EPILEPSI
PEMBIMBING
PENYUSUN
112016318
JAKARTA
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. FR
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun 2 bulan
Alamat : Kebonharjo Rt 5 Rw 7
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Sudah menikah
Suku bangsa : Jawa
Golongan Darah : Tidak diperiksa
Nomor CM : 466208
Ruangan : Poli Saraf
Pembayaran : BPJS
ANAMNESIS
Autoanamnesa dan aloanamnesa (ibu pasien) tanggal 1 Agustus 2017, pukul 14.25 di
poliklinik saraf.
a. Keluhan Utama
Kejang sejak +/- 1 tahun yang lalu
Keadaan sosial ekonomi pasien baik, tidak ada gangguan kepribadian, aktivitas sehari
hari pasien ringan sedang, pola makan cukup teratur
B. Status Lokalis
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata
C. Status Psikikus
Cara berpikir : Realistik
Perasaan hati : Eutim
Tingkah laku : Wajar
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Tidak dinilai
D. Status neurologikus
1. GCS
E4V5M6 : 15, compos mentis
2. Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri
Kaku Kuduk : (-) (-)
Kernig : > 135° > 135°
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)
3. Nervus Cranialis
N. I (olfaktorius)
Kanan Kiri
Subjektif tidak dilakukan tidak dilakukan
Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan
N. II (optikus)
Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan Normal Normal
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III (okulomotorius)
Kanan Kiri
Pergerakan bulbus Baik baik
Strabismus (-) (-)
Nystagmus (-) (-)
Exophtalmus (-) (-)
Pupil Besar 3 mm 3 mm
Bentuk Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks terhadap sinar (+) (+)
Refleks konversi (+) (+)
Melihat ganda (-) (-)
N. IV (trokhlearis)
Kanan Kiri
Pergerakan mata Normal Normal
(kebawah – kedalam)
Melihat kembar (-) (-)
N. V (trigeminus)
Kanan Kiri
Membuka mulut Baik Baik
Mengunyah Baik Baik
Menggigit Baik Baik
Refleks kornea Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
N. VI (abdusen)
Kanan Kiri
Pergerakan mata Normal Normal
(ke lateral)
Sikap bulbus Normal Normal
Melihat kembar (-) (-)
N. VII (fasialis)
Kanan Kiri
Mengerutkan dahi Baik Baik
Menutup mata Baik Baik
Memperlihatkan gigi Baik Baik
Mencucurkan bibir Baik
Menggembungkan pipi Baik Baik
N. VIII (vestibule-kokhlearis)
Kanan Kiri
Suara berisik Terdengar Terdengar
Webber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX (glosofaringeus)
Kanan Kiri
Perasaan bagian lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
belakang
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Faring Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. X (vagus)
Kanan Kiri
Arcus faring Simetris
Bicara Normal
Menelan Tidak dilakukan
N.XI (aksesorius)
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan muka Normal Normal
N. XII (hipoglosus)
Kanan Kiri
Pergerakan lidah Normal Normal
Julur lidah Simetris
Tremor lidah (-) (-)
Artikulasi Baik Baik
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Trimmer- Hoffman - -
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
Patella ++ ++
Achilles ++ ++
Babinski - -
Chaddock Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Schaffer Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Oppenheim Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Klonus kaki - -
Tes lasegue - -
Kernig - -
VI. RESUME
Seorang pasien G1P0A0 gravida 29 minggu datang dengan keluhan kejang sejak 1
tahun yang lalu. Serangan pertama kejang dialami dengan kekakuan, kemudian gerakan
bersamaan pada kedua tangan dan kaki disentak-sentakan disertai adanya penurunan
kesadaran, dengan durasi tidak lebih dari 5 menit. Keesokan harinya pasien kembali kejang
dengan gerakan kejang yang sama dengan serangan sebelumnya. Setelah itu pasien berobat
ke dokter dan minum obat fenitoin dengan dosis 200mg/ hari, keluhan pasien mulai
menghilang. Pada 6 bulan SMRS, serangan kejang kembali timbul akibat pasien lupa untuk
minum obat dalam beberapa hari. Setelah kejang, pasien merasa lemas dan tertidur. Pasien
mengaku saat ini datang ke poli saraf untuk kontrol pengobatan kejang karena saat ini
pasien sedang hamil.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum compos mentis, tampak sakit ringan dengan
tanda vital dalam batas normal. Status lokalis dalam batas normal. Status neurologis dalam
batas normal.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis: Epilepsi Grandmal
Diagnosis etiologis: idiopatik, suspect trauma
Diagnosis topis: korteks cerebri
VIII. TATALAKSANA
Fenitoin 2x100mg
Asam folat 2x5mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kejang berulang yang
disebabkan oleh suatu proses yang kronis yang tidak dapat dihindari.1 Definisi dari epilepsi
secara konseptual adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan social. Sedangkan definisi praktikal epilepsi adalah suatu penyakit otak yang
