Anda di halaman 1dari 32

REFERAT TONSILITIS

DISUSUN OLEH:
Galih Seno Aji 170100055

PEMBIMBING:

Dr. dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat berjudul ”Tonsilitis”.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit
Umum Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan referat ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada Dr. dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan
referat.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan referat di
kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi
bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, 30 April 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal:


Nilai :

Penguji

Dr. dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG............................................................................ 1
1.2 TUJUAN PENULISAN......................................................................... 2
1.3 MANFAAT PENELITIAN.................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TONSIL PALATINA......................................................... 3
2.1.1 VASKULARISASI DAN INERVASI..................................... 6
2.2 HISTOLOGI TONSIL PALATINA....................................................... 8
2.3 FUNGSI TONSIL................................................................................... 9
2.4 TONSILITIS AKUT.............................................................................. 10
2.4.1 KLASIFIKASI TONSILITIS AKUT...................................... 11
2.4.2 GEJALA DAN TANDA TONSILITIS AKUT....................... 11
2.4.3 DIAGNOSIS TONSILITIS AKUT........................................ 12
2.4.4 REKUREN TONSILITIS AKUT........................................... 13
2.4.5 TATALAKSANA TONSILITIS AKUT................................ 13
2.4.6 KOMPLIKASI TONSILITIS AKUT..................................... 13
2.5 TONSILITIS MEMBRANOSA............................................................ 14
2.5.1 TONSILITIS DIFTERI......................................................... 14
2.5.1.1 GEJALA DAN TANDA......................................... 14
2.5.1.2 DIAGNOSIS........................................................... 15
2.5.1.3 TATALAKSANA................................................... 15
2.5.2 TONSILITIS SEPTIK........................................................... 16
2.5.3 ANGINA PLAUT-VINCENT............................................... 17
2.6 TONSILITIS KRONIK......................................................................... 17
2.6.1 PATOGENESIS TONSILITIS KRONIK............................. 17

iii
2.6.2 KLASIFIKASI TONSILITIS KRONIK................................. 18
2.6.3 GAMBARAN KLINIS TONSILITIS KRONIK.................... 18
2.6.4 PEMERIKSAAN KLINIS TONSILITIS KRONIK.............. 18
2.6.5 TATALAKSANA TONSILITIS KRONIK........................... 18
2.6.6 PERAWATAN PASCA TONSILEKTOMI........................... 21
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 24

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tonsil......................................................................... 3
Gambar 2.2 Cincin Waldeyer........................................................ 4
Gambar 2.3 Rongga Mulut............................................................ 4
Gambar 2.4 Struktur Sekitar Tonsil............................................... 5
Gambar 2.5 Jugulodigastric node.................................................. 6
Gambar 2.6 Suplai Arteri Tonsil................................................... 6
Gambar 2.7 Drainase Vena............................................................ 7
Gambar 2.8 Inervasi Tonsil........................................................... 8
Gambar 2.9 Histologi Tonsil Palatina........................................... 9
Gambar 2.10 Ukuran Tonsil.......................................................... 15
Gambar 2.11 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit 15
Gambar 2.12 Posisi Rose............................................................... 20
Gambar 2.13 Boyle-Davis mouth gag dan Draffin’s bipods......... 21
Gambar 2.14 Tonsilektomi............................................................ 21

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatina yang ditandai dengan sakit
tenggorokan, gangguan menelan, dan pembesaran ringan kelenjar limfe leher.
Peradangan bisa meluas ke tonsil faringeal dan tonsil lingual dan seringkali
bersamaan dengan faringitis. Penyebaran infeksi ini ditransmisikan melalui air borne
droplets. Terdapat klasifikasi tonsilitis yaitu tonsilitis akut, tonsilitis membranosa,
dan tonsilitis kronik. Tonsilitis akut dibagi menjadi dua yaitu tonsilitis viral dan
tonsilitis bakterial. (Liwang et al., 2020)

Dari data Departemen Kesehatan RI, angka kejadian penyakit tonsilitis di


Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi Indonesia pada bulan September 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi
setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%. (Ramadhan et al., 2017)

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita,
tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan pada infeksi bakterial
lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Streptokokus beta hemolitikus grup
A merupakan penyebab utama tonsilitis bakterial. (Basuki et al., 2020)

Mengingat angka kejadian tonsilitis yang cukup sering dimasyarakat serta


dampak yang cukup besar akibat dari infeksi pada penderitanya, penulis tertarik
untuk membuat tulisan tentang tonsilitis ini dan untuk memenuhi tugas di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Universitas
Sumatera Utara.

