Anda di halaman 1dari 35

INTERAKSI OBAT FAVIPIRAVIR PADA PASIEN COVID-19 DI RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH HARAPAN INSAN SENDAWAR KABUPATEN


KUTAI BARAT

Oleh
TERESIA DELVI
181148201057

PROPOSAL USULAN PENELITIAN

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIRGAHAYU
SAMARINDA
2021
LEMBAR PENGESAHAN
INTERAKSI OBAT FAVIPIRAVIR PADA PASIEN COVID-19 DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH HARAPAN INSAN SENDAWAR KABUPATEN
KUTAI BARAT

Oleh
TERESIA DELVI
181148201057

(Program Studi Sarjana Farmasi)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dirgahayu


Samarinda

Menyetujui
Tim Pembimbing

Agustus 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Liniati Geografi, M.Sc. Clara Ritawany Sinaga, M.Farm


NIK: NIK :

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………..……………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... ii

DAFTAR ISI.……………………………..…………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..……………………………………………………4

2.1 Interaksi Obat.................................................................................................. 4

2.1.1 Pengertian interaksi obat……………………………………………...4


2.1.2 Jenis interaksi obat……………………………………………………4
2.1.3 Mekanisme interaksi obat………………………………………….…5
2.1.4 Masalah terkait interaksi obat………………………………………...7
2.1.5 Penatalaksanaan Interaksi obat……………………………………….8
2.2 Penyakit COVID-19 ....................................................................................... 8

2.2.1 Pengertian COVID-19……………………………………………….8


2.2.2 Epidemiologi………………………………………………………...8
2.2.3 Virologi………………………………………………………………9
2.2.4 Patogenesis…………………………………………………………..9
2.3 Favipiravir ..................................................................................................... 10

2.3.1 Favipiravir………………………………………………………….10
2.3.2 Mekanisme kerja obat Favipiravir………………………………….11
2.3.3 Farmakodamik dan Farmakokinetika Favipiravir…………………..12
2.3.4 Peringatan dan………………………………………………………12

iii
2.4 Hipertensi dan Diabetes melitus……………………………………………16
2.4.1 Pengertian Hipertensi……………………………………………….16
2.4.2 Pengertian Diabetes malitus…………………………………………17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 20

3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 20

3.2.1 Alat .................................................................................................... 20

3.2.2 Bahan ................................................................................................. 20

3.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 20

3.3.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 20

3.3.4 Definisi Operasional ......................................................................... 21

3.3.3 Fokus Penelitian…………………………………………………….22

3.3.4 Populasi dan Sampel………………………………………………..23

3.3.7 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 24

3.3.8 Teknik Analisis Data......................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….....28

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interaksi obat merupakan suatu peristiwa dimana ketika obat diberikan


secara bersamaan, obat tersebut memberikan reaksi terhadap obat lainnya sehingga
kerja atau efek obat bisa berkurang, bertambah atau tidak memberikan efek sama
sekali (Hanutami & Dandan, 2013). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila
berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit
(indeks terapi yang rendah) (Mariam, 2016).
Berkembangan wabah COVID-19 terjadi diseluruh dunia termasuk
Indonesia, Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) merupakan penyakit yang
menular dan berbahaya yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan ditemukan pertama kali di kota Wuhan, Republik
Rakyat Tiongkok pada bulan Desember 2019. Sebagian besar orang yang tertular
COVID-19 akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa
penanganan khusus. Sebagian orang akan mengalami sakit parah dan memerlukan
bantuan medis (WHO, 2021).
Penyebaran COVID-19 di Indonesia telah menyebar hingga ke seluruh
bagian provinsi. Menurut data yang disampaikan oleh Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19 di Kutai Barat pada bulan Desember 2020, perkembangan
kasus COVID-19 di Kutai Barat terkonfirmasi positif sebanyak 401 orang, kasus
suspek sebanyak 355 orang, kasus probable 4, pasien dalam perawatan di rumah sakit
7 orang, isolasi mandiri 61 orang, selesai isolasi (sembuh) 331 orang, kasus kematian
5 kasus, kontak erat 2.146 orang, jumlah spesimen 3.051 spesimen dan pelaku
perjalanan 41.692 orang dan kasus discarded 1.845 orang (Andreas, 2021).
Pasien COVID-19 dengan penyakit penyerta atau komorbid memiliki
tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit

1
bawaan. Hal ini didukung dengan penelitian yang menunjukan 88% kematian pada
pasien positif SARS-CoV-2 disebabkan oleh riwayat komorbiditas. Komorbid yang
paling umum dijumpai pada pasien COVID-19 adalah diabetes melitus dan
hipertensi, Prevalensi pasien COVID-19 dengan diabetes melitus mencapai 41,7%,
dan hipertensi mencapai 56,6%. Peningkatan risiko kematian mencapai 1,95 kali pada
pasien COVID-19 dengan penyakit hipertensi sedangkan risiko kematian meningkat
sebanyak 2 kali pada pasien COVID-19 dengan penyakit diabetes melitus (Rahayu &
Warnaini, 2021).
Pengobatan yang digunakan pada pasien COVID-19 di Indonesia adalah
obat antivirus yang terdiri dari 6 jenis obat di antaranya: Remdesivir, Favipiravir,
Oseltamivir, Lopinavir + Ritonavir, Hidroksiklorokuin, Klorokuin Fosfat (Lukito.K,
2020). Antivirus merupakan senyawa yang dapat menghambat atau menghentikan
kerja dari replikasi virus (Vardayan dan Hruby, 2016). Golongan Antivirus yang
paling sering digunakan di seluruh dunia dan di Indonesia untuk pengobatan COVID-
19 salah satu diantaranya adalah Favipiravir (Serap S.& Serhat U, 2020). Favipiravir
merupakan agen antivirus spektrum luas golongan sintesis RNA yang memiliki
mekanisme kerja dengan cara menghambat selektif RNA polimerase sehingga
menghambat sintesis RNA virus yang proses transkripsi dan replikasi virus (Wang
M, 2020).
Favipiravir banyak digunakan sebagai terapi pada pasien COVID-19 di
rumah sakit Umum Daerah Harapan Insan Sendawar (RSUD HIS) yang merupakan
Rumah Sakit Umum Type C yang ada di Kabupaten Kutai Barat dan merupakan pusat
rujukan dari 16 Puskesmas, 1 Puskesmas Terapung, 6 Balai Pengobatan serta sarana
pelayanan kesehatan lain yang ada diwilayah Kutai Barat. Tingkat kesembuhan
COVID-19 menjadi prioritas sehingga terapi pasien perlu optimalisasikan.
Pencegahan dan tidak lanjut segera terhadap potensi interaksi obat dapat
meningkatkan keberhasilan dalam pengobatan pasien COVID-19. Para farmasis
diharapkan manpu mengidentifikasi interaksi obat yang berpotensi terjadi dengan
mencari dan mengumpulkan data. Hal inilah yang melatar belakangi peneliti untuk