ditandai dengan (1) adanya dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak antara kedua bangkitan lebih dari 24 jam, (2) satu kali bangkitan tanpa provokasi atau
satu bangkitan refleks yang memiliki kemungkinan berulang dalam 10 tahun kedepan, atau (3)
diagnosis dari sindrom epilepsi.2 Kejang adalah manifestasi klinis dari epilepsi, yaitu suatu
keadaan paroksismal akibat adanya aktivitas neuronal yang berlebihan secara abnormal.1
Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 50 juta orang di dunia menderita epilepsi, dimana pada negara
berkembang ditemukan prevalensi yang lebih tinggi daripada di negara maju. Di negara maju
prevalensi epilepsi adalah 4-7 per 1000 orang, sedangkan di negara berkembang adalah 5-74
per 1000 orang. Pada negara maju prevalensi meningkat sebanyak 1,5% pada usia >75,
sedangkan di negara berkembang lebih tinggi pada dekade 1-2. Hal ini mungkin disebabkan
karena angka harapan hidup yang lebih tinggi di negara maju dan angka insiden yang lebih
rendah di negara maju.2
Etiologi
Klasifikasi
Klasifikasi kejang yang hingga saat ini digunakan di Indonesia adalah dengan
klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang membedakan
kejang menjadi kejang parsial, umum, dan tidak tergolongkan. Saat ini ILAE telah membuat
klasifikasi baru di tahun 2017 yang dapat dilihat pada gambar no. 5.3
Gambar no. 5
Klasifikasi Kejang ILAE 20173
Klasifikasi ILAE 2017 ini merupakan klasifikasi yang mirip dengan klasifikasi ILAE
1981 yang membagi kejang berdasarkan awitan gejalanya sebagai berikut:2
1. Kejang fokal
1.1. Kejang fokal sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2. Kejang fokal kompleks
1.2.1 Kejang fokal sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2 Kejang fokal yang disertai dengan gangguan kesadaran sejak awal
2. Kejang umum
2.1 Absans
2.1.1 Absans tipikal
2.1.2 Absans atipikal
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik
3. Kejang tidak tergolongkan
Kejang parsial juga dapat diklasifikasikan berdasarkan pada lokasi dari awal bangkitan
kejang tersebut terjadi (lihat tabel no 1). Berdasarkan klasifikasi ini, epilepsi dapat
dikelompokkan menjadi epilepsi lobus temporalis, epilepsi lobus frontalis, epilepsi lobus
parietalis, dan epilepsi lobus oksipitalis. Gejala penyerta dari epilepsi ini berhubungan dengan
fungsi kortikal yang ada di masing-masing lobus.2
Tabel no. 1
Kejang parsial2
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
MANISFESTASI KLINIK
A. Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak
pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.
Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai
dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu,
sakit kepala dan sebagainya. 4
Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita
terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan
deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-
banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. 4
2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak
sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih
dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata.
Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan
dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3
per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar
diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka
terhadap rangsang sensorik. 4
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus
otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan
dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal,
mioklonus dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias
Lennox-Gastaut. 5
d. Spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West.
Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas
seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada
bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik
sehingga terjadi kejang-kejang. 6
PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di
otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui
sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis
dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang
lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan
kesadaran. 2
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis dari epilepsi ditegakkan berdasarkan kriteria klinis, yaitu dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dengan melewati tiga langkah yaitu
memastikan adanya bangkitan epileptik, menentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi
ILAE 1981, dan menentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.2
Diangosis banding dari epilepsi adalah kondisi-kondisi lain dengan gejala menyerupai
serangan epileptik atau kejang. Diagnosis banding yang dimaksudkan adalah sinkop, gangguan
serangan non-epileptik, aritmia jantung, dan serangan panik atau hiperventilasi. Perbedaan
antara keempat diagnosis banding ini dan serangan epilepsi dapat dilihat pada tabel no. 2.
