Anda di halaman 1dari 72

HEMATURIA

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Hematuria adalah keadaan yang menunjukkan terdapatnya sel-sel eritrosit dalam jumlah
yang abnormal di dalam urin
Etiologi:
➢ Berasal dari glomerulus
➢ Glomerulonefritis
➢ Sindroma hemolitik uremik
➢ Hematuria berhubungan dengan olah raga
➢ Hematuria familial benigna
➢ Nefropati IgA
➢ Bukan dari glomerulus
➢ Penyakit perdarahan/gangguan faktor pembekuan
➢ Keracunan jengkol
➢ Hiperkalsiuria
➢ TBC ginjal/saluran kemih
➢ Infeksi saluran kemih
➢ Trauma
➢ Batu
➢ Defek kongenital (Ginjal polikistik & Hidronefrosis)
➢ Tumor Wilms
➢ Benda asing di ureta/vesika urena

Anamnesis
Dasar diagnosis:
Curigai hematuria bila urin berwarna merah terang atau gelap seperti coca-cola
Pemeriksaan Fisik
Langkah-langkah diagnosis:
➢ Pastikan adanya hematuria
Pemeriksaan yang dilakukan adalah dispstik untuk melihat adanya kandungan
hemoglobin dalam eritrosit dan hemoglobin bebas dalam urine. Sedangkan untuk
melihat sel eritrosit dilakukan pemeriksaan mikroskopis sedimen urin. Bila ditemukan sel
eritrosit ≥ 5/lpb → hematuria mikroskopik
➢ Tentukan bentuk dari hematuria dan cari faktor penyebab.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang  identifikasi

Kriteria Diagnosis
➢ Hematuria non glomeruler, ciri-cirinya: urine berwarna merah terang, biasanya
edema dan hipertensi tidak dijumpai.Urinalisis menunjukkan:
• Urin berwarna merah
• Bekuan darah (+)
• Proteinuria (+1) – (+2)

1
• Silinder eritrosit (-)
• Bentuk eritrosit sama dan kandungan hemoglobinnya merata.
➢ Hematuria glomeruler, ciri-cirinya: urin berwarna merah gelap, tidak nyeri waktu
berkemih. Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan edema, hipertensi. Urinalisis:
• Proteinuria (+2 - +3)
• Sel eritrosit (+) ( ≥5/lpb atau penuh/lpb
• Bentuk eritrosit tidak sama dan kandungan hemoglobinnya tidak merata
• Silinderuria (terutama selinder eritrosit)
➢ Untuk masing-masing kelompok hematuria ditetapkan etiologinya

Bentuk Non Glomeruler


a) Keracunan jengkol
Diagnosis berdasarkan riwayat makan jengkol, nyeri hebat saat berkemih, mulut bau
jengkol, kadang-kadang, ditemukan retensio urin, kristal asam jengkol pada orifisium
uretra. Pada urinalisis dijumpai sel eritrosit penuh, lekosituria, kristal asam jengkol,
proteinuria +1, kadang-kadang dijumpai tanda-tanda AKI.
b) Hiperkalsiuria idiopatik
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil urinalisis yang menunjukkan hematuria, disertai
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin > 4 mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin
>0,2. Dari riwayat keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang berhubungan
dengan batu.
c) TBC Ginjal
Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi buruk, kelainan paru
baik berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi, LED meninggi.Pada urinalisis dijumpai
hematuria, piuria steril.PPD (+).Diagnosis pasti perlu dilakukan biakan urin untuk mencari
BTA.
d) ISK
Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria, nyeri pinggang/sudut
kosto vertebra/suprasimfisis.Hasil urinalisis menunjukkan adanya hematuria, proteinuria,
lekosituria.Dan pada biakan urin dijumpai bakteria bermakna.
e) Trauma
Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah pinggang dan ditemukan
memar/lebam pada daerah pinggang atau suprasimfisis.Pada pemeriksaan urin tampak
gross hematuria dan bekuan darah (+).Untuk mengetahui lokasi/luasnya daerah yang
mengalami trauma perlu dilakukan USG/PIV.
f) Batu saluran kemih
Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa nyeri saat berkemih.
Pada anak laki-laki gejala khas adalah sering menarik penisnya ketika mau berkemih,
kadang-kadang disertai keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria.Diagnosis pasti
USG/PIV.
g) Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih
Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen. Untuk menentukan jenis
tumor atau defek kongenital apakah tumor Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu
dilakukan USG/PIV.
h) Penyakit pendarahan

2
Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering epistaksis, pucat, biru-biru
pada kulit, pada darah tepi ditemukan kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu
pembekuan dan perdarahan memanjang.
Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang gambaran darah tepi
normal tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit darah/perdarahan, perlu dilakukan
pemeriksaan USG/PIV untuk mencari faktor penyebab perdarahan.Bila hasilnya normal
kemungkinan penyebabnya berasal dari trauma uretra, benda asing di uretra, atau
peradangan vesika urinaria.Untuk menentukan asal perdarahan perlu pemeriksaan
sitoskopi.

Bentuk Glomeruler
1) Hematuria mikroskopis Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri.
Diagnosis ditegakkan bila hasil pemeriksaan fisik (+), gambaran darah tepi normal, fungsi
ginjal kimia normal, sedang urinalisis memperlihatkan gambaran berupa hematuria
mikroskopis dengan sel darah merah yang dismorfik. Pertimbangan penyebab apakah
hematuria berhubungan dengan hematuria rekuren benigna, hematuria berhubungan
dengan olahraga atau hematuria idiopatik.Lakukan observasi selama 6 bulan.Bila masih
menetap perlu dipikirkan nefropati IgA.Diagnosis nefropati IgA dibuat berdasarkan
adanya riwayat hematuria makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas yang
dipicu oleh ISPA.Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis.Perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis.
2) Glomerulonefritis Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk
glomeruler dari hematuria, disertai proteinuria, silinderuria dengan atau tanpa edema,
hipertensi, oliguria atau gangguan faal ginjal.Kelainan ini dapat timbul secara akut atau
berlangsung kronik. Bentuk akut dari glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan
pasca infeksi streptokokus, infeksi sistemik/penyakit multi sistemik seperti Purpura
Henoch Schonlein (PHS) dan lupus eritematosus sistemik (LES). Sedang yang kronik
biasanya berhubungan dengan sindroma nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma
Alport). Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari penyebab
glomerulonefritis seperti ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel LE, biakan, ekokardiografi.
Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit, yang diikuti kemudian
oleh gejala-gejala nefritis akut. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3 menurun. Perlu
pengamatan terhadap perjalanan penyakit, karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara
cepat dan progresif (GN progresif cepat). (Lihat panduan tatalaksana SNA)
3) Diagnosis GNK yang berhubungan dengan sindroma nefritik ditegakkan berdasarkan:
riwayat penyakit ginjal yang sudah lama diderita. Pada pemeriksaan fisik dan
laboratorium dijumpai tanda-tanda dari sindroma nefrotik nefritik. Kadar C3 dapat normal
atau merendah secara persisten. Perlu biopsi ginjal untuk melihat kelainan morfologi dari
glomerular. Diagnosis GNK yang berhubungan dengan nefritis herediter (sindroma
Alport) dibuat berdasarkan riwayat sakit ginjal pada beberapa anggota keluarga disertai
tuli. Ada riwayat serangan hematuri makroskopis yang hilang timbul, disertai hematuria
mikroskopis yang menetap. Hasil urinalisis dari anggota keluarga menunjukkan
hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kelainan pada mata berupa
lentikonus anterior. Pada pemeriksaan audiometri dijumpai tuli neurosensoris. Biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk diagnosis.
4) Sindroma uremik hemolitik

3
Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah, Pada pemeriksaan fisik
dijumpai anak tampak pucat, ruam pada kulit berupa ptekie/purpura,
hepatosplenomegali, anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan
fungsi ginjal.

lndikasi rawat
Semua penderita dengan hematuria simtomatis (gross hematuria)

Tata laksana dan tindak lanjut


Disesuaikan dengan panduan tatalaksana penyakit yang mendasari

Daftar Pustaka

1. Rauf S. Hematuria. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting.
Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Peberbit FKUI; 2002. h.114-25.
2. Milford DV, Robson AM. The child with abnormal urinalysis, haematuria and/or
proteinuria. Dalam: Webb N, Postlethwaite RJ. Clinial Pediatric Nephrology. Edisi ke- 3.
New York: Oxford University Press; 2003. h. 1-28.
3. Halim H. Hematuria. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk. Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 20 – 26.

4
PROTEINURIA

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Definisi
Proteinuria adalah keadaan ekskresi protein dalam urin berlebihan. Seperti halnya
hematuria, proteinuria merupakan kelainan urin yang sering ditemukan pada anak dengan
penyakit parenkim ginjal.
Pada bayi dan anak-anak yang normal ditemukan protein dalam urin kurang dari 20mg%,
bila ditemukan adanya konsentrasi protein > 20-30 mg% perlu diperiksa jumlah protein
selama 24 jam. Prevalensi proteinuria pada anak sekolah yang asimtomatik di beberapa
negara berkisar antara 0,5- 6 %.

Patofisiologi
Berdasaarkan patofisiologinya, proteinuria dapat di bagi menjadi 3 kelompok; yaitu
proteinuria glomerular, proteinuria tubular, dan proteinuria karena produksi berlebih.
A. Proteinuria Glomerular
Proteinuria glomerular adalah proteinuria yang disebabkan karena peningkatan
permeabilitas selektif pada sawar filtrasi glomerulus terhadap protein plasma.
Karenanya, proteinuria disini dasar utamanya adalah albuminuria. Albuminuria sendiri
sebenarnya dapat terjadi sebagai fenomena sementara saja pada individu sehat.
Sedangkan albuminuria yang persisten mengindikasikan adanya penyakit ginjal.
B. Proteinuria Non-Glomerular
a. Proteinuria Tubular
Pasien dengan kerusakan tubulus primer, memiliki manifestasi klinis
proteinuria dengan dominasi protein berberat molekul ringan. Ini dapat
ditemukan pada sindroma Fanconi penyakit Wilson, defisiensi kalium kronik,
gagal ginjal akut, nefropati Balkan dan keracunan kadmium.
Klirens protein bebrberat molekul ringan yang meningkat pada kelainan
tubulus primerberhubungan dengan laju filtrasi jenis protein tersebut.
Observasi menunjukkan proteinuria tubulus disebabkan oleh gangguan
reabsorpsi tubulus terhadap protein, bukan karena peningkatan permeabilitas
glomerulus.
b. Proteinuria karena produksi berlebih (overflow proteinuria)
Terjadi bila konsentrasi plasma protein melebihi kapasitas yang dapat diserap
tubulus , sehingga protein keluar melalui urin. Ekskresi berlebihan
immunoglobulin rentai pendek, rantai panjang, serta fragmen lain sering
terjadi pada mieloma multiple, hemoglobinuria, myoglobinuria,
makroglobulinemia, dan kelianan imunoglobulin lain. Kadang terjadi pada
pasca transfusi albumin atau whole blood. Ekskresi berlebih zat tersebut lebih
mungkin disebabkan kelebihan produksi yang disertai peningkatan filtrasi,
daripada defek primer ginjal.
c. Proteinuria sekretorik
Akibat peningkatan eksresi protein jaringan ke dalam urin, misalnya pada
infeksi salurankemih, nefropati akibat obat, protein Tamm-Horsfall periode
neonatus
C. Proteinuria ortostatik

5
Terjadi peningkatan ekskresi protein pada saat posisi berdiri sedangkan pada saat
berbaring tidak. Total eksresi protein dalam 24 jam tidak melebihi 1 gr/1,73m2/hari.
Bukti klinis menunjukkan bahwa proteinuria postural merupakan keadaan yang tidak
berbahaya.

Pengukuran Kadar Protein Urin


Pengukuran ekskresi protein urin digunakan untuk diagnosis dan penanganan penyakit
ginjal. Berbagai metode pemeriksaan dapat mengukur total protein urin tanpa membedakan
tipe protein. Metode paling sederhana dan sering digunakan adalah tes semikuantitatif, tetapi
hanya mendeteksi konsentrasi abnormal protein urin, dan tidak mendeteksi laju ekskresi
abnormal. hasil yang lebih akurat dapat diperoleh dengan tes kuantitatif urin 24 jam atau
pemeriksaan kadar kreatinin urin.
A. Tes semikuantitatif untuk protein total urin.
Tes semikuantitatif dapat berupa presipitasi protein ataupun tes carik celup
(dipstick). Tes ini praktis dan tidak dipengaruhi turbiditas urin, zat radioopak (zat
radiokontras) atau obat-obatan. Kelemahan tes ini diantaranya sensitifitas rendah,
kadar protein urin kurang dari 30 mg/dL tidak terdeteksi. Bila ekskresi protein 300 mg
perhari dengan volume urin 1500 ml (konsentrasi proteinnya hanya 20 mg/dl), maka
kelainan tidak terdeteksi. Tes ini juga tidak sensitive terhadap protein rantai pendek.
B. Tes kuantitatif protein total urin.
1. Pengumpulan 24 jam.
Cara lain yang dapat digunakan adalah metode presipitasi protein dengan
reagen Esbach kemudian diukur denga tabung tes yang telah dikalibrasi. Nilai
yang diperoleh pada pengukuran konsentrasi protein dari semua tes diatas
dikalikan dengan volume total sampel urin, dan dilaporkan dalam satuan
miligram per 24 jam.
2. Ekskresi sewaktu
Ekskresi protein urin 24 jam dapat diperkurakan dengan mengukur kadar
protein dan kreatinin urin pada specimen urin sewaktu, karena ekskresinya
sepanjang hari relative stabil. Bila ekskresi kreatinin harian diketahui, maka
berdasarkan rasio protein dan kreatinin pada specimen sewaktu, dapat
diperkirakan kadar ekskresi protein sehari.
C. Tes untuk protein spesifik.
1. Albumin
Pada pasien diabetes terdapat variasi kadar ekskresi albumin, perlu dilakukn
tes secara serial. Walau begitu pemeriksaan albumin sewaktu tetap
dianjurkan untuk skrining dan tidak lanjut pasien dengan diabetes, dan pasien
yang berisiko tinggi, seperti pasien lupus eritematosus sistemik.
2. Rantai Ringan (Light chain)
Metode yang paling sensitive sampai saatini adalah dengan elektroforesis
atau imunoelektroforesis. Kedua metode tersebut memungkinkan identifikasi
protein rantai pendek dan fragmen imunolglobulin secara akurat.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan protein dalam urin, misalnya keadaan
urin yang terlalu pekat, gross hematuria, piuria, dapat menyebabkan positif palsu pada
pemeriksaan dipstick atau uji sulfosalisilat. Sebaliknya urin yang encer atau immunoglobulin
rantai ringan dapat menyebabkan negatif palsu.

Interpretasi proteinuria

6
Jenis tes urin Eksresi protein Eksresi protein Proteinuria massif
normal abnormal (nephritic-range)
Dipstick Negatif atau >1+ >2+
trace
Uji asam sulfosalisilat Negatif >1+ >2+
Rasio protein:kreatinin
(g/mmol)
Usia >2 thn <0,02 >0,02 >0, 2
Usia 6 bln- 2 thn <0,05 >0,05
Eksresi protein 24-jam
Usia > 6 bln
(g/1,73m2/hari) <0,15 >0,15 >3
(mg/m2/jam) <4 >0,4 >40
Usia < 6 bln
(g/1,73m2/hari) <0,3 >0,3 >3
(mg/m2/jam) <8 >8 >40
Rasio albumin:kreatinin
(g/mmol) <0,003 >0,003 >0,22
(mg/g) <30 >30 >2220
Eksresi albumin 24 jam
(g/1,73m2/hari) <30 >30 >2200

Istilah klinis
A. Proteinuria intermiten
Adanya proteinuria intermiten dapat merupakan awal terjadinya kelainan ginjal,
namun seringkali juga terjadi pada individu normal, sbagai akibat perubahan
hemodinamik yang berkaitan aktivitas fisik berlebihan, demam atau stress emosional
yang berat.
B. Protein persisten
Proteinuria persisten hampir selalu merupakan gejala adanya penyakit ginjal,
walaupun pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan sedimen urin menunjukkan
hasil normal, dan pasien tidak ada gejala lain.

