Oleh
TERESIA DELVI
181148201057
Oleh
TERESIA DELVI
181148201057
Menyetujui
Tim Pembimbing
Agustus 2021
Pembimbing I Pembimbing II
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………..……………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.……………………………..…………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
2.3.1 Favipiravir………………………………………………………….10
2.3.2 Mekanisme kerja obat Favipiravir………………………………….11
2.3.3 Farmakodamik dan Farmakokinetika Favipiravir…………………..12
2.3.4 Peringatan dan………………………………………………………12
iii
2.4 Hipertensi dan Diabetes melitus……………………………………………16
2.4.1 Pengertian Hipertensi……………………………………………….16
2.4.2 Pengertian Diabetes malitus…………………………………………17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….....28
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
bawaan. Hal ini didukung dengan penelitian yang menunjukan 88% kematian pada
pasien positif SARS-CoV-2 disebabkan oleh riwayat komorbiditas. Komorbid yang
paling umum dijumpai pada pasien COVID-19 adalah diabetes melitus dan
hipertensi, Prevalensi pasien COVID-19 dengan diabetes melitus mencapai 41,7%,
dan hipertensi mencapai 56,6%. Peningkatan risiko kematian mencapai 1,95 kali pada
pasien COVID-19 dengan penyakit hipertensi sedangkan risiko kematian meningkat
sebanyak 2 kali pada pasien COVID-19 dengan penyakit diabetes melitus (Rahayu &
Warnaini, 2021).
Pengobatan yang digunakan pada pasien COVID-19 di Indonesia adalah
obat antivirus yang terdiri dari 6 jenis obat di antaranya: Remdesivir, Favipiravir,
Oseltamivir, Lopinavir + Ritonavir, Hidroksiklorokuin, Klorokuin Fosfat (Lukito.K,
2020). Antivirus merupakan senyawa yang dapat menghambat atau menghentikan
kerja dari replikasi virus (Vardayan dan Hruby, 2016). Golongan Antivirus yang
paling sering digunakan di seluruh dunia dan di Indonesia untuk pengobatan COVID-
19 salah satu diantaranya adalah Favipiravir (Serap S.& Serhat U, 2020). Favipiravir
merupakan agen antivirus spektrum luas golongan sintesis RNA yang memiliki
mekanisme kerja dengan cara menghambat selektif RNA polimerase sehingga
menghambat sintesis RNA virus yang proses transkripsi dan replikasi virus (Wang
M, 2020).
Favipiravir banyak digunakan sebagai terapi pada pasien COVID-19 di
rumah sakit Umum Daerah Harapan Insan Sendawar (RSUD HIS) yang merupakan
Rumah Sakit Umum Type C yang ada di Kabupaten Kutai Barat dan merupakan pusat
rujukan dari 16 Puskesmas, 1 Puskesmas Terapung, 6 Balai Pengobatan serta sarana
pelayanan kesehatan lain yang ada diwilayah Kutai Barat. Tingkat kesembuhan
COVID-19 menjadi prioritas sehingga terapi pasien perlu optimalisasikan.
Pencegahan dan tidak lanjut segera terhadap potensi interaksi obat dapat
meningkatkan keberhasilan dalam pengobatan pasien COVID-19. Para farmasis
diharapkan manpu mengidentifikasi interaksi obat yang berpotensi terjadi dengan
mencari dan mengumpulkan data. Hal inilah yang melatar belakangi peneliti untuk
2
melakukan penelitian terkait dengan interaksi obat Favipiravir pada pasien COVID-
19.
1. Dapat menambah pengetahuan tentang terapi dan potensi interaksi obat Favipiravir
bagi peneliti dan pembaca.
2. Sebagai data dasar lebih lanjut tentang terapi dan potensi interaksi obat Favipiravir.
3. Sebagai sumber informasi dan masukan dalam penyempurnaan mutu pengobatan
pada pasien COVID-19.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Interaksi obat-obat
Interaksi obat -obatan adalah jenis interaksi obat yang paling
umum. Semakin banyak obat yang Anda minum, semakin besar kemungkinan
obat Anda berinteraksi dengan obat lain. Interaksi obat-obat dapat menurunkan
seberapa baik obat Anda bekerja, dapat meningkatkan efek samping ringan atau
serius yang tidak terduga, atau bahkan meningkatkan tingkat darah dan
kemungkinan toksisitas obat tertentu.