Tabel no. 2
Diagnosis Banding Epilepsi2
Ggn. Serangan
Kejang Epileptik Sinkop Aritmia Jantung Serangan Panik
Non-Epileptik
Faktor pencetus Faktor
Faktor pencetus Dicetuskan oleh
saat serangan predisposisi Dicetuskan oleh
berupa perubahan situasi sosial pada
berupa kurang berupa wanita aktivitas fisik
posisi, prosedur pasien dengan
tidur, putus dengan berlebih pada
medis, berdiri ansietas
alkohol, stimulasi ketergantungan orang dengan
lama, kelelahan,
fotik. fisik dan seksual, riwayat penyakit
menggunakan Saat serangan
stres, distress jantung
obat merasa
Gejala khas saat sosial
antihipertensi ketakutan,
serangan dapat Saat serangan
perasaan tidak
disertai aura, Serangan terjadi terjadi palpitasi,
Saat serangan rasional dan
dapat terjadi tidak khas, di nyeri dada, gejala
terasa pusing, realistis, sulit
dimanapun tempat ramai, angina pectoris,
gelap, kabur, bernapas, nyeri
gerakan tidak pucat, dan gejala
diplopia, pucat, dada, agitasi,
Fase paska-iktal beraturan, motorik ringan
dan gejala hiperventilasi,
ditandai dengan pengangkatan
motorik ringan kaku pada tangan
kelelahan, pelvis Gejala setelah
mengantuk, lidah serangan berupa
Setelah serangan Tidak ada gejala
tergigit, paralisis Tidak ada gejala lesu dan pucat
terasa lesu setelah serangan
Todd setelah serangan
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan. 2,7
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral. 2,7
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal. 1,7
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG
nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. 5
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3
Terapi
Keberhasilan terapi dari epilepsi sangat bergantung pada ketepatan diagnosis sindrom
epilepsi seperti pada klasifikasi ILAE 1989. Jenis OAE yang digunakan berbeda pada masing-
masing sindrom epilepsi Penggunaan OAE yang tepat, dosis dan titrasi yang tepat, serta
kepatuhan pasien adalah kunci untuk keberhasilan terapi epilepsi. Jenis OAE yang digunakan
pada masing-masing sindrom dapat dilihat pada tabel no. 3, dan dosisnya pada tabel no. 4.2
Tabel no. 3
OAE untuk Sindrom Epilepsi2
Childhood Absence Epilepsy (CAE) atau sindrom absans Etosuksimid (A), Lamotrigin (C), Sodium
lainnya Valproat (A)
Juvenil Absance Epilepsy (JAE) atau sindrom absans
Etosuksimid, Lamotrigin, Sodium Valproat
lainnya
Lamotrigin, Levetirasetam, Sodium Valproat
Juvenil Myoclonic Epilepsy (JME)
(D), Topiramat (D)
Karbamazepin, Lamotrigin, Okskarbazepin,
Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik saja
Sodium Valproat
Tabel no. 4
Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)2
OAE Dosis Awal (mg/hari) Dosis Rumatan Jumlah Dosis Per Hari
Clonazepam 1 4 1-2X
Adapun sebagai dokter umum, epilepsi dan kejang merupakan kompetensi kategori 3A
dan 3B berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 yang berarti dokter
umum hanya harus mampu mendiagnosis keadaan kejang dan epilepsi, lalu memberikan
penatalaksanaan awal dan merujuk. Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah berupa
penghentian kejang pada status epileptikus (kompetensi 3B) dan pencegahan kejang berulang
dengan terapi empiris sebelum mendapat terapi spesifik dari dokter spesialis saraf di tempat
rujukan.10 Terapi empiris pada kejang dan epilepsi diberikan berdasarkan tipe bangkitan kejang
yang dapat dilihat pada tabel no. 5.
Tabel no. 5
Terapi Empiris8
Tidak semua epilepsi perlu dilakukan terapi dengan OAE, maka terdapat indikasi terapi
dengan OAE. OAE diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal
dua bangkitan dalam satu tahun, pasien dan/atau keluarganya sudah menerima penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping yang timbul dari pengobatan
dengan OAE, atau pada pasien dengan bangkitan berulang walaupun faktor pencetus sudah
dihindari. OAE dapat dihentikan pemberiannya setelah minimal tiga tahun bebas kejang dan
gambaran EEG normal, mendapat persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya, serta
dilakukan secara bertahap (obat non dominan pada terapi kombinasi, dilakukan perlahan-lahan
dengan menurunkan dosis sebanyak 25% setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan).2
Terapi non farmakologis juga dapat diberikan sebagai pendamping OAE, antara lain
dengan stimulasi nervus vagus, yaitu sebagai terapi adjuvant untuk mengurangi frekuensi
bangkitan pada penyandang epilepsi refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi
syarat operasi. Terapi lain adalah dengan deep brain stimulation (DBS), diet ketogenik, dan
intervensi psikologis (relaksasi, cognitive behavorial therapy, dan biofeedback).2
DAFTAR PUSTAKA
1. Lowenstein DH. Seizures and epilepsy. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci
AS, Hauser SL, Loscalzo J, editor. Neurology in clinical medicine. 3rd edition. New
York: McGrawHill Medical; 2013: p. 231.
2. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-
5. Surabaya: Airlangga University Press; 2014: h. 1-2, 5-8, 11-6, 20-1, 23, 26-9, 33-8.
3. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et.al. Instruction
manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types. Epilepsia. 2017;
58(4):531–542.