Anda di halaman 1dari 25

Referat

EPISTAKSIS

Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Pembimbing:
dr. Andrey Dwi Ananda, Sp.T.H.T.K.L

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul:
EPISTAKSIS

Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Pembimbing:
dr. Andrey Dwi Ananda, Sp.T.H.T.K.L

Referat ini diajukan untuk memnuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode

Palembang, April 2020


Pembimbing

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Epistaksis”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada Departemen
Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andrey Dwi Ananda,
Sp.T.H.T.K.L selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam
penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu
hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan
kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan referat di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca.

Palembang, April 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil..................................................................2
2.2 Tonsilitis Kronik......................................................................................8
2.2.1 Definisi.........................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi................................................................................8
2.2.3 Etiologi.........................................................................................9
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................9
2.2.5 Faktor Predisposisi.....................................................................10
2.2.6 Gejala Klinis..............................................................................12
2.2.7 Pathways....................................................................................11
2.2.8 Penegakkan Diagnosis...............................................................14
2.2.9 Diagnosis Banding.....................................................................15
2.2.10 Penatalaksanaan.........................................................................15
2.2.11 Komplikasi.................................................................................18
2.2.12 Prognosis....................................................................................19
BAB III KESIMPULAN....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

4
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang ditemukan pada


telinga hidung tenggorokan dengan berbagai penyebab. Epistaksis dapat
disebabkan oleh kelainan lokal dan sistemik. Kelainan lokal pada epistaksis dapat
berupa trauma, anatomi, tumor, dan benda asing. Sedangkan kelainan sistemik
seperti kelainan sistemik, hormonal, dan kongenital. Epistaksis merupakan
perdarahan spontan dengan perdarahan sedikit ataupun banyak.
Epistaksis merupakan suatu gejala dari sebuah penyakit dengan 90% dari
penderita epistaksis dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada 60%
warga didunia selama kehidupan dengan 6% warga yang mencari penangan
medis. Prevalensi epistaksis dapat meningkat pada anak usia < 10 tahun dan dapat
meningkat kembali pada usia >35 tahun. Pasien epistakasis ringan dan self
limiting yang sering terjadi tetapi perlu mengetahui penyebab dan pengobatan
yang tepat. Prevalensi pasien epistaksis pria dan wanita sama dengan usia yang
sering terjadi pada usisa <20 tahun dan>40 tahun.
Perdarahan dari hidung dapat terjadi pada bagian anterior dan posterior.
Bagian anterior dengan epistaksis terjadi pada pleksus kiesselbach dapat berhenti
secara spontan dan mudah diatasi. Plesus tersebut menerima suplai darah dari
arteri karotis interna dan eksterna. Sedangkan pada penderita epistaksis posterior
perdarahan dapat berasal dari arteri sphenopalatine dan arteri etmoidalis posterior
dengan perdarahan yang sulit berhenti dan hebat.
Epistaksis anterior lebih sering ditemukan pada anak-anak. Sedangkan
epistaksis posterior lebih sering terjadi pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi, arterosklerosis, dan penyakit kardiovaskular lainya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Rongga Hidung


2.1.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid yang terdiri dari pangkal hidung (bridge),
batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung (nares anterior). Pada bagian 1/3 atas hidung luar merupakan tulang,
sedangkan pada 1/2 bawah hidung merupakan tulang rawan. Bagian tulang terdiri
dari dua tulang hidung yang bertemu di garis tengah dan pada bagian atas dari
prosesus nasalis os frontal dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os
maksila. Bagian tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior (kartilago alar mayor), dan tepi anterior kartilago septum. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar
terbagi atas 3 bagian, yaitu:
a. Atas: Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan
b. Tengah: Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan
c. Bawah: Lobulus hidung yang mudah digerakkan
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri atas:
a. Tulang hidung
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan terdiri atas:
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior(kartilago ala mayor)
c. Tepi anterior kartilago septum

6
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

2.1.2 Hidung Dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os
internum di sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, yang
lebih kecil ialah konka medial, lebih kecil lagi konka superior, dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus
inferior, diantara konka media dan konka inferior terdapat meatus medial,
dan disebelah atas konka media terdapat meatus superior.

7
Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam
Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang paling
menyolok pada rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang yang dilapisi
oleh mukoperiostium, jaringan lunak yang meliputi pleksus kavernosus, dan di
atasnya terdapat mukosa respiratori. Tulang konka inferior berartikulasi dengan
tulang lakrimal di bagian anterior, dan melekat ke prosesus medial dari maksila
dan tulang palatina di bagian lateral. Pleksus kavernosus dapat membesar karena
aliran darah sebagai respon terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam
pemicu dari lingkungan.

