Anda di halaman 1dari 28

Referat

TONSILITIS KRONIK

Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Pembimbing:
dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul:
TONSILITIS KRONIK

Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Pembimbing:
dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L

Referat ini diajukan untuk memnuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode

Palembang, Maret 2020


Pembimbing

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“TONSILITIS KRONIK”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L selaku
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan
referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan
kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan referat di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca.

Palembang, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil..................................................................2
2.2 Tonsilitis Kronik......................................................................................8
2.2.1 Definisi.........................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi................................................................................8
2.2.3 Etiologi.........................................................................................9
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................9
2.2.5 Faktor Predisposisi.....................................................................10
2.2.6 Gejala Klinis..............................................................................12
2.2.7 Pathways....................................................................................11
2.2.8 Penegakkan Diagnosis...............................................................14
2.2.9 Diagnosis Banding.....................................................................15
2.2.10 Penatalaksanaan.........................................................................15
2.2.11 Komplikasi.................................................................................18
2.2.12 Prognosis....................................................................................19
BAB III KESIMPULAN....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis kronis adalah peradangan kronik dari tonsil sebagai lanjutan


peradangan, akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman penyebab
nonspesifik. Peradangan kronik ini dapat mengakibatkan pembesaran tonsil yang
menyebabkan gangguan menelan dan gangguan pernafasan.1 Tonsilitis terjadi pada
semua umur, terutama sering terjadi pada anak.1,2 Berdasarkan survey penyakit THT
dari 7 provinsi di Indonesia (1994–1996), prevalensi ini didapatkan sebesar 3,8%.2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh virus atau bakteri, termasuk
virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, virus herpes simple, strain bakteri
streptokokus dan adenovirus. Salah satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah
bakteri grup A Streptococus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan
10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan,
kadang-kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok, mulut berbau, badan lesu
nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang.6 Data dalam literatur
menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang
dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi
ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti
demam berulang, odinofagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan
submandibula.5 Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1
Sebagai dokter umum, kompetensi yang harus dicapai dalam kasus
tonsilitis berdasarkan SKDI 2013 adalah kompetensi 4 yaitu lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit

1
tersebut secara mandiri dan tuntas. Hal ini menunjukkan dokter harus mampu
mengenali gambaran klinis dari kasus tonsilitis, mengetahui apa saja pemeriksaan
yang perlu dilakukan dalam proses penegakkan diagnosis, bagaimana tatalaksana
yang tepat serta apa saja komplikasi yang mungkin terjadi. Karena
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan di atas, penulis memutuskan untuk
membuat referat berjudul tonsillitis kornis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kripta didalamnya. Tonsil berbentuk oval dengan ukuran dewasa
panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram.
Terdapat tiga macam tonsil yaitu:
a. Tonsila faringeal atau adenoid
b. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
c. Tonsila lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
Ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer yang
merupakan lingkaran berkesinambungan yang mengelilingi saluran pernapasan dan
saluran pencernaan bagian atas.1

Gambar 1. Anatomi Tonsil 2

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh


3
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Perbatasan tonsil dibagi menjadi:
a. Anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus
b. Posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus
c. Medial oleh ruang orofaring
d. Superior oleh palatum mole
e. Inferior oleh tonsil lingual
f. Lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, lateral tonsil
ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan
permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil
membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel
ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan
untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta
ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.

Vaskularisasi
4
Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil6

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina asenden, cabang tonsillar dari arteri
fasialis, arteri faring asendens dan arteri lingualis dorsal. Vena-vena menembus
m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna,
vena pharyngealis, atau vena facialis.6

Fisiologi Tonsil

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi


dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu: 1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif 2. Tempat
produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari diferensiasi
limfosit B. Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B.8 Bersama-
sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua
organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid.
Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit
5
terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. 15 Antigen dari
luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa (sel M),
antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada
tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan
mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin IgM
pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel
memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila
rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi
antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum
germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya
hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang
akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin.12 Aktivitas tonsil
paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi
pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B
relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler
terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas
sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan
aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B
pada sentrum germinativum jugaberkurang.8
Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik
a. Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik

Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan


kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman
dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel
fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan
kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel
6
fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara
memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya
adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti,
tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat
bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi
di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi, di dalam sel
fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka
membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir
dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan
menghancurkan bakteri dengan proses digestif.
b. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil
dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit,
dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif,
yaitu histamin.
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema, dengan
teknik immunoperoksidase dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari plasma
sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta
tonsil. Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah
terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barrier untuk
7
mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
- Jaringan limfoid hipofaring tersebar di seluruh permukaan mukosa
hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan
tidak ada jaringan limfoid spesifik pada daerah ini.
- Jaringan limfoid laring memegang peranan yang sangat penting dalam
klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan.
- Daerah gotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki
jaringan limfoid

- Daerah supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada


plika ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika
arieloglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang
bundle neurovascular laryng. Jaringan limfoid supraglotik ini
bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan
kontralateral.
- Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat
terjadi invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan
limfoid pre dan paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring seluruhnya bermuara ke jaringan
limfoid servikal superior dan inferior dalam.

2.2 Tonsilitis Kronik


2.2.1 Definisi
Tonsilitis kronik adalah peradangan kronik tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi secara berulang-ulang. Terjadi perubahan histologi
pada tonsil dan terdapat jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses serta
dikelilingi oleh sel-sel radang.4

8
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar
disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
dapat mengeluarkan detritus.7

2.2.2 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Tonsilitis yang disebabkan
oleh spesies Streptokokus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun, dan 0,6 % pada usia 45 tahun
keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita
tonsilitis kronik adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan
Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita tonsilitis kronik terbanyak
sebesar 62 % pada kelompok usia 5-14 tahun.9

2.2.3 Etiologi
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronik, jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat menjadi patogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga
dapat disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae
dan Morexella catarrhalis.4,1
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan khusus
karena dapat ditangani sendiri oleh daya tahan tubuh. Penyebab paling banyak dari
infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
9
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi oleh coxackie virus A, yang
menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang
menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara
cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.10
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan
bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10

2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah (2003) bahwa adanya infeksi
berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua
kuman sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun. Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta
melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu
kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.1
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan
integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.
Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi
tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun
pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang

10
menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap
tonsil.17

2.2.5 Faktor Predisposisi


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit
Tobsilitis Kronis. Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik yaitu:1
1) Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2) Higiene mulut yang buruk
3) Pengaruh cuaca
4) Kelelahan fisik
5) Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

2.2.6 Gejala Klinis


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorok yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna atau saluran
napas. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah demam, namun tidak mencolok.11,12
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh dendritus. Terasa ada yang mengganjal
dan kering di tenggorokan, serta napas yang berbau.1 Pada tonsilitis kronik juga
sering disertai pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran
tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulen. (b) tonsil tetap kecil,
biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan
bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang
purulen.4

11
Gambar 3. Gambaran Tonsilitis kronik4

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
- T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).
- T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).
- T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula).
- T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula).
- T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih).4,5,6

12
Gambar 4. Gambar Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B) T2 (C) T3 (D) T410

Gambar 5. Grading Tonsil (Friedman Grading Scale)7

2.2.7 Pathways
13
2.2.8 Penegakkan Diagnosis

14
Anamnesis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang
berupa nyeri tenggorok berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal
ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, dan obstruksi pada saluran
cerna atau saluran napas yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi.
Gejala lain yang dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.1
a. Sulit menelan (41,3%)
b. Bau mulut (27%)
c. Perubahan suara (plummy voice – seperti terdapat makanan di mulut), hilang
suara
d. Nyeri telinga (reffered pain)
e. Demam, menggigil, kejang
f. Nyeri kepala
g. Nyeri rahang dan tenggorokan (bila ada trismus, curiga abses peritonsil)
h. Rasa mengganjal saat menelan
i. Tidur mendengkur

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapati:
a. Tonsil hipertropi atau atropi
b. Dapat terlihat pus kekuningan pada permukaan medial tonsil
c. Kripta melebar
d. Bila dilakukan penekanan pada kripta dapat keluar detritus
e. Warna kemerahan pada arkus anterior atau posterior bila dibanding dengan
mukosa faring,
f. Pembesaran KGB submandibula

15
Dalam penegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan pembesaran tonsil dalam
ukuran T0 – T4 (Friedman Grading Scale)

- T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).


