Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

POLIP KAVUM NASI

Disusun Oleh :

1. Rafael Kurnia Pratama Tokan (2202612011)


2. I Ketut Agus Dharmayasa (2202612022)
3. Christian Bastian Tallo (2202612051)
4. I Gusti Agung Gede Agung Ananda Surya Utama (2202612062)

Pembimbing :
Dr. dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. T.H.T.B.K.L., Subsp. Rino.(K).,FICS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP PROF. DR. I.G.N.G. NGOERAH
DENPASAR
2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
“Polip Kavum Nasi” dengan lancar dan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Departemen/KSM Ilmu
Kesehatan THT-KL FK Unud/RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Penyusunan
laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang membantu
menyelesaikan dan melengkapi segala kekurangan dalam penyusunannya. Maka
dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.B.K.L(K), FICS, selaku ketua
Departemen/KSM THT-KL FK Unud/RSUP Sanglah;
2. dr. I Ketut Suanda, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. Onko (K), FICS, selaku
Koordinator Pendidikan Departemen/KSM THT-KL FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar;
3. Dr. dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. T.H.T.B.K.L., Subsp.
Rino.(K).,FICS selaku dokter pembimbing dalam penyusunan laporan
kasus yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan
tugas ini;
Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan pada laporan kasus ini. Oleh
karena itu, penulis berharap agar seluruh pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun sehingga penulisan selanjutnya menjadi lebih baik. Akhir
kata penulis berharap laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Denpasar, 10 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2
2.1 Anatomi Hidung ............................................................................. 2
2.2 Polip Nasi ....................................................................................... 5
2.2.1 Definisi.................................................................................... 5
2.2.2 Epidemiologi ........................................................................... 6
2.2.3 Etiologi.................................................................................... 7
2.2.4 Patofisiologi ........................................................................... 8
2.2.5 Manifestasi Klinis ................................................................... 9
2.2.6 Gambaran Histopatologi ....................................................... 10
2.2.7 Diagnosis............................................................................... 10
2.2.8 Klasifikasi ............................................................................. 11
2.2.9 Diagnosis Banding ................................................................ 12
2.2.10 Penatalaksanaan .................................................................. 13
2.2.11 Prognosis ............................................................................. 14
2.2.12 Kompetensi Dokter Umum ................................................. 15
BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................... 16
3.1 Identitas Pasien ............................................................................ 16
3.2 Anamnesis .................................................................................... 16
3.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 17
3.4 Usulan Pemeriksaan Penunjang.................................................... 20
3.5 Diagnosis ..................................................................................... 20
3.6 Diagnosis Banding ........................................................................ 20
3.7 Tatalaksana ................................................................................... 20
3.8 Prognosis ...................................................................................... 20
3.9 KIE................................................................................................ 20
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 21
BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 23

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 ..................................................................................................... 3
Gambar 2.2 ..................................................................................................... 4
Gambar 2.3 ..................................................................................................... 6
Gambar 2.4 ..................................................................................................... 7
Gambar 2.5 ..................................................................................................... 9
Gambar 2.6 ..................................................................................................... 9
Gambar 2.7 ................................................................................................... 14

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.......................................................................................................... 12

v
BAB I
PENDAHULUAN

Sumbatan hidung merupakan salah satu masalah yang paling sering


dikeluhkan pasien ketika berobat ke dokter pada pelayanan primer. Keluhan
tersebut merupakan sebuah gejala, bukan diagnosis. Banyak kondisi anatomi yang
dapat menyebabkan keluhan sumbatan hidung tersebut, salah satunya yang paling
sering adalah polip. Polip dapat terjadi pada anak-anak hingga lanjut usia, baik pada
laki-laki maupun perempuan.1,2 Meskipun demikian, polip lebih sering terjadi pada
populasi laki-laki serta kelompok usia dewasa dibandingkan dengan perempuan
dan anak-anak.3
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, serta aktivitas harian. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin
lama semakin berat keluhannya. Selain itu, keluhan lain yang sering dirasakan
adalah mengorok, bersin-bersin, dan keluar cairan dari hidung. Bila menyumbat
ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan hidung berair.1,2
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan
mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui
secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan
pendapat dan banyak teori mengenai patogenesis polip. Dengan patogenesis dan
etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat
mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan
pengelolaan yang tepat.1,2,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