2.1.3 Vaskularisasi Hidung


Pada bagian atas rongga hidung dipendarahi oleh a. etmoid anterior dan
posterior merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah kavum nasi mendapat pendarahan dari a. maksilaris interna. Pada bagian
anterior kavum nasi mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Bagian
depan septum nasi mendapatkan pendarahan dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak pada bagian superficial dan mudah

8
cedera akibat trauma sehungga sering menjadi sumber perdarahan hidung
(epitaksis) terutama pada anak-anak.

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung

2.1.4 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
makafungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi: mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu: karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman)
dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik: resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendirimelalui konduksi tulang.
4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan bebankepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.
2.2 Epistaksis
2.2.1 Definisi

9
Istilah ‘epistaxis’ merupakan bahasa Latin, berasal dari bahasa Yunani,
epistazein (epi- di atas, lebih; stazein- menetes). Epistaksis adalah perdarahan
yang berasal dari hidung dan dapat timbul spontan tanpa dapat ditelusuri
sebabnya. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang sering dijumpai pada anak-anak
yang merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain dan hampir 90% dapat
berhenti sendiri.

2.2.2 Epidemiologi
Secara global, kejadian yang sebenarnya masih belum diketahui, namun
diperkirakan bahwa 60% dari populasi akan memiliki minimal satu episode
epistaksis dalam hidup mereka, dan 6% dari mereka akan mencari perhatian
medis. Predisposisi pada laki-laki 55% laki-laki dan 45% perempuan telah
dilaporkan. Epistaksis jarang pada neonatus tetapi umum di antara anak-anak dan
dewasa muda, dan puncak pada dekade keenam memberikan usia presentasi bi-
modal.
Pada anak-anak, kejadian epitaksis pada umur 5 tahun adalah 30%, namun
angka kejadian ini meningkat pada rentang umur 6-10 tahun menjadi 56%.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.

2.2.3 Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara
lingkungan), kelainan sistemik (hipertensi, kelainan darah, kelainan pembuluh
darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan kongenital, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal), dan idiopatik. Penyebab tersering
adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial, benda asing, infeksi nasal atau
sinus, dan inhalasi udara kering yang berkepanjangan. Anak kecil biasanya
mengalami epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran nafas atas.

10
1. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung terus-
menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum anterior.
Kejadian ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga hidung
(nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan
epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena
benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras. Trauma
akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis. Pendarahan yang
berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya terbatas. Namun, trauma
fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas)
dapat menyebabkan pendarahan berat yang memerlukan tampon nasal.
Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat menandakan adanya
aneurisma traumatik.
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau
trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan
operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan
pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa)
hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar). Spina septum yang
tajam dapat juga menyebabkan epistaksis, pendarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang membengkak.
2. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,
oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca
dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi
mukosa nasal.

3. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke
septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan

11
epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs), terutama aspirin juga sering terlibat karena aspirin
menyebabkan asetilasi dari enzim cylooxygenase secara ireversibel
sehingga berdampak pada gangguan agregasi platelet.
4. Kelainan Septum
Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal
sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan
biasanya terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari
perforasi septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi
sumber epistaksis.
5. Inflamasi / Infeksi Lokal
Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan inflamasi
mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini biasanya
ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.Penyakit
granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener, tuberkulosis,
sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa menjadi kering dan
rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan
gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami epistaksis
karena inflamasi.
6. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien yang
terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan
rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada
hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal,
walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak
kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat
menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya.
7. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat
keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari trauma
ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital adalah

12
hemofilia dan penyakit von Willebrand. Koagulopati yang didapat bisa
primer (karena penyakit) atau sekunder (karena perawatannya).
Koagulopati didapat yang sering adalah trombositopenia dan penyakit
liver yang disertai pengurangan signifikan dari faktor-faktor pembekuan
darah. Walaupun tanpa penyakit liver, peminum alkohol sering
berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis. Obat antikoagulan oral
juga menjadi faktor resiko epistaksis.
8. Kelainan pembuluh darah
Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai
penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.
Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu
Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan
pendarahan berulang dari anomali pembuluh darah. kondisi ini dapat
berdampak pada pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri,
menyebabkan pembentukan telangiektasia dan malformasi arteri-vena.
Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas
atau jaringan muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga
pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung
tidak berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan,
gastrointestinal, dan alat kelamin-saluran kencing dapat terlibat. Derajat
keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi hampir
semuanya berulang. Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki
faktor resiko epistaksis adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma,
nefritis kronis, sirosis hepatis, diabetes mellitus, dan endometriosis.
9. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus
Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah
terlibat dalam patogenesis migrain.
10. Hipertensi

