Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY

PEMBIMBING :
DR.dr. Endang Kustiowati, Sp. S (K), M.Si. Med

PENYUSUN :
Kevin Hartono
112017066

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


RUMAH SAKIT PANTI WILASA “DR. CIPTO” SEMARANG
PERIODE MEI – JUNI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
JAKARTA

1
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

REFERAT

Judul:

BELL’S PALSY

Nama : Kevin Hartono

NIM 112017066

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ................, Tanggal …. Juni 2018

Pembimbing,

DR.dr. Endang Kustiowati, Sp. S (K), M.Si. Med

2
BAB I
STATUS PASI EN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Masni
Usia : 60 th
Alamat : jl. Tambak Mulyo
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status perkawinan : sudah menikah
No. RM : 467745
Tanggal masuk : 12. Juni. 2018
Pasien Datang Ke RS dibawa oleh Keluarga

B. Anamnesis
Auto-anamnesa
1. Keluhan utama : Wajah bagian kanan pasien tidak dapat digerakan dan
bicara menjadi pelo 3 hari SMRS
2. Keluhan Tambahan : Nyeri kepala, Pusing, Mual, dan Mata Kanan berair
terus.
3. Riwayat penyakit sekarang : Seorang Pasien perempuan berumur 60 tahun
datang ke Poliklinik RS PWDC diantar oleh keluarga dengan keluhan
wajah sebelah kanan tidak dapat digerakan dan bicara pelo yang terjadi 3
hari SMRS. Pasien mengatakan, pasien mulai mengalami kelemahan pada
siang hari saat bangun dari tidur siangnya di depan kipas angin. Awalnya
pasien merasakan baal pada wajah sebelah kanannya. Pasien mengatakan
sebelum terjadi keluhan, pasien mengalami nyeri kepala, pusing, mual,
BAB & BAK normal tidak ada keluhan. Pasien mengatakan, pasien tidak
pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya.

3
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Penyakit seperti ini sebelumnya disangkal
- Hipertensi (+)
- Trauma (-)
- DM (-)
- Stroke (-)

5. Riwayat penyakit keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang serupa. Keluarga
pasien tidak memiliki riwayat stroke

6. Riwayat pengobatan :
Pasien tidak meminum obat apapun setelah gejala muncul. Pasien rajin
minum obat hipertensinya. Namun dalam beberapa minggu belakanhan
pasien minum obat tidak teratur.
7. Riwayat sosial :
Keadaan ekonomi pasien baik, pasien tinggal bersama dengan anaknya.
Pasien memiliki kebiasaan memakan makanan goreng-gorengan. Pasien
biasa tidur menggunakan kipas angin.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
GCS : E4M6V5
Tanda vital
- TD : 160/100 mmHg
- N : 68 x/menit
- RR : 25x/menit
- S : 36.8oC

4
Rambut : warna hitam dan sudah beruban,tidak mudah rontok
Kepala : Normocephal
Thoraks : Pergerakan simetris, kanan dan kiri
Abdomen : Perut datar tidak teraba pembesaran dan tidak ada
nyeri tekan
Ekstremitas : Tidak terdapat kelemahan anggota gerak atas/bawah
2. Status neurologis
a. Tanda rangsang selaput otak
Kaku Kuduk : ( - ), tidak ada tahanan
Brudzinski I : ( - ), tidak ada fleksi pada tungkai
Kernig Sign : ( - ), tidak ada tahanan sebelum mencapai 135o
Lasegue : ( - ), tidak ada tahanan sebelum mencapai 70o
b. Pemeriksaan saraf kranial
N. I (n. olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Obyektif dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II (n. opticus)


Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (n. okulomotorius)


Kanan Kiri
Bola mata Normal (Ortho) Normal (Ortho)
Ptosis tidak ada tidak ada
Gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
Strabismus tidak ada tidak ada
Nistagmus tidak ada tidak ada

5
Ekso/Endophtalmus tidak ada tidak ada
Pupil :
 Bentuk Isokor Isokor
 Refleks cahaya Positif Positif
 Refleks konvergensi Positif Positif

N. IV (n. trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal

Sikap bulbus Normal Normal

N. V (n. trigeminus)
Kanan Kiri
Reflek Kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Membuka mulut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Menggerakkan rahang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Menggigit Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Mengunyah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VI (n. abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia/penglihatan Tidak ada Tidak ada
ganda

6
N. VII (n. facialis)

Kanan Kiri
Sekresi air mata Tidak normal Normal
Sudut mulut Tidak tertarik Normal
Menggerakkan dahi Dahi tidak terangkat Normal
Menutup mata Tidak tertutup rapat Normal
Menggembungkan pipi Tidak bisa Normal
Memperlihatkan gigi Tidak terlihat Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VIII (n. vestibulocochlearis)


Kanan Kiri
Renne test Tidak dinilai Tidak dinilai
Webber test Tidak dinilai Tidak dinilai
Scwabach test :
 Memanjang Tidak dinilai Tidak dinilai
 Memendek Tidak dinilai Tidak dinilai
Nistagmus :
 Pendular Tidak ada Tidak ada
 Vertikal Tidak ada Tidak ada
 Siklikal Tidak ada Tidak ada

 Pengaruh posisi Tidak ada Tidak ada

kepala

N. IX (n. glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks muntah/Gag Tidak dilakukan Tidak dilakukan
reflek

7
N. X (n. vagus)
Keadaan
faring Normal
Uvula Normal di tengah
Menelan Normal
Artikulasi Normal
Suara Normal

N. XI (n. assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (n. hipoglosus)


Keadaan
Kedudukan lidah di dalam Normal
Kedudukan lidah Ditengah
dijulurkan
Tremor Tidak ada

c. Pemeriksaan koordinasi
Test Romberg Tidak dilakukan
Test Urtenberger Tidak dilakukan
Test jari - jari Tidak dilakukan
Test jari - hidung Tidak dilakukan

