Anda di halaman 1dari 37

PERAN LOPINAVIR, RITONAVIR, FAVIPIRAVIR DAN

REMDESIVIR UNTUK TATALAKSANA COVID-19

Oleh

Agani Salsabila 04084821921160

Agilandiswary Kumaran 04084881921006

Ruli Bashiroh Habibah 04084821921162

M. Ridho Novtriawan Algifari 04054822022046

Nurul Ramadhanty Aditya Putri 04054822022078

Ilona Anaisela Salsabila 04054822022109

Pembimbing

dr. Nelda Aprilia, Sp.PD

dr. Mega Permata, Sp.PD

RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Peran lopinavir, ritonavir, favipiravir dan remdesivir untuk tatalaksana covid-19

Oleh:

Agani Salsabila 04084821921160

Agilandiswary Kumaran 04084881921006

Ruli Bashiroh Habibah 04084821921162

M. Ridho Novtriawan Algifari 04054822022046

Nurul Ramadhanty Aditya Putri 04054822022078

Ilona Anaisela Salsabila 04054822022109

Sari Pustaka ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 04 Mei s.d 14 Mei 2020

Palembang, Mei 2020

dr. Nelda Aprilia, Sp.PD dan dr. Mega


Permata, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Peran lopinavir, ritonaavir,
favipravir dan remdesivir untuk tatalaksana Covid-19” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
kepaniteraan klinik senior di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Nelda Aprilia,
Sp.PD dan dr. Mega Permata, Sp.PD atas bimbingannya sehingga penulisan ini
menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam


penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Penulis

Kelompok 6

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II COVID-19 3
2.1 Definisi………………………………………………………………..3
2.2 Epidimiologi………………………………………..…………………3
2.3 Etiologi………………………………………………………………..3
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi…………………………………………6
2.5 Gejala Klinis…………………………………………………………..7
2.6 Diagnosis Banding……………………………………………………8
2.7 Diagnosis……………………………………………………………...9
2.8 Manajemen Klinis…………………………………………………...10
2.9 Tatalaksana…………………………………………………………..13
2.10 Pencegahan…………………………………………………………..16
2.11 Komplikasi…………………………………………………………..17
2.12 Prognosis…………………………………………………………….18

BAB III PERAN LOPINAVIR, RITONAVIR, FAVIPIRAVIR, DAN


REMDESIVIR UNTUK TATALAKSANA COVID-19 ................................19

3.1 Lopinavir dan Ritonavir…………………………………..…………19


3.2 Favipiravir…………………………………………………….…………..22
3.3 Remdesivir………………………………………………………………..26
BAB IV KESIMPULAN 29
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................30

iv
BAB I
LATAR BELAKANG
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai
dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan
antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan
dari kucing luwak (civet cats) kemanusia dan MERS dari unta ke manusia.
Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini
masih belum diketahui.

Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-
6 haridengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian
besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas,
dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus


pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,
Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease,
COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health
Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan jumlah
kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar
negara. Sampai dengan 5 Mei 2020, secara global dilaporkan 3.517.345 kasus
konfirmasi di 212 negara dengan 243.401 kematian (CFR 6,9%). Negara dengan

v
jumlah kasus positif terbanyak yaitu USA 1.263.092, Spanyol 253.682, dan Italia
214,457. Sedangkan jumlah kasus positif di Indonesia sebanyak 12.438 dengan
jumlah kematian 895 kasus. Di Indonesia persentase kesembuhan terbilang rendah
dibanding kesembuhan di dunia (3,4%) yaitu 1,8%.

Saat ini belum terdapat bukti untuk rekomendasi pengobatan antivirus


pengobatan infeksi COVID-19, namun WHO menyatakan terdapat beberapa
pengobatan yang dalam masa uji coba untuk meningkatkan kesembuhan dari
pasien COVID-19 salah satunya adalah antivirus berupa lopinavir, ritonavir,
favipiravir dan remdesivir. Maka dari itu perlu dilakukan peninjauan kembali
mengenai potensi obat-obat tersebut sebagai antivirus untuk COVID-19.

vi
BAB II
COVID-19
2.1 Definisi
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis
coronavirus yang baru ditemukan. Ini merupakan virus baru dan penyakit
yang sebelumnya tidak dikenal sebelum terjadi wabah di Wuhan, Tiongkok,
bulan Desember 2019.1

2.2 Epidemiologi
Pada tanggal 31 Desember 2019 Kantor WHO di Cina melaporkan
kasus pneumonia di Wuhan, Cina yang etiologinya belum diketahui. Pada 7
Januari 2020 Cina menyatakan pneumonia tersebut sebagai penyakit baru.
30 Januari 2020 WHO menetapkan virus korona kondisi KKMMD. 2 Maret
2020 Indonesia melaporkan 2 kasus yang terkonfirmasi COVID-19. 3 Maret
2020 Dilaporkan 90.870 kasus konfirmasi di 72 negara dengan 3.112
kematian (CFR 3,4%). Diantara kasus-kasus tersebut, terdapat beberapa
petugas kesehatan yang terinfeksi. 11 Maret 2020 WHO menyatakan
COVID-19 sebagai pandemi. Jumlah kasus baru, sembuh, dan meninggal
terus meningkat setiap jamnya. Per 30 Maret 2020, peringkat pertama kasus
COVID-19 terbanyak adalah Amerika Serikat dengan 19.332 kasus baru
dan negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia, 11,3%, adalah Italia.
Per 2 April 2020, jumlah kasus diperiksa 7.193, kasus positif di Indonesia
1.790, kasus negatif 5.516, pasien sembuh 112, dan pasien meninggal 170.
Dengan data ini dapat dihitung bahwa Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat
kematian akibat COVID-19 di Indonesia paling tinggi Asia Tenggara, yaitu
9,34% dengan rata- rata CFR dunia 4,9%. 2