2.1.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah:
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. 2,5
2.1.2 Kavum Nasi
Kavum nasi adalah ruangan berbentuk iregular yang terletak antara langit-
langit mulut dengan basis kranium. Kavum nasi membentuk terowongan dari depan
ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi secara vertikal. Lubang depan
kavum nasi disebut sebagai nares anterior dan lubang belakang disebut dengan
koana atau posterior aperture. Tepat di belakang nares anterior adalah vestibulum
yang kulit dan memiliki kelenjar sebasea dan rambut yang disebut vibrise. 2,5
Kavum nasi kanan dan kiri masing-masing dibatasi oleh atap, lantai, dinding
medial serta dinding lateral.
a. Atap
Bagian atap berbentuk horizontal pada bagian tengahnya dan melandai
pada bagian anterior dan posterior. Bagian ini dibentuk oleh lamina
kribriformis yang memisahkan rongga hidung dengan rongga
tengkorak.2,5

2
b. Lantai
Merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
berbentuk konkaf. Bagian ini dibentuk oleh os maksila dan os
palatum.2,5
c. Dinding medial
Dinding medial adalah septum nasi yang terdiri dari tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan terdiri dari kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.2,5

2.1 Dinding medial kavum nasi.5


d. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh bagian dari os maksila, os palatine, dan os
etmoid. Pada dinding lateral terdapat tiga konka yaitu konka superior,
media, dan inferior.5

3
Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi.5

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid. Di bawah konka inferior terdapat meatus inferior yang menjadi
muara duktus nasolakrimalis. Konka media adalah medial prosesus dari labirin
etmoid. Di antara konka media dengan konka inferior terdapat meatus media. Pada
meatus media terdapat muara sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior dan media.
Konka superior terletak paling atas posterosuperior dari konka media dan
merupakan prosesus dari labirin etmoid. Di antara konka superior dan konka media
terdapat superior meatus yang menjadi muara dari sinus etmoid posterior. Di atas
konka superior pada bagian posterosuperior dari konka superior terdapat
sphenoethmoidal recess yang menjadi muara dari sinus sphenoid. 2,6
2.1.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat

4
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epitel skuamosa.7
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan
demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.7
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.7

2.2 Polip Nasi


2.2.1 Definisi
Polip nasi adalah lesi mukosa berupa massa jinak lunak yang mengandung
banyak cairan di dalam rongga hidung. Polip nasi berwarna putih keabu-abuan dan
terjadi akibat proses inflamasi. Polip nasi paling sering ditemukan pada bagian
meatus media atau sinus etmoid. Polip nasi lebih sering terjadi bilateral, meski tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi secara unilateral. 2,8

5
Gambar 2.3 Polip Nasi.

2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 1%-4%. Polip nasi
dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Pada autopsi,
angka ini bahkan dikatakan mencapai 40%.4,9,10 Polip nasi biasanya terjadi pada
rentang usia 40 tahun sampai 60 tahun. Polip nasi lebih sering mengenai pria
mencapai 62% kasus dibandingkan perempuan sekitar 38%. 4,10
Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana
mencapai puncaknya pada umur 75-79 tahun pada populasi pria dan 55-59 tahun
pada populasi perempuan seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4.11 Polip nasi
jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan
pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya penyakit mukosilier atau imun seperti
cystic fibrosis. Cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk
menderita polip dengan prevalensi mencapai 6-48%.1,4

6
2.4 Prevalensi polip nasi menurut usia dan jenis kelamin. 11

2.3.3 Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung
belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung
atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip
berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip
banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan
tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.2,12,13
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak.
Pada anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain:2,12–14
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
5. Genetik
6. Jamur dan bakteri