Daftar Pustaka
1. Wila Wirya IGN. Proteinuria. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
h.126-41.
2. Halim H. Proteinuria. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk. Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 27 – 32.
3. Law PYW, Yap HK, Nyein KML. Approach to Proteinuria in Children. Dalam: Yap HK, Liu
ID, Ng KH, eds. Pediatric Nephrology On the go. Singapore. 2015. H. 195 – 204.

7
SINDROM NEFROTIK

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas:
1. edema
2. proteinuria massif (> 40 mg/m2/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam atau dipstick > +2 atau
rasio albumin/kreatinin >2 mg/mg)
3. hipoalbuminemia ( < 2,5 g/dL)
4. hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL)
kadang-kadang hipertensi, hematuria, azotemia

Anamnesis
1. Tentukan adanya edema, gangguan pada urin, serta onset terjadinya gejala
2. Cari gejala lainnya, terutama gejala sindroma nefritis
3. Cari faktor penyebab
Cari komplikasi (hipotensi/syok, hipertensi, trombosis, infeksi, gagal ginjal)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat terhadap keadaan umum pasien, tekanan darah, frekuensi
nafas, suhu, edema, asites, efusi pleura, anemia, kelainan jantung, kelainan kulit, dan
sebagainya.Penting juga untuk mengukur diuresis dan menghitung balans cairan setiap
harinya.

Kriteria Diagnosis
➢ SN:edema, hipoproteinemia (protein serum < 5,5 g/dl),
hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia (kolesterol serum
> 200 mg/dl), proteinuri masif (kadar proteinuri > 0,05 – 0,1 g/kgBB/ 24 jam atau ++ atau
lebih pada pemeriksaan semi kualitatif)
➢ SN idiopatik/primer: bila etiologi SN tidak diketahui
➢ SN sekunder: bila ditemukan penyebab
➢ SN kongenital: bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari
kehidupan
➢ SN sensitif steroid: terjadi remisi berupa urin bebas protein (<4
mg/jam/m2 LPT) atau negatif/trace dengan pemeriksaan asam sulfosalisilat 3 hari
berturut-turut
➢ SN resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke-4
pengobatan steroid penuh
➢ SN relaps jarang: proteinuria >+2 muncul kembali kurang dari 2
kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan
➢ SN relaps sering: proteinuria >+2 muncul kembali 2 kali dalam 6
bulan atau 3 kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan
➢ SN dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut

8
Diagnosis Banding
Sindrom Nefritik Akut (SNA)

9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
➢ Darah tepi : Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitung jenis, LED.
➢ Urinalisis
➢ Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, ureum, kreatinin, asam urat, Na, K, Ca dan P)
➢ Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai)
Pemeriksaan atas indikasi :
➢ Foto toraks, EKG bila dijumpai edema berat
➢ ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis
➢ CRP dan biakan urin bila dijumpai LED ↑, hematuria, leukositosis, leukosituria
➢ ANA, anti DsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE (sindroma nefrotik sekunder)

Tata laksana
Indikasi Rawat
➢ SN serangan pertama kali
➢ SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-muntah, diare,
hipovolemia, hipertensi, tromboemboli, GGA)
➢ SN steroid resisten untuk evaluasi
➢ SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan

I. Sindroma nefrotik primer


Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika edema anasarka, dispneu,
hipertensi dianjurkan tirah baring.
Dietetik
➢ Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr
➢ Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/ mendapat terapi steroid.
Pengaturan Cairan
➢ Bila dijumpai edem berat dan oliguria: retriksi cairan 30 ml /kgBB/hari (bila belum
dapat dihitung output cairan).
➢ Bila dijumpai edem berat tanpa oliguria: retriksi cairan ¾ dari berat badan saat
pertama kali dirawat.
Diuretika
➢ Loop diuretic (furosemid 1–2 mg/kgbb/hr), bila kadar kalium rendah < 3,5 mEq/L
dapat dikombinasi dengan spironolakton (1–2 mg/kgbb/hr) diberikan pada edema
berat /anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium
plasma.
Tatalaksana Hipoalbuminemia
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat → kadar albumin ≤ 1,5 gr/dl)
berikan infus albumin 20-25 % 1 g/ kg bb atau plasma sebanyak 15–20 ml /kg BB dalam
1-2 jam bila albumin tidak tersedia, 15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai
diberikan furosemid 1–2 mg/kgbb intravena. Pemberian albumin dapat diulang hingga
hipoalbuminemia berat dan hipovolemia teratasi.
Antibiotika/antiviral
Antibiotika diberikan bila:
➢ Edema anasarka + laserasi kulit, berikan amoksisilin, eritromisin, sefaleksin
➢ Infeksi, berikan antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat infeksi
➢ Infeksi varicella ditatalaksana dan pengobatan kortikosteroid stop sementara.

10
Imunisasi
➢ Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid selesai.
➢ Kontak dengan penderita varicella sebaiknya diberikan Imunoglobulin varicella-zoster
dalam waktu < 72 jam
Tuberkulostatika
➢ Test Mantoux (+) dengan tidak ada manifestasi klinis, terapi sesuai pedoman
tatalaksana tuberculosis.
➢ Jika didapati TBC aktif, terapi sesuai pedoman tatalaksana tuberculosis.

Pengobatan kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai kontraindikasi
seperti hipertensi berat, infeksi berat (viral/bakteri), azotemia.
A. Pengobatan inisial
➢ Dosis inisial (full dose-FD) prednison atau metil prednisolon 60 mg/m 2/hari
atau 2 mg/kgbb/hari menurut BB ideal single dose pagi hari (dosis maksimal 60
mg/hari), atau dapat dibagi 3 dosis (dosis maksimal 80 mg/hari). Diberikan
selama 4 minggu (catatan: 5 mg prednison setara dengan 4 mg metil
prednisolon)
➢ Bila terjadi remisi (+) pada dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan dosis
alternating 40 mg/m2/hr (2/3 dosis inisial) selang sehari pada pagi hari sesudah
makan selama 4 minggu, lalu stop.
➢ Bila remisi (-) hingga akhir minggu ke-4, maka dianggap SN resisten steroid.
Dosis diturunkan menjadi dosis alternating selama 4 minggu.
➢ Pada sebagian kasus SN sensitif steroid, remisi masih dapat terjadi sampai
minggu ke-8.

B. Pengobatan SN relaps jarang


Bila dijumpai proteinuria (≥ +2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu dicari faktor
pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan antibiotika dan dapat
dipertimbangkan pemberian steroid dosis intermiten dengan dosis 1,5 mg/kgbb/hari
dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 1-2 minggu (selama infeksi masih
berlangsung). BILA kemudian proteinuria (-), maka dosis steroid dapat diturunkan
(alternating dose). BILA proteinuria menetap (≥ +2) atau tidak ditemukan fokus
infeksi, dianggap SN relaps, mulai dengan prednison dosis penuh 2 mg/kg/hari
sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut) selama maksimal 4
minggu, dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu kemudian stop.

A. Pengobatan SN relaps sering atau


dependen steroid
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
Pilihan untuk pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid antara lain:
1) Steroid jangka panjang
Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4 minggu) sampai
terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4 minggu), kemudian dosis
diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating, dapat
diteruskan selama 6–12 bulan, coba dihentikan.

11
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD, tetapi < 1
mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat dicoba dikombinasi
dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4 – 12 bulan atau langsung
diberi siklofosfamid (CPA) bila pasien.
Jika relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau meskipun dosis rumat
< 1 mg/kgbb tetapi disertai efek samping steroid yang berat, atau pernah relaps
dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis, diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8–12 minggu.
1) Levamisol
Pada saat relaps diberikan prednison 60mg/m2/hr sampai remisi minimal 2
minggu, dilanjutkan dengan dosis 40mg/m2 / satu kali sehari selang sehari pagi
hari, dan secara bersamaan diberikan levamisol 2,5 mg/kgbb/hr satu kali sehari
selang sehari selama 6-12 bulan. Prednison diturunkan bertahap selama 8
minggu
Efek samping: agranulositosis. Pantau kadar leukosit/minggu selama 4 minggu
pertama, kemudian tiap 2 bulan sampai 12 bulan. Hentikan terapi bila: lekosit
<3x109 /L atau absolute netrofil count (ANC)< 1,5x109 /L atau terjadi rash purpura.
1) Siklofosfamid (CPA)
Dapat diberikan CPA oral 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500 mg/m2/hari atau
CPA puls 500 mg/m2/bulan + metilprednisolon 40 mg/m2/hari dosis alternating
selama 6 bulan
2) Mycophenolate Mofetil (MPA, MMF)
Diberikan dengan dosis 600mg/m2/dosis, diberikan dua kali sehari dengan
maksimal pemberian 1g/12 jam. Lama pemberian selama 12 bulan.
1) Siklosporin (CyA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L. Pemantauan kadar siklosporin
dilakukan pada setiap minggu sampai 1 bulan, kemudian setiap 4-6 minggu.
Selama pemberian siklosporin perlu dipantau kadar ureum, kreatinin, elektrolit
dan fungsi hati. Jika kadar kreatinin meningkat 25% maka dosis siklosporin
diturunkan 20% untuk mengetahui apakah penyebab kenaikan tersebut memang
siklosporin.
Prednisone diberikan dengan dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari pagi hari
selang sehari, dan diturunkan jika pasien mulai remisi.
Respon terapi harus ditentukan dalam 2 minggu sampai 1 bulan. Jika tidak ada
respon setelah 2 bulan dipertimbangkan untuk menambahkan Mycophenolate
Mofetil (MPA) atau dipikirkan terapi lain.
Jika pasien menunjukkan respon terhadap siklosporin, terapi bisa dilanjutkan
sampai 1-2 tahun kemuan diturunkan.Pemberian lebih dari 2 tahun harus
dilakukan biopsy ginjal ulang untuk melihat toksisitas akibat siklosporin.

D. Pengobatan SN resiten steroid


Pilihan untuk pengobatan SN resisten steroid yang tersedia saat ini antara lain:
1) Siklofosfamid (CPA)
CPA puls 500 mg/m2/bulan selama 6 bulan (7 kali) + prednison 40 mg/m2/hari
dosis alternating selama 6 bulan, atau
CPA oral 2-3 mg/kgbb/hari + prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 3-6
bulan, atau

12
13
2) Metilprednisolon intravena
Pemberian metilprednisolon intravena (MP pulse) dengan dosis 10-30
mg/kgbb/dosis (maksimal 1g) diberikan tiga hari berturut-turut tiap bulan selama
enam bulan, diikuti prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 6 bulan
3) Mycophenolate Mofetil (MPA)
Diberikan dengan dosis 600mg/m2/dosis, dua kali sehari dengan maksimal
pemberian 1g/12 jam. Lama pemberian selama 12 bulan.
4) Siklosporin (CsA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L. Prednisone diberikan dengan
dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari pagi hari selang sehari, dan diturunkan jika
pasien mulai remisi. Jika pasien menunjukkan respon terhadap siklosporin, terapi
bisa dilanjutkan sampai 1-2 tahun kemuan diturunkan.

II. Sindroma nefrotik kongenital


➢ Prednison diberikan dengan pertimbangan khusus
➢ Pengobatan konservatif lainnya (dietetik, penanggulangan infeksi, koreksi
hipoalbuminemia).
➢ ACE inhibitor: kaptopril 0,3 mg/kgbb/kali dibagi 2-3 dosis atau lisinopril 0,1-1
mg/kgbb/hari satu kali pemberian, dengan tujuan untuk mengurangi proteinuria dan
menghambat terjadi gagal ginjal terminal.
➢ Koreksi hipoalbuminemia dengan albumin 20% 3-4g/kgbb/hari dapat diberikan 3-
4x sejak lahir, atau bila usia lebih dari 1 bulan diberikan 1x selama 6-8 jam.
Pertahanan agar albumin serum berada dalam kisaran 1,5 g/dL.
➢ Nefrektomi dapat dipertimbangkan jika kebutuhan albumin makin bertambah
sering.
➢ Penderita SN kongenital merupakan indikasi transplantasi ginjal jika
memungkinkan.

III. Sindroma nefrotik sekunder


Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan terhadap
penyakit yang mendasarinya.

I. Pengobatan komplikasi
➢ Infeksi (telah dituliskan sebelumnya)
➢ Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/ steroid resisten
dengan pemberian aspirin dengan dosis 3-5mg/kgbb sekali sehari (maksimal
100mg/hari) atau dipiridamol dengan dosis 1-2mg/kgbb tiap 8 jam (maksimal
100mg/hari) selama pengobatan steroid. Heparin diberikan bila sudah terjadi
thrombosis (dosis sesuai PPK)
➢ Syok hipovolemia
Diatasi dengan melakukan resusitasi cairan menggunakan RL 20cc/kgbb
secepatnya, bila tidak respon dapat diulang hingga 2x, kemudian diberikan dengan
infus albumin 1gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan lambat→10 tetes per menit).
Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih oliguria diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena dengan pengaturan cairan input sesuai output dan iwl, kemudian
evaluasi ulang.

14
15
➢ Hipokalsemia
Diberikan suplementasi kalsium 500-1000 mg/hari dan vitamin D 400-800 IU/hari per
oral.Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgbb intravena.
➢ Hipertensi
Diberikan ACE inhibitor: kaptopril 0,3 mg/kgbb/kali dibagi 2-3 dosis atau lisinopril 0,1-
1 mg/kgbb/hari satu kali pemberian. Bila pasien dengan edema diberikan furosemid
1–2 mg/kgbb/hr dalam dua kali pemberian.

Tindak lanjut
➢ Pemantauan berat badan, intake-output, lingkar perut, tekanan darah setiap hari.
➢ Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan pemeriksaan protein
semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut).
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit (Na, K,Ca,P) selama perawatan sekali dua
minggu..
➢ Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi selama pasien dirawat.
Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
➢ Biopsi ginjal dengan indikasi:
• Usia > 6 tahun atau < 1 tahun, dengan manifestasi sindroma nefritis
• C3 menurun secara persisten
• Steroid resisten/relaps sering (selama atau pasca terapi steroid)

Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan komplikasi teratasi serta pasien telah
teredukasi untuk menjalankan pengobatan di rumah.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu ke instalasi rawat jalan.Setelah steroid
dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas gejala.

Edukasi
Makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemantauan volume urin dan tekanan darah,
serta kapan harus kontrol.

Prognosis
Ad vitam: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar Pustaka
1. IGN Wila Wirya, Sindroma Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta,
2002: 381-423
2. Subandiyah K,Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Dalam Naskah
Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali 2009
1. Alatas H, Tambunan T,Trihono P, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindroma
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: UKK nefrologi IDAI, 2005: 1-17
2. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic syndrome. Dalam:
Pediatric on the go. Edisi ke-2. Children’s Kidney Center. Singapore: 2015:213-27.

16
3. Vogt BA, Avner E. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson text book of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1752-7.
4. Haycock G. The child with idiopatic nephrotic syndrome. Dalam : Webb N, Postlethwaite
R, editor. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford United Press;
2003. h. 341-66.
5. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic Nephrotic syndrome in Children: Clinical Aspects. Dalam:
Anver ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology. Edisi ke-6 Vol-1.
h.667-702.

17
SINDROM NEFRITIK AKUT

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
SNA adalah kumpu1an gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas
hernaturia proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai
hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau Acute Kidney Injury sebagai akibat dari suatu
proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang
secara spesifik mengenai glomeruli.

Anamnesis
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)
Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab pada
muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Bisa juga
dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu
epidemi).
2) Endokarditis bakterialis subakut
Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh
kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopis).
3) Shunt nephritis
Riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo-atrial / peritoneal untuk penanggulangan
hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-
kejang, penurunan kesadaran.
4) Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Keluhan dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah,
sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, ruam pada kulit
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah,
nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan serangan hematuria.
2) Nefropati IgA
Kecurigaan bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh
suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopis
biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda, namun akan berulang
kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2
episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria mikroskopis
dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.

Pemeriksaan Fisik
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema
paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan
kabur, kejang; penurunan kesadaran).

18
2) Endokarditis bakterialis subakut
Panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali
artritis/artralgia jarang dijumpai.
3) Shunt nefritis
Hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema,
kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
4) Lupus eritematosus sistemik (LES)
Alopesia, butterfly rash, lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada mulut/nasofaring,
pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian ekstensor dan
ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen.
2) Nefropati IgA
Demam, infeksi saluran nafas. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal
biasanya tidak ditemukan.

