STROKE HEMORAGIK
Disusun oleh :
dr. NURUL SHAFARANI
Pembimbing :
dr. Desi Andriani
dr. Yohana Ika Karolina Peranginangin
DOKTER INTERNSIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ENGKU HAJI DAUD
PROVINSI KEPULAUAN RIAU
2020
1
BAB I
LAPORAN KASUS
2
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit keganasan (-)
Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang pegawai swasta usia 53 tahun. Memiliki riwayat suka makanan
asin dan berlemak. Riwayat merokok (+), memakai jarum suntik bebas (-),
konsumsi obat yang lama (-), minum alkohol (+).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi (+), ayah pasien
Riwayat stroke (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
b. N.II (Opticus)
3
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Sulit dinilai Sulit dinilai Penurunan
Lapang pandang Sulit dinilai Sulit dinilai kesadaran, sulit
Pengenalan warna Sulit dinilai Sulit dinilai dinilai
c. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil Gerak bola mata
- Bentuk Bulat Bulat dinilai dengan
- Ukuran 2 mm 2 mm doll’s eye
Gerak bola mata Doll’s eye (+) Doll’s eye (+) karena
Refleks pupil penurunan
- Langsung (+) (+) kesadaran
- Tidak langsung (+) (+)
d. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Sulit dinilai Sulit dinilai Gerak bola mata sulit
dinilai karena penurunan
kesadaran
e. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai Penurunan kesadaran,
Refleks kornea Tidak Tidak sulit dinilai
dilakukan dilakukan
f. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Sulit dinilai Sulit dinilai Gerak bola mata sulit
Strabismus (-) (-) dinilai karena
Deviasi (-) (-) penurunan kesadaran
g. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Tic (-) (-) Paresis N. VII sinistra
Motorik: sentral
4
- sudut mulut N Turun
- menutup mata N N
- mengerutkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
- mengangkat alis Sulit dinilai Sulit dinilai
- lipatan nasolabial N Turun
Daya perasa Sulit dinilai Sulit dinilai
h. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran N N Dalam batas normal
i. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Sulit dinilai Sulit dinilai
Daya perasa Sulit dinilai Sulit dinilai Penurunan kesadaran,
Refleks muntah Tidak Tidak sulit dinilai
dilakukan dilakukan
j. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Sulit dinilai Sulit dinilai Penurunan kesadaran,
Dysfonia (-) (-) sulit dinilai
k. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menengok Sulit dinilai Sulit dinilai Penurunan kesadaran,
Mengangkat bahu Sulit dinilai Sulit dinilai sulit dinilai
Trofi Eutrofi Eutrofi
l. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Sulit dinilai Sulit dinilai
Trofi Eutrofi Eutrofi
Paresis N. XII
Tremor (-) (-)
Disartri (+) (+)
5
5. SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan
Distal Drop test Drop test
Proksimal (Lateralisasi (Lateralisasi
Hemiparesis sinistra
sinistra) sinistra)
Tonus N N
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger.involunter (-) (-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan
Distal Drop test Drop test
Proksimal (Lateralisasi (Lateralisasi
sinistra) sinistra)
Tonus N N
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger.involunter (-) (-)
Badan
Trofi Eutrofi Eutrofi Dalam Batas Normal
Ger. Involunter (-) (-)
6. SISTEM SENSORIK
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba
Nyeri
Suhu Sulit Sulit Penurunan kesadaran, sulit
Propioseptif dinilai dinilai dinilai
7. REFLEKS
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+) Refleks fisiologis (+)
Triseps (+) (+)
KPR (+) (+)
APR (+) (+)
6
Patologis
Babinski (-) (+ ) Refleks Babinski sinistra (+)
Chaddock (-) (-)
Hoffman Tromer (-) (-)
Reflek primitif :
Palmomental (-) (-)
Snout (-) (-)
8. FUNGSI KORDINASI
Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan
Test telunjuk hidung Tidak dapat Tidak dapat
dinilai dinilai
Test tumit lutut Tidak dapat Tidak dapat Tidak dapat
dinilai dinilai
dinilai
Gait Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tandem Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Romberg Tidak dilakukan Tidak dilakukan
9. SISTEM OTONOM
Miksi : Menggunakan kateter urin
Defekasi : Tidak ada kelainan
Ereksi : Tidak ada kelainan
7
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM)
Penurunan kesadaran (+), nyeri kepala (+), refleks babinski (+) : Stroke
Hemoragik
8
Hb : 15,4 g/dl SGPT : 20 U/L
Hematokrit : 42,3% Ureum : 25,5 mg/dl
Leukosit : 11.150 /ul Kreatinin : 1,24 mg/dl
Trombosit : 293.000 /ul Asam urat : 6,8 mg/dl
Basofil : 0,8% Kolesterol : 178,8 mg/dl
Eosinofil :5% HDL : 39,7 mg/dl
Neutrofil : 56,8% LDL : 113,4 mg/dl
Limfosit : 30,9% Trigliserida : 128,6 mg/dl
Monosit : 6,5% Na : 141 mmol/L
GDS : 168 mg/dl K : 3,3 mmol/L
SGOT : 23 U/L Cl : 104 mmol/L
9
Kesan: Perdarahan intraserebral area lobus frontoparietal dextra, edema
cerebri
1.7 PENATALAKSANAAN
Umum
• Tirah baring dengan kepala ditinggikan 30o
10
• Kontrol vital sign dan neurologis
• Pemasangan kateter urin