7
2.3.4 Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan
mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di
daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti
oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip.2,9
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung
dengan membentuk tangkai.2 Pada polip ditemukan peningkatan jumlah sel mast,
eosinofil, limfosit T, sitokin, kemokin, interleukin, TNF-α, dan molekul
adhesi.2,14,15
Belakangan banyak penelitian dilakukan untuk menentukan perbedaan
ekspresi gen antara pasien polip dengan jaringan hidung normal untuk
mengidentifikasi gen yang rentan berkembang menjadi polip. Penelitian tersebut
menunjukkan hubungan korelasi yang signifikan antara Human Leucocyte Antigen
(HLA) dan polip. Risiko terjadinya NP bisa mencapai 5,53 kali lipat pada subjek
dengan haplotipe HLA-DQA1*0201-DQB1*0201. Jamur dan bakteri juga dapat
memicu terjadinya polip nasi. Pada individu yang mengalami sensitisasi,
keberadaan jamur dan biofilm bakteri memicu reaksi inflamasi yang kemudian
menyebabkan kerusakan mukosa akibat migrasi sel-sel inflamatorik. Jamur
Aspergillus dan Alternaria merupakan spesies yang paling sering terlibat dalam
patogenesis polip.14,15

8
2.5 Patofisiologi polip kavum nasi
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul akibat polip bermacam-macam dan bervariasi antar
individu. Berdasarkan penelitian, gejala yang paling sering muncul adalah hidung
terasa tersumbat, mengorok, rinorea, nyeri kepala dan wajah, epistaksis, perubahan
suara, bernafas melalui mulut, gangguan penghidu, dan post nasal drip. Adapun
frekuensi munculnya gejala tersebut pada pasien dapat dilihat pada tabel 2.6.2–4

Gambar 2.6 Frekuensi manifestasi klinik pada pasien.4

9
2.3.6 Gambaran Histopatologi
A. Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip
yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan epitel.2,14,15
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh ke arah
belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana. Polip koana
kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antrokoana.
Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid. 2,14,15
B. Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan mukosa
hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar
sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis
tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan
menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik. 2,14,15
2.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi dalam hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai rasa sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapat post nasal

10
drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. 2,10,12,16
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip dengan asma. Selain itu, harus ditanyakan
riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya
serta alergi makanan.2,10,12,16
b. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.2,10,12,16
c. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan sangat membantu diagnosis
kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.2,10,12,16
d. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan
pada kompleks osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.2,10,12,16
2.3.8 Klasifikasi
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund (1997), yaitu: 2,16
· Stadium 0: Tidak ada polip, atau polip masih berada dalam sinus
· Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus media
· Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung

11
· Stadium 3: Polip yang masif
2.3.9 Diagnosis Banding
Miripnya gejala klinis yang ditunjukkan serta adanya massa unilateral perlu
dicurigai dengan diagnosis banding yang mungkin. Terkadang, kemiripan gejala
pada pemeriksaan awal menyebabkan telatnya diagnosis keganasan. Oleh karena
itu, semua polip atau biopsi dari polip perlu dilakukan pemeriksaan histopatologis
untuk mengeksklusi kemungkinan adanya keganasan tersebut. Pada kecurigaan
dermoid, glioma atau ensefalokel tidak boleh dilakukan biopsi sebelum dipastikan
tidak mengenai struktur intrakranial untuk mencegah kebocoran cairan LCS atau
meningitis. Adapun diagnosis banding yang perlu diperhatikan dapat dilihat pada
tabel di bawah.9,17
Tabel 1. Diagnosis banding polip kavum nasi
Dewasa
Inverted Papilloma
Tumor
Squamous cell carcinoma
Limfoma nasal
Melanoma nasal
Hemangiopericytoma
Esthesioneuroblastoma
Anak
Hipertrofi konka
Kongenital
Kista duktus nasolakrimalis
Glioma nasal
Ensefalokel
Tumor
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Rabdomiosarkoma
Hemangioma
Kordoma