8
a. Fungsi motorik otot wajah Kanan Kiri
 Otot frontalis Angkat alis (-) Angkat alis (+)
 Otot korugator supersili Mengerutkan dahi (-) Mengerutkan dahi (+)
 Otot orbicularis oculi Menutup mata (-) Menutup mata (+)
 Otot zygomaticus Pasien tersenyum (-) Pasien tersenyum (+)
 Otot risorius Meringis (-) Meringis (+)

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

d. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Sensibilitas termis Normal
Sensibilitas kortikal Normal
Stereognosis Normal
Pengenala 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal

e. Sistem refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Berbangkis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Laring Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Biseps + +
Triseps + +
APR + +
KPR + +

9
Refleks Patologis Kanan Kiri
Lengan
Hoffman-Tromner Negatif Negatif
Tungkai
Babinski Negatif Negatif
Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif

3. Fungsi otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Sekresi keringat : normal

D. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan.

E. Masalah
Diagnosis
 Diagnosis klinis : bell’s palsy dextra paralisis n. facialis perifer
 Diagnosis topik : saraf motorik n. facialis perifer dengan paralisis
motorik
 Diagnosis etiologi : tidak diketahui
 Diagnosis sekunder : hipertensi grade II

10
F. Pemecah Masalah
Terapi
Umum/suportif :
a. Non medikamentosa
- Istirahat dan menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini bukan stroke
dan dapat sembuh sendiri.
- Jelaskan kekambuhan bisa terjadi dalam waktu 2-8 minggu sampai 2
tahun.
- Jaga agar muka tetap hangat dan selanjutnya hindarkan dari udara dingin.
- Lindungi mata dengan kaca mata apabila keluar rumah.
- Menerangkan pada keluarga pasien untuk mengajarkan latihan wajah
pada pasien di rumah. Dapat dimulai dengan kompres hangat dan
pemijatan pada wajah. Dilanjutkan dengan menggerakan otot-otot wajah.
- Dan anjurkan fisioterapi.

b. Medikamentosa

KORTIKOSTEROID : R/ Metilprednisolone tab 60 mg no X

S 1 dd tab 1

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi
nervus fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain
Bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan
kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi wajah1. Istilah Bell’s
palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang timbul
secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui nama dari panyakit ini. Adalah
Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan
penyakit ini pada abad ke-19.5

B. Etiologi

Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:7,8

1. Teori iskemik vaskuler

Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi


vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik,
kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat
dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan
dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar
cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis
sehingga terjadi iskemik.

2. Teori infeksi virus

Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,


sehingga menurut teori ini penyebab bell’s palsy adalah virus. Juga dikatakan
bahwa perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf
perifer lainnya.

12
3. Teori herediter

Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s


palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap


infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan
terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada
kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan
perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).3

2. Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini
seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang
dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik
(OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1

3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang
paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan
prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel

13
schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi
cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri
karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2
4. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu
luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi
penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
5. Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis
diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1
6. Idiopatik
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya
atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN
yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3

7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, dan infeksi
telinga tengah.
Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh
kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau
pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, kendati
demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya.
Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan,
kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses
penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi
jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut
saraf.

14
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,
stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetik.

C. Patofisiologi
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak
diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini
yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang
disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan
dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain:
infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau
strangulasi terhadap Nv. VII.

15
Gambar 1. Nervus Facialis

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit
dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera
diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang
sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai
antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan
lakrimasi.

16
Gambar 2. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi

E. Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi
dan derajat kerusakan n. Fasialis.

1. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

2. Pemeriksaan fisik

a. Gustomeri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).2

17
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada
lidah penderita. Hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila
bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab
bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang
lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk
menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk
rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis.1
b. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah
pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya
aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat
terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh
saraf korda timpani.4
c. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-
serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas
saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang
5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip
yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan
bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap
patologis.
d. Sinkinesis

18
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis
yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah
sebagai berikut :1
- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal
nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.

Prognosis

Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis


umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan
terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami
penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3
minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala
sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata
buaya.

BAB III
KESIMPULAN

19
Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain
yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Ada 4 teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori
herediter, teori imunologi. Gambaran klinis bell’s palsy dapat berupa hilangnya
semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena,
ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut
mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan
lagoftalmus. Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu
kortikosteroid, vitamin B1, B6 dan B12, analgesic, penggunaan obat antiviral
(acyclovir). Juga dilakukan rehabilitasi medik, perawatan mata seperti memakai
obat salap mata (golongan artifial tears), memakai kaca, kelopak mata diplaster dan
jika keadaan terlalu berat pada lagoftalmus dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati.
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan. Paralisis
ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis baik

DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,“
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsyhtml” (diakses tanggal 5 april 2018)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
http://emedicine.medscape.com/ article/1146903- diakses tanggal 5 april 2018.
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy,
“http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’spalsy-case-report/” (diakses
tanggal 5 april 2018)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-
palsy.html”, (diakses tanggal 5 april 2018)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed
5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http: //annsilva. wordpress. com/ 2010/ 04/
04/ bell’spalsy-case-report/” (diakses tanggal 5 april 2018)

20
21

Anda mungkin juga menyukai