Disusun Oleh :
Vennaya Masyeba (11-2016-362)
Putri Primastuti Handayani (11-2016-376)
Sariwidya Anggreani Putri (11-2016-126)
Dian Roshita (11-2016-288)
Maria Febriany Ndapa (11-2016-133)
Pembimbing :
dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD-KGEH
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-
Nya, sehingga penelitian dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “GAMBARAN
PENYAKIT DISPEPSIA DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RSUD KOJA
PERIODE 13 NOVEMBER 2017 - 30 DESEMBER 2017 DI POLI PENYAKIT
DALAM RSUD KOJA PERIODE 13 NOVEMBER 2017 - 30 DESEMBER 2017” ini
ditujukan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan akademik dalam Kepantiteraan Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Koja Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Penelitian ini tidak
akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
pengerjaan penelitian ini, yaitu kepada :
1. Dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH-FINASIM.
2. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
3. Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan hasil penelitian ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan
sangat bermanfaat bagi penulis. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian ini, permasalahan yang akan dibahas yaitu
belum diketahuinya Gambaran Penyakit Dispepsia Dengan Diabetes Mellitus Tipe II di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja Periode 13 November 2017 – 30 Desember 2017.
Pertanyaan Penelitian
1.2.1 Pertanyaan Umum
Bagaimana Gambaran Penyakit Dispepsia Dengan Diabetes Mellitus Tipe II di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja Periode 13 November 2017 – 30 Desember 2017?
4
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai Pengetahuan Bagaimana Proporsi Dispepsia Tipe Ulkus dan
Dispepsia tipe dismolitas di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja pada tanggal 13
November 2017 – 30 Desember 2017
Menambah kepustakaan Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Koja dan
kepusatakaan Fakultas Kedokteran Universits Kristen Krida Wacana.
Sebagai pembelajaran bagi penulis dalam melakukan sebuah penelitian.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah.9 Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-),
berarti sulit, dan (Pepse),berarti pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa
rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia.10
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan
oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: sindroma yang terdiri dari keluhan -
keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat
berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri
retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia
merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.10
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis.
Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak
semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang terbukti
secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan
oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya
seharusnya tidak seragam.10
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.9,12
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.12
6
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
b. Nyeri epigastrium terlokalisasi
c. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
d. Nyeri saat lapar
e. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).10
2.1. Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami
oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapat bahwa 15-30 %
orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Dari data di negara
barat didapat angka prevalensinya berkisar antara 7-41 % tetapi hanya 10-20% yang
mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Dan
belum ada data epidemiologi di Indonesia.
7
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Organik
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides, metronidazole),
Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid, Levodopa, Niacin,
Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.13-15
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
Akhalasia
Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
Ulkus gaster dan duodenum
Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu
Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
Pankreatitis
Karsinoma pankreas
8
e. Penyakit usus
Malabsorbsi
Obstruksi intestinal intermiten
Sindrom kolon iritatif
Angina abdominal
Karsinoma kolon
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen13-11
9
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor
berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):
10
dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang
lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal (GI) seperti nyeri
muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba
menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih
buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang
normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas,
depresi dan neurotik.7
11
Kelainan gastrointestinal fungsional
Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan
fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan
nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita
dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai
gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala
extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada
anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala
Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,
perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut
tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien
juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih
darah.Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum semua
diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil
yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia
non ulkus mendukung keanekaragaman kelompok ini.8
12
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).4
13
hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolute maupun relatif. Kurangnya hormon
insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pancreas mempengaruhi metabolism
karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah
erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai
organ utama dalam transport glukosa yang menyimpang glukosa sebagai glikogen dan
kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan.