Diagnosis Banding
Sindrom Nefrotik

Pemeriksaan Penunjang
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
▪ Kelainan urinalis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria
▪ ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (<80 mg/dl), C4 biasanya normal
▪ Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal
atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu.
Kadar kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat
normal atau sedikit merendah, kadar globulin biasanya normal
▪ Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok /keropeng kulit
positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria,
proteinuria dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl), yang pada
evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6 – 8 minggu dari onset penyakit.
1) Endokarditis bakterialis subakut
▪ Hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa hematuria
mikroskopis, lekosituria, selinderuria
▪ Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan (BUN dan kreatinin serum↑)
▪ Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat
▪ CRP (+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang ditemukan peningkatan titer faktor
rematoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum
▪ Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai hasil kultur darah (+)
terhadap kuman penyebab infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada
katup jantung.
1) Shunt nefritis
▪ Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria. Fungsi ginjal biasanya
terganggu
▪ Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar elektrolit darah
dapat terganggu

19
▪ CRP (+), titer komplemen (C3,C4) rendah
▪ Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+).
1) Lupus eritematosus sistemik (LES)
▪ Darah tepi: Anemia normositik normokhrom, retikulositosis, trombositopenia,
leukopenia, waktu protrombin/waktu tromboplastin partial biasanya memanjang.
▪ Immunoserologis: Uji Coomb (+). Sel LE (+) persisten. Keterlibatan ginjal ditandai
dengan sindroma nefritis akut dengan atau tanpa disertai Acute Kidney Injury atau
sindroma nefrotik.
▪ Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan
gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan
sampai yang berat berupa proliferatif difusa.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
▪ Hematuria, proteinuria dan silinderuria
▪ Ureum/kreatinin serum dapat normal atau meningkat dapat terjadi penurunan
fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar ureum
dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol dapat normal, atau
menyerupai sindrom nefrotik. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin
normal.
▪ ASTO biasanya meningkat sedangkan IgM normal.
▪ Pada kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari
glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis.
1) Nefropati IgA
▪ Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara
▪ Kadar IgA serum biasanya meningkat (10,2%), kadar komplemen (C3, C4) dalam
serum biasanya normal.
▪ Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

Terapi
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit
yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya.
I. Tindakan umum
a. Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu,
edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
b. Diet: Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau
gejala kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum
di atas 50 gram/dl.

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab


1) GNAPS
a. GNAPS tanpa komplikasi berat
➢ Diuretika:
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah
garam, diberikan furosemide 1-2 mg/kg BB/hari oral dibagi atas 2 dosis
sampai edema dan tekanan darah turun.
➢ Antihipertensi

20
Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping pemberian
diuretika ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril).
(lihat panduan tatalaksana hipertensi)
➢ Antibiotika
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat
alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberikan eritromisin dosis
30mg/kgbb/hari.
b. GNAPS dengan komplikasi berat:
➢ Kongesti vaskuler(edema paru, kardiomegali, hipertensi)
♦ Pemberian oksigen
♦ Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali)
Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali/hari)
Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian digitalis.
➢ Acute Kidney Injury (lihat panduan tatalaksanan AKI)
➢ Ensefalopati hipertensi (lihat panduan tatalaksana hipertensi)
➢ Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan bentuk GNAPS
berat yang ditandai serangan hematuria makroskopis, perburukan fungsi
ginjal yang berlangsung cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai
gambaran glomerular berupa bulan sabit (crescent).
Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan
metilprednisolon pulse dengan dosis:
♦ 15 mg/kgBB metil prednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus
sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau tanda-
tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan) dan kadar
elektrolit
♦ Lanjutkan dengan metil prednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama 1 bulan.
Lalu dosis prednison diberikan secara alternate 2 mg/kgBB/ 2 hari selama
1 bulan, kemudian dilanjutkan separuh dosis dengan interval 1 bulan,
setelah dosis 0,2 mg/kg selama 1 bulan lalu obat dihentikan.

Tindak lanjut :
➢ Timbang berat badan 2 kali seminggu.
➢ Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari.
➢ Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1
kali sehari bila tekanan darah sudah normal.
➢ Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat,
diulangi 1 kali seminggu atau saat penderita atau saat penderita mau
dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu selama perawatan. Perlu
dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan adanya ISK. Bila
ditemukan diobati sesuai dengan hasil sensitifitas.
➢ Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu dipulangkan.
Penderita dengan komplikasi berat pemeriksaan darah terutama ureum/
kreatinin dan elektrolit lebih sering dilakukan. Pemeriksaan EKG, foto torax
perlu dilakukan terutama pada penderita dengan segala kongestif vaskuler
saat dirawat.
➢ Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial, sedang foto toraks diulangi
bila gejala-gejala kongesti vaskuler sudah menghilang pada saat penderita

21
mau dipulangkan. Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila
penderita datang dengan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal
ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif cepat )
Indikasi pulang
Keadaan penderita baik. Gejala-gejala SNA menghilang. Pengamatan lebih lanjut
perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun.
Bila pada pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari
onset, proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopis masih
dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara insidius progresif
dalam waktu beberapa minggu atau bulan kemungkinan penyakit jadi kronik perlu
dilakukan biopsi ginjal.

2) Endokarditis bakterialis akut/ sub akut


Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya
pengobatan terhadap endokarditis serta tindak lanjut (lihat SP endokarditis).
Pengobatan komplikasi:
➢ Acute Kidney Injury (lihat panduan tatalaksana AKI)
➢ Dekompensasi kordis (lihat panduan tatalaksana gagal jantung)
Tindak lanjut:
Serupa dengan SNA GNAPS
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, infeksi teratasi, gejala-gejala endokarditis membaik, kelainan
urinalisis minimal, fungsi ginjal menunjukkan perbaikan, gejala dekompensasi
menghilang. Untuk evaluasi lebih lanjut penderita perlu kontrol berobat jalan ke
poli khusus ginjal anak/kardiologi anak, minimal sekali sebulan.

3) Shunt nefritis
Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang
terinfeksi terhadap komplikasi dari shunt nefritis.
➢ Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil test sensitivitas
➢ Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial sesuai
panduan tatalaksana neurologi
➢ Gejala ensefalopati hipertensi diatasi sesuai panduan tatalaksana hipertensi
➢ Acute Kidney Injury diatasi sesuai panduan tatalaksana AKI
Indikasi pulang
Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi
terkontrol dengan baik. Untuk evaluasi perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus
ginjal/neurologi anak paling kurang sekali sebulan.

4) Nefritis yang berhubungan dengan lupus eritematosus


Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid prednisolon 2 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi
sedikit sampai mencapai dosis 5-10mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgbb dan dipertahankan
selama 4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternat.
Bila selama perawatan penderita menunjukkan perburukan fungsi ginjal secara
progresif atau dengan sindroma nefrotik diobati dengan metilprednisolon pulse,
diuretika dan obat anti hipertensi. Kadang diperlukan terapi imunosupresan lain.
Untuk menentukan terapi untuk nefritis lupus sebaiknya dilakukan biopsi ginjal.

22
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, gejala-gejala nefritis membaik atau menunjukkan kelainan
minimal. Perlu kontrol secara berobat jalan ke poli khusus ginjal anak.

2) Nefritis yang berhubungan dengan dengan Purpura Henoch Schonlein


Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut.
Penderita PHS berat [dengan manifestasi ginjal berat (NS,AKI dan hipertensi)]
membutuhkan pengawasan yang ketat. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan
ini. Obat yang digunakan dalam hal ini adalah prednison oral, metilprednisolon
intravena, obat-obal sitostatika (siklofosfamid, azatioprin), antikoagulan, antiplatelet
dan plasmapheresis. Disamping penanggulangan terhadap AKI dan hipertensi.
Tindak lanjut:
Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap
hipertensi dan perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk
biopsi ginjal.
Indikasi Pulang
Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukkan kelainan minimal, tekanan
darah dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat
jalan ke poli khusus ginjal anak.

3) Nefropati IgA
Pengobatan yang spesifik untuk Nefropati IgA asimtomatis belum ada. Pengobatan
hanya berupa pemberian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilektomi untuk
mengurangi episode dari hematuria makroskopis.
Tindak lanjut
Penderita IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus
terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal.

Edukasi
Makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemantauan volume urin dan tekanan darah,
serta kapan harus kontrol.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar Pustaka
1. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus. Jakarta: UKK nefrologi IDAI,
2011: 57-62.
2. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis.
Dalam: Pediatric on the go. Edisi ke-2. Children’s Kidney Center. Singapore: 2015:205-
11.
3. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017.
1. Sjaifullah M. Glomerulus Akut Paska Streptococcus. Kompendium Nefrologi
Anak. IDAI, Jakarta:2011.h.57-62

23
2. Niko Kei-Chiu Tse. Acute Glomerulonephritis and Rapidly Progressive
Glomerulonephritis in Practical Paediatric Nephrology. Medcom Lmitted,
Hongkong 2005.p.103-108.
3. Davis ID, Avner ED. Glomerular disease. Dalam: Behrman, Kliegman, Jenson.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2003. h.1731-
65.
4. Iturbe BR, Mezzano S. Acute Postinfectius Glomerulonephritis. Dalam: Anver ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology. Edisi ke-6 Vol-1. h.
743-755.

24
HIPERTENSI

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
• TD Normal : TD sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur, tinggi badan
anak
• Pra Hipertensi : TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja TD ≥
120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi.
• Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik ≥ 95 persentil menurut gender, umur dan
tinggi badan pada ≥ 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.
• Hipertensi Stadium 1. TD ≥ 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg
• Hipertensi Stadium 2. TD > 99 persentil plus 5 mmHg
(Diambil dari National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood
Pressure in Children and adolescent. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and
treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th
report):555-76).
Catatan : Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur setidak-tidaknya 3
kali pada waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan persentil sistolik dan diastolik,
kategorikan berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur
dan tinggi badan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

Etiologi
Usia Penyebab
Infant Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital, coartasio aorta, BPD
< 1 tahun Stenosis a.renalis
Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coarcatio
1 - 6 tahun aorta; hipertensi esensial
Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskulerginjal; penyebab
6-12 tahun endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik
Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkimginjal, penyakit
12-18 tahun vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta

Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1
Tabel. 1 Anamnesis Pada Anak dan Remaja Hipertensif
INFORMASI RELEVANSI
Riwayat hipertensi dalam keluarga, riwayat kehamilan Hipertensi essensial
preeklampsi. Komplikasi hipertensi dalam anggota
keluarga (stroke infark miokard, gagal ginjal).

25
Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam keluarga Penyakit ginjal keturunan
Riwayat pemakaian kateter arteri umbilikalis pada masa Kelainan renovaskuler
neonatus
Sakit kepala, pusing, epistaksis, gangguan penglihatan Gejala tidak khas dapat
menunjukkan derajat hipertensi
Sakit perut/pinggang, disuria, enuresis hematuria, panas Penyakit parenkim ginjal
dalam
Palpitasi, sering berkeringat, muka kemerahan, berat Feokromositoma
badan turun, poliuria, polidipsia, sering sakit kepala
Pembengkakan/nyeri sendi, sembab kelopak mata tungkai Bentuk nefritis yang berhubungan
ruam kulit dengan penyakit multi sistemik

Kejang otot, lemas, konstsipasi Hiperaldosteronisme/hipokalemia

Badan lemas, parestesia, retardasi pertumbuhan, Sindrom Cushing


perubahan habitus tubuh
Teraba masa oleh orang tua dalam rongga abdomen, Tumor ginjal
demam
Riwayat trauma di daerah perut/punggung, nyeri perut, Trauma
hematuria, demam
Minum pil kontrasepsi, amfetamin, kokain, koritkosteroid, Hipertensi karena obat
pemakaian obat tetes hidung (golongan simpatomimetik)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena ada beberapa
kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda etiologi dari hipertensi (tabel 2).

Tabel. 2 Tanda-tanda kelainan yang perlu diamati pada pemeriksaan fisik


PEMERIKSAAN FISIK RELEVANSI
Tensi tungkai rendah dibandingkan dengan tensi lengan. Koarktasio aorta
Denyut nadi femoralis tibialis dan dorsum pedis lemah,
murmur (+)
Edema pada muka atau pretibia Penyakit ginjal
Pucat, muka kemerahan, banyak keringat, takikardia Feokromositoma
Bercak café au lait neurofibroma Penyakit vonreekling hausen
Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, striae, truncal Sindrom Cushing
obesity
Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak puting susu Sindrom Turner

26
PEMERIKSAAN FISIK RELEVANSI
melebar
Facies elfin, pertumbuhan terlambat Sindrom Williams
Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus Hipertiroid
Bruit di daerah epigastrium/punggung Penyakit renovaskuler
Bruit diatas pembuluh darah besar Sindrom William/artritis
Tumor abdomen unilateral atau bilateral Tumor Wilm’s neurofibroma, ginjal
polikistik, hidronefrosis
Pembesaran jantung Hipertensi kronik
Kelainan fundus Hipertensi kronik dan berat
Palsi bell Hipertensi kronik
Hemiparesis Hipertensi kronik/akut berat
dengan stroke

Kriteria Diagnosis
➢ Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak, sesuai dengan batasan hipertensi
➢ Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut:
• Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya
• Cari komplikasinya
• Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap etiologi hipertensi

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk evaluasi etiologi hipertensi sekunder.
Evaluasi Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang tahap 2
etiologi tahap 1
hipertensi
Mendeteksi ▪ Urinalisis, biakan urin ▪ ASTO, Komplemen (C3), kultur
penyakit ▪ Kimia darah (kolesterol, apus tenggorok/kulit
parenkim ginjal albumin, globulin, asam ▪ Uji serologi untuk SLE (C3, C4,
urat, ureum, kreatinin) ANA, anti-dsDNA, ANCA)
▪ Klirens kreatinin dan ▪ Biopsi ginjal
ureum
▪ Darah lengkap
Mendeteksi ▪ Ultrasonografi (USG) ▪ Miksio Sisteuretrografi (MSU)
anomali ▪ Pielografi intravena ▪ CT ginjal
kongenital atau ▪ DTPA atau DMSA scan
kelainan ▪ Arteriografi renalis

27
renovaskular ▪ Digital Subtraction Angiography
(DSA)
Mendeteksi ▪ Elektrolit serum ▪ CT kelenjar adrenal atau abdomen
penyakit ▪ Katekolamin vena cava
endokrin ▪ Aktivitas renin plasma (ARP)
▪ Aldosteron dan elektrolit urin
▪ T4, TSH
▪ Vitamin D
▪ Kortisol plasma, ACTH
▪ Uji supresi dengan deksametason

Terapi
Indikasi rawat inap:
➢ Semua penderita hipertensi sekunder
➢ Hipertensi essensial grade II
Penatalaksanaan
I. Terhadap Hipertensi:
A. Pengobatan Non Farmakologik:
1. Hipertensi Non Krisis
1.1 Pra-Hipertensi
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan pada anak
remaja dan adolescent dengan hipertensi esensial yang mengalami obesitas, yaitu
dengan cara :
➢ Diet rendah garam 1200-1500 mg/hari
➢ Menurunkan berat badan dengan mengatur diet
➢ Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda
➢ Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan
Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah beberapa
minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan farmakoterapi
(antihipertensi).
1.2.Hipertensi stadium 1
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke terapi
farmakologik.
B. Pengobatan Farmakologik
Indikasi pengobatan farmakologik :
a. Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non farmakologik
atau menjadi hipertensi stadium II.
Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik) atau obat
antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca channel blocker, dimulai
dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon, dosis dapat dinaikkan secara bertahap
sampai mencapai dosis maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi.
Sasaran pengobatan : menurunkan TD < 95 persentil, kemudian menurunkan TD <
90 persentil.
b. Hipertensi sekunder
Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus dicari dan
ditanggulangi.

28
c. Hipertensi Krisis
Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obat-obatan oral,
sedangkan pada penderita hipertensi emergensi digunakan obat-obatan parenteral.

