NIM : 11-2013-311
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 50 tahun
Pendidikan :-
No CM : 00335247
Tanggal masuk RS : 16 Desember 2015, pasien rawat inap Catelia A ruang 103
II. SUBJEKTIF
Keluhan Utama:
Pasien di bawa oleh keluarganya ke IGD Rumah Sakit Bhakti Yudha dengan penurunan
kesadaran, keluhan tersebut disampaikan oleh keluarga sekitar 30 menit sebelum masuk RS
.Penurunan kesadaran secara tiba-tiba.Menurut keluarga pasien sebelumnya pasien terjatuh sedang
memasak.Tidak ada benturan kepala,pasien lemas dan terjatuh perlahan-lahan ke bawah.Pasien
tidak kejang, tidak mual dan tidak muntah.Di IGD Rumah Sakit Bhakti Yudha pasien merintih
kesakitan,pasien selalu pegang kepalanya.Pasien tidak respon saat coba dibangunkan atau
dipanggil,pasien kadang-kadang buka mata dan pasien tidak bicara. Menurut keluarga
pasien,pasien sebelum kejadian tidak pernah mengeluh lemas pada anggota tubuh ,bicara
pelo,sakit kepala,dan pasien baru pertama kali seperti ini. Pandangan kabur dan riwayat tersedak
saat makan dan minum disangkal oleh keluarga pasien.BAK dan BAB normal. Riwayat adanya
demam, penurunan BB sebelumnya serta kejang disangkal keluarga.
Riwayat DM (-)
Sedang
1. Status Generalis
2. Status psikis
3. Status neurologis
iii) Nervus Okulomotorius (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), Nervus Abducens (N.
VI)
Kanan kiri
Gerakan mata :
Doll eyes - -
Pupil
Diameter 3mm 3mm
Bentuk bulat isokor bulat isokor
Posisi sentral sentral
Reflex cahaya langsung + +
Reflex cahaya tak langsung + +
Strabismus - -
Nistagmus - -
N. trochlearis:
Gerak mata ke lateral
Bawah tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
N.trigeminus:
Reflex kornea tidak dilakukan
N. abdusens:
Gerakan mata kelateral Tidak dilakukan
Strabismus divergen Tidak dilakukan
Diplopia Tidak dilakukan
Rasa lidah 2/3 depan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Kanan Kiri
1. Badan
a. Motorik
i. Respirasi : Spontan, simetris dlm keadaan statis dan dinamis
ii. Duduk : Tidak dapat dinilai
iii. Bentuk columna verterbralis : tidak dapat dinilai
iv. Pergerakan columna vertebralis : Tidak dilakukan
b. Sensibilitas
Taktil : Tidak dilakukan
Atrofi - -
b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Lokalisasi - -
Atrofi - -
b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil - -
4. Refleks
Kanan Kiri
Refleks Fisiologis
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +
Refleks Patologis
Hoffman-Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Schaffer - -
Oppenheim - -
Kaku kuduk +
Brudzinki I -
Brudzinki II -
Tes lasegue -
Kernig -
e. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor :-
Miokloni : -
Khorea :-
f. Alat vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Berdasarkan siriraj stroke skor :
(3 x ateroma) – 12
i. Derajat kesadaran :2
ii. Vomitus :1
iii. Nyeri kepala :1
iv. Tekanan diastolik sebelum perubahan : 100
v. Ateroma :1
+ + - Perdarahan
+ - - Perdarahan
- _ - Perdarahan
- _ + Iskemik
- - - Iskemik
1. Laboratorium
2. CT scan
3. EKG
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DARAH RUTIN
Hb : 14,7 g/dl
Ht : 41 %
Edema cerebri
Objektif: Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran
somnolen GCS 10 (E3M5V2), tekanan darah 2100/130 mmHg, suhu 37,3 °c, nadi 67 x/menit,
nafas 20 x/menit. Refleks cahaya langsung ada kanan kiri. Pupil isokor, bulat, Ø 3mm/3mm,
refleks cahaya tidak langsung +/+. motorik; saat difleksikan kedua tungkai bawah dan didekatkan
kedua tungkai jatuh bersamaan(kesan hemiparesis -), normotonus, atrofi (-). Refleks fisiologis
menurun, refleks patologis:tidak ada,rangsal meningeal :kaku kuduk + .
Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
DARAH RUTIN
Hb : 14,7 g/dl
Ht : 41 %
MCV : 80.1 fL
Edema cerebri
V. DIAGNOSIS KERJA
Terdapat diagnostik lainnya dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang :
VI. TATALAKSANA
Nonmedikamentosa
FOLLOW UP
S Menurut keluarga pasien kesadaran belum Menurut keluarga pasien ,pasien belum
ada perbaikan,muntah (-),mual (-),pasien ada perbaikan,keadaan sama seperti
tidak merintih,pasien tidak memegang sebelumnya
kepalanya,pasien tidak kejang.
Pupil:Isokor, ukuran 3 mm
Doll eyes :-
RF: RP : RF: RP :
+ + - - - - - -
+ + - - - - - -
Sliding scale
Bilas lambung
Balance cairan
Obat oral tunda dulu
BAB II
Tinjauan Pustaka
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh, dapat merespon terhadap
rangsangan dan diindikasikan dari tingkah lakunya dan cara bicaranya serta sadar penuh terhadap
atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.1
Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat, yang dapat
membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya
mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat di- sebabkan beraneka ragam
penyebab baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktu-
ral/metabolik di tingkat korteks serebri, batang otak atau keduanya. Bergantung pada
kerusakannya, gejala utama yang timbul dapat berupa : obtundasi, stupor, semicoma dan coma. 2
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan
sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi
akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran
maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Dalam beberapa kasus, kesadaran tidak hanya mengalami penurunan, namun dapat terganggu baik
secara akut maupun secara kronik/progresif. Terganggunya kesadaran secara akut, antara lain:3
Clouding of consciousness (somnolen) keadaaan dimana terjadi penurunan tingkat
kesadaran yang minimal sehingga pasien tampak mengantuk yang dapat disertai dengan
mood yang irritabledan respon yang berlebih terhadap lingkungan sekitar. Biasanya
keadaan mengantuk akan lebih tampak pada pagi dan siang hari, sedangkan pada malam
harinya pasien akan terlihat gelisah.
Delirium merupakan keadaaan terganggunya kesadaran yang lebih dikarenakan
abnormalitas dari mental seseorang dimana pasien salah menginterpretasikan stimulan
sensorik dan terkadang terdapat halusinasi pada pasien. Berdasarkan DSM-IV, delirium
adalah gangguan kesadaran yang disertai ketidakmampuan untuk fokus atau mudah
terganggunya perhatian. Pada delirium, gangguan hanya terjadi sementara dalam waktu
yang singkat (biasanya dalam hitungan jam atau hari) dan dapat timbul fluaktif dalam 1
hari. Pasien dengan delirium biasanya mengalami disorientasi, pertama adalah waktu,
tempat, lalu lingkungan sekitar.
Obtundation (apatis) kebanyakan pasien yang dalam keadaan apatis memiliki
penurunan kesadaran yang ringan sampai sedang diikuti dengan penurunan minat terhadap
lingkungan sekitar. Pasien biasanya merespon lambat terhadap stimulan yang diberikan.
Stupor kondisi dimana pasien mengalami tidur yang dalam atau tidak merespon, respon
hanya timbul pada stimulan yang kuat dan terus menerus. Dalam keadaan ini dapat
ditemukan gangguan kognitif.
Koma keadaan dimana pasien tidak merespon sama sekali terhadap stimulan, meskipun
telah diberikan stimulan yang kuat dan terus menerus. Pasien mungkin dapat tampak
meringis atau gerakan tidak jelas pada kaki dan tangan akibat rangsangan yang kuat, namun
pasien tidak dapat melokalisir atau menangkis daerah nyeri. Semakin dalam koma yang
dialami pasien, respon yang diberikan terhadap rangsangan yang kuat sekalipun akan
menurun.