2.3 Etiologi
Koronavirus sendiri adalah kelompok besar virus yang dapat
menyebabkan penyakit di hewan dan manusia. Beberapa penyakit-penyakit
pada manusia yang ditimbulkan virus dari keluarga koronavirus adalah

vii
selesma, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS), dan penyakit yang dinyatakan pandemi
tertanggal 11 Maret 2020 oleh WHO, Coronavirus Disease 19.1
Secara umum, virus korona memiliki struktur sampul yang
melingkupi materi genetik. Pada sampul terdapat berbagai protein dengan
berbagai fungsi, salah satunya berikatan dengan reseptor membran sel
sehingga dapat masuk sel. Struktur sampul dan protein ini menyerupai
mahkota atau crown sehingga virus ini dinamai virus korona atau
coronavirus. Karena struktur sampul yang bersifat hidrofobik ini pulalah
ketika diperlukan sabun atau handrub dengan kandungan alkohol minimal
60%. Sabun atau alkohol 60% dapat berikatan dengan kapsul dan memecah
struktur virus.4
Virus korona ditularkan antara manusia dan hewan (zoonosis) karena
mengalami spillover. Spillover ini dapat terjadi karena berbagai faktor ,
misalnya mutasi atau peningkatan kontak antara manusia dengan hewan
yang memiliki virus korona. Diketahui sars ditularkan kucing luwak dan
MERS ditularkan unta. Saat ini, kelelawar diduga sebagai hewan yang
berperan menjadi sumber penularan dan trenggiling menjadi reservoir
sementara SARS-CoV-2. Pada beberapa minggu pertama, wabah COVID-
19 diketahui berasosiasi dengan pasar makanan laut yang menjual hewan
hidup di Wuhan karena semua pasien saat itu memiliki riwayat bekerja atau
mengunjungi pasar tersebut.4
Selain zoonosis, penyakit ini juga menular antar manusia. Berdasarkan
bukti ilmiah, COVID-19 menular melalui droplet (yang keluar ketika batuk,
bersin, atau menghembuskan napas) dan kontak erat, berbeda dengan
tuberkulosis yang menular melalui udara atau menjaga jarak satu meter satu
sama lain. ditemukan pula pada feses sehingga diduga airborne. Virus yang
keluar bersama droplet menempel di permukaan benda. Orang lain dapat
tertular COVID-19 bila bila menyentuh mata, hidung, atau mulut dengan
tangan yang telah berkontak benda dengan droplet yang mengandung virus.
Virus dapat bertahan di lingkungan sekitar tiga jam hingga beberapa hari

viii
(pada tembaga hingga 4 hari, hingga 24 jam pada papan kardus, serta hingga
2-3 hari pada plastik dan stainless steel).1,2,7
Droplet yang dikeluarkan ketika batuk atau bersin dapat menempel
pada benda berjarak satu meter. Oleh karena itu, penting untuk menjaga
jarak satu sama lain. Penelitian lain menemukan bahwa virus ini berpotensi
sebagai salah satu rute transmisi. Selain itu, pada biopsi sel epitel rektum,
duoodenum, dan gaster ditemukan bukti infeksi SARS-CoV-2. Lebih lanjut,
ditemukan 23% pasien yang virusnya masih terdeteksi dari sampel feses
padahal sudah tidak terdeteksi.1,5
Golongan yng berisiko tertular dan menularkan adalah penduduk yang
tinggal atau dengan riwayat bepergian ke daerah terjangkit dalam waktu 14
hari terakhir berpotensi tinggi tertular dan menularkan. Selain itu, orang
yang berkontak erat dengan pasien COVID-19, termasuk petugas kesehatan
dan pelaku rawat pasien, juga berisiko. Penyebaran nosokomial juga
menjadi isu penting. Pada enam minggu pertama epidemi di Cina, terdapat
1.716 kasus COVID-19 di petugas kesehatan dan 5 orang diantaranya
meninggal. Di akhir Maret, 12% pasien COVID-19 di Spanyol dan 8%
pasien COVID-19 di Italia adalah petugas kesehatan. Tanggal 28 Maret, 51
dokter meninggal di Itali akibat COVID-19. 2,8
Pada orang dewasa dan anak-anak dengan system imun yang baik
menunjukkan gejala ringan (flu like illness, sakit kepala, keluhan
gastrointestinal) bahkan asimtomatik. Namun, golongan ini dapat menjadi
carrier atau pembawa virus dan menyebarkannya ke kelompok rentan. Pada
kelompok rentan, gejala dan komplikasi yang ditimbulkan sangat parah,
bahkan dapat menyebabkan kematian.1
Kelompok rentan yang dimaksud adalah1,5:
- Golongan berusia lebih dari 50 tahun
- Orang dengan penyakit medis sebelumnya (komorbid), seperti
hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, kanker, atau diabetes.

ix
 Kanker dikaitkan dengan kadar sitokin yang berlebihan,
gangguan pematangan sel dendriti, dan supresi agen
proinflamasi
 Kondisi penyakit hati kronik atau sirosis juga mengalami penurunan
kondisi imun. Penelitian pada 261 pasien COVID-19 dengan
komorbid menemukan bahwa 23 pasien dengan hepatitis B dan 10
pasien dengan kanker.
 Orang dengan imunokompromi, seperti pasien kemoterapi dan
Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA).

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Waktu antara pertama kali terkena virus hingga pertam kali gejala
muncul disebut sebagai periode inkubasi. Periode ini berlangsung selama 1-
14 hari, biasanya 5 hari. Gejala yang muncul dapat berupa demam, batuk
nonproduktif, sesak, myalgia, dan lemas. Protein S yang melekat pada
sampul virus berperan untuk berikatan dengan reseptor selular sel target,
yaitu ACE2 untuk Sars-CoV-2. Ikatan antara protein S dengan ACE2 akan
memicu fusi antara membran plasma dengan virus.5,10
Setelah virus memasuki sel, RNA virus akan terlepas ke sitoplasma
lalu ditranslasikan menjadi dua polyprotein dan protein struktural. Pada
tahap inilah virus memulai replikasi. Partikel-partikel pembentuk virus
kemudian masuk ke dalam Endoplasmic Reiculum-Golgi Intermediate
Compartment (ERGIC). Setelah bagian virus selesai dirakit, sel akan
membentuk vesikel untuk selanjutnya berfusi dengan membran plasma,
melepaskan virus yang siap menginfeksi sel-sel lain. Ketika virus
menginfeksi sel, antigen virus akan dipresentasikan Antigen Presentation
Cells (APC) sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh. Antigen ini
dipresentasikan oleh Major Histocompatibility Complex (MHC; atau
Human Leukocyte Antigen (HLA) di manusia) pada permukaan sel APC
untuk dikenali sel limfosit T sitotoksik.13

x
Gambar 1. Patogenesis dan Patofisiologi COVID-1910

2.5 Gejala Klinis

Gambar 2. Perjalanan COVID-19 5

xi
Gejala-gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa
Lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri
dan sakit, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare. Gejala-
gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap.
Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap
merasa sehat. Sebagian besar (sekitar 80%) orang yang terinfeksi berhasil
pulih tanpa perlu perawatan khusus.1

