POLIP NASI
Pembimbing:
dr. Ery Ananda, Sp. THT-KL
Disusun Oleh:
Putri Diva Prinanda
18174061
Segala puji hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang mana berkat
Rahmad, Kasih Sayang dan Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Polip Nasi”. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepanitraan klinik senior pada
bagian/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum
Meuraxa, Banda Aceh.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Ery Ananda, Sp. THT-KL yang
telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan
mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui
secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan
pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka
sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk
mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.1,2,3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2. Rangsangan dari bau tertentu menyebabkan sekresi dari kelenjar
liur, lambung dan pankreas.
4
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi:3,4,5
• Posterior: berhubungan dengan nasofaring
• Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
• Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
• Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
5
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
• Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas
dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.3,4
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri. Persarafan anterior
kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis
anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N.
Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.
6
Gambar 3. Konka nasalis
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan
demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
7
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.5,6
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
8
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh:
9
lewat meatus. Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan
kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel
lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan
tetapi walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung
anterior, sulit untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif.
Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap
dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung
merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel pernapasan
juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai
kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis
alergika terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE
sehingga antigen tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast
submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang
menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas.5,6
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.
10
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8,9
11
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya
sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan
populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia.
Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi
polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang
ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di
Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang
per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa
perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%.
Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia.
Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun
dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria.3 Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia.
Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan di
Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.3 Frekuensi kejadian polip nasi
meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur
sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding
wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-
anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap
kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor
resiko bagi anak-anak untuk menderita polip.2,3
Prevalensi alergi pada pasien polip nasi dilaporkan bervariasi antara
10- 64%. Kern et al menemukan polip nasi pada pasien dengan alergi sebesar
25,6% dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9%. Settipane dan Chaffe
melaporkan 55% dari 211 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Keith
et al melaporkan 52% dari 87 pasien memiliki tes kulit positif. Bertolak
belakang dengan penelitian di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih
sering terdapat pada pasien polip nasi, dilaporkan beberapa penelitian yang
12
menunjukkan hasil yang berbeda. Seperti penelitian Grigoreas et al di Yunani
tahun 1990-1998 menemukan polip nasi lebih banyak ditemukan pada pasien
non alrergi dibandingkan dengan pasien alergi (10,8% vs 2,1%). Pada
penelitian ini 37,5% dari 160 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Pada
penelitian Drake Lee et al dijumpai 44% dari 200 pasien polip nasi memiliki
tes kulit positif. Pada penelitian Small et al dijumpai 47% dari19 pasien polip
nasi memiliki hasil tes kulit positif . Polip nasi banyak dijumpai pada ruang
transisi antara hidung dan sinus. Tos dan Larsen menemui 75% polip nasi
berdekatan pada resesus etmoidalis. Banyak polip nasi yang unilatral (63%),
dan polip nasi bilateral dijumpai 37% pada cadaver.4,5
2.2.3 Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi,
terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik
yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi
inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.2
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :5
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung
13
lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset
asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%
➢ Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan
alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami
rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip
hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan
berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan
edema dan pembentukan polip.
➢ Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan
yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan
tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya.
Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa
yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
➢ Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada
pasien dengan polip hidung.
➢ Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan
intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa
14
terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit
tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).
Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat
menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan
mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi
berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah
cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan
inflamasi kronis.
➢ Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan
absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan
retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
➢ Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran
besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone
vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal
bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan
defense system superoxide dismutase , catalase dan glutahione
peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan
pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek
jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya
kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien
polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya
penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
➢ Infeksi
15
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting
terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan
pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya
terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan
pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip
hidung masih belum benar-benar dipahami.
➢ Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan
sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari
limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal
ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal
disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE
terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung.
16
2.2.5 Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
17
1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan prolaps
ke koana.
2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip
eosinofilik.
3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin.
4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary
ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu
diagnosis kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 1,8,9
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
18
tomografi computer (TK, CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,8,9
Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak
sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang
pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan
karena banyak mengandung jaringan epitel.1,2
Tepmpat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal
di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada
polip yang tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring,
disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus
maksila dan disebut juga polip anterokoana. Ada juga sebagian kecil
polip koana yang berasal dari sinus etmoid.1,2
Mikroskopis
Secara mikroskipos tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan
mukosa hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan
submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel plasma,
eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah
19
lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran
udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa
keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan
menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.15,16
20
penunjang radiologic konvensional akan terlihat gambaran klasik sebagai
tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke
belakang.9,10
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan tampak
perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Angiofibroma nasofaring
juvenile banyak terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki. 9,10
Diagnosis banding lainnya adalah keganasan pada hidung. Etiologi
belum diketahui, diduga adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu, kayu,
formaldehid, kromium, dan lain-lain10
2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalksanaan medis dan operatif.
➢ Tatalaksana Medis
Polip nasi merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis.
Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta
tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek
langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri
anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis kronis.6
2. Kortikosteroid
21
Topikal Kortikosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna
pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat
mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal
ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal
drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip
hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran
dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi
kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis
560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan
dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat
mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan
mengurangi ukuran polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5
hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal
selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6 prednison 50
mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan
perlahan-lahan (tappering off).
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya.
Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan
sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang.
Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi
aspirin.4
22
Guideline tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip hidung PERHATI-
KL (2007) menjelaskan bahwa polip hidung stadium 1 ditatalaksana
medikamentosa, stadium 2 ditatalaksana medikamentosa dilanjutkan operasi
dan untuk stadium 3 ditatalaksana dengan tindakan pembedahan.
➢ Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien
dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain
itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang
dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk
polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk
pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6
23
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal17
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
2.2.9 Prognosis
24
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus,
pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali,
serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting
dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan
dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka
kekambuhan polip hidung.2,3,6
25
BAB III
KESIMPULAN
1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas
yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya
rinitis alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata,
adanya sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari
pasien sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani
polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
13. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of
Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75
14. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
28