Adapun obat antihipertensi oral yang sering dipakai pada anak sebagai berikut:
Dosis Maksimal
Nama Obat Dosis awal Interval
Maksimal dewasa
Diuretika
HCT 1 mg/kg/kali q12-24 jam 4 mg/kg/hari 50 mg/12-
Furosemid 1 mg/kg/kali q6-12 jam 12 mg/kg/hari 24jam
Spironolakton 1 mg/kg/kali q12-24 jam 3 mg/kg/hari 240 mg/4-6jam
100 mg/hari
Calsium channel blocker
Nifedipine 0,25 mg/kg/kali q6-8 jam 0,5 mg/kg/kali 20 mg/hari
Amlodipin 0,05 mg/kg/hari q24 jam 0,2 mg/kg/hari 0,6 mg/kg/hari
ACE inhibitor
Captopril 0,1-0,5 mg/kg/kali q8 jam 6 mg/kg/hari 50 mg/8 jam
Neonatus: 0,01 q8 jam Neonatus: 1
mg/kg/kali mg/kg/kali
Enalapril 0,08 mg/kg/kali q12-24 jam 1 mg/kg/hari 40 mg/hari
Lisinopril 0,07 mg/kg/kali q24 jam 1 mg/kg/kali 10-20 mg/hari
Angiotensin II receptor blockers (ARB)
Losartan 0,5 mg/kg/kali q24 jam 1,4 mg/kg/kali 100 mg/hari
Valsartan <6 thn: 5-10 mg q24 jam 80 mg/hari 80 mg/hari
>6 thn: 1,3mg/kg q24 jam 160 mg/hari 160 mg/hari
Penghambat adrenergik
Beta-blocker
Propranolol 0,2-0,5 mg/kg/kali q6-12 jam 2 mg/kg/kali 80 mg/kali
Alpha-blocker
Terazosin 0,02 mg/kg q12-24 jam 0,4 mg/kg/hari 20 mg/hari
Alpha-beta blocker
Carvedilol 0,08 mg/kg/kali q12 jam 0,75mg/kg/kali 25 mg/12 jam
Antiadrenergik
sentral 0,002 mg/kg/kali q8-12 jam 0,06mg/kg/kali 2,4 mg/hari
Klonidin

Efek samping yang perlu diperhatikan:


Kelas Obat-obatan Efek Samping

ACE inhibitor Enalapril Diare, mual, sakit kepala, rash, batuk, hipotensi
Lisinopril Diare, mual, muntah, dispepsia, sakit kepala, vertigo, batuk,

29
hipotensi
Captopril Batuk, diare, sakit kepala, mual, muntah, rash,
hiperkalemia, netropenia
Beta blocker Propanolol Vertigo, rash, akral dingin, bradikardi
Diuretik Hidroklortiazid Hipotensi, konstipasi, anoreksia, rash, purpura,
hipokalemia, hipomagnesia.
Furosemid Hipotensi, pankreatitis, jaundice, anemia, mual, rash.

Pengobatan Hipertensi Krisis (emergensi)


Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan obat
antihipertensi yang poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ target.
Obat-obat yang dapat digunakan antara lain klonidin (Catapres) dan furosemide, nifedipin
sublingual, nicardipine dan glyceryl trinitrate.

KLONIDIN DRIP:
Klonidin diberikan secara infus tetes dengan dosis 0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml
larutan glucosa 5% dengan kecepatan XII tetesan mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30
menit, sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg. Dosis maksimal 36 tetes/menit atau
0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi diberikan furosemid secara
IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Target tekanan darah 90-100 mmHg.Bila tekanan darah
diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali,
diberi 2-3 kali/hari. Bila Td D turun di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara
bertahap, sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diatas.

NIFEDIPIN SUBLINGUAL:
Jika anak sadar dapat diberikan nifedipin sublingual dimulai dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Jika
belum ada respon dosis dapat dinaikkan 0,1 mg/kg setiap 5 menit pada 30 menit pertama,
lalu setiap 15 menit pada 1 jam, selanjutnya tiap 30 menit. Dosis maksimal 10
mg/kali.Disertai furosemide intravena 1 mg/kg/kali, 2 kali sehari.
Bila tekanan darah diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis
maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari. Target TD diastole Bila tekanan darah diastolik
belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali, diberi 2-
3 kali/hari. Bila Td D turun di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara bertahap,
sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diastolik 90-100 mmHg. Jika tekanan darah
stabil dilanjutkan nifedipin rumatan 0,2-1 mg/kgbb/hari, 3-4 kali sehari.

OBAT-OBATAN LAIN:
Harus diberikan dengan pemantauan di ruang HCU / PICU.
Nicardipine. Diberikan dengan cara drip intravena kontinyu dengan dosis 1-3 mcg/kg/menit
(maksimal 250 mcg/menit)
Glyceryl trinitrate. Diberikan dengan cara drip intravena kontinyu dengan dosis 1-10
mcg/kg/menit (maksimal 400 mcg/menit)

Pengobatan hipertensi kronik

30
Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut, hanya saja
perbedaan interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang yaitu 2-4 minggu.
Pengobatan hipertensi akselerasi, penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat
parenteral tidak boleh terlalu cepat seperti pada hipertensi akut yang mengalami krisis.
Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6 jam pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu 1/3
lagi 12-36 jam dan sisanya 2-4 hari.

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab:


Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus:
1) Koartasio aorta
2) Stenosis arteri renalis
3) Tumor ginjal
4) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal.
Tindak lanjut
➢ Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada penderita hipertensi
essensial ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan tentang manfaat pengobatan non
farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
➢ Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan pengukuran
tekanan darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks/darah tepi
umumnya dilakukan saat penderita dirawat dan pada waktu pulang.
➢ Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila perlu setiap
3 jam sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah tepi dilakukan saat
penderita dirawat dan saat dipulangkan. Bagi penderita yang tidak menunjukkan tanda
kongesti vaskuler saat dirawat, foto thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja.
➢ Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu sebaiknya
penderita dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi vital, .jumlah cairan, efek
pengobatan terhadap penurunan tekanan darah dapat dilakukan secermat mungkin.
perlu pemantauan funduskopi, EKG, darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis,
BUN/kreatinin serum/elektrolit secara berkala). Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan
setelah tekanan darah terkontrol. Terhadap penderita ini perlu dicari komplikasi berat
yang mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis, gagal ginjal atau
infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita ensefalopati
hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila dengan pengobatan
antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi normal, akan tetapi kesadaran
penderita tidak membaik.
➢ Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur anatomi dari
ginjal dan saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.

Indikasi pulang
Keadaan umum, tekanan darah normal (< persentile ke-90), penyakit penyebabnya (pada
anak-anak) terbanyak penyebab hipertensi adalah GNA, gejala-gejala dari penyakit
penyebab cenderung menghilang. Penderita dinasehatkan untuk kontrol berobat ke poli
khusus ginjal anak.

Edukasi
Pengaturan pola makan dan melakukan olah raga secara teratur dan lakukan kontrol secara
teratur.

31
Prognosis
Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan komplikasi
dan penyakit yang mendasarinya.

Kepustakaan
1. Bernstein D. Systemic hypertension. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1592-8.
2. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation,
and treatment of high blood pressure in children and adolescents. Pediatrics.
2004;114:555-76.
3. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h.
242-89.
4. Awazu M. Epidemiology of hypertension. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, editors. Pediatric Nephrology. Edisi 7. New York:
Springer-Verlag, 2016:1907-50.
1. Redwine KM. Definitions of hypertension in children. Dalam: Flynn JT, Ingelfinger JR,
Portman RJ, editor. Pediatric hypertension. 2nd ed. New York: Humana Press, 2011:
147-58.
2. Yamaguchi I, Flynn JT. Patophisiology of hypertension. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, editors. Pediatric Nephrology.
Edisi 7. New York: Springer-Verlag, 2016:1486-1507.
3. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta 2002; IDAI: 242-90.
4. Soemyarso NA. Diagnosis hipertensi pada anak. Dalam: Soemyarso NA, Prasetyo
RV, Suryaningtyas W, editor. Hipertensi pada anak. Surabaya 2016; Airlangga
University Press: 15-36.
5. Ferguson MA, Flynn JT. Rational use of antihypertensive medations in children.
Pediatr Nephrol 2014;29:979-88.
6. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu ID,
Ng KH, editors. Pediatric nephrology on-the-go. Edisi 2. Singapore: Shaw-NKF-
National University Hospital Children’s Kidney Centre 2015: 79-92.

32
ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Acute Kidney Injury (AKI) atau diterjemahkan sebagai Gangguan Ginjal Akut (GgGA) adalah
suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan
akibat terjadinya penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan kreatinin.

Anamnesis
Tentukan penyebab AKI
1) AKI pra renal: riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan darah/plasma
(trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll.
2) AKI pasca renal: riwayat ISK berulang, nyeri pinAKIng, hematuria, riwayat batu, bila
berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa nyeri yang hebat pada waktu
berkemih, ada riwayat makan jengkol.
3) Bila penyebab AKI pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah
mencari etiologi AKI intra renal.
➢ Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti
faringitis/impertigo beberapa hari sebelum munculnya AKI, riwayat kemih berwarna
merah gelap.
➢ Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine berwarna merah gelap, ruam
pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia hemolitik mikroangiopati
dan trombositopeni menjurus kearah diagnosis SHU.
➢ Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria, sedang hematuria
dan piuria disertai sel epitel tubulus.

Pemeriksaan Fisik
1) AKI pra renal
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar, takikardi, tanda-
tanda gagal jantung kongesti (edema paru, kardiomegali, bising jantung).
2) AKI pasca renal
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan retensio urine (kandung kemih penuh),
terasa massa di ronAKI abdomen, atau terlihat ada kristal asam jengkol pada ofisium
urethra eksterna.
➢ Bila penyebab AKI pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya
adalah mencari etiologi AKI intra renal.
➢ Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan atau tanpa
hipertensi mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit, arthiritis, arthralgia,
nyeri perut, mengarah dugaan pada vaskulitis

Kriteria Diagnosis
• AKI oliguria: Volume urine pada seorang anak <240 ml/m2/24jam atau <10 ml/kgBB/jam
atau pada neonatus <1 ml/kgBB/jam, disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dalam waktu yang cepat.
• AKI non oliguria: Kadar ureum dan kreatinin serum naik dengan cepat namun volume
urine normal Laju filtrasi glomerulus diperkirakan dengan rumus (formula Schwart):

33
Klirens kreatinin = K x tinggi badan (cm)
kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K (konstanta) tergantung usia:
BBLR < 1th = 0,33
Aterm < 1th = 0,45
1-12 th = 0,55
Perempuan 13-21th = 0,57
Lelaki 13-21 th = 0,70

Diagnosis
Kriteria diagnosa berdasarkan tabel AKI RIFLE berikut ini :
Kriteria LFG Kriteria Oliguria Urin (OU)

RISK Kenaikan Skr x 1.5 atau penurunan LFG OU <0.5ml/kg/jam (selama 6


>25% jam)
INJURY Kenaikan Skr x 2 atau penurunan LFG OU <0.5ml/kg/jam (selama 12
>50% jam)
FAILURE Kenaikan Skr x 3 atau penurunan LFG OU <0.3 ml/kg/jam (selama
>75%, atau Skr ≥4 mg/dL (peningkatan akut 24 jam) atau anuria dalam 12
≥o,5 mg/dl) jam

LOSS Gagal ginjal akut menetap. Hilangnya fungsi ginjal > 4 minggu
ESRD End Stage Renal (ESRD)
Gagal ginjal terminal (GGT)
Penurunan fungsi ginjal > 3 bulan

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk etiologi AKI: Pra renal, renal atau pasca renal

Pemeriksaan Penunjang
1) AKI pra renal
Gambaran urine: osmolalitas urine > 500, BJ> 1,020, rasio osmol urine/plasma > 1,3, Na
urine < 20, fraksi ekskresi (FE) Na < 1
2) AKI pasca renal
Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal asam jengkol Pada
pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan adanya dilatasi sistem pelvicokalises.
Terapi
1. AKI pra renal
➢ Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan pengukuran
tekanan vena sentral (CVP) untuk mengevaluasi hipovolemia CVP normal = 6-10 cm
Hg. Bila CVP < 10 cm Hg à hipovelemia
➢ Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia. Pada GE +
dehidrasi berat diberikan Ringer laktat sesuai protokol. Pada syok hemoragik

34
diberikan transfusi darah. Syok pada sindroma nefrotik akibat hipoalbuminemia,
diberikan infus low salt albumin atau plasma. Pada dehidrasi yang etiologinya tidak
jelas diberikan RL 20 ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis biasanya terjadi 2-4 jam
pemberian tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan secara cepat
ini berguna untuk membedakan apakah AKI bersifat pra-renal atau intra renal.
Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis > 1 –3 ml/kgBB/jam.
➢ Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis paksa dengan
catatan penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi tetapi masih oliguria. Diberikan
furosemid dengan dosis 1 -2 mg/kgBB IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6 – 10
ml/kgBB/jam, AKI bersifat pra-renal, bila tidak AKI bersifat intrarenal. Bila
penyebabnya gagal jantung, terapi cairan tidak dianjurkan, karena akan menambah
beban jantung. Pengobatan yang diberikan adalah furosemid dan inotropik (dopamin,
digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3 mikrogram)/kgBB, secara infus tetes
guna meningkatkan aliran darah ginjal dan curah jantung

1. AKI paska renal


Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi, mungkin perlu
pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi.Obstruksi yang telah terkoreksi
dapat mengalami piuria dengan kemungkinan hipokalemia, hiponatremia, hipotensi
sampai kolaps. Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan

I. AKI intra renal/intrinsik


A. Terapi Konservatif
a. Restriksi cairan
Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss ditambah jumlah
urine 1 hari sebelumnya dikurang jumlah cairan yang keluar bersama muntah,
berak, slang nasogastric, dll ditambah kenaikan suhu setiap 1oC diatas 37,5oC
sebanyak 12% berat badan.
Perhitungan IWL didasarkan pada calori expenditure sesuai berat badan
• 0 –10 kg : 100 kal/kgBB
• 11 – 20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari diatas 10kg
• > 20 kg : 1500 –20 kal/kg/hari diatas 20 kg
• Jumlah IWL = 25 ml/100 kal.
Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur < 5 tahun =
30ml/kgBB/hari, anak umur>5 tahun = 20ml/kg/hari. Cairan sebaiknya diberikan
per oral, kecuali bila muntah
Jenis cairan yang digunakan:
• Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukusa 10% 3:1. Kalau menggunakan
vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%. Jumlah kalori minimal yang
diberikan untuk mencegah katabolisme 400 kkal/m2/hari.
• Bila terapi konservatif berlangsung > 3 hari pertimbangkan pemberian emulsi
lemak dan protein 0,5 - 1 g/kgbb/hari.. Pemberian protein dilakukan sesuai
dengan jumlah diuresis.
Fase diuresis:
Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis yang masif
harus mendapat penggantian cairan dan elektrolit yang sesuai
a. Asidosis metabolik

35
Asidosis melabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5 % sesuai dengan hasil
analisis gas darah. Yaitu akses basa (BE) x berat badan x 0,3 (meq) atau kalau
ASTRUP tidak ada dapat dengan koreksi buta 2-3 meq/kg/hari.
b. Hiperkalemia
Bila kadar kalium serum 5,5 - 7 meq/l perlu diberikan kayexalat 1 gr/kgBB per
oral/rektal 4 x sehari atau kalitake 3 x 2,5 gr/hari.
Kalium serum > 7 meq/l diberikan natrium bikarbonat 7,5% 2,5 meq/kgBB iv
dalam waktu 10-15 menit, dan kalsium glukonas 10% 0,5 ml/kgBB iv lambat-
lambat dalam 10-15 menit. Bila hiperkalemia masih ada diberikan glukosa 20%
(1cc/kgBB atau 0,5 g glukosa/kgBB) + insulin 0,1 U/kgBB per infus selama 30
menit, dan siapkan dialisis.
c. Hiponatremia
Hiponatremia karena hipervolemia pada pasien dengan kongesti cairan atau
edema biasanya cukup diatasi dengan retriksi cairan. Untuk koreksi hiponatremia
digunakan rumus = 0,6 x BB x (Na yang diharapkan - Na serum yang didapat)
meq/L.
Bila kadar natrium < 125 meq/l atau timbul gejala diperlukan koreksi dengan NaCl
0,3% (mengandung 513 mmol Na per liter). Besarnya perubahan kadar Na
plasma (mmol/l) oleh 1 L NaCl 3% dapat dihitung dengan rumus = (513 – Na
serum) / ( (0,6 x BB kg) + 1 ), kemudian dihitung volume NaCL 0,3% yang
diperlukan.Koreksi diberikan selama 24 jam.
d. Kejang
Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi terhadap penyebab
kejang (kejang pada AKI dapat disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau
uremia). Untuk kejang diberikan diazepan 0,3-0,5 mg/kgBB iv/rektal.Tetani karena
hipokalsemia diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10% 0,5 cc/kgBB IV
lambat-lambat.
e. Hiperfosfatemia
Diatasi dengan phosphat-binder seperti aluminium hidroksida 60 mg/kgBB
dibagai 3 dosis, atau dengan calcium karbonas 0,5 – 1 gram/hari (50
mg/kgBB/hari) yang diberikan bersamaan dengan makanan.
f. Anemia
Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau PRC.
g. Kongesti vaskuler
Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan furosemid IV dosis 1-2
mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau plebotomi, pemberian morfin 0,1 mg/kgBB.
Bila tidak berhasil dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis.
h. Infeksi
Harus ditanggulangi dengan antibiotika. Dosis obat disesuaikan dengan derajat
penurunan fungsi ginjal.
i. Hipertensi
Diatasi sesuai dengan PPK hipertensi.
j. Hiperurisemia
Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila terjadi peningkatan
diberikan alopurinol dengan dosis 100-200 mg untuk anak usia < 8 tahun dan
200-300 mg untuk usia diatas 8 tahun, dibagi 2 dosis.

B. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)

36
Terapi pengganti (dialisis) dilakukan atas indikasi tanda-tanda berikut ini, yang tidak
dapat diatasi dengan terapi medikamentosa:
a. Kadar Ureum darah > 200 mg/dl
b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l)
c. Bikarbonas plasma <12 meq/ l.
d. Gejala-gejala kongesti vaskuler
e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti pendarahan
penurunan kesadaran sampai koma.
Jenis terapi pengganti ginjal ini bisa berupa Hemodialisis atau Peritoneal Dialisa
(Lihat panduan tatalaksana Hemodialisa & Peritoeneal Dialisa)

Tindak lanjut
• Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital: tensi,
nadi, pernafasan, ritme jantung, suhu tubuh.
• Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala
• Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala
• Analisis gas darah bila ada
• Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam
• EKG secara serial
• Foto rontgen dada

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis AKI

Prognosis
Tergantung pada penyebab dan tatalaksana

Kepustakaan
1. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:490-
508.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Alatas H, Tambunan T,
editor. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta:2011:207-14.
3. Noer MS, Soemiyarso N, Prasetyo RV, Acute Kidney Injury. Dalam Naskah Lengkap
SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali,2009.
4. Chan WKY. Fluid and electrolyte disorders. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical
paediatric nephrology. Medcom Limited: Hong Kong: 2005:59-79.
5. Zappitelli M, Goldstein SL. Management of Acute Kidney Failure. Dalam : Anver ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.
1619 – 1628.

37
38
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Chronic Kidney Diseases (CKD) atau diterjemahkan sebagai Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik klinis, kimiawi maupun metabolisme
tubuh sebagai akibat menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif.
Dikatakan CKD jika terdapat salah satu dari kriteria di bawah ini yang menetap > 3 bulan:
A. Abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas histopatologi ginjal
B. LFG < 60 mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa gejala kerusakan ginjal yang lain yang
telah disebutkan.

Anamnesis
Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma, sesak nafas, anoreksia, mual,
muntah, hematemesis, pucat, bengkak, kencing sedikit.

Pemeriksaan Fisik
• Anemia, purpura
• Edema, hipertensi
• Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia.
• Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis
• Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia.
• Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer
• Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung

Kriteria Diagnosis
Ada 5stadium CKD berdasarkan penurunan LFG, yaitu:
Stadium GFR Deskripsi
(mL/menit/1.73 m2)
1 > 90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
4 15-29 Gagal Ginjal
5 <15 (atau dialisis)

Diagnosis
CKD beserta stadiumnya.

Diagnosis Banding

39
Diagnosis banding terhadap penyebab CKD

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah dan urin
• Radiologi
• Histopatologi

Terapi
A. Terapi Konservatif
Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga bila penderita jatuh
dalam stadium terminal dari perjalanan CKD, maka untuk mendapatkan dialisis dan
transplantasi ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan optimal.

1. Kebutuhan Kalori
Anak dengan CKD harus mendapat masukan kalori minimal 40-120 kkal/kgBB/hari.
Dapat dipakai patokan minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel-1. Rekomendasi Pemberian Kalori sehari-sehari pada anak


dengan insufisiensi Ginjal Kronik sesuai Umur
Usia Tinggi Energi Protein Kalsium Fosfor
(Cm) (kcal) (gr) (gr) (gr)
0-2 bln 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2
2-6bln 63 110/kg 2/kg 0,5 0,4
6-12bln 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5
1-2 th 81 1100 18 0,7 0,7
2-4th 98 1300 22 0,8 0,8
4-6 th 110 1600 29 0,9 0,9
6-8 th 121 2000 29 0,9 0,9
8-10 th 131 2100 31 1,0 1,0
10-12 th 141 2450 36 1,2 1,2
12-14 th L 151 2700 40 1,4 1,4
12-14 th P 154 2300 34 1,3 1,3
14-16 th L 170 3000 45 1,4 1,4
14-16 th P 159 2350 35 1,3 1,3
16-22 th L 175 2800 42 0,8 0,8
16-22 th P 163 2200 33 0,8 0,8

1. Kebutuhan protein

40
Pada anak dengan CKD pembatasan protein dimulai pada klirens kreatinin di antara
15-20 ml/men/1,73 m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan protein dapat
disesuaikan dengan usia dan KFG seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk anak dengan insufesiensi ginjal


Sesuai dengan Umur dan LFG
Usia 50-20 20-10 10-5
(120% RDA) (100% RDA) (100% RDA)
0-2 bln 2,6 g/kg 2,2 g/kg 1,6 g/kg
2-6 bln 2,4 g/kg 2 g/kg 1,5 g/kg
6-12 bln 2,1 g/kg 1,8 g/kg 1,5 g/kg
1-3 th 28 g 28 g 18 g
3-6 th 38 g 30 g 23 g
6-8 th 43 g 36 g 27 g
8-10 th 48 g 40 g 30 g
10-12 th L 54 g 45 g 34 g
12-14 th L 60 g 50 g 38 g
14-18 th L 72 g 60 g 45 g
10-14 th P 60 g 50 g 38 g
14 – 18 th P 66 g 55 g 41 g

1. Pembatasan air dan garam


Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat oliguria, edema, dan hipertensi atau LFG
turun < 15 ml/men/l,73m2, untuk mencegah intoksikasi air dan hiponatremia. Jumlah
air yang diperlukan adalah IWL + volume urin 1 hari sebelumnya.
Pada penderita CKD tanpa hipertensi umumnya diberikan diet rendah garam yaitu
natrium 1 meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila terdapat hipertensi dan
oliguria berat yaitu 0,5 meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung 400 mg
natrium atau 17 meq natrium)

2. Kalium
Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L, semua jenis makanan yang
mengandung kalium harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau, buah-buah,
kacang-kacangan, coklat dll. Bila kadar kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan
EKG maka harus segera diatasi seperti pada PPK AKI.

3. Asidosis metabolik
Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat berdasarkan hasil analisa gas darah
dengan rumus 0,3 x ekses basa (BE) x BB (kg). Dosis obat disesuaikan dengan
memantau kadar HCO3 atau ekses basa.

41
4. Mineral bone disease (CKD-MBD) atau Osteodistrofi renal
Untuk mencegah osteodistrofi renal pada anak dengan CKD tindakan yang perlu
dilakukan adalah:
• Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium yang dianjurkan adalah 500-1000
mg/hari.
• Mengurangi masukan protein dan produk susu yang kaya akan fosfat,
menghambat absorbsi fosfat dari dalam usus dengan pemberian pengikat fosfat
seperti aluminium gel atau calsium carbonat. Kadar fosfat dalam serum harus
diperiksa dan dipertahankan antara 4 –5 mg/dl.
• Pemberian vitamin D. Tergantung pada derajat gagal ginjal, kadar hormon
paratiroid (iPTH) dan kecurigaan pada tulang berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologis. Vitamin D3 diberikan dengan dosis 4000 – 40.000 U/hari atau vitamin
D3 aktif (calcitriol) 0,25 mcg/hari atau 40 ng/kg/hari. Selama pemberian obat,
kadar kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya hiperkalsemia akibat
efek samping vitamin D.

1. Hipertensi
Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti furosemid dan membatasi masukan
air dan garam. Target tekanan darah < persentil 90 untuk usia, jenis kelamin dan
tinggi badan. Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat antihipertensi secara oral.
Bila hipertensi berat sampai menimbulkan kerusakan organ target, diberikan
antihipertensi secara intravena. Hipertensi yang disertai proteinuria sebaiknya
diterapi dengan golongan ACE inhibor +/- angiotensin receptor blocker (ARB). Dosis
obat antihipertensi yang digunakan seperti PPK hipertensi.

1. Anemia
Menentukan penyebab anemia penting untuk tatalaksana. Pada CKD bisa terjadi
anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia campuran APK+ADB
(mixed), anemia karena uremia dengan pemendekan umur eritrosit, anemia karena
kehilangan darah saat dialisis, anemia karena toksisitas obat, dan lain-lain.
Bila Hb < 6 g/dl dan timbul gejala-gejala gangguan oksigenasi perlu diberikan
transfusi darah PRC dengan jumlah 5 - 10 m1/kgBB.
Bila anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi atau asam folat, diberikan zat besi
6 mg/kgBB/hari dan asam folat 0,25- 1 mg/hari.
Pada pasien yang tidak respon dengan pemberian oral, diindikasikan pemberian
besi intravena.
Pemberian eritropoietin (EPO) umumnya sudah diperlukan pada LFG <60
ml/menit/1,73m2 dengan dosis awal 50-75 IU/kgBB/kali, 2-3 kali/minggu, dan dapat
dinaikkan bertahap sesuai kadar Hb. Dosis rumat 100-200 IU/kg/minggu, dosis
maksimal 300 IU/kgBB/minggu.Target Hb rata-rata 11 g/dL.

5. Gangguan Pertumbuhan
Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit karena banyak faktor yang
berperan. Faktor yang dapat memberikan respon terhadap pengobatan antara lain
koreksi asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. Kadar bicarbonat harus
dipertahankan >22 mmol/L. Kontrol terhadap hiperfosfatemia dan vitamin D untuk
mencegah hiperparatiroidisme sekunder. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus

42
diusahakan sebaik mungkin, anoreksia harus diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli
gizi untuk menyusun diet yang cocok untuk selera anak. Di negara maju diberikan
terapi human recombinant growth hormone (rhGH).

6. Infeksi
Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil menunggu hasil biakan dan
sensitifitas dapat diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas. Dosis obat harus
disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.

B. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Berupa dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Lihat
panduan tatalaksana Hemodialisa atau Peritoneal Dialisa). Tindakan ini telah diperlukan
bila klirens kreatinin < 15 ml/mnt/1,73 m2, atau ada indikasi lain seperti tersebut pada
panduan tatalaksana AKI

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis CKD

Prognosis
Tergantung pada penyebab dan tatalaksana

Kepustakaan
1. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2002. h.509-30.
2. Sekarwana N. Chronic kidney diseases. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Alatas H,
Tambunan T, editor. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta:2011: 215-22.
3. Chiu MC, Yap HK. Pratcical paediatric nephrology. Medcom Limited: Hong Kong:2005.
4. Yap HK. Pediatric Nephrology on the go. Children’s Kidney Centre: Singapore:2015.
1. Voght BA, Avner DA. Toxic nephropathies – Renal failure. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jemson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16.
Philadelphia: Saunders; 2000. h.1766-1782.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. New
York: Oxford University Press; 2003. h.427-46.
3. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of Chronic Kidney Disease. Dalam: Anver
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009
h. 1661 – 1692

43
44
INFEKSI SALURAN KEMIH

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
ISK adalah infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme, terutama bakteri, dalam jumlah yang
bermakna, terutama bakteri gram negatif (terbanyak E.coli), bisa juga disebabkan bakteri
gram positif, virus dan jamur.

Etiologi
Kompleks, dipengaruhi banyak faktor: faktor host dan faktor mikroorganisme penyebab.
Faktor prediposisi antara lain: fimosis, refluks vesico-ureter, batu atau benda asing disaluran
kemih, jenis kelamin dll. Penyebaran melalui 2 cara:
a. Hematogen: fokus infeksi di tempat lain septikemia  pielonefritis.
b. Ascenden: flora usus uropatogenikkolonisasi di perineal & uretra anterior  buli-buli
 menembus barier mukosa normal  sistitis  adanya faktor predisposisi (virulensi
bakteri atau faktor pejamu) pielonefritis. Pielonefritis  urosepsis/refluks intra renal 
skar ginjal  gagal ginjal kronis/hipertensi.

Anamnesis
• Sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi peradangan, letak infeksi (ISKatas
atau bawah) dan umur pasien.SEbagian anak merupakan asimtomatik.
• Pada neonatus, gejala klinik tidak spesifik, seperti: apati, anoreksia, ikterus atau
kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermi, tidak mau minum, oliguria, iritabel atau
distensi abdomen.
• Secara umum, adanya gejala demam, sakit pinggang, disuria, urgensi,
frekuensi,polakisuria, riwayat urin berpasir/keluar batu.
• Gejala ISK berat (demam tinggi, muntah, sepsis, kejang), kuning (pada neonates atau
bayi kecil).
• Faktor predisposisi (higene, konstipasi, infeksi sistemik, imunokompromised)

Pemeriksaan Fisik
Demam, nyeri tekan supra pubik, nyeri ketok kostovertebra, pucat

Kriteria Diagnosis
Langkah diagnosis
• ISK asimtomatis diketahui pada skrining
• ISK simtomatis: anamnesis dan pemeriksaan fisik umum. Khusus pada neonatus perlu
ditanyakan riwayat kehamilan dan persalinan dan faktor risiko infeksi lainnya.
• Pemeriksaan penunjang: lekosituria, pengecatan Gram, kultur dan uji resistensi, darah
tepi, CRP, dan urinalisis lengkap, ureum dan kreatinin.
• Radiologi: USG dan MCU bila ada kelainan dilanjutkan dengan IVP
Dasar diagnosis
➢ Bakteriuria bermakna: didapatkan koloni kuman >100.000 koloni/ml urin pada
pengambilan urin secara pancaran tengah, atau beberapa kuman saja pada
pengambilan sampel urin secara SPP

45
➢ ISK asimpmtomatik: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis pada anak
sehat atau tanpa gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan biasanya tidak menimbulkan
kerusakan ginjal, kecuali pada wanita hamil kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK
simtomatik.
➢ ISK simtomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik
➢ ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai pielonefritis
dengan gejala utama demam dan sakit pinggang.
➢ ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan gejala utama
berupa gangguan terbatas miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan
(urgency).
➢ ISK ringan: gejala ringan, panas (-).
➢ ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah, diare, pada
neonatus sesuai dengan tanda-tanda sepsis.
➢ ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya.
➢ ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun fungsional
➢ ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik maupun
fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran
kemih, buli-buli neurogenik dan sebagainya.
➢ ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis
kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan dapat
timbul antara 1 sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.
➢ ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis
kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.

Diagnosis Banding
ISK berdasarkan lokasi : ISK atas (pielonefritis) atau ISK bawah (sistitis)

Pemeriksaan Penunjang
1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu
pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV)
atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan
penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik
maka PIV lebih disarankan.
2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK
pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di
atas.
3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja
tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan
dan biakan urin bila ada demam.
− Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan
MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun
refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada
anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi
radionuklid.
− Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax

46
Terapi
• ISK asimtomatis/simtomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas.
• Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK diobati dengan antibiotika oral
Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau Trimetoprim/ Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
8/40mg/kgBB/hari. Setelah kultur datang diobati sesuai hasil tes sensitivitas selama 10-14
hari.
• ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi
• Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi

Indikasi rawat
ISK berat atau ISK dengan penyulit

Tindak lanjut
Selama perawatan urinalisa dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali seminggu. Dua
hingga tiga hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan ulang,bila biakan steril obat
diteruskan,bila biakan masih positif atau kondisi penderita tidak membaik obat diganti. Untuk
mendeteksi infeksi ulangan dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila
positif diobati sesuai dengan hasil tes sensitivitas.Jika hasil kultur urin steril maka kultur urin
selanjutnya dilakukan sekali sebulan dalam 6 bulan pertama, kemudian sekali 2 bulan untuk
6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2 dan ke-3. ISK simtomatis berat segera
dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal. Untuk yang ringan atau simtomatis
pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan setelah pengobatan selesai dengan indikasi: semua
anak <3 tahun, semua anak laki-laki, semua anak perempuan yang mendapat ISK berulang.
Kalau infeksi berulang obati dengan antibiotika sesuai hasil tes sensitivitas dilanjutkan
dengan AB profilaksis Kotrimoksazol 2 mg/kgBB/hari dosis tunggal malam hari minimal 6
bulan. Refluks berat dengan atau tanpa kelainan obstruksi konsul bedah urologi.Skar
pielonefritik atau refluks sedang  AB profilaksis, kemudian ulangi IVP/MCU. Jika menjadi
berat, konsul urologi untuk tatalaksana bedah.
Kontrol berkala ureum dan kreatinin (3-6 bulan), kalau terjadi gagal ginjal dan hipertensi.
Indikasi pulang
Keadaan umum baik, gejala klinis ISK hilang, kulltur setelah 1 minggu pengobatan selesai
steril dan fungsi ginjal normal.