Gambar 3. Manifestasi klinis COVID-1914

Sekitar 1 dari 6 orang yang terjangkit COVID-19 menderita sakit


parah dan kesulitan bernapas. Orang-orang lanjut usia (lansia) dan orang-
orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan
darah tinggi, gangguan jantung atau diabetes, punya kemungkinan lebih
besar mengalami sakit lebih serius. Mereka yang mengalami demam, batuk,
dan kesulitan bernapas sebaiknya mencari pertolongan medis.1

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari COVID-19 adalah adenovirus, influenza,
Human Metapneumovirus (HmPV), parainfluenza, Respiratory Syncytial
Virus (RSV), selesma, dan demam dengue.
2.7 Diagnosis

xii
Gambar 4. Alur diagnosis COVID-1917

Early Warning Score (COVID-19 EWS) dengan nilai minimal 10


dapat digunakan sebagai penilaian awal dugaan apakah pasien COVID-19
atau tidak.

xiii
Tabel 1. COVID-10 EWS5

2.8 Manajemen Klinis

Gambar 5. Alur pemeriksaan di fasilitas kesehatan11

xiv
Gambar 6. Alur respon terhadap pasien11

xv
Terapi suportif dini dan pemantauan di rumah sakit rujukan2,14
Terapi suplementasi oksigen segera untuk pasien ISPA berat, distress
pernapasan, hipoksemia, atau syok
 Dimulai dengan 5 lpm dengan target SpO2 ≥90% pada anak dan orang
dewasa serta SpO2 ≥92%-95% pada pasien hamil
 Pada anak dengan kegawatdaruratan pernapasan harus diberi terapi
oksigen selama resusitasi agar SpO2 ≥92%
 Semua pasien dengan ISP A berat harus dipantau dengan pulse
oxymetry
 Lakukan kewaspadaan kontak terutama saat memegang alat-alat terapi
oksigen yang digunakan pada PDP , kasus probabel, atau kasus
konfirmasi
Manajemen cairan konservatif pada pasien ISPA berat tanpa syok.
Hati-hati dalam pemberian cairan intravena karena dapat memperburuk
oksigenasi bila terlalu agresif.

Pasien dengan hasil rapid test antibodi positif diberikan obat berikut
hingga hasil pemeriksaan spesifik terbukti negatif:

1. Antibiotik empiris:
a. Makrolida: azitromisin 1 x 500 mg selama 5-7 hari
b. Fluorokuinolon: levofloksasin 1 x 750 mg selama 7 hari
2. Antivirus
3. Vitamin C dosis tinggi selama 14 hari
4. Hepatoprotektor bila SGOT dan SGPT meningkat
5. Klorokuin fosfat dapat ditambahkan bila kondisi pasien berat
6. Obat-obatan lain sesuai gejala dan penyakit penyerta.
Jangan memberikan kortikosteroid sistemik rutin untuk pneumonia
virus atau ARDS di luar uji klinis. Pemberian kortikosteroid dapat
menyebabkan efek samping serius, seperti infeksi oportunistik, nekrosis
avaskular, bahkan masa replikasi virus dapat memanjang. Sampai saat ini

xvi
tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi COVID-19.

Obat klorokuin dan hidroksiklorokuin adalah antimalaria yang


diketahui dapat meningkatkan pH endosomal dan berikatan dengan reseptor
SARS-CoV sehingga diduga dapat menghambat infeksi. Penelitian in vitro
membuktikan hidroksiklorokuin lebih efektif dibanding klorokuin. Selain
itu, hasil pengujioan dosis hidroksiklorokuin pada pada manusia adalah
dianjurkan penggunaan hidrksiklorokuin 400 mg dua kali sehari untuk dosis
awal lalu dilanjutkan dosis lanjutan selama 4 hari sebanyak 200 mg dua kali
sehari.5

Hasil penelitian penggunaan kombinasi hidroksiklorokuin dengan


azitromisin menunjukkan supresi virus 100% 17isbanding kelompok yang
mendapat hidroksiklorokuin saja. Namun, pada penelitian ini terdapat enam
sampel yang tidak dianalisis dan lost to follow- up karena meninggal atau
dipindah rawat. Selain itu, penggunaan kombinasi dua obat ini
meningkatkan risiko pemanjangan interval QT yang dapat berujung
kematian.5
Pasien COVID-19 dipulangkan bila hasil PCR negatif dua kali berturut-
turut dalam waktu dua hari. Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan PCR,
pasien boleh dipulangkan atas dasar:

 Perbaikan klinis ketika tidak diberikan oksigen


 Perbaikan radiologis
 Perbaikan klinis dengan saturasi oksigen >95%

2.9 Tatalaksana
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya pada
bagian manajamen klinis dari penderirta COVID-19, bahwa pasien dengan
hasil rapid test antibodi positif diberikan antibiotik empiris makrolida
(azitromisin) dan fluorokuinolon (levofloksasin), antivirus, vitamin C dosis
tinggi, hepatoprotektor bila SGOT dan SGPT meningkat, klorokuin fosfat

xvii
dapat ditambahkan bila kondisi pasien berat, dan obat-obatan lain sesuai
gejala dan penyakit penyerta. Secara spesifik, tatalaksana pasien COVID-19
berdasarkan gambaran gejalanya adalah sebagai berikut18:

