Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

Rhinitis Alergi Persisten Ringan

Nama : Egla Philderi Tundan Tasin


NIM : 11.2018.055

Pembimbing :
dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta
Periode 23 November - 26 Desember 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Egla Philderi Tundan Tasin

NIM : 112018055

PERIODE : Periode 23 November – 26 Desember 2020

JUDUL : Rhinitis Alergi Persisten Ringan

TANGGAL PRESENTASI : 17 Desember 2020

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

Jakarta, 17 Desember 2020

Yang Mengesahkan

dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

2
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan- Nya, sehingga Laporan Kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan
judul “Rhinitis Alergi Persisten Ringan” ini disusun untuk memenuhi sebagian dari
persyaratan untuk mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta
Pusat. Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kasus
rhinitis alergi serta penatalaksanaannya. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan,
bantuan dan doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL, selaku Pembimbing Kasus di Bagian SMF
Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum
Daerah Tarakan yang telah membimbing saya menyelesaikan laporan kasus
ini.
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan
ini dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh kerana itu, kritik dan saran dari pembaca akan
sangat bermanfaat bagi penulis demi perbaikan buat di masa yang akan datang. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 17 Desember 2020

3
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……………………………………………………………………..………. 1
Lembar Pengesahan……………………………………………….……………… 2
Kata Pengantar…………………………………………………………………………….. 3
Daftar Isi…………………………………………………………………………...……….. 4

BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………...………. 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….. 6


2.1 Anatomi Hidung………………………………………………….….. 6
2.2 Fisiologi Hidung……………………………………………....…..…. 9
2.3 Rhinitis Alergi…………………………………………………………. 11
2.3.1 Klasifikais Rhinitis Alergi………………………………………. 11
2.3.2 Etiologi………………………………………………………….. 12
2.3.3 Faktor Risiko……………………………………………………. 14
2.3.4 Patofisiologi…………………………………………………….. 20
2.3.5 Diagnosis……………………………………………………….. 25
2.3.6 Penatalaksanaan…………….…………………………………… 27
2.3.7 Pemebrian Imunoterapi Spesifik………………………………… 39
2.3.8 Operatif………………………………………………………….. 40
2.3.9 Komplikasi Rhinitis Alergi……………………………………… 40
2.4 Differnsial Diagnosis…………………………………………………. 41
2.4.1 Rhinitis Vasomotor……………………………………………… 41
2.4.2 Etiologi………………………………………………………….. 42
2.4.3 Patofisiologi……………………………………………………… 43
2.4.4.Diagnosis……………………………………………………….. 46
2.4.5 Pemeriksaan Fisik……………………………………………….. 47
2.4.6 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………. 47
2.4.7 Penatalaksanaan………………………………………………… 47

BAB III LAPORAN KASUS……...…………………………………………...………. 51

BAB IV PEMBAHASAN……...…………………………………………...…………... 59

DAFTAR PUSTAKA……..…………………………………………………….....………… 60
4
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada perkiraan dokter
maupun orang awam, yaitu menyerang 10 % dari populasi umum. Hidung, sebagai salah satu
organ yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh manifestasi alergi primer, rhinitis
kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis
relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut karena gangguan alergenik kronik,seperti
hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan
rinore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung atau pun tidak langsung.
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan
laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu,asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.
Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit
yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas
sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.

5
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk piramida yang tersusun oleh sepasang tulang hidung pada
bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Bentuk piramida
memudahkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi
tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang di
antara konka. Meatus media terletak di antara konka media dan inferior yang
mempunyai peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini
kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior)
berhubungan dengan hidung. Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar
rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas
lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan
menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan
hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga
hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis.4,5

Gambar 1. Anatomi Bagian Luar Hidung

6
Gambar 2. Anatomi Bagian Dalam Hidung

Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang


dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding
lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan cabang a.
etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius. Terdapat
anastomosis di antara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-
inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak
memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus
kavernosus.

Gambar 3. Vaskularisasi Rongga Dalam Hidung

7
Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksila
nervus trigeminus. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabutsensoris dari n. maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor danserabut-serabut
simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Sedangkan fungsi penghidu berasal dari
nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.5,6

Gambar 4. Inervasi Rongga Dalam Hidung

8
2.2 Fisiologi Hidung8
1. Fungsi respirasi
• Sebagai jalan nafas  Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior,
lau naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada
ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
• Mengatur kondisi udara (air conditioning)  menghangatkan udara dengan
menyesuaikan suhu tubuh (31-37%) dan melembabkan udara (90-93%) yang
mengalir ke paru-paru. Proses terjadi di mukosa konka inferior.

Gambar 5. Fisiologi hidung

• Penyaring partikel dan udara  pertahanan imunologis lini pertama melalui


membrane yang mengandung IgA. Partikel udara ditangkap vibrissae, yang tidak
tertangkap akan ditangkap oleh mukosiliar pada dinding hidung. Silia selaput lendir

9
menggerakan mukosiliar yang mengikat pastikel ke orofaring, lalu partikel itu akan
tertelan atau keluar dari sistem pernapasan. Terdapat enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lisozim

• Mekanisme imunologis lokal  hidung memilik makrofag, granulosit dan sel mast.
• Humidifikasi,
• Penyeimbang dalam pertukaran tekanan.
2. Fungsi ventilasi dan pembuangan sinus
Sinus paranasal adalah ruangan yang berisi udara yang berpasangan yang
mengelilingi rongga hidung. Terdapat sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus etmoidalis
dan sinus spenoidalis. Sinus berventilasi melalui meatus, dimana dengan bantuan
gerakan silia, lendir atau sekres dialirkan melalui meatus. Jika terdapat gangguan pada
sekresi sinus, dapat menyebabkan sinusitis. Penyebab yang sering terjadi adalah deviasi
septum, turbin hipertrofi, polip, rinitis alergi, dan pengemasan intranasal.
3. Fungsi penghidu
Saraf utama untuk penciuman adalah saraf olfaktorius, saraf vagus dan saraf
glossopharyngeal. Epitel penghidu terdapat pada superior septum hidung, dinding
lateral hidung superior, turbin superios dan turbin superior tengah. Epitel tersebut
mengandung 6-10 juta neuron sensorik yang merupakan sel sensosrik bipolar.

10
4. Fungsi fonetik
Fungsi fonetik berguna untuk resonansi vokal, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi Vokal Hidung
merupakan faktor penting dalam menentukan karakteristik suara. Selain pita suara, suara
juga diciptakan oleh resonansi dari udara yang melewati faring, mulut, dan hidung.
Dalam proses bicara, membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n,
ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara.
5. Fungsi statistik dan mekanik
Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
6. Refleks nasal
Refleks yang berfungsi untuk melindungi jalan napas bagian bawah, dimana
terjadi reflex nasonasal, yang memicu bersin. Biasanya disebabkan oleh iritasi mukosa
dan rangsang bau.7

2.3 Rhinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001,
rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

2.3.1. Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,


yaitu Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis alergi sepanjang
tahun (perenial). Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi

11
rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang


dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2.3.2. Etiologi rinitis alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai
gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat
berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau

12
merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).Berdasarkan cara masuknya allergen
dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.

• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

Faktor resiko rhinitis alergi: 11,12

− Menderita penyakit atopi lain, asma dan dermatitis atopi


− Genetik: Keturunan dari orang tua penderita rhinitis alergi
− Sensitasi pada aeroallergen umum seperti tungau debu rumah
− Obesitas
− Nilai IgE serum yang tinggi
− Alergi makanan
− Polusi dan paparan rokok belum jelas hubungan dengan rhinitis alergi
− Paparan hewan
− Status sosioekonomi yang tinggi dikatakan ada asosiasi dengan kejadian rhinitis alergi

Faktor protektif mencegah rhinitis alergi: 11,12

− Pemberian ASI disarankan karena efeknya baik dalam mencegah rhinitis alergi
− Paparan binatang peliharaan: paparan anjing lebih awal pada keluarga non alegi
mencegah terjadinya rhinitis alergi

13
− Keberagaman microbial (teori hygiene sanitation): semakin banyak ragam mikroba
kulit, saluran cerna dan saluran nafas akan mencegah sensitasi dan alergi di populasi

Gambar 6. Rhinitis alergi dan multimorbiditasnya 8

2.3.3 Faktor resiko


• Studi populasi genetic
Meskipun basis rhinitis alergi telah dievaluasi secara intensif, seluruh profil
herediter AR belum sepenuhnya diklarifikasi karena penyakit alergi akibat
interaksi yang kompleks antara gen dan lingkungan serta umur yang terpapar
[mis. Untuk gen GSTP1]. Studi harus memiliki ukuran sampel yang lebih besar
untuk mendeteksi efek interaksi gen-gen dan peran lingkungan dalam ekspresi
penyakit. Dalam studi kohort longitudinal, frekuensi alel dari 39 tunggal
polimorfisme nukleotida (SNPs) diselidiki hubungan dengan fenotip alergi yang
tepat dari tiga genomewide metastudies di Swedia. Di antara mereka, 12 SNPs
ditemukan berhubungan dengan AR. Lokus TLR6-TLR1 mungkin memiliki
peran sentral dalam pengembangan penyakit alergi. Hubungan antara variasi
rhinitis dalam Lokus SSTR1-MIPOL1 dan TSLP-SLC25A46 saat usia onset
adalah laporan pertama tentang efek onset on-onset pada AR. Studi lain
menemukan hubungan yang signifikan antara lima SNP di lokasi kerentanan
penyakit 17m21, rs9303277, rs7216389, rs7224129, rs3744246, dan rs4794820,

14
dan AR di Jepang. Dua studi populasi di Jepang menunjukkan bahwa rhinitis
FLG (faktor predisposisi penting untuk dermatitis rhinitis) adalah faktor
predisposisi yang signifikan untuk demam dengan OR 2,01 (95% CI 1,027-
3,936, P <0,05) (18); dan varian (rs9303277, rs7216389, rs7224129,
rs3744246, dan rs4794820) pada lokus kerentanan penyakit 17q21 juga terkait
dengan AR. Selain itu, ekspresi dari mRNA gen ORMDL3 pada lokus ini secara
signifikan meningkat di epitel hidung. Banyak variasi hiniti lainnya, meliputi
DNA, atau perubahan profil ekspresi miRNA telah dilaporkan di hubungan
dengan atopi, asma dan atopic dermatitis, yang belum direplikasi dalam AR.5
• Variasi sensitivitas allergen antara letak geografis yang berbeda
Variasi global yang besar dalam pola sensitisasi alergi menunjukkan bahwa
lingkungan merupakan penentu penting dalam sensitisasi. Studi tentang migrasi
memberikan tes lakmus untuk teori ini sebagai manifestasi alergi harus berubah
sebagai pasien bergerak di antara area yang berbeda secara geografis. Variasi
geografis dalam konsentrasi dari tungau debu rumah (HDM) hinitis di debu
rumah, dengan tingkat yang lebih rendah di daerah yang lebih dingin dan lebih
kering dan lebih hangat dan daerah yang lebih lembab di Eropa. Toppila-Salmi et
al menegaskan bahwa sensitisasi HDM dalam hinit Finlandia populasi asma
secara signifikan lebih rendah (kurang dari 10% baik pada penderita asma
maupun kontrol sehat), sedangkan sensitivitas poli lebih menonjol dari pada
monosensitisasi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah sensitisasi HDM
akan terjadi peningkatan pada orang yang bermigrasi dari garis lintang Utara ke
benua tropis. Andiappan dkk. Menunjukkan bahwa 70-80% Singapura-atau
orang Cina kelahiran Malaysia dan kurang dari 20% dari jumlah yang belum
lama ini migran dari China peka terhadap HDM. Monosensitisasi untuk HDM
(lebih dari 80%) adalah fenotip khas di Singapura – atau orang Cina kelahiran
Malaysia kurang dari 30% dari jumlah tersebut juga memiliki sIgE untuk rhinitis
lainnya dan beberapa HDM-sIgE negative individu bereaksi terhadap rhinitis
lainnya. Menariknya, migran ke Singapura, sebuah kota tropis semakin
bertambah menjadi peka terhadap HDM dan semakin ditunjukkan gejala AR dan
15
asma. Lebih dari 40% migrant dari China yang tinggal lebih dari 8 tahun di
Singapura memiliki SPT positif untuk HDM sementara kurang dari 20% dari
mereka yang tinggal selama <3 tahun peka. Gas, debu dan asap, terpapar
pekerjaan, dapat bertindak sebagai bahan pembantu yang memfasilitasi
sensitisasi terhadap tungau, dan tungau-peka individu mungkin sangat rentan
terhadap efek inhalasi berbahaya. Post et al menunjukkan sinyal Ca2 +
memainkan peran penting dalam disfungsi penghalang dan pro-inflamasi epitel
bronchial paparan HDM dan karenanya memiliki implikasi penting untuk
perkembangan asma alergi. Adenosin yang berasal dari serbuk sari, seorang
mediator dalam serbuk sari ragweed, ternyata sangat penting kofaktor pada
ragweed-pollen-induced allergic airway inflammation.
• Kontroversi dalam “atopic march”
Manifestasi penyakit alergi yang umum adalah eksim, AR /
rhinokonjungtivitis,dan asma. Hal ini cenderung muncul pada urutan temporal
yang dikenal sebagai ‘atopic march’ yang klasik dimulai dengan eksim pada
anak usia dini diikuti oleh munculnya asma dan AR di kemudian hari. Ini
mengarah untuk pertanyaan apakah eksim adalah faktor penyebab di
perkembangan penyakit hinit berikutnya, atau apakah ini kondisi klinis
manifestasi dari IgE yang berubah respon sebagai rhinitis kekebalan tubuh
matang. Analisis MeDALL (Mekanisme Pembangunan) dari ALLergy) yang
melibatkan 17 209 anak-anak berusia 4 tahun dan 14.558 anak-anak berusia 8
tahun dari tujuh orang Eropa kohort lahir, secara rhinitis mempartisi anak-anak
kelompok dan dianalisis pada periode usia kedua. Dua kelompok diidentifikasi
di mana eksim, AR dan asma memiliki signifikan prevalensi yang lebih tinggi
di Grup 2 dibandingkan dengan Kelompok 1 (pada 8 tahun: 27,5%, 49,0% dan
36,9% berbanding 8,0%, 1,8% dan 1,1%). Setelah stratifikasi oleh sensitisasi
IgE, prevalensinya dipertahankan. Studi ini memberikan bukti statistic bahwa
trio rhinitis klasik memang sekelompok komorbiditas alergi namun,
pengelompokan trio rhinitis tidak tersedia jawaban atas pertanyaan apakah salah
satu rhinitis dari ‘March’ adalah faktor penyebab untuk rhinitis selanjutnya.
16
Penyebab teori itu menarik, karena menyiratkan bahwa menghentikan rhinitis
pertama ‘march’ dapat menghambat perkembangan tahap selanjutnya.
Membuktikan hipotesis kausalitas, terutama yang serumit ini, membutuhkan
beberapa pendekatan, termasuk bukti epidemiologis, bukti molekuler dan
fisiologis, dan studi intervensi yang menunjukkan penangkapan
perkembangan. Dharmage dkk melakukan review terhadap 17 longitudinal
studi. Studi ini sesuai dalam menunjukkan hal itu. Pasien yang terkena eksim
pada masa bayi memiliki kemungkinan lebih tinggi mengembangkan AR dan
asma kemudian, memberikan kuat bukti rhinitis membuktikan hubungan
temporal dari pawai rhinitis, tapi itu bukan merupakan bukti kausalitas. Hipotesis
yang berlaku tentang kausalitas eksim sampai selanjutnya Langkah-langkah berpusat
di sekitar penghalang epitel yang rusak yang menyebabkan penetrasi dan
sensitisasi dini terhadap rhinitis, memulai pawai, hipotesis penghalang kulit).
Kita Menantikan studi mendatang mengenai topik menarik ini.5