12
2.3.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Terapi kortikosteroid dapat diberikan secara topikal maupun
sistemik. Pemberian secara topikal terbukti memperbaiki keluhan, ukuran polip,
dan aliran udara di dalam kavum nasi tetapi tidak menunjukkan perbaikan fungsi
penghidu. Pemberian secara topikal juga memberikan efek samping sistemik
minimal dan ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien. Kortikosteroid
topikal sering kali terutama pada pasien dengan polip yang masif. Kortikosteroid
sistemik diberikan pada pasien yang tidak merespon terapi topikal. Pemberian
secara sistemik menunjukkan perbaikan yang sama dengan topikal serta ditemukan
pula perbaikan pada fungsi penghidu, akan tetapi dengan potensi efek samping yang
lebih tinggi seperti komplikasi gasrointestinal, hipertensi, diabetes melitus, dan
osteopenia. Kortikosteroid sistemik dapat diberikan prednisolon 1x50 mg selama
14 hari atau deksametason selama 10 hari kemudian dosis diturunkan
perlahan.2,18,19
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesik local,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas
endoskopi maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional) atau FESS.2,18,19

13
Gambar 2.7 Tatalaksana polip kavum nasi
2.3.11 Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi. Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.2,18,19

14
2.3.12 Kompetensi Dokter Umum
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, penyakit polip
nasi termasuk dalam level 2, yaitu mendiagnosis dan merujuk. Lulusan dokter
diharapkan mampu membuat diagnosa klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga diharapkan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.20

15
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama pasien : Tn. KAPP

Umur : 21 tahun

Tanggal Lahir : 5 Juni 2002

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Br Dinas Pesagi Penebel Tabanan

Tanggal Pemeriksaan : 29 Januari 2024

3.2 Anamnesis
· Keluhan utama:
Hidung tersumbat
· Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 1 tahun yang
lalu. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada kedua hidung, namun lebih berat
pada hidung sebelah kanan dan bersifat hilang timbul. Pasien mengaku keluhan
hidung tersumbat ini sering disertai keluhan pusing, batuk, pilek serta
penciumannya berkurang. Pasien mengaku sering batuk kering dan pilek. Gejala
pilek dengan ingus yang agak kental, berwarna putih transparan, tidak berbau dan
tidak disertai cairan berwarna merah atau darah. Keluhan sering pilek ini terutama
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya
benjolan pada rongga hidung sebelah kanan yang menyebabkan keluhan hidung
tersumbat semakin memberat pada hidung sebelah kanan. Pasien tidak tahu pasti
kapan benjolan tersebut mulai muncul. Benjolan tidak nyeri. Riwayat epistaksis
disangkal pasien dan keluhan nyeri saat pasien menunduk juga disangkal. Riwayat
demam (-). Tidak ada keluhan mual ataupun muntah.

16
· Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat Rinitis Alergika (+) sejak Juli 2011 dan sudah terdiagnosa Polip Nasi
Dextra sejak Mei 2016 oleh dokter Sp.THT. Riwayat DM, hipertensi, serta
asma disangkal oleh pasien.
· Riwayat penyakit keluarga/ sosial: (-)
· Riwayat pengobatan: Pasien pernah minum obat Efedrin
(dekongestan), Ambroxol (mukolitik), Cetirizine (antihistamin) dan
Metilprednisolon (kortikosteroid) sejak Mei Tahun 2016 saat kontrol ke RS.
· Riwayat alergi: Pasien mengaku memiliki riwayat alergi
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Generalis
· Keadaan umum : Baik
· Kesadaran : Compos mentis
· Tanda vital :
- Tensi : 110/90 mmHg
- Nadi : 72 x/ menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
- Respirasi : 18 x/ menit
- Suhu : 36,80C

3.3.2 Status Lokalis

Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri


Telinga

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-
)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran


batas normal, hematoma (- dalam batas normal,
), nyeri tarik aurikula (-) hematoma (-), nyeri tarik
aurikula (-)

17
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
Serumen (-), hiperemis
otorrhea (-)
(-), furunkel (-), edema
(-), otorrhea (-)

4. Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),


timpani hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),cone of light perforasi (-),cone of light
(+) (+)

Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung kanan Hidung kiri


Hidung

Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (- Bentuk (normal), hiperemi


), nyeri tekan (-), deformitas (-), nyeri tekan (-),
(-) deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret Hiperemis (+), sekret


mukoid (+) mukoid (+)

Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia Bentuk (normal), hiperemia


(+) (+)

18
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret Mukosa hiperemis, krusta
(+) cair, warna putih, berbau (-),tampak massa (+) warna
busuk (-), massa (-) putih mengkilat, berbatas
tegas, lunak, diduga
berjumlah satu buah

Konka nasi Edema (+), mukosa Edema (+), mukosa


inferior hiperemi (+) hiperemi (+)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-) ulkus (-)

Transiluminasi Tidak dilakukan


Sinus

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi Normal

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran


(-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),


lender (-)

Tonsila palatina kanan kiri

T1 T1

19
Fossa Tonsilaris dan hiperemi (-) hiperemi (-)
Arkus Faringeus

3.4 Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang tersedia adalah dari rumah sakit BaliMed


berupa CT-Scan dengan hasil

- Sinusitis Maksilaris Sinistra

- Sinusitis Etmoidalis Sinistra

3.5 Diagnosis Kerja

Polip nasi sinistra

3.5.1 Diagnosis Banding

· Hipertrofi konka
· Abses septum nasi
· Hematoma septum nasi

3.6 Rencana Terapi

· Rencana Tindakan Polipektomi

3.7 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam

20
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Pada pasien Tn. KAPP ini ditegakan diagnosis polip nasi dextra. Penegakan
diagnosis didasarkan pada hasil anamnesis berupa keluhan hidung terasa tersumbat
disertai dengan riwayat pilek berulang dengan ingus agak kental, berwarna putih
transparan, tidak berbau dan tidak disertai darah. Keluhan hidung tersumbat ini juga
disertai keluhan pusing dan penurunan penciuman. Selain itu, pasien juga
mngeluhkan muncul benjolan di rongga hidung, namun keluhan mimisan disangkal
pasien. Hasil anamnesis ini sesuai dengan landasan teori bahwa polip nasi
memberikan gambaran gejala seperti hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Penegakan diagnosis juga didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik yang
menemukan massa warna putih mengkilat, berbatas tegas, lunak, diduga berjumlah
satu buah pada meatus kiri hidung pasien. Hasil ini sesuai dengan landasan teori
bahwa pada pemeriksaan fisik didapatkan massa berwarna pucat pada meatus
medius.
4.2 Epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko
Polip nasi umumnya diderita oleh orang dewasa laki-laki. Selain itu terdapat
beberapa faktor predisposisi seperti alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik,
iritasi, sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka, genetic, infeksi jamur dan bakteri. Pada pasien laki-laki berusia 21 tahun ini
ditemukan polip nasi sejak tahun 2016 dan memiliki riwayat rhinitis alergi yang
sudah ditegakkan dari tahun 2011.
4.3 Tatalaksana
Tatalaksana dari polip nasi dapat dilakukan secara medikamentosa dan terapi
operatif. Tatalaksana medikamentosa dapat dilakukan dengan pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Pada pasien dengan gejala yang tidak kunjung membaik meskipun
telah melakukan terapi medikamentosa dapat dilakukan polipektomi secara
operatif. Pada pasien ini telah ditegakkan diagnosis polip nasi sejak tahun 2016 dan

21
diberikan penanganan. Namun, terjadi perburukan sejak 1 tahun yang lalu dan tidak
membaik sehingga perlu dilakukan polipektomi operatif.