13
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami.
Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi.
Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan
kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis. Hipertensi walaupun
demikian, jarang menjadi penyebab langsung epistaksis. Umumnya,
epistaksis disertai kegelisahan menyebabkan peningkatan akut tekanan
darah. Penanganannya, oleh karena itu, harus difokuskan pada
pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan yang ditujukan
untuk menurunkan tekanan darah. Batuk berlebihan yang menyebabkan
hipertensi vena nasal dapat diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis.
11. Infeksi Sistemik
Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit lainnya
adalah demam tifoid, influensa, dan morbili.
12. Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
13. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar
10% pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun
setelah dilakukan evaluasi lengkap

2.2.4 Klasifikasi dan Patofisiologi


Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang
keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara
patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior. 90%
epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding
rongga hidung. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan
mengandung banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya
menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini
amat peka terhadap pengaruh dari luar, selain karena letaknya di permukaan juga
karena hidung merupakan bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga

14
perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat
kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah atau
hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena
pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan epistaksis. Jenis
epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama
di rumah.
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan
sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis
dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada
lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu
anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior
tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat
rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan.

15
Gambar 4. Epistaksis Anterior
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton
(2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal
lateral.

Gambar 5. Epistaksis Posterior

2.2.5 Diagnosis
Sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang

16
berat, tidak ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah
dapat ditentukan, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat
perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti aspirin
atau warfarin, phenprocoumon, dabigatran, rivaroxiban, clopidogrel,
acetylsalicylic acid, dan glucocorticoid nasal sprays, serta riwayat kelainan darah
atau leukemia dalam keluarga. Kebanyakan perdarahan dari hidung diakibatkan
oleh trauma ringan pada septum nasal anterior, oleh karena itu anamnesis harus
mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung berulang yang
sering, disertai mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan
terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan penjajakan hematologis.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

17
Gambar 6. Gambaran Rinoskopi Anterior
b) Rinoskopi posterior: Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah: Tekanan darah perlu diukur untuk
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan
epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.

Gambar 7. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

e) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

18
f) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.
Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan. Rontgen sinus
dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

2.2.6. Tatalaksana
Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab
perdarahan. Pasien dengan perdarahan aktif membutuhkan pemeriksaan lengkap
dan resusitasi jika diperlukan. Tanda vital harus diawasi secara teratur. Selama
resusitasi, pada umumnya perdarahan dapat dikendalikan dengan penekanan jari.
Penekanan pada mumnya dapat menghentikan perdarahan anterior. Jepit cuping
hidung bersamaan selama 5 menit sementara anak duduk tegak (untuk
menghindari tertelannya darah).

Gambar 8. Metode Trotter

Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah


dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap
untuk membersihkan bekuan darah.
Metode lain, basahi kapas dengan epinefrin 1:1000 atau oxymetazoline dan
tempatkan pada kavum nasal. Pilihan lain dapat diberikan petrolatum-impregnated

19
gauze, merocel, atau gelfoam. Setelah darah membeku, berikan anastesi topikal
dengan lidokain 4% atau benzokain dan kauter lokasi perdarahan dengan nitrat
silver, khususnya dilakukan pada perdarahan berulang. Terapi hemangioma atau
teleangiektasia dengan cara yang sama, tetapi jangan menggunakan kauter jika
terdapat kecurigaan gangguan perdarahan.
Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi
vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol
yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari.

Gambar 9. Tampon Anterior


Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan
mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang
lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Untuk memasang
tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak
di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian
diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan
kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung
kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong
tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan

20
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai
benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan
tampon Bellocq harus dirawat.

Gambar 10. Tampon Posterior


Humidifikasi, tetes hidung, dan penggunaan petrolatum (vaseline) pada
septum sebelum tidur membantu mengurangi rekurensi. Jika tindakan rutin tidak
efektif atau sumber perdarahan posterior, gunakan tampon posterior, metode
tampon pada umumnya dilakukan oleh ahli otolaringologi. Perdarahan yang tidak
dapat dihentikan dengan penatalaksanaan non bedah membutuhkan tindakan
pembedahan. Pilihan terapi lainnya berupa embolisasi angiografi, fibrin glue,
endoscopic electrocautery, irigasi air panas, dan laser.