2
melakukan penelitian terkait dengan interaksi obat Favipiravir pada pasien COVID-
19.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagimana gambaran peresepan dan interaksi obat Favipiravir pada pasien


COVID-19 rawat inap yang memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan
hipertensi di Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar?

2. Bagaimana potensi tingkat keparahan dan jenis mekanisme interaksi obat


Favipiravir pada pasien COVID -19 rawat inap di Rumah Sakit Harapan Insan
Sendawar?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peresepan


Favipiravir, interaksi obat, potensi tingkat keparahan dan jenis mekanisme interaksi
obat Favipiravir pada pasien COVID-19 rawat inap di Rumah Sakit Harapan Insan
Sendawar.
1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah pengetahuan tentang terapi dan potensi interaksi obat Favipiravir
bagi peneliti dan pembaca.
2. Sebagai data dasar lebih lanjut tentang terapi dan potensi interaksi obat Favipiravir.
3. Sebagai sumber informasi dan masukan dalam penyempurnaan mutu pengobatan
pada pasien COVID-19.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

2.1.1 Pengertian Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan interaksi yang dapat terjadi apabila efek


obat diubah oleh obat lain, makanan, atau minuman. Interaksi obat ini dapat
menyebabkan beberapa masalah antara lain penurunan efek terapi, peningkatan
toksisitas, atau efek farmakologis yang tidak diharapkan. Interaksi obat
berdasarkan level signifikansi klinis atau tingkat keparahan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu minor jika interaksi mungkin terjadi
tetapi bisa dianggap tidak berbahaya, interaksi moderate dimana interaksi ini
dapat terjadi sehingga bisa meningkatkan efek samping obat. Interaksi mayor
merupakan potensi berbahaya dari interaksi obat yang dapat terjadi pada pasien
sehingga cara yang diperlukan adalah dilakukannya monitoring/intervensi.
Adapun yang dimaksud dengan potensi berbahaya adalah jika ada probabilitas
tinggi dari peristiwa yang dapat merugikan pasien dimana salah satu akibatnya
dapat menyebabkan kerusakan organ yang dapat membahayakan kehidupan
pasien (Agustin & Fitrianingsih, 2020).
2.1.2 Jenis Interaksi Obat

1 Interaksi obat-obat
Interaksi obat -obatan adalah jenis interaksi obat yang paling
umum. Semakin banyak obat yang Anda minum, semakin besar kemungkinan
obat Anda berinteraksi dengan obat lain. Interaksi obat-obat dapat menurunkan
seberapa baik obat Anda bekerja, dapat meningkatkan efek samping ringan atau
serius yang tidak terduga, atau bahkan meningkatkan tingkat darah dan
kemungkinan toksisitas obat tertentu.

4
2 Interaksi obat-penyakit
Interaksi obat tidak selalu terjadi hanya dengan obat atau makanan lain
Misalnya, dekongestan oral yang dijual bebas seperti pseudoefedrin (Sudafed)
atau fenilefrin (Sudafed PE) dapat meningkatkan tekanan darah dan dapat
berbahaya jika Anda memiliki tekanan darah tinggi (drugs.com, 2021)
2.1.3 Mekanisme Interaksi Obat
Mekanisme dari interaksi obat ini sendiri dapat dibagi menjadi tiga:
Interaksi farmasetik dimana interaksi ini terjadi antara dua obat yang diberikan
dalam waktu bersamaan yang biasanya terjadi sebelum obat tersebut dikonsumsi.
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika obat
mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
daripada obat lain, sehingga dampaknya dapat meningkatkan atau mengurangi efek
farmakologis salah satu dari obat yang dikonsumsi tersebut, sedangkan interaksi
farmakodinamik merupakan interaksi yang dapat terjadi antar obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis, atau efek samping yang hampir sama (Agustin &
Fitrianingsih, 2020).
1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,


metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk
dapat menimbulkan efek farmakologinya (Drugs.com, 2021)
a. Mempengaruhi absorpsi
Laju absorpsi atau jumlah total absorpsi dapat dipengaruhi oleh
interaksi obat. Secara klinis, kecuali jika kadar obat dalam plasma tinggi
(seperti analgesik) diperlukan, absorpsi yang tertunda tidak terlalu
berarti. Namun, pengurangan penyerapan dapat membuat pengobatan
tidak efektif.
b. Menyebabkan perubahan pada ikatan protein
Sebagian besar obat memiliki ikatan yang lemah dengan protein
plasma, karena ikatan protein tidak spesifik, obat yang satu dapat