14
Keluhan klasik: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 3.KriteriaDiagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
Pada pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemeriksaan lanjutan dengan memeriksa gula darah ulangan (GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥
200 mg/dl) pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200
mg/dl.3
15
2.9. Hubungan Dispepsia dengan DM Tipe 2
2.9.1. Etiologi Dispepsia
Usia
Semua survei yang dilakukan telah memeriksa orang dewasa dengan usia 18
tahun atau lebih. Sementara sebagian besar survei menunjukkan bahwa dispepsia
tampaknya tidak terkait dengan kelompok usia tertentu, beberapa studi telah
mencatat beberapa kecenderungan.1 Dalam studi terakhir, sub-tipe dispepsia
tampaknya dikaitkan dengan kelompok usia yang berbeda: reflux-like lebih umum
pada orang dewasa paruh baya, dysmotility-like lebih sering pada mereka yang
berusia di bawah 59 tahun dan gejala ulcer-like predominant lebih sering pada
orang dewasa dengan usia kurang dari 39 tahun.1,2
Berbeda dengan Li et al, menurutnya prevalensi dispepsia yang tertinggi ada
pada siswa perempuan dan mahasiswa senior pada tahun ke-empat program
sarjana. Pengamatan klinis umum mengenai gejala gastrointestinal yang meningkat
seiring dengan usia telah dikonfirmasi oleh studi berbasis populasi dan terkait pula
dengan berkurangnya respon sensorik dari jaringan usus.1 Gejala refluks juga
sangat terkait dengan usia. Hasil penelitian menunjukkan risiko yang lebih tinggi
pada kelompok usia menengah dan risiko menurun setelah itu. Risiko gejala sedang
atau berat – tapi bukan dari gejala ringan – nyata terlihat lebih tinggi pada subyek
dengan usia antara 50 dan 69 tahun. Karena kebanyakan orang hanya melaporkan
gejala ringan, efek usia ini dapat diabaikan jika keparahan gejala tidak
diperhitungkan.1,2
Jenis Kelamin
Kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif antara
laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis kelamin.1 Beberapa
studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat dominansi konsisten terletak
pada perempuan dengan dispepsia. Jenis kelamin perempuan ditemukan menjadi
satu-satunya faktor risiko independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018
orang Taiwan yang menjadi peserta pemeriksaan kesehatan.1-3
Yu et al (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan antara
jenis kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa perempuan
memiliki skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun pertama follow-
16
updibandingkan laki-laki, konsisten dengan hasil studi cross-sectional di Taiwan.
Pada penelitian Lydiard dikatakan bahwa secara umum, gangguan pencernaan
fungsional memiliki prevalensi lebih tinggi pada wanita. Drossman et al dalam Li
et al. (2014) juga mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mampu
untuk menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan fungsional
tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama ditunjukkan kalau tidak
ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia antara pria dan wanita.1-3
Suku
Peran suku dalam dispepsia belum diteliti oleh sebagian besar studi populasi.
Sebagian besar survei telah dilakukan pada populasi tunggal atau serupa dari
kelompok suku, kebanyakan berasal dari latar belakang Kaukasia atau Oriental.1
Namun, dalam salah satu penelitian yang melibatkan subyek dengan beberapa latar
belakang suku dari sebuah institusi tunggal di Amerika Serikat, ras Afrika-Amerika
ditemukan menjadi salah satu dari beberapa faktor risiko epidemiologi untuk
dispepsia. Dalam sebuah survei terhadap populasi multi-rasial di Singapura, Asia
Tenggara, prevalensi dispepsia dari suku yang sesuai ditunjukkan sebagai berikut:
Cina 8,1%, Melayu 7,3%, dan India 7,5%. Meskipun kelompok suku mayoritas di
Singapura adalah Cina, penulis dapat memperoleh prevalensi berdasarkan
representasi yang sama dari tiga kelompok etnis yang berbeda.1-3
Dalam sebuah survei pada 2.000 subyek dari populasi multi-etnis Malaysia
yang terdiri dari Cina, India, dan Melayu, 14,6% memiliki dispepsia (kriteria Roma
II). Frekuensi dispepsia adalah 14,6%, 19,7%, dan 11,2% untuk masing-masing
kelompok suku Melayu, Cina, dan India. Dispepsia lebih umum di kalangan Cina
daripada non-Cina.1
17
pengosongan lambung dan distribusi makanan intragastrik, hipersensitivitas
lambung atau usus kecil, hipersekresi asam lambung, dan perubahan sekresi
hormon gastrointestinal.1-3
Lebih dari sepertiga pasien sindroma dispepsia melaporkan mengalami
gejala dispepsia setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung gandum,
seperti roti, kue, dan pasta (makaroni dan lasagna). 44% dari keseluruhan pasien
juga melaporkan gejala dispepsia dengan konsumsi susu. Satu penjelasan yang
mungkin untuk asosiasi ini ialah adanya malabsorpsi laktosa pada pasien ini.