1
2

1.2 TUJUAN PENULISAN


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang tonsilitis serta untuk melengkapi tugas di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Universitas
Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT PENULISAN


Manfaat penulisan makalah ini adalah menambah wawasan mengenai tonsilitis agar dapat
menegakkan diagnosa dan tatalaksana terhadap penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TONSIL PALATINA

Tonsil adalah jaringan limfo-epitel dan merupakan bagian pertahanan tubuh. Jaringan
limfo-epitel ini mengelilingi faring sehingga disebut dengan cincin Waldeyer. Cincin
Waldayer terdiri atas: (Hansen, 2019; Paulsen & Sobotta, 2012)

a. Tonsil Faringeal
Tonsil faringeal atau disebut dengan adenoid terletak di dinding posterior dan superior
pada nasofaring.
b. Tonsil Tubal
Jaringan limfoid difus yang berdekatan dengan ostium tuba auditive di nasofaring.
c. Tonsil palatina
Terletak di antara arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeal
d. Tonsil lingual
Kumpulan limfoid nodul di sepertiga posterior lidah
Serta rangkaian jaringan limfoid lateral yang terletak pada plicae salpingopharingeae.

Gambar 2.1 Tonsil

3
4

Gambar 2.2 Cincin Waldayer

Pada palatum mole meluas ke arah lateral di kedua sisi terdapat arcus palatoglossus
dan arcus palatopharyngeal, arcus palatoglossus lebih anterior dibandingkan
palatopharyngeal. Lipatan ini menutupi m.palatoglossus dan m.palatopharyngeus dan di
antara keduanya terdapat fossa tonsil yang menjadi tempat tonsil palatina.(Berkovitz et al.,
2018)

Gambar 2.3 Rongga Mulut


Pada gambar 2.2 terdapat tanda A menunjukkan arcus palatoglossal, tanda B
menunjukkan arcus palatopharyngeal, tanda C menunjukkan tonsil palatina, dan tanda D
menunjukkan uvula. (Berkovitz et al., 2018)
5

Tonsil palatina adalah kumpulan material limfoid dengan ukuran bervariasi yang
kemungkinan mengalami atrofi pada orang dewasa. Tonsil palatina menunjukkan beberapa
celah atau yang disebut dengan kriptus tonsil, salah satunya memiliki celah yang sangat dalam
dan dinamai dengan celah intratonsillar. (Berkovitz et al., 2018)

Tonsil biasanya melekat pada dasar lidah, permukaan medial tonsil bentuknya
beraneka ragam serta memiliki celah atau kriptus, 12-15 kriptus dapat dilihat pada permukaan
medial tonsil dan di dalam kriptus ini biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang
sering disebut dengan kapsul tonsil. Antara kapsul dan dasar tonsil terdapat jaringan areola
yang longgar sehingga memudahkan melakukan diseksi pada tonsilektomi. Tempat ini juga
merupakan tempat pengumpulan nanah pada abses peritonsillar. (Hafli, 2014) (Dhingra et al.,
2018)

Gambar 2.4 Struktur Sekitar Tonsil


6

2.1.1 Vaskularisasi dan Inervasi Tonsil Palatina

a. Drainase Limfatik

Limfatik dari tonsil menembus konstriktor superior dan mengalir ke bagian dalam atas
nodus servikal khususnya jugulodigastric (tonsillar) node terletak di bawah angulus
mandibula. (Dhingra et al., 2018)

Gambar 2.5 Jugulodigastric node

b. Suplai darah

Tonsil menerima suplai dari 5 arteri yaitu, a.tonsil cabang dari a.facialis, a.faringeal
ascenden dari a.karotis eksternal, a.palatina ascenden cabang dari a.facialis, a.dorsal lingual
cabang dari a. lingualis, a.palatina descenden cabang dari a.maxillaris. (Dhingra et al., 2018)

Gambar 2.6 Suplai Arteri Tonsil


7

c. Drainase Vena

Vena dari tonsil mengalir ke v.paratonsillar yang bergabung dengan common facial
vein dan pharyngeal venous plexus.(Dhingra et al., 2018; Hansen, 2019)

Gambar 2.7 Drainase Vena


8

d. Inervasi

Cabang palatina minor dari ganglion sphenoplatina (CN V) dan saraf glossopharyngeal
menyediakan suplai saraf sensorik. (Dhingra et al., 2018; Hansen, 2019)

Gambar 2.8 Inervasi Tonsil

2.2 HISTOLOGI TONSIL PALATINA

Sepasang tonsil palatina terdiri dari agregat nodulus limfatik di rongga mulut. Setiap
tonsil memperlihatkan invaginasi oleh alur-alur dalam yang disebut kriptus tonsil yang juga
dilapisi oleh stratified squamous non-keratinized epithelium. (P.Eroschenko, 2013)