4
2 Interaksi obat-penyakit
Interaksi obat tidak selalu terjadi hanya dengan obat atau makanan lain
Misalnya, dekongestan oral yang dijual bebas seperti pseudoefedrin (Sudafed)
atau fenilefrin (Sudafed PE) dapat meningkatkan tekanan darah dan dapat
berbahaya jika Anda memiliki tekanan darah tinggi (drugs.com, 2021)
2.1.3 Mekanisme Interaksi Obat
Mekanisme dari interaksi obat ini sendiri dapat dibagi menjadi tiga:
Interaksi farmasetik dimana interaksi ini terjadi antara dua obat yang diberikan
dalam waktu bersamaan yang biasanya terjadi sebelum obat tersebut dikonsumsi.
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika obat
mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
daripada obat lain, sehingga dampaknya dapat meningkatkan atau mengurangi efek
farmakologis salah satu dari obat yang dikonsumsi tersebut, sedangkan interaksi
farmakodinamik merupakan interaksi yang dapat terjadi antar obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis, atau efek samping yang hampir sama (Agustin &
Fitrianingsih, 2020).
1. Interaksi Farmakokinetik
5
menggantikan obat lain, sehingga jumlah bentuk bebas meningkat dan
dapat berdifusi dari plasma ke tempat kerja obat. Hanya ketika
konsentrasi obat terkonjugasi sangat tinggi (lebih dari 90%) dan tidak
didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, ini akan menyebabkan
peningkatan efek yang dapat dideteksi. Namun, pergeseran posisi jarang
menghasilkan peningkatan yang lebih besar daripada peningkatan
sementara, karena peningkatan bentuk bebas juga meningkatkan
kecepatan eliminasi obat. Penggantian situs pengikatan protein penting
untuk peningkatan warfarin oleh sulfonamid dan tolbutamida. Tapi ini
sangat penting karena metabolisme warfarin juga terhambat.
c. Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi sistem enzim
mikrosomal hati oleh satu obat dapat menyebabkan perubahan bertahap
dalam tingkat metabolisme obat lain, mengakibatkan penurunan kadar
plasma dan efek obat melemah. Penghentian obat penginduksi dapat
menyebabkan kadar plasma obat lain meningkat, menyebabkan gejala
keracunan. Barbiturat, griseofulvin, beberapa obat antiepilepsi dan
rifampisin adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat-obatan
yang terpengaruh termasuk warfarin dan kontrasepsi oral. Di sisi lain,
ketika satu obat menghambat metabolisme obat lain, tingkat plasma
akan meningkat, menghasilkan peningkatan efek yang cepat dan
peningkatan risiko. Beberapa obat yang meningkatkan efikasi warfarin
dan fenitoin memiliki mekanisme yang serupa.
d. Mempengaruhi ekskresi ginjal
Obat dieliminasi oleh ginjal, filtrasi glomerulus dan sekresi aktif
di tubulus ginjal. Akan terjadi persaingan antar obat yang menggunakan
mekanisme transpor aktif yang sama di tubulus proksimal. Misalnya,
salisilat dan beberapa obat antiinflamasi nonsteroid menghambat
ekskresi metotreksat; toksisitas metotreksat yang parah dapat terjadi.
6
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi obat adalah terjadinya perubahan efek suatu obat akibat pengaruh
pemberian obat, herbal medisin, makanan, minuman atau agen kimia lain secara
bersamaan atau hampir bersamaan. Interaksi obat merupakan salah satu penyebab
terjadinya drug related problem (DRP). Salah satu kategori penting terkait dengan
DRP adalah interaksi obat, dan hal ini menjadi satu masalah yang serius dalam
terapi karena jika terjadi interaksi obat akan mempengaruhi keberhasilan terapi dan
berpotensi menyebabkan kegagalan terapi, bisa menyebabkan gangguan tubuh baik
bersifat sementara atau permanen dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Meskipun begitu tidak semua interaksi obat merugikan, bahkan ada yang
menguntungkan, tetapi efek merugikan jauh lebih besar akibat interaksi obat
(Manik, 2012).
