Anda di halaman 1dari 61

Laporan Kasus

G1P0A0 HAMIL 39-40 MINGGU, BELUM INPARTU,


PREEKLAMSIA BERAT, DISPNEA EC EDEMA PARU,
INFERTILITAS PRIMER 18 TAHUN, PRIMIGRAVIDA TUA,
JANIN TUNGGAL HIDUP INTRAUTERIN, PRESENTASI
KEPALA, ANAK MAHAL

Disusun oleh :

DANA IRNANDA NURUL SHAFARANI


ELSA PUSPITA RACHMALIZA
ERWIN SYAHPUTRA RIKA WANDARI
FITRIKA ASMARITA SARI WAHYU
GUSTIEN ENDERINA SUCI AMALIA
HELNI SIPAYUNG WAHYUDI
M. QURAISH SHIHAB WINA ASTARI
NIA PERMATASARI
Pembimbing :

dr. H. Noviardi, Sp.OG(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Kematian ibu menurut definisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau

dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang

terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan

disebabkan oleh kecelakaan atau cedera. Indikator yang umum digunakan dalam

kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu (AKI)/ Maternal Mortality Ratio yaitu

jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran hidup.1,2 Survei Penduduk Antar

Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan AKI sebanyak 305 kematian ibu per

100.000 kelahiran hidup.3

Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung.

Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan atau

masa nifas dan penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak

langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul

sewaktu kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit

kardiovaskular. Secara global sekitar 80% angka kematian ibu tergolong pada

kematian ibu langsung. Pola penyebab langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan

(25%), sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%),

komplikasi aborsi tidak aman (13%), dan sebab-sebab lain (8%).1

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari lima penyebab

terbanyak untuk kematian ibu. WHO mengulas secara sistematis Angka Kematian Ibu

terutama di negara berkembang yang mana 16% kematian ibu berkaitan dengan
1
hipertensi.4 Angka kejadian hipertensi dalam kehamilan menyebabkan kematian ibu

di Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 adalah 26,9% dan 27,1%.2

Salah satu bentuk hipertensi dalam kehamilan adalah preeklampsia.

Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan vasospasme,

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi organ yang

ditandai adanya hipertensi, proteinuria, dan edema yang timbul karena kehamilan.1

Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang

dikandungnya. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain adalah sindroma

HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan

ginjal, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa

kelahiran prematur, gawat janin, berat badan lahir rendah atau Intra Uterine Fetal

Death (IUFD).1,4

Edema paru pada wanita hamil jarang terjadi, namun hal ini mengancam

nyawa.5 Edema paru dapat terjadi akibat dari komplikasi preeklamsia. Suatu

penelitian di salah rumah sakit rujukan di Jawa Timur selama 2 tahun memaparkan

adanya 62 kasus edema paru dari 1106 pasien dengan preeklamsia. Sekitar 81%

pasien edema paru ini harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan 60%

membutuhkan alat bantu ventilasi mekanik.6

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. R Nama suami : Tn. S

Usia : 38 tahun Usia : 40 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam Agama : Islam

Suku : Melayu Suku : Melayu

Alamat : Meranti Alamat : Meranti

No MR : 99 26 73

2.2 ANAMNESIS

Pasien datang ke VK IGD RSUD AA Pekanbaru pada tanggal 31 Juli 2018

pukul 01.10 WIB.

 Keluhan utama

Sesak napas yang semakin memberat.

 Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin memberat sejak 5 jam

SMRS. Sesak napas dirasakan terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba.

Sesak napas tidak berkurang dengan istirahat ataupun perubahan posisi, tidak

3
dipengaruhi debu ataupun suhu lingkungan. Tidak ada keluhan nyeri kepala,

terdapat keluhan mual muntah, pandangan kabur dan demam tidak ada.

Keluhan keluar air-air, keluar lendir darah, keluhan mulas-mulas, dan

keinginan untuk mengejan tidak dirasakan pasien. Gerakan janin aktif (+).

Pasien merasa hamil 9 bulan, dengan HPHT 25 Oktober 2017, TP 01

Agustus 2018 sesuai usia kehamilan 39-40 minggu. Pasien merupakan

rujukan dari salah satu RS swasta di Pekanbaru dengan G1P0A0 hamil 39-40

minggu belum inpartu dengan PEB + dispnea ec suspek edema paru. Awalnya

pasien ke RS tersebut untuk melakukan kontrol kehamilan. Setelah

pemeriksaan, didapatkan tekanan darah pasien tinggi yaitu 160/100 mmHg.

Pasien juga mengeluhkan sesak napas dan muntah-muntah. Pasien dirawat,

kemudian pasien dirujuk ke RSUD Arifin Achmad karena ICU di RS ini

penuh dan untuk tindakan lebih lanjut.

Pasien mengatakan melakukan kontrol kehamilan di bidan dan RS

swasta tersebut dengan Sp.OG. ANC dilakukan sebanyak 2 kali pada

kehamilan 3 bulan pertama dan USG sudah pernah dilakukan dengan hasil

janin dalam keadaan baik. Pada saat kontrol didapatkan tekanan darah pasien

tinggi hingga pernah mencapai 160/100 mmgHg. Pasien diberikan obat

penurun tekanan darah dan vitamin tambah darah oleh dokter dan disarankan

untuk mengatur pola makan serta aktivitas. Pasien mengaku gerakan janin

mulai dirasakan pada usia kandungan 4 bulan.

4
Selama kehamilan pasien tidak ada mengeluhkan demam (-), gigi

berlubang (-), batuk pilek (-), keputihan (-), nyeri saat BAK (-) dan selama

hamil tekanan darah pasien tinggi.

 Riwayat Hamil Muda

Mual (+), muntah (+), tekanan darah tinggi (+), diabetes mellitus (-),

perdarahan (-), keputihan (-).

 Riwayat Hamil Tua

Mual (-), muntah (-),tekanan darah tinggi (+), perdarahan (-), keputihan (-).

 Riwayat Prenatal Care

Kontrol kehamilan di Bidan dan dokter Sp.OG, ANC dilakukan 2 kali pada

kehamilan 3 bulan pertama dan sudah pernah USG dengan hasil janin dalam

keadaan baik. Pada saat kontrol didapatkan tekanan darah ibu tinggi. Pasien

diberikan obat penurun tekanan darah dan disarankan oleh dokter untuk

mengatur pola makan serta aktivitas.

 Riwayat Minum Obat

Konsumsi vitamin penambah darah dari dokter spesialis kandungan.

Konsumsi obat penurun tekanan darah namun tidak teratur.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (+) sejak 7 tahun yang lalu dan tidak pernah diobati, asma

(-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-), kelainan darah (-) dan alergi (-).

 Riwayat Penyakit Keluarga

5
Hipertensi (+) pada ayah pasien, asma (-), diabetes mellitus (-), penyakit

jantung (-), kelainan darah dan alergi disangkal.

 Riwayat Menstruasi

Haid pertama kali pada usia 12 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama haid 5-

7 hari, ganti pembalut 2-3 kali setiap harinya, dan tidak ada keluhan nyeri

pada saat haid.

 Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, tahun 2000 usia 20 tahun sampai sekarang.

 Riwayat Obstetri

Pasien belum pernah hamil selama 18 tahun menikah. Tidak pernah berobat

ke dokter untuk memperoleh kehamilan.

1. 2018/ Hamil ini

 Riwayat KB

Tidak pernah KB

 Riwayat sosial ekonomi

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SMA.

Suami pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan pendidikan terakhir SMA.

Pasien tidak memiliki hewan peliharaan seperti kucing dan anjing di rumah.

Pasien tidak tinggal di sekitar industri, Sebelum dan selama menikah, pasien

dan suami tidak pernah bekerja di daerah industri. Pasien dan suami tidak

pernah berobat ke dokter untuk keluhan lamanya tidak memiliki anak.