22
BAB V
KESIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 21 tahun ini mengeluhkan hidung tersumbat yang sudah
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan ini dirasakan hilang timbul disertai dengan
pusing, batuk, pilek, dan penciuman menurun. Keluhan pilek juga disertai ingus agak
kental, berwarna putih transparan, tidak berbau, dan tidak disertai darah. Pasien sudah
pernah didiagnosis rhinitis alergi sejak 2011 dan polip nasi pada tahun 2016. Pasien telah
mendapat terapi di dokter THT di rumah sakit lain dengan obat-obatan seperti
dekongestan, mukolitik, antihistamin, dan kortikosteroid sejak tahun 2016. Pasien
tidak memiliki riwayat merokok dan riwayat penyakit sistemik lainnya.
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosis
polip nasi sinistra. Tatalaksana yang direncanakan pada pasien ini adalah terapi
polipektomi operatif karena keluhan tidak kunjung membaik meskipun telah
dilakukan terapi polipektomi medikamentosa sejak tahun 2016. Polip nasi ini dapat
timbul berulang suatu saat nanti sehingga penting untuk mengendalikan faktor
predisposisi pada pasien seperti alergi (rhinitis alergia) dengan menghindari
allergen dan terapi desensitisasi apabila diperlukan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Olajuyin OA, Olajide TG. Patterns, Presentations and Prognosis of Nasal


Polyps. Indian J Otolaryngol head neck Surg Off Publ Assoc Otolaryngol
India. 2019 Nov;71(Suppl 3):1770–4.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan : telinga hidung tenggorok kepala & leher. 6th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 123–125 p.
3. Chaaban MR, Walsh EM, Woodworth BA. Epidemiology and differential
diagnosis of nasal polyps. Am J Rhinol Allergy. 2013;27(6):473–8.
4. Meymane Jahromi A, Shahabi Pour A. The Epidemiological and Clinical
Aspects of Nasal Polyps that Require Surgery. Iran J Otorhinolaryngol.
2012;24(67):75–8.
5. Standring S, Anand N, Birch R, Collins P, Crossman AR, Gleeson M, et al.
Gray’s Anatomy. 41st ed. London: Elsevier; 2016. 556 p.
6. Moore KL, Agur AMR, Dalley AF. Moore Essential Clinical Anatomy. 5th
ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. 561 p.
7. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2017.
8. Rajguru R. Nasal polyposis: current trends. Indian J Otolaryngol head neck
Surg Off Publ Assoc Otolaryngol India. 2014 Jan;66(Suppl 1):16–21.
9. Cingi C, Demirbas D, Ural A. Nasal Polyposis: An Overview of
Differential Diagnosis and Treatment. Recent Pat Inflamm Allergy Drug
Discov. 2011;5(3):241–52.
10. Toro ED, Portela J. Nasal Polyps. StatPearls. 2023;
11. Raciborski F, Arcimowicz M, Samoliñski B, Pinkas W, Samel-Kowalik P,
Śliwczyñski A. Recorded prevalence of nasal polyps increases with age.
Postep dermatologii i Alergol. 2021 Aug;38(4):682–8.
12. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020.
Rhinology. 2020 Feb;58(Suppl S29):1–464.
13. Sedaghat AR. Chronic Rhinosinusitis. Am Fam Physician. 2017

24
Oct;96(8):500–6.
14. Aldean EZ. A Review of Nasal Polyps. Med Clin Res. 2019;4(11):1–4.
15. Latha ES, Khan JA, Gao Z. An Overview of Nasal polyps and its
pathogenesis , commodities and treatment . J Dent Med Sci.
2019;18(5):50–4.
16. Jankowski R, Rumeau C, Gallet P, Nguyen DT. Nasal polyposis (or
chronic olfactory rhinitis). Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis
[Internet]. 2018;135(3):191–6. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1879729618300541
17. Settipane RA, Peters AT, Chiu AG. Nasal polyps. Am J Rhinol Allergy.
2013;27(SUPPL.1):20–5.
18. Jafari A, Deconde AS. Outcomes in Medical and Surgical Treatment of
Nasal Polyps. Adv Otorhinolaryngol. 2016;79:158–67.
19. Rank MA, Chu DK, Bognanni A, Oykhman P, Bernstein JA, Ellis AK, et
al. The Joint Task Force on Practice Parameters GRADE guidelines for the
medical management of chronic rhinosinusitis with nasal polyposis. J
Allergy Clin Immunol [Internet]. 2023;151(2):386–98. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.jaci.2022.10.026
20. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai