Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Kaki dan Ankle

Sendi ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh untuk menjaga

keseimbangan saat berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun dari

tulang, ligamen, tendon, dan seikat jaringan penghubung (Paul M. Taylor Dp. M.,

2002:106). Sendi ankle dibentuk oleh empat tulang yaitu tibia, fibula, talus, dan

calcaneus. Pergerakan utama dari sendi ankle terjadi pada tulang tibia, talus, dan

calcaneus. Seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Ankle Joint

(Sumber : Hertel, 2002)

Struktur sendi ankle sangatlah kompleks dan kuat karena sendi ankle tersusun atas

ligamen-ligamen yang kuat dan banyak. Ligament yang terdapat pada sendi

7
8

engkel (ankle) berfungsi sebagai struktur yang mempertahankan stabilitas sendi

ankle dalam berbagai posisi. Secara anatomi struktur ligament dari sendi ankle

adalah sebagai berikut:

1) Posterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada

posterior tulang talus dan fibula.

2) Calcaneofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang

calcaneus dan fibula.

3) Anterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada

anterior tulang talus dan fibula.

4) Posterior tibiotalar ligament adalah ligamen pada posterior tulang

tibia.

5) Tibiocalcaneal ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang

tibia dan calcaneus.

6) Tibionavicular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang

tibia dan navicular.

7) Anterior tibiotalar ligament adalah ligament yang melekat pada

anterior tulang tibia dan talus.

Sendi engkel merupakan sendi engsel, gerakan utama yang dapat dilakukan oleh

sendi tersebut adalah dorsofleksi (ekstensi) kaki dan gerakan plantofleksi (fleksi

kaki). Gerakan tersebut terjadi karena sendi engkel memiliki sumbu melintang

(aksis transversal). Otot penyusun sendi ankle adalah otot gastrocnemius, otot

soleus, otot fleksor hallucis longus, otot fleksor digitorum longus, otot tibialis

posterior, otot tibialis anterior, otot proneus longus, otot proneus brevis, otot
9

popliteus, otot plantaris disatukan oleh tendon achilles seperti gambar dibawah

ini:

Gambar 2.2. Struktur Tulang Ankle

(Sumber: http://.scoi.com/ankle.php diakses pada tanggal, 12 Januari 2017)

Tulang penyusun sendi ankle terdiri atas: tulang fibula, tibia, talus dan

calcaneus. Sesuai dengan gambar 21 di bawah ini:

Gambar 2.3. Struktur Tulang Ankle

(Sumber: http://.scoi.com/ankle.php diakses pada tanggal, 12 Januari 2017)

Berdasarkan keterangan yang diuraikan di atas dari gambar tulang, otot,

ligamen tersebut, sendi ankle mampu melakukan gerakan dorsi fleksi yakni
10

gerakan ke arah atas dan plantar fleksi gerakan ke arah bawah. Ankle merupakan

persendian yang menghubungkan antara tungkai bawah dengan kaki, sehingga

sendi ankle sering mengalami cedera oleh karena sendi ankle menjadi bagian

pertama dari rantai gerak tubuh untuk menahan dampak berjalan, berlari,

memutar, mendorong. Menurut Ali Satia Graha (2009:12), cedera ligament pada

sendi ankle itu sendiri dapat dikelompokkan berdasarkan berat ringannya tingkat

cedera yang terjadi, yaitu:

1) Cedera Tingkat I (Cedera Ringan)

merupakan cedera yang tidak diikuti oleh kerusakan dari jaringan

tubuh, misalnya kekuatan dari otot dan kelelahan. Pada cedera ini

biasanya tidak diperlukan pengobatan apapun, dan akan sembuh

dengan sendirinya setelah istirahat beberapa waktu. Seperti pada

gambar di bawah ini:

Gambar 2.4. Ankle Sprain Tingkat I

(Sumber: http://klinikcedera.wordpress.com diakses tanggal, 12 Januari 2017)


11

2) Cedera Tingkat II (Cedera Sedang)