6
2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 190/120 mmHg

Nadi : 112 x/menit

Pernapasan : 32 x/menit

Suhu : 36,50 C

TB : 150 cm

BBSH : 72 kg

BBH : 82 kg

IMT : 32 kg/m2 (obesitas grade II)

Status Generalis

Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan peningkatan JVP tidak

ditemukan

Jantung : Kardiomegali, S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, vesikuler (+/+),

ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen : Status obstetrikus

Genitalia : Status obstetrikus

Ekstremitas : Edema (+/+) ekstremitas inferior, akral hangat, CRT <2

detik, sianosis (-/-)


7
Status obstetrikus

Muka : Kloasma gravidarum (-)

Mammae

Inspeksi : Papila mammae tidak menonjol, corpus mammae simetris,

tanda-tanda radang (-), retraksi (-), inverted nipple (-), areola

mammae hiperpigmentasi, tidak ada retraksi dan tidak ada

menyerupai kulit jeruk.

Palpasi : Corpus mammae nyeri (-), benjolan (-), areola mammae tidak

mengeluarkan ASI, teraba kenyal

Abdomen

Inspeksi : Tampak membuncit, hiperpigmentasi linea alba (+), striae

gravidarum (+),

Palpasi : Leopold I : - TFU 3 jari dibawah prosesus xiphoideus

- Teraba massa lunak, bulat, tidak melenting,

kesan bokong

Leopold II : Pada sisi kanan abdomen ibu teraba tahanan

memanjang, kesan punggung

Leopold III : Teraba massa keras, bulat, melenting, kesan

kepala

Leopold IV : Konvergen (5/5)

TFU : 34 cm

His : Tidak ada

TBJ klinis : 3255 gram


8
DJJ : 134 x/menit

Pemeriksaan Genitalia

Genitalia eksterna

Inspeksi : Vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)

Genitalia interna

Inspekulo : Tidak dilakukan

VT : Tidak dilakukan

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG SUDAH ADA

Laboratorium (31 Juli 2018)

Hb : 13,7 g/dl

Hematokrit : 46,3%

Leukosit : 14.490 /ul

Trombosit : 315.000 /ul

Elektrolit : Na+ : 136 mmol/L

K+ : 3,3 mmol/L

Ca++ : 1,11 mmol/L

SGOT : 32 U/L

SGPT : 17 U/L

Ureum : 20 mg/dl (di RSIA swasta Pekanbaru)

Kreatinin : 0,5 mg/dl (di RSIA swasta Pekanbaru)

PT/INR/APTT : 11,9 sec/0,85/29,4 sec

Protein urin : (+2)


9
2.5 RESUME PEMERIKSAAN

Pasien Ny. R, usia 38 tahun, rujukan dari salah satu RS swasta di Pekanbaru

dengan G1P0A0 hamil 39-40 minggu belum inpartu dengan PEB + dispnea ec suspek

edema paru. Pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin memberat sejak 5 jam

SMRS. Sesak napas tidak berkurang dengan istirahat ataupun perubahan posisi, tidak

dipengaruhi debu ataupun suhu lingkungan. Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual

(+), muntah (+), pandangan kabur dan demam tidak ada. Keluhan keluar air-air,

keluar lendir darah, keluhan mulas-mulas, dan keinginan untuk mengejan tidak

dirasakan pasien. Gerakan janin aktif (+).

Pasien merasa hamil 9 bulan, dengan HPHT 25 Oktober 2017, TP 01 Agustus

2018 sesuai usia kehamilan 39-40 minggu. Kontrol kehamilan di bidan dan RS swasta

di Pekanbaru dengan Sp.OG. ANC dilakukan sebanyak 2 kali pada kehamilan 3 bulan

pertama dan USG pernah dilakukan dengan hasil janin dalam keadaan baik. Tekanan

darah tinggi selama hamil (+), tidak rutin minum obat, hipertensi sejak 7 tahun yang

lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 190/120, nadi 112 x/menit, frekuensi

nafas 32 x/menit. Auskutasi paru didapatkan suara nafas vesikuler dengan suara

tambahan ronkhi di kedua lapangan paru. L1 kesan bokong, L2 kesan PUKA, L3

kesan kepala, L4 konvergen 5/5. TFU 34 cm, his (-), TBJ 3.255 gram, DJJ 134 dpm,.

Proteinuria +2 (dipstick).

2.6 DIAGNOSIS KERJA


10
G1P0A0 hamil 39-40 minggu belum inpartu, PEB, dispnea ec suspek edema paru,

infertil primer 18 tahun, janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK YANG DIUSULKAN

- USG Fetomaternal

- Kardiotokografi

- Rontgen thoraks

2.8 TATALAKSANA AWAL

1. Tirah baring posisi semifowler

2. Awasi hemodinamik ibu dan janin

Observasi KU, TTV, his, DJJ

Observasi tanda-tanda gawat janin

Pemasangan kateter urin.

3. Farmakologi :

- Oksigen 10 L/menit via NRM

- IVFD RL 20 tpm

- Terapi regimen magnesium sulfat: MgSO4 40% 8 g (20 cc) dilarutkan

ke dalam 500 cc, loading dose 250 cc pertama selama 15 menit,

maintenance dose 250 cc selanjutnya sebanyak 30 tpm.

- Injeksi Furosemid 2 x 40 mg

- Nifedipin tablet 3x10 mg

4. Rencana terminasi perabdominal


11
2.9 HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil rontgen thoraks PA (02/08/2018)

Cor : CTR> 50%

Pulmo : Corakan bronkovaskuler normal. Infiltrat di perihiler bilateral.

Diafragma dan sinus kostofrenikus normal

Kesan : Kardiomegali dengan edema paru

2.10 DIAGNOSIS PASTI

G1P0A0 hamil 39-40 minggu belum inpartu, PEB, dispneu ec edema paru, infertil

primer 18 tahun, primigravida tua, janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala.

2.11 TATA LAKSANA LANJUTAN

Rencana Tindakan

1. Konsultasi spesialis penyakit dalam dan anestesi.

2. Awasi Hemodinamik Ibu dan Janin

- Observasi KU, TTV, His, DJJ

- Observasi tanda-tanda gawat janin

3. Terminasi kehamilan perabdominal (Sectio Cesarea).

Laporan Tindakan

1. Konsul penyakit dalam : Resiko tindak low-moderate

Konsul anestesi : ACC dilakukan tindakan SC


12
2. Laporan operasi

TANGGAL DAN WAKTU RUANG KELAS


31 Juli 2018 Jam 06.00 WIB OK IGD
DIAGNOSIS PRA OPERASI : G1P0A0H0 hamil 37-38 minggu belum inpartu +
PEB + edema pulmonal + janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala
DIAGNOSIS PASCA OPERASI : P1A0H1 post SCTPP a/i PEB + edema pulmonal+
belum inpartu + infertil primer 18 tahun
JARINGAN YANG DIEKSISI/ INSISI : Uterus
DIKIRIM UNTUK PEMERIKSAAN : Tidak
NAMA JENIS OPERASI : SC TPP
TANGGAL JAM OPERASI LAMA ANESTESI BERLANGSUNG
OPERASI 06.00 WIB s/d -
31 Juli 2018 07.00 WIB
1. Pasien posisi terlentang di atas meja operasi dalam anestesi spinal
2. Septik dan aseptik daerah operasi
3. Insisi pfannienstiel.
4. Abdomen dibuka lapis demi lapis hingga peritoneum.
5. Dilakukan insisi melalui SBR.
6. Amniotomi lalu meluksir kepala lahir bayi laki-laki 2950 g, PB 43 cm, A/S 9/10
7. Plasenta dilahirkan lengkap, tampak komplit intra uterus, dengan berat 450 g.
8. Kemudian SBR dijahit dengan vicryl no 2/0
9. Uterus kondisi baik, fascia dijahit dengan vicryl no 2/0
10. Abdomen ditutup lapis demi lapis
11. Tindakan selesai