• Faktor resiko orang tua


Rhinitis alergi (AR) parental terisolasi meningkatkan kemungkinan AR (OR
2.2,95% CI 1.6-3.2), sedangkan asma terpisah atau eksim tidak memiliki ketiga
kondisi rhinitis alergi (AR, eksim, dan asma) memberikan peluang tertinggi
untuk keturunan AR (OR 5.6, 95% CI 3.8-8.4) dan rhinitis (NAR) (OR 4,9,
95% CI 2,8-8,4). Prevalensi AR tertinggi (37,5%) ada pada anak-anak yang
orang tuanya memiliki AR dan NAR. Atopi ayah dan ibu mengandung
kemungkinan atopi yang sama dalam keadaan offsprings Fuertes dkk.
Ditemukan dari dua orang besar Jerman kohort kelahiran studi bahwa bahkan
jika orang tua berkembang kondisi rhinitis ini setelah kelahiran anak, ada juga
merupakan hubungan positif dengan anak yang sedang berkembang atopik
kondisi terutama untuk asma (dan kurang konsisten begitu untuk AR dan
eksim), dan efek dari asosiasi serupa untuk orang tua dengan atopi prebirth.
Andersson dkk. (mengkaji 16 penelitian (25 analisis) menyelidiki stres ibu
prenatal dan menemukan bahwa 21 analisis menunjukkan hubungan
17
positif antara prenatal stres ibu dan atopi. Dari empat analisis yang dihadapi AR,
tiga ditemukan asosiasi positif dengan OR yang disesuaikan (AOR) berkisar
antara 0,96 dan 2,38. Merokok ibu dan tidak adanya menyusui ditemukan menjadi
rhinitis yang lebih kuat dari NAR, sedangkan wheeze dan eksim saat ini rhinitis
kuat AR. Menariknya, HDM (Der p 1) Alergen ditemukan pada susu manusia dan
prima karena alergi sensitisasi pada model tikus asma. Penelitian ini adalah awal
studi masa depan untuk mengidentifikasi dan menentukan apakah Faktor-faktor
dalam ASI berkontribusi terhadap sensitisasi alergi.5 Faktor risiko lain untuk AR
dan manifestasi rhinitis. Kadar serum 25 (OH) D <50 nM adalah terkait dengan
peningkatan kejadian AR pada pria (AOR 2,55, 95% CI 1,01-6,49) dengan
masing masing 25 nM reduksi 25 (OH) D dikaitkan dengan AOR 1,84 (CI 95%
1,18-2,87). Menariknya, asosiasi ini bertolak belakang wanita, dengan AOR 0,83
(95% CI 0,66-1,05) untuk masing-masing Penurunan 25 nM pada level 25 (OH)
D. Tingkat serum vitamin D adalah berbanding terbalik dengan eksim pada anak-
anak dan remaja di Jerman. Data ini bisa mendukung teori vitamin D memiliki
sifat imunomodulator, yaitu juga dilaporkan pada tikus. Sebuah tinjauan
sistematis menemukan bahwa Suplementasi vitamin D mungkin efektif
untukmencegahnya eksaserbasi asma, namun temuannya perlu dikonfirmasi oleh
uji klinis karena heterogenitas yang signifikan di antara penelitian. Suplementasi
vitamin A neonatal ditemukan dikaitkan dengan peningkatan risiko atopi dan
mengi, terutama pada anak perempuan. Dalam multicentre Eropa studi kohort
kelahiran, konsentrasi vitamin E serum pada 1 tahun. Usia tidak berhubungan
dengan alergi atau asma pada usia 6 tahun. Hipotesis keanekaragaman hayati
mendalilkan bahwa penurunan eksposur anak untuk rhinitis lingkungan akibat
kehilangan ruang hijau dan kebersihan yang ditingkatkan berdampak pada
keanekaragaman hayati commensal dan pengaruhnya terhadap toleransi
kekebalan tubuh. Ruokolainenet al. mempelajari hubungan antara jumlah hijau
ruang (Rhinitis hutan dan pertanian) di sekitar anak-anak yang adalah subyek
penelitian

18
dalam tiga studi Finlandia dan Estonia, dan atopi. Mereka menemukan daerah
hijau itu berjarak 2-5 km dari rumah itu berbanding terbalik dan terbalik dengan
atopik sensitisasi pada anak usia 6 tahun ke atas. Ini dapat menunjukkan efek
lingkungan pada commensal rhinitis, yang juga telah ditunjukkan pada eksim
rhinitis. Ekspresi lahan dan tren waktu di masa kanak-kanak ditemukan
mempengaruhi metilasi DNA terkait asma dan alergi. Di Polandia, pertanian
telah menunjukkan perlindungan efek terhadap ukuran obyektif atopi dan ini
berpotensi terkait dengan kontak dengan gandum atau kegiatan peternakan
terkait. Selanjutnya Sozanska dkk. Menunjukkan bahwa efek perlindungan dari
ukuran keluarga yang lebih besar dan urutan kelahiran Atopi jauh lebih kuat pada
anak daripada pada orang dewasa dan di antara mereka yang tinggal di sebuah
desa. Hahm dkk. Data yang diambil dari studi ISAAC di Korea Selatan dan
menemukan bahwa tinggal di rumah yang baru dibangun pada masa bayi
dikaitkan dengan kemungkinan pengembangan AR yang lebih tinggi. Pada usia
7-8 tahun (OR 3,09, 95% CI 1,71-5,57). Mereka mendalilkan hal ini bisa
disebabkan oleh konsentrasi bahan kimia yang lebih tinggi, termasuk bahan
kimia rhinitis yang mudah menguap, di bangunan baru. Kelembaban dan jamur
di rumah juga terkait dengan AR (OR 1,31, 95% CI 1,07-1,61). Selain itu,
paparan trafik polusi udara terkait, terutama PM2.5, ditemukan terkait dengan
eksim dan demam. Ekspos terhadap kimia antimikroba, dalam produk perawatan
pribadi, dikaitkan dengan penyakit alergi di Norwegia. Merokok dikaitkan
dengan tingginya prevalensi penyakit kronis rhinitis pada kedua jenis kelamin
namun prevalensi AR rendah pada pria. Rhinitis dikaitkan dengan penyakit
arteriperifer, predictor kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular di masa
depan, terlepas dari adanya atopi.5

19
Gambar 7. Faktor Resiko rhinitis alergi

2.3.4 Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. 8
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
20
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine
juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC). 8
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.8

21
Gambar 8. Inflamasi nasal: Mekanisme dasar pada rhinitis alergi

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan


pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.8
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:8

22
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

Gambar 9. Mediator inflamasi primer yang terlibat dalam rhinitis alergi

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed

23
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.3

Airway remodeling salurang nafas juga dipengaruhi oleh Cynsteinyl leukotrienes


(CysLTs) karena:

− Peningkatan mitogenesis sel epitel saluran nafas dan otot polos bronkus
− Peningkatan jumlah sel goblet serta deposisi kolagen subepitel akibat peningkatan
sintesis kolagen oleh miofibroblas
− Bronkokonstriksi saluran nafas sentral dan perifer disebabkan CysLT mempunyai
kekuatan hingga 100 kali lebih kuat dibandingkan histamin

Gambar 10. Mekanisme LTRA 13

Cysteinyl Leukotrienes (CysLTs) adalah peptide terkonjugasi dai asam arachidonat


yang sangat poten dalam meningkatkan mediator inflamasi. Peptida ini dihasilkan oleh sel
eosinophil, basophil, sel mast, makrofag, dan sel dendritic myeloid sebagai respons dari
aktivasi. Ini berhubungan erat dengan patobiologi asma dan inflamasi karena alegi. 14

24
3.2.5 Diagnosis

Gejala Klinik

Gejala yang khas pada rhinitis alergi yaitu: ada dua gejala yang terjadi setiap hari lebih
dari satu jam, hidung bagian depan terdapat cairan (ingus), bersin yang berulang, hidung
tersumbat, gatal pada hidung, dan konjungtivitis.
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: gejala terjadi hanya pada salah satu bagian
hidung, obstruksi hidung tanpa gejala lain, cairan hidung mukopurulen, post nasal drip (+)
dengan mukus yang lengket dengan atau tanpa keluarnya cairan hidung bagian depan,
nyeri, epistaksis yang rekuren, dan anosmia.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis.4,5

Gambar 11.Gejala yang mengarah dan yang tidak spesifik pada rhinitis alergi

Pemeriksaan fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
25
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi
ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.2,8

Gambar 12. Allergic Crease, Allergic Shiner, Allergic Salute

Gambar13. Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil
yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya
kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat
digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen
tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test perkutan.2,8

26
Skin Test

Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergen-spesifik IgE dalam
serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang
sampai berat, atau bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh.2,8

Gambar 13. Skin Prick Test

2.3.6 Penatalaksanaan

Nilai Visual Analoguue Scale (VAS) pada rhinitis alergi dinilai dari skala 0-10
secara keseluruhan tentang bagaimana gejala dan tanda rhinitis alergi yang
mengganggu pasien pada hari dilakukannya VAS. 0 diartikan sebagai tidak menganggu
dan 10 diartikan sangat menganggu. Nilai VAS dapat diklasifikasikan secara retrospektif
dengan membuat kelompok nilai seperti pada diari pasien alergi:28

− VAS > 5 artnya rhinitis alergi tidak terkontrol


− VAS 2-5 artinya rhinitis alergi terkontrol sebagian
− VAS < 2 artinya rhinitis alergi terkontrol dengan baik
Algoritma berdasarkan skala analog visual telah dirancang oleh grup pakar ARIA untuk
pemilihan farmakoterapi untuk pasien dengan rinitis alergi dan untuk meningkatkan
atau menurunkan pengobatan tergantung pada kontrol.

27
Gambar 14. Kontrol pada pasien simptomatik yang belum diterapi menurut VAS pada rhinitis alergi. 20
Algoritma ditingkatkan pasien menggunakan VAS (remaja dan dewasa) algoritma yang
diusulkan mempertimbangkan langkah pengobatan dan preferensi pasien. Tingkat VAS dalam
rasio. jika gejala mata tetap ada setelah pengobatan dimulai, tambahkan pengobatan
intraokular.

28
Gambar 15. Kontrol pada pasien simptomatik yang telah diterapi berdasarkan nilai Visual
Analogue Scale (VAS) pada rhinitis alergi20 Algoritma ditingkatkan pada pasien yang dirawat
menggunakan algoritma VAS (remaja dan dewasa) yang diusulkan dengan
mempertimbangkan langkah-langkah perawatan dan preferensi pasien. Kadar VAS dalam
rasio, jika gejala mata tetap ada, tambahkan pengobatan intraokular.

Pesan dari MASK (Mobile Airways Sentinel Network). Dua studi di lebih dari 9.000
pengguna dan 22 negara24,57 mengkonfirmasi studi percontohan dan memungkinkan
perbedaan antara perawatan rinitis alergi. Mereka juga menunjukkan bahwa penilaian hari
berguna dalam memahami pola pengobatan. Hasil mereka digabungkan untuk menunjukkan
bahwa hal-hal berikut ini benar dalam kehidupan nyata:20,21

1. Pasien kurang patuh pada pengobatan.

2. Tidak ada jalur pengobatan yang dapat diidentifikasi dan kebanyakan pasien mengobati
sendiri.

3. Sebagian besar pasien dengan rinitis menggunakan pengobatan sesuai permintaan ketika
gejalanya tidak terkontrol secara optimal. Ketika gejala tidak terkontrol, mereka
mengganti obat mereka setiap hari untuk kontrol.

4. Sebagian besar pasien tidak mengikuti pedoman atau resep dokter.

29
5. Ketika dokter alergi, mereka berperilaku seperti pasien, menyarankan perlunya ilmu
perilaku untuk meningkatkan kendali.

6. Pasien yang tidak minum obat biasanya memiliki gejala yang terkontrol dengan baik 7.
Pasien yang melaporkan monoterapi dengan obat yang mengandung INCS memiliki
tingkat kendali yang sama. Namun, kombinasi azelastine-fluticasone propionate
(MPAze-Flu) secara signifikan lebih sering diberikan sebagai terapi tunggal daripada
fluticasone furoate atau mometasone furoate.

8. Pasien yang melaporkan monoterapi antihistamin H1 oral memiliki tingkat kontrol


yang lebih buruk daripada mereka yang melaporkan obat yang mengandung INCS.

9. Sebagian besar pasien memiliki tingkat kontrol yang lebih buruk dengan peningkatan
pengobatan, bertentangan dengan pedoman yang mengusulkan untuk meningkatkan
tingkat pengobatan untuk mencapai kontrol.

10. Hasil ini menunjukkan bahwa ketika gejala pasien terkontrol, mereka tidak minum
obat atau tetap menjalani pengobatan tunggal.

11. Mempertimbangkan tingkat kontrol dan komedi, MPAzeFlu lebih efektif daripada
INCS.

12. Hipertensi resisten ditentukan oleh jumlah obat yang digunakan untuk mengendalikan
penyakit dan klasifikasi serupa mungkin diusulkan pada pasien dengan rinitis alergi, yang
menegaskan konsep penyakit saluran napas atas kronis yang parah.

Tabel 1. Pendapat konsensus untuk berbagai skenario23,24

Part 1: Approach to treatment

Patient VAS Phenotype Tx Consensus

1 _>5 IAR or PER Yes Step-up

2 _>2 to <5 IAR Yes Continue

3 <2 IAR Yes Step-down

30
4 _>2 to <5 PER Yes Continue or step-up

5 <2 PER Yes Step-down

6 _>5 IAR No Initiate

7 _>5 PER No Initiate

8 <5 IAR or PER No Initiate

Part 2: Specific treatment step-ups

Current Tx Step-ups Notes

9 T1 T2 or T3

10 T2 T3

11 T3 T3 1 T4* Consider T5†

12 T1 1 T2 T3 Consider T5†

13 T1 1 T3 T3 1 T4* Consider T5†

14 T2 1 T3 T3 1 T4 Consider T5†

15 T5 1 VAS >
_5 T5 1 T>2 or T3

16 T5 1 VAS >
_2 to <5 T5 1 T1, T2 or T3 T5 1 T2 or T3 if congestion

17 T5 1 T1 T5 1 T2 or T3

18 T5 1 T2 T5 1 T3

19 T5 1 T3 Continue Consider referral

Part 3: Specific treatment step-downs

Current Tx Step-down Notes

20 T3 T2 or T1 T2 if congestion

21 T2 T1 Continue T2 if congestion

22 T1 Stop Not exposed to allergen

23 T1 Continue Exposed to allergen

24 T1 1 T2 T1 or T2 T2 if congestion

25 T1 1 T3 T1 or T3 T3 if congestion

26 T2 1 T3 T2 or T3

27 T5 1 T3 T5 1 T1 or T2 T5 1 T2 if congestion

28 T5 1 T2 T5 1 T1 Continue T5 1 T2 if congestion

31
29 T5 1 T1 T5 Not exposed to allergen

30 T5 1 T1 T5 1 T1 Exposed to allergen

31 T5 T5 Until end of course

Part 4: Treatment initiation

Patients Tx Consensus Note

32 IAR; VAS >


_5 No T1, T2, or T3 T2 or T3 if congestion

33 PER; VAS >


_5 No T2 or T3

34 IAR or PER VAS <5 No T1, T2, or T3 T2 or T3 if congestion

IAR (Intermittent Allergic Rhinitis), PAR (Persistent Allergic Rhinitis)

Gambar 16. Inisiasi terapi rhinitis alergi berdasarkan VAS22

Algoritma ARIA untuk rinitis alergi direvisi oleh kelompok ahli, dan sebuah proposal dibuat
untuk mengklasifikasikan pengobatan rinitis alergi.

Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
32
serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
hidung, mencegah penngeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit dan mencegah kebocoran plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan
lambat). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor. 3

Gambar 25. Terapi rhinitis alegi menurut ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) 28

33
Mekanisme aksi antihistamin pada rhinitis alergi adalah mengurangi inflamasi nasal,
mengurangi sel Langerhans, mengurangi eosinophil dan produknya, mengurangi basophil dan
influx sel mast, mengurangi sel T dan sitokin Th2 (IL 3,4,5,13), mengurangi hiperreaktifitas
nasal.28

Gambar 26. Klasifikasi antihistamin generasi 1 27

Gambar 27. Efek antihistamin generasi satu28

Efek samping antihistamin generasi satu antara lain:28

34
Pada reseptor CNS H1, dapat menurunkan rasa kewaspadaan, kognisi, pembelajaran,
memori, dan kinerja psikomotorik. Terdapat gangguan dengan atau tanpa sedasi. Pada reseptor
muskarinik, meningkatkan mulut kering, retensi urin, dan takikardia sinus. Pada resepot
serotonin, meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Pada reseptor Cx adrenergik,
menyebakan rasa pusing dan hipertensi postural. Pada jantung berhubungan dengan ion
chanel, menyebabkan QT Interval tinggi dan ventrikular aritmia.

Gambar 28. Efek antialergi pada generasi kedua 21,22

35
Gambar 29. Farmakoterapi dan dosis pada anak 27

Indikasi kortikosteroid intranasal di Indonesia

− Mometason furoate
o Rhinitis alergi musiman dan perennial untuk dewasa dan pediatric diatas 2 tahun
o Polip nasal untuk diatas 18 tahun
o Akut rhinosinusitis ringan hingga sedang tanpa komplikasi untuk diatas 12 tahun
tanpa tanda dan gejala infeksi berat bakteri
− Fluticasone furoate
o Terapi untuk gejala rhinitis alergi pada dewasa, remaja ( 12 tahun keatas), anak
(6-11 tahun)

36
Gambar 32. Mekanisme glukokortikoid di alergi

Guideline eropa untuk manajemen rhinitis alergi dengan terapi steroid intranasal dan sistemik:

− Intranasal
o Sangat efektif untuk terapi lini petama
o Terapi yang lebih dipreferensikan untuk melegakan kongesti nasal
o Efikasi yang superior dibandingkan terapi lain
o Penggunaan profilaktik efektif dalam menurunkan kongesti, rhinorrhea, bersin,
dan gatal
o Kontraindikasi terbatas
o Gampang ditoleransi dan bisa digunakan dalam jangka panjang tanpa atropi
− Sistemik
o Meningkatkan potensi untuk efek samping sistemik
o Direservasi untuk pasien yang tidak behasil dengan terapi lain atau kasus berat
o Ada kontraindikasi signifikan

37
Tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang (> 3 minggu)

Gambar 20. Guideline perpektif mengenai terapi antihistamin dan dekongestan oral pada
rhinitis alergi 24-26

Tabel 2. Perbandingan waktu permulaan aksi menggunakan ruang paparan lingkungan

Drug (dose) Formulation Onset of action Parameter Reference

Ontario environmental exposure chamber38

Azelastine Nasal spray 15 min TNSS 38

MPAzeFlu Nasal spray 5 min TNSS 37

Fluticasone propionate 1 oral loratadine (10 mg) Nasal spray 1 tablet 160 min

Olopatadine Nasal spray 90 min TNSS 39

Ciclesonide Nasal spray 60 min TNSS 40

Budesonide Nasal spray 8h TNSS 41

Budesonide and azelastine Nasal spray 20 min

CDX-313 (solubilized budesonide 1 azelastine) Nasal spray 20 min

Levocetirizine Tablet 160 min MSS 42

Vienna environmental exposure chamber

Astemisole-D, Loratadine-D Tablet 65-70 min No placebo 43


MSS

Astemisole, loratadine, terfenadine-forte Tablet 107-153 min No placebo 44

MSS

38
Azelastine (intranasal), desloratadine Nasal/tablet Azelastine: 15 min Desloratadine: 150 min TNSS 45

Bilastine, cetirizine, fexofenadine Tablet No assessment before 60 min TNSS 46

Cetirizine-D, budesonide Nasal/tablet No placebo 47

Cetirizine-D, xylometazoline nasal spray Nasal/tablet No placebo 48

Desloratadine Tablet 30 min Obstruction 49

Fluticasone furoate and levocabastine Nasal spray Combi: 15 min No data for fluticasone TNSS 50

furoate or levocabastine

Levocetirizine, loratadine Tablet Levocetirizine: 45 min Loratadine: 60 min MSS 51

Rupatadine Tablet 15 min TNSS 52

Studi ruang Ontario menunjukkan kemanjuran onset cepat untuk azelastine dan
kombinasinya. Tampaknya tidak ada perbedaan antara azelastine sendiri atau dalam
kombinasi. Antihistamin H1 intranasal lainnya memiliki onset kerja yang lebih lambat.
Kortikosteroid intranasal (INCS; sendiri atau dengan antihistamin H1 oral) tidak efektif
sebelum 2 jam. Studi ruang Wina menunjukkan bahwa azelastine dan levocabastine /
fluticasone furoate adalah obat yang bekerja paling cepat dibandingkan dengan antihistamin
H1 oral.28,29

2.3.7 Pemberian Imunoterapi Spesifik


Pemberian mekanisme imunologis, jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Indikasi pemberian, usia
>6 tahun, tanpa gejala berat sistemik, pasien dengan emergensi yang membutuhkan
adrenalin / alergi inhalan dengan derajat gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil
pengobatan lain belum memuaskan. Kontraindikasi pemberian untuk pasien yang
menggunakan beta blocker, dan penderita asma berat.3

Indikasi mengarah ke AIT (Allergen Immunotherapy): 28

− Diagnosis akurat dengan riwayat penyakit, uji tusuk kulit, IgE spesifik dan
beberapa kasus perlu tes provokasi
− Indikasinya adalah rhinitis alergi/konjungtivitis alergi/asma alergi
39
− Gejala paparan alergi didominasi paparan allergen tertentu
− Seleksi pasien dengan yang tidak respon terhadap terapi obat yang tepat (sesuai
guideline) atau ada perubahan perjalanan alergi
− Verifikasi efikasi dan keamanan produk yang dipilih
− Rundingkan dengan pasien dan keluarga mengenai indikasi dan keputusan

2.3.8 Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.8

2.3.9 Komplikasi Rhinitis Alergi


Kejadian Rhinitis Alergi yang berulang serta pengobatan yang tidak adekuat sering
mengakibatkan komplikasi. Komplikasi paling sering dari rhinitis alergi adalah : 3
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus
paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam
mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah.3

40
Korealasi antara rhinitis alergi dan saluran pernafasan pada penyakit seperti otitis media
dengan efusi, polip nasal, rhinosinusitis, asma, infeksi saluran pernafasan atas.

Gambar 35. Guideline evaluasi kontrol pada rhinitis alergi 30

Langkah pertama, pasien dengan gejala rinitis sedang / berat dan atau rinokonjungtivitis tanpa
asma. Langkah kedua, gejala pajanan dengan aeroalergen yang relevan. Langkah ketiga,
konfirmasi sensitisasi IgE (skintest dan atau spesifik IgE) atau bukti relevansi klinis. Langkah
keempat, pengobatan dengan farmakoterapi optimal dan menghindari alergen, jika
memungkinkan. Langkah kelima, evaluasi kontrol dan kelayakan gejala. Langkah keenam,
kontrol dan kepatuhan gejala yang tidak memadai. Langkah ketujuh, pandangan pasien dan
atau pengasuh.30

2.4 Differensial Diagnosis


2.4.1 Rhinitis Vasomotor

Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu sindrom pada hidung yang bersifat kronis dengan
gejala hidung tersumbat berulang disertai pengeluaran sekret yang encer serta bersin-
bersin. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi diduga akibat gangguan vasomotor
pada hidung yaitu adanya gangguan fisiologik pada lapisan mukosa hidung yang

41
disebabkan oleh meningkatnya aktivitas saraf parasimpatis terhadap saraf simpatis.3

Mekanisme vasomotor merupakan respon banyak segi terhadap berbagai


stimulus nonalergi. Ia dapat disertai dengan obstruksi saluran pernapasan hidung akibat
kesadaran pasien akan siklus hidung yang normal. Sebenarnya rinitis vasomotor
merupakan diagnosis yang dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lain. Pertama,
singkirkan obstruksi hidung akibat siklus hidung yang normal atau akibat posisi lebih
rendah yang juga merupakan fenomena fisiologi normal. Kedua, singkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Ketiga singkirkan adanya infeksi, eosinofilia, perubahan
hormonal (kehamilan dan hipertiroid), serta pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).3,5

Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal


vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial Rhinitis.3,5

2.4.2 Etiologi
Etiologi yang pasti dari rinitis vasomotor belum diketahui, tetapi diduga sebagai
akibat gangguan keseimbangan vasomotor.5,6 Dianggap, bahwa sistem saraf outonom,
karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme vaskularisasi hidung, dapat
menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan oleh
gangguan sistem saraf outonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi-
reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis atau inhibisi simpatis yang
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permiabilitas vaskular disertai edema dan
peningkatan sekresi kelenjar.5

42
Ada beberapa faktor pencetus yang diduga mempengaruhi keseimbangan
aktifitas saraf parasimpatis dan simpatis pada Rinitis vasomotor yaitu:6,7

1. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya parfum) dan makanan yang
pedas, panas, serta dingin (misalnya es krim).
2. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang dan stress.