Merupakan cedera dengan tingkatan kerusakan jaringan lebih nyata,

dan berpengaruh pada reformance. Keluhan biasanya berupa nyeri,

bengkak, dan gangguan fungsi tanda-tanda inflamasi atau robeknya

ligament. Seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.5. Ankle Sprain Tingkat II

(Sumber: http://klinikcedera.wordpress.com diakses tanggal,12 Januari 2017)

3) Cedera Tingkat III (Cedera Berat)

Merupakan cedera yang serius, yang ditandai akan adanya kerusakan

pada jaringan tubuh, seperti robek otot, ligament maupun fraktur atau

bahkan patah tulang. Seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.6. Ankle Sprain Tingkat III

(Sumber: http://klinikcedera.wordpress.com diakses tanggal,12 Januari 2017)


12

2.2 Biomekanik Ankle Joint

2.2.1 Osteokinematika

Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar fleksi, dorsal fleksi,

eversi dan inversi.

Gambar 2.7. ROM plantar fleksi dan dorso fleksi ankle

(Sumber : Russe, 1975:17)


13

Gambar 2.8. ROM plantar fleksi dan dorso fleksi, eversi dan inversi ankle

(Sumber : Russe, 1975:17)

2.2.2 Arthrokinematika

Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi talotarsalis. Sendi

talocrularis merupakan sendi engsel (Tim Anatomi UNY, 2011: 55-56). Secara

gerakan sendi ini dapat melakukan gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan

eversi. Range of Motion (luas gerak sendi) dalam keadaan normal untuk

dorsofleksi adalah 200, plantarfleksi adalah 500, gerakan eversi adalah 200, dan

gerakan inversi adalah 400 (Russe, 1975:17). Penulisan yang disesuaikan dengan

standar ISOM (Internaional Standard Orthopaedic Meassurement) untuk gerak

dorsofleksi dan plantarfleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan eversi

tertulis (S) 20-0-40 (Russe, 1975: 18). Berdasarkan dari bentuk persendiannya,

Pieter dan Gino (2014: 2) mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus

dengan gerakan yang mungkin terjadi adalah dorsofleksi (fleksi) dan plantarfleksi

(ekstensi) dengan jangkauan gerakan yang bervariasi untuk dorsofleksi antara 13-
14

330 dan plantar fleksi 23-560. Sementara Christy Cael (2009: 391)

menggambarkan jangakauan gerak sendi ankle adalah dorso fleksi 200 dan plantar

fleksi 500.

Gambar 2.9. ROM plantar fleksi dan dorso fleksi ankle

(Sumber : Christy Cael 2009: 391)

Dilihat dari aspek arthrokinematika selama dorsi fleksi ankle,

talus akan sliding kearah posterior dan fibula bergerak ke arah proksimal dan

lateral, selama plantar fleksi ankle talus sliding kearah anterior dan fibula

bergerak ke arah distal dan sedikit ke anterior. Saat inversi calcaneus sliding

kearah lateral dan pada saat eversi calcaneus sliding ke medial (Norkin, 1995).

2.2.3 System Otot dan Saraf

Otot pengerak pergelangan kaki gerak utama dorsi fleksi, adalah tibialis anterior

disarafi oleh n. peroneus profundus otot pengerak plantar fleksi adalah otot

gastrknemius yang disarafi oleh n. tibialis dan otot soleus disarafi juga oleh n.

tibialis. Sedang penggerak eversi adalah otot peroneus longus dan peroneus brevis

yang keduanya disarafi n. peroneus superficialis (Chusid, 1993).


15

2.3 SPRAIN ANKLE

Sprain ankle adalah kondisi dimana terjadinya penguluran dan robekan

pada ligamentum lateral compleks. Yang meliputi ligamentum calcaneofibularis,

ligamentum talofibularis anterior dan ligamentum talofibularis posterior bahkan

dapat mengenai ligamentum talocalcaneare interosseum. Hal ini biasanya

disebabkan oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi secara tiba-tiba saat kaki

tidak menumpu sempurna pada tumpuan seperti lantai atau tanah, biasanya terjadi

pada permukaan yang tidak rata. Menurut Calatayud (2014), sprain ankle terjadi

karena adanya cedera berlebihan (overstreching dan hypermobility) atau trauma

inversi dan plantar fleksi yang tiba - tiba, ketika sedang berolahraga, aktivitas

fisik, saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah yang tidak rata

sehingga hal ini akan menyebabkan telapak kaki dalam posisi inversi,

menyebabkan struktur ligamen yang akan teregang melampaui panjang fisiologis

dan fungsional normal, terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen

kompleks lateral, hal tersebut akan mengakibatkan nyeri pada saat berkontraksi,

adanya nyeri tersebut menyebabkan immobilisasi sehingga terjadi penurunan

kekuatan otot dan kerterbatasan gerak.