13
Telah lahir bayi laki-laki dengan berat 2950 gram, PB 43 cm, AS 9/10, bayi dirawat
dirawat gabung dengan ibu.
INSTRUKSI PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Rawat HCU/ICU
2. Awasi Hemodinamik Stabil
- Observasi KU, TV, TFU, kontraksi, perdarahan
- IVFD D5:RL 2:1 + oksitosin 1 ampul
3. Pasang kateter urin
4. Drip SM 40% maintenance dose
5. Cegah infeksi
- Inj. IV ceftriaxon 2 x 1 gram
6. Inj. IV furosemid 2 x 40 mg
7. Cegah nyeri
- Injeksi IV ketorolac 3 x 30 mg
8. Puasa sampai dengan peristaltik baik
9. Mobilisasi bertahap
10. Balance cairan
11. Cek DPL post op
12. GV hari ke-3
13. Diet TKTP
Observasi Kala IV
Jam TD HR RR T Urin Perdarahan TFU
07.00 150/80 79 20 36,6 20 cc Minimal 2 jari di bawah
14
pusat
2 jari di bawah
07.15 160/80 74 20 36,7 30 cc Minimal
pusat
2 jari di bawah
07.30 160/90 72 20 36,6 35 cc Minimal
pusat
2 jari di bawah
07.45 165/90 78 20 36,8 50 cc Minimal
pusat
2 jari di bawah
08.00 160/90 80 20 36,9 55 cc Minimal
pusat

2.12 Follow up
Tanggal/ Perjalanan Penyakit Terapi
Jam
01 S : Nyeri di daerah bekas operasi (+), sesak napas Observasi KU, TTV,
Agustus sudah berkurang, demam (-), BAB (-), BAK (+) Kontraksi.
2018 lewat kateter, ASI (-) Oksigen 10 L/menit via
07.00 O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos NRM
WIB mentis IVFD RL 20 tpm
TD : 150/100 mmHg N : 112x/I RR : 28x/I S : Injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr
36,70C Injeksi furosemid 2 x 40 mg
St. Generalis: dalam batas normal Injeksi ketorolac 3 x 30 mg
St. Lokalis: Nifedipin tablet 3x10 mg
St. Obstetri: TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi Metildopa 3 x 250 mg
baik.
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia nibra (+)
A: P1A0H1 post SCTPP atas indikasi PEB +
dispnea ec edema paru + belum inpartu + infertil
primer POD 1
02 S: Nyeri di daerah bekas operasi (+), sesak napas Observasi KU, TTV,
Agustus sudah berkurang, demam (-), BAB (-), BAK (+)
15
2018 lewat kateter, ASI (-) Kontraksi.
O: Keadaan umum : baik, kesadaran : kompos IVFD RL 20 tpm
mentis Injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr
TD: 140/100 mmHg N : 98x/I RR : 24x/I S : Injeksi furosemid 2 x 40 mg
36,50C Injeksi ketorolac 3 x 30 mg
St. Generalis : dalam batas normal Nifedipin tablet 3x10 mg
St. Lokalis : Metildopa 3 x 250 mg
St. Obstetri : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi
baik.
Genitalia eksterna :
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia rubra (+)
A: P1A0H1 post SCTPP atas indikasi PEB +
dispnea ec edema paru + belum inpartu + infertil
primer POD 2
03 S: nyeri di daerah bekas operasi (+), sesak napas Observasi KU, TTV,
Agustus (-), demam (-), BAB (+), BAK (+), ASI (+) Kontraksi.
2018 O : Keadaan umum : baik, kesadaran : kompos IVFD RL 20 tpm
mentis Injeksi furosemid 2 x 40 mg
TD : 150/90 mmHg N : 88x/I RR : 22x/I S : Cefadroxil 2 x 500 mg
36,50C As. mefenamat 3 x 500 mg
St. Generalis : dalam batas normal Nifedipin tablet 3x10 mg
St. Lokalis : Metildopa 3 x 250 mg
St. Obstetri : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi Kateter urin dilepas
baik. GV
Genitalia eksterna : Pindah rawat gabung
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia nibra (+)
A: P1A0H1 post SCTPP atas indikasi PEB +
dispnea ec edema paru + belum inpartu + infertil
16
primer POD 3
04 S: nyeri di daerah bekas operasi (-), sesak napas Observasi KU, TTV,
Agustus (-), demam (-), BAB (+), BAK (+), ASI (-) Kontraksi.
2018 O : Keadaan umum : baik, kesadaran : kompos IVFD RL 20 tpm
mentis Cefadroxil 2 x 500 mg
TD : 150/90 mmHg N : 88x/I RR : 22x/I S : As. mefenamat 3 x 500 mg
36,50C Nifedipin tablet 3x10 mg
St. Generalis : dalam batas normal Metildopa 3 x 250 mg
St. Lokalis : Boleh pulang
St. Obstetri : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi
baik.
Genitalia eksterna :
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia rubra (+)
A: P1A0H1 post SCTPP atas indikasi PEB +
dispnea ec edema paru + belum inpartu + infertil
primer POD 4

2.13 PROGNOSIS
Dubia

17
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kehamilan

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan

sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan

nidasi atau implantasi.7 Kehamilan normal akan berlangsung selama 40 minggu atau

10 bulan lunar.

3.1.1 Tanda-tanda kehamilan

- Tanda-tanda presumtif

Terdiri dari amenorea, mual dan muntah, mengidam, tidak ada selera makan

(anoreksia) terutama pada triwulan pertama, payudara membesar,

konstipasi/obstipasi karena tonus otot usus menurun oleh pengaruh hormon

steroid, pigmentasi kulit pada wajah akibat hormon kortikosteroid plasenta

(chloasma gravidarum), aerola payudara, leher, dan dinding perut.7,8

- Tanda-tanda kemungkinan hamil

Terdiri dari perut membesar, uterus membesar, tanda Hegar (ditemukannya

serviks dan isthmus uteri yang lunak pada pemeriksaan bimanual), tanda

Chadwick (perubahan warna menjadi kebiruan yang terlihat di portio, vagina,

dan vulva akibat pelebaran vena karena penngkatan kadar esterogen), tanda

Piskacek (pembesaran dan pelunakan rahim ke salah satu sisi rahim yang

berdekatan dengan tuba uterina), kontraksi-kontraksi kecil uterus (Braxton-

Hicks), teraba ballotement, dan reaksi kehamilan positif.7,8


18
- Tanda pasti

Terdiri dari adanya gerakan janin, denyut jantung janin, terlihat tulang-tulang

janin dalam foto rontgen.8

3.1.2 Penentuan usia kehamilan

Usia kehamilan dapat ditentukan dengan berbagai cara seperti berikut.8

- Hari pertama haid terakhir (HPHT)

Wanita harus mengetahui HPHT supaya dapat ditaksir umur kehamilan dan

taksiran tanggal persalinan, yang dihitung menggunakan rumus Naegel, yaitu

(hari+7), (bulan-3), dan (tahun+1). Rumus ini dapat dipakai apabila seseorang

memiliki siklus haid 28 hari.

- Tinggi fundus uteri

Minggu Tinggi fundus uteri


4 Belum teraba
8 Di belakang simfisis
12 1-2 jari di atas simfisis
16 Pertengahan simfis-pusat
20 2-3 jari di bawah pusat
24 Kira-kira setinggi pusat
28 2-3 jari di atas pusat
32 Pertengahan pusat-prosesus xiphoideus
36 3 jari di bawah Px atau sampai setinggi Px
40 Sama dengan kehamilan 36 minggu, tetapi melebar ke
samping
- Menurut Spiegelberg: dengan jalan mengukur tinggi fundus uteri dari simfisis,

diperoleh tabel:

Minggu Tinggi fundus uteri


22-28 24-25 cm di atas simfisis
28 26,7 cm di atas simfis
30 29,5-30 cm di atas simfis

19
32 29,5-30 cm di atas simfis
34 31 cm di atas simfis
36 32 cm di atas simfis
38 33 cm di atas simfis
40 37,7 cm di atas simfis

- Menurut Mac Donald: adalah modifikasi cara Spiegelberg, yaitu jarak fundus-

simfisis dalam cm dibagi 3,5 merupakan usia kehamilan dalam bulan.