Di bawah epitel di dalam jaringan ikat terdapat banyak nodulus limfatik yang tersebar
sepanjang kriptus tonsil. Nodulus limfatik yang menyatu sama lain biasanya memperlihatkan
sentrum germinativum yang berwarna lebih terang. (P.Eroschenko, 2013)

Terdapat jaringan ikat di bawah tonsil palatina dan membentuk kapsul. Trabekula
jaringan ikat, sebagian mengandung pembuluh darah dan berjalan kearah permukaan tonsil di
antara nodulus-nodulus limfatik. (P.Eroschenko, 2013)
9

Gambar 2.9 Histologi Tonsil Palatina

2.3 FUNGSI TONSIL

Tonsil bertindak sebagai penjaga untuk menjaga dari penyusup asing seperti virus,
bakteri, dan antigen lain yang masuk kontak melalui penghirupan dan konsumsi. Ada dua
mekanisme : (Dhingra et al., 2018)

a. Memberikan kekebalan lokal

Tonsil dilapisi oleh epitel skuamosa dan memiliki beberapa kriptus. Epitel ini
terspesialisasi dan mengandung M-cells, antigen processing cells, dan micropores. Melalui
struktur tersebut material antigen dibawa ke dalam folikel limfoid yang terletak di subepitel.
Folikel mempunyai germinal center yang kaya akan sel B dan zona kaya akan limfosit besar.
Sel B bila dirangsang berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibody. Bakteri dan
virus juga difagositosis oleh makrofag dan dimusnahkan. Antigen dosis rendah dan infeksi
kronis ditangani dengan cara ini.

b. Mekanisme pengawasan

Mengidentifikasi penyusup dan memperingatkan tubuh untuk merespon yang lebih luas.
Jika dosis antigen tinggi, sel B germinal center berkembang biak dan mengalami hyperplasia
dan juga memasuki aliran darah. Sistem kekebalan kompleks ikut bermain dengan antigen
10

processing cells, sel memori, sel dendritik, makrofag, T helper dan T suppressor cell. Antibodi
yang diproduksi oleh sel plasma mempersiapkan antigen untuk difagositosis oleh neutrofil dan
fagosit lainnya. Antibodi juga melekat pada makrofag dan memberi kemampuan yang
ditingkatkan untuk menangkap antigen.

2.4 TONSILITIS AKUT

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil. Peradangan pada tonsil palatina ditandai
dengan sakit tenggorokan, gangguan menelan dan pembesaran ringan kelenjar limfe leher.
Peradangan biasanya meluas hingga ke tonsil faringeal dan tonsil lingual dan seringkali
bersamaan dengan faringitis, yang dinamakan tonsilofaringitis. Penyebaran infeksi ini
ditransmisikan melalui air borne droplets. (Liwang et al., 2020) (Alasmari et al., 2017)

Tonsilitis akut berdasarkan etiologi terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Tonsilitis Viral

Tonsilitis viral umumnya disebabkan oleh virus Epstein Barr (EBV). Virus lain yang dapat
menginfeksi tonsil adalah rhino virus, influenza A, Adenovirus, herpes simplex virus,
metapneumoni virus, respiratory syncytial virus, parainfluenza, dan virus coxachie.. Gejala
menyerupai common cold disertai nyeri tenggorokan dan pembesaran kelenjar limfe juga
dapat memperberat keadaan. Untuk penanganan tonsilitis viral, penderita harus istirahat yang
cukup, dan dapat diberikan analgetik. Jika berat, dapat diberikan antivirus. (Bartlett et al.,
2015; Hafli, 2014; Liwang et al., 2020; Walijee et al., 2017)

b. Tonsilitis Bakterial

Tonsilitis bakterial adalah infeksi tonsil yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi bakteri yang
paling sering disebabkan oleh bakteri Streptokokus hemolitik, penyebab lain infeksi tonsilitis
bakterial adalah stafilokokus, pneumokokus, H.influenza (Dhingra et al., 2018). Reaksi radang
di tonsil menyebabkan keluarnya leukosit polimorfonuklear. Kumpulan leukosit, bakteri mati,
dan epitel yang lepas akan membentuk bercah atau bintik keputihan pada tonsil yang disebut
dengan detritus. Detritus ini mengisi kriptus dan bewarna kekuningan. Bakteri dapat
menginfeksi tonsil secara primer atau juga mungkin sekunder akibat infeksi virus. (Hafli,
2014; Liwang et al., 2020; Maqbool & Maqbool, 2007)
11

2.4.1 Klasifikasi Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut terbagi menjadi: (Dhingra et al., 2018)

1. Acute superficial tonsillitis

Sering terlihat pada infeksi virus dan merupakan perluasan dari faringitis sehingga
mengenai sebagian tonsil.