21
Gambar 8. Bagan Tatalaksana Epistaksis

2.2.7 Pencegahan

22
Setelah terjadinya perdarahan dapat diatasi dengan pemasangan tampon
dan mencari penyebab terjadinya epistaksis. Pemasangan tampon harus benar
supaya tidak menyebabkan laserasi pada palatum mole atau sudut bibir. Untuk
mencegah kekambuhan, perawatan intensif pada mukosa hidung menggunakan
krim hidung antiseptik direkomendasikan. Sebuah studi di Inggris pada anak-anak
dengan epistaksis berulang dengan pengobatan menggunakan krim antiseptik
selama 4 minggu dibandingkan yang tidak diobati dengan krim antiseptic
didapatkan tingkat kekambuhan yang secara signifikan lebih rendah terlihat pada
kelompok perlakuan (tingkat kekambuhan 45% vs 71%, pengurangan risiko relatif
47% dengan 95%. Selain itu, kebiasaan meniup hidung yang berlebihan harus
dihindari selama 7 hingga 10 hari. Hidari kebiasaan buruk seperti mengorek
hidung, makan-makanan bergizi, hindari aktivitas berat.

2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah aspirasi darah ke dalam saluran
napas, syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak
akan menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebral, insufiensi coroner,
infark miokard serta kematian

2.2.9 Prognosis
Prognosis pada epistaksis tergantung penyebabnya, tatalaksana yang
adekuat, dan riwayat epistaksis sebelumnya. Pada epistaksis yang diakibatkan
oleh lingkungan mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan epistaksis
akibat tumor

23
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis merupakan perdarahan dari hidung yang sering dijumpai pada


anak-anak yang merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain dan hampir
90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
maupun sistemik. Berdasarkan lokasinya epistaksis dibedakan menjadi dua yaitu
epistaksis anterior dan epistaksis posterior.
Epistaksis dapat didiagnosis dengan melakukan anamesis dan pemeriksaan
fisik berupa tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Setelah
pemeriksaan rutin THT, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, dan CT-scan jika diperlukan.
Penatalaksanaan epistaksis bergantung dari lokasi dan penyebab perdarahan.
Dilakukan jepit cuping hidung bersamaan selama 5 menit, kapas dengan epinefrin
1:1000 atau oxymetazoline. Setelah darah membeku, berikan anastesi topikal
dengan lidokain 4% atau benzokain dan kauter lokasi perdarahan dengan nitrat
silver, khususnya dilakukan pada perdarahan berulang. Terapi lainnya dapat
berupa embolisasi angiografi, fibrin glue, endoscopic electrocautery, irigasi air
panas, dan laser. Pasien dengan adanya epistaksis perlu dilakukan perawatan
intensif untuk mencegah kekambuhan dapat diberikan krim hidung antiseptik.
Hindari kebiasaan buruk seperti mengorek hidung, makan-makanan bergizi,
hindari aktivitas berat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Beck, R., Sorge, M., Schneider, A., & Dietz, A. (2018). Current approaches to
epistaxis treatment in primary and secondary care. Deutsches Ärzteblatt
International, 115(1-2), 12.
Bertrand, B., Eloy, P., Rombaux, P., Lamarque, C., Watelet, J. B., & Collet, S.
(2005). Guidelines to the managment of epistaxis. B ENT, 27.
Dhingra, P.L., Dhingra, S., 2014. Anatomy of Nose. In: P.L. Dhingra, Shruti
Dhingra (Eds). Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery
6th ed. New Delhi: Elsevier, pp.134-9.
Hwang, P.H., Abdalkhani, A., 2009. Embryology, Anatomy and Physiology of
The Nose and Paranasal Sinuses. In: James B. Snow J.R., P. Ashley
Wackym (Eds). Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery
17th ed. India: BC Decker Inc, pp.455-64.
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al(ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai PenerbitFKUI.
Limen, M. P., Palandeng, O., & Tumbel, R. (2013). Epistaksis Di Poliklinik Tht-
kl Blu Rsup Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode Januari 2010-desember
2012. eBiomedik, 1(1).
Lubis, B., & Saragih, R. A. (2016). Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak.
Sari Pediatri, 9(2), 75-9.
Munir, D., Haryono, Y., & Rambe, A. Y. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran
Nusantara Vol. 39
Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad
Med J 2005; 81: 309-14.
Thornton, M. A., Mahesh, B. N., & Lang, J. (2005). Posterior epistaxis:
identification of common bleeding sites. The Laryngoscope, 115(4), 588-
590.

25

Anda mungkin juga menyukai