- Ultrasonografi

3.1.3 Inpartu

Inpartu adalah tanda persalinan dimulai. Tanda – tanda inpartu adalah sebagai
berikut:9
1. Adanya his yang adekuat yaitu kontraksi uterus yang berulang minimal 2 kali
dalam 10 menit dengan durasi lebih sama dengan 30 detik.
2. Keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) karena serviks membuka
(dilatasi) dan mendatar (effacement). Darah berasal dari pecahnya pembuluh
darah kapiler di sekitar kanalis servikalis karena pergeseran saat serviks
membuka dan mendatar.

3.2 Hipertensi dalam kehamilan

3.2.1 Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan

A. Hipertensi kronis

Hipertensi kronis didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi yang timbul sebelum

umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah

umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca

persalinan.10

20
B. Preeklampsia-eklampsia

Preeklampsia adalah penyakit hipertensi spesifik kehamilan dengan

keterlibatan multisistem. Biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan yang disertai

dengan proteinuria.4,10

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan

diastolik ≥ 90. Dikatakan hipertensi ringan bila belum mencapai sitolik dan

diastoliknya 160 mmHg/110 mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya

dilakukan 2 kali selang 4 jam, walaupun kadang kala, terutama bila dihadapkan pada

hipertensi berat, diagnosis dapat dikonfirmasi dalam interval yang lebih pendek

(bahkan menit) untuk memfasilitasi terapi antihipertensi tepat waktu.4,10

Proteinuria ialah adanya ≥ 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau

pembacaan dipstick kualitatif ≥ +1. Pengukuran protein pada urin dilakukan

sekurang-kurangnya 2 kali selang 6 jam. 4,10

Eklampsia adalah fase kejang dari preeklampsia dan merupakan salah satu

manifestasi klinis yang lebih berat. Hal ini sering didahului dengan gejala seperti

sakit kepala berat dan hyperreflexia, tapi bisa terjadi tanpa tanda atau gejala

peringatan.1,4

C. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik

disertai dengan tanda-tanda preeklampsia. Tanda-tanda superimposed preeklampsia

pada hipertensi kronik adalah proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala

hebat, gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh (anasarka), oligouria,

21
edema paru, kelainan laboratorium berupa kenaikan serum kreatinin,

trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.4,10

D. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional paling sering ditandai dengan kenaikan tekanan darah

onset baru setelah kehamilan 20 minggu dengan tidak adanya proteinuria yang

menyertainya, kemudian tekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu pasca

persalinan.4,10 Diagnosis akhir hanya dapat dibuat pasca persalinan. Penyebab tidak

jelas. Dengan demikian, hipertensi gestasional, bahkan ketika peningkatan tekanan

darah ringan, memerlukan pengawasan yang lebih baik.

3.3 Preeklampsia-eklampsia

3.3.1 Definisi

Preeklampsia merupakan sindrom yang terutama terjadinya hipertensi pada

kehamilan >20 minggu, seringnya diikuti oleh proteinuria. Preeklampsia salah satu

penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan post partum.

Sedangkan eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang

disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia juga dapat terjadi ante,

intra, dan post partum.4,8,10

3.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologinya belum dapat diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa

faktor resiko terjadinya preeklampsia4 :

 Pada kehamilan sebelumnya terjadi preeklampsia

 Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya

22
 Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, bayi

besar

 Pembuahan in vitro

 Riwayat keluarga mengalami preeklampsia

 Diabetes mellitus tipe I dan II

 Obesitas

 Lupus erimatosus sistemik

 Ibu usia lanjut (> 40 tahun)

3.3.3 Patofisiologi

Hingga saat ini patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih belum

diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari

patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum memuaskan.

Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :

a. Peran plasenta dan pengembangan vascular plasenta

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan

miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi

arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika

media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan

material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses

tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.11

Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel

trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam

23
hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu

penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material

fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding

tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara

pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada

kehamilan.11,12

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana

mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami

invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi

tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak

berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap

mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat

resistensi vaskuler.12

24
Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan
hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan
normotensi

Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada

arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan

mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta

dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta.11,12

Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi

vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada

25
tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang

menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan

iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra

uterin (IUGR) hingga kematian bayi.11,12

b. Disfungsi endotel ibu dan perubahan hemodinamik

Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel

yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh

enzim siklooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel

otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.12

Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat

dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasokonstriktor

dan agregasi trombosit. Prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang

berlawanan dalam mekanisme pengaturan interaksi antara trombosit dan dinding

pembuluh darah.12

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,

plasenta, dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi

prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio

tromboksan A2 : prostasiklin.12

Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel sehingga akan

mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat

pembentukan prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai

kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan

dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan


26
aktivitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini

sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan

prostasiklin.11,12

Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan

produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang

kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi

antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan

pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan

kerusakan endotel.12

c. Peradangan dan perubahan imunologis

Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis

sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi

penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang

dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada

50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.11

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri

spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi

oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal

bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang

berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah

sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan

akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan.12

27
Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan

sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida

yang akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini

akan menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan

mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi

peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari

endotel vaskuler.12

Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid

laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta

peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria). Antioksidan

merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya

overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah dikenal

28
beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas diantaranya

vitamin E (α-tokoferol), vitamin C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat digunakan

untuk melawan perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.12

d. Genetik

Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan

dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan

angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu

yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia. 12 Bukti yang mendukung

berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah

peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita preeklampsia.

Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas antigen HLADR4

dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan

DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia

dan intra uterin growth restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut.

3.3.4 Diagnosis

Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ditemukan adanya hipertensi,

proteinuria, dan edema (edema yang dimaksud adalah pada wajah, lengan dan perut,

atau generalisata). Preeklampasia ringan ditegakkan apabila ditemukan:

- Tekanan darah ≥ 140 mmhg atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg

atau tekana diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat

selama 30 menit.

- Proteinuria ≥300 mg dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif

menunjukkan +1, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.


29
- Edema (edema yang dimaksud adalah pada wajah, lengan dan perut, atau

generalisata).

Preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan gejala berikut:10

- Tekanan darah sistolik ≥ 169 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg

- Proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥3 pada tes celup

- Oligouria (< 500 ml dalm 24 jam)

- Kenaikan kadar kreatinin plasma

- Sakit kepala hebat atau gangguan penglihatan

- Edema paru atau sianosis

- Trombositopenia

- Pertumbuhan janin terhambat

- Sindrom HELLP (Hemolytic, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet

Count)

Bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa gejala

dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan

kenaikan tekanan darah yang progresif, dikatakan pasien tersebut menderita

impending preeclampsia. Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gajala-gejala

preeklampsia disertai kejang atau koma. 4,10

Pemeriksaan penunjang meliputi10:

- Darah rutin: trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3 atau penurunan

trombosit dengan cepat

- Urinalisis

Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif


30
- Kimia darah

Kenaikan kadar kreatinin plasma

- Fungsi hati

Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu:

1. Tingkat awal atau aura

Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa

melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar kekanan atau

kekiri.

2. Tingkat kejangan tonik

Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajah

kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke dalam. Pernafasan

berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit. Stadium ini akan

disusul oleh tingkat kejangan klonik.

3. Tingkat kejangan klonik

Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua otot

berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka

dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol Dari mulut

keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan kongesti dan sianotis. Setelah

kejang terhenti, pasien bernafas dengan mendengkur.

4. Tingkat koma

Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan penderita biasa

menjadi sadar lagi.

3.3.5 Penatalaksanaan10,13
31
1. Preeklampsia ringan

Tujuan utama perawatan preeklampsia yaitu mencegah kejang, perdarah

intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital dan melahirkan bayi sehat.