5
menggantikan obat lain, sehingga jumlah bentuk bebas meningkat dan
dapat berdifusi dari plasma ke tempat kerja obat. Hanya ketika
konsentrasi obat terkonjugasi sangat tinggi (lebih dari 90%) dan tidak
didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, ini akan menyebabkan
peningkatan efek yang dapat dideteksi. Namun, pergeseran posisi jarang
menghasilkan peningkatan yang lebih besar daripada peningkatan
sementara, karena peningkatan bentuk bebas juga meningkatkan
kecepatan eliminasi obat. Penggantian situs pengikatan protein penting
untuk peningkatan warfarin oleh sulfonamid dan tolbutamida. Tapi ini
sangat penting karena metabolisme warfarin juga terhambat.
c. Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi sistem enzim
mikrosomal hati oleh satu obat dapat menyebabkan perubahan bertahap
dalam tingkat metabolisme obat lain, mengakibatkan penurunan kadar
plasma dan efek obat melemah. Penghentian obat penginduksi dapat
menyebabkan kadar plasma obat lain meningkat, menyebabkan gejala
keracunan. Barbiturat, griseofulvin, beberapa obat antiepilepsi dan
rifampisin adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat-obatan
yang terpengaruh termasuk warfarin dan kontrasepsi oral. Di sisi lain,
ketika satu obat menghambat metabolisme obat lain, tingkat plasma
akan meningkat, menghasilkan peningkatan efek yang cepat dan
peningkatan risiko. Beberapa obat yang meningkatkan efikasi warfarin
dan fenitoin memiliki mekanisme yang serupa.
d. Mempengaruhi ekskresi ginjal
Obat dieliminasi oleh ginjal, filtrasi glomerulus dan sekresi aktif
di tubulus ginjal. Akan terjadi persaingan antar obat yang menggunakan
mekanisme transpor aktif yang sama di tubulus proksimal. Misalnya,
salisilat dan beberapa obat antiinflamasi nonsteroid menghambat
ekskresi metotreksat; toksisitas metotreksat yang parah dapat terjadi.

6
2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang


mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang
berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor
yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik
yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat
farmakologi obat-obat yang berinteraksi (PIONAS, 2021).
3. Interaksi Farmasetika
Interaksi obat adalah interaksi yang terjadi sebelum obat masuk ke
dalam tubuh pasien. Interaksi obat ini biasanya terjadi ketika dua atau lebih
obat dicampur bersama, seperti obat yang disuntikkan dan infus intravena.
Obat yang berinteraksi ini dapat menyebabkan kekeruhan, perubahan warna
dan cairan granular (drugs.com, 2021)
2.1.4 Masalah Terkait Interaksi Obat

Interaksi obat adalah terjadinya perubahan efek suatu obat akibat pengaruh
pemberian obat, herbal medisin, makanan, minuman atau agen kimia lain secara
bersamaan atau hampir bersamaan. Interaksi obat merupakan salah satu penyebab
terjadinya drug related problem (DRP). Salah satu kategori penting terkait dengan
DRP adalah interaksi obat, dan hal ini menjadi satu masalah yang serius dalam
terapi karena jika terjadi interaksi obat akan mempengaruhi keberhasilan terapi dan
berpotensi menyebabkan kegagalan terapi, bisa menyebabkan gangguan tubuh baik
bersifat sementara atau permanen dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Meskipun begitu tidak semua interaksi obat merugikan, bahkan ada yang
menguntungkan, tetapi efek merugikan jauh lebih besar akibat interaksi obat
(Manik, 2012).

7
2.1.5 Penatalaksanaan Interaksi obat

Strategi dalam penataan obat ini meliputi:

a Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi. Jika risiko interaksi obat lebih
besar daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat
pengganti.
b Menyesuaikan dosis. Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek
obat, maka perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
c Memantau pasien. Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan,
pemantauan diperlukan.
d Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya. Jika interaksi obat tidak bermakna
klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan
yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Noviani
&Vitrinurilawaty, 2017)

2.2 Penyakit COVID-19

2.2.1 Pengertian COVID-19

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit yang


disebabkan oleh coronavirus baru yang disebut severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARSˇCoV2, sebelumnya disebut 2019-nCoV), yang pertama kali
diidentifikasi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, RRC. Penyakit ini pertama kali
dilaporkan ke World Health Organization (WHO) pada 31 Desember 2019. Pada 30
Januari 2020, WHO menyatakan wabah COVID-19 sebagai darurat kesehatan global.
Pada 11 Maret 2020, WHO mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi global
(Lukito, 2020).
2.2.2 Epidemiologi

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di


China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020.

8
Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian
bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.Tanggal 30 Januari
2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus
lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia,
Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina,
India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman. Coronavirus disease
(COVID19) pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah
dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah
1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia
sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara (Susilo &
Rumende, 2020).
2.2.3 Virologi

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm.


Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan
unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam
genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini
masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah
Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu
Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses
mengajukan nama SARS-CoV-2 (Susilo & Rumende, 2020).
2.2.4 Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga


tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak diketahui. Protein
S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang hampir
identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas

9
ikatan yang kuat dengan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) pada manusia.
Setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma
sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya,
genom virus yang baru terbentuk masuk kedalam Retikulum Endoplasma atau Golgi
sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein
nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam Retikulum Endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung
dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (Susilo &
Rumende, 2020).
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan
laring, kemudian memasuki paruparu melalui traktus respiratorius. Selanjutnya,
virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting
10 Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan traktus
gastrointestinal. Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona
ke dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk
berikatan dengan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), yaitu reseptor
membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada
priming protein S ke protease selular, yaitu Transmembran Protease Serin 2
(TMPRSS2) (Nur Indah Fritriani 2020).
2.3 Favipiravir