16

Gambar 2.10. Mekanisme sprain ankle

(Sumber : Brukner & Khan 1993: 12)

Berdasarkan tingkatan cederanya, sprain ankle memiliki 3 fase yaitu akut

yang berlangsung 3 hari setelah cedera, fase sub akut berlangsung dari hari ke 4 -

10 setelah cedera, dan fase kronis berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera

terjadi (Chan keith et al., 2011). Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya

sprain ankle kronis yakni, faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk di dalam

faktor ekstrinsik yaitu kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah

dan menapak pada permukaan yang tidak rata, sedangkan untuk faktor intrinsik

terdiri dari kerusakan jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot-otot

penggerak kaki dan ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile

kaki dan ankle (Kisner dan Colby, 2012). Sprain ankle kronis setelah pasca cedera

4 sampai 7 hari atau lebih di tandai dengan adanya memar, bengkak disekitar
17

persendian tulang, nyeri bila digerakkan atau diberi beban, fungsi persendian

terganggu, kelemahan ligamen atau ketidakstabilan fungsional, dan penurunan

proprioseptive. Gejala - gejala tersebut menyebabkan ketidakmampuan yang di

tandai terjadinya cedera berulang (Chan, 2011).

2.4 Patologi Sprain Ankle Kronis

Sprain ankle kronis dapat di ikuti dengan ketidakstabilan kaki dan ankle.

Ketidakstabilan tersebut di sebabkan oleh 2 hal yaitu ketidakstabilan mekanik dan

ketidakstabilan fungsional, ketidakstabilan ini akan menyebabkan terjadinya

cedera / sprain berulang pada ankle, cedera / sprain berulang terjadi karena

adanya ketidakmampuan atau adanya peningkatan kekuatan dari kaki dan ankle

(Dale, 2010).

2.4.1 Ketidakstabilan Mekanik

Ketidakstabilan mekanik terjadi sebagai akibat dari perubahan anatomi

setelah awal sprain ankle, yang menyebabkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan

mekanik dapat disebabkan oleh faktor - faktor yang mengubah mekanisme satu

atau lebih sendi yang kompleks pada ankle, termasuk : pathologic laxity

(kelemahan patologis), gangguan arthrokinematik, radang sinovial dan

impingement (Hartel, 2002).

1. Pathologic Laxity (kelemahan patologis)

Kerusakan ligamen sering menyebabkan kelemahan patologis. Tingkat

kelemahan patologis pada ankle, tergantung pada tingkat/derajat kerusakan

ligamen pada ligament lateral. Kelemahan patologis yang paling sering terjadi

pada sprain ankle yaitu di talocrural dan subtalar joint (Hartel. 2002).
18

Ketidakstabilan Talocrural disebabkan oleh cedera pada anterio tallofibula

ligament (ATFL), adanya tingkat perubahan / perpindahan (displacement)

anterior talus dari tibiofibular yang dapat dilihat dengan pemeriksaan anterior

drawer test. Cedera pada calcaneofibula ligament (CFL), juga menyebabkan

kelemahan patologis dari subtalar, pada kedua ligament tersebut memudahkan

terjadinya cedera ulang dan proses penyembuhan jaringan lunak menjadi

terhambat (Hartel, 2002).