 Rawat jalan (ambulator)

Ibu hamil dengan preeklamsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan.

Dianjurkan ibu hamil banyk istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak

harus mutlak selalu tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu,

tirah baring dennan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena

kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan

mencambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah

ke organ-organ vital. Diet pada preeklamsia tidak perlu dilakukan restriksi

garam sepajang fungsi ginjal masih baik. Diet yang mengandung 2 g

natrium atau 4-6 Nacl (garam dapur) sudah cukup. Obat-obatan seperti

diuretik, antihipertensi dan sedatif tidak diberikan.

 Rawat inap

Kriteria preeklamsia ringan dirawat di rumah sakit ialah:

1. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2

minggu

2. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklamsia berat

Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa USG dan Doppler juga perlu

dilakukan.

 Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

32
Pada kehamilan preterm, bila tekanan darah mencapai normotensif,

selama perawatan, persalinannya ditunggu ampai aterm.

Pada kehamilan aterm, persalinan ditunggu sampai onset persalinan atau

dipertimbangkan dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal

persalinan.

2. Preeklampsia berat

Perawatan dan pengobatan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit

organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Perawatan preeklamsia berat

dinilai dari 2 aspek yaitu sikap terhadap penyakitnya dan kehamilannya.

Perawatan terhadap penyakit yaitu penderita harus segera masuk rumah sakit

untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang

penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia

dan eklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.

Oleh sebab itu monitoring input dan output cairan sangatlah penting. Diberikan

antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat

menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.

Pemberian obat anti kejang yang menjadi pilihan ialah MgSO4. Syarat

pemberian MgSO4 yaitu harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi

yaitu kalsium glukonas 10% (10%=1 g dalam 10 cc) diberikan iv 3-5 menit, refleks

patella positif kuat dan frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda

distres pernafasan. Cara pemberian MgSO4 dibagi menjadi 2 tahap, yaitu loading

dose dan maintenance dose. Loading dose berupa 4 gram MgSO4 (40% dalam 10cc)
33
selama 15 menit secara intravena. Maintenance dose berupa pemberian infus MgSO4

sebanyak 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam atau diberikan sebanyak 4 gram secara

intramuskular tiap 4-6 jam.10 Berdasarkan standard prosedur operasional RSUD

Arifin Achmad Provinsi Riau, pemberian MgSO4 dilakukan dengan cara, yaitu 10

gram (40cc MgSO4 20% atau 25 cc MgSO4 40% dilarutkan kedalam 500 RL, 200 cc

diberikan sebagai insial dose dalam waktu 15 menit, sisanya 300 cc untuk

maintanance dose dengan tetesan 30 tetes per menit (2 gr/jam). Magnesium sulfat

dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam pasca persalinan atau 24

jam setelah kejang terakhir.14

 Diuretikum diberikan juga ada edema paru, gagal jantung kongestif atau

anasarka. Diuretikum yang digunakan yaitu furosemid.

 Antihipertensi

Berdasarkan Cochrane Review, pemberian antihipertensi pada preeklamsia

ringan maupun berat tidak jelas kegunaannya. Pemberian antihipertensi diserahkan

kepada klinikus masing-masing tergantung pengalaman dan pengenalan dengan obat

tersebut.

Sikap terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif maupun konservatif.

1. Perawatan aktif: sambil diberi pengobatan, kehamilan diakhiri.

Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini:

Ibu:

a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

b. Adanya tanda-tanda/gejala impending eklampsia

34
c. Kegagaln terapi pada perawatan konservatif

d. Diduga terjadi solusio plasenta

e. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin:

a. Adanya tanda-tanda fetal distress

b. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)

c. NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal

d. Terjadinya oligohidramnion

e. Adanya tanda-tanda HELLP sindrom khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat

2. Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa

disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.

3. Eklampsia

Perawatan eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi

vital, mengatasi kejang dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan

asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan

tekanan darah khusunya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada

waktu yang tepat dan dengaan cara yang tepat. Pilihan pertama obat anti

kejang yaitu magnesium sulfat. Cara pemberiannya sama seperti pada

preeklamsa berat. Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama

pertolongan mencegah terjadinya trauma akibat kejang tersebut. Jika pasien

jatuh ke dalam kondisi koma, yang harus diperhatikan adalah menjaga jalan
35
nafas agar tetap terbuka dan aspirasi lambung. Jika terjadi edema paru,

sebaiknya pasien dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan dengan

respirator.

Sikap terhadap persalinan ialah dengan terminasi kehamilan tanpa

memandang umur maupun keadaan janin.

4. Sindroma HELLP

Penatalaksanaan sindroma HELLP sama dengan preeklamsia-eklamsi dengan

melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit

<50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa

waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pemberian

deksametason rescue pada anterpartum diberikan dalam bentuk double

strength dexamethasone (double dose). Jika didapatkan kadar trombosit <

100.000/ml atau trombosit 100.000 – 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda

eklamsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason

10 mg i.v tiap 12 jam. Pada postpartum, dekasametason diberikan 10 mg i.v

tiap 12 jam 2 kali kemudian diikuti 5 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi

deksametason dhentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu

trombosit > 100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-

gejala klinik preeklamsia-eklamsia. Dapat dipertimbangkan pemberian

transfusi trombosit bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.

3.3.6 Komplikasi

Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin, usaha utama

ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Berikut
36
adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada preeklampsia berat dan

eklampsia :4,10

a. Solutio plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut

dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.

b. Hipofibrinogemia, kadar fibrin dalam darah yang menurun.

c. Hemolisis, penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan

plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.

d. Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian

maternal penderita eklampsia

e. Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang

berlangsung selama seminggu.

f. Edema paru, pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena penyakit

jantung.

g. Nekrosis hati, nekrosis periportan pada preeklampsia, eklamsi merupakan

akibat vasopasmus anterior umum. Kelainan ini diduga khas untuk

eklampsia.

h. Sindrome HELLP, Hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelete

count.

i. Kelainan ginjal, kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu

pembengkakkan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan

struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal

ginjal.

37
j. Komplikasi lain, lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh akibat

kejang-kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated Intravascular

Coogulation)

k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uteri.

3.3.7 Prognosis

Penderita preeklampsia/eklampsia yang terlambat penanganannya akan dapat

berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat terjadi perdarahan

otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, gagal ginjal, aspirasi isi lambung saat

kejang. Pada janin dapat terjadi kematian karena hipoksia intrauterin dan kehamilan

prematur.

3.4 Infertilitas15,16

3.4.1 Definisi

Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan

sekurang kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa

kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder

adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan

kehamilannya. Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat

dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan

infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba,

dan analisis semen dengan hasil normal.

Fekunditas merupakan kemampuan seorang perempuan untuk hamil. Data dari

studi yang telah dilakukan pada populas, kemungkinan seorang perempuan hamil tiap

bulannya adalah sekitar 20 sampai 25%.


38
3.4.2 Prevalensi

Prevalensi infertilitas idiopatik bervariasi antara 22-28 %, studi terbaru

menunjukkan di antara pasangan yang berkunjung ke klinik fertilitas, sebesar 21 %

perempuan berumur di bawah 35 tahun dan 26% perempuan berumur di atas 35

tahun.

3.4.3 Faktor penyebab infertilitas pada wanita

Penyebab infertilitas pada wanita dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:

a. Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi ovarium

primer Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan

berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder. Namun tidak

semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi memiliki gejala klinis

amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea.

Kelas 1 : Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin

hipogonadism) Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang

rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi

sekitar 10% dari seluruh kelainan ovulasi.

Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism)

Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun

estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari seluruh

kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini

adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus

sindrom ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan

39
puluh persen pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30%

akan mengalami amenorea.

Kelas 3 : Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)

Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi

dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh

gangguan ovulasi.