2.3.1 Favipiravir

Favipiravir pertama kali digunakan untuk melawan SARS-CoV-2 di


Wuhan di pusat pandemi. Kemudian, saat pandemi menyebar ke Eropa, obat ini
mendapat persetujuan untuk penggunaan darurat di Italia, dan saat ini telah
digunakan di Jepang, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Moldova, dan Kazakhstan.
Persetujuan juga baru-baru ini diberikan di Arab Saudi dan UEA. Setelah itu,
Turki, Bangladesh, dan yang terbaru Mesir juga telah melihat peluncuran
komersial baru-baru ini. Pada Juni 2020, favipiravir menerima persetujuan DCGI
di India untuk infeksi COVID-19 ringan dan sedang. Per tanggal 23 Juli 2020; ada

10
32 studi yang terdaftar diklinistrials.gov untuk menilai kegunaan obat ini dalam
pengelolaan COVID-19 (Agrawal & Udwadia, 2020). Favipiravir (T-705) adalah
prodrug sintetis, pertama kali ditemukan saat menilai aktivitas antivirus dari bahan
kimia yang aktif melawan virus influenza di perpustakaan kimia bahan kimia
Toyoma. Senyawa timbal, A/PR/8/34, kemudian ditetapkan sebagai T-1105, dan
turunannya ditemukan memiliki aktivitas antivirus. Favipiravir diturunkan dengan
modifikasi kimia dari bagian pyrazine T-1105. Ini telah disetujui di Jepang untuk
pengelolaan infeksi pandemi influenza yang muncul pada tahun 2014 (Agrawal &
Udwadia, 2020).
Favipiravir adalah selektif dan inhibitor poten dari influenza virus RNA
polymerase dan efektif terhadap semua subtipe dan galur virus influenza termasuk
yang sensitif atau resisten terhadap neuraminidase dan penghambat M2 yang
dipasarkan. Favipiravir menunjukkan aktivitas anti-virus terhadap virus RNA lain
(Ghasemnejad & Pashapour, 2021). Favipiravir (nama kimia: 6-fluoro-3-
hydroxypyrazine-2-carboxamide) pertama kali dikembangkan oleh Toyama
Chemicals Japan (Avigan). Pada tahun 2014, memperoleh izin edar di Jepang
untuk terapi influenza, untuk kasus yang tidak merespons pengobatan
konvensional. Favipiravir adalah prodrug. Ini mengalami intraseluler ribosilasi
dan fosforilasi menjadi bentuk aktif favipiravir ribofuranosyl-5'-triphosphate
(favipiravir RTP). Favipiravir-RTP mengikat dan menghambat virus RdRp,
mengakibatkan penghambatan transkripsi dan replikasi genom virus (Instiaty &
Gayatri, 2020).
2.3.2 Mekanisme kerja Obat Favipiravir

Di dalam jaringan, molekul mengalami fosforibosilasi menjadi


favipiravir-RTP, yang merupakan bentuk aktif obat ini. Ini memberikan efek
antivirusnya melalui mekanisme berikut: (Agrawal & Udwadia, 2020).

1. Molekul ini bertindak sebagai substrat untuk enzim RNAdependent RNA-


polymerase (RdRp), yang disalahartikan oleh enzim sebagai nukleotida

11
purin, sehingga menghambat aktivitasnya menyebabkan penghentian
sintesis protein virus.
2. Itu dimasukkan ke dalam untai RNA virus, mencegah ekstensi lebih lanjut.
Mekanisme aksi ini, bersama dengan pelestarian domain katalitik enzim
RdRp di berbagai virus RNA, menjelaskan spektrum luas aktivitas obat ini.
3. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa favipiravir menginduksi mutagenesis
yang mematikan secara in vitro selama infeksi virus influenza,
menjadikannya obat yang mematikan. Apakah aktivitas serupa ditunjukkan
terhadap SARS-CoV-2 atau tidak tidak pasti.

2.3.3 Farmakodamik dan Famrmakokinetika Favipiravir

Farmakokinetik dan farmakodinamik Favipiravir diberikan


sebagai prodrug. Ini memiliki bioavailabilitas yang sangat baik (~ 94%),
pengikatan protein 54%, dan volume distribusi yang rendah (10e20L).
Mencapai Cmax dalam waktu 2 jam setelah dosis tunggal. Baik Tmax dan
waktu paruh meningkat setelah beberapa dosis. Favipiravir memiliki waktu
paruh yang pendek (2,5e5 jam) menyebabkan eliminasi ginjal yang cepat dalam
bentuk terhidroksilasi. Eliminasi dimediasi oleh aldehida oksidase dan sedikit
oleh xantin oksidase. Favipiravir menunjukkan farmakokinetik tergantung
dosis dan waktu. Ini tidak dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450, tetapi
menghambat salah satu komponennya (CYP2C8). Oleh karena itu, perlu
digunakan dengan hati-hati ketika diberikan bersamaan dengan obat yang
dimetabolisme oleh sistem CYP2C8 (Agrawal & Udwadia, 2020)

2.3.4 Peringatan dan Perhatian


a. Favipiravir menunjukkan efek teratogenik pada fetus dan dapat
menyebabkan abortus, sehingga kontraindikasi pada seluruh wanita hamil.
b. Pada wanita usia produktif wajib melakukan test kehamilan sebelum
pemberian Favipiravir. Jika terbukti terdapat kehamilan saat pengobatan
berlangsung, pengobatan harus segera dihentikan. Pada ibu menyusui:

12
harus menghentikan aktivitas menyusui karena metabolit aktif Favipiravir
yang didistribusikan dalam ASI.
c. Pada laki-laki, Favipiravir terdistribusi dalam sperma. Jika obat diberikan
pada pasien pria agar menggunakan metode kontrasepsi yang paling efektif
dengan pasangannya selama dan untuk 7 hari setelah pengobatan berakhir.
d. Belum terdapat cukup penelitian yang melihat keamanan pemberian
Favipiravir pada pasien anak-anak, sehingga pemberian Favipiravir tidak
direkomendasikan pada pasien anak-anak.
e. Favipiravir harus diberikan dengan hati-hati pada pasien gout atau pasien
yang memiliki riwayat gout, pasien hiperurecemia karena asam urat dapat
meningkat dan memperburuk gejala.
f. Konsentrasi Favipiravir dalam darah dapat meningkat pada pasien usia
lanjut yang disebabkan perbedaan massa tubuh sehingga penggunaannya
harus diperhatikan secara khusus (Soedarsono, 2020).