• Pemasangan NGT
• O2 10 l/m NRM
Khusus
IVFD asering 20 tpm
Infus manitol 125 mg/8 jam
Injeksi citicolin 1 g IV
Injeksi mecobalamin 1 mg IV
Injeksi asam traneksamat 500 mg IV
Injeksi omeprazol 40 mg IV
Drip nicardipin dimulai dari 0,5 mcg/kgBB/jam, titrasi
Dirujuk ke RS tipe B untuk penanganan lebih lanjut, seperti craniotomi
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
1. Cerebrum1–3
a. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus
sentral. Lobus ini mengatur fungsi emosi, perencanaan, kreativitas,
penilaian, kognisi, gerakan dan pemecahan masalah. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola
mata, area broca sebagai pusat bicara, dan area prefrontal (area asosiasi)
yang mengontrol aktivitas intelektual.
b. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan
bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke
ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk
menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan
somatik.
c. Lobus temporal berada di bagian bawah atau samping dan dipisahkan
dari lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari
ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
pendengaran, fungsi bahasa, proses emosi, belajar dan fungsi bahasa.
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata yang kemudian menafsirkan sinyal sebagai gambar.
2. Serebelum1,2
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang
otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum
juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.
Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
13
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
3. Batang otak1,2
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas
untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta
pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang
sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi,
kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga midbrain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak
tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata,pembesaran pupil mata, mengatur gerakan
tubuh dan pendengaran.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan ponssedangkan
CN VI, VII dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan
medulla.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla
oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, XI, dan
XII disosiasikan dengan medulla.
4. Vaskularisasi Otak
Sistem karotis
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis,
empat arteri ini berada dalam ruang subaraknoid.1,2 Arteri karotis interna di kedua
sisi memberikan darah ke otak melalui cabang-cabang utamanya yaitu arteri
serebri media dan arteri serebri anterior. Arteri karotis interna disebut juga sebagai
14
sirkulasi anterior karena memperdarahi struktur pada bagian fossa kranial anterior
dan media.4 Sistem karotis terutama memperdarahi kedua hemisfer otak. Sistem
karotis juga memperdarahi mata, ganglia basalis, sebagian besar hipotalamus, dan
lobus frontalis, lobus parietalis, serta sebagian besar lobus temporal serebrum.3
Kedua arteri vertebralis bersatu di garis tengah pada perbatasan kaudal
pons untuk membentuk arteri basilar yang memberikan darah ke batang otak dan
serebellum serta bagian dari hemisfer serebri melalui arteri serebri posterior.
Karena arteri vertebralis memperdarahai fossa kranial posterior dan hemisfer
serebral posterior maka disebut sebagai sirkulasi posterior.2 Sirkulasi anterior dan
posterior berhubungan melalui sistem anastomosis yaitu sirkulus arteri Willisi.1
Arteri karotis interna mulai dari percabangan arteri karotis komunis. Arteri
ini naik di leher dan menembus dasar tengkorak melalui kanalis carotis os
temporal.1,2 Pada perjalanan menuju kanalis karotis, arteri ini memberikan cabang-
cabang kecil pada lantai telinga tengah, duramater dari klivus, ganglion semilunar
saraf trigeminus dan kelenjar hipofisis.2 Kemudian berjalan horizontal kedepan
melalui prosessus klinoideus anterior dengan menembus duramater dan masuk ke
ruang subaraknoid serta berputar ke belakang ke arah substansia perforata otak
pada bagian ujung medial sulkus serebri lateralis. Di sini bercabang menjadi arteri
serebri media dan arteri serebri anterior.3,4
Gambar 2. Arteri pada basis otak4
15
Gambar 3. Sirkulus Arteri Willisi4
2.2 Stroke
2.2.1 Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah gejala
neurologis yang berkembang dengan cepat dan onset tiba - tiba akibat gangguan
sirkulasi pada otak dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih.5
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan patologinya, stroke dapat dibagi menjadi:
1. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan ekstraserebral (subarakhnoid)
2. Stroke non hemoragik
a. Stroke akibat trombosis
b. Stroke emboli
c. Stroke lakunar
Berdasarkan waktu terjadinya, stroke dapat dibagi menjadi:
1. Transient ischemic attack (TIA): gejala defisit neurologis hanya
berlangsung kurang dari 24 jam.