Kelas 4 : Hiperprolaktinemia

b. Gangguan tuba dan pelvis

Kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea, TBC)

maupun endometriosis.

Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:

1. Ringan/ Grade 1

i. Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal

tanpa ada distensi.

ii. Mukosa tampak baik.

iii. Perlekatan ringan (perituba-ovarium)

2. Sedang/Grade 2

Kerusakan tuba berat unilateral

3. Berat/Grade 3

i. Kerusakan tuba berat bilateral

ii. Fibrosis tuba luas

iii. Distensi tuba > 1,5 cm

iv. Mukosa tampak abnormal


40
v. Oklusi tuba bilateral

vi. Perlekatan berat dan luas

c. Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium,

leiomyomas, sindrom asherman

Distribusi penyebab infertilitas pada perempuan ditunjukkan pada gambar

berikut:

3.4.4 Pemeriksaan infertilitas pada perempuan

Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan

menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas yang

dapat dilakukan diantaranya: 1

a. Pemeriksaan ovulasi

1. Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada seorang

perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang

teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi (Rekomendasi B)

2. Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami infertilitas

selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi dengan

cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya (hari ke 21-28)

(Rekomendasi B)

3. Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan yang

memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan pada

akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus haid

berikutnya terjadi

41
4. Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk

mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (Rekomendasi B)

5. Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk melakukan

pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin (FSH dan

LH).

6. Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah

ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis (Rekomendasi C)

7. Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak direkomendasikan

(Rekomendasi C)

8. Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika

pasien memiliki gejala (Rekomendasi C)

9. Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari

pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti

bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan. (Rekomendasi B).

Tabel Pemeriksaan untuk melihat ovulasi dan cadangan ovarium

Ovulasi Cadangan Ovarium


- Riwayat menstruasi - Kadar AMH
- Progesteron serum - Hitung folikel antral
- Ultrasonografi transvaginal - FSH dan estradiol hari ke-3
- Temperatur basal
- LH urin
- Biopsi Endometrium

3. Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan

periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum

dilakukan

42
c. Penilaian kelainan uterus

Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,

karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk

meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan. (Rekomendasi B)

d. Penilaian lendir serviks pasca senggama

1. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3

tahun.

2. Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah fertilitas

tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya kehamilan.

(Rekomendasi A)

e. Penilaian kelainan tuba

1. Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul

(PID), kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk

melakukan histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi

tuba. Pemeriksaan ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan

laparaskopi. (Rekomendasi B)

2. Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat

dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif (Rekomendasi

A)

3. Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba,

dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki

riwayat penyakit radang panggul, (Rekomendasi B)

3.4.5 Tata Laksana Infertilitas


43
a. Tatalaksana pada gangguan ovulasi

Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:

WHO kelas I

Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat

badan menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan.

Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah

kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG.

Penggunaan kombinasi preparat gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan

lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi dibandingkan penggunaan rFSH saja

(Evidence level 2a).

WHO Kelas II

Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan

dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti esterogen (klomifen

sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan

lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan insulin sensitizer seperti

metformin.

Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk

mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6

bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstilmulasi,

rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan

IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat dikombinasi dengan metformin

karena diketahui dapat meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan.

44
Tindakan drilling ovarium per-laparaskopi dengan tujuan menurunkan

kadar LH dan androgen adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi

perempuan SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat.

WHO Kelas III

Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi

ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat

terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu

dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas III

sampai kemungkinan tindakan adopsi anak.

WHO Kelas IV

Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat

pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga gangguan

ovulasi dapat teratasi.

b. Tatalaksana gangguan tuba

Review sistematik lima penelitian acak (n=588) melaporkan tidak ada

peningkatan laju kehamilan pada tindakan hidrotubasi pasca operasi (OR 1.12;

95% CI 0.57 to 2.21), hidrotubasi dengan steroid (OR 1.10; 95% CI 0.74 to

1.64), atau hidrotubasi dengan antibiotik (OR 0.67; 95% CI 0.30 to 1.47) 1

Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat ringan

dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan.

c. Tatalaksana endometriosis

Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi

rasa nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat
45
meningkatkan fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa

penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas

pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.

Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat

ringan sampai sedang melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan

laju kehamilan bila diberikan agonis GnRH selama 6 bulan.

3.5 Primigravida Tua

Primigravida adalah keadaan dimana seorang wanita mengalami masa

kehamilan untuk pertama kalinya. Usia terbaik seorang wanita untuk hamil adalah 20

tahun hingga 35 tahun. Apabila seorang wanita mengalami primigravida di bawah

usia 20 tahun, maka disebut primigravida muda. Sedangkan apabila primigravida

dialami oleh wanita diatas usia 35 tahun, maka disebut primigravida tua.17

46
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Apakah diagnosis G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB, dispnea

ec edema paru, primigravida tua, janin tunggal hidup intrauterin pada pasien

sudah tepat?

4.2 Apakah faktor resiko terjadinya PEB pada pasien ini?

4.3 Apakah tatalaksana pada pasien sudah sesuai?

4.4 Bagaimana pemeriksaan kehamilan pada pasien ini dan bagaimana alur

rujukannya?

4.1 Apakah diagnosis G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB,

dispnea ec edema paru, primigravida tua, janin tunggal hidup intrauterin pada

pasien sudah tepat?

Hamil 39-40 minggu

Usia kehamilan pada pasien yaitu 39-40 minggu ditentukan dari HPHT yaitu

25 Oktober 2017. Dengan menggunakan rumus Naegele didapatkan taksiran

persalinan adalah tanggal 1 Agustus 2018. Sehingga usia kehamilan pasien saat

datang ke RSUD AA adalah 39 minggu + 6 hari. Usia kehamilan juga didapatkan dari

anamnesis, yaitu pasien merasakan gerakan janin sejak 5 bulan yang lalu (saat usia

kehamilan 4 bulan). Dari pemeriksaan Leopold didapatkan L1 kesan bokong dengan

TFU 3 jari dibawah prosessus xyphoideus, L2 kesan PUKA, L3 kesan kepala, dan L4

konvergen (5/5). TFU 3 jari sesuai dengan usia kehamilan 38-40 minggu. Usia
47
kehamilan juga dapat ditentukan menurut Spiegelberg yang diperoleh dari tinggi

fundus uteri. Pada pasien didapatkan tinggi fundus uteri 34 cm yang sesuai dengan

usia kehamilan berkisar 38 minggu.8 Namun berdasarkan HPHT, gerakan janin dan

leopold, usia kehamilan pada pasien sesuai dengan 39-40 minggu. Sehingga

seharusnya tinggi fundus uteri (TFU) pasien adalah 37,7 cm di atas simfisis. Hal ini

dapat terjadi akibat kurang tepat pengukuran TFU saat pemeriksaan. Berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan pada pasien dapat disimpulkan usia kehamilannya adalah

39-40 minggu. Diagnosis kehamilan pada pasien ini sudah tepat.

Belum Inpartu

Pada pasien ini dicantumkan diagnosis belum inpartu. Tanda-tanda

inpartu pada kehamilan terdiri dari adanya rasa nyeri oleh adanya his yang

datang lebih kuat, sering dan teratur, keluar lendir bercampur darah (show)

yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks.9 Tanda-tanda

tersebut tidak ditemukan pada pasien sehingga ditegakkannya diagnosis

belum inpartu sudah tepat.

PEB

Berdasarkan anamnesis pada pasien didapatkan pasien sudah menderita

hipertensi sebelum kehamilan sekitar 7 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan IMT 32 (obesitas grade II), tekanan darah 190/120 mmHg. Pada

pemeriksaan labor didapatkan proteinuria +2 (dipstick test).

Pemeriksaan proteinuria dengan dipstick test sebaiknya digunakan hanya

untuk skrining. Hal ini dikarenakan angka positif palsu sangat tinggi. Sehingga harus

48
dikonfirmasi dengan cara menampung urin selama 24 jam (Esbach test), dikatakan

positif jika hasilnya lebih dari positif 4 atau 5 g/24 jam.4,10

Namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan Esbach test tersebut dikarenakan

pasien sudah memenuhi kriteria terminasi sehingga dilakukan pemeriksaan

proteinuria semi kuantitatif menggunakan dipstick test.