13
1. Interaksi obat
Favipiravir harus digunakan secara hati-hati bila diberikan bersama
obat berikut: (Lukito.K, 2020).
Nama obat Tanda dan Gejala Mekanisme dan Faktor
Risiko
pirazinamid Asam urat darah meningkat. Pada Reabsorpsi asam urat dalam
pemberian pirazinamid 1500 mg tubulus ginjal secara aditif
sekali sehari dan Favipiravir 1200 ditingkatkan.
mg/ 400 mg 2 x sehari, kadar asam
urat darah adalah 11,6 mg/dL ketika
pirazinamid digunakan sendiri, dan
13,9 mg/dL bila digunakan dalam
kombinasi dengan Favipiravir.

Repaglinid Kadar repaglinid dalam darah Penghambatan CYP2C8


mungkin meningkat, dan reaksi meningkatkan kadar
merugikan terhadap repaglinid repaglinid dalam darah.
dapat terjadi.

Teofilin Kadar Favipiravir dalam darah Interaksi dengan xantin


mungkin meningkat, dan reaksi oksidase (XO) dapat
merugikan terhadap Favipiravir meningkatkan kadar
dapat terjadi. Favipiravir dalam darah

Famsiklovir, Khasiat famsiklovir/ sulindak dapat Penghambatan aldehid


sulindak dikurangi. oksidase (AO) oleh
Favipiravir dapat
menurunkan bentuk aktif
famsiklovir/sulindak dalam
darah.

Klorokuin Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya


(Substrat belum diketahui dengan
CYP2C8) pasti
Oseltamivir Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya belum
diketahui dengan
pasti

14
2. Efek samping

Pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam posologi,
dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum dalam table
berikut: (Lukito.K, 2020).

≥ 1% 0.5 - < 1% < 0.5%


Hipersensiti Ruam Eksem, pruritus
vitas
Hepatik Peningkatan AST P eningkatan ALP darah,
(GOT), p Peningkatan bilirubin darah
eningkatan ALT
(GPT), peningkatan
γ-GT
Saluran Diare (4.79%) Mual, Perut tidak nyaman, ulkus
cerna muntah, duodenum, hematokezia, radang
sakit perut perut
Hematologi Penurunanjumlah Peningkatan jumlah sel darah
neutrofil, penurunan putih, penurunan Jumlah
jumlah leukosit retikulosit, Peningkatan jumlah
monosit
Gangguan Peningkatan asam Adanya Penurunan kadar kalium dalam
metabolisme urat dalam darah glukosa darah
(4.79%) peningkatan dalam urin
trigliserida
Saluran Asma, oropharyngeal pain,
napas rhinitis, Naso-pharyngitis
Lainnya Peningkatan kadar kreatinin
kinase dalam darah (kreatinin
fosfokinase), adanya darah
dalam urin, polip tonsil,
pigmentasi, dysgeusia, memar,
pandangan kabur, sakit pada
mata, vertigo,
supraventricu-lar extrasystoles

15
2.4 Hipertensi dan Diabetes melitus
2.4.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah, baik
sistolik maupun diastolik, yaitu sama atau lebih dari 140/90. Hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) merupakan faktor resiko stroke dengan
besar resiko 6,905 kali lebih besar dibandingkan yang tidak hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg). Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya
maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak
pecah, maka timbulah perdarahan di otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit, maka aliran darah keotak akan terganggu dan sel otak akan
mengalami kematian (Suntara & Rahmah, 2021).
1. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Bagi sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi,
penyebabnya tidak diketahui. Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer
atau esensial. Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik tekanan
darah tinggi, yang diklasifikasikan sebagai hipertensi sekunder. Lebih dari
90% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi primer.
Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan
terapi yang tepat (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor
genetik dapat memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi
primer. Dimana bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung berkembang
secara bertahap selama bertahun-tahun (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).
2. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah arteri disebabkan oleh beberapa variabel hemodinamik,
yaitu: curah jantung (cardiac output) dan resistensi vaskular dari seluruh
aliran darah sistemik (resistensi perifer total; resistensi perifer total). Selain
itu, curah jantung berasal dari dua variabel, denyut jantung dan volume
sekuncup (stroke volume); variabel terakhir dapat meningkat seiring dengan
peningkatan kontraksi miokard atau aliran balik vena. Resistensi vaskular

16
dapat meningkat karena stimulasi adrenergik, aktivitas penghambatan renin,
dan sejumlah besar hormon atau zat cairan tubuh dalam sirkulasi. Banyak
faktor yang meningkatkan ketegangan otot arteriol dan resistensi perifer
total, seperti yang tercantum dalam tabel berikut. Semua faktor ini
bergantung satu sama lain untuk individu normal dan individu hipertensi
(Chobanian & Karimbakas, 2003).
3. Klasifikasi hipertensi
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 (Chobanian &
Karimbakas, 2003).