1. Tanpa gejala
 Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
 Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet
untuk dibawa ke rumah)
 Vitamin C, 3 x 1 tablet (untuk 14 hari)
 Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan
malam hari
 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas FKTP
 Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis
2. Gejala ringan
 Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai
pasien rawat jalan
 Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
 Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet
untuk dibawa ke rumah)
 Vitamin C, 3 x 1 tablet (untuk 14 hari)
 Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg (untuk
5 hari) ATAU Hidroksiklorokuin,1x
400 mg (untuk 5 hari)
 Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)
 Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
 Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus:
Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU Favipiravir (Avigan),
2 x 600mg (untuk 5 hari)
 Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis
3. Gejala sedang
 Rujuk ke Rumah Sakit/ Rumah Sakit Darurat, seperti

xviii
Wisma Atlet
 Isolasi di Rumah Sakit/ Rumah Sakit Darurat, seperti
Wisma Atlet selama 14 hari
 Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama
perawatan
 Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg (untuk 5 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin dosis 1x 400 mg (untuk 5 hari)
 Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)

 Antivirus: Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU Favipiravir


(Avigan) loading dose 2x 1600 mg hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600mg (hari ke 2-5)
 Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain)
4. Gejala berat
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan
 Diberikan obat-obatan rejimen COVID-19:
- Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg perhari (hari ke 1-3)
dilanjutkan 2 x 250 mg (hari ke 4-10) ATAU
Hidroksiklorokuin dosis 1x 400 mg (untuk 5 hari)
- Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)
- Antivirus: Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU Favipiravir
(Avigan) loading dose 2x 1600 mg hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600mg (hari ke 2-5)
- Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama
perawatan
 Diberikan obat suportif lainnya
 Pengobatan komorbid yang ada
 Monitor yang ketat agar tidak jatuh ke gagal napas yang
memerlukan ventilator mekanik
Keterangan Tambahan

- Untuk anak dosis harap disesuaikan

xix
- Vitamin C diberikan dengan dosis tertinggi sesuai dengan
ketersediaan di Faskes
- Bila tidak tersedia Oseltamivir maupun Favipiravir (Avigan), maka
sebagai pilihan dapat diberikan (Lopinavir + Ritonavir) ATAU
Remdisivir
- Favipiravir (Avigan) tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau
yang merencanakan kehamilan
- Pemberian Azitromisin dan Klorokuin fosfat pada beberapa kasus
dapat menyebabkan QT interval yang memanjang
- Untuk gejala ringan, bila terdapat komorbid terutama yang terkait
jantung sebaiknya pasien dirawat

2.10 Pencegahan
Langkah dalam mengurangi risiko terinfeksi atau menyebarkn
COVID-19 dapat dilakukan dengan beberapa langkah pencegahans sebagai
berikut1:
Perlindungan untuk semua orang:
1. Seringlah mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun atau
cairan antiseptik berbahan dasar alkohol untuk membunuh virus yang
ada di tangan.
2. Jaga jarak setidaknya 1 meter dengan orang yang batuk-batuk atau
bersin-bersin karena mereka dapat mengeluarkan percikan dari hidung
atau mulutnya dan percikan ini dapat membawa virus.
3. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut karena tangan dapat
menyentuh berbagai permukaan benda dan virus penyakit ini dapat
menempel di tangan. Tangan yang terkontaminasi dapat membawa
virus ini ke mat, hidung atau mulut, yang dapat menjadi titik masuk
virus ini ke dalam tubuh dan menyebabkan sakit.
4. Lakukan etika batuk dan bersin dengan cara menutup mulut dan
hidung dengan siku terlipat atau tisu saat batuk atau bersin dan segera
buang bekas tisu tersebut.

xx
5. Tetap tinggal dirumah jika merasa kurang sehat. Jika terdapat gejala
demam, batuk dan kesulitan bernapas, segera cari pertolongan medis
dan jelaskan kondisi ke petugas medis agar dapat di arahkan ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.
6. Hindari berpergian ke daerah-daerah dimana COVID-29 menyebar
luas.

Perlindungan jika berada atau pernah berkunjung ke wilayah di


mana COVID-19 menyebar dalam 14 hari terakhir adalah sebagai
berikut:
1. Lakukan pelindungan untuk semua orang seperti diatas.
2. Lakukan isolasi diri dengan cara tetap tinggal di rumah jika merasa
kurang sehat, bahakan jika gejala yang dirasa berupa gejala ringan
seperti sakit kepala, demam berskala rendah (37oC atau lebih) dan
pilek ringan. Apabila terpaksa keluar rumah gunakan masker dan
hindari kontak fisik untuk menghindari menularkan ke orang lain.
3. Jika terdapat gejala demam, batuk, dan kesulitan bernapas segera
minta nasihat dokter agar dapat dengan cepat diarahkan ke fasilitas
kesehatan yang tepat.

2.11 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang pada penderita COVID-19 yang sembuh
belum dapat dilaporkan hingga saat ini dan masih dalam kajian/studi lebih
lanjut. Komplikasi utama yang saat ini ditemukan adalah ARDS, gangguan
ginjal akut (29%), gangguan fungsi hati (29%), kerusakan jantung (23%),
dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain yang telah dilaporkan adalah
rabdomiolisism koagulasi intravaskular diseminata, syok sepsis, dan
pneumomediastinum. Data menyebutkan kematian paling banyak terjadi
pada pasien berusia lebih dari 50 tahun. Anak-anak menunjukkan gejala
ringan dan lebih berperan sebagai carrier.5,12

xxi
Adanya reinfeksi pada pasien masih kontroversial. Pada penelitian di
kera ditemukan kera yang telah sembuh tidak dapat sakit COVID-19 lagi.
Namun, terdapat laporan bahwa pasien yang telah menjalani rRT-PCr
dengan hasil negatif dua kali berturut-turut dan memenuhi kriteria pulang
rumah sakit kembali positif berdasarkan pemeriksaan rRT-PCR dalam 5-13
hari. Diduga hal ini terjadi karena reinfeksi atau hasil rRT-PCR sebelum
pulang adalah negatif palsu.
2.12 Prognosis
Prognosis pasien COVID-19 sangat dipengaruhi berbagai faktor.
Tingkat mortalitas pasien dengan gejala berat mencapai 38% dan median
durasi rawat ICU hingga meninggal adalah 7 hari. Tingkat deteksi kasus
yang meningkat menyebabkan jumlah kasus positif meningkat dengan cepat
dan membuat fasilitas kesehatan kewalahan. Hal ini juga dapat
meningkatkan angka mortalitas di fasilitas tersebut. Laporan lain
mengatakan kondisi perbaikan jumlah eosinofil dapat menjadi salah satu
predictor kesembuhan 5

BAB III

xxii
PERAN LOPINAVIR, RITONAVIR, FAVIPIRAVIR, DAN
REMDESIVIR UNTUK TATALAKSANA COVID-19

3.1 Lopinavir dan Ritonavir


Lopinavir adalah obat antiviral golongan protease Inhibitor yang
bekerja dengan cara peptidomimetik penghambat protease dari HIV-1 dan
HIV-2 yang secara selektif menghambat pemotongan polyprotein Gag dan
Gag-Pol sehingga mencegah pematangan virus (immature) dan tidak
menular (non-infeksi). Ritonavir juga merupakan obat antiviral golongan
Protease Inhibitor bekerja sebagai peptidomimetik penghambat protease
HIV yang mengganggu siklus reproduktif HIV. Ritonavir dihambat kuat
oleh protein-protein serum, tetapi meningkatkan efek penghambat protease
lain melalui penghambatan degradasi oleh enzim sitokrom P450.15

Gambar 7. Skema pemotongan Gag dan Gag-Pol oleh protease HIV-1 15

Lopinavir dan ritonavir digunakan sebagai terapi lini kedua


HIV/AIDS dalam kombinasi dengan antiviral lain. Obat ini tidak boleh
diberikan bersama dengan antagonis adrenoreseptor α-1 (alfuzosin HCl),
antiangina (ranolazin), antiaritmia (dronadron), antibiotik (asamfusidat),
antigout (kolkisin pada pasien dengan kerusakan hati/ginjal), antihistamin
(astemizol, terfenadin), antipsikotik (blonanserin, lurasidon, pimozid),
benzodiazepin (midazolam, triazolam), derivat ergot (ergotamin,
dihidroergotamin, ergonovin, metilergonovin), motilitassalurancerna
(cisaprid), produk herbal (St. John’s Wort/ Hypericum perforatum),
agonisadrenoseptor β kerja lama (salmeterol), neuroleptik (pimozide),

xxiii
penghambatenzim PDE5 (sildenafil bila digunakan pada pengobatan
pulmonary arterial hypertension (PAH)), pasien dengan gangguan hati
berat.15

Pada pasien diabetes perlu dipertimbangkan untuk memonitor gula


darah, karena adanya eksaserbasi diabetes dan hiperglikemia. Pankreatitis
dapat terjadi pada pasien yang menggunakan kombinasi lopinavir/ritonavir,
serta risiko meningkat pada pasien dengan advanced HIV dan pasien
dengan riwayat pankreatitis. Penggunaan lopinavir/ritonavir pada
menyebabkan peningkatan pendarahan pada pasien hemophilia tipe A dan
B. Pada pasien gangguan struktur jantung penggunaan lopinavir dan
ritonavir harus diberikan secara hati-hati karena dapat memperpanjang
interval PR.

Lopinavir lebih ampuh menghambat HIV-1 dibandingkan ritonavir in


vitro tetapi menunjukkan bioavailabilitas yang buruk di in vivo. Ritonavir
tidak hanya menghambat proease HIV-1 tetapi juga menghambat enzim
sitokrom P450 3A4 yang melakukan metabolisme lopinavir16. Obat
golongan protease inhibitor dianggap sebagai obat yang sesuai untuk desain
obat mengobati infeksi covid-19 karena cara kerjanya dalam proses
polyprotein yang diperlukan untuk replikasi covid-19. Lopinavir/ritonavir
memiliki potensi penghambat tertinggi terhadap covid-19 di antara beberepa
protease inhibitor anti Hiv-1 lainnya17.

Pada dosis untuk obat uji Covid-19 untuk pasien dewasa


lopinavir/ritonavir tablet 400 mg/100 mg (2 tablet 200 mg/50 mg) dua kali
sehari tidak boleh lebih dari 10 hari. Untuk anak-anak berdasarkan dosis
dewasa tidak boleh lebih dari 10 hari15.

BeratBadan(Kg) Jumlah Tablet(100mg/25mg) dua kali


sehari

xxiv
15-25 2(200 mg/50 mg)
>25-30 3(300 mg/75 mg)
>35 4(400 mg/100 mg)
Tabel 1. Dosis lopinavir/ritonavir untuk anak

Hasil uji klinik yang dilakukan oleh Cao et all menunjukkan


penambahan lopinavir/ritonavir 400 mg/100 mg yang diberikan secara oral
2 x sehari selama 14 hari tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna dibandingkan dengan pengobatan standar untuk pasien COVID-
19 di Tiongkok. Pemberian dosis ini masih direkomendasikan dalam terapi
oleh WHO, International Pulmonologist’s Consensus on COVID-19,
Jepang, dan Singapura.18

Penelitian yang dilakukan oleh National Infectious Diseases dan


rumah sakit Shenzhen pada tahun 2019 menunjukkan hasil bahwa
favipavir memiliki efek antiviral yang lebih poten dari pada
lopinavir/ritonavir19,sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Baden et all
menunjukkan bahwa lopinavir/ritonavir memiliki kemampuan inhibisi
replikasi, bukan supresi jumlah virus20.