7
2.1.5 Penatalaksanaan Interaksi obat
a Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi. Jika risiko interaksi obat lebih
besar daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat
pengganti.
b Menyesuaikan dosis. Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek
obat, maka perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
c Memantau pasien. Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan,
pemantauan diperlukan.
d Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya. Jika interaksi obat tidak bermakna
klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan
yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Noviani
&Vitrinurilawaty, 2017)
8
Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian
bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.Tanggal 30 Januari
2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus
lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia,
Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina,
India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman. Coronavirus disease
(COVID19) pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah
dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah
1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia
sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara (Susilo &
Rumende, 2020).
2.2.3 Virologi
9
ikatan yang kuat dengan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) pada manusia.
Setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma
sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya,
genom virus yang baru terbentuk masuk kedalam Retikulum Endoplasma atau Golgi
sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein
nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam Retikulum Endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung
dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (Susilo &
Rumende, 2020).
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan
laring, kemudian memasuki paruparu melalui traktus respiratorius. Selanjutnya,
virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting
10 Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan traktus
gastrointestinal. Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona
ke dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk
berikatan dengan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), yaitu reseptor
membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada
priming protein S ke protease selular, yaitu Transmembran Protease Serin 2
(TMPRSS2) (Nur Indah Fritriani 2020).
2.3 Favipiravir
2.3.1 Favipiravir
10
32 studi yang terdaftar diklinistrials.gov untuk menilai kegunaan obat ini dalam
pengelolaan COVID-19 (Agrawal & Udwadia, 2020). Favipiravir (T-705) adalah
prodrug sintetis, pertama kali ditemukan saat menilai aktivitas antivirus dari bahan
kimia yang aktif melawan virus influenza di perpustakaan kimia bahan kimia
Toyoma. Senyawa timbal, A/PR/8/34, kemudian ditetapkan sebagai T-1105, dan
turunannya ditemukan memiliki aktivitas antivirus. Favipiravir diturunkan dengan
modifikasi kimia dari bagian pyrazine T-1105. Ini telah disetujui di Jepang untuk
pengelolaan infeksi pandemi influenza yang muncul pada tahun 2014 (Agrawal &
Udwadia, 2020).
Favipiravir adalah selektif dan inhibitor poten dari influenza virus RNA
polymerase dan efektif terhadap semua subtipe dan galur virus influenza termasuk
yang sensitif atau resisten terhadap neuraminidase dan penghambat M2 yang
dipasarkan. Favipiravir menunjukkan aktivitas anti-virus terhadap virus RNA lain
(Ghasemnejad & Pashapour, 2021). Favipiravir (nama kimia: 6-fluoro-3-
hydroxypyrazine-2-carboxamide) pertama kali dikembangkan oleh Toyama
Chemicals Japan (Avigan). Pada tahun 2014, memperoleh izin edar di Jepang
untuk terapi influenza, untuk kasus yang tidak merespons pengobatan
konvensional. Favipiravir adalah prodrug. Ini mengalami intraseluler ribosilasi
dan fosforilasi menjadi bentuk aktif favipiravir ribofuranosyl-5'-triphosphate
(favipiravir RTP). Favipiravir-RTP mengikat dan menghambat virus RdRp,
mengakibatkan penghambatan transkripsi dan replikasi genom virus (Instiaty &
Gayatri, 2020).
2.3.2 Mekanisme kerja Obat Favipiravir
11
purin, sehingga menghambat aktivitasnya menyebabkan penghentian
sintesis protein virus.
2. Itu dimasukkan ke dalam untai RNA virus, mencegah ekstensi lebih lanjut.
Mekanisme aksi ini, bersama dengan pelestarian domain katalitik enzim
RdRp di berbagai virus RNA, menjelaskan spektrum luas aktivitas obat ini.
3. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa favipiravir menginduksi mutagenesis
yang mematikan secara in vitro selama infeksi virus influenza,
menjadikannya obat yang mematikan. Apakah aktivitas serupa ditunjukkan
terhadap SARS-CoV-2 atau tidak tidak pasti.
12
harus menghentikan aktivitas menyusui karena metabolit aktif Favipiravir
yang didistribusikan dalam ASI.
c. Pada laki-laki, Favipiravir terdistribusi dalam sperma. Jika obat diberikan
pada pasien pria agar menggunakan metode kontrasepsi yang paling efektif
dengan pasangannya selama dan untuk 7 hari setelah pengobatan berakhir.
d. Belum terdapat cukup penelitian yang melihat keamanan pemberian
Favipiravir pada pasien anak-anak, sehingga pemberian Favipiravir tidak
direkomendasikan pada pasien anak-anak.
e. Favipiravir harus diberikan dengan hati-hati pada pasien gout atau pasien
yang memiliki riwayat gout, pasien hiperurecemia karena asam urat dapat
meningkat dan memperburuk gejala.
f. Konsentrasi Favipiravir dalam darah dapat meningkat pada pasien usia
lanjut yang disebabkan perbedaan massa tubuh sehingga penggunaannya
harus diperhatikan secara khusus (Soedarsono, 2020).