2.4.2 Diabetes melitus


Diabetes adalah penyakit kronis jangka panjang yang ditandai
dengan tingginya kadar gula dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh
terlalu sedikit atau tidak ada insulin (hormon yang diproduksi oleh pankreas
untuk mengatur gula darah, resistensi terhadap insulin (ketika sel-sel dalam
tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin), atau kedua masalah
ini ( Drugs.com, 2021).
1. Jenis Diabetes
Ada tiga jenis utama diabetes:
a Diabetes tipe 1 biasanya didiagnosis pada masa kanak-kanak.
• Sel beta pankreas membuat insulin sedikit atau tidak sama
sekali, dan suntikan insulin setiap hari diperlukan untuk

17
mempertahankan hidup. Tanpa manajemen harian yang
tepat, keadaan darurat medis dapat muncul.
• Diabetes tipe 1 sebelumnya dikenal sebagai insulin-
dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes remaja.
• Tipe 1 diduga disebabkan oleh faktor risiko genetik dan
lingkungan.
b Diabetes tipe 2 jauh lebih umum daripada tipe 1 dan
merupakan 90% atau lebih dari semua kasus diabetes. Namun,
banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari bahwa
mereka memilikinya.
• Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa,
meskipun lebih banyak kasus sekarang terjadi pada anak-
anak, terutama karena masalah kelebihan berat badan dan
obesitas.
• Hilangnya sekresi insulin sel beta yang progresif
dikombinasikan dengan resistensi insulin menyebabkan
bentuk penyakit ini.
• Diabetes tipe 2 menjadi lebih umum karena meningkatnya
jumlah orang Amerika yang lebih tua, meningkatnya
obesitas, pola makan yang buruk, dan kurang olahraga.
• Di AS, kelebihan berat badan atau obesitas adalah faktor
risiko paling umum yang dapat dimodifikasi untuk
diabetes tipe 2; Namun, tidak semua pasien diabetes tipe 2
memiliki masalah berat badan. Faktor risiko genetik dan
lingkungan juga berperan.
c Diabetes gestasional adalah glukosa darah tinggi yang
berkembang pada tahap akhir kehamilan pada wanita yang
tidak menderita diabetes.
• Meskipun diabetes gestasional biasanya sembuh setelah
bayi lahir, seorang wanita mungkin berisiko lebih besar

18
terkena diabetes tipe 2 di kemudian hari, dan harus
dipantau.
• Diabetes gestasional dapat disebabkan oleh hormon atau
kekurangan insulin. Diabetes gestasional dapat terjadi
pada sekitar 5% wanita hamil, dan kelebihan berat badan
atau obesitas sebelum hamil mungkin menjadi salah satu
faktornya.

19
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dipelaksanaan pada bulan Februari – April 2022 di


RSUD Harapan Insan Sendawar (HIS) kabupaten Kutai Barat, Kalimatan
Timur.
3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah media laptop,


lampiran kerja, dan aplikasi yang digunakan Drugs.com.
3.2.2 Bahan

Bahan penelitian yang digunakan ialah Rekam Medis Kesehatan


(RMK) dan Lembar Pengumpulan Data (LPD) terdiri dari No.RMK dan
tanggal Masuk/Keluar rumah sakit (MRS/KRS), Inisial pasien., keluhan
dan diagnosis, riwayat penyakit, riwayat obat lainnya, profil pengobatan
dan Data klinik dan data laboratorium.
3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif evaluatif


dengan pengambilan data secara Retrospektif. Penelitian tentang kajian
interaksi obat pada pasien COVID-19 yang di rawat inap di RSUD Rumah
Sakit Harapan Insan Sendawar.

20
3.3.4 Definisi Operasional

Menurut Sugiyono (2012:31) definisi operasional adalah penentuan


konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variabel yang
dapat diukur.
1. Usia pasien
Usia lamanya masa hidup pasien yang dihitung dari tanggal lahir
pasien yang dinyatakan dalam tahun.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah suatu tanda fisik yang teridentifikasi pada
pasien dan dibawa sejak lahir. Jenis kelamin pasien yang menderita
penyakit COVID-19 dibedakan menjadi perempuan dan laki-laki. Jenis
kelamin dilihat dari rekam medis pasien COVID-19 dirumah sakit.
3. Profil obat
Profil obat merupakan penggunaan obat yang dilihat dari data rakam
medis pasien COVID-19 berupa dosis cara pakai, bentuk sedian, rute
pemberian, durasi, Dalam hal ini dapat di cek dari catatan rekam medis
pasien saat pemberian obat yang bersangkutan dengan pasien COVID-19.
4. Interaksi obat
Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan bila dua
obat atau lebih berinteraksi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan berdasarkan (Drugs.com).
5. Tingkat keparahan
Tingkat keparahan dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu interaksi
mayor, moderate dan minor (Drugs.com).
6. Penyakit penyerta (komordibitas)
Penyakit penyerta atau komorbid merupakan suatu keadaan dimana
terdapat riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus pada pasien
COVID-19 yang dirawat inap

21
7. Mekanisme interaksi obat
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang
melibatkan aspek-aspek farmakokinetika obat dan interaksi respon terhadap
farmakodinamik obat.
3.3.5 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:


1 Meminta rekomendasi Dekan Fakultas farmasi stikes dirgahayu
untuk dapat melakukan penelitian di instalasi Rawat inap di Rumah
Sakit Umun Daerah Harapan Insan Sendawar (HIS) kabupaten
Kutai Barat, Kalimatan Timur.
2 Memghubungi Direktur instalasi Rawat inap di Rumah Sakit Umun
Daerah Harapan Insan Sendawar (HIS) kabupaten Kutai Barat,
untuk mendapatkan izin melalukan penelitian dan pengambilan
data, dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas stikes
dirgahayu.
3 Mengumpulan data berupa rekam medis yang tersedia diinstalasi
Rawat inap di Rumah Sakit Umun Daerah Harapan Insan Sendawar
(HIS) kabupaten Kutai Barat.
4 Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga
didapatkan kesimpulan dari penelitian.