Berdasarkan data-data yang diperoleh, diagnosis pasien ini lebih cenderung ke

hipertensi kronik dangan superimposed preeklampsia. Temuan yang diperoleh pada

pasien cocok dengan superimposed preeklampsia, yaitu hipertensi kronik yang

disertai tanda-tanda preeklampsia atau proteinuria.4,10

Dispnea ec edema paru

Dispnea ec edema paru ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pasien merasakan

sesak, dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 32 kali permenit,

auskultasi diperoleh adanya ronkhi dan wheezing, dan dari foto thoraks

dperoleh kardiomegali dengan edema paru. Hal ini kemungkinan memiliki

hubungan terhadap preeklampsia yang dialami pasien. Pasien hamil dengan

hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia memiliki tekanan darah

yang tinggi. Hipertensi kronik dapat menyebabkan kerja jantung meningkat

dalam waktu yang cukup lama sehingga terjadi hipertrofi otot jantung yang

dari foto thoraks tampak gambaran kardiomegali. Pasien hamil mengalami

peningkatan volume darah dan bendungan pada hamil tua juga cukup tinggi.

Hal ini dapat menjadi faktor yang lebih memperberat kerja jantung sehingga

terjadi kongesti yang dapat menyebabkan edema paru.


49
Infertilitas primer

Diagnosis infertilitas primer pada pasien ini dinilai sudah tepat. Alasannya

ialah pasien ini memenuhi kriteria infertilitas primer, yaitu kegagalan suatu pasangan

untuk mendapatkan kehamilan sekurang kurangnya dalam 12 bulan berhubungan

seksual secara teratur tanpa kontrasepsi.15,18

Penilaian faktor resiko terjadinya infertilitas primer pada pasien membutuhkan

data yang lebih lengkap. Misalnya, adakah pekerjaan pernah digeluti pasien dan

suami yang mempengaruhi kesuburan, tempat tinggal, makanan, kebiasaan. Faktor-

faktor resiko tersebut tidak ditemukan pada pasien ini.

Primigravida tua

Berdasarkan anamnesis, pasien hamil pertama kali di usia 38 tahun. Pasien ini

memenuhi kriteria primigravida tu, yaitu keadaan dimana seorang wanita mengalami

masa kehamilan untuk pertama kalinya di atas usia 35 tahun.

Wanita hamil usia di atas 35 tahun memiliki faktor resiko 1,5 kali lipat lebih

tinggi. Hal ini berkaitan salah satunya adalah penuaan pembuluh darah uterus. Selain

itu, pada wanita ini sudah muncul arteriosklerosis yang merupakan salah satu faktor

pemicu terjadinya hipertensi.20

4.2 Apakah faktor resiko terjadinya PEB pada pasien ini?

Beberapa faktor resiko terjadinya PEB terdiri dari primigravida,

primipaternitas, hiperplasentosis, umur ekstrim, penyakit ginjal atau hipertensi

sebelum hamil, obesitas.8,10

50
Pada pasien terdapat empat faktor resiko PEB yaitu primigravida, umur

ekstrim yaitu 38 tahun, hipertensi sebelum hamil, dan obesitas grade II. Obesitas

meningkatkan resiko preeklampsia sekitar 2-3 kali lipat. Hal ini berkaitan dengan

resistensi insulin, peningkatan CRP sebagai enzim inflamasi akibat banyaknya jumlah

lemak yang merupakan bahan sintesis enzim tersebut, stress oksidatif, faktor

angiogenik, dan menurunnya sintesis nitrit oksida (sebagai vasodilator).19

4.3 Apakah tatalaksana pada pasien sudah sesuai?

O2 NRM 10 l/menit dan MgSO4

Penanganan pada pasien ini berupa pemberian O2 NRM 10 l/menit dan

MgSO4 40% dalam infus ringer laktat, loading dose 4 gram, selanjutnya maintenance

2 gram/jam. Keterangan pemberian MgSO4 pada pasien masih kurang dalam

penjelasannya. Seharusnya pemberian loading dose 4 gram ditentukan waktu dan

jumlah tetesan, begitu juga dengan maintenance dose.

Menurut standar prosedur operasional RSUD Arifin Achmad seharusnya pada

pasien baring tirah baring diberikan oksigen 6 liter/menit. Pemberian terapi MgSO 4

dengan cara 8 gram (40cc MgSO4 20% atau 20 cc MgSO4 40% dilarutkan kedalam

500 RL, 250 cc diberikan sebagai insial dose dalam waktu 15 menit, sisanya 250 cc

untuk maintanance dose dengan tetesan 30 tetes per menit (2 gr/jam) selanjutnya 8 gr

(40 cc MgSO4 20% atau 20 cc MgSO4 40%) dilarutkan kedalam 500 cc RL 30

tetes/menit.14 Tetapi, protap ini sebenarnya tidak sesuai dengan yang dikerjakan di

RSUD Arifin Achmad sehari-harinya dalam penanganan preeklampsia.

51
Tata laksana lini pertama untuk pasien dengan superimposed preeklampsia

seperti pada pasien ini ialah dengan memberikan MgSO4. Terapi MgSO4 juga

diberikan pada pasien PEB, HELLP syndrome maupun eklamsia Hal ini ditujukan

untuk mengurangi kepekaan syaraf pusat agar dapat mencegah konvulsi, menambah

diuresis dan menurunkan pernafasan yang cepat. 10 Magnesium sulfat bekerja dengan

cara menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf

dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium akan menggeser kalsium

sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Sampai saat ini magnesium sulfat dipilih

sebagai pilihan utama obat anti kejang.4

Nifedipin

Pemberian nifedipin sebagai anti hipertensi yang direkomendasikan

pada preeklampsia dengan hipertensi berat atau tekanan darah ≥160/110

mmHg.12 Pada pasien tekanan darah mencapai 190/120 mmHg sehingga

pemberian nifedipin sudah tepat.

Nifedipin merupakan obat hipertensi golongan kalsium channel

blocker derivat dihidropiridin. Obat ini bekerja dengan menghambat

masuknya ion Ca2+ ke intra sel sehingga akan menghambat terjadinya

kontraksi sel otot polos jantung dan pembuluh darah. Akibatnya akan terjadi

penurunan cardiac output dan heart heart. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya penurunan tekanan darah. Nifedipin bekerja cepat yaitu dalam

waktu 10 menit dengan efek maksimal setelah 30-40 menit. Obat ini dapat

dengan cepat menurunkan tekanan darah, sehingga penggunaan dapat diulang

52
3-4 kali. Pemberian nifedipin sebaiknya secara oral karena bioavabilitas

mencapai 40-60%.4

Furosemid

Pemberian furosemid dinilai sudah tepat. Furosemid pada pasien ini

bertujuan untuk mengurangi akumulasi cairan pada tubuh yang akhirnya akan

berefek mengurangi edema paru.

Terminasi

Terminasi dinilai sudah tepat. Alasannya ialah pasien mengalami

superimposed preeklampsia. Terminasi yang dipilih adalah melalui perabdominal

sebab kondisi pasien saat itu belum inpartu.

4.4 Bagaimana pemeriksaan kehamilan pada pasien ini dan bagaimana alur

rujukannya?