2. Acute follicular tonsillitis

Infeksi menyebar ke dalam kriptus sehingga terisi dengan material purulent, kemudian
muncul bintik-bintik kekuningan pada kriptus.

3. Acute parenchymatous tonsillitis

Substansi tonsil terpengaruh sehingga tonsil terlihat membesar dan hiperemis.

4. Acute membranous tonsilittis

Eksudat dari kriptus menyatu membentuk membrane di permukaan tonsil.

2.4.2 Gejala dan Tanda Tonsilitis Akut

Gejala bervariasi dengan tingkat keparahan infeksi. Gejala utamanya adalah: (Dhingra et al.,
2018; Liwang et al., 2020)

1. Nyeri tenggorokan
2. Nyeri menelan sehingga nafsu makan menurun
3. Demam, dapat bervariasi dari 38-40 °C dan mungkin disertai menggigil. Terkadang
seseorang datang dengan demam yang tidak jelas dan ketika dilakukan pemeriksaan
ditemukan tonsilitis akut.
4. Nyeri telinga sebagai nyeri alih melalui nervus glosofaringeus (N.IX)

Tanda tonslitis: (Dhingra et al., 2018; Liwang et al., 2020)

1. Nafas bau (halitosis)


2. Hiperemia pada pilar, palatum mole, dan uvula
3. Tonsil merah dan bengkak dengan bercak kekuningan dari material purulen yang dapat di
lihat di kriptus (acute follicular tonsillitis) atau mungkin ada membran putih di
12

permukaan medial tonsil yang mudah dibersihkan dengan swab (acute membranous
tonsilittis). Tonsil bisa membesar dan menjadi sangat padat sehingga keduanya hampir
bertemu di garis tengah dengan beberapa edema uvula dan palatum mole (acute
parenchymatous tonsillitis).

Gambar 2.10 Ukuran Tonsil

T1: Tonsil tidak melewati pilar faring posterior

T2: Tonsil melewati pilar posterior tetapi tidak melewati garis pertengahan (imajiner antara
uvula dan pilar posterior)

T3: Tonsil mencapai garis pertengahan antara uvula dan pilar posterior

T4: Tonsil saling menempel atau mendorong uvula

4. Jugulodigastric lymph nodes membesar dan lunak.

2.4.3 Diagnosis Tonslitis Akut

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan inspeksi langsung. Pemeriksaan


laboratorium dapat menunjukkan peningkatan leukosit dan C-Reactive Protein (CRP). Kultur
bakteriologi menjadi diagnosis baku emas. (Liwang et al., 2020)
13

2.4.4 Rekuren Tonslitis

Tonsilitis streptokokal dikatakan berulang apabila: (Liwang et al., 2020)

 7 episode kultur positif dalam 1 tahun


 5 infeksi dalam 2 tahun berturut-turut
 3 infeksi tiap tahunnya selama 3 tahun berturut-turut

2.4.5 Tatalaksana Tonsilitis Akut

Prinsip tatalaksana tonsilitis:

1. Pasien dibaringkan di tempat tidur dan didorong untuk menjaga hidrasi dan asupan
kalori yang adekuat.
2. Analgetik (aspirin atau parasetamol) diberikan untuk menghilangkan rasa sakit dan
menurunkan demam.
3. Obat kumur untuk menjaga higienitas mulut.
4. Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih
merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita alergi terhadap
penisilin. Maka eritromisin atau antibiotik speksifik yang efektik melawan organisme
sebaiknya digunakan. Antibiotik harus dilanjutkan selama 7-10 hari. (Dhingra et al.,
2018; Liwang et al., 2020; Maqbool & Maqbool, 2007)
2.4.5 Komplikasi Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut: (Maqbool & Maqbool,

2007)

1. Tonsilitis kronik : Serangan tonsilitis akut yang berulang


menyebabkan perubahan inflamasi kronis pada tonsil
2. Abses peritonsil : Penyebaran infeksi dari tonsil ke jaringan
paratonsillar menghasilkan perkembangan abses antara kapsul tonsil dan dasar tonsil.
3. Parafaringeal abses : Infeksi dari tonsil atau jaringan peritonsillar
melibatkan ruang parafaringeal dengan membentuk abses
14

4. Otitis media akut : Infeksi dari tonsil dapat meluas ke tuba auditive
dan mengakibatkan infeksi akut pada telinga bagian tengah
5. Nefritis akut dan demam rematik : Penyebab lain dari komplikasi streptokokus
tonsilitis

2.5 Tonsilitis Membranosa

Penyakit yang termasuk dalam tonsilitis membranosa adalah:

2.5.1 Tonsilitis Difteri

Tonsilitis difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae yang merupakan


bakteri gram positif dan menyebar melalui droplet memiliki masa inkubsi 2-6 hari (Dhingra et
al., 2018). Bakteri ini hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring , dan laring.
Tonsilitis difteri sering diterumakan pada anak berusia di bawah 10 tahun khusunya anak
berusia 2-5 tahun walaupun dapat pula ditemukan pada orang dewasa (Hafli, 2014). Bakteri
ini menghasilkan endotoksin khusus yang menyebabkan nekrosis sel epithelial dan ulserasi,
sehingga menyebabkan mukosa terluka dan terbentuk fibrin atau yang disebut dengan
pseudomembran (Liwang et al., 2020).