2.4.3 Patofisiologi
Etiologi dari Rinitis vasomotor belum diketahui dengan pasti. Namun beberapa
hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor: 5,6

1. Neurogenik (Disfungsi Sistem Otonom)


Terjadi aktifitas saraf parasimpatis yang lebih dominan dari pada aktifitas
simpatis akan menyebabkan terlepasnya asetilkolin sehingga menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah kecil di mukosa hidung. Akibatnya terjadi
sumbatan dan peningkatan produksi mukus. Sedangkan saraf simpatis
menyebabkan vasokonstriksi yang mengakibatkan patensi hidung dan
menurunnya produksi mukus.

Mukosa hidung beserta struktur yang ada didalamnya mempunyai fungsi


untuk mempersiapkan udara yang akan masuk kedalam paru-paru antara
lain melembabkan udara, menyaring udara, dan memanaskan udara, semua
ini dikontrol oleh serat-serat saraf parasimpatis dan saraf simpatis.
Dominasi serat-serat saraf parasimpatis terhadap saraf simpatis oleh faktor-
faktor dibawah ini menimbulkan berbagai keluhan klinis sebagai suatu
sindroma, yang disebut Rinitis vasomotor.

2. Adanya trauma pada hidung (komplikasi akibat tindakan pembedahan serta


non pembedahan)

43
3. Neuropeptida
Zat-zat neuropeptida ini menyebabkan:

a. Disfungsi sistem saraf otonom dan saraf-saraf sensoris


Hal ini mengakibatkan gangguan pada saraf nosiseptif tipe C, yang
disebabkan oleh peningkatan ekspresi dari p-substance dan calcitonin
gene-related peptides. Terjadi peningkatan sekresi kelenjar serta
pengeluaran cairan plasma, di mana hal ini dirangsang oleh adanya
reflek dari sistem saraf parasimpatis yang menyebabkan peningkatan
sekresi kelenjar submukosa hidung.

b. Rinitis akibat iritasi kronis dari asap rokok


Hal ini diakibatkan oleh peningkatan ekspresi dari calcitonin gene-
related peptide, p-substance, vasoactive intestinal peptide (VIP),
neuropeptide tyrosine (NPY). NPY, senyawa peptida yang terdiri dari
36 asam amino, merupakan zat vasokonstriktor yang sering ditemukan
bersamaan dengan noradrenalin pada serabut saraf simpatis perifer.
VIP, zat neurotransmiter yang bersifat antikholinergik pada sistem
traktus respiratorius, memberikan efek bronkodilatasi dan vasodilatasi.

c. Paparan ozone yang berlebihan


Hal ini menyebabkan gangguan pada sel-sel epitel sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas serta perangsangan terhadap sel-sel
inflamasi. Akibatnya, jika berlangsung lama akan berlangsung proses
proliferasi sel-sel epitel yang akan merangsang peningkatan sekresi
kelenjar.

44
4. Nitric Oxide (NO)
Zat ini menyebabkan nekrosis sehingga luas jaringan normal akan
berkurang. Hal ini diakibatkan adanya peningkatan ekspresi NO pada epitel
hidung, sehingga terjadi peningkatan kadar NO yang persisten. Peningkatan
kadar NO ini membuat sel-sel epitel mengalami gangguan secara terus menerus
(penurunan kemampuan silia mukosa hidung dalam menghalau partikel asing,
meregangnya epithel-junction mukosa hidung, diskontinuitas membran
basalis), serta terjadi perangsangan dari serat saraf aferen nervus trigeminus,
yang menyebabkan perangsangan reflek vaskular serta sekresi kelenjar, hal ini
menyebabkan timbulnya gejala dari rinitis vasomotor. Untuk menurunkan
kadar NO, sangat dipengaruhi oleh jumlah reseptor NPY di dalam sirkulasi
darah, dapat diberikan alfa 2 adrenoreseptor agonis yang diberikan secara
intranasal.

5. Protein yang disekresi oleh mukosa hidung


Jika dilakukan nasal-washes kadar total protein dan albumin akan ditemukan
lebih tinggi pada rinitis alergi daripada rinitis yang disebabkan oleh non-alergi.
Jenis protein yang ditemukan ( MW 26-kda protein ) pada rinitis non alergi
jumlahnya minimal. Jika dilakukan gel-electrophoresis dari hasil nasal washing
kadar total protein pada rinitis vasomotor akan ditemukan lebih rendah daripada
rhinitis penunjang.

6. Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara
langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan
merangsang sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan
ke traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay
neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan
olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak dibagian anterior
hipotalamus.

45
2.4.4 Diagnosis
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan status lokalis (THT). Dari anamnesa dicari faktor pencetusnya dan
disingkirkan kemungkinan Rinitis alergi, infeksi, okupasi, hormonal, dan akibat obat.5

Anamnesis

Rhinitis vasomotor menimbulkan gejala sumbatan pada hidung, rinore dan


bersin. Karena mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor dipengaruhi oleh system saraf
otonom, maka dapat dipahami mengapa gangguan emosi sering ditemukan pada pasien
rinitis dengan gejala hidung tersumbat.7 Reaksi vasomotor selain disebabkan oleh
disfungsi system saraf otonom, dipengaruhi juga oleh faktor iritasi, fisik dan endokrin.
Penderita rinitis vasomotor umumnya menunjukan gambaran sensitivitas yang
berlebihan terhadap iritasi, rangsangan dingin atau perubahan kelembaban udara.
Keluhan yang dominan pada rhinitis vasomotor ini adalah sumbatan pada hidung,
bergantian antara kanan dan kiri, dan rinore yang hebat. Keluhan bersin dan gatal tidak
dominan. Jadi disini dapat disimpulkan bahwa gejala Rinitis vasomotor dapat berupa:

1. Hidung tersumbat pada salah satu sisi dan bergantian tergantung pada posisi
penderita (gejala ini yang paling dominan).
2. Rinore yang bersifat serus atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak
banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rinitis alergika
4. Gejala Rinitis vasomotor ini dapat memburuk pada pagi hari saat bangun
tidur karena adanya perubahan suhu yang ekstrem, udara yang lembab, dan
karena adanya asap rokok.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu: 6

1. Golongan tersumbat (blockers) dengan gejala kongesti hidung dan


hambatan aliran udara pernafasan yang dominan dengan rinore yang
minimal.