Locked-in syndrome keadaan dimana pasien tidak dapat meneruskan impuls eferen
sehingga tampak kelumpuhan pada keempat ektremitas dan saraf cranial perifer. Dalam
keadaan ini pasien bisa tampak sadar, namun tidak dapat merespon rangsangan yang
diberikan.
Terganggunya kesadaran secara akut lebih berbahaya dibandingkan terganggunya kesadaran
yang bersifat progresif.Terganggunya kesadaran secara progresif/kronik, antara lain:3
Dementia penurunan mental secara progeresif yang dikarenakan kelainan organic,
namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran. Penurunan mental yang tersering adalah
penurunan fungsi kognitif terutama dalam hal memori/ingatan, namun dapat juga disertai
gangguan dalam berbahasa dan kendala dalam melakukan/menyelesaikan/menyusun suatu
masalah.
Hypersomnia keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal namun saat terbangun,
kesadaran tampak menurun/tidak sadar penuh.
Abulia keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan sekitar (lack of will)
dan merespon secara lambat terhadap rangsangan verbal. Sering kali respon tidak sesuai
dengan percakapan atau gerakan yang diperintahkan, namun tidak ada gangguan fungsi
kognitif pada pasien.
Akinetic mutism merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak diam dan tidak awas
terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
The minimally conscious state (MCS) keadaan dimana terdapat penurunan kesadaran
yang drastis/berat tetapi pasien dapat mengenali diri sendiri dan keadaaan sekitar. Keadaan
ini biasanya timbul pada pasien yang mengalami perbaikan dari keadaan koma atau
perburukan dari kelainan neurologis yang progresif.
Vegetative state (VS) bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien yang mengalami
penurunan kesadaran,meskipun tampak mata pasien terbuka, namun pasien tetap dalam
keadaan koma. Pada keadaan ini regulasi pada batang otak dipertahankan oleh fungsi
kardiopulmoner dan saraf otonom, tidak seperti pada pasien koma dimana hemisfer cerebri
dan batang otak mengalami kegagalan fungsi. Keadaan ini dapat mengalami perbaikan
namun dapat juga menetap (persistent vegetative state). Dikatakan persisten vegetative
state jika keadaan vegetative menetap selama lebih dari 30 hari.
Brain death merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi otak mengalami
kegagalan, sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan fungsi jantung dan paru yang
menyuplai oksigen dan nutrisi ke organ-organ tubuh. Kematian otak tidak hanya terjadi
pada hemisfer otak, namun juga dapat terjadi pada batang otak.3
Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik
yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma.Terminologi tersebut
bersifat kualitatif.Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan
menggunakan skala koma Glasgow. Penilaian kesadaran biasanya berdasarkan respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan oleh pemeriksa.4
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbital atau kuku jari 2
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Baik dan tak ada disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang 5
baik dan atau dimana ia berada,tahu waktu,hari,bulan)
Kacau (confused)
(dapat bicara dalam kalimat,namun ada disorienasi waktu dan tempat) 4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,namun tidak berupa 3
kalimat dan tidak tepat)
Mengerang (tidak mengucapkan kata,hanya suara mengerang) 2
Tidak ada jawaban 1
Bilakita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma tidak didapatkan
respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah nilai 3.
1. Lesi supratentorial
2. Lesi subtentorial
3. Proses metabolic
Koma supratentorial
1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri,sedang batang otak tetap normal.Ini
disebabkan proses metabolic.
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema
sekitarnya misalnya tumor otak,abese dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran
struktur di sekitarnya terjadilah 1. Herniasi girus singuli, 2.Herniasi trantentorial sentral,
3.Herniasi unkus.
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri kea rah kontralateral menyebabkan tekanan pada
pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
Herniasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang trstrokaudal dari
kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka menekan
diensefalon,mesensefalon,pond an medulla oblongata melalui celah tentorium.
