EPISTAKSIS
Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132
Pembimbing:
dr. Andrey Dwi Ananda, Sp.T.H.T.K.L
Judul:
EPISTAKSIS
Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132
Pembimbing:
dr. Andrey Dwi Ananda, Sp.T.H.T.K.L
Referat ini diajukan untuk memnuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Epistaksis”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada Departemen
Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andrey Dwi Ananda,
Sp.T.H.T.K.L selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam
penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu
hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan
kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan referat di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil..................................................................2
2.2 Tonsilitis Kronik......................................................................................8
2.2.1 Definisi.........................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi................................................................................8
2.2.3 Etiologi.........................................................................................9
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................9
2.2.5 Faktor Predisposisi.....................................................................10
2.2.6 Gejala Klinis..............................................................................12
2.2.7 Pathways....................................................................................11
2.2.8 Penegakkan Diagnosis...............................................................14
2.2.9 Diagnosis Banding.....................................................................15
2.2.10 Penatalaksanaan.........................................................................15
2.2.11 Komplikasi.................................................................................18
2.2.12 Prognosis....................................................................................19
BAB III KESIMPULAN....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar
7
Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam
Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang paling
menyolok pada rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang yang dilapisi
oleh mukoperiostium, jaringan lunak yang meliputi pleksus kavernosus, dan di
atasnya terdapat mukosa respiratori. Tulang konka inferior berartikulasi dengan
tulang lakrimal di bagian anterior, dan melekat ke prosesus medial dari maksila
dan tulang palatina di bagian lateral. Pleksus kavernosus dapat membesar karena
aliran darah sebagai respon terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam
pemicu dari lingkungan.
8
cedera akibat trauma sehungga sering menjadi sumber perdarahan hidung
(epitaksis) terutama pada anak-anak.
9
Istilah ‘epistaxis’ merupakan bahasa Latin, berasal dari bahasa Yunani,
epistazein (epi- di atas, lebih; stazein- menetes). Epistaksis adalah perdarahan
yang berasal dari hidung dan dapat timbul spontan tanpa dapat ditelusuri
sebabnya. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang sering dijumpai pada anak-anak
yang merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain dan hampir 90% dapat
berhenti sendiri.
2.2.2 Epidemiologi
Secara global, kejadian yang sebenarnya masih belum diketahui, namun
diperkirakan bahwa 60% dari populasi akan memiliki minimal satu episode
epistaksis dalam hidup mereka, dan 6% dari mereka akan mencari perhatian
medis. Predisposisi pada laki-laki 55% laki-laki dan 45% perempuan telah
dilaporkan. Epistaksis jarang pada neonatus tetapi umum di antara anak-anak dan
dewasa muda, dan puncak pada dekade keenam memberikan usia presentasi bi-
modal.
Pada anak-anak, kejadian epitaksis pada umur 5 tahun adalah 30%, namun
angka kejadian ini meningkat pada rentang umur 6-10 tahun menjadi 56%.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.
2.2.3 Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara
lingkungan), kelainan sistemik (hipertensi, kelainan darah, kelainan pembuluh
darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan kongenital, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal), dan idiopatik. Penyebab tersering
adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial, benda asing, infeksi nasal atau
sinus, dan inhalasi udara kering yang berkepanjangan. Anak kecil biasanya
mengalami epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran nafas atas.
10
1. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung terus-
menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum anterior.
Kejadian ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga hidung
(nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan
epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena
benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras. Trauma
akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis. Pendarahan yang
berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya terbatas. Namun, trauma
fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas)
dapat menyebabkan pendarahan berat yang memerlukan tampon nasal.
Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat menandakan adanya
aneurisma traumatik.
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau
trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan
operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan
pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa)
hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar). Spina septum yang
tajam dapat juga menyebabkan epistaksis, pendarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang membengkak.
2. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,
oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca
dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi
mukosa nasal.
3. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke
septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan
11
epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs), terutama aspirin juga sering terlibat karena aspirin
menyebabkan asetilasi dari enzim cylooxygenase secara ireversibel
sehingga berdampak pada gangguan agregasi platelet.
4. Kelainan Septum
Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal
sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan
biasanya terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari
perforasi septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi
sumber epistaksis.
5. Inflamasi / Infeksi Lokal
Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan inflamasi
mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini biasanya
ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.Penyakit
granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener, tuberkulosis,
sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa menjadi kering dan
rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan
gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami epistaksis
karena inflamasi.
6. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien yang
terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan
rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada
hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal,
walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak
kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat
menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya.
7. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat
keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari trauma
ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital adalah
12
hemofilia dan penyakit von Willebrand. Koagulopati yang didapat bisa
primer (karena penyakit) atau sekunder (karena perawatannya).
Koagulopati didapat yang sering adalah trombositopenia dan penyakit
liver yang disertai pengurangan signifikan dari faktor-faktor pembekuan
darah. Walaupun tanpa penyakit liver, peminum alkohol sering
berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis. Obat antikoagulan oral
juga menjadi faktor resiko epistaksis.
8. Kelainan pembuluh darah
Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai
penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.
Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu
Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan
pendarahan berulang dari anomali pembuluh darah. kondisi ini dapat
berdampak pada pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri,
menyebabkan pembentukan telangiektasia dan malformasi arteri-vena.
Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas
atau jaringan muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga
pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung
tidak berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan,
gastrointestinal, dan alat kelamin-saluran kencing dapat terlibat. Derajat
keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi hampir
semuanya berulang. Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki
faktor resiko epistaksis adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma,
nefritis kronis, sirosis hepatis, diabetes mellitus, dan endometriosis.
9. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus
Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah
terlibat dalam patogenesis migrain.
10. Hipertensi
13
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami.
Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi.
Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan
kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis. Hipertensi walaupun
demikian, jarang menjadi penyebab langsung epistaksis. Umumnya,
epistaksis disertai kegelisahan menyebabkan peningkatan akut tekanan
darah. Penanganannya, oleh karena itu, harus difokuskan pada
pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan yang ditujukan
untuk menurunkan tekanan darah. Batuk berlebihan yang menyebabkan
hipertensi vena nasal dapat diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis.
11. Infeksi Sistemik
Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit lainnya
adalah demam tifoid, influensa, dan morbili.
12. Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
13. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar
10% pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun
setelah dilakukan evaluasi lengkap
14
perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat
kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah atau
hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena
pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan epistaksis. Jenis
epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama
di rumah.
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan
sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis
dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada
lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu
anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior
tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat
rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan.
15
Gambar 4. Epistaksis Anterior
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton
(2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal
lateral.
2.2.5 Diagnosis
Sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang
16
berat, tidak ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah
dapat ditentukan, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat
perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti aspirin
atau warfarin, phenprocoumon, dabigatran, rivaroxiban, clopidogrel,
acetylsalicylic acid, dan glucocorticoid nasal sprays, serta riwayat kelainan darah
atau leukemia dalam keluarga. Kebanyakan perdarahan dari hidung diakibatkan
oleh trauma ringan pada septum nasal anterior, oleh karena itu anamnesis harus
mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung berulang yang
sering, disertai mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan
terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan penjajakan hematologis.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
17
Gambar 6. Gambaran Rinoskopi Anterior
b) Rinoskopi posterior: Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah: Tekanan darah perlu diukur untuk
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan
epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
18
f) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.
Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan. Rontgen sinus
dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
2.2.6. Tatalaksana
Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab
perdarahan. Pasien dengan perdarahan aktif membutuhkan pemeriksaan lengkap
dan resusitasi jika diperlukan. Tanda vital harus diawasi secara teratur. Selama
resusitasi, pada umumnya perdarahan dapat dikendalikan dengan penekanan jari.