13
1. Interaksi obat
Favipiravir harus digunakan secara hati-hati bila diberikan bersama
obat berikut: (Lukito.K, 2020).
Nama obat Tanda dan Gejala Mekanisme dan Faktor
Risiko
pirazinamid Asam urat darah meningkat. Pada Reabsorpsi asam urat dalam
pemberian pirazinamid 1500 mg tubulus ginjal secara aditif
sekali sehari dan Favipiravir 1200 ditingkatkan.
mg/ 400 mg 2 x sehari, kadar asam
urat darah adalah 11,6 mg/dL ketika
pirazinamid digunakan sendiri, dan
13,9 mg/dL bila digunakan dalam
kombinasi dengan Favipiravir.
14
2. Efek samping
Pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam posologi,
dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum dalam table
berikut: (Lukito.K, 2020).
15
2.4 Hipertensi dan Diabetes melitus
2.4.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah, baik
sistolik maupun diastolik, yaitu sama atau lebih dari 140/90. Hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) merupakan faktor resiko stroke dengan
besar resiko 6,905 kali lebih besar dibandingkan yang tidak hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg). Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya
maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak
pecah, maka timbulah perdarahan di otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit, maka aliran darah keotak akan terganggu dan sel otak akan
mengalami kematian (Suntara & Rahmah, 2021).
1. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Bagi sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi,
penyebabnya tidak diketahui. Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer
atau esensial. Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik tekanan
darah tinggi, yang diklasifikasikan sebagai hipertensi sekunder. Lebih dari
90% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi primer.
Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan
terapi yang tepat (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor
genetik dapat memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi
primer. Dimana bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung berkembang
secara bertahap selama bertahun-tahun (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).
2. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah arteri disebabkan oleh beberapa variabel hemodinamik,
yaitu: curah jantung (cardiac output) dan resistensi vaskular dari seluruh
aliran darah sistemik (resistensi perifer total; resistensi perifer total). Selain
itu, curah jantung berasal dari dua variabel, denyut jantung dan volume
sekuncup (stroke volume); variabel terakhir dapat meningkat seiring dengan
peningkatan kontraksi miokard atau aliran balik vena. Resistensi vaskular
16
dapat meningkat karena stimulasi adrenergik, aktivitas penghambatan renin,
dan sejumlah besar hormon atau zat cairan tubuh dalam sirkulasi. Banyak
faktor yang meningkatkan ketegangan otot arteriol dan resistensi perifer
total, seperti yang tercantum dalam tabel berikut. Semua faktor ini
bergantung satu sama lain untuk individu normal dan individu hipertensi
(Chobanian & Karimbakas, 2003).
3. Klasifikasi hipertensi
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 (Chobanian &
Karimbakas, 2003).
17
mempertahankan hidup. Tanpa manajemen harian yang
tepat, keadaan darurat medis dapat muncul.
• Diabetes tipe 1 sebelumnya dikenal sebagai insulin-
dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes remaja.
• Tipe 1 diduga disebabkan oleh faktor risiko genetik dan
lingkungan.
b Diabetes tipe 2 jauh lebih umum daripada tipe 1 dan
merupakan 90% atau lebih dari semua kasus diabetes. Namun,
banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari bahwa
mereka memilikinya.
• Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa,
meskipun lebih banyak kasus sekarang terjadi pada anak-
anak, terutama karena masalah kelebihan berat badan dan
obesitas.
• Hilangnya sekresi insulin sel beta yang progresif
dikombinasikan dengan resistensi insulin menyebabkan
bentuk penyakit ini.
• Diabetes tipe 2 menjadi lebih umum karena meningkatnya
jumlah orang Amerika yang lebih tua, meningkatnya
obesitas, pola makan yang buruk, dan kurang olahraga.