22
3.3.6 Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien COVID-19 yang di
rawat inap yang di dalam kurung waktu 1 Maret - Agustus 2021 di RSUD
Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar dan mendapatkan terapi obat
Favipiravir.
Sampel

Sampel yang dipilih untuk penelitian ini harus memenuhi kriteria


inklusi harus memenuhi kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau
karakteristik Setiap anggota populasi perlu bertemu, Anda dapat
menganggapnya sebagai Sampel. Kriteria eksklusi adalah karakteristik
anggota kelompok yang tidak dapat dikecualikan. Sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi:

1) Pasien yang diagnosa positif COVID-19 dan dirawat inap di RSUD


Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar dan mendapatkan terapi obat
Favipiravir pada bulan 1 Maret - Agustus 2021.
2) Pasien dengan data rekam medis yang lengkap yang berisi catatan
data Rekam Medis Kesehatan (RMK) ke sebuah lembar
pengumpulan data (LPD) yang meliputi: No.RMK dan tanggal mula
masuk/keluar rumah sakit (MRS/KRS), inisial dari identitas pasien,
diagnosis, riwayat penyakit, profil pengobatan, data klinik dan data
laboratorium yang telah diberikan kepada pasien terapi obat
Favipiravir.
3) Pasien dengan penyakit penyerta berupa penyakit hipertensi dan
diabetes melitus.
Kriteria eksklusi:

1) Pasien yang meninggal dunia selama menjalani terapi obat


favipiravir.

23
2) Pasien COVID-19 yang pindah atau pulang secara paksa.

3.3.7 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu prosedur yang dirancang


mulai dari memperoleh rekam medis kesehatan pasien COVID-19 hingga
dapat memproses pencatatan data dan analisa data. Teknik pengumpulan data
berdasarkan karakteristik meliputi:
1. penelusuran data pasien COVID-19 yang dirawat inap di RSUD
Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar pada periode 1 Maret -
Agustus 2021
2. Pemilihan pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Pengambilan data diperoleh dari catatan hasil data rekam medis,
berupa:
a. Nomor rekam medis
b. Identitas pasien (nama, usia, Jenis kelamin)
c. Profil obat (jenis, dosis, frekuensi dan aturan penggunaan)
d. Data klinik dan Data laboratorium

24
3.3.8 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari rekam medis dikumpulkan kemudian


dianalisis melalui analisis secara univariate. Analisis univariat bertujuan untuk
menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel
penelitian (Notoatmojo, 2010).

1. Analisis univariat berupa usia, jenis kelamin, diagnosa penyakit


penyerta dan Profil obat pasien COVID-19
2. Mengkategorikan tingkat keparahan interaksi obat mayor,
moderat, dan minor
3. Persentase diperoleh dari hasil data rekam medis berdasarkan
karakteristik meliputi usia, jenis kelamin, Profil obat, interaksi
obat, tingkat keparahan, penyakit penyerta (komordibitas), dan
mekanisme interaksi obat dibagi dengan jumlah keseluruhan
pasien dikalikan 100% pada pasien COVID-19 dengan terapi
Favipiravir.

25
Lampiran 1. Lembar kerja Rekam medis Pasien COVID-19 di rumah sakit RSUD Harapan Insan Sendawar pada periode 1
Maret - Agustus 2021
Keterangan data
Tanggal Jumlah
No Umur Jk Diagnosis Nama obat Aturan pakai klinik atau data
pengobatan obat
laboratorium
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

26
Lampiran 2. Kajian Interaksi Obat
Mekanisme
Kategori
Obat A Obat B interaksi Mekanisme dan Efek Management
signifikasi
FK FD Un

27
DAFTAR PUSTAKA.

Agrawal, U., Raju, R., & Udwadia, Z. F. 2020. Favipiravir: A new and emerging
antiviral option in COVID-19. Medical Journal Armed Forces India, 76(4),
370–376. https://doi.org/10.1016/j.mjafi.2020.08.004]

Agustin, O. A., dan Fitrianingsih. 2020. Kajian Interaksi Obat Berdasarkan Kategori
Signifikansi Klinis Terhadap Pola Peresepan Pasien Rawat Jalan di Apotek
x Jambi: Jurusan Farmasi, Universitas Jambi, Kota Jambi

Andreas, 2021. Kasus Terus Meningkat, Warga Diminta Patuhi Protokol Kesehatan,
Corona – page 8- kutai barat.
https://kutaibaratkab.go.id/category/corona/page/8/, diakses pada 11
November 2021 pukul 20.30

Barkate, H. 2021, Role of favipiravir in the treatment of COVID-19. International


Journal of Infectious Diseases, 102, halaman 501–508

Chobanian, A. V., Bakris, G. L., Black, H. R., Cushman, W. C., Green, L. A., Izzo,
J. L., Jones, D. W., Materson, B. J., Oparil, S., Wright, J. T., Roccella, E.
J., Lenfant, C., Carter, B. L., Cohen, J. D., Colman, P. J., Cziraky, M. J.,
Davis, J. J., Ferdinand, K. C., Gifford, R. W., Karimbakas, J. 2003. The
seventh report of the joint national committee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report.
Journal of the American Medical Association, 289(19), 2560–2572.
https://doi.org/10.1001/jama.289.19.2560

Drugs.com. 2021. Drug Interaction checker. https://www.drugs.com/drug


interactions.php. Diakses tanggal 25 November 2021.

Fitriani Nur Indah. 2020. Tinjauan Pustaka Covid-19: Virologi, Patogenesis, dan
Manifestasi Klinis. Medika Malahayati, 4(3), 194–201.
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/medika/article/viewFile/3174

Ghasemnejad-Berenji, M., & Pashapour, S. 2021. Favipiravir and COVID-19: A


Simplified Summary. Drug Research, 71(3), 166–170.

Hanutami NP, B., & Dandan, K. L. 2013. Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat
Pada Resep Umum Di Apotek Kimia Farma 58 Kota Bandung Bulan April
2019. Jurnal Farmaka, 4(April), 1–15.