Penekanan pada mumnya dapat menghentikan perdarahan anterior. Jepit cuping
hidung bersamaan selama 5 menit sementara anak duduk tegak (untuk
menghindari tertelannya darah).
19
gauze, merocel, atau gelfoam. Setelah darah membeku, berikan anastesi topikal
dengan lidokain 4% atau benzokain dan kauter lokasi perdarahan dengan nitrat
silver, khususnya dilakukan pada perdarahan berulang. Terapi hemangioma atau
teleangiektasia dengan cara yang sama, tetapi jangan menggunakan kauter jika
terdapat kecurigaan gangguan perdarahan.
Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi
vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol
yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari.
20
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai
benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan
tampon Bellocq harus dirawat.
21
Gambar 8. Bagan Tatalaksana Epistaksis
2.2.7 Pencegahan
22
Setelah terjadinya perdarahan dapat diatasi dengan pemasangan tampon
dan mencari penyebab terjadinya epistaksis. Pemasangan tampon harus benar
supaya tidak menyebabkan laserasi pada palatum mole atau sudut bibir. Untuk
mencegah kekambuhan, perawatan intensif pada mukosa hidung menggunakan
krim hidung antiseptik direkomendasikan. Sebuah studi di Inggris pada anak-anak
dengan epistaksis berulang dengan pengobatan menggunakan krim antiseptik
selama 4 minggu dibandingkan yang tidak diobati dengan krim antiseptic
didapatkan tingkat kekambuhan yang secara signifikan lebih rendah terlihat pada
kelompok perlakuan (tingkat kekambuhan 45% vs 71%, pengurangan risiko relatif
47% dengan 95%. Selain itu, kebiasaan meniup hidung yang berlebihan harus
dihindari selama 7 hingga 10 hari. Hidari kebiasaan buruk seperti mengorek
hidung, makan-makanan bergizi, hindari aktivitas berat.
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah aspirasi darah ke dalam saluran
napas, syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak
akan menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebral, insufiensi coroner,
infark miokard serta kematian
2.2.9 Prognosis
Prognosis pada epistaksis tergantung penyebabnya, tatalaksana yang
adekuat, dan riwayat epistaksis sebelumnya. Pada epistaksis yang diakibatkan
oleh lingkungan mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan epistaksis
akibat tumor
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Beck, R., Sorge, M., Schneider, A., & Dietz, A. (2018). Current approaches to
epistaxis treatment in primary and secondary care. Deutsches Ärzteblatt
International, 115(1-2), 12.
Bertrand, B., Eloy, P., Rombaux, P., Lamarque, C., Watelet, J. B., & Collet, S.
(2005). Guidelines to the managment of epistaxis. B ENT, 27.
Dhingra, P.L., Dhingra, S., 2014. Anatomy of Nose. In: P.L. Dhingra, Shruti
Dhingra (Eds). Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery
6th ed. New Delhi: Elsevier, pp.134-9.
Hwang, P.H., Abdalkhani, A., 2009. Embryology, Anatomy and Physiology of
The Nose and Paranasal Sinuses. In: James B. Snow J.R., P. Ashley
Wackym (Eds). Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery
17th ed. India: BC Decker Inc, pp.455-64.
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al(ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai PenerbitFKUI.
Limen, M. P., Palandeng, O., & Tumbel, R. (2013). Epistaksis Di Poliklinik Tht-
kl Blu Rsup Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode Januari 2010-desember
2012. eBiomedik, 1(1).
Lubis, B., & Saragih, R. A. (2016). Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak.
Sari Pediatri, 9(2), 75-9.
Munir, D., Haryono, Y., & Rambe, A. Y. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran
Nusantara Vol. 39
Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad
Med J 2005; 81: 309-14.
Thornton, M. A., Mahesh, B. N., & Lang, J. (2005). Posterior epistaxis:
identification of common bleeding sites. The Laryngoscope, 115(4), 588-
590.
25