46
2. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikostreoid topikal
3. Golongan rinore (runners) gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal
2.4.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran edema mukosa hidung,


konka berwarna merah gelap atau merah tua, permukaan konka licin atau tidak rata.
Pada rongga hidung terlihat adanya sekret mukoid, biasanya jumlahnya tidak banyak.
Akan tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa yang jumlahnya sedikit lebih
banyak dengan konka licin atau berbenjol -benjol.5

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


Rinitis alergi. Biasanya pada pemeriksaan sekret hidung tidak ada atau ditemukan
eosinofil dalam jumlah sedikit. Tes kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak
meningkat.6

2.4.7 Penatalaksanaan

Gambar 4 : Algorithma penatalaksanaan RV5

47
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk Rinitis vasomotor seperti pada
Rinitis alergika. Pengobatan pada Rinitis vasomotor hanya simtomatis, tergantung
gejala yang menonjol. Secara garis besar, penatalaksanaannya dibagi dalam :5

➢ Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan
pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secara
periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan
larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator.8
Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien dengan
gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga efektif pada
pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang
disarankan seperti Ipratropium bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang
mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien
dengan takikardi dan glaukoma sudut sempit. 8
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan
bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh vasoaktif mediator
yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin,
menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera,
tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gram sebelum hasil yang
diinginkan tercapai. Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide
dan Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edema mukosa dan eritema ringan.
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung tersumbat.
Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang diformulasikan dengan
antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin,
Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini
merupakan agonis reseptor α dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada
penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu

48
rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari.
Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang
berat serta tekanan darah yang labil. 8

Bedah

Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur


pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang
berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang
cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya
hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum
nasi. Selain itu juga dapat dilakukan konkotomi. Neurectomi n.vidianus merusak
baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat menghilangkan
gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter dapat dilakukan tetapi
hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih dipertimbangkan daripada kauterisasi
karena dapat mencapai lapisan submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka
inferior berhasil baik.8

50
BAB III
Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU
PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Rabu, 16 Desember
2020 SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Egla Philderi Tundan Tasin Tanda Tangan:


NIM 112018055
Pembimbing : dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

IDENTITAS PASIEN

ANAMNESIS
Diambil secara : Auto anamnesa
Nama : Tn S Jenis Kelamin : Lelaki
Umur : 68 Tahun Kebangsaan : Indonesia
Status Perkawinan : Menikah Agama: Islam
Pekerjaan : Buruh Harian Lepas Pendidikan : SD
Alamat : Jl. Gg. Spoor II Dalam RT Tanggal Masuk Rumah Sakit : 10-12-2020
004/RW 002, Kemayoran

51
Keluhan Utama:

Dari hidung keluar cairan dan sering bersin-bersin sejak 1 minggu SMRS

Keluhan Tambahan :
Hidung dan mata terasa gatal
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):

Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan keluar cairan
dari hidung dan sering bersin-bersin sejak 1 minggu SMRS. Cairan berwarna jernih, tidak
ada nanah ataupun bercampur darah. Pasien juga mengatakan adanya rasa gatal pada
hidung dan mata saat bersin-bersin. Keluhan ini muncul secara tiba-tiba jika pasien
terkena udara yang panas, dingin, menghirup debu dan asap rokok dan keluar cairan di
hidung menetap jika tidak diberikan obat. Pasien mengatakan tidak ada cairan dari hidung
yang mengalir di belakang tenggorokan dan tidak ada merasakan sakit atau nyeri bagian
wajah. Pasien mengaku setiap bangun pagi mengalami pilek yang menyebabkan
hidungnya tersumbat. Keluhan hampir dirasakan setiap hari tapi tidak sampai
mengganggu aktivitas pada pasien. Pasien bekerja sebagai buruh pabrik kapas sehingga
pasien selalu tidak sadar jika menghirup udara yang banyak mengandung kapas-kapas
dan debu hasil pabrik saat bekerja dan pasien langsung bersin-bersin. Pasien mengaku
tidak ada riwayat sering mimisan, tidak pernah mengalami luka pada hidung dan tidak
pernah keluar cairan hidung yang berbau kecuali ingus. Pasien juga mengaku tidak
pernah mengalami benturan keras pada kepala. Pasien mengatakan keluhan dirasakan
sejak kecil dan hampir seluruh keluarganya mengalami hal yang sama.

Pasien juga mengaku tidak pernah mengalami gangguan pendengaran atau


mengeluh telinga sakit. Pasien memiliki riwayat alergi makanan seafood.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):


Riwayat penyakit jantung koroner (Bypass)

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis
52
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tekanan Darah : 128/70 mmHg
Denyut Nadi : 79x/menit

Telinga

KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-) , atresia (-), fistula anotia (-) , atresia (-), fistula
(-), bat’s ear (-) (-), bat’s ear (-)
Kelainan kongenital Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), cauliflower (-) , anotia (-), cauliflower (-) ,
cryptotia (-), satyr ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-),
bat’s ear (-) bat’s ear (-)
Radang, tumor Hiperemis (-), nyeri (-), Hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), oedema (-), hipertermi (-), oedema (-),
massa (-) massa (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Kelainan pre, infra, Fistula (-), hematoma (-), Fistula (-), hematoma (-),
retroaurikuler laserasi (-), abses (-), sikatriks laserasi (-), abses (-), sikatriks
(-), massa (-), hiperemis (-), (-), massa (-), hiperemis (-),
nyeri tekan (-), hipertermi (-), nyeri tekan (-), hipertermi (-),
edema (-), tumor (-), tragus edema (-), tumor (-), tragus
aksesorius (-), vulnus (-) aksesorius (-), vulnus (-)
Region Mastoid Abses (-), Hiperemis (-), Abses (-), Hiperemis (-),
Massa (-), Nyeri tekan (-), Massa (-), Nyeri tekan (-),
Nyeri Ketuk (-), Oedema (-) Nyeri Ketuk (-), Oedema (-)

53
Liang telinga lapang, furunkel (-), jar. lapang, furunkel (-), jar.
granulasi (-), serumen (+), granulasi (-), serumen (+),
edem (-), sekret (-), darah (-), edem (-), sekret (-), darah (-),
hiperemis (-), stenosis (-), hiperemis (-), stenosis (-),
atresia (-),sekret (-), laserasi (- atresia (-),sekret (-), laserasi (-
), perdarahan aktif (-). benda ), perdarahan aktif (-). benda
asing (-), hifa (-) asing (-), hifa (-)
Membran timpani Intak, refleks cahaya di jam 5, Intak, refleks cahaya di jam 7,
hiperemis (-), bulging (-), hiperemis (-), bulging (-),
retraksi (-), kolesteatom (-), retraksi(-), kolesteatom (-)
timpanosklerosis (-), timpanosklerosis (-),
hemotimpanum (-) hemotimpanum (-)

Tes Penala

Kanan Kiri

Rinne Positif Positif

Weber Tidak Ada Lateralisasi

Swabach Sesuai dengan pemeriksa Sesuai dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz

Kesan : Tes Penala dalam batas normal pada frekuensi 512Hz

Hidung

KANAN KIRI
Bentuk Deformitas (-), Saddle nose Deformitas (-), Saddle nose
(-), hump nose (-), agenesis (-), hump nose (-), agenesis

54
(-), hidung bifida (-), atresia (-), hidung bifida (-), atresia
nares anterior (-) nares anterior (-)
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi (-), Hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-) nyeri (-), massa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), krepitasi (-)
Sinus maksilaris
Vestibulum Laserasi (-), sekret (-), Laserasi (-), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),
hiperemis (-), hipertermi (-), hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-) nyeri (-), massa (-)
Cavum nasi Lapang, sekret (+) jernih, Lapang, sekret (-) jernih,
massa (-), krusta (-), benda massa (-), krusta (-), benda
asing (-) hiperemis (-) asing (-) hiperemis (-)
Konka inferior Hiperemis (-), Livid (+), Hiperemis (-), Livid (+),
Edema (+), Hipertrofi (-) Edema (+), Hipertrofi (-)
Konka medius Edema (+), hipertrofi (-), Edema (+), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius Sekret (+), massa (-) Sekret (-), massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-) perforasi (-)

Pemeriksaan Transluminasi
Sinus Frontal Kanan, Kiri : Positif

Sinus Maxilla Kanan, Kiri : Positif

Pharynx
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

55
Dinding pharynx Hiperemis (-), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-), clotting
(-), post nasal drip (-), massa (-)

Arcus simetris (+/+), hiperemis (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), laserasi (-
/-)

Tonsil T1-T1, hiperemis (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), detritus (-/-),
pseudomembran (-/-), kriptus (-/-)