2.5.1.1 Gejala dan Tanda Tonsilitis Difteri

Gambaran klini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (Hafli, 2014; Liwang et al., 2020)

1. Gejala Umum
 Demam subfebris
 Sakit kepala
 Penurun nafsu makan
 Tubuh melemah
 Nyeri menelan
 Dalam 24 jam gejala memberat hingga malaise dan sakit kepala berat dan mual. Lebih
lanjut, penderita pucat, nadi cepat, koma, hingga kematian
2. Gejala Lokal
15

 Pseudomembran pada tonsil dan dapat meluas ke sekitarnya hingga dapat menyumbat
saluran pernafasan
 Pseudomembran mudah berdarah apabila diangkat
 Teraba kelenjar getah bening leher membesar dan bila membesar disebut bull neck
3. Gejala Toksik
 Endotoksin dapat merusak jantung (miokarditis), saraf kranial (kelumpuhan otot
palatum dan otot pernapasan), dan pada ginjal menimbulkan albuminuria

2.5.1.2 Diagnosis Tonsilitis Difteri

Diagnosis berdasarkan anamnesis seperti latar belakang ekonomi, epidemiologi, terutama


riwayat imunisasi dan penemuan klinis. Konfirmasi diagnosis dapat dengan kultur, oleh
karena itu penting mendapatkan apusan di bawah pseudomembran. (Saunders & Suarca, 2019)

2.5.1.3 Tatalaksana Tonsilitis Difteri

Tatalaksana difteri bertujuan untuk menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphteriae
menggunakan antibiotik. Setelah diagnosis klinik, spesimen diambil untuk kultur dan pasien di
isolasi dengan ketat. Pasien yang dicurigai difteri diberikan antitoksi dan antibiotik dengan
dosis adekuat. Tatalaksana suportif pernafasan dan jalan napas harus diberikan jika
dibutuhkan. (Saunders & Suarca, 2019)

1. Serum Antitoksin Difteri (ADS)

Gambar 2.11 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit

Uji sensitivitas antitoksin difteri harus dilakukan sebelum pemberian ADS. Dilakukan
secara intradermal 0,02-0,1 mL serum antitoksi diencerkan dengan NaCL 0,9% 1:100.
16

Hasil positif bila ada pembengkakan dalam 10-30 menit. Apabila tidak terjadi reaksi, seru
antitoksin dapat diberikan. (Saunders & Suarca, 2019)

2. Antibiotik

Penisilin G prokain IM 300.000 U/hari untuk BB<10kg dan 600.000 U/hari untuk
BB>10kg diberikan selama 14 hari atau eritromisin oral atau injeksi (40 mg/kg/hari
dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram/hari) selama 14 hari.
(Liwang et al., 2020; Saunders & Suarca, 2019)

3. Tatalaksana suportif
 Tirah baring.
 Evaluasi status respiratorik setiap 3 jam oleh perawat dan 2 kali/hari oleh dokter agar
dapat mendeteksi obstruksi jalan napas sesegera mungkin.
 Trakeostomi bila terdapat sumbatan jalan napas.
 Pemeriksaan EKG serial sebaiknya 2-3 kali seminggu selama 4-6 minggu untuk
deteksi miokarditis sedini mungkin.
 Dapat diberikan prednisone 1-1,5 mg/kg/hari selama 2 minggu untuk mencegah
miokarditis
 Status hidrasi dijaga dan diet makanan lunak atau cair tinggi kalori.
 Sekret harus dibersihkan dengan cara pengisapan untuk mencegah aspirasi.
4. Penanganan Kontak
 Imunisasi booster difteri
 Pemeriksaan kultur apusan hidung dan tenggorokan
 Antibiotik benzatil penisilin G dosis tunggal IM (600.000 unit <6 tahun dan 1,2 juta
unit >6 tahun atau eritromisin 40mg/kg/hari untuk anak dan 1 gram/hari untuk dewasa
secara oral selama 7-10 hari

2.5.2 Tonsilitis Septik


17

Disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang ada di susu sapi. Jarang ditemukan di
Indonesia dikarenakan di Indonesia sebelum minum susu sapi dimasak dulu dengan cara
pasteurisasi. (Hafli, 2014)

2.5.3 Angina Plaut-Vincent (Stomatitis Ulser Membranosa)

Disebabkan oleh bakteri spirocaeta dan triponema yang terdapat pada penderita dengan
kebersihan mulut yang kurang dan kekurangan vitamin C. (Hafli, 2014; Liwang et al., 2020)

2.5.3.1 Gejala Angina Plaut-Vincent

Pasien umumnya demam 39°C, disfagia unilateral, napas berbau, malaise, sakit kepala,
nyeri dimulut, gigi dan gusi mudah berdarah, hingga gangguan pencernaan.