Dalam studi tersebut peneliti tidak menyelidiki adanya malabsorpsi laktosa untuk
menilai kemungkinan perubahan ini dalam menginduksi gejala yang berhubungan
dengan susu. Namun, harus diperhatikan bahwa gejala yang berhubungan dengan
konsumsi susu pada pasien ini adalah rasa penuh dan terbakar di epigastrium,
berbeda dari gejala klasik malabsorpsi laktosa, yaitu nyeri perut, perut kembung,
dan diare. Ada kemungkinan bahwa keluhan dispepsia pasien tersebut terkait
dengan komponen lain dari susu, seperti lemak.1-3
Carvalho et al juga menyampaikan temuannya yang berkaitan dengan
hubungan dispepsia dan nyeri ulu hati yang dapat dipicu oleh konsumsi kopi.
DiBaise dkk menunjukkan bahwa 43% dari pasien dispepsia merasakan gejala rasa
terbakar di epigastrium dan 90% melaporkan nyeri ulu hati setelah minum kopi.
Mekanisme yang terlibat dalam perangsangan kopi terhadap gejala dispepsia tidak
sepenuhnya dipahami. Ada sangkaan bahwa kopi dapat memicu refluks
gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan gastrin.1-3
Kebiasaan Merokok
Merokok tidak hanya memiliki efek merusak yang sangat besar pada organ
kardiovaskular , otak , dan bronkus tetapi juga secara mendalam mengubah fungsi
semua bagian dari saluran pencernaan melalui berbagai mekanisme. Salah satu
efeknya berhubungan dengan mekanisme pada sindroma dispepsia. Pentingnya
peran rokok dalam mempotensiasi efek dari NSAID mungkin muncul, tetapi hasil
studi epidemiologi ini masih kontroversial. Dalam salah satu studi berbasis
populasi epidemiologi, perokok dengan konsumsi harian lebih dari dua puluh
batang memiliki risiko 1,55 kali dari bukan perokok untuk mengembangkan
dispepsia.1-3
Menurut Nandurkar, dua penelitian berbasis masyarakat sebelumnya gagal
18
untuk menunjukkan hubungan antara merokok dengan dispepsia, meskipun
merokok telah terbukti menyebabkan efek berbahaya pada mukosa lambung.
Nikotin, komponen beracun yang utama dalam tembakau, mempotensiasi cedera
mukosa dengan menambah asam dan sekresi pepsin, duodenogastric reflux, dan
produksi radikal bebas. Merokok juga merusak pertahanan mukosa dengan
mengurangi sintesis prostaglandin, sekresi lendir, dan sekresi faktor pertumbuhan
epidermal. Guslandi dkk. mempelajari aliran darah mukosa lambung dan produksi
mukosa bikarbonat dalam tiga kelompok pasien dengan dispepsia: bukan perokok,
perokok ringan (<10 batang per hari), dan perokok berat (≥10 batang per hari).