- T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).
- T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula).
- T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula).
- T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih).4,5,6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus tonsilitis akut adalah
kultur dan uji sensitivitas. Biakan idealnya diambil dengan aspirasi dari dalam tonsil,
namun dapat pula diambil dari swab tenggorok. Pemberian antibiotik sesuai dengan
hasil uji sensitivitas dapat menurunkan angka resistensi bakteri dan mencegah
kekambuhan infeksi pada tonsil. Jaringan tonsil harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Pada tonsilitis kronik, dapat ditemui adanya hiperplasia pada jaringan
tonsil diserai infiltrasi limfosit, pusat nekrosis, dan area yang mengalami fibrosis.5,6

16
2.2.10 Diagnosis Banding
Tonsilitis akut Tonsilitis kronis
Etiologi Sering: EBV atau Patogen bervariasi
streptococcus β-hemolitikus Faktor risiko: perokok berat,
Jarang: Pneumokokus, hygiene mulut buruk, makanan
Streptokokus viridians, tertentu, cuaca, kelelahan fisik,
Streptokokus piogenes pengobatan tonsillitis tidak
adekuat
Onset Cepat, terjadi dalam beberapa Lama, beberapa bulan-tahun
hari-minggu (menahun)
Gejala Nyeri tenggorokan, demam, Rasa mengganjal di tenggorokan,
lesu rasa kering, napas berbau
Pemeriksaan Tonsil edema dan hiperemis, Tonsil membesar tidak hiperemis,
Fisik detritus (+), kripta tidak permukaan tidak rata, kripta
melebar, pembesaran KGB melebar, detritus (-)
servikal

2.2.11 Penatalaksanaan
Tonsilitis kronis
EDUKASI Higiene mulut dengan berkumur atau obat hisap
FARMAKOLOGI  Antibiotik sesuai kultur
 Simptomatik
OPERATIF Indikasi tonsilektomi:
Indikasi absolut:
 Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan
patologi anatomi

Indikasi relatif:
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotic adekuat
 Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan
17
pemberian terapi medis
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotic β-laktamase
resisten

Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut
yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga
akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih
besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian
pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna.9
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera
atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi
obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan
napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan. 6 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 6

18
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah
infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum
luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah
permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari
fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena
penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang
parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini
biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
Komplikasi Lambat (Late complication) pasca tonsilektomi dapat berupa
jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan
menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila
sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.

2.2.12 Komplikasi
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
19
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis,
myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke


daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsila   
a. Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa
adanya trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui
aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,
faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os
petrosus.
d. Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.
Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e. Kista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil
berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan
kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras seperti
kapur.
2.  Komplikasi Organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis

20
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.3,8

2.2.13 Prognosis
Prognosis untuk tonsillitis kronik adalah dubia ad bonam. Angka keberhasilan
tonsilektomi cukup tinggi, dimana pendarahan post tonsilektomi hanya sekitar 1,9%
pada balita, 3% pada anak usia 5-15 tahun, dan 4,9% pada anak diatas 15 tahun.
Pendarahan biasanya terjadi dalam 6 jam post operasi. Angka mortalitas tonsilektomi
hanya sekitar 0,03%. Sekitar 3,2% pasien dewasa yang menjalani tonsilektomi perlu
menjalani reoprasi. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien
anak-anak yang berkisar antara-0,5%-2,1%13

21
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh virus atau bakteri,
termasuk virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, virus herpes simple, strain
bakteri streptokokus dan adenovirus. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik
ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Penatalaksanaan tonsilitis kronik mencakup medikamentosa dan operatif.
Tonsilitis memiliki prognosis kesembuhan yang baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakhi, Ivan M, Novialdi dan Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis


pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):436-442.
2. Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring
quality of life in adult patients with chronic tonsillitis. The Open
Otorhinolaryngology Journal.2010;(4):34-46.
3. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam: Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hlm.195-203.
4. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta.
5. Perhati. 2015. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan di Bidang Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta.
6. Adams, George L. penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam
George L A, Lawrence R B, Peter A H, Editor. Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6.Jakarta: EGC; 2015. Hlm 330-342.
7. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck
Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2006:p.1183-98.
8. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :
Cummings CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th ed.
Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.

9. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity, oropharynx, and


nasopharynxn. In: Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton

23
Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.

10. Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis di


bidang THT-KL Volume 1. PERHATI-KL: Indonesia.

11. Suwento R. Epidemiologi penyakit THT di 7 popinsi. Kumpulan


Makalah dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT
komunitas. Palembang. PIT PERHATI-KL. 2001:8-12

12. Kurien M, et al. 2003. Fine needle aspiration in chronic tonsilitis:


reliable and valid diagnostic test. J Laryngol Otol. 117(12):973-5.

13. Chen, M.M., Roman, S.A., Sosa, J.A., dan Judson, B.L. 2014. Safety
of Adult Tonsilectomy A population Level Analysis of 5968 Patients..
JAMA Otolaryngology–Head & Neck Surgery Januari 2014; 140(3):
197-202.

24

Anda mungkin juga menyukai