• Di AS, kelebihan berat badan atau obesitas adalah faktor
risiko paling umum yang dapat dimodifikasi untuk
diabetes tipe 2; Namun, tidak semua pasien diabetes tipe 2
memiliki masalah berat badan. Faktor risiko genetik dan
lingkungan juga berperan.
c Diabetes gestasional adalah glukosa darah tinggi yang
berkembang pada tahap akhir kehamilan pada wanita yang
tidak menderita diabetes.
• Meskipun diabetes gestasional biasanya sembuh setelah
bayi lahir, seorang wanita mungkin berisiko lebih besar
18
terkena diabetes tipe 2 di kemudian hari, dan harus
dipantau.
• Diabetes gestasional dapat disebabkan oleh hormon atau
kekurangan insulin. Diabetes gestasional dapat terjadi
pada sekitar 5% wanita hamil, dan kelebihan berat badan
atau obesitas sebelum hamil mungkin menjadi salah satu
faktornya.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.2.1 Alat
20
3.3.4 Definisi Operasional
21
7. Mekanisme interaksi obat
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang
melibatkan aspek-aspek farmakokinetika obat dan interaksi respon terhadap
farmakodinamik obat.
3.3.5 Fokus Penelitian
22
3.3.6 Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien COVID-19 yang di
rawat inap yang di dalam kurung waktu 1 Maret - Agustus 2021 di RSUD
Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar dan mendapatkan terapi obat
Favipiravir.
Sampel
23
2) Pasien COVID-19 yang pindah atau pulang secara paksa.
24
3.3.8 Teknik Analisis Data
25
Lampiran 1. Lembar kerja Rekam medis Pasien COVID-19 di rumah sakit RSUD Harapan Insan Sendawar pada periode 1
Maret - Agustus 2021
Keterangan data
Tanggal Jumlah
No Umur Jk Diagnosis Nama obat Aturan pakai klinik atau data
pengobatan obat
laboratorium
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
26
Lampiran 2. Kajian Interaksi Obat
Mekanisme
Kategori
Obat A Obat B interaksi Mekanisme dan Efek Management
signifikasi
FK FD Un
27
DAFTAR PUSTAKA.
Agrawal, U., Raju, R., & Udwadia, Z. F. 2020. Favipiravir: A new and emerging
antiviral option in COVID-19. Medical Journal Armed Forces India, 76(4),
370–376. https://doi.org/10.1016/j.mjafi.2020.08.004]
Agustin, O. A., dan Fitrianingsih. 2020. Kajian Interaksi Obat Berdasarkan Kategori
Signifikansi Klinis Terhadap Pola Peresepan Pasien Rawat Jalan di Apotek
x Jambi: Jurusan Farmasi, Universitas Jambi, Kota Jambi
Andreas, 2021. Kasus Terus Meningkat, Warga Diminta Patuhi Protokol Kesehatan,
Corona – page 8- kutai barat.
https://kutaibaratkab.go.id/category/corona/page/8/, diakses pada 11
November 2021 pukul 20.30
Chobanian, A. V., Bakris, G. L., Black, H. R., Cushman, W. C., Green, L. A., Izzo,
J. L., Jones, D. W., Materson, B. J., Oparil, S., Wright, J. T., Roccella, E.
J., Lenfant, C., Carter, B. L., Cohen, J. D., Colman, P. J., Cziraky, M. J.,
Davis, J. J., Ferdinand, K. C., Gifford, R. W., Karimbakas, J. 2003. The
seventh report of the joint national committee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report.
Journal of the American Medical Association, 289(19), 2560–2572.
https://doi.org/10.1001/jama.289.19.2560
Fitriani Nur Indah. 2020. Tinjauan Pustaka Covid-19: Virologi, Patogenesis, dan
Manifestasi Klinis. Medika Malahayati, 4(3), 194–201.
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/medika/article/viewFile/3174
Hanutami NP, B., & Dandan, K. L. 2013. Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat
Pada Resep Umum Di Apotek Kimia Farma 58 Kota Bandung Bulan April
2019. Jurnal Farmaka, 4(April), 1–15.
28
https://cdn.ymaws.com/www.aparx.org/resource/resmgr/Ces/CE_Hyperte
nsion_The_Silent_K.pdf
https://doi.org/10.1055/a-1296-7935
Instiaty, Sri Darmayani, I. G. A. A. P., Marzuki, J. E., Angelia, F., William, Siane,
A., Sary, L. D., Yohanes, L., Widyastuti, R., Nova, R., Simorangkir, D. S.,
Lonah, Safitri, Y., Aliska, G., & Gayatri, A. 2020. Antiviral treatment of
covid-19: A clinical pharmacology narrative review. Medical Journal of
Indonesia, 29 (3),332–345. https://doi.org/10.13181/mji.rev.204652.