2.5.3.2 Pemeriksaan Angina Plaut-Vincent

Mulut berbau, kelenjar getah bening submandibula membesar, mukosa mulut dan faring
hiperemis dan tampak membrane putih keabuan pada tonsil palatina yang dapat menyebar
hingga uvula, dindin faring, gusi, dan proteus alveolaris. Membran biasanya terbentuk di satu
tonsil, dapat dengan mudah dihilangkan dan terdapat ulkus yang tidak teratur pada tonsil

2.5.3.3 Tatalaksana Angina Plaut-Vincent

Penatalaksanaan menggunakan antibiotik spektrum luas, obat kumur untuk memperbaiki


higienitaas mulut, dan vitamin C dan vitamin B kompleks diberikan.

2.6 Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik disebabkan oleh populasi bakteri polimikroba seperti spesies


streptokokus alfa dan beta hemolitikus, H.influenza, S.aureus, dan spesies Bacteriodes
(Alasmari et al., 2017). Faktor predisposisi yang mengakibatkan timbulnya tonsilitis kronik
seperti rokok, higienitas oral buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis
akut yang tidak adekuat. (Hafli, 2014; Liwang et al., 2020)

2.6.1 Patogenesis Tonsilitis Kronik


18

Tonsilitis rekuren menyebabkan terjadinya perubahan permanen pada struktur jaringan


limfoid sehingga digantikan dengan jaringan parut yang mengkerut dan menyebabkan kripti
melebar. Kripti tidak dapat mendranase bakteri dengan baik sehingga akan terjadi
pertumbuhan bakteri sehingga mencetuskan peradangan dalam jangka panjang. Selama masa
sakit distribusi sel dendritik dan antigen-presenting cells mengalami perubahan. Jumlah sel
dendritic dipermukaan epitel menjadi lebih sedikit. Seiring dengan proses infeksi, tonsilitis
dapat berkembang progresif menembus kapsul tonsil dan menimbulkan perlekatan dengan
jaringan sekitar fosa tonsillar. (Hafli, 2014; Liwang et al., 2020)(Liwang et al., 2020)

2.6.2 Klasifikasi Tonsilitis Kronik

Klasifikasi tonsilitis kronik terbagi menjadi 3 yaitu: (Dhingra et al., 2018)

1. Chronic Follicular Tonsillitis : Kriptus tonsil penuh dengan material infeksi


yang terlihat bercak kekuningan dipermukaan.
2. Chronic Parenchymatous Tonsillitis : Terdapat hiperplasia jaringan limfoid. Tonsil
sangat membesar dan dapat mengganggu kemampuan bicara, menelan, dan
pernapasan. Serangan sleep apnoe dapat terjadi.
3. Chronic Fibroid Tonsillitis : Tonsil kecil tapi terinfeksi, dengan riwayat sakit
tenggorokan berulang.
2.6.3 Gambaran Klinis Tonsilitis Kronik

Gambaran klinis yang dijumpai: (Dhingra et al., 2018)

1. Serangan berulang dari sakit tenggorokan atau tonsilitis akut


2. Iritasi kronik di tenggorokan disertai batuk
3. Rasa tidak enak di mulut dan bau mulut (halitosis) akibat pus di kriptus
4. Suara menebal, sulit menelan, rasa tercekik saat tidur pada malam hari
2.6.4 Pemeriksaan Klinis Tonsilitis Kronik

Pada pemeriksaan klinis didapatka tonsil dan daerah peritonsillar yang hiperemis,
tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripti melebar, dapat disertai detritus, dan
pembesaran jugulodigastric lymph node. Terkadang gejala berupa nyeri tenggorokan berulang
dengan tonsil fibrotik kecil. (Liwang et al., 2020; Maqbool & Maqbool, 2007)
19

2.6.5 Tatalaksana Tonsilitis Kronik


1. Pengobatan konservatif

Perhatian pada kesehatan umum, pola makan, pengobatan infeksi di daerah sekitar seperti
gigi, hidung, dan sinus, menjaga hygiene mulut dengan berkumur. (Dhingra et al., 2018)