ANC

Pada pasien dengan riwayat hipertensi sebaiknya dilakukan penilaian faktor

resiko preeklampsia sebagai pencegahan primer. Faktor resiko tersebut terdiri dari

penilaian anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Dari anamnesis dapat dinilai :16

1. Umur ≥40 tahun

2. Nulipara

3. Multipara dengan riwayat preeklamsia sebelumnya

4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru

5. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih


53
6. Riwayat preeklamsia pada ibu atau saudara perempuan

7. Kehamilan multipel

8. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)

9. Hipertensi kronik

10. Penyakit ginjal

11. Sindrom antifosfolipid

12. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio, dan

13. Obesitas sebelum hamil

Sedangkan dari pemeriksaan fisik dapat dinilai:16

1. Indeks massa tubuh (IMT) >35,

2. Tekanan darah diastolik >80 mmHg, dan

3. Proteinuria (dipstick >+1 atau secara kuantitatif >300 mg/24 jam).

Berdasarkan kelompok resiko, terdapat tiga jenis kehamilan beresiko yaitu

Kehamilan Risiko Rendah/KRR dengan jumlah skor 2 (selama hamil tanpa faktor

risiko), Kehamilan Risiko Tinggi /KRT dengan jumlah skor 6-10 (dapat dengan

faktor risiko tunggal dari kelompok FR I, II atau III dan dengan faktor risiko ganda 2

dari FR I dan II) serta Kehamilan Risiko Sangat Tinggi/KRST pada ibu dengan

jumlah skor ≥12 (ibu hamil dengan faktor risiko ganda dua atau tiga dan lebih).17

Pada pasien ini didapatkan lima faktor resiko, yaitu nullipara, hipertensi

kronik, obesitas sebelum hamil dengan IMT 32, tekanan darah diastolik 120 mmHg,

dan terdapat proteinuria +2. Selain itu, pasien memiliki skor 10 berdasarkan

kelompok FR, yaitu sedang hamil (skor 2), primi tua (skor 4), penyakit ibu berupa

hipertensi kronik (skor 4). Pasien dikategorikan APGO (Ada Potensi Gawat
54
Obstetrik). Hal ini menunjukkan sejak awal kehamilan pasien sudah memiliki faktor

resiko untuk terjadinya preeklampsia, seharusnya pasien melakukan ANC sekali

sebulan atau jika keluhan bertambah. Pada pasien juga perlu untuk dipantau tekanan

darahnya, sehingga dapat menghindari kemungkinan perburukan penyakit serta

perburukan kondisi janinnya.16

Pada pasien saat masuk RSUD Arifin Achmad, terdapat beberapa resiko yaitu

a) sedang hamil (skor 2), b) kelompok FR I: primi tua (skor 4), c) FR II yaitu

penyakit ibu berupa hipertensi kronik (skor 4) dan d) FR III yaitu PEB (skor 8).

Berdasarkan hal tersebut, pada pasien terdapat skor 18 sehingga termasuk ke

Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST).

Dalam kasus ini, pasien jarang menlakukan kontrol kehamilan. Hal ini

mengakibatkan faktor-faktor resiko yang dimiliki pasien sulit dikendalikan.

Sistem Rujukan

Sistem rujukan merupakan sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi

pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang

timbul secara horizontal maupun vertikal. Sistem rujukan terdiri dari Rujukan

Terencana (Rujukan Dini Berencana dan Rujukan Dalam Rahim) serta Rujukan Tepat

Waktu (RTW). Rujukan Dini Berencana ditujukan untuk pasien dengan Ada Potensi

Gawat Obestetrik (APGO) dan Ada Gawat Obstetrik (AGO), sedangkan Rujukan

Dalam Rahim ditujukan untuk janin resiko tinggi masih sehat, misalnya kehamilan

dengan riwayat obstetrik jelek pada ibu DM, partur prematurus iminens. Untuk ibu

dengan adanya gawat darurat obstetrik, membutuhkan RTW dalam penyelamatan

ibu/bayi baru lahir.17 Berdasarkan kelompok resiko kehamilan, pasien ini termasuk ke
55
kehamilan dengan resiko sangat tinggi dan adanya gawat darurat obstetrik. Oleh

sebab itu, pasien yang masuk kategori APGO ini seharusnya sudah direncanakan

untuk dilakukan Rujukan Dini Berencana sebelum terjadinya PEB. Kemudian, jika

telah terjadi PEB yang merupakan kelompok FR III AGDO, seharusnya sistem

rujukan pada pasien adalah Rujukan Tepat Waktu.

56
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. G1P0A0 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, PEB, dispnea ec edema

paru, JTHIU, presentasi kepala, anak mahal yang ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dinilai masih

kurang tepat. Pasien lebih cenderung ke diagnosis hipertensi kronik

dengan superimposed preeklampsia.

2. Superimposed preeklampsia pada pasien ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor resiko yaitu primigravida, umur >35 tahun, hipertesni

kronik, dan obesitas grade II.

3. Tata laksana yang diberikan pada pasien ini adalah tatalaksana

farmakologis yaitu MgSO4, furosemid dan nifedipin serta terminasi

kehamilan secara perabdominal (sectio cesarea).

4. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah dengan

memantau kondisi ibu maupun janin dan menilai faktor resiko melalui

ANC sejak awal kehamilan dan mengikuti alur rujukan yang sesuai untuk

menghindari komplikasi yang dapat terjadi.

57
5.2 Saran

1. Penegakkan diagnosis PEB pada pasien ini belum tepat. Sebaiknya lebih

dipertajam kembali mana yang termasuk PEB dan superimposed

preeklampsia.

2. Faktor resiko sebaiknya dapat dideteksi secara dini oleh pelayanan

kesehatan primer sehingga pasien segera mendapatkan tatalaksana yang

cepat dan tepat.

3. Penatalaksanaan pada pasien akan lebih baik jika ditangani oleh

multidisiplin ilmu. Protap regimen terapi MgSO4 RSUD Arifin Achmad

Provinsi Riau harus ditilik dan dipertimbangkan untuk direvisi.

4. Pasien dan janin sebaiknya dipantau melalui ANC sejak awal kehamilan

dan mengikuti alur rujukan yang sesuai sehingga komplikasi dapat

dicegah.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin AB. Kematian Ibu Dam Perinatal. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu


Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Pus Data dan Inf Kementrian Kesehat RI Penyebab Kematian
Ibu. Jakarta: 2014.
3. Ministry of Health Republic of Indonesia. Health Profile of Indonesia
2016.Jakarta: Ministry of Health Republic of Indonesia; 2017.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM,
Spong CY. William Obstetrics. 25th Edition. United States: Mc-Graw Hill
Education; 2018.
5. Dennis AT, Solnordal CB. Acute pulmonary oedema in pregnant women.
Anaesthesia. 2012;67(6):646-659.
6. Wardhana MP, Dachlan EG DG. Pulmonary edema in preeclampsia: an
Indonesian case-control study. J Matern Fetal Neonatal Med. 2018;6:689-695.
7. Adriaansz G, Hanafiah TM. Diagnosis Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S.
Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH,
editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
8. Sofian A. Sinopsis Obstetri Rustam Mochtar Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2015.
9. Manuaba IBG, Manuaba C, dan Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
10. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
11. Silver HM, et al. Mechanism of increased maternal serum total aktivin A and
inhibin A in preeklampsia. J Soc Gynecol Investig. 2002. p. 308-12.
12. Young BC, Levine RJ, Karumanchi A. Preeclampsia and Angiogenic Factors.
Annual Reviews; 2010. p. 176-85.
13. Kementerian Kesehatan RI, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
14. RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Standar Prosedur Operasional
Pengelolaan Preeklampsia Berat. Pekanbaru: 2017.

59
15. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran
Fetomaternal. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan
Tatalaksana Pre Eklamsia. Jakarta: 2016.
16. Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi 3.
Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011.
17. Rochjati P. Pelayanan Kebidanan di Indonesia. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Saifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
18. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).
Konsensus Penanganan Infertilitas. Jakarta: 2013.
19. Jeyabalan A. Epidemiology of Preelampsia: Impact of Obesity. Nut Rev.
2013;71(0 1):1-14.
20. Lamminpää R, Vehviläinen-Julkunen K, Gissler M, Heinonen S. Preeclampsia
complicated by advanced maternal age: a registry-based study on primiparous
women in Finland 1997-2008. BMC Pregnancy Childbirth. 2012;12:2-6.

60

Anda mungkin juga menyukai