampsia
seperti pada pasien ini ialah dengan memberikan MgSO4. Terapi MgSO4 juga
diberikan pada pasien PEB, HELLP syndrome maupun eklamsia Hal ini ditujukan
untuk mengurangi kepekaan syaraf pusat agar dapat mencegah konvulsi, menambah

30
diuresis dan menurunkan pernafasan yang cepat. 10 Magnesium sulfat bekerja dengan
cara menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium akan menggeser kalsium
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Sampai saat ini magnesium sulfat dipilih
sebagai pilihan utama obat anti kejang.4
Nifedipin
Pemberian nifedipin sebagai anti hipertensi yang direkomendasikan
pada preeklampsia dengan hipertensi berat atau tekanan darah ≥160/110
mmHg.12 Pada pasien tekanan darah mencapai 190/120 mmHg sehingga
pemberian nifedipin sudah tepat.
Nifedipin merupakan obat hipertensi golongan kalsium channel
blocker derivat dihidropiridin. Obat ini bekerja dengan menghambat
masuknya ion Ca2+ ke intra sel sehingga akan menghambat terjadinya
kontraksi sel otot polos jantung dan pembuluh darah. Akibatnya akan terjadi
penurunan cardiac output dan heart heart. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan darah. Nifedipin bekerja cepat yaitu dalam
waktu 10 menit dengan efek maksimal setelah 30-40 menit. Obat ini dapat
dengan cepat menurunkan tekanan darah, sehingga penggunaan dapat diulang
3-4 kali. Pemberian nifedipin sebaiknya secara oral karena bioavabilitas
mencapai 40-60%.4
Furosemid
Pemberian furosemid dinilai sudah tepat. Furosemid pada pasien ini
bertujuan untuk mengurangi akumulasi cairan pada tubuh yang akhirnya akan
berefek mengurangi edema paru.
Terminasi
Terminasi dinilai sudah tepat. Alasannya ialah pasien mengalami
superimposed preeklampsia. Terminasi yang dipilih adalah melalui perabdominal
sebab kondisi pasien saat itu belum inpartu.

31
4.4 Bagaimana pemeriksaan kehamilan pada pasien ini dan bagaimana alur
rujukannya?
ANC
Pada pasien dengan riwayat hipertensi sebaiknya dilakukan penilaian faktor
resiko preeklampsia sebagai pencegahan primer. Faktor resiko tersebut terdiri dari
penilaian anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis dapat dinilai :16
1. Umur ≥40 tahun
2. Nulipara
3. Multipara dengan riwayat preeklamsia sebelumnya
4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
5. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
6. Riwayat preeklamsia pada ibu atau saudara perempuan
7. Kehamilan multipel
8. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
9. Hipertensi kronik
10. Penyakit ginjal
11. Sindrom antifosfolipid
12. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio, dan
13. Obesitas sebelum hamil
Sedangkan dari pemeriksaan fisik dapat dinilai:16
1. Indeks massa tubuh (IMT) >35,
2. Tekanan darah diastolik >80 mmHg, dan
3. Proteinuria (dipstick >+1 atau secara kuantitatif >300 mg/24 jam).
Berdasarkan kelompok resiko, terdapat tiga jenis kehamilan beresiko yaitu
Kehamilan Risiko Rendah/KRR dengan jumlah skor 2 (selama hamil tanpa faktor
risiko), Kehamilan Risiko Tinggi /KRT dengan jumlah skor 6-10 (dapat dengan
faktor risiko tunggal dari kelompok FR I, II atau III dan dengan faktor risiko ganda 2
dari FR I dan II) serta Kehamilan Risiko Sangat Tinggi/KRST pada ibu dengan
jumlah skor ≥12 (ibu hamil dengan faktor risiko ganda dua atau tiga dan lebih).17

32
Pada pasien ini didapatkan lima faktor resiko, yaitu nullipara, hipertensi
kronik, obesitas sebelum hamil dengan IMT 32, tekanan darah diastolik 120 mmHg,
dan terdapat proteinuria +2. Selain itu, pasien memiliki skor 10 berdasarkan
kelompok FR, yaitu sedang hamil (skor 2), primi tua (skor 4), penyakit ibu berupa
hipertensi kronik (skor 4). Pasien dikategorikan APGO (Ada Potensi Gawat
Obstetrik). Hal ini menunjukkan sejak awal kehamilan pasien sudah memiliki faktor
resiko untuk terjadinya preeklampsia, seharusnya pasien melakukan ANC sekali
sebulan atau jika keluhan bertambah. Pada pasien juga perlu untuk dipantau tekanan
darahnya, sehingga dapat menghindari kemungkinan perburukan penyakit serta
perburukan kondisi janinnya.16
Pada pasien saat masuk RSUD Arifin Achmad, terdapat beberapa resiko yaitu
a) sedang hamil (skor 2), b) kelompok FR I: primi tua (skor 4), c) FR II yaitu
penyakit ibu berupa hipertensi kronik (skor 4) dan d) FR III yaitu PEB (skor 8).
Berdasarkan hal tersebut, pada pasien terdapat skor 18 sehingga termasuk ke
Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST).
Dalam kasus ini, pasien jarang menlakukan kontrol kehamilan. Hal ini
mengakibatkan faktor-faktor resiko yang dimiliki pasien sulit dikendalikan.
Sistem Rujukan
Sistem rujukan merupakan sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang
timbul secara horizontal maupun vertikal. Sistem rujukan terdiri dari Rujukan
Terencana (Rujukan Dini Berencana dan Rujukan Dalam Rahim) serta Rujukan Tepat
Waktu (RTW). Rujukan Dini Berencana ditujukan untuk pasien dengan Ada Potensi
Gawat Obestetrik (APGO) dan Ada Gawat Obstetrik (AGO), sedangkan Rujukan
Dalam Rahim ditujukan untuk janin resiko tinggi masih sehat, misalnya kehamilan
dengan riwayat obstetrik jelek pada ibu DM, partur prematurus iminens. Untuk ibu
dengan adanya gawat darurat obstetrik, membutuhkan RTW dalam penyelamatan
ibu/bayi baru lahir.17 Berdasarkan kelompok resiko kehamilan, pasien ini termasuk ke
kehamilan dengan resiko sangat tinggi dan adanya gawat darurat obstetrik. Oleh
sebab itu, pasien yang masuk kategori APGO ini seharusnya sudah direncanakan