Edukasi
Pencegahan infeksi atau pencegahan infeksi berulang dengan menyelesaikan pengobatan
sesuai petunjuk dan mengenali faktor predisposisi (hygiene, pemakaian kateter, mencegah
konstipasi, pemakaian diapers, pasien imunokompromis), upaya mendeteksi penyulit atau
kelainan anatomis

Prognosis
ISK non komplikata dan belum disertai komplikasi prognosis baik. ISK komplikata atau yang
sering kambuh akan berlanjut menjadi CKD kemudian hari.

Kepustakaan
1. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2002. h. 142-63..

47
2. Rusdidjas, Ramayati R, Tambunan T, dkk. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Noer MS,
Soemyarso NA. Kompendium Nefrologi Anak. Edisi pertama. Jakarta 2011 h. 131-138
3. Pardede SO, Taralan T, Husein A, Partini PT, Eka LH. Konsensus infeksi saluran kemih
pada anak. UKK Nefrologi IDAI: Jakarta 2011.
4. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinari Tract Infection. Dalam: Anver ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed Vol-2. Berlin 2009 h. 1299 –
1310.

48
BATU SALURAN KEMIH

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Batu saluran kemih berarti terdapat pembetukan batu di ginjal dan saluran kemih. Jika
terdapat pada ginjal disebut batu ginjal (nefrolitiasis), jika terdapat di buli-buli disebut batu
buli (vesikulolitiasis).

Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan penyakit, pola makanan,
pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga). Batu ginjal
memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial atau bila batu berubah posisi. Gejala klinik:
• Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang
• Kolik ginjal
• Hematuri makroskopik atau mikroskopik
• Piuria
• Mual, muntah dan kembung
Pemeriksaan fisik
nyeri abdomen, kolik ginjal, hematuri, dll
Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen, USG, Pielografi Intravena)
c. Pemeriksaan darah
d. Analisis batu

Diagnosis Banding
Batu ginjal, batu buli-buli

Terapi
Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan oleh 5 faktor yaitu ketepatan
diagnosis, lokasi batu adanya infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat kerusakan
fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat.
Terapi dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah,
infeksi telah dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan.
• Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada penyakit/keadaan yang mendasari
terbentuknya batu).
• Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit yang hebat, mengusahakan agar
batu keluar spontan, disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu)
• Tatalaksana bedah untuk pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal shock
wave lithoptripsy) menggunakan gelombang untuk meretakkan batu, atau dengan cara
pembedahan (pielolitotomi atau nefrektomi).

Edukasi
Upaya pencegahan pembentukan batu berulang

49
Prognosis
Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan terapi yang diberikan, tetapi
tingkat berulang kembali biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati.

Kepustakaan
1. Trihono PP, Pardede SO. Batu saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P,
Pardede S, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. h. 212 – 30.
2. Elder JS. Urinary lithiasis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.1822-6.
3. Jones C, Mughal Z. Disorders of mineral metabolism and nephrolithiasis. Dalam: Webb N,
Postlethwaite RJ. Clinial Pediatric Nephrology. Edisi ke- 3. New York: Oxford University
Press, 2003. h. 73-102.
4. Trihono PP. Batu Saluran Kemih. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk.
Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 147 – 153.
5. Chaturvedi S, Liu ID, Ambarsari CG, K Prabhakaran and Yap HK. Urolithiasis And
Nephrocalcinosis. Dalam : Yap HK, Liu ID, Ng KH. Pediatric Nephrology On the go 2 nd
Ed. Singapore 2015, hal. 147 – 161.
6. Miliner DS. Urolithiasis. Dalam: Anver ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds.
Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h. 1405 - 1430

50
KERACUNAN JENGKOL

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana, Dahler Bahrun

Pengertian
Keracunan jengkol adalah keracunan yang memakan buah jengkol yang menimbulkan
gejala-gejala klinis gejala kerusakan ginjal yang lain yang telah disebutkan.

Kriteria Diagnosis
Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut, muntah, disuria, pernafasan dan urin
berbau jengkol yang khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan kristal asam
jengkol dalam urin yang merupakan kriteria diagnostik yang cukup spesifik.

Langkah diagnosis
• Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung diagnosis
• Cari ada komplikasi

Anamnesis
Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3 tingkatan yaitu:
A. Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna merah
B. Berat, bila disertai oliguria
C. Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda Acute Kidney Injury yang nyata.

Pemeriksaan Fisik
Anemia, bau nafas khas, pernafasan kussmaul, retensi urin

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
• Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal asam jengkol
• USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda
hidronefrosis akibat obstruksi

Tata laksana
Penanganan Medis
1. Ringan : diberikan minum yang banyak dengan penambahan air soda atau tablet sodium
bikarbonat kira-kira 1-2 meq/kgbb/hari atau sebanyak 1-2 gram/hari .
2. Berat : ditandai dengan oligouria/anuria maka penderita harus dirawat dan ditangani
sebagai kasus Acute Kidney Injury.
• Bila ditandai dengan retensi urin maka dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas
dengan larutan sodium bikarbonat 1,5%.
• Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgbb, sebaiknya disesuaikan dengan hasil
analisis gas darah (sesuai PPK AKI).
• Diuretik furosemid diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.
• Bila cara-cara diatas belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis
maka perlu dilakukan tindakan dialisis segera.

51
Tindakan Bedah
Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat kesulitan pemasangan katater, pada
retensi urin, dilakukan tindakan punksi buli-buli dengan jarum sayap ukuran besar atau jarum
sistofik no. l5 F, satu jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45°. Selanjutnya
dilakukan pembilasan kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup. Bila
terdapat edema atau infiltrat urin di daerah batang penis atau skrotum dapat dilakukan
tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis keracuan jengkol

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan sebesar 6% penderita meninggal dunia
sebab akibat Acute Kidney Injury

Kepustakaan
1. Taralan Tambunan, Keracunan Jengkol. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,
Jakarta, 2002:231-241
2. Munadjat R. Sadatun. Soal keracunan jengkol. Maj Kedokt Indones. 1963;12:51-5
3. Suharjono, Sadatun. “ Djengkol” intoxication in children. Pediatr Indones. 1968;8:20- 9.
4. Tambunan T. Masalah keracunan pada anak. Naskah lengkap KPPIK X/FKUI. Jakarta:
FKUI; 1979. h. 32-40.

52
HEMODIALISA

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Pengertian
Hemodialisis (HD) adalah: Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari
darah, melalui membran semipermeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan
selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat.

Indikasi HD
A.   Dialisis Akut
Indikasi: tergantung dari progresivitas dan beratnya penyakit. Dialisis akut dilakukan pada
GGA bila disertai gejala:
• Kelebihan cairan, seperti pada edema paru, CHF, hipertensi yang resisten terhadap
obat hipertensi, dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria.
• Keadaan serius yang mengancam hidup atau gangguan metabolik yang tidak dapat
dikontrol dengan obat.
B.    Dialisis Kronis
Pada pasien Gagal Ginjal Terminal. Pada umumnya dilakukan secara efektif bila klirens
kreatinin menurun sampai 0,10-0,15 ml/menit/kgBB, atau 5-10 ml/menit/1,73 m2. Namun
dialisis harus dilakukan lebih dini bila ditemukan osteodistrofi ginjal, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan atau timbul komplikasi akut seperti hiperkalemia yang tidak terkontrol,
kelebihan cairan, perikarditis, ensefalopati uremik dan neuropati uremik.

Persiapan Hemodialisa:
1. Pasien
a. Persiapan mental
• Memberitahu pada pasien bahwa akan dilakukan HD
• Memberi penjelasan dan motivasi mengenai proses HD dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama HD. 
b. Persiapan fisik: berat badan, keadaan umum, vital signs, laboratorium
b. Mengisi persetujuan untuk hemodialisa (informed consent)
2. Mesin Hemodialisa
2. Dialisat: adalah cairan yang digunakan pada proses HD, terdiri dari campuran air dan
elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan
mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Komponen-komponennya:
• Bufer bikarbonat
• Kalsium dengan kadar rendah (1.25 mmol L-1) atau standar
• Konsentrasi glukosa pada kadar fisiologis
• Kontrol kualitas dialisat (germ dan endotoksin) 
Fungsi Dialisat:
• Mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh.

53
• Mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.
4. Alat-alat dan obat.
a. Alat-alat:
• dyalizer (sesuai luas permukaan tubuh),
• blood line (sesuai permukaan tubuh),
• alat untuk akses vaskular seperti AV fistula, chronic double lumen (CDL)
a. Obat-obatan:
• lidokain, betadin, heparin, dll. 
• Premedikasi: manitol, phenobarbital
• Priming atas indikasi: albumin, NaCl, transfusi

Proses Pelaksanaan Hemodialisa


1)   Menyiapkan Akses vaskular
Untuk menghubungkan sirkulasi darah dari mesin dengan sirkulasi sistemik.
a. Akses vaskular sementara: digunakan pada pasien GGA atau GGK sementara
menunggu akses tetap dapat dipergunakan, atau pada pasien dialisis peritonel dan
transplantasi yang memerlukan HD sementara.
1. Kanulasi vena perkutan (vein to vein catheterization)
2. Pirau ateriovenosa
b. Akses vaskular tetap:
1. Fistula arteriovenosa
2. Arteriovenosa graft
2)   Antikoagulansia, yaitu obat yang diperlukan untuk mencegah pembekuan darah selama
hemodialisa.
a. Heparin: - Dosis initial: 10-20 IU/kg
- Continuous infusion: 20-30 IU/kg/jam (500-2000 IU/jam)
b. Low molecular weight heparin: - Dosis initial: 1 mg/kg/bolus atau 25-100 IU/kg

3) Menyiapkan Prescription/setting HD
Frekuensi HD: 2-3 x/minggu dengan lama/durasi: 3-4 jam/sesión
1. Ultra Filtration Goal (UFG)
- Standar penurunan BW 1,5-2%/jam
- Tidak lebih dari 5% BW loss per whole session
- Memperhatikan berat badan kering pasien.
2. Ultra Filtration rate (UFR)
- Tidak melebihi 1,5 ±0,5% BW/jam
3. QB
- Extracorporeal blood flow rate harus cukup untuk mencapai target UFG
- Pada anak, QB= (BW(kg) + 10)x2,5 ml/min
- Total extracorporeal blood flow rate harusnya kurang dari 10% TBV (Total Blood
Volume), biasanya 8 ml/kg atau 150-200 ml/min/m2 (5-7 ml/min/kg)
- Dialisis session pertama: QB = 90 ml/m 2 atau 3 ml/kg atau di bawahnya dengan
durasi tidak lebih dari 3 jam
4. QD
- Biasanya dalam range 300-800 ml/min (umumnya 500 ml/min)
5. Urea dyalitic Reduction Rate (URR)
URR= ratio post/pre HD, harusnya ≤ 0,35

54
URR= (selisih pre – post)/pre, harusnya ≥ 0,60
2. Kt/v mínimum target 1,2-1,4 Kt/v

Monitoring Hemodialisa:
Selama hemodialisa dilakukan monitoring tanda vital, seperti:
1. Arterial Blood Pressure
- Dimonitor dan dipertahankan antara 150-200 mmHg (tidak kurang dari
-150 mmHg)
2. Venous Return Pressure
- Dimonitor dan dipertahankan tidak melebihi +200 mHg)

Contoh: HD untuk anak 20 kg (6 tahun)


HD 1: - QB= 3 ml/kg  60 ml
- Atau QB= (BW+10)x2,5  75
- UFR= 1-2% BW/jam  200-400 ml/jam
- UFG max 5% BW  1000 ml
- Heparin loading = 10-20 IU/kg  400 IU
- Continuous heparin= 20-30 IU/kg/jam  500 IU/jam  1500 IU/3 jam
- Durasi: 3 jam
HD selanjutnya, frekuensi 3 x/mgg
- QB dinaikkan bertahap 5-7 ml/min/kg  100-140 ml/min

Komplikasi HD
1. Hipotensi: adalah komplikasi HD yang tersering karena volume darah pada anak
relatif lebih sedikit. Kondisi ini ditandai dengan mual-muntah yang tiba-tiba, kejang
perut dan takikardi. Hipotensi dapat diatasi segera dengan memberikan bolus cairan
infus plasma ekspander seperti: NaCL fisiologis, albumin atau manitol.
2. Sindrom disekuilibrium, yaitu: kumpulan gejala neurologis dan sistemik yang timbul
selama atau segera setelah HD. Manifestasi dini adalah: gelisah, sakit kepala, mual,
muntah, pandangan kabur dan twitching. Sindrom ini dapat dihindari dengan
mengurangi kecepatan pengeluaran zat-zat terlarut dengan mengurangi kecepatan
aliran darah dan membatasi lama dialisis, atau dengan memberi manitol.

Follow up Jangka Panjang


 Pengawasan jangka panjang setiap pasien HD reguler sangat penting karena HD reguler ini
dapat mempengaruhi kualitas hidup optimal. Pengawasan tersebut berhubungan dengan
aspek medis, social dan professional, psikologis.
1.     Aspek medis
Gangguan endokrin, malnutrisi, defisiensi imun, anemia, gangguan system
kardiovaskuler dan metabolisme.
2.     Aspek sosial
3.     Aspek psikologis
Sering terjadi perubahan kepribadian, cenderung depresi, dsb.

Kepustakaan

55
1. HK Yap, KH Ng, LPR Resontoc, KP Santhe. Hemodialysis. Dalam: Yap Hui-Kim, Liu
Isaac Desheng, Ng Kar-Hui, Penyunting. Pediatric Nephrology On The Go. Second
Edition. Singapore: Children’s Kidney Centre; 2012. h.395-409
2. Goldstein SL. Prescribing and monitoring hemodialysis for pediatric patients. Dalam:
Warady BA, Schaefer F, Alexander SR, eds. Pediatric dialysis. 2nd ed. London:
Springer, 2004. Hal: 313-20.

56
ASIDOSIS TUBULUS RENAL (ATR)

Hertanti Indah Lestari

Batasan
Asidosis tubulus renal (ATR) adalah sekelompok gangguan fungsi tubulus yang ditandai
gangguan reabsorbsi HCO3-, atau sekresi ion H+ atau keduanya, yang menyebabkan
kelainan berupa asidosis metabolik hiperkloremia dengan senjang anion normal. Gambaran
umum tergantung tipe ATR antara lain bikarbonaturia, berkurangnya ekskresi asam dan
ammonia, normokalemia, hipokalemia, atau hiperkalemia, gagal tumbuh, poliuria. Kelainan
ini bisa diturunkan atau didapat.

Klasfikasi
Tipe ATR dinamai berdasarkan lokasi kelainannya di sepanjang tubulus ginjal
• ATR tipe I (distal)
• ATR tipe II (proximal)
• ATR tipe IV (hiperkalemik)
Catatan: Klasifikasi lama menyebutkan ATR tipe III yaitu tipe gabungan antara I dan II,
sekarang tidak dipakai lagi.