Uvula Terletak di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),


memanjang (-), edema (-)

Gigi Caries dentis (-), gigi berlubang (-)

Kelenjar Getah Bening

Tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi

RESUME
Anamnesis

Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan keluar cairan
dari hidung dan sering bersin-bersin sejak 1 minggu SMRS. Cairan berwarna jernih, tidak
ada nanah ataupun bercampur darah. Pasien juga mengatakan adanya rasa gatal pada
hidung dan mata saat bersin-bersin. Keluhan ini muncul secara tiba-tiba jika pasien
terkena udara yang panas, dingin, menghirup debu dan asap rokok dan keluar cairan di
hidung menetap jika tidak diberikan obat. Pasien mengatakan tidak ada cairan dari hidung
yang mengalir di belakang tenggorokan dan tidak ada merasakan sakit atau nyeri bagian
wajah. Pasien mengaku setiap bangun pagi mengalami pilek yang menyebabkan
hidungnya tersumbat. Keluhan hampir dirasakan setiap hari tapi tidak sampai
mengganggu aktivitas pada pasien. Pasien bekerja sebagai buruh pabrik kapas sehingga
pasien selalu tidak sadar jika menghirup udara yang banyak mengandung kapas-kapas

56
dan debu hasil pabrik saat bekerja dan pasien langsung bersin-bersin. Pasien mengaku
tidak ada riwayat sering mimisan, tidak pernah mengalami luka pada hidung dan tidak
pernah keluar cairan hidung yang berbau kecuali ingus. Pasien juga mengaku tidak
pernah mengalami benturan keras pada kepala. Pasien mengatakan keluhan dirasakan
sejak kecil dan hampir seluruh keluarganya mengalami hal yang sama.

Pasien juga mengaku tidak pernah mengalami gangguan pendengaran atau


mengeluh telinga sakit. Pasien memiliki riwayat alergi makanan seafood.

Pada pemeriksaan fisik telinga kiri dan kanan dalam batas normal. Terdapat serumen
pada telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan penala dalam batas normal pada telinga
kiri dan kanan dengan frekuensi 512Hz. Pada pemeriksaan hidung didapatkan konka
inferior dan media kiri kanan livide. Pada pemeriksaan tenggorokan dalam batas normal.

DIAGNOSIS KERJA
Rhinitis Alergi Persisten Ringan

Dasar yang mendukung:


Anamnesis:
• Terdapat gejala bersin yang berulang, hidung tersumbat, gatal pada hidung.
• Keluhan disertai gatal pada hidung dan mata
Pemeriksaan fisik:
• Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa hidung edema dan berwarna livid

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Rhinitis Vasomotor
Dasar yang mendukung:
Anamnesis:
1. Keluhan muncul hilang timbul tetapi tidak ada penyebab spesifik dan
diperberat jika terpapar dingin
2. Bersin jika terpapar pada debu tetapi jarang

57
Pemeriksaan fisik
1. Tampak mukosa hidung edema

Dasar yang tidak mendukung:


Anamnesis:
1. Hidung pasien tersumbat bergantian kanan dan kiri tergantung posisi
2. Tidak ada bersin yang berulang
3. Gejala tidak di perberat oleh psikis seperti cemas, tegang dan stres
Pemeriksaan fisik:
1. Tidak ditemukan adanya mukosa berwarna merah gelap atau merah tua.

PENATALAKSANAAN
NON – MEDIKAMENTOSA
• Pakai masker
• Hindari allergen (debu & udara dingin)

MEDIKAMENTOSA
✓ Kortikosteroid : Flucticasone Propionate 100 mcg 2x1

EDUKASI

• Pakai masker
• Hindari allergen/pencetus
• Mengkonsumsi obat secara teratur
• Mempertahankan kondisi tubuh sehat dengan makan yang baik, istirahat cukup
dan berolahraga teratur
• Segera berobat bila mengalami gejala batuk pilek atau infeksi saluran nafas
• Kontrol poli THT satu minggu kemudian untuk evaluasi pengobatan

PROGNOSIS
Ad vitam : Ad Bonam
Ad fungsionam : Ad Bonam
Ad sanationam : Ad Bonam

58
BAB IV

Pembahasan

Pada pasien ini didapatkan keluhan bersin-bersin setiap pagi. Pada pagi hari,
udara dingin dan debu pasien sering mengalami hidung mampet dan pilek sejak
waktu beberapa tahun lalu. Keluhan ini disertai dengan keluar ingus berwarna
bening, encer. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan pada rhinoskopi
anterior didapatkan mukosa konka inferior kanan dan kiri livid, dan terdapat
sekret bening yang encer. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
kemungkinan pasien menderita sakit rhinitis alergi persisten ringan.
Penatalaksanaan rhinitis alergi diberikan obat preparat kortikosteroid. Dipilih
bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada hidung, mencegah penngeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit dan mencegah kebocoran plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen
(bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Disarankan untuk melakukan
pemeriksaan penunjang seperti test alergi untuk mengetahui pasien alergi
terhadap jenis allergen apa saja.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam G, Boles L, Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Moeis RM, Sudiro M, Herdiningrat RB. 2014. Karakteristik Pasien Rhinitis Alergi di
Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung Indonesia. Althea Medical Journal Vol I.
Diakses pada : 9 September 2019
Diunduh dari: http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/amj/article/view/350
3. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134.
4. Rimmer, J et al. European position paper on diagnostic tools in rhinology. Rhinology.
2019;10 : 57.
5. Ballenger JJ. Infeksi sinus paranasal. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Jilid satu. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta; 2004
6. Browning. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery Volume 2. Hodder Arnold an Hachette
UK Company, London; 2007
7. M. K. SUH. Surgical Anatomyand Physiology of the Nose dalam buku Atlas of Asian
Rhinoplasty. Singapura : Springer Nature Singapore ; 2018. 55-8.
8. Okubo K, Kurono Y, dkk. Japanese guidelines for allergic rhinitis 2017. Elsevier.
2016 : 1-15
9. Wise SK, M.D., Lin SY, M.D., Toskala E, M.D., dkk. International Consesnsus
Statement on Allergy and Rhinology : Allergic Rhinitis. The American Academy of
Otolaryngic Allergic Foundation. 2017 : 117-36.
10. Bousquet J, et al. Allergy. 2002:57-841
11. Bousquet et al. Allergy. 2008; 63(Supp 86):8-160
12. Bousquet et al. Allergy. 2008; 63(7):842-53
13. Skoner DP (2001). J Allergy Clin Immunol. 108 (1 Suppl): S2-8
14. Meltzer. Allergy. 1997;52(suppl 36):33-40
15. Paggiaro et al. Ther Adv Chronic. Dis (2011) 2(1) 4758

60
16. Bryson HM, Faulds D. Drugs 1992;43:760-75
17. Daley-Yates PT, Baker RC. Br J CLin Pharmacol 2001;51:103-5
18. Daley-Yates PT, et al. Eur J Clin Pharmacol 2004;60:265-8
19. Allen A et al. Clin Ther 2007;29:1415-20
20. Corren, Jonathan. Intranasal corticosteroid for allergic rhinitis: How do different agent
compare?. J Allergy clin immunol oct 1999: 104: S144-149
21. Derendorf H, Meltzer EO. Molecular & clinical pharmacology of INS corticosteroid:
clinical & therapeutic implications. Allergy. 2008 Oct;63(10):1292-300
22. Bousquet et al. Allergy CLin Immunol. 2001; 108(Suppl5)
23. Presa IJ. Alergol Clin Inmunol 1999;14:5
24. Van Cauwenberge et al. Allergy. 2000;55:116
25. Dykewicz MS et al. Ann Allergy Asthma Immunol. 1998:81:474-477
26. Van Cauwenberger P et al. Allerg. 2000;55:116-134
27. Bousquet J et al. J Allergy Clin Immunol. 2001;108(sup) S147-334
28. Estelle F, Simons R, Simons KJ. JSCI 2011.
29. J Allegy Clin Immunol 2010;126:466-76
30. Bousquet et al. J Allergy Clin Immunol. 2020 145(1):70-80

61

Anda mungkin juga menyukai