Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

POLIP NASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepaniteraan


Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa

Pembimbing:
dr. Ery Ananda, Sp. THT-KL

Disusun Oleh:
Putri Diva Prinanda
18174061

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT UMUM MEURAXA
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang mana berkat
Rahmad, Kasih Sayang dan Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Polip Nasi”. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepanitraan klinik senior pada
bagian/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum
Meuraxa, Banda Aceh.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Ery Ananda, Sp. THT-KL yang
telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga, sahabat,


dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam referat ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan
referat ini. Harapan penulis semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran
khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya bagi kita semua.

Banda Aceh, 18 November 2020

Putri Diva Prinanda


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ......ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Hidung .................................................................3
2.1.1 Anatomi Hidung ...............................................................................4
2.1.2 Fisiologi Hidung ..............................................................................8
2.2 Polip Nasi ................................................................................................12
2.2.1 Definisi ...........................................................................................12
2.2.2 Epidemiologi ..................................................................................12
2.2.3 Etiopatogenesis ..............................................................................14
2.2.4 Manifestasi Klinis ..........................................................................17
2.2.5 Diagnosis ........................................................................................18
2.2.6 Gambaran Histopatologi ................................................................20
2.2.7 Diagnosa Banding ..........................................................................21
2.2.8 Penatalaksanaan .............................................................................22
2.2.9 Prognosis ........................................................................................26
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering
dikeluhkan pasien ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan
diagnosis, banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat mempengaruhi terjadinya
sumbatan pada hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat berasal dari struktur
maupun sistemik. Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma,
dan gangguan kongenital. Yang disebabkan sistemik terkait dengan perubahan
fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung
tersumbat.1
Polip nasi adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Polip dapat timbul pada laki-laki ataupun perempuan, dari usia anakanak hingga
usia lanjut. Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya
sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan
populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan.1
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-
4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%.
Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar
0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan
bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.1,2
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin
lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai
anosmia. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya
sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair.1,2

1
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan
mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui
secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan
pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka
sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk
mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.1,2,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung merupakan saluran pernapasan udara yang pertama, mempunyai 2
lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga hidung
ini dilapisi oleh selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan
bersambung dengan faring dan dengan semua selaput lendir semua sinus yang
mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Rongga hidung mempunyai
fungsi sebagai panyaring udara pernapasan oleh bulu hidung dan menghangatkan
udara pernapasan oleh mukosa.3,4
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban
udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra
pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring
dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim lisozim. Vibrisa adalah rambut
pada vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel
berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat
melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan
oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bekteri (partikel sangat kecil),
maka enzim lisozom yang menghancurkannya.3,4
Ada beberapa fungsi dari hidung, yaitu:3,11,12
• Fungsi respirasi: air conditioning, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan, mekanisme imunologik lokal.
• Fungsi penghidu: terdapat mukosa olfaktorius
• Fungsi fonetik: resonasi udara, membantu proses bicara, dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
• Fungsi statik dan mekanik: untuk merigankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan perlindungan panas.
• Refleks nasal: mukosa hidung merupakan reseptor yang beruhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskular, dan pernafasan. Contoh:
1. Iritasi mukosa hidung menyebabkan reflex bersin dan batuk terhenti.

3
2. Rangsangan dari bau tertentu menyebabkan sekresi dari kelenjar
liur, lambung dan pankreas.

2.1.1 Anatomi Hidung


Hidung Luar (Nasus Eksternus)
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian–bagiannya dari atas ke
bawah:
• Pangkal hidung (bridge)
• Dorsum nasi
• Puncak hidung
• Ala nasi
• Kolumela
• Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Dengan adanya kartilago
tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.3,4
Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh:
• Superior : os frontal, os nasal, os maksila
• Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor
Batang hidung (dorsum nasi) terdiri atas:
• Bagian yang keras (kranial): os nasalis kanan/kiri, pros. frontalis os.
maksila.
• Bagian yang lunak (kaudal): kartilago lateralis dam kartilago alaris.
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).

4
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung luar (nasus eksternus)

Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi:3,4,5
• Posterior: berhubungan dengan nasofaring
• Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
• Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
• Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi

5
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
• Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Gambar 2. Septum nasi

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas
dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.3,4
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri. Persarafan anterior
kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis
anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N.
Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

6
Gambar 3. Konka nasalis

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan
demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya

7
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.5,6

2.1.2 Fisiologi Hidung


Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari
prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior (maksila,
etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka seandainya terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan yang
signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang menjadi
salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.11
Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1,2,7
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi
di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

8
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh:

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi


b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring
di sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans,
merupakan kerja silia yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel
yang terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan
yang sangat luas antara udara inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan
mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu yang sangat
kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius,
faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel
yang tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya
mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta
melembabkan udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap
harinya. Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak
memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering, sering kali
terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini
dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf
pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang.
Karena silia lebih aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung,
maka cenderung menarik lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke
dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum adalah kebelakang dan agak
ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya kebelakang dengan
kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus
inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah,
lewat dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari
daerah tak bersilia pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis

9
lewat meatus. Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan
kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel
lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan
tetapi walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung
anterior, sulit untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif.
Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap
dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung
merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel pernapasan
juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai
kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis
alergika terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE
sehingga antigen tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast
submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang
menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas.5,6

4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.

10
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8,9

2.2 POLIP NASI


2.2.1 Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak
yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan,
dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan
(polip edematosa). Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah
kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga
hidung dan polip ini dapat terjadi akibat inflamasi mukosa.2,5 Polip yang
sudah lama dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal
dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang
berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang,
muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.10,11

Gambar 4. Polip Nasi

11
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya
sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan
populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia.
Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi
polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang
ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di
Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang
per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa
perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%.
Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia.
Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun
dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria.3 Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia.
Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan di
Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.3 Frekuensi kejadian polip nasi
meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur
sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding
wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-
anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap
kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor
resiko bagi anak-anak untuk menderita polip.2,3
Prevalensi alergi pada pasien polip nasi dilaporkan bervariasi antara
10- 64%. Kern et al menemukan polip nasi pada pasien dengan alergi sebesar
25,6% dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9%. Settipane dan Chaffe
melaporkan 55% dari 211 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Keith
et al melaporkan 52% dari 87 pasien memiliki tes kulit positif. Bertolak
belakang dengan penelitian di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih
sering terdapat pada pasien polip nasi, dilaporkan beberapa penelitian yang

12
menunjukkan hasil yang berbeda. Seperti penelitian Grigoreas et al di Yunani
tahun 1990-1998 menemukan polip nasi lebih banyak ditemukan pada pasien
non alrergi dibandingkan dengan pasien alergi (10,8% vs 2,1%). Pada
penelitian ini 37,5% dari 160 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Pada
penelitian Drake Lee et al dijumpai 44% dari 200 pasien polip nasi memiliki
tes kulit positif. Pada penelitian Small et al dijumpai 47% dari19 pasien polip
nasi memiliki hasil tes kulit positif . Polip nasi banyak dijumpai pada ruang
transisi antara hidung dan sinus. Tos dan Larsen menemui 75% polip nasi
berdekatan pada resesus etmoidalis. Banyak polip nasi yang unilatral (63%),
dan polip nasi bilateral dijumpai 37% pada cadaver.4,5

2.2.3 Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi,
terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik
yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi
inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.2
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :5
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5


➢ Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga
hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil,
berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang
menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun,
diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang
terus-menerus pada mukosa hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip
hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka
kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi

13
lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset
asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%
➢ Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan
alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami
rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip
hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan
berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan
edema dan pembentukan polip.
➢ Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan
yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan
tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya.
Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa
yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
➢ Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada
pasien dengan polip hidung.
➢ Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan
intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa

14
terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit
tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).
Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat
menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan
mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi
berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah
cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan
inflamasi kronis.
➢ Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan
absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan
retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
➢ Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran
besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone
vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal
bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan
defense system superoxide dismutase , catalase dan glutahione
peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan
pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek
jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya
kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien
polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya
penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
➢ Infeksi

15
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting
terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan
pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya
terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan
pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip
hidung masih belum benar-benar dipahami.
➢ Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan
sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari
limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal
ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal
disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE
terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung.

2.2.4 Manifestasi Klinis


Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga
sinus. Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang
jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga
dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul
tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula
dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.2 Dapat juga menyebababkan
gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik dan mengi,
terutama pada penderita polip hidung dengan asma. Selain itu harus
dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.5

16
2.2.5 Diagnosis

Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung tersumbat mulai


dari yang ringan sampai berat, rinore mulai dari yang jernih sampai
purulent, hyposmia atau anosmia. Mungkin dapat disertai bersin-bersin,
rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai
infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulent.
Gejala sekunder yang dapoat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.10,11

Polip nasi juga dapat menyebabkan gejala pada slauran pernafasan


bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama dapat terjadi pada
penderita polip nasi disertai dengan asma. Selain itu harus dinyatakan
dengan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan. 12,13

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar


sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal
dari meatus media dan mudah digerakkan.12,13,14

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund (1997):


Stadium 1 : polip masih terbatas pada meatus media
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak pada
rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3: polip yang masif.2

Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger


menjadi (Kirtsreesakul, 2005):

17
1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan prolaps
ke koana.
2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip
eosinofilik.
3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin.
4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary
ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.