xxv
Gambar 8. Rumus Kimia Lopinavir dan Ritonavir21

3.2 Favipiravir
a. Indikasi
Indikasi yang diketahui untuk obat ini adalah infeksi virus
influenza pandemic baru atau yang kambuh kembali (terbatas
digunakan untuk pengobatan pada kasus dimana obat antivirus lainnya
tidak atau kurang efektif)22.
Uji klinik favipiravir untuk obat COVID-19 di Jepang23 dan
Tiongkok24, hasil sementara menunjukkan efektifitas yang baik25.
Namun bukti efikasi dan keamanan penggunaan favipiravir pada
COVID-19 masih sangat terbatas. Penggunaannya memerlukan
pertimbangan cermat pada manfaat dan risiko bagi pasien.27,28,29
Beberapa uji klinik penggunaan favipirafir pada COVID-19 masih
berlangsung atau dalam perencanaan. 28,29
b. Kontraindikasi30

xxvi
1. Tidak boleh digunakan pada wanita hamil trisemester pertama
atau yang merencanakan kehamilan.
2. Hipersensitivitas terhadap semua komponen dalam tablet
favipiravir
c. Mekanisme kerja
Favipiravir menghambat secara selektif RNA-dependent RNA
polimerase (RdRp) dari virus influenza. Favipiravir adalah prodrug
yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi intraseluler serta dikonversi
menjadi bentuk ribofuranosilfosfat (favipiravir-RTP) dalam sel dan
dikenali sebagai substrat oleh RNA polimerase virus sehingga
menghambat aktivitas RNA polimerase dan menghambat proses
replikasi virus.25,31

Gambar 9. Mekanisme kerja Favipiravir25

d. Dosis
Pengobatan penyakit virus influenza32
Dewasa: 1600 mg, 2 x sehari pada hari pertama diikuti dengan 600
mg, 2 x sehari selama 4 hari berikutnya. Total pengobatan selama 5
hari.
Sebagai obat uji COVID-19
- Berdasarkan WHO32

xxvii
Dosis 1600 mg pada hari pertama sebagai dosis muatan
(loading dose) diikuti dengan 600 mg, 2 x sehari mulai hari
kedua sampai tidak lebih dari 14 hari.
- Di Indonesia, sesuai tata laksana pasien COVID-19 PDPI33:
Gejala ringan: bila perlu, faviripavir 600 mg, 2 x sehari selama
5 hari
Gejala sedang dan berat: favipiravir loading dose 1600 mg, 2 x
sehari hari pertama dan selanjutnya 600 mg 2 x sehari (hari ke
2-5)

e. Interaksi obat22
Favipiravir harus digunakan secara hati-hati bila diberikan bersama
obat berikut:
Nama obat Tanda dan gejala Mekanisme dan factor risiko
Pirazinamid Asam urat darah Reabsorpsi asam urat dalam tubulus
meningkat. ginjal secara aditif ditingkatkan
Repaglinid Kadar repaglinide dalam Penghambatan CYP2C8 meningkatkan
darah mungkin meningkat, kadar repaglinide dalam darah.
dan reaksi merugikan
terhadap repaglinide dapat
terjadi.
Teofilin Kadar favipiravir dalam Interaksi dengan xantine oksidase (XO)
darah mungkin meningkat, dapat meningkatkan kadar favipiravir
dan reaksi merugikan dalam darah.
terhadap favipiravir dapat
terjadi.
Famsiklovir Khasiat Penghambatan aldehidoksidase (AO)
, sulindak famsiklovir/sulindac dapat oleh favipiravir dapat menurunkan
dikurangi. bentuk aktif famsiklovir/sulindac dalam
darah
Klorokuin Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya belum diketahui
dengan pasti.
Oseltamivir Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya belum diketahui
dengan pasti.
Tabel 2. Interaksi favipiravir

xxviii
f. Efek samping30
Pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang telah ditetapkan,
dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum dalam
table berikut:
≥ 1% 0,5 - < 1 % < 0,5 %
Hipersensitivita Ruam Eksem, pruritus
s
Hepatik Peningkatan Peningkatan ALP dan
SGOT, SGPT, bilirubin darah
γ-GT
Saluran cerna Diare (4, 79%) Mual, muntah, Perut tidak nyaman,
sakit perut ulkus duodenum,
hematokezia, radang
perut
Hematologi Penurunanjuml Peningkatan jumlah
ahneutrofil dan leukosit dan monosit
leukosit serta penurunan jumlah
retikulosit
Gangguan Peningkatan Adanya Penurunan kadar
metabolisme asam urat glukosa dalam kalium dalam darah
dalam darah (4, darah
79%) dan
trigliserida
Saluran nafas Asma, rhinitis,

xxix
oropharyngeal pain,
naso-pharyngitis
Lainnya Peningkatan kadar
kreatinin kinase,
hematuria, polip tonsil,
pigmentasi, memar,
pandangan kabur,
vertigo, sakit pada
mata, dysgeusia, supra
ventricular
extrasystoles.
Tabel 3.efek samping favipiravir

3.3 Remdesivir
a. Indikasi34
Sebagai obat uji untuk pengobatan COVID-19, berdasarkan
pengalaman pengembangan pengobatan infeksi virus Ebola, SARS-
CoV, MERS-CoV. Dari beberapa uji in-vitro dan in-vivo, remdesivir
menunjukkan aktivitas antivirus yang kuat, dan juga telah terbukti dapat
mengurangi patologi pulmonari (uji in-vitro). Remdesivir memiliki
potensi efikasi klinis terhadap filovirus, termasuk virus Ebola dan
SARS-CoV-2.
Pengobatan dengan remdesivir intravena menunjukkan perbaikan
signifikan untuk kasus COVID-19 pertama di AS dan kemudian
percobaan telah dimulai dengan cepat untuk menilai kemanjuran dan
keamanan remdesivir pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
infeksi COVID-19.35 Wang et al. menemukan remdesivir berpotensi
menghambat infeksi SARS-CoV-2 pada konsentrasi micromolar yang
rendah dan memiliki indeks selektivitas yang tinggi.37

xxx
Remdesivir adalah salah satu yang paling banyak diharapkan dan
paling sering diselidiki untuk pengobatan COVID-19 di seluruh dunia,
serta akumulasi kasus dan analisis hasil yang sangat ditunggu.37
b. Kontraindikasi34
- Tidak dianjurkan pada penderita COVID-19 dengan gangguan
ginjal sedang sampai berat.
- Tidak dianjurkan pemberian bersama antiviral yang lain karena
dapat terjadi antagonisme, sinergi atau tidak ada efek.
c. Mekanisme kerja38,39
Remdesivir adalah analog nukleotida adenine dengan aktivitas
antiviral spectrum luas terhadap berbagai virus RNA, seperti SARS,
MERS, dan Ebola.
Remdesivir mengalami konversi metabolic efisien dalam sel dan
jaringan menjadi metabolit nukleosida trifosfat aktif yang menghambat
RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) virus, tetapi tidak
menghambat RdRp pasien. Dengan demikian remdesivir menghambat
COVID-19 pada stadium awal replikasi virus.