2. Tonsilektomi

Indikasi Tonsilektomi dapat diklasifikasikan: (Dhingra et al., 2018; Maqbool & Maqbool,
2007)

 Indikasi Absolut
1. Infeksi tenggorok berulang
a) Tujuh episode atau lebih dalam 1 tahun
b) Lima episode per tahun selama 2 tahun
c) Tiga episode per tahun selama 3 tahun
d) Dua minggu atau lebih tidak sekolah atau bekerja dalam 1 tahun
2. Abses peritonsillar. Pada anak-anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses
diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsillar adalah indikasi mutlak.
3. Tonsilitis menyebabkan kejang demam
4. Hipertrofi tonsil menyebabkan:
a) Obstruksi jalan napas (sleep apnoea)
b) Kesulitan deglutisi atau menelan makanan yang sudah dimastikasi sebelumnya
c) Gangguan bicara
5. Dugaan keganasan
 Indikasi Relatif
1. Difteri karier, yang tidak respon terhadap antibiotic
2. Streptokokus karier, yang mungkin menjadi sumber penularan ke orang lain
3. Tonsilitis kronik dengan rasa yang tidak enak atau halitosis yang tidak responsif
terhadap pengobatan medis
4. Tonsilitis streptokokus rekuren pada pasien dengan penyakit katup jantung

Kontraindikasi tonsilektomi:
20

1. Hb < 10g%
2. Adanya infeksi akut pada saluran pernapasan atas
3. Anak di bawah 3 tahun
4. Cleft palate
5. Kelainan pendarahan seperti leukimia, purpura, anemia aplastic, dan hemofilia
6. Pada saat wabah polio

Kebanyakan tonsilektomi menggunakan metode diseksi, biasanya dilakukan dengan


anastesi umum dengan intubasi trakeal. Pada saat operasi pasien dengan posisi Rose, yaitu
pasien berbaring terlentang dengan kepala ekstensi dan meletakkan bantal di bawah bahu.
Sebuah cincin karet ditempatkan di bawah kepala untuk menstabilkannya.(Dhingra et al.,
2018; Messner, 2005)

Gambar 2.12 Posisi Rose

Alat yang digunakan untuk membuka mulut adalah Boyle-Davis mouth gag dan
ditahan oleh Draffin’s bipods. Tonsil ditangkap menggunakan tonsil-holding forceps dan
ditarik ke medial, insisi membrann mukosa sehingga menemukan kapsul tonsil, kemudian
mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan hati-hati. Titik perdarahan
yang menonjol diidentifikasi dan ligasi atau kauter. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah
tersebut dengan normal salin. (Dhingra et al., 2018; Messner, 2005)
21

Gambar 2.13 Boyle-Davis mouth gag dan Draffin’s bipods

Gambar 2.14 Tonsilektomi

2.6.6 Perawatan Pasca Tonsilektomi


1. Perawatan umum segera
a) Jaga pasien dari posisi koma sampai pulih sepenuhnya dari anestesi
b) Waspadai perdarahan dari mulut dan hidung
c) Periksa tanda-tanda vital
22

2. Diet

Pola makan secara bertahap dibentuk dari makanan lunak menjadi makanan padat dan
kebutuhan cairan harus didorong (Dhingra et al., 2018). Disarankan pasien mengkonsumsi
madu dikarenakan madu memiliki efek anti nyeri dan mempercepat penyembuhan luka.
Mekanisme anti nyeri pada madu dikarenakan memiliki kandungan antioksidan seperti
flavonoid, menofenol, polifenol, vitamin C, dan methylsyringate yang berfungsi untuk
mengganggu proses amplifikasi inflamasi oleh ROS. Madu juga berperan merangsang
pembentukan matrix metallopeptidase 9 (MMP-9), enzim protease yang berperan untuk
melepaskan sel keratinosit dari membran basalis, sehingga terjadi migrasi keratinosit untuk
reepitelisasi dan membuat luka menjadi cepat sembuh. (Molan & Rhodes, 2015; Yaghoobi et
al., 2013)

Pada penelitian (Azmeilia, 2021) yang dilakukan pada pasien penderita tonsilitis kronis
yang menjalani operasi tonsilektomi di beberapa rumah sakit di medan mengatakan bahwa
madu terbukti signifikan mengurangi nyeri pasca tonsilektomi.

3. Higienitas mulut

Pasien diberikan obat kumur atau air garam 3-4 kali sehari. Cuci mulut dengan air biasa
setelah makan untuk membantu menjaga mulut tetap bersih.

4. Analgesik

Nyeri lokal di tenggorokan dan nyeri rujuk telinga, bisa dikurangi dengan analgesik seperti
paracetamol. Hindari penggunaan aspirin dan ibuprofen karena dapat menyebabkan perdarahat
akibat penurunan perlekatan platelet.