Gambar 5. Polip Nasi

Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu
diagnosis kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 1,8,9

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan

18
tomografi computer (TK, CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,8,9

2.2.6 Gambaran Histopatologi

Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak
sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang
pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan
karena banyak mengandung jaringan epitel.1,2
Tepmpat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal
di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada
polip yang tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring,
disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus
maksila dan disebut juga polip anterokoana. Ada juga sebagian kecil
polip koana yang berasal dari sinus etmoid.1,2

Mikroskopis
Secara mikroskipos tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan
mukosa hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan
submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel plasma,
eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah

19
lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran
udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa
keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan
menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.15,16

2.2.7 Diagnosa Banding

Polip nasi didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-


cirinya
sebagai berikut :
• Tidak bertangkai
• Sukar digerakkan
• Nyeri bila ditekan dengan pinset
• Mudah berdarah
• Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan
polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang
juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.8
Diagnosa banding lainnya adalah angiofibroma nasofaring juvenile.
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan nasal tumor
ini mempunyai tempat perleketan spesifik di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh keluhan adanya sumbatan pada
hidung dan epistaksis berulang yang massif. Terjadi obstruksi hidnung
sehingga timbul rhinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi
pada tuba eustachius menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan
sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intracranial.9
Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi posterior terlihat adanya
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda, diliputi oleh selaput lender keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan

20
penunjang radiologic konvensional akan terlihat gambaran klasik sebagai
tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke
belakang.9,10
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan tampak
perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Angiofibroma nasofaring
juvenile banyak terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki. 9,10
Diagnosis banding lainnya adalah keganasan pada hidung. Etiologi
belum diketahui, diduga adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu, kayu,
formaldehid, kromium, dan lain-lain10

2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalksanaan medis dan operatif.

➢ Tatalaksana Medis
Polip nasi merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis.
Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta
tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek
langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri
anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis kronis.6
2. Kortikosteroid

21
Topikal Kortikosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna
pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat
mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal
ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal
drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip
hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran
dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi
kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis
560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan
dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat
mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan
mengurangi ukuran polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5
hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal
selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6 prednison 50
mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan
perlahan-lahan (tappering off).

3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya.
Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan
sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang.
Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi
aspirin.4

22
Guideline tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip hidung PERHATI-
KL (2007) menjelaskan bahwa polip hidung stadium 1 ditatalaksana
medikamentosa, stadium 2 ditatalaksana medikamentosa dilanjutkan operasi
dan untuk stadium 3 ditatalaksana dengan tindakan pembedahan.

➢ Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien
dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain
itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang
dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk
polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk
pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6

23
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal17
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia

2.2.9 Prognosis

Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip


hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi.
Akan tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian
kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif
merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,

24
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus,
pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali,
serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting
dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan
dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka
kekambuhan polip hidung.2,3,6

25
BAB III
KESIMPULAN

1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas
yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya
rinitis alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata,
adanya sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari
pasien sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani
polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
2000
2. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal
Polyposis. Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-15
3. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media
Aesculapius FK-UI. 2000
4. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia. 1989
5. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck.
Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia. 1991
6. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics
and Clinical Risk Management 2008:4(2) 507–512
7. Polip Nasal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31926/4/Chapter%20II
.pdf diakses pada 29 Maret 2014
8. Drake Lee AB. Nasal Polyps. In: Scott Brown’s Otolaryngology,
Rhinology. 5th Ed Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR ests)
Butterworths. London, 1987: 142-53
9. Darusman, Kianti Raisa. Referat: Polip Nasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Trisaksi. 2002
10. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2013. Konsil Kedokteran
Indonesia
11. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and
Immunology of the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic
Otorhinolaryngology. New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13
12. Mangunkusumo, E dan Wardani RS. Polip Hidung Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ketujuh. Jakarta: FKUI, 2015, h. 101 – 103

27
13. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of
Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75
14. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87

15. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med


Assoc Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72
16. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal
Polyps. Current Option in Otolaryngology & Head and Neck
Surgery. 2001. 9 : 27-36
17. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit
THT-KL di Indonesia. 2007. Hal 25

28

Anda mungkin juga menyukai