33
untuk dilakukan Rujukan Dini Berencana sebelum terjadinya PEB. Kemudian, jika
telah terjadi PEB yang merupakan kelompok FR III AGDO, seharusnya sistem
rujukan pada pasien adalah Rujukan Tepat Waktu.

34
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

1. G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB, dispnea ec edema


paru, JTHIU, presentasi kepala, anak mahal yang ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dinilai masih
kurang tepat. Pasien lebih cenderung ke diagnosis hipertensi kronik
dengan superimposed preeklampsia.
2. Superimposed preeklampsia pada pasien ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor resiko yaitu primigravida, umur >35 tahun, hipertesni
kronik, dan obesitas grade II.
3. Tata laksana yang diberikan pada pasien ini adalah tatalaksana
farmakologis yaitu MgSO4, furosemid dan nifedipin serta terminasi
kehamilan secara perabdominal (sectio cesarea).
4. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah dengan
memantau kondisi ibu maupun janin dan menilai faktor resiko melalui
ANC sejak awal kehamilan dan mengikuti alur rujukan yang sesuai untuk
menghindari komplikasi yang dapat terjadi.

5.2 Saran

1. Penegakkan diagnosis PEB pada pasien ini belum tepat. Sebaiknya lebih
dipertajam kembali mana yang termasuk PEB dan superimposed
preeklampsia.
2. Faktor resiko sebaiknya dapat dideteksi secara dini oleh pelayanan
kesehatan primer sehingga pasien segera mendapatkan tatalaksana yang
cepat dan tepat.
35
3. Penatalaksanaan pada pasien akan lebih baik jika ditangani oleh
multidisiplin ilmu. Protap regimen terapi MgSO4 RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau harus ditilik dan dipertimbangkan untuk direvisi.
4. Pasien dan janin sebaiknya dipantau melalui ANC sejak awal kehamilan
dan mengikuti alur rujukan yang sesuai sehingga komplikasi dapat
dicegah.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin AB. Kematian Ibu Dam Perinatal. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI. Pus Data dan Inf Kementrian Kesehat RI Penyebab Kematian
Ibu. Jakarta: 2014.

3. Ministry of Health Republic of Indonesia. Health Profile of Indonesia


2016.Jakarta: Ministry of Health Republic of Indonesia; 2017.

4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM,
Spong CY. William Obstetrics. 25th Edition. United States: Mc-Graw Hill
Education; 2018.

5. Dennis AT, Solnordal CB. Acute pulmonary oedema in pregnant women.


Anaesthesia. 2012;67(6):646-659.

6. Wardhana MP, Dachlan EG DG. Pulmonary edema in preeclampsia: an


Indonesian case-control study. J Matern Fetal Neonatal Med. 2018;6:689-695.

7. Adriaansz G, Hanafiah TM. Diagnosis Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S.


Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH,
editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

8. Sofian A. Sinopsis Obstetri Rustam Mochtar Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 2015.

9. Manuaba IBG, Manuaba C, dan Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.

10. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu


Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

37
11. Silver HM, et al. Mechanism of increased maternal serum total aktivin A and
inhibin A in preeklampsia. J Soc Gynecol Investig. 2002. p. 308-12.

12. Young BC, Levine RJ, Karumanchi A. Preeclampsia and Angiogenic Factors.
Annual Reviews; 2010. p. 176-85.

13. Kementerian Kesehatan RI, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.


Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.

14. RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Standar Prosedur Operasional


Pengelolaan Preeklampsia Berat. Pekanbaru: 2017.

15. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran


Fetomaternal. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan
Tatalaksana Pre Eklamsia. Jakarta: 2016.

16. Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi 3.


Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011.

17. Rochjati P. Pelayanan Kebidanan di Indonesia. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu


Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

18. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).


Konsensus Penanganan Infertilitas. Jakarta: 2013.

19. Jeyabalan A. Epidemiology of Preelampsia: Impact of Obesity. Nut Rev.


2013;71(0 1):1-14.

20. Lamminpää R, Vehviläinen-Julkunen K, Gissler M, Heinonen S. Preeclampsia


complicated by advanced maternal age: a registry-based study on primiparous
women in Finland 1997-2008. BMC Pregnancy Childbirth. 2012;12:2-6.

38
39

Anda mungkin juga menyukai