2. Arthrokinematic Impairments

Ketidakstabilan mekanik arthrokinematik ankle terganggu disalah satu dari 3

sendi kompleks. Individu dengan sprain ankle kronis, terjadi perubahan

anatomi fibula distal pada posisi anterior dan inferior. Kesalahan posisi fibula

dapat mengakibatkan ketidakstabilan, yang menyebabkan sprain ankle

berulang. Hypomobility (berkurangnya gerak), termasuk sebagai penyebab

ketidakstabilan mekanik. Arthrokinematik keterbatasan gerak dorso fleksi

terjadi setelah sprain ankle akut. Jika sendi talocrural tidak dapat full ROM

dorso flexi, sendi tidak akan mencapai closed - pack position selama gerak,

oleh karena itu, akan lebih mudah bergerak inversi dan internal rotasi.

Keterbatasan dorso fleksi dalam closed kinetic chain biasanya diimbangi

dengan peningkatan pronasi subtalar (Hartel, 2002).

3. Synovial Changes ( radang sinovial dan impingement).

Ketidakstabilan mekanik foot and ankle dapat terjadi karena

insufficiencies disebabkan oleh hipertrofi synovial dan impingement.

Inflamasi synovial dan impingement terjadi di dalam talocrural joint dan


19

posterior subtalar joint kapsul. Pasien dengan inflamasi synovial sering

mengeluh nyeri / sakit. Sprain ankle berulang, dapat disebabkan oleh

impingement dan jaringan synovial hipertrofi antara tulang masing -

masing pada kaki dan ankle (Hartel. 2002).

2.4.2 Ketidakstabilan Fungsional

Ketidakstabilan fungsional dapat disebabkan oleh insufficiencies tertentu

pada fungsi sensorimotor yang terdiri dari : proprioceptive, kontrol

postural, kontrol neuromuskuar, gangguan reflex pada reaksi inversi,

rangsangan alpha motor neuron, dan kekuatan otot. Sprain ankle kronis

kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen kompleks

lateral, sehingga terjadi kerusakan pada struktur penyangga stabilitas

ankle. Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non

aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor. Pada kondisi ini

maka akan terjadi ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari -

hari dan terjadi penurunan stabilitas ankle (instability). Instability

(penurunan stabilitas) terdiri atas dua kelompok yaitu instability aktif dan

instability pasif. Instability aktif adalah dimana struktur kontraktil yaitu

tendon dan otot tidak mampu mempertahankan posisi MLPP. Instability

pasif adalah terjadinya gangguan pada ‘inert structure’ yang terdiri dari

tulang, capsul dan ligament dan accessories movement yang melebihi

ROM normal. Instability dari suatu sendi dapat dipengaruhi oleh adanya

kelemahan otot, kelemahan oleh ligamen yang berfungsi untuk stabilisasi

sendi tersebut dan juga terjadinya sensorimotor deficit, sehingga keadaan


20

ini menyebabkan foot and ankle disability dimana ankle seperti melayang

(Dale, 2006).

2.5 Waktu Reaksi

2.5.1. Definisi Waktu Reaksi

Waktu reaksi adalah interval antara penerimaan suatu stimulus terhadap

respon motorik secara sadar. Menurut Bompa, waktu reaksi adalah jarak waktu

antara pemberian stimulus kepada seseorang sampai terjadinya reaksi otot pertama

kali atau terjadinya gerakan yang pertama kali. Waktu reaksi adalah salah satu

parameter fisiologi yang penting untuk mengetahui seberapa cepat respon motorik

seseorang terhadap suatu stimulus. Terdapat beberapa instrumen yang dapat

digunakan untuk mengukur waktu reaksi. Salah satunya adalah ruler drop test

(The Nelson’s Reaction Test). Penelitian ini menggunakan ruler drop test

dikarenakan objek yang akan diteliti nantinya berkaitan dengan ankle. Selain itu

pemilihan ruler drop test mempunyai validitas dan reliabilitas yang cukup tinggi

yaitu 0,89. Hal lain yang menjadi pertimbangan peneliti memilih ruler drop test

karena untuk meminimalisir waktu dan fasilitas instrumen yang dirasa paling tepat

untuk dijadikan sebagai alat ukur untuk mengukur. Ruler drop merupakan metode

sederhana untuk mencari waktu reaksi seseorang. Alat yang digunakan adalah

mistar dan kertas untuk mencatat hasil waktu reaksinya.


21

Gambar 2.11. Ruler Drop Test