Gambar 10. Mekanisme kerja Remdesivir35

d. Dosis31,34,40
Penggunaan pada dewasa:

xxxi
- Hari pertama, 200 mg IV 1 x sehari (diinfus selama>
30menit),sebagai dosis muatan (loading dose)
- Hari ke-2 sampai ke-10 diberi 100 mg IV sekali sehari(diinfus
selama> 30 menit)

Penggunaan pada anakdengan BB < 40 kg:

- Hari pertama, 5 mg/kgBB IV I x sehari (diinfus selama> 30


menit), sebagai dosis muatan (loading dose)
- Hari ke -2 sampai hari ke-10, 2,5 mg/kgBB IV 1 x sehari (diinfus
selama> 30 menit).
e. Interaksi obat30
Data interaksi obat rendesivir dengan obat lain belum diketahui
dengan pasti karena belum ada uji yang spesifik. Namun, berdasarkan
karakteristik kelompok obat serupa, penggunaan beberapa obat dapat
mengakibatkan peningkatan atau penurunan kadar remdesivir
dalamdarah atau sebaliknya.
f. Efek samping41
- Gangguan gastrointestinal, hepatotoksik
- Dari data non klinik:
Risiko terjadinya efek pada SSP, pernapasan, dan kardiovaskular
rendah pada perkiraan terapi pada manusia.
- Dosis 150 mg IV 1 x sehari selama 7-14 hari pada manusia
menunjukkan tidak ada kelainan uji laboratorium derajat 3 atau 4,
terjadi peningkatan ALS dan AST derajat 1 atau 2 tanpa
abnormalitas pada bilirubin total, fosfatase alkali atau albumin, dan
tidak ada efek pada fungsi ginjal.

xxxii
BAB IV
KESIMPULAN

Covid-19 merupakan infeksi virus baru yang ditemukan. Virus ini bermula
di Wuhan, China pada tanggal 31 Desember 2019. Virus ini merupakan virus
RNA strain tunggal positif ini menginfeksi saluran pernapasan. Penegakan
diagnosis bermula dari gejala demam, batuk, dan sulit bernapas hingga adanya
kontak erat dengan negara-negara yang sudah terinfeksi. Pengambilan swab
tenggorokan dan saluran napas menjadi dasar penegakan diagnosis coronavirus
disease. Penatalaksanaan berupa isolasi harus dilakukan untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan hasil rapid test antibody positif diberikan
obat berikut hingga hasil pemeriksaan spesifik terbukti negative dengan antibiotic
empiris seperti; makrolida: azitromisin 1 x 500 mg selama 5-7 hari dan
Fluorokuinolon: levofloksasin 1 x 750 mg selama 7 hari. Seterusnya, diberikan
Antivirus, Vitamin C dosis tinggi selama 14 hari, Hepatoprotektorbila SGOT dan

xxxiii
SGPT meningkat, Klorokuin fosfat dapat ditambahkan bila kondisi pasien berat
dan obat-obatan lain sesuai gejala dan penyakit penyerta.

Terdapat beberapa macam alternatif untuk pemberian antivirus yaitu


lopinavir, ritonavir favipiravir dan remdesivir. Pemberian lopinavir/ritonavir tidak
memiliki perbaikan klinis yang bermakna dibanding bemberian favipiravir karena
hanya dapat menginhibisi replikasi virus tidak mensupresis jumlah virus.
Favipiravir memiliki mekanisme kerja menghambat aktivitas RNA polimerase
dan menghambat proses replikasi virus. Pemberian remdesivir dapat menghambat
replikasi virus Covid-19 pada stadium awal. Beberapa macam obat antivirus
diatas hanya membantu menghambat aktivitas dari virus Covid-19 namun tidak
dapat menyembuhkan penyakit Covid-19 sehingga masih diperlukan penelitian
selanjutnya mengenai pengobatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Q&A on coronaviruses (COVID-19) [Internet]. [dikutip 4 Mei 2020].


Tersedia pada: https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a- coronaviruses.
2. Isbaniah F, Saputro DD, Sitompul PA, Manalu R, Setyawaty V, Kandun IN,
dkk. Pedoman pencegahan dan pengendalian Coronavirus Disease (COVID-
19). Jakarta: Kementeran Kesehatan RI; 2020.
3. Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, dkk. A pneumonia
outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature.
2020;579(7798):270–3.
4. Novel coronavirus (2019-nCoV) [Internet]. [dikutip 4 Mei 2020]. Tersedia
pada:https://www.youtube.com/watch?
v=mOV1aBVYKGA&feature=youtube
5. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,
Herikurniawan, dkk. Coronavirus disease 2019: Review of current literatures.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2020;7(1):45–67.
6. Novel coronavirus situation report -2 [Internet]. World Health Organization;
2020 Jan. Tersedia pada: https://www.who.int/docs/default-
source/coronaviruse/situation-reports/20200122- sitrep-2-2019-ncov.pdf