Mereka menunjukkan bahwa terjadi penurunan secara statistik yang cukup
signifikan pada aliran darah mukosa lambung dan sekresi alkali pada perokok
berat, tapi tidak terjadi di kelompok lain. Oleh karena itu, masuk akal bahwa
merokok dapat menyebabkan dispepsia melalui dampaknya pada mukosa
lambung.1-3
19
yang diinduksi aspirin dapat terjadi dalam waktu satu jam paparan.1-3
Stress
Patofisiologi dari sindroma dispepsia tidak sepenuhnya jelas. Ada beberapa
hipotesis yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma dispepsia, salah satunya
adalah hipotesis psikologis. Hal tersebut menunjukkan bahwa depresi, kecemasan,
atau pun gangguan somatisasi dapat menyebabkan gejala dispepsia. Model
biopsychological mendalilkan bahwa dispepsia dihasilkan dari interaksi timbal
balik yang kompleks antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Ada
komorbiditas dua arah antara dispepsia dan gangguan psikiatris, terutama mood dan
gangguan kecemasan. Penelitian secara patofisiologi menunjukkan hubungan
antara proses psikologis dengan gejala dan fungsi sensori-motor gastro-intestinal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kejiwaan (depresi, kecemasan,
gangguan obsesif, sensitivitas interpersonal, psychoticism, dan permusuhan) lebih
tinggi pada kelompok sindroma dispepsia daripada kontrol, dan hasil-hasil ini
kompatibel dengan penelitian sebelumnya. Levy melaporkan bahwa kecemasan,
depresi, serangan panik, dan gangguan somatisasi sering terdeteksi sebelum atau
bersamaan dengan terjadinya gangguan fungsional gastrointestinal.1-3
Dispepsia, GERD, dan IBS adalah kondisi gastrointestinal yang umum baik
di Cina maupun di seluruh dunia. Tingkat prevalensi yang berbeda dari ketiga
gangguan ini diamati pada populasi mahasiswa yang dapat mencerminkan potensi
berbeda dari asosiasi dengan faktor-faktor terkait stres. Mahasiswa berada pada
risiko yang lebih tinggi untuk gangguan psikologis. Ujian, sebagai contoh dari
stressor kehidupan nyata, menginduksi gejala dispepsia pada mahasiswa
kedokteran yang terkait dengan sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk
kecemasan.1-3
20
Teori yang menerangkan terjadinya sindrom dispepsia dan tukak peptik adalah
teori keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Teori tersebut
menerangkan bahwa terjadinya sindrom dispepsia dan tukak peptik adalah akibat
ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif. Sindrom dispepsia dan tukak
peptik akan timbul apabila faktor agresif lebih dominan dibandingkan faktor
defensif atau faktor defensif yang berkurang atau faktor defensif tidak dapat
mengimbangi faktor agresif. Akibat ketidakseimbangan tersebut akan terjadi
sindroma dispepsia, peradangan mukosa, kerusakan jaringan mukosa, submukosa
sampai lapisan otot saluran cerna bagian atas.2-6
Pada penderita DM diperkirakan terjadi gangguan faktor defensif. Keluhan
saluran cerna pada penderita DM sering dihubungkan dengan delayed gastric
emptying (gastroparesis). Prevalensi gastroparesis pada DM tipe 1 berkisar
27−58%, sedangkan pada DM tipe 2, 30−60%. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa pada penderita diabetes terjadi penurunan faktor defensif. Albertus J dkk,
mendapatkan gangguan faktor defensif pada pasien DM dimana tebal mukus
penderita dispepsia DM lebih tipis dibandingkan yang bukan DM.2-6
Asam lambung merupakan salah satu faktor agresif utama yang berperan
penting dalam timbulnya berbagai kelainan patologik pada saluran cerna bagian
atas. Bila terjadi hipersekresi asam lambung, maka akan banyak ion H+ yang
berdifusi kedalam mukosa lambung dan menimbulkan perangsangan nyeri perut
lebih besar. Hipersekresi asam lambung dapat menimbulkan peradangan mukosa,
kerusakan mukosa, submukosa, dan lapisan lebih dalam lagi sampai terjadinya
tukak peptik. Beberapa studi tentang faktor agresif pada pasien diabetes
mendapatkan bahwa sekresi asam lambung prandial akan mengalami penurunan
pada 2/3 pasien diabetes dengan neuropati otonom. Parkman dkk, mendapatkan
penurunan sekresi puncak asam lambung setelah perangsangan tetragastrin pada
11
pasien diabetes dengan neuropati otonom. Sasakidkk, Meier dkk, mendapatkan
sekresi asam lambung karena perangsangan dijumpai normal padapasien DM tipe II.