3.Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempatu sisi lateral fossa kranii media atau lobus temporalis;
lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus kearah garis tengah dank e atas tepi bebas
tentorium; akhirnya menekan n.Ifi di mesensefalon ipsilateral, kemudiaN bagian lateral
mesensefalon dan seluruh mesensefalon.6-9
Koma infratentorial
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak pembuluh darah
yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor,
cedera kepala dan sebagainya.
b. Herrniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan menekan
tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medulla
oblongata.
Koma metabolic
Proses metabolic melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri.Koma disebakan kegagalan
difus dari metabolism sel saraf.
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolism sel saraf dan
glia.Misalnya penyakit Alzheimer.
- Anamnesis
Apakah terdapat :
Trauma kepala, kejangm epilepsy, diabetes mellitus, pengobatan dengan obat
hipoglikemik, insulin.
Penyakit ginjal, hati, jantung dan paru.
Perubahan suasana hati, tingkah laku atau depresi.
Penggunaan obat atau penyalahgunaan zat.
Alergi, gigitan serangga, renjatan anafilaktik.
Gejala kelumpuhan, demensia, gangguan fungsi luhur.
Penyakit terdahulu yang berat serta perawatan di rumah sakit sebelumnya.
Hasil anamnesis seringkali bias menjadi petunjuk dalam menentukan diagnosis
penderita dengan kesadaran menurun.
- Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan fisik umum harus meliputi:
Tanda vital
Suhu badan, jalan napas, jenis pernapasannya, dan sirkulasi (tekanan darah, denyut nadi,
aritmia)
Kepala
Tanda trauma?, hematom di kulit kepala, hematom di sekitar mata, pendarahan telinga
dan hidung.
Leher
Pemeriksaan leher hendaknya dilakukan dengan hati-hati, tidak dilakukan jika diduga
adanya fraktur tulang servikal.
Toraks/ abdomen dan ekstremitas
Tanda-tanda trauma, deformitas atau bekas suntikan. 6-9
Pemeriksaan fisik neurologis
- Penentuan derajat kesadaran kualitatif (apatis, somnolen, spoor, koma) maupun
kuantitatif (Glasgow Coma Scale/GCS).
- Pemeriksaan mata: posisi bola mata; simetris?, deviasi konjugat, besar diameter pupil,
miosis/midriasis/anisokoria?, reflex pupil, reflex kornea. Perhatikan pergerakan bila
mata dengan menggunakan doll’s eye maneuver atau res kalorik, funduskopi jika
mungkin untuk melihat adakah papilledema, fundus hipertensi dan perdarahan
papil/retina.
- Pemeriksaan motorik: adakah hemiparesis/kelumpuhan sesisi (lihat asimetri wajah,
posisi ekstremitas lengan dan tungkai)?
- Refleks fisiologis, patologis, gerakan spontan, kejang/mioklonik,
deserebrasi/dekortikasi?
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan gas darah: oksigenasi darah?, gangguan keseimbangan asam-basa?
Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal
ginjal dan elektrolit.
Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urin darah dan bilasan lambung (sesuai
indikasi).
Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto
toraks.
Herniasi
Tipe-tipe Herniasi:
1) Herniasi tentorial lateral, juga disebut herniasi uncal. Bagian daripada lobus temporalis
menuruni hiatus tentorium. Jika tidak dikawal, dapat berlaku herniasi tentorial sentral.
2) Herniasi tentorial sentral. Bagian daripada mesensefalon dan diencephalon akan menuruni
hiatus tentorium. Kerusakan struktuk dan robekan pembuluh darah dapat berlaku.
3) Herniani subfalcine. Berlaku pada SOL unilateral. Jarang memberikan gejala.
4) Herniasi tonsillar. Herniasi tonsila cerebellaris melalui foramen magnum atau hiatus
tentorium. Akan menyebabkan disfungsi batang otak.
Herniasi tonsillar
1) Neck stiffness dan head tilt.
2) Penurunan kesadaran.
3) Gangguan pernafasan hingga gagal nafas.