ATR tipe I (distal)


• Disebabkan oleh berkurangnya sekresi asam di tubulus distal
• Etiologi ATR distal:
A. ATR distal primer
a. Persisten
- Klasik (sporadik atau diturunkan secara autosomal dominan atau
resesif)
- Dengan tuli sensorineural (autosomal resesif)
- Dengan kehilangan bikarbonat (pada bayi dan anak kecil)
- ATR tipe distal inkomplit
b. Transien (pada neonatus dan bayi)
B. ATR distal sekunder
▪ Berhubungan dengan sindrom kelainan genetik (penyakit sickle-cell, ovalositosis
herediter, penyakit Wilson, hiperoksaluria primer tipe I, hiperplasia adginjal
kongenital)
▪ Kelainan metabolisme kalsium (hiperparatiroidism primer, hipertiroidism
hiperkalsemia, intoksikasi vitamin D, hiperkalsiuria idiopatik dengan
nefrokalsinosis, hipomagnesemia-hiperkalsiuria familial )
▪ Sindrom disproteinemik (hipergammaglobulinemia, krioglobulinemia, amiloidosis)
▪ Penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjorgen, hepatitis aktif
kronik, sirosis biliari primer, artritis reumatoid, dan lain-lain)
▪ Penyakit ginjal (nefropati obstruktif dan refluks, nefropati Balkan, rejeksi transplan)
▪ Keadaan hiponatriurik (sindrom nefrotik, sirosis hepatik)
▪ Obat dan toksin (amfoterisin B, litium, analgesik, amiloride, trimetoprim, dan lain-
lain)
▪ Manifestasi klinis:

57
− Hipokalemia disebabkan oleh kehilangan K+ melalui urin sebagai kation pengganti
untuk H+
− Hiperkalsiuria yang disebabkan oleh peningkatan pelepasan kalsium oleh tulang
sebagai buffer.
− Peningkatan pH urin, peningkatan kadar kalsium darah, dan tidak jarang terdapat
nefrokalsinosis dan nefrolitiasis.
• Diagnosis ATR tipe I jika didapatkan asidosis hiperkloremik SA normal, pH urin yang
tinggi (>5,5), kadang berhubungan dengan letargi, muntah, dehidrasi

ATR tipe II (PROKSIMAL)


• ATR tipe II disebabkan oleh penurunan ambang reabsorpsi bikarbonat (Tm) di
tubulus proksimal sehingga terjadi kehilangan bikarbonat ke dalam urin.
• Ambang reabsorbsi bikarbonat dapat turun menjadi 15mEq/L (15mmol/L). Pada
kelompok ini, jika melewati ambang batas tersebut maka tidak terjadi lagi reabsorbsi
bikarbonat.
• Bikarbonat hampir seluruhnya difiltrasi, sehingga dengan adanya defek ini
akan menyebabkan kehilangan bikarbonat yang besar.
• Jika bikarbonat serum turun sampai kurang dari 14-15 mEq/L (14-15 mmol/L) maka
mencapai ambang sehingga ginjal mulai dapat memproduksi urin yang asam. Dengan
demikian biasanya ATR proksimal lebih ringan dibandingkan tipe distal
• Diagnosis ATR tipe II ditegakkan dengan didapati keadaan asidosis metabolik
dengan pH urin < 5,5

ATR TIPE IV (HIPERKALEMIA)


• ATR tipe IV adalah sekelompok kelainan yang ditandai dengan asidosis dan
hiperkalemia
• Etiologi:
- Hipoaldosteronisme dengan renin rendah, misalnya pada uropati obstruktif, nefritis
lupus, transplantasi ginjal
- Hipoaldosteronisme dengan renin tinggi, misalnya defek adginjal primer (21OH-
defisiensi), atau akibat obat ACE inhibitor, siklosporin
- Resistensi aldosteron sekunder karena obat yang bersifat antagonis terhadap
aldosteron, misalnya diuretika (amilorid, spironolakton), siklosporin
- Resistensi aldosteron primer karena genetik, yaitu Pseudohipoaldosteronisme (PHA)
tipe I dan II 
- Pada neonatus, kelainan seperti hyperplasia adrenal congenital atau cedera adrenal
oleh sebab apapun dapat menyebabkan ATR hiperkalemik.

Langkah diagnosis
Diagnosis ATR ditegakkan dengan:
a. analisis gas darah (pH, bikarbonat, dan defisit basa)
b. melihat senjang anion plasma:
• SA meningkat menunjukkan adanya produksi asam yang berlebihan (ketoasidosis,
asidosis laktat, intoksikasi salisilat) atau akibat pengeluaran asam yang menurun
(gagal ginjal akut maupun kronik)
• SA normal atau negatif biasanya terdapat pada gangguan saluran cerna (diare) atau
pada ATR

58
c. Membedakan tipe ATR: perlu diperiksa senjang anion urin, pH urin & kadar K plasma
• SA urin biasanya hampir nol atau positif
• ATR proksimal
❖ SA urin negatif (Na + K) < Cl atau normal
❖ pH urin <5,5
❖ Hipokalemia
• ATR distal
❖ SA urin positif (Na + K) > Cl
❖ ekskresi NH4+ tinggi
❖ pH >5,5
• ATR tipe IV (hiperkalemia)
❖ SA urin positif (Na + K) >
Cl
❖ eksresi NH4+ rendah
❖ pH<5,5

Karakteristik Tipe I (Distal) Tipe II (Proksimal) Tipe IV


Defek primer Penurunan sekresi Penurunan reabsorbsi Defisiensi/
H+ di tubulus distal HCO3- di tubulus resistensi
proksimal aldosteron
pH urin pada >5,5 <5,5 <5,5
keadaan asidosis (bisa tinggi pada awal
penyakit)
Kadar HCO3- serum Bisa < 10 >15 >15
(mmol/L)
Fraksi ekskresi < 5% >15-20% selama <5%
HCO3- banyak beban HCO3-
Kadar K+ serum ↓ / ↓↓ N/↓ ↑
Nefrokalsinosis + - -
Gagal tumbuh + + +

Tatalaksana
Tipe I (Distal)
▪ Bikarbonat dosis rendah 1-3 mEq/kg/hari
▪ Koreksi K
▪ Pada tipe yang didapat, koreksi gangguan yang mendasari
Tipe II (Proksimal)
▪ Bikarbonat 10 mEq/kg/hari (5-20 mEq/kg/hari) Suplementasi kalium jika terdapat
hipokalemia.
▪ Terapi tambahan HCT 1,5-2 mg/kg/hari dapat mengurangi kebutuhan basa
▪ Terapi spesifik diperlukan jika ada penyebab yang mendasari
▪ Suplementasi fosfat dan vitamin D
▪ Modifikasi diet

59
Tipe IV
▪ Terapi hiperkalemia dengan pemberian diuretika (furosemide), kalsium dan insulin/glukosa.
▪ Jika diperlukan pemberian mineralokortikoid.
▪ Suplementasi basa untuk mengkoreksi asidosis metabolik (kalau perlu), dengan terlebih
dulu melakukan penanganan pada hiperkalemia

Daftar Pustaka
1. Hui J. Renal Tubular Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, eds. Practical Paediatric
Nephrology. Hongkong, 2005 : hal.196-208.
2. Quigle R. Renal Tunular Acidosis. Dalam : Anver ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, eds. Pediatric Nephrology. 6th Ed. Berlin, 2009: hal. 979-1003.
3. Ambarsari CG, Chaturvedi S, Liu ID and Yap HK. Renal Tubular Asidosis. Dalam: Yap
HK, Liu ID, Ng KH. Pediatric Nephrology On-The-Go. 2nd Ed. Singapore, 2015: hal. 129-
145.
4. Pardede SO, Trihono PP, Tambunan T. Gambaran klinis asidosis tubulus renalis pada
anak. Sari Pediatri 2003;4:192-7.
5. Sreedharan R, Avner ED. Renal tubular acidosis. In: Nelson Textbook of Pediatrics. 19th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.1808-11.
6. Tambunan T. Tubulopati. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO,
penyunting, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
H.470-89.

60
INKONTINENSIA URIN

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Proses berkemih yang normal memerlukan seluruh komponen sistem saluran kemih bagian
bawah yang normal dan terkoordinasi, meliputi otot detrusor, leher buli-buli dan sfingter
uretra eksterna, yang berperan dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam
buli-buli.
Secara fisiologis diperlukan 4 syarat berkemih secara normal yaitu: 1) kapasitas buli-
buli yang adekuat; 2) pengosongan buli-buli yang sempurna; 3) proses pengosongan
berlangsung di bawah control yang baik; 4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak
berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal.
Pengaturan persarafan berkemih meliputi susunan saraf pusat (korteks, pons), dan
sistem saraf tepi (simpatik pada T10-L1, parasimpatik dan persarafan somatik pada S2-S4).
Lesi pada sepanjang jalur saraf ini akan menyebabkan gangguan kandung kemih dan
inkontinens. Kontrol persarafan ini diperlukan saat tertidur dan sadar, sebagai respons
rangsangan tegangan kandung kemih.
Kandung kemih menyimpan urin secara efektif dengan peningkatan volume urin secara
lambat dan tekanan yang stabil. Kapasitas kandung kemih meningkat sesuai usia, untuk
anak usia 0-8 tahun, perkiraan kapasitas (usia + 1) x 30 ml. Berkurangnya kapasitas
kandung kemih (secara anatomi berkurang atau secara fungsional) menimbulkan
penyimpanan volume urin yang lebih sedikit dari normal dan predisposisi menjadi ngompol.
Ketika kapasitas kandung kemih telah tercapai, seseorang dapat merasakannya,
dalam kondisi normal akan memulai proses berkemih dengan relaksasi sfingter eksterna dan
otot dasar panggul sebelum kontraksi detrusor, mengeluarkan urin dengan aliran yang lancar
sampai selesai.
Gangguan berkemih yang berat menyebabkan aliran urin terhambat secara terus-
menerus dan terjadi peningkatan tekanan dalam kandung kemih, vesicoureteric junction
terbuka, menyebabkan reflux urin ke atas. Reflux ini menyebabkan infeksi saluran kemih
berulang dan kerusakan ginjal.

Beberapa terminologi gangguan berkemih pada anak:


Terminologi Definisi Manifestasi klinis
Urinary incontinence Keluarnya urin dari uretra Tidak dapat diterima secara
secara involunter sosial
Tanda neuropatik bladder
Primary nocturnal enuresis Basah selama tidur pada Biasanya dikatakan
(PNE) usia diatas 5 tahun dan tidak bermakna bila mengompol
pernah kering selama lebih terjadi 2 kali atau lebih dalam
dari 6 bulan 1 minggu.
Terdapat subgroup:
- Monosimptomatik
- Polisimptomatik
Secondary nocturnal Mengompol terjadi lagi Bisa dipengaruhi oleh stress,
enuresis (SNE) setelah masa kering lebih infeksi saluran kemih,

61
dari 6 bulan poliuria.
Sekitar 20% pengompol
mengalami secondary NE
Primary monosimptomatic Mengompol tanpa gejala Paling banyak terjadi
NE (PMNE) siang hari dan tanpa Insiden 6-7% dari anak usia
penyakit fisik 7 tahun, lebih banyak pada
anak laki dibanding wanita
Polysymptomatic NE Mengompol diperburuk 20-30% anak dengan NE
(PSNE) dengan gejala urgensi siang memiliki gejala siang hari
hari dengan/atau tanpa urge yang harus diterapi terlebih
incontinence dahulu
Urge syndrome/ Urge untuk berkemih yang Sebagian besar kering pada
Urge incontinence sering bersamaan dengan malam hari
(overactive bladder) basah. Insiden 20% pada anak
Sering tampak maneuver sekolah; 2% basah 2 kali
menahan seperti berjongkok. atau lebih per minggu
Dysfunctional voiding Berkemih yang tidak Dapat menyebabkan
terkoordinasi karena morbiditas yang bermakna :
overaktif sfingter eksterna - ISK berulang
dan otot dasar panggul - VUR sekunder
dengan aliran kemih yang - Renal scarring
terhambat, pemanjangan - Berkaitan
waktu berkemih, dan dengan konstipasi
pegosongan yang tidak
sempurna

Definisi
Definisi inkontinensia urin berdasarkan The International Continence Society adalah suatu
keadaan pengeluaran urin yang involunter, kencing tidak lancar dan tidak lampias, secara
objektif dapat diperagakan. Pengeluaran urin terjadi tanpa dapat dikendalikan meskipun
pasien berusaha menahannya, kencing sering menetes dan tidak lampias. Kondisi ini
merupakan masalah kesehatan dan sosial.

Patofisiologi
Secara fisiologis dalam setiap proses berkemih diharapkan empat syarat berkemih yang
normal terpenuhi, yaitu:
1) kapasitas buli-buli yang adekuat,
2) pengosongan buli-buli yang sempurna,
3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik,
4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran
kemih bagian atas dan ginjal.
Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.

62
Gangguan persarafan pada saluran kemih bagian bawah terutama pada detrusor dan
sfingter buli-buli, dapat berupa hiperrefleksia atau arefleksia. Dengan demikian terdapat 4
pola kelainan proses berkemih:
a. Hiperrefleksia detrusor disertai hiperrefleksia sfingter
b. Hiperrefleksia detrusor dengan hipo atau arefleksia sfingter
c. Hipo atau arefleksia detrusor dengan hiperrefleksia sfingter, dan
d. Hipo / arefleksia detrusor disertai hipo / arefleksia sfingter.
Gejala dan tanda klinis tersebut diatas dapat terjadi siang hari, malam atau kedua-duanya,
dapat pula timbul secara persisten, sekali sehari atau kadang sekali seminggu atau dapat
pula secara sporadic.

Etiologi
Inkontinensia urin dapat bersifat sementara tetapi lebih sering bersifat kronik dan
progresif. Berdasarkan pendekatan diagnostik dari hasil pemeriksaan miksio-sisto
uretrografi (MSU) dan urodinamik, inkontinensia urin digolongkan dalam 3 bagian, yaitu :
1. Disfungsi sfingter: buli-buli neuropati
a. Malformasi congenital seperti mielomeningokel, accult spinal dysraphism malformasi
daerah sacrum, tethered cord syndrome.
b. Kelainan saraf didapat, misalnya spatisitas serebral, sklerosis multiple, sindrom
Giullain-Barre, radikulitis, trauma medulla spinalis, infeksi, tumor, malformasi vascular
medulla spinalis dan sebagainya.
c. Kelainan congenital pada otot polos seperti dysplasia neuronal pada sindrom
megakolon-megasistis
a. Kelainan congenital pada otot lurik (otot bercorak) seperti distrofia maskular
Duchenne, spinal muscular atrophy dan amyotropic lateral sclerosis
2. Disfungsi sfingter: buli-buli non neuropati
a. Dapat diklasifikasikan (classifiable), misalnya sindrom Urge, lazy bladder syndrome,
sindrom fowler
b. Tidak dapat diklasifikasikan (non-classifiable), misalnya inkontinensia Giggle, sindrom
Hinman, sindrom Ochoa dan sebagainya.
3. Kelainan struktural atau anatomik
a. Kelainan kongenital seperti ekstrofia, epispadia, ureterokel, kelainan pada trigonum
mampu leher buli-buli, katup uretra posterior (KUP) sindrom prune belly dan
sebagainya
b. Kelainan didapat misalnya trauma yang menyebabkan striktur atau kerusakan
sfingter, hiperkalsiuria, distensi kronik maupun fibrosis buli-buli.

Manifestasi Klinik
- Manifestasi klinik IU sangat bervariasi tergantung pada intensitas dan kombinasi
kelainan urodinamik yang ditemukan terutama fungsi otot detrusor buli-buli (hipo atau
heperrefleksia) dan sfingter buli-buli (hiperrefleksia atau arefleksia).
- Manifestasi terpenting biasanya berupa beser yaitu timbulnya rangsangan berkemih
secara mendadak dan tidak dapat ditahan, namun kencing sering tertahan atau tiba-
tiba berhenti.
- Pada disfungsi sfingter buli-buli neuropatik (neurogenic bladder sphincter
dysfunction) sering ditemukan malformasi congenital berupa spinal dysraphism; yang
tersering adalah spina bifida. Dapat juga berupa lipoma subkutan, hair tuft, celah
gluteal yang abnormal atau terdapatnya, dimple pada daerah lumbosakral.