28
https://cdn.ymaws.com/www.aparx.org/resource/resmgr/Ces/CE_Hyperte
nsion_The_Silent_K.pdf
https://doi.org/10.1055/a-1296-7935

Instiaty, Sri Darmayani, I. G. A. A. P., Marzuki, J. E., Angelia, F., William, Siane,
A., Sary, L. D., Yohanes, L., Widyastuti, R., Nova, R., Simorangkir, D. S.,
Lonah, Safitri, Y., Aliska, G., & Gayatri, A. 2020. Antiviral treatment of
covid-19: A clinical pharmacology narrative review. Medical Journal of
Indonesia, 29 (3),332–345. https://doi.org/10.13181/mji.rev.204652.

Joshi, S., Parkar, J., Ansari, A., Vora, A., Talwar, D., Tiwaskar, M., Patil, S., &
Barkate, H. 2021, Role of favipiravir in the treatment of COVID-19.
International Journal of Infectious Diseases, 102, 501–508

Kayce Bell, June Twiggs, B. R. O. (2018) ‘Hypertension The Silent Killer: Updated


JNC-8 Guideline Recommendations’

Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L., & Lu, S. 2020. Molecular immune pathogenesis
and diagnosis of COVID-19. Journal of Pharmaceutical Analysis, 10(2),
halaman 102–108. https://doi.org/10.1016/j.jpha.2020.03.001

Lukito, J. I. 2020. Tinjauan Antivirus untuk Terapi COVID-19. In 340 Cdk-286 (Vol.
47, Issue 5, p. PP:342).

Lukito, Penny K. 2020. Informatorium obat covid-19 di Indonesia. Jakarta: Erlangga.


Halaman 45-47. http://online.flipbuilder.com/tbog/infi/mobile/index.html

Manik, U., Harahap, U., Tjipta, G. 2012. A Retrospective Study on Drug Interaction
For Pediatric In-Patients at Central Public Hospital Haji Adam Malik,
Medan For The Period of January-June 2012. International Journal of
Basic Clinical Pharmacology 3, 512.

Mariam. 2016. Evaluasi Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Geriatri
Penderita Gagal Jantung. Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi Bogor

Maulan, A, 2021. Baca artikel CNN Indonesia “Daftar 8 Obat Terapi Covid Izin
BPOM, Termasuk Ivermectin”selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210715080213-20-
667908/daftar-8-obat-terapi-covid-izin-bpom-termasuk-ivermectin,
diakses pada 11 November 2021 pukul 20.32

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


Halaman 27-, 25, 41, 120

29
Noviani, N. & Vitrinurilawaty, V. 2017. Farmakologi: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia 2021, Informatorium Obat Nasional
Indonesia (IONI), BPOM RI, diakses 12 November 2021.
http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-1-interaksi-obat-0

Rahayu, L. A. D., Admiyanti, J. C., Khalda, Y. I., Ahda, F. R., Agistany, N. F. F.,
Setiawati, S., Shofiyanti, N. I., & Warnaini, C. 2021. Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Dan Obesitas Sebagai Faktor Komorbiditas Utama Terhadap
Mortalitas Pasien Covid-19: Sebuah Studi Literatur. JIMKI: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 9(1), 90–97.
https://doi.org/10.53366/jimki.v9i1.342

Rahmawati, F, Handayani, R., Gosal, V. 2006. Kajian retrospektif interaksi obat di


Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta, Majalah Farmasi
Indonesia, vol,17, no.4, p .178.

Rambadhe, S., Chakarborty, A., Shrivastava, A., Ptail, U.K., Rambadhe, A., 2012. A
Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications.
Toxicology International, 19(1): halaman 68–73.

Riwidikdo, H. 2012. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Madika

Serap S.& Serhat U, 2020. Antiviral treatment of covid-19. Turkish Journal of


Medical Sciences, 50(SI-1), 611–619.

Setiabudy, R., Sulaiman, A., Santosa, F., Sundoro, J., & Harinda, F. 2020. Tinjauan
Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran. Jurnal
Etika Kedokteran Indonesia, 4(1), 33.https://doi.org/10.26880/jeki.v4i1.44

Soedarsono. 2020. Penggunaan Antivirus pada Tatalaksana Pasien COVID-19. In


Tim PINERE RSUD Dr. Soetomo (Vol. 19).

Sugiyono. 2012.Metode Penelitian Bisnis. Bandunng: Alfabeta.halaman 31

Suntara, D. A., Roza, N., & Rahmah, A. 2021. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian
Stroke Pada Lansia Di Wilayah Kerjapuskesmas Sekupang Kelurahan
Tanjung Riau Kota Batam. Jurnal Inovasi Penelilktaian, 1(10), 2177.

Susilo, A., & Rumende.C.M. 2020. Coronavirus Disease 2019: Review of Current
Literatures: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

30
Vardanyan, R, & Hruby, V, 2016. Antiviral Drugs, in Synthesis of Best-Seller Drugs,
p687-736.

Wang, M., Cao, R., Zhang, L., Yang, X., Liu, J., Xu, M., Shi, Z., Hu, Z., Zhong, W.
& Xiao, G. 2020. Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the
recently emerged novel coronavirus (2019- nCoV) in vitro. Cell Res. 2020.
;30(3):269–71

Yohei Doi, Observational Favipiravir Group Study. 2020. Preliminary Report of the
Favipiravir Observational Study in Japan. The Japanese Association for
Infectious Diseases, halaman 1–6.

Yuniarti, N., Yuswar, M. A., & Untari, E. K. 2020. Kejadian interaksi obat pada
pasien HIV/AIDS yang menerima antiretroviral di RSUD Dr. Soedarso
Pontianak periode 2018. Jurnal Cerebellum, 5(4A), 6.
https://doi.org/10.26418/jc.v6i1.43345

31

Anda mungkin juga menyukai