Tashimadkk, Rafsanjani dkk, dalam studinya pada model binatang tikus diabetes
mendapatkan bahwa sekresi asam lambung menunjukkan hasil yang bervariasi.2-6
Nakamura dkk, mendapatkan adanya penurunan sekresi asam lambung pada
pasien diabetes dengan neuropati otonom. Studi terbaru oleh Hasler dkk
menunjukkan bahwa sekresi asam lambung akan menurun pada pasien diabetes
21
dengan gastroparesis dibandingkan kontrol sehat, dan sekresi asam lambung lebih
rendah pada gastroparesis sedang−berat dibandingkan gastroparesis ringan.Hasil
studi diatas menunjukkan bahwa sekresi asam lambung menghasilkan data yang tidak
selalu sama. Ada kecenderungan bahwa penurunan sekresi asam lambung terjadi
pada penderita DM yang sudah mengalami komplikasi gastroparesis dan neuropati
otonom. Hasler dkk mengatakan bahwa gangguan sekresi lambung akan menurun
seiring dengan beratnya derajat retensi retensi lambung (gastroparesis) tersebut.
Nakamura dkk mendapatkan adanya penurunan sekresi asam lambung pada pasien
diabetes dengan neuropati otonom.2-6
Mikroalbuminuria adalah suatu keadaan dimana terdapat albumin di dalam
urine sebesar 20 − 199 ug/menit, Mikroalbuminuria mencerminkan telah terjadi
difungsi endotel sistemik. Pada penderita DM mekanisme terjadinya
mikroalbuminuria adalah melalui resistensi insulin dan hiperglikemia kronik. Teori
hiperglikemia kronik yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya glikasi non
enzimatik terhadap protein tertentu, merupakan mekanisme terjadinya
mikroalbuminuria dan gastroparesis. Teori yang mendasari terjadinya retensi gaster
(gastroparesis) dan mikroalbuminuria pada pasien DM adalah melalui jalur yang
sama yaitu jalur hiperglikemia kronik. Oleh karena alasan diatas dan juga oleh
karena keterbatasan penelitian maka pengukuran retensi gaster pada penelitian ini
tidak dilakukan tetapi diganti dengan pengukuran mikroalbuminuria.2-6
22
dalam sindroma dispepsia; disebut postprandial distress syndrome (PDS) dan
epigastric painsyndrome (EPS).1
Endoskopi
Tes paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang
memvisualisasi mukosa untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif, atau
keganasan dan pada saat yang sama juga memungkinkan dilakukan biopsi untuk
diagnosis histologis dan/ dokumentasi dari infeksi Helicobacter pylori. Radiografi
dengan pewarnaan kontras (barium)kurang sensitif dan spesifik dibandingkan
dengan upper endoscopy tetapi dapat digunakan sebagai alternatif. Ultrasonografi
pada kuadran kanan atas dapat dilakukan jika ada kecurigaan penyakit di daerah
pankreas atau empedu sebagaimana dibuktikan oleh riwayat pasien atau melalui
enzim hati yang abnormal. Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan
endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik dan diagnosis
secara klinis dengan baik kecuali bila ada alarm sign seperti terlihat pada Tabel 2.