63
Langkah diagnosis
Anamnesis
- pola berkemih, ada tidaknya mengompol, frekuensi dan volume urin,
- kebiasaan defekasi dan
- pola kepribadian
Pemeriksaan fisik:
- perkembangan psikomotor
- inspeksi daerah urogenital dan punggung,
- refleks lumbosakral dan
- pengamatan langsung terhadap pola berkemih.
Enuresis / mengompol ditandai pola berkemih yang normal tetapi terjadi pada waktu
dan tempat yang tidak semestinya misalnya berkemih saat tidur. Inkontinensia urin
ditandai dengan pola berkemih yang normal.
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium: urinalisis, biakan urin, kimia darah dan uji fungsi ginjal.
- Ultrasonografi digunakan sebagai pemeriksaan penyaring, sekaligus untuk
menentukan kapasitas fungsional buli-buli dan residu urin.
- Pemeriksaan miksiosistoureterografi (MSU) kadang diperlukan.
- Pemeriksaan urodinamik hanya diperlukan pada sekitar 20% kasus.

Tata laksana
Penanganan yang adekuat meliputi pengosongan buli-buli dengan baik, penurunan tekanan
intravesika, pencegahan ISK, serta penatalaksanaan inkontinensianya baik berupa
medikamentosa seperti oksibutinin atau tolterodin maupun tindakan urologik seperti
sistoplastik, pemasangan sfingter artifisial atau hanya sekedar clean intermittent
catheterisation.
Ada 4 aspek yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Prioritas utama adalah memelihara fungsi ginjal.
2. Penanganan ditujukan terhadap kelainan yang nyata
3. Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang
ditemukan
4. Penanganan terhadap infeksi yang menyertai inkontinensia urin.
Penanganan dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Penanganan non farmakologik.
Penanganan non farmakologik meliputi terapi kognitif dan prilaku, menjelaskan fungsi
kandung kemih, belajar mengenali sensasi berkemih dan menghilangkan upaya
menahan kencing (holding manoeuvres). Penanganan non farmakologik dapat
berupa:
a. Rehabilitasi fungsi buli-buli, mengatasi konstipasi dan fisioterapi
b. Biofeedback. Pelatihan melalui biofeedback untuk mengajarkan cara
mengatur kontraksi otot-otot untuk menahan kencing dan latihan relaksasi
otot dasar panggul saat pengosongan buli-buli.
c. Kateterisasi intermitten (clean intermittent catheterization = CIC), terutama
terhadap kasus dengan buli-buli neurogenik.
d. Tindakan bedah. Meliputi peningkatan kapasitas buli-buli dan perbaikan
fungsi sfringter buli-buli.
2. Terapi Farmakologik.

64
Obat antikolinergik seperti oksibutinin (0,2 mg/ kgbb/kali, 2-3x/hari) dan tolterodin
(0,05 mg/kgbb/kali, 2 x sehari) cukup bermanfaat terutama pada kasus hiperaktivitas
detrusor buli-buli (overactive bladder = OAB). Pemakaian obat-obat tersebut harus
berhati-hati karena efek samping yang mungkin terjadi misalnya sakit kepala,
penglihatan kabur, mulut kering, konstipasi. Penanganan terhadap ISK harus segera
dan adekuat.

Prognosis
Prognosis tergantung etiologi, diagnosis dini dan penanganan adekuat

Daftar pustaka
1. Tambunan T. Inkontinensia Urin pada Anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA,
Subandiyah K, dkk. Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 141-144.
2. Tambunan T. Inkontinensia Urin. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 309-322.
3. Ming Chao. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu M.C, Yap H.K, penyuting.
Practical paediatric nephrology. Hongkong: Medcom ltd; 2005. h. 171-8.
4. Evans J, Shenoy M. Disorders of micturition. Dalam: Web N, Postlethwaite R,
penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University
Press; 2003. h. 163-77.
5. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6 th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

65
ENURESIS

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Pengertian
Masalah ngompol tersering adalah nocturnal enuresis atau mengompol malam hari. Enuresis
yang menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur di atas 5 tahun untuk anak
perempuan dan 6 – 10 tahun untuk anak laki-laki. Insidens dari NE sekitar 6-10% pada usia
7 tahun.

Etiologi
- Keterlambatan pematangan dan perkembangan kandung kemih
- Gangguan pola tidur
- Psikopatologi dan stress lingkungan
- Gangguan urodinamik
- Penyakit organik pada traktus urinarius
- Abnormalitas sekresi sikardian hormon antidiuretik (ADH)

Kriteria Diagnosis
Anamnesis
a. Menentukan tipe dan beratnya enuresis:
- Sejak kapan mengompol
- Waktu terjadinya (siang atau malam)
- Apakah sedang dalam keadaan tidur atau bangun
- Pancaran air kemih
- Urgensi enuresis
- Apakah intermitten atau terus-menerus
- Apakah pernah mengalami konstipasi atau enkopresis

b. Menentukan gangguan berkemih merupakan masalah tersendiri atau berhubungan


dengan patologi lain yang membutuhkan tatalaksana spesifik yang cepat seperti ISK,
neuropati, keadaan poliuria(pada diabetes), obstructive sleep apnea
b. Menilai dampak psikososial dari ngompol pada pasien dan keluarganya
- Keadaan psikososial anak dan keluarga
- Riwayat enuresis pada orangtua atau saudara

Langkah diagnosis
Pemeriksaan Fisik
• Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan.
• Keadaan umum : perilaku/aktivitas, tekanan darah
• Pemeriksaan abdomen : massa feses, distensi kandung kemih, keluarnya urine
dengan kompresi suprapubik
• Inspeksi area genital : gangguan anatomis, perineum lembab
• Tanda- tanda gangguan spinal : adanya herald patch (adanya rambut, dimple, nevus,
sinus), palpasi apakah terdapat gangguan spinal
• Defek neurologis : pes cavus, dan abnormalitias refleks lumbosakral

66
• Refleks perifer, sensasi perineal (refleks kremaster dan anal) dan tonus anal, cara
berjalan dan tulang belakang (kelainan medula spinalis)
Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium: analisis air kemih, berat jenis air kemih, biakan urin, fungsi ginjal
• USG ginjal dan saluran kemih
• Uroflowmetri dan scan kandung kemih, dapat dilakukan untuk mengetahui residu urin
sebagai uji skrining untuk fungsi kandung kemih. Residu urin lebih dari 10% dari total
volume urin yang dikeluarkan menunjukkan pengosongan yang tidak komplit
• Studi urodinamik, micturiting cystourethrogram, DMSA scan sesuai indikasi
• Foto polos tulang belakang

Diagnosis Banding
• ISK
• Kelainan kongenital saluran kemih: Ureter ektopik, Epispadia, Sinus urogenital persisten
• Nefropati obstruktif
• Kandung kemih neurogenik
• Kandung kemih disinergik

Tatalaksana
Melibatkan tim dokter multi-disiplin, nefrologis, urologis, dan terapis.

Non farmakologik
1. Memberikan motivasi (mengurangi minum pada malam hari, membangunkan anak
pada malam hari untuk miksi di kamar mandi, memberikan pujian atau penghargaan
bila anak tidak mengompol)
2. Mengubah kebiasaan, latihan menahan miksi. Tujuannya untuk memperbesar
kapasitas kandung kemih
3. Alarm enuresis, bell and pad (beberapa tetes pertama air kemih mnyebabkan alarm
berbunyi dan anak terbangun dari tidur, kemudian menyelesaikan miksi di kamar
mandi).

Farmakologik
1. Antikolinergik: Oxybutinin (ditropan) atau antikolinergik lainnya menurunkan atau
menghilangkan efek kontraksikandung kemih. Dosis yang dipakai untuk anak-anak di
atas 6 tahun 2 – 3 x 5 mg
2. Desmopresin, merupakan vasopresin sintesis DDAVP (1-desamino-8-D-arginine
vasopresin), analog dengan AVP (arginine vasopresin). Bekerja dengan cara
mengurangi produksi air kemih, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremia
akibat retensi air. Dosis 10 – 40 μg/intranasal 2 – 4 semprot sebelum tidur atau tablet
0,2 – 0,4 mg. Tiap semprot intranasal mengandung 10μg desmopresin
3. Anti depresan: imipramin (tofranil) 25–100 mg atau 1–2 mg/kgBB, dosis tunggal 1–2
jam sebelum tidur selama 1 – 2 minggu. Bila belum menunjukkan hasil diteruskan
paling sedikit sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis setiap 3 – 4 minggu. Tidak
dianjurkan untuk anak di bawah 6 – 7 tahun

67
Prognosis
• Indikasi pemberian terapi farmakologik/intervensi adalah keinginan orangtua dan anak.
• Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan 10 – 20% pertahun

GANGGUAN BERKEMIH SIANG HARI


Lebih banyak pada perempuan.
Gejala tersering: sindrom frekuensi/ urgensi dengan atau tanpa inkontinens.
Patofisiologi mendasar adalah overaktif kandung kemih.
Tata laksana
- Tata laksana utama adalah edukasi bladder retraining comprising, berkemih terjadwal dan
dukungan positif
- Obat anti-kolinergik (Oxybutynin) atau anti-muskarinik (Tolterodine) sebagai relaksan
kandung kemih dapat berguna sebagai tambahan. Efek samping yang sering adalah mulut
kering, flushing, konstipasi dan somnolen dan mungkin perlu penyesuaian dosis

DISFUNGSI BERKEMIH
Terjadi karena gangguan perilaku berkemih yang disebabkan karena adanya gangguan dari
dasar pelvis dan kontraksi spinkter eksterna.
Terdapat beberapa macam yang dikonfirmasidengan uroflowmetri atau studi urodinamik:
a. Staccato voiding: buang air kecil yang sedikit-sedikit, inkomplit dan lama
b. Lazy Bladder: akibat dari disfungsi yang terlalu lama sehingga kapasitas vesika urinaria
besar tetapi tekanannya kurang sehingga berkemih lama dan tidak komplit.
c. Detrusor-sphincter dyssynergia: jarang terjadi namun merupakan gangguan berkemih
yang paling berat karena menyebabkan kerusakan ginjal karena terjadi refluks
vesikoureter, infeksi saluran kemih berulang dan skar ginjal.
Tata laksana
- berkemih terjadwal, konstipasi diterapi, terapi biofeedback (mengajarkan pasien untuk
merelaksasi otot berkemih menggunaakan rangsangan visual dan auditori),
- obat anti-kolinergik (Oxybutynin) atau anti-muskarinik (Tolterodine), antibiotik profilaksis,
- kateterisasi intemiten
- konsul urologi jika indikasi

Kepustakaan
1. Chao SM. Enuresis and Voiding Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting.
Practical Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal
171-178.
2. Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 291-308.
3. Ming Chao. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu M.C, Yap H.K, penyuting.
Practical paediatric nephrology. Hongkong: Medcom ltd; 2005. h. 171-8.
4. Evans J, Shenoy M. Disorders of micturition. Dalam: Web N, Postlethwaite R,
penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University
Press; 2003. h. 163-77.
5. Sekarwana Nanan, Enuresis. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta,
2002:291-307

68
6. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6 th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

69
NEUROGENIC BLADDER

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Definisi
Neurogenic bladder merupakan kelainan fungsi kontrol kandung kemih akibat kerusakan
saraf.Sebagian besar neurogenic bladder pada anak disertai dengan disfungsi uretra.

Etiologi
Penyebab neurogenic bladder pada anak meliputi:
a. Defek saat lahir pada otak atau medulla spinalis seperi myelomeningokel, spina bifida
occulta, agenesis sakrum, tertariknya medulla spinalis (tethering of the cord)
b. Myelitis tranversa
c. Neuropati otonom
d. Trauma pada otak atau medulla spinalis
e. Tumor medulla spinalis
f. Neurogenic bladder non-neurogenik
g. Etiologi lain yang belum diketahui

Patofisiologi
Terdapat dua mekanisme utama dalam patofisiologi neurogenic bladder, yaitu kelainan
fungsi pengisian kandung kemih, atau kelainan fungsi pengosongan kandung kemih.
A. Penyebab kelainan fungsi pengisian kandung kemih yaitu:
a. Gangguan regangan otot kandung kemih akibat kehilangan viskoelastisitas otot
kandung kemih. Infeksi, trauma dan overdistensi dapat menyebabkan kerusakan
otot kandung kemih
b. Hiperrefleks otot destrusor akibat kontraksi involunter otot destrusor
c. Kerusakan mekanisme pada bagian distal sfingter dan leher kandung kemih.
B. Penyebab kelainan fungsi pengosongan kandung kemih yaitu:
a. Kegagalan dalam kontraksi otot destrusor yang efektif
b. Kegagalan leher kandung kemih untuk membuka saat terjadi kontraksi otot
destrusor
c. Disinergi sfingter destrusor
Langkah diagnosis
Anamnesis
- gejala sugestif terjadinya disfungsi kandung kemih yaitu keinginan untuk BAK yang sering
dengan jumlah urin sedikit/ menetes, inkontinensia urin saat terjadi peningkatan tekananan
intraabdomen seperti batuk atau tertawa, kesulitan dalam pengosongan kandung kemih,
riwayat infeksi saluran kemih berulang
- riwayat kelahiran seperti riwayat ibu dengan DM tipe 1,
- riwayat gangguan perkembangan, prematuritas,
- riwayat kejang, riwayat ensefalopati
- kebiasaan urinasi dan defekasi pada anak
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi dan palpasi pada tulang belakang seperti perabaan masa kistik, agenesis sakrum
- Penilaian sensasi perianal dan perineal, tonus sfingter ani dan refleks bulbuskavernosus
dan anokutaneus

70
- Pemeriksaan neurologis pada ekstremitas bawah, meliputi pemeriksaan sensoris dan
motoris untuk menentukan tinggi lesi
Pemeriksaan penunjang
- USG ginjal dan kandung kemih; untuk melihat dilatasi pelvicalyceal, dilatasi ureter dan
ketebalan dinding kandung kemih
- Sistouretrogram; untuk melihat refluks vesiko-ureter, trabekulasi dinding kandung kemih
- Pemeriksaan urodinamik; untuk melihat komplians kandung kemih, aktivitas destrusor,
kapasitas kandung kemih, tekanan intravesika, dan leak point pressure (jika > 40 cmH2O
maka berhubungan dengan perubahan struktur saluran kemih)
Evaluasi dan follow up
- Pemeriksaan urinalisis dan kultur urin
- USG ginjal
- Pemerikaan kadar ureum, kreatinin, elektrolit, dan biakrbonat darah
- Eksklusikan adanya alergi lateks yang dapat memicu anafilaksis berat

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana neurogenic bladder yaitu:
• mempertahankan fungsi ginjal dengan mecegah kerusakan akibat tekanan ke ginjal dan
infeksi saluran kemih
• meningkatkan kontinensia
• meningkatkan kualitas hidup.
Tatalaksana meliputi:
• Pemasangan kateter urin
Merupakan pilihan utama untuk tatalaksana pengosongan kandung kemih pada anak
dengan neurogenic bladder. Penggunaan kateter dengan interval teratur, yakni 4-5
kali per hari selama 3 jam.
• Medikamentosa
- Oxybutinin; merupakan obat antikolinergik dan antispasme. Dosis < 5tahun: 0.2
mg/kg/dosis tiap 8-12 jam. Dosis >5 tahun: 2.5 – 5 mg tiap 8-12 jam
- Tolterodine; merupakan obat antikolinergik. Dosis 0.05 mg/dosis tiap 12 jam.
Dosis dewasa: 2 mg tiap 12 jam. Pada dewasa dapat mencapai 2-4 mg/hari
- Phenoxybenzamine; merupakan obat penghambat alpha-1
• Terapi bedah
Beberapa terapi bedah dapat menjadi pilihan terapi neuorogenic bladder yaitu
augmentasi kandung kemih, vesikostomi, ablasi sfingter, diversi urinarius dan
pemasangan stoma kateterisasi kontinen
Pencegahan infeksi saluran kemih pada neurogenic bladder
• Hindari stagnasi urin dengan penggunaan kateter urin intermiten
• Pemasangan kateter urin intermiten yang bersih dan steril
• Atasi konstipasi kronis
• Pemeriksaan urinalisis rutin untuk melihat adanya bakteriuria

Komplikasi
a. Obstruksi aliran keluar urin
b. Refluks vesiko-ureter
c. Infeksi saluran kemih berulang

71
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar pustaka
1. Lau PYW. Neurogenic Bladder. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting. Practical
Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal 185-190..
2. Chao SM. Enuresis and Voiding Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting.
Practical Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal
171-178.
3. Tambunan T. Inkontinensia Urin pada Anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA,
Subandiyah K, dkk. Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 141-144.
4. Tambunan T. Inkontinensia Urin. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 309-322.
5. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

72

Anda mungkin juga menyukai