16
2. Reversible ischemic neurologic deficit (RIND): gejala defisit neurologis
menghilang dalam waktu antara lebih dari 24 jam hingga 3 minggu.
3. Stroke in evolution (stroke progresif): stroke yang gejala klinisnya secara
bertahap berkembang dari ringan hingga semakin berat.
4. Stroke komplit (completed stroke): stroke dengan defisit neurologis yang
menetap dan sudah tidak berkembang lagi.
Berdasarkan lokasi lesi vaskular, stroke dapat dibagi menjadi:
1. Sistem karotis
a. Motorik : hemiparesis kontralateral, disartria
b. Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesi
c. Gangguan visual :hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis
fugaks
d. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
2. Sistem vertebrobasilar
a. Motorik : hemiparesis alternans, disartria
b. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesi
c. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia
2.2.3 Faktor risiko
Faktor risiko stroke dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Faktor risiko stroke6,7
Tidak dapat Dapat dimodifikasi
dimodifikasi
Usia Merokok Riwayat stroke
Jenis kelamin Konsumsi alkohol Hipertensi
Genetik Penggunaan narkotika Penyakit jantung
Ras Hiperhomosisteinemia Diabetes mellitus
Antibodi anti fosfolipid Stenosis karotis
Hiperurisemia TIA
Peningkatan hematokrit Hiperkolesterolemia
Peningkatan kadar fibrinogen Penggunaan kontrasepsi oral
Obesitas
2.2.4 Patofisiologi5,8,9
Stroke dapat disebabkan oleh satu dari beberapa proses yang meliputi
pembuluh darah di otak:
17
1. Proses intrinsik pembuluh darah misalnya aterosklerosis, lipohialonosis,
inflamasi, deposit amiloid, deseksi arteri, malformasi, dilatasi aneurisma, atau
trombosis vena.
2. Proses yang berasal dari tempat lain menimbulkan embolus misalnya emboli
dari jantung atau sirkulasi ekstrakranial yang menyebabkan gangguan
pembuluh darah intrakranial.
3. Proses yang timbul karena aliran darah ke otak inadekuat akibat menurunnya
tekanan perfusi otak atau meningkatnya viskositas darah.
4. Proses yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di ruang subaraknoid
atau jaringan otak/intraserebral.
18
Gambar 4. Perdarahan Intraserebral
2. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan
akibat pecahnya pembuluh darah di ruangan subaraknoid (diantara lapisan
araknoid dan piamater). Seringkali ditemukan pada orang-orang dengan tekanan
darah normal. Perdarahan subaraknoid biasanya disebabkan abnormal arteri pada
lapisan dasar otak, disebut juga aneurisma serebral. Perdarahan subaraknoid
dapat terjadi infark karena adanya vasospasme. Vasospasme terjadi pada hari ke
2-6 hari setelah perdarahan, dan menetap selama 5 minggu. Vasospasme terjadi
pada daerah aneurisma yang pecah, tetapi dapat juga pada tempat yang jauh dan
bilateral. Darah dalam subaraknoid dapat menghilang pada 9-12 hari. Komplikasi
dari perdarahan subaraknoid dan spasme arteri dapat menimbulkan pembentukan
infark.
19
2.2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan pengumpulan data dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hal penting yang
harus ditanyakan saat anamnesis adalah onset terjadinya stroke untuk menentukan
pilihan terapi selanjutnya. Manifestasi klinis dari stroke yang dapat ditemukan
berupa kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiparesis), rasa kebas pada satu sisi
tubuh (hemihipestesi), bicara pelo (disartria), kesulitan dalam berbahasa (afasia),
nyeri kepala, gangguan penglihatan, dll.1,10
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah gejala dan
tanda yang terdapat pada pasien disebabkan oleh stroke atau bukan stroke.