DEFINISI STROKE
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat
fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung
lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian. Mekasnisme vascular yang menyebabkan stroke
dapat diklasifikasikan sebagai:
KLASIFIKASI
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vascular serebral, dapat dibagi
dalam:
1. Transient ischemic attack (T.I.A)
2. Stroke-in-evolution
3. Complete stroke
a. Completed stroke yang hemoragik
b. Completed stroke yang non hemoragik
Pembagian klinis lain sebagai variasi klasifikasi di atas ialah:
1. Stroke non hemoragik, yang mencakup:
a. T.I.A
b. Stroke-in-evolution
c. Thrombotic Stroke
d. Embolic Stroke
e. Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses di luar arteri, seperti tumor, abses,
granuloma
2. Stroke hemoragik. 10
EPIDEMIOLOGI.11,12,13
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di neara maju,setelah penyakit jantung dan
kanker. Insiden tahunan adalah 2 per 1000 populasi. Mayoritas stroke adalah infark serebral.
Stroke hemoragik
Stroke hemoragik dapat terjadi setelah sumbatan pembuluh darah serebral akibat emboli dan hal
tersebut terjadi akibat proses reperfusi jaringan yang telah mengalami infark akibat emboli.
1. Perdarahan intraserebral (PIS): perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam
parenkim otak.
2. Perdarahan subaraknoid (PSA): keadaan terdapatnya atau masuknya darah ke dalam ruangan
subaraknoid karena pecahnya aneurisma, AVM, atau sekunder dari PIS.
Diagnosis
8.Hemiparesis Sering sejak awal Awal tidak ada Sering sejak awal
ETIOLOGI
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah.
6. Infeksi.
7. Neoplasma.
8. Trauma.
GEJALA KLINIS
Gambaran klinis dan klasifikasi
Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vascular yang terkena
Infark total sirkulasi anterior (karotis)
Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus kortikospinal)
Hemianopia (kerusakan pada radiasio optikus)
Deficit kortikal misalnya disfasia (hemisfer dominan ,hilangnya fungsi visuospasial
(hemisfer nondominan)
Infark parsial sirkulasi anterior
Hemiplegia dan hemianopia atau hanya deficit kortikal saja
Infark lacunar :
Penyakit intrinsic (lipohialinosisi) pada arteri kecil profunda menyebabkan sindrom
yang karakteristik,misalnya stroke motoric murni atau stroke sensorik murni atau
jhemiparesis ataksik.Infark lacunar multiple dapat menyebabkan deficit neurologis
multiple ermasuk gangguan kognitif (demensia multi-infark) dan gangguan pola berjalan
yag karakteristik seperti langkah-langkah kecil 9marche a petiti pas) dan kesulitan untuk
memulai berjalanan (kegagalan ignisi)-apraksia pola berjalan (gait apraxia)
Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar)
Tanda-tanda lesi batang otak (misalnya vertigo,diplopia ,perubahan kesadaran ).
Hemianopia homonym
Infark medulla spinalis
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka pasien menunjukan gejala nyeri kepala mendadak (dalam
hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia, mual, muntah dan tanda-tanda meningismus
(kaku kuduk dan tanda kerniq). Pada perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat edema papil dan
perdarahan retina.
Dasar Diagnosis
Kriteria Diagnosis
Klinis:
Anamnesis :
Pemeriksaan Penunjang
Tergantunng gejala dan tanda, usia, kondisi pre dan paska stroke, resiko pemeriksaan,
biaya, kenyamanan pemeriksaan penunjang.
Tujuan: Membantu menentukan diagnosis, diagnosis banding, faktor resiko, komplikasi, prognosa
dan pengobatan.
Laboratorium
Radiologis:
o Pemeriksaan rontgen dada untuk melihat ada tidaknya infeksi maupun kelainan jantung
o Brain CT-scan tanpa kontras (Golden Standard)
o MRI kepala. 14-17
PENATALAKSANAAN15
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan,
karena kemungkinan dapat memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien,
tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Guideline stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke
akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini:11
1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik > 220 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang diberi
terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik diturunkan hingga < 185 mmHg dan
tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan adalah
Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau Diltiazem intravena.
2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik > 200
mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit.