Joshi, S., Parkar, J., Ansari, A., Vora, A., Talwar, D., Tiwaskar, M., Patil, S., &
Barkate, H. 2021, Role of favipiravir in the treatment of COVID-19.
International Journal of Infectious Diseases, 102, 501–508
Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L., & Lu, S. 2020. Molecular immune pathogenesis
and diagnosis of COVID-19. Journal of Pharmaceutical Analysis, 10(2),
halaman 102–108. https://doi.org/10.1016/j.jpha.2020.03.001
Lukito, J. I. 2020. Tinjauan Antivirus untuk Terapi COVID-19. In 340 Cdk-286 (Vol.
47, Issue 5, p. PP:342).
Manik, U., Harahap, U., Tjipta, G. 2012. A Retrospective Study on Drug Interaction
For Pediatric In-Patients at Central Public Hospital Haji Adam Malik,
Medan For The Period of January-June 2012. International Journal of
Basic Clinical Pharmacology 3, 512.
Mariam. 2016. Evaluasi Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Geriatri
Penderita Gagal Jantung. Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi Bogor
Maulan, A, 2021. Baca artikel CNN Indonesia “Daftar 8 Obat Terapi Covid Izin
BPOM, Termasuk Ivermectin”selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210715080213-20-
667908/daftar-8-obat-terapi-covid-izin-bpom-termasuk-ivermectin,
diakses pada 11 November 2021 pukul 20.32
29
Noviani, N. & Vitrinurilawaty, V. 2017. Farmakologi: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia 2021, Informatorium Obat Nasional
Indonesia (IONI), BPOM RI, diakses 12 November 2021.
http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-1-interaksi-obat-0
Rahayu, L. A. D., Admiyanti, J. C., Khalda, Y. I., Ahda, F. R., Agistany, N. F. F.,
Setiawati, S., Shofiyanti, N. I., & Warnaini, C. 2021. Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Dan Obesitas Sebagai Faktor Komorbiditas Utama Terhadap
Mortalitas Pasien Covid-19: Sebuah Studi Literatur. JIMKI: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 9(1), 90–97.
https://doi.org/10.53366/jimki.v9i1.342
Rambadhe, S., Chakarborty, A., Shrivastava, A., Ptail, U.K., Rambadhe, A., 2012. A
Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications.
Toxicology International, 19(1): halaman 68–73.
Setiabudy, R., Sulaiman, A., Santosa, F., Sundoro, J., & Harinda, F. 2020. Tinjauan
Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran. Jurnal
Etika Kedokteran Indonesia, 4(1), 33.https://doi.org/10.26880/jeki.v4i1.44
Suntara, D. A., Roza, N., & Rahmah, A. 2021. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian
Stroke Pada Lansia Di Wilayah Kerjapuskesmas Sekupang Kelurahan
Tanjung Riau Kota Batam. Jurnal Inovasi Penelilktaian, 1(10), 2177.
Susilo, A., & Rumende.C.M. 2020. Coronavirus Disease 2019: Review of Current
Literatures: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
30
Vardanyan, R, & Hruby, V, 2016. Antiviral Drugs, in Synthesis of Best-Seller Drugs,
p687-736.
Wang, M., Cao, R., Zhang, L., Yang, X., Liu, J., Xu, M., Shi, Z., Hu, Z., Zhong, W.
& Xiao, G. 2020. Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the
recently emerged novel coronavirus (2019- nCoV) in vitro. Cell Res. 2020.
;30(3):269–71
Yohei Doi, Observational Favipiravir Group Study. 2020. Preliminary Report of the
Favipiravir Observational Study in Japan. The Japanese Association for
Infectious Diseases, halaman 1–6.
Yuniarti, N., Yuswar, M. A., & Untari, E. K. 2020. Kejadian interaksi obat pada
pasien HIV/AIDS yang menerima antiretroviral di RSUD Dr. Soedarso
Pontianak periode 2018. Jurnal Cerebellum, 5(4A), 6.
https://doi.org/10.26418/jc.v6i1.43345
31