Berbagai algoritma dan assessment tool dapat digunakan untuk membedakan
apakah gejala dan tanda pada pasien disebabkan oleh stroke atau bukan stroke,
algoritma yang sering dipakai diantaranya adalah Face Arm Speech Test (FAST)
dan Los Angeles Prehospital Stroke Scale (LAPSS).
Tabel 2 Face Arm Speech Test (FAST)
Kriteria Keterangan
F Facial palsy Salah satu sisi wajah terjatuh dan tidak bergerak
A Arm weakness Salah satu sisi lengan tidak bisa bergerak atau lebih
rendah dibandingkan dengan lengan sisi yang lain
S Speech impairment Bicara pelo, tidak dapat berbicara
Keterangan: Diagnosis kemungkinan stroke jika ditemukan ≥ 1 kriteria di atas
20
3. Mengangkat lengan
Keterangan: diagnosis kemungkinan stroke jika semua kriteria di atas memiliki
jawaban “yes” atau “unknown”
21
(jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Muntah pada Sering Sering Tidak, kec lesi
awalnya di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
Penurunan Ada Ada Tidak ada
kesadaran
Kaku kuduk Jarang Ada Tidak ada
Hemiparesis Sering dari Permulaan Sering dari
awal tidak ada awal
Gangguan bicara Bisa ada Jarang Sering
Likuor Bisa terdapat Berdarah Jernih
cerebrospinal darah
22
Tabel 6 Interpretasi Siriraj Stroke Score (SSS)15
Total SSS Keterangan
¿1 Hemoragik serebral
←1 Infark serebral
−1 s.d. 1 Tidak dapat ditentukan, perlu pemeriksaan penunjang lain
23
merangkum tingkat disabilitas dalam mRS (modified ranking scale) untuk
menunjukkan kondisi ini dalam angka. 0-1 menunjukkan kemandirian total,
namun 0-2 merupakan hasil yang cukup memuaskan.
Tabel 7 National Institute Health Stroke Scale
1a Tingkat Kesadaran 0 Sadar penuh
1 Tidak sadar, namun mudah
dibangunkan
2 Tidak sadar, sulit dibangunkan
3 Hanya berespon dengan refleks
motorik atau refleks autonom
2a Kesadaran – Verbal 0 Menjawab 2 pertanyaan dengan
baik
1 Menjawab 1 pertanyaan dengan
baik
2 Tidak dapat menjawab pertanyaan
1c Kesadaran – Perintah 0 Melakukan 2 perintah dengan baik
1 Melakukan 1 perintah dengan baik
2 Tidak dapat melaksanakan
perintah
2 Penglihatan 0 Normal
1 Kelumpuhanparsial
2 Terdapat deviasi
3 Visual 0 Tidak terdapat gangguan visual
1 Hemianopia parsial
2 Hemianopia bilateral
3 Hemianopia total
4 Kelumpuhan wajah 0 Normal
1 Paralisis minor
2 Paralisis parsial
3 Komplit paralisis pada kedua sisi
5 Gerakan lengan 0 Normal
(a) Lengan kiri 1 Sedikit lemah
(b) Lengan kanan 2 Bisa melawan gravitasi
3 Tidak dapat melawan gravitasi
4 Tidak bergerak
UN Amputasi
6 Gerakan tungkai 0 Normal
(a) Kaki kiri 1 Sedikit lemah
(b) Kaki kanan 2 Bisa melawan gravitasi
3 Tidak dapat melawan gravitasi
24
4 Tidak bergerak
UN Amputasi
7 Ataxia anggota gerak 0 Tidak ada
1 Terdapat pada satu bagian
2 Terdapat pada dua bagian
UN Amputasi
8 Sensori 0 Normal
1 Kelumpuhan sensoriderajat ringan
sedang
Kelumpuhan sensori derajat berat
2 (komplit)
9 Berbahasa 0 Tidak ada afasia
1 Ringan - sedang afasia
2 Afasia berat
3 Afasia global
10 Disartria 0 Normal
1 Disartria ringan-sedang
2 Disartria berat
UN Terintubasi
11 Gangguan rangsangan 0 Normal
1 Inatensi Visual, taktil, auditorik,
spasial, personal
2 Hemi - Inatensi pada lebih dari 1
modalitas
25
1. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kadar gula darah (gula darah
sewaktu, gula darah puasa, gula darah 2 jam post prandial), fungsi hepar,
fungsi ginjal, profil lipid, kadar elektrolit serum, kadar asam urat
2. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT scan kepala, MRI kepala,
angiografi
3. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
4. Pemeriksaan punksi lumbal
26
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat menunjukkan manifestasi klinis yang mirip dengan
stroke, seperti hemiplegia dan afasia. Patogenesis disfungsi sistem saraf
pusat fokal akibat hipoglikemia masih belum jelas. Hipoglikemia
merupakan kelainan yang dapat dideteksi dengan cepat dan dapat
dikoreksi dengan cepat pula. Kondisi hemiplegia dapat pulih segera
setelah pemberian glukosa intravena, namun dapat juga pulih setelah
beberapa jam.
2. Space occupying lesion (SOL) intrakranial
Hematoma subdural, abses serebral, tumor primer sistem saraf pusat,
dan metastasis tumor merupakan kondisi klinis yang sering
menunjukkan manifestasi klinis mirip stroke. Manifestasi klinis pada
kondisi ini bersifat kronis progresif. Namun tidak jarang ditemukan
manifestasi klinis dengan onset akut. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh SOL yang dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif
atau efek sekunder dari penekanan SOL pada pembuluh darah otak.
3. Bangkitan (seizure)
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa bangkitan merupakan
penyebab yang sering menjadi penyebab timbulnya manifestasi klinis
mirip stroke. Suatu penelitian menyatakan bahwa bangkitan dapat
menyebabkan kelemahan pada ekstremitas dalam waktu singkat, namun
dapat juga bertahan hingga 48 jam. Bangkitan juga merupakan
komplikasi dari stroke akut atau timbul pada pasien dengan riwayat
stroke.
4. Migrain
Migrain kemungkinan dapat mencetuskan terjadinya stroke. Namun,
ada suatu jenis migrain, yaitu, migrain hemiplegia (hemiplegic
migrain), dimana hemiparesis unilateral timbul secara bersamaan
dengan migrain. Diagnosis ini sulit untuk ditegakkan pada saat hal
tersebut muncul pertama kalinya, namun diagnosisnya menjadi lebih
jelas seiring berjalannya waktu dan manifestasi klinisnya muncul
berulang kali.
27
5. Ensefalopati dan kondisi toksik-metabolik lainnya
Hiperglikemia hiperosmolar dapat menyebabkan defisit neurologis
fokal yang mirip dengan stroke. Manifestasi klinis defisit neurologis
fokal pada hiperglikemia meliputi afasia, hemianopia homonim,
hemihipestesia, hemiparesis, hiperrefleks unilateral, dan ditemukannya
refleks Babinski. Kondisi ensefalopati metabolik lainnya yang dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang mirip dengan stroke adalah
hiponatremia dan ensefalopati hepatik.
2.2.8 Penatalaksanaan Stroke10
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik,
dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala
dan klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah,
rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan
kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-
lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri,
dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera
kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda
distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan
torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem
motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS
(National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1,
Level of evidence B).
2. Terapi Umum
28
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis,
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan
dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata
(ESO, Class IV, GCP).
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95% (ESO, Class V, GCP).
- Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar
dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C).
- Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan
terapi oksigen. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B)
- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg
atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi.
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.
Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan
dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian
cairan hipotonik seperti glukosa).
- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan
tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana
untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
- Optimalisasi tekanan darah.
29
- Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah
mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara
titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140
mmHg.
- Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama
24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence B).
- Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsultasi Kardiologi).
- Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung
sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C).1
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
- Tekanan darah
- Pemeriksaan jantung
- Pemeriksaan neurologi umum awal: Derajat kesadaran,
pemeriksaan pupil dan okulomotor, keparahan hemiparesis.
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema
serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan
gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah
serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70
mmHg.
- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi :
30
i. Tinggikan posisi kepala 200 – 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan
tindakan operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada
histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan
kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum
suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema
otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi
dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B).
31
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal
yang menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B).1 Terapi
transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke
perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit.
- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke
iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence C).
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan
profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan,
dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan
(AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
g. Pengendalian Suhu Tubuh
- Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence C).
- Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC
(AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).
- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan
antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
32
- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik
(AHA/ASA Guideline).
h. Pemeriksaan Penunjang
- EKG Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal
hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan
elektrolit)
- Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan
punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal
- Pemeriksaan radiologi
- Foto rontgen dada
- CT Scan
Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak
tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita
panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai
normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa
gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah
dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
33
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan
baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
- Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
- Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55
%);
- Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak
mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.4
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli
paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan
(AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes
kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai
dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai
kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena
dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau
34
heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).5
Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu
diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima
antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin
direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam.