xxxiv
7. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris D. Aerosol and Surface Stability of
SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020;
8. Kamps BS, Hoffmann C. COVID reference. Hamburg: Steinhäuser Verlag;
2020.
9. Rothe C, Schunk M, Sothmann P, Bretzel G, Froeschl G, Wallrauch C,
Zimmer T, Thiel V, Janke C, Guggemos W, Seilmaier M, Drosten C, Vollmar
P, Zwirglmaier K, Zange S, Wölfel R, Hoelscher M. Transmission of 2019-
nCoV Infection from an Asymptomatic Contact in Germany. N Engl J Med.
2020;382(0):970.
10. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and
diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal [Internet]. [dikutip 4 Mei 2020];
Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
S2095177920302045
11. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Pedoman penanganan
cepat medis dan kesehatan masyarakat COVID-19 di Indonesia. Jakarta:
Gugus Tugas COVID-19; 2020.
12. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Di Napoli R. Features,
Evaluation and Treatment Coronavirus (COVID-19). Dalam: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 [dikutip 4 Mei
2020]. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554776/
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Alur Diagnosis dan Penatalaksana
Pasien COVID-19. April 2020. [dikutip 4 Mei 2020]. Tersedia pada:
https://www.persi.or.id/images/2020/data/alur_pneumonia_covid19.pdf
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tatalaksana Pasien COVID-19. April
2020. Jakarta: PDPI.
15. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.Penetapan
pedomanobat dan penanganan corona virus diseases 2019 (covid-19). No
HK.02. 02. 1. 2. 03. 20. 134. 2020
16. Choy, Ka-Tim., Wong, Alvina Yin-Lam., Kaewpreede, Prathanporn., et all.
Remdesivir, lopinavir, emetine, and homoharringtonineinhibite SARS-Cov2
replication in vitro. ELSEVIER. 2020.
17. Dayer MR., Tales-Gassabi., S, Dayer MS. Lopinavir: A potent drug against
coronavirus infection: insight from molecular docking study. Arch Clin
Infect Dis 2017; 12: e13823.
18. Cao B, Wang Y, Wen D, Liu W, Wang J, Fan G, et al. A Trial of Lopinavir-
Ritonavir in Adults Hospitalized with Severe Covid-19. N Engl J Med. 2020;
DOI: 10.1056/ NEJMoa2001282.
19. Dong, Liying., Hu, Shasha., Gao, Jianjun. Discovering drugs to treat
coronavirus disease 2019 (Covid-19). 2020. DOI: 10.5582/ddt.2020.0101.

xxxv
20. Baden LR, Rubin EJ. Covid-19 - The Search for Effective Therapy. N Engl J
Med. 2020; DOI: 10.1056/ NEJMe2005477
21. Costanzo, Michele., De Giglio, Maria Anna Rachele., Roviello, Giovanni
Nicola. SARS-CoV-2: Recent reports on antiviral therapies based on
lopinavir/ritonavir, darunavir,umufenovir, hydroxychloroquine,remdesivir,
favipavir and other drugs for the treatment of new coronavirus. Current
Medicinal Chemistry. 2020. Vol 27.
22. AVIGAN Leaflet Toyama Chemical. Co., Ltd.
23. Smith, T., Bushek, J., dan Prosser, T. 2020. COVID-19 Drug Therapy –
Potential Options. Clinical Drug Information – Clinical Solutions.
24. Chen, C., Huang, J., Cheng, Z., Wu, J., Chen, S., Zhang, Y., et al. (2020).
Favipiravir versus arbidol for COVID-19: a randomized clinical
trial. MedRxiv.
25. Furuta, Y., et al. 2009. T-705 (favipiravir) and related compounds: Novel
broad-spectrum inhibitors of RNA viral infections. J. of Antiviral Rsch.,
82(3):95-102.
26. van Rensburg, R., Lorente, V. P. F., &Decloedt, E. H. (2020). Current
evidence for directed and supportive investigational therapies against
COVID-19. African Journal of Thoracic and Critical Care Medicine, 26(2).
27. YAVUZ, S., & ÜNAL, S. (2020). Antiviral treatment of COVID-19. Turkish
Journal of Medical Sciences, 50(SI-1), 611-619.
28. Perhimpunan Dokter Spesialis Farmakologi Klinik Indonesia. Kajian
Farmakoterapi Pengobatan COVID-19.2020
29. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2020.
Informatorium Obat COVID-19 di Indonesia. Jakarta: BPOM.
30. Dong, L., Hu, S., dan Gao, J. 2020. Discovering drugs to treat coronavirus
disease 2019 (COVID-19). Drug DiscovTher., 14(1):58-60.
31. World Health Organization (WHO). 2020. Table of therapeutics in WHO A
coordinated Global Research Roadmap.
https://www.who.int/blueprint/prioritydiseases/keyaction/Table_of_therapeuti
cs_Appendix_17022020.pdf?ua=1.
32. PDPI. 2020. Tata LaksanaPasien COVID-19. Jakarta:PDPI
33. World Health Organization (WHO). Summaries of evidence from selected
experimental therapeutics, as of October 2018, RnD Blueprint, WHO.
https://www.who.int/ebola/drc-2018/summaries-of-evidence-experimental-
therapeutics.pdf?ua=1.
34. Holshue, M. L., DeBolt, C., Lindquist, S., Lofy, K. H., Wiesman, J., Bruce,
H., et al. (2020). First case of 2019 novel coronavirus in the United States.
New England Journal of Medicine.

xxxvi
35. Wang, M., Cao, R., Zhang, L., Yang, X., Liu, J., Xu, M., et al. (2020).
Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel
coronavirus (2019-nCoV) in vitro. Cell research, 30(3), 269-271.
36. Ito, K., Ohmagari, N., Mikami, A., &Sugiura, W. (2020). Major ongoing
clinical trials for COVID-19 treatment and studies currently being conducted
or scheduled in Japan. Global Health & Medicine.
37. Remdesivir for Potential Treatment of COVID-19,
ClinicalTrials.https://www.clinicaltrialsarena.com/projects/remdesivir/
38. World Health Organization (WHO). Summaries of evidence from selected
experimental therapeutics, as of October 2018, RnD Blueprint, WHO.
https://www.who.int/ebola/drc-2018/summaries-of-evidence-experimental-
therapeutics.pdf?ua=1.
39. Joseph, T. dan Moslehi, MA. 2020. International Pulmonologist’s Consensus
on COVID-19. Amrita Institute of Medical Sciences: India.
40. Bergin, C., et al. 2020. Specific Antiviral Therapy in the Clinical
Management of Acute Respiratory Infection with SARS-CoV-2 (COVID-19),
version 1.0. Health Service Executive.

xxxvii

Anda mungkin juga menyukai