5. Antibiotik

Antibiotik dapat diberikan secara oral atau injeksi selama seminggu. Pasien biasanya
dipulangkan 24 jam setelah operasi kecuali jika ada komplikasi. Pasien dapat menjalani
aktifitas normal dalam 2 minggu
23
BAB III

KESIMPULAN

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin weldeyer terdiri atas, tonsil faringeal, tonsil tuba, tonsil palatina, dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi tonsilitis melalui air borne droplets.

Studi epidemiologi mengatakan bahwa tonsilitis sering mengenai anak-anak


dibandingkan orang dewasa. Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsilitis akut yang terbagi
menjadi tonsilitis bakterial dan viral, tonsilitis membranosa terbagi menjadi tonsilitis
difteri,tonsilitis septik, angina plaut vincent, dan tonsislitis kronik. Berdasarkan klasifikasinya
maka setiap tonsilitis memiliki cara diagnosis serta penanganan yang berbeda-beda.
Penatalaksaan dari tonsilitis dapat dilakukan secara konservatif maupun operatif. Untuk
tonsilektomi hanya di lakukan apabila penderita sudah termasuk ke dalam indikasi.

24
25

DAFTAR PUSTAKA

Alasmari, N. S. H., Bamashmous, R. O. M., & Alshuwaykan, R. M. A. (2017). Causes and


Treatment of Tonsillitis. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 69(8), 2975–2980.
https://doi.org/10.12816/0042838

Azmeilia, S. F. (2021). Efek Pemberian Madu Terhadap Nyeri Pasca Tonsilektomi.


Universitas Sumatera Utara.

Bartlett, A., Bola, S., & Williams, R. (2015). Acute tonsillitis and its complications: an
overview. Journal of the Royal Naval Medical Service, 101(1), 69–73.
https://doi.org/10.1136/jrnms-101-69

Basuki, S. W., Utami, F., Ardilla, N., Kedokteran, D. F., Surakarta, U. M., Kedokteran, M. F.,
& Surakarta, U. M. (2020). TONSILLITIS. 483–494.

Berkovitz, B. K. B., Holland, G. R., & Moxham, B. J. (2018). Oral anatomy, histology, and
embryology. In European Journal of Orthodontics (5th ed., Vol. 40, Issue 6). Elsevier
Ltd. https://doi.org/10.1093/ejo/cjy016

Dhingra, P., Dhingra, S., & Dhingra, D. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat. In Diseases
of Ear, Nose and Throat (7th ed.). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.5005/jp/books/11788

Hafli, A. F. (2014). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher
(E. . Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R.D Restuti (eds.); 7th ed.). Badan Penerbit
FKUI.

Hansen, J. (2019). Netter’s Clinical Anatomy. In Medicine & Science in Sports & Exercise
(4th ed.). Elsevier Health Science.

Liwang, F., W.Y., P., Wijaya, E., & Nadira, P. S. (2020). Kapita Selekta Kedokteran (5th ed.).
Media Aesculapius.

Maqbool, M., & Maqbool, S. (2007). Ear Nose and Throat Disease (11th ed.). Jaypee Brother
Medical Publisher(P) Ltd.

Messner, A. H. (2005). Tonsillectomy. Operative Techniques in Otolaryngology - Head and


Neck Surgery, 16(4), 224–228. https://doi.org/10.1016/j.otot.2005.09.005
26

Molan, P., & Rhodes, T. (2015). Honey: A biologic wound dressing. Wounds, 27(6), 141–151.

P.Eroschenko, V. (2013). Atlas Histologi difiore dengan Korelasi Fungsional (J. Suyono, C.
K.M., N. R.R., K. C.N., & R. Reztaputra (eds.); 12th ed.). EGC.

Paulsen, F., & Sobotta, J. W. (2012). Atlas Anatomi Manusia : Kepala, Leher dan
Neuroanatomi (23rd ed.). EGC.

Ramadhan, F., Sahrudin, S., & Ibrahim, K. (2017). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis
Kronis Pada Anak Usia 5-11 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(6), 198127.

Saunders, R., & Suarca, K. (2019). Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. Continuing Medical
Education, 46(2), 98–101.

Walijee, H., Patel, C., & Brahmabhatt, P. (2017). Tonsillitis. InnovAiT, October.
https://doi.org/10.1177/1755738017717752

Yaghoobi, R., Kazerouni, A., & kazerouni, O. (2013). Evidence for clinical use of honey in
wound healing as an anti-bacterial, anti-inflammatory anti-oxidant and anti-viral agent: A
review. Jundishapur Journal of Natural Pharmaceutical Products, 8(3), 100–104.
https://doi.org/10.17795/jjnpp-9487

Anda mungkin juga menyukai