(AHA/ASA, Level of evidence A and B).6
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia
(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati
dengan titrasi insulin (AHA/ASA,Class I, Level of evidence C).1
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
infuse glukosa 10-20%.
b. jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan
mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol
bias digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TTIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium,
MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE,
TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada
pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum
35
berdiameter >3 cm, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau
serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan
tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-
vena (arteriovenous malformation, AVM).
Perbandingan tatalaksana stroke perdarahan menurut guideline stroke 2011
oleh PERDOSSI dan guideline stroke oleh European Stroke Organization
(ESO)
Kriteria Guideline stroke 2011 Guideline ESO
Perdarahan intraserebral (ICH)
Unit perawatan Tidak ada rekomendasi Rekomendasi
khusus stroke khusus penatalaksanaan pada unit
perawatan stroke akut
dibandingkan ruangan biasa
Penurunan tekanan TD hingga 140 mmHg Pada ICH akut dalam 6 jam
darah (TD) dengan cepat masih aman. onset, penurunan TD intensif
Agen antihipertensi yang (target sistolik <140 mmHg
dapat digunakan: penyekat dalam <1 jam) aman dan
beta (labetalol, esmolol), mungkin lebih
penyekat kanal kalsium menguntungkan daripada
(nicardipin, diltiazem). target sistolik <180 mmHg.
Tidak ada agen spesifik yang
direkomendasikan.
Pemberian factor Tidak direkomendasikan Tidak direkomendasikan
koagulasi penggunaan factor VIIa penggunaan rFVIIa untuk
rekombinan (rFVIIa) untuk dewasa dengan ICH spontan
ICH karena peningkatan yang tidak berhubungan
resiko tromboemboli dan dengan peningkatan resiko
tidak ada keuntungan nyata kejadian tromboemboli
bagi pasien yang tidak
terseleksi
Pencegahan Digunakan pneumatic Penggunaan stoking pendek
tromboemboli vena intermittent compression atau pajang tidak
selain dengan stoking direkomendasikan.
elastik Direkomendasikan
penggunaan pneumatic
intermittent compression
36
untuk memperbaiki hasil dan
menurunkan resiko DVT
pada pasien immobile
dengan ICH.
Pasien dengan Sebaiknya tidak diberikan Tidak ada rekomendasi
peningkatan INR warfarin, mendapat vitamin khusus
terkait obat K-dependent factor,
antikoagulan mengoreksi INR dan
mendapat vitamin K
Pasien dengan Diberikan vitamin K 10 mg Pada pasien yang mendapat
gangguan koagulasi IV dengan kecepatan <1 vitamin K antagonis dengan
mg /menit pada kenaikan INR, obat
peningkatan INR antikoagulan dihentikan,
Diberikan FFP 2-6 unit kemudian diberikan vitamin
untuk mengoreksi K 5-10 mg IV, ditambah
defisiensi factor transfuse FFP (20 ml/kg)
pembekuan atau PCC (25-40 IU/kg)
Diberikan protamine sulfat Diberikan protamine sulfat
10-50 mg IV dalam 1-3 IV untuk pasien yang
menit untuk efek heparin mendapat heparin
Pemberian obat anti Bila terdapat kejang atau Tidak ada rekomendasi yang
epilepsy perubahan status kesadaran kuat dalam pemberian obat
dengan hasil gelombang antiepilepsi sebagai
epileptogenic pada EEG profilaksis maupun sebagai
maka diberikan obat penatalaksanaan pasien ICH
antiepilepsy yang mengalami kejang awal
Tidak ada rekomendasi untuk menurunkan resiko
antiepilepsi profilaksis kejang berulang.
Prosedur operasi Pada sebagian besar pasien Tidak ada bukti yang
dengan perdarahan mendukung intervensi bedah
intracranial, kegunaan secara rutin untuk
tindakan operasi masih meningkatkan hasil setelah
belum pasti. ICH supratentorial
Pasien dengan bekuan dibandingkan dengan
darah di lobus >30 mm dan manajemen konservatif,
terdapat 1 cm dari tetapi pembedahan segera
permukaan, evakuasi mungkin dapat bernilai pada
perdarahan intracranial pasien dengan GCS 9-12
supratetorial dengan
kraniotomi standar dapat
dipertimbangkan.
Kontrol tekanan Setelah periode akut Direkomendasikan
37
darah setelah ICH perdarahan intracranial, TD menurunkan tekanan darah
dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan
menjadi <140/90 mmHg sekunder setelah kejadian
atau <130/80 mmHg pada ICH.
psien diabetes atau
penyakit ginjal kronik.
Perdarahan subaraknoid (SAH)
Observasi Tatalaksana awal di ruang Rawatan sebaiknya
gawat darurat, kemudian dilakukan di ruang ICU atau
rawatan dilakukan di ruang fasilitas intermediate khusus
intensif stroke atau unit
neurovaskuler.
Penurunan tekanan Dilakukan pemantauan Pada SAH, TD dijaga tetap
darah tekanan perfusi serebral <180 mmHg sampai
dan penurunan TD dengan dilakukan coiling atau
target 140-160 mmHg. clipping (dapat tercapai
Untuk SAH dapat diberikan dengan pemberian
nimodipin. nimodipine dan analgetik),
MAP dijaga >90 mmHg.
Terapi Direkomendasikan pada Diberikan asam traneksamat
antifibrinolitik keadaan klinis tertentu: sedini mungkin setelah
epsilon-aminocaproic acid diagnosis SAH ditegakkan,
loading 4 mg IV diikuti diberikan sampai terjadi
infus kontinu 1g/jam atau oklusi dari aneurisma yang
asam traneksamat loading 1 biasanya terjadi setelah 72
g IV dilanjutkan 1g/6 jam jam.
selama 72 jam Tetapi terapi tersebut
Kontraindikasi pada pasien dikatakan masih
dengan koagulopati, memberikan hasil akhir yang
riwayat infark miokard tidak terlalu bermakna.
akut, stroke iskemik,
emboli paru, atau DVT.
Dianjurkan kombinasi
dengan obat mengurangi
vasospasme
Operasi rupture Dilakukan clipping atau Dilakukan clipping atau
aneurisma endovascular coiling endovascular coiling dengan
dengan tindakan coiling tindakan coiling lebih
lebih bermanfaat. bermanfaat.
Tatalaksana dan Diberikan nimodipine 1-2 Diberikan nimodipine 60 mg
pencegahan mg/jam IV pada hari ke 3 peroral setiap 6 jam, jika
vasospasme atau 60 mg peroral setiap 6 pasien tidak bisa menelan,
38
jam selama 21 hari. maka diberikan melalui
Cara lain: diberikan NaCl NGT dengan
3% 50 ml 3 kali sehari menghancurkan obat dan
(hati-hati komplikasi dilarutkan dengan NaCl. Jika
central pontine myelinosis). tidak mungkinsecara oral,
Bila terjadi delayed dapat diberikan secara IV.
vasospasme, stop
nimodipine, antihipertensi
dan diuretic. Berikan 5%
albumin 250 ml IV, bila
memungkinkan pasang
swanganz dan usahakan
wedge pressure 12-14
mmHg, jaga cardiac index
sekitar 4 L/min/sg.meter,
berikan dobutamin 2-15
ug/kg/min
Analgetik Asetominofen 0,5-1 g/4-6 Asetaminofen 500 mg tiap
jam maksimal 4 gr/4-6jam 3-4 jam
Kodein fosfat 30-60 mg Untuk nyeri hebat dapat
oral atau IM/4-6 jam diberikan tramadol (sup.
Tynanol dengan kodein atau IV) atau kodein, atau
Hindari asetosal pilihan terkhir piritramide
(IM atau IV)hindari
pemberian aspirin sebelum
oklusi aneurisma
39
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada
level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan
secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
1. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar
15% (sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan
apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah
diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang
akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga
TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS
<180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian
rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class
IIb, Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean
Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
3. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan
pemantauan tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
4. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi
40
intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140
mmHg masih diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence
B).
5. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
6. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
7. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
8. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak.
9. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus
dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi
serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah
PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang,
pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah
diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180
mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko
terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung
pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan
komorbiditas kardiovaskular.
10. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai
panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran
fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi.
41
Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan
efek neuroprotektif dari nimodipin.
11. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi
dapat dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA
aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target
rentang tekanan darah belum jelas.
12. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
42
Dasar diagnosis etiologik : Stroke hemoragik
Diagnosis etiologik stroke pada pasien ini didapatkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial berupa penurunan kesadaran dan muntah. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan paresis N. VII sinistra tipe sentral, dan lateralisasi anggota gerak
sinistra. Stroke hemoragik diperkirakan terjadi pada pasien ini karena berdasarkan
skor Gajah Mada pada pasien ini ditemukan 3 dari 3 kriteria skor, diantaranya
penurunan kesadaran (+), nyeri kepala (+), dan refleks patologis (+). Selain itu,
Siriraj Stroke Score (SSS) pada pasien ini adalah 4,5 sehingga dapat diprediksi
kemungkinan besar pasien mengalami stroke hemoragik. Namun, hal ini harus
tetap dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang, seperti CT scan.
Dasar diagnosis banding
Stroke non hemoragik dipikirkan karena stroke jenis ini juga menunjukkan
manifestasi defisit neurologis yang bersifat mendadak dan mirip dengan stroke
hemoragik. Selain itu, pada stroke non hemoragik terutama yang melibatkan lobus
otak yang juga dapat menunjukkan manifestasi penurunan kesadaran. Untuk
menyingkirkan diagnosis banding dilakukan pemeriksaan penunjang, dimana gold
standar yang dipakai adalah CT Scan tanpa kontras. Pemeriksaan CT-Scan kepala
pada stroke infark menunjukkan gambaran area hipodensitas, sementara pada
stroke hemoragik didapatkan gambaran area hiperdensitas..
Dasar usulan pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
dilakukan untuk mendeteksi faktor risiko stroke, yaitu peningkatan
hematokrit.
2. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan puasa dilakukan untuk
mendeteksi faktor risiko stroke, yaitu diabetes mellitus, dan juga untuk
merencanakan tatalaksana jika ditemukan kelainan kadar gula darah.
3. Fungsi hepar (SGOT, SGPT) dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding stroke, yaitu
ensefalopati hepatik dan kondisi toksik-metabolik lainnya. Fungsi ginjal
juga perlu dievaluasi sebelum pasien diberikan manitol sebagai salah satu
tatalaksana.
43
4. Profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida) dilakukan untuk
mendeteksi faktor risiko stroke, yaitu dislipidemia, dan juga untuk
merencanakan tatalaksana jika ditemukan kelainan profil lipid
5. Kadar asam urat dilakukan untuk mendeteksi faktor risiko stroke, yaitu
hiperurisemia, dan juga untuk merencanakan tatalaksana jika ditemukan
kelainan kadar asam urat
6. Kadar elektrolit serum dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
stroke, yaitu hiponatremia
7. Elektrokardiografi (EKG) dan foto toraks dilakukan untuk mendeteksi
faktor risiko stroke, yaitu kelainan jantung, dan juga untuk merencanakan
tatalaksana jika ditemukan kelainan jantung
8. CT scan dan MRI kepala dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
mengetahui jenis patologi stroke (stroke infark atau stroke hemoragik),
menyingkir diagnosis banding, dan merencanakan tatalaksana terhadap
penyakit.
Dasar diagnosis akhir
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui bahwa terjadi penurunan
kesadaran yang didahului dengan nyeri kepala, muntah, kelemahan anggota gerak
kiri mendadak, bicra pelo, serta adanya riwayat hipertensi tidak terkontrol. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran koma, GCS E3V3M5, tekanan darah
210/100 mmHg, paresis N. VII sinistra tipe sentral, paresis N. XII, lateralisasi ke
arah sinistra. Pemeriksaan head CT-scan merupakan gold standard untuk
menentukan penyebab stroke yang terjadi. Hasil head CT-scan pada pasien
menunjukkan tampak adanya lesi hiperdens batas tegas disertai lesi hipodens di
sekitarnya pada area lobus frontoparietal dextra disertai edema cerebri, yang mana
menunjukkan perdarahan intracerebri.
Dasar rencana terapi
1. Umum
- Tirah baring
- dengan posisi kepala ditinggikan 30o dilakukan untuk mempertahankan
sirkulasi darah yang adekuat ke otak
44
- Observasi tanda-tanda vital dan status neurologis dilakukan untuk
memantau perkembangan penyakit
- Mobilisasi dan rehabilitasi medik dilakukan untuk mencegah terjadinya
kecacatan maupun komplikasi dari immobilisasi lama akibat stroke dan
juga untuk membantu mengembalikan fungsi yang optimal dalam
menjalankan activity of daily living (ADL)
2. Khusus
- Infus asering merupakan cairan kristaloid untuk stabilisasi
hemodinamik
- Infus manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi
karena edema akibat perdarahan intra serebral.
- Asam traneksamat sebagai anti perdarahan mencegah perdarahan
berulang.
- Omeprazol diberikan untuk mencegah terjadinya stress ulcer.
- Nicardipin merupakan golongan Calcium channel blocker (CCB)
sebagai anti hipertensi dan digunakan untuk tatalaksana hipertensi
emergensi.
45
DAFTAR PUSTAKA
46