3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan intrakranial,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara
kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral > 60 mmHg.
4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan
pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah
160/90 mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole hingga 140
mmHg masih diperbolehkan.
5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya
perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut,
tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 – 160 mmHg. Sedangkan
tekanan darah sistole 160 – 180 mmHg sering digunakan sebagai target tekanan darah
sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual,
tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskuler.
6. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari
target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi
aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif.
Target penurunan tersebut adalah 15 – 25% pada jam pertama dan tekanan darah sistolik
160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada perdarahan Intrakranial dan Penyebabnya
a) Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat sebaiknya
mendapat terapi penggantian faktor koaguasi atau trombosit (HA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
b) Pasien dengan perdarahan intrakcranial dan peningkatan INR terkait obat antikoagulan oral
sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat terapi untuk mengganti vitamin K-
dependent factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena (HA/ASA.
Class I, Level of evidence C). Konsentrat kompleks protrombin tidak menunjukkan
perbaikan keluarann dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun, pemberian
konsetrat kompleks protrombin dapat mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP
dan dapat dipertimbangkan sebagai alternative FFP (AHA/ASA, Class II a, Level of
evidence B).
c) Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut :
Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan
diberikan dalam waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efek akan timbul
6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk meminimalkan risiko
anafilaksis.
FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor pembekuan darah bila
ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau aPTT .Terapi FFP ini
untuk mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.
d) Faktor VII a rekombinan tidak mengganti semua faktor pembekuan, dan walaupun INR
menurun, pembekuan bisa jadi tidak membaik. Oleh karena itu, faktor VIIa rekombinan
tidak secara rutin direkomendasikan sebagai agen tuggal untuk mengganti antikoagulan
oral pada perdarahan intrakranial. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Walaupun
factor VII a rekombinan dapat membatasi perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa
koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan meningkat dengan factor VII a
rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence A).
e) Kegunaan dari transfusi trombosit pada pasien perdarahan intrkranial dengan riwayat
penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap penelitian (AHA, ASA, Class
IIb, Level of evidence B).
f) Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan intrakranial,
sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compresion selain dengan stoking elastis
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
g) Setelah dokumentasi penghentian perdarahan LMWH atau UFH sebkutan dosis rendah
dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboemboli vena pada pasien dengan
mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari pascaawitan (HA/ II b,Level of
evidence B).
h) Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 1050 mg IV dalam waktu 1-3
menit.penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat
tanda-tanda hipersensitif (AHA/ASA,Class I,Level of evidence B).
3. Tekanan darah
5. Prosedur /Operasi
Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial atau dengan perdarahan
intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus,dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHG dapat dipertahankan
tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class ii b, level of evidence C). Drainase
ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran (AHA/ASA, Class IIA, level of evidence B).,
b. Perdarahan Intraventrikuler
c. Evakuasi hematom
Pada sebagian besar pasien dengan perdarhan intrkranial,kegunaan tindakan operasi masih belum
pasti. Pasien dnegan perdarahan serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang
terdapat kompresi batang otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sebaiknya menjalani
operasi evakuasi bekuan darah secepatnya.Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan.
d. Rehabilitasi dan pemulihan
Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa kecacatan yang berat,serius dan
kompleks semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara multidisplin. Jika memungkinkan,
rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai
bagian dari program terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan
berbasis rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah untuk meningkatkan pemulihan.
PROGNOSIS 16,17
Prognosis bergantung pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke. Kemungkinan hidup
setelah menderita stroke bergantung pada lokasi, ukuran, patologi lesi, serta usia pasien dan
penyakit yang menyertai sebelum stroke. Stroke hemoragik memiliki prognosis buruk. Pada 30
hari pertama risiko meninggal 50%, sedangkan pada stroke iskemik hanya 10%.
Pendarahan subaraknoid akibat aneurisma memiliki angka mortalitas sangat tinggi, 30-40% pasien
meninggal pada hari-hari pertama. Terdapat risiko perdarahan ulang yang signifikan, terutama
pada 6 minggu pertama, dan perdarah kedua dapat lebih berat. Oleh karena itu, tata laksana
ditujukan pada resusitasi segera dan pencegahan perdarahan ulang.
Secara umum mortalitas 26-50%, bertambah jelek pada perdararhan di thalamus dan serebellum
dengan diameter lebih dari 3 cm dan perdarahan pontine yang lebih dari 1 cm. Prognosis ebih baik
pada perdarahan lobar dengan mortalitas kira-kira 6-30%. Jika diukur dengan volume mortalitas
kurang dari 10% pada perdarahan yang kurang dari 20 mm3 dan 90% pada perdarahan yang lebih
dari 60 mm3.
Gejala neurologis permulaan serangan juga merupakan tanda prognostik penting, mortalitas
bertambah jelek pada pasien yang tidak sadar pada onset penyakit, perdarahan yang luas dan dalam
serta dengan perluasan ke ventrikel. Dilaporkan pula bahwa penderita PIS dengan SKG lebih dari
9, perdarahan kecil dan pulse pressure kurang dari 40 mmHg, kemungkinan survival dalam waktu
30 hari adalah 98%, tetapi pasien dengan koma dan perdarahan luas serta pulse rate lebih dari 65
mmHg, kemungkinan survival dalam 30 hari adalah 8%.
PEMBAHASAN KASUS
ANALISA KASUS
Pasien perempuan usia 50 tahun dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 30 menit
sebelum masuk Rumah Sakit.Menurut keluarga pasien,pasien lemas dan pelan pelan tubuhnya
jatuh ke bawah saat sedang masak.Kepala pasien tidak terbentur,pasien tidak bicara dan merintih
kesakitan sambil memegang kepala.Pasien tidak ada respon saat dipanggil dan kadang-kadang
membuka mata.Keluarga pasien mengaku pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang
lalu dan tidak rutin minum obat serta tidak rutin control ke dokter.
Berdasarkan Definisi
= 5
Karena > +1 adalah stroke hemoragik, dan hasil yang didapatkan adalah 5, maka diketahui bahwa
stroke yang dialami adalah stroke hemoragik.Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran :
Perdarahan intraventrikel (lateralis III dan IV),Ventrikulomegali (ventrikel lateralis III dan
1V,Perdarahan subarachnoid di kedua hemisfer serebri,Edema cerebri,Persisten cavum verge.
Hasil pemeriksaan CT scan menyokong diagnosis penurunan kesdaran ec perdarahan
subarachnoid.
Pemeriksaan tanda vital menunjukkan kesadaran Somnolen dengan GCS E3M5V2 ,tekanan darah
210/130 mmHg, nadi 67 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit dan suhu 37,3oC. Pada pemeriksaan
neurologis, didapatkan tanda rangsang meningeal kaku kuduk (+). Refleks patologis (-)Pada
pasien ini tidak dapat dinilai hemiparesis karena penurunan kesadaran,tetapi kesan hemiparesis
tidak ada,tetapi hasil ct scan didapatkan didapatkan gambaran : Perdarahan intraventrikel (lateralis
III dan IV),Ventrikulomegali (ventrikel lateralis III dan 1V,Perdarahan subarachnoid di kedua
hemisfer serebri,Edema cerebri,Persisten cavum verge. Hasil pemeriksaan CT scan menyokong
diagnosis penurunan kesadaran ec perdarahan subarachnoid.
Penurunan kesadaran pada pasien ini terjadi karena pada lesi supratentorial ini terjadi
penekanan ke bawah ke mesensefalon, pons sampai medulla. Oleh karena jaras formasi retikuler
yang mengawal kesadaran berada pada tingkat ini, kompresi pada struktur yang disebabkan tadi
dapat menimbulkan penurunan kesadaran.
Pada pasien ini terjadinya herniasi. Herniasi yang dapat terjadi adalah herniasi
transtentorial sentral dikarenakan kedua pupil pasien pint point pupil. Pada herniasi tipe ini,
tekanan yang tinggi dari massa supratentorial menyebabkan kompresi secara rostral-caudal dari
mesensefalon dan batang otak. Akibat dari penekanan akan terjadi penuruan kesadaran menjadi
somnolen dan berlanjut sehingga terjadi koma jika tidak diatasi dengan segera. Pada pasien ini
tampak penurunan kesadaran yang terjadi secara bertahap.
Berdasarkan Etiologi
Hipertensi
Berdasarkan penatalaksanaan
Pada tindakan tatalaksana, pada pasien seperti ini, tindakan pertama yang harus dilakukan
adalah menjaga saluran napas, membantu pernapasan dan memperbaiki sirkulasi. Ini adalah
penting untuk menstabilkan pasien. Apabila pasien sudah stabil maka terapi dapat dilanjutkan
dengan mentarget penyebab spesifik atau mengobati keluhan tambahan.
Pada pasien ini, diberikan mannitol sebagai agen hiperosmotik untuk menurunkan tekanan
intracranial. Mannitol bekerja dengan menarik cairan dari jaringan otak yang sehat akibat
perbedaan tekanan osmotik. Pemberian mannitol haruslah secara cepat agar efektif, dan dosis
harus diturunkan sesuai penurunan tekanan intracranial. Penggunaan manitol harus berhati-hati
agar tidak terjadinya rebound phenomenon. Pada pemberian mannitol, fungsi ginjal harus
diperhatikan. Ini adalah karena ekskresi cairan yang diserap pada pemberian mannitol diekskresi
lewat ginjal. Pada fungsi ginjal yang kurang baik malah akan menambahkan komplikasi jika
pemberian mannitol dipaksa.
Pemberian valsartan untuk menurunkan tekanan darah dengan masa kerja singkat yaitu 6
jam. Target tekanan darah sistolik 160 mmHg untuk mencegah resiko terjadinya
vasospasme,namun hal ini bersifat individual tergantung umur pasien.Pedoman penurunan
tekanan darah pada stroke akut adalah sebagai berikut:
1. Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting agent)
2. Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah
3. Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat mengakibatkan
penurunan aliran darah otak
4. Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)
5. Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan dicapai.
Prinsip penatalaksanaan bagi menurunkan tekanan intracranial ntelah dilakukan pada pasien
ini yaitu :
1. Batubara, AS. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed 80. FK USU. 1992.
Hal 85-87.
2. Adams RD, Victor M, Ropper AH.Principles of Neurology. 7th edition. New York:
McGraw-Hill;1997.
3. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. Plum and Posner’s Diagnosis of Stupor and
Coma. Oxford University Press. New York.2007. Hal. 5-9.
4. Kenneth W. Lindsay, Ian Bone. Neurology and neurology illustrated. 3rd edition. London:
Churchill Livingstone; 1997.
5. Moore KL, Agur AM. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002.
6. Susunan Saraf. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. hal 303-331.
7. Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.
Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC. 2007.
8. Harsono. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
2005.
9. Greenberg, MS. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5th ed. Thieme. NY. 2001. Hal
119-123
10. Harris, S. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in
Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. 2001. Hal.1-7
11. Rasyid Al, Soertidewi L. Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2011.
12. Hadinoto HS, Setiawan, Soetedjo. Stroke. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang: 1992;
13. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf: Neurologi
Klinis Dasar. Cetakan ke-14. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. 2009;267–292.
14. Soetjipto H, Muhibbi S. Stroke: Pengenalan & Penatalaksanaan Kasus-kasus Neurologi.
Ed II. Departemen Saraf RSPAD GS Ditkesad, Jakarta. 2007;18–34.
15. Misbach J,Lamsudin R, Aliah A, Basyiruddin A, Suroto, Rasyid Al, et al. Guideline
Stroke tahun 2011. Pokdi Stroke PERDOSSI, Jakarta. 2011.
16. Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh K (editor). Stroke: Buku Pedoman SPM & SPO
Neurologi. PERDOSSI, Jakarta. 2006;19–24.
17. Greenberg DA, Aminoff MJ. Simon RP. Stroke: Clinical Neurology Lange. Ed 6th.
McGraw Hill,USA. 2005; 285–318.