Bila terdapat salah satu atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan endoskopi.1-3
23
Tabel 2. Alarm Sign 1
Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan > 10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya
Riwayat ulkus peptikum
KLASIFIKASI
KRITERIA RIWAYAT
DIAGNOSIS PENGGUNAAN
NSAID
24
2.12. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian adalah:
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
26
3.4 Bahan, Alat dan Cara Pengambilan Data
3.4.1 Alat dan Bahan
Data primer yang diperoleh dari formulir pertanyaan kepada responden
secara langsung pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keluhan dispepsia
di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja pada 13 november
2017 - 30 desember 2017.
Alat penelitian adalah pulpen, kertas, pensil dan komputer untuk
mencatat dan melaporkan hasil penelitian.
YA TIDAK
27
dalam bentuk ukuran statistik, tabel dan grafik. Data numerik disajikan dalam mean ±
SD, dan data kategorik disajikan dalam n (%).
Proposal
Penelitian
Pengolahan Data
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Usia Responden
Laki-laki 51.85 ± 5.69
Perempuan 50.19 ± 6.12
Pengelompokan Usia
1 (2.94)
<40 tahun
31(91.18)
40 – 60 tahun
2(5.88)
>60 tahun
*Data kategori disajikan dalam n (%), data numerik disajikan dalam mean ± SD
29
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan mendapatkan hasil jenis kelamin yaitu laki
– laki sebanyak 13 orang (38.24%), dan perempuan sebanyak 21 orang (61.76%), dimana
hasilnya sesuai dengan penelitian Yu et al (2013) bahwa perempuan memiliki gejala
dispepsia yang lebih tinggi dibandingkan laki – laki seperti hasil studi cross-sectional di
Taiwan. Hal ini juga dikemukakan oleh Lydiard dikatakan bahwa perempuan memiliki
prevalensi lebih tinggi terhadap gangguan pencernaan fungsional.
Berdasarkan pengelompokan usia didapatkan kelompok usia <40 tahun sebanyak 1
orang (2.94%), kelompok usia 40 – 60 tahun sebanyak 31 orang (91.18%), dan kelompok
usia > 60 tahun sebanyak 2 orang (5.88). Hasil penelitian kami berdasarkaan usia sesuai
dengan teori yang dikemukankan oleh Li et al bahwa subjek tertinggi ada di antara 50 dan 69
tahun. Hasil penelitian menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok usia menengah
dan risiko menurun setelah itu.
Berdasarkan pengelompokan tipe dispepsia pada penelitian ini didapatkan sebanyak
23 orang dikategorikan dalam tipe dismotilitas, dan 11 orang dikategorikan dalam tipe ulkus.
Pada penelitian ini, juga ditanyakan obat – obatan rutin yang dikonsumsi dalam jangka
panjang oleh subjek kami. total subjek dari penelitian kami sedikit yang ditemukan
menggunakan obat – obatan seperti OAINS, aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin
dan sebagainya yang merupakan salah satu penyebab terjadinya dyspepsia tipe ulkus. Lebih
banyak ditemukannya dyspepsia tipe dismotilitas sesuai teori yang dikemukakan oleh
Albertus dkk bahwa pada pasien DM tebal mukosa lambung lebih tipis dibandingkan yang
bukan DM.
Gastroparesis (juga disebut pengosongan lambung yang tertunda) adalah gangguan
progresif yang menyebabkan makanan tetap tinggal di perut lebih lama dari biasanya, karena
saraf yang memindahkan makanan melalui saluran pencernaan mengalami kerusakan, otot-
otot tidak bekerja seperti sebagaimana mestinya. Akibatnya, makanan tetap berada di perut
dan tidak tercerna.
Orang yang memiliki gastroparesis mengalami kerusakan pada sepanjang saraf vagus
mereka. Saraf vagus merupakan saraf kranial panjang yang membentang dari otak ke organ-
organ perut, termasuk organ-organ di saluran pencernaan. Sama seperti penyakit neuropati
diabetik, kerusakan saraf vagus mengganggu fungsi saraf dan dalam hal ini pencernaan
terganggu karena dorongan yang dibutuhkan untuk menyalurkan makanan diperlambat atau
30
dihentikan. Gastroparesis sulit untuk didiagnosis dan sering kali tidak terdeteksi pada pasien.
Oleh karena itu prevalensi gastroparesis pada orang dengan diabetes berkisar luas, yaitu
antara 5%-65%.
Gastroparesis lebih sering terjadi pada mereka yang telah didiagnosis setelah bertahun-
tahun dengan kondisi kadar glukosa darah tinggi yang tidak terkontrol. Glukosa tinggi dalam
jangka panjang menyebabkan perubahan kimia darah pada saraf di seluruh tubuh. Glukosa
darah yang secara konsisten tinggi, akhirnya merusak pembuluh yang memasok saraf tubuh
dengan nutrisi dan oksigen, termasuk saraf vagus yang akhirnya mengarah pada
gastroparesis.
Gastroparesis mengakibatkan penderita diabetes mengalami masalah yang
signifikan, karena keterlambatan dalam pencernaan membuat glukosa darah lebih sulit
dikendalikan. Karena penyakit ini membuat proses pencernaan sulit dilakukan, pembacaan
glukosa bagi penderita diabetes dengan gastroparesis sering terlalu tinggi atau terlalu rendah,
dan oleh karena itu lebih sulit untuk dikontrol.
Defisiensi insulin menyebabkan kegagalan dalam pemasukan glukosa ke jaringan
sehingga sel-sel kekurangan glukosa intrasel dan menimbulkan dampak :
Pembakaran lemak dan cadangan protein untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Proses ini menghasilkan benda-benda keton yang diakibatkan karena hati tidak mampu
menetralisir lemak. Penumpukan asam lemak akan mengiritasi membrane mukosa lambung
dan menyebabkan mukosa lambung menjadi tipis sehingga menimbulkan perasaan mual dan
muntah. Selain itu juga iritasi membrane mukosa lambung dapat merangsang zat-zat
proteolitik untuk mengeksresi serotonin, bradikinin dan histamine sehingga timbul nyeri
lambung.
31
BAB VI
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. IV,
2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
2. Hadi S.Gastroenterologi. Bandung :Alumni ;2008.h.156-7.
3. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi FK UKRIDA;
2012.h.25-35.
4. Jonathan G. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-1. Jakarta:
Erlangga Medical Series; 2007.h.58.
5. Isselbacher, Braunwald et al. Harrison: prinsip – prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume
4.Jakarta: EGC;2008.h.1532-4.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.529-32.
7. Corwin, Elizabeth J. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.h.432-4.
8. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.205.
9. Soelistijo SA, et al. Definisi, patogenisis, klasifikasi. Dalam: consensus pengelolaan
dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. PB PERKENI:2015.h.6-
10. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care: Volume 37(1).2014 January.p.81-7
11. Ndraha S. Diabetes mellitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. MEDICINUS.Vol.27(2).
2014 Agustus.h.9-10.
12. Brun R, Kuo B. Functional dyspepsia. Therapeutic Advances in Gastroenterology
2010; 3 (3): 145-64.
13. Anam I, Syam AF, Saksono D, Abdullah M. Perbedaan pH lambung pada pasien
dyspepsia dengan atau tanpa diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia 2014;1(2):114-9.
14. Bener A, Micallef R, Afifi M, Derbala M, dkk. Association between type 2 diabetes
mellitus and Helicobacter pylori infection.Turk J Gastroenterol 2007; 18 (4): 225-9.
15. Jeon CY, Haan MN, Cheng C, Clayton ER, dkk. Helicobacter pylori infection is
associated with an increased rate of diabetes. Diabetes Care 2012; 35: 520–5.
16. Demir M, Gokturk HS, Ozturk NA, Yilmaz U, dkk. Helicobacter pylori prevalence in
diabetes mellitus patients with dyspeptic symptoms and its relationship to glycemic
control and late complications. Dig Dis Sci 2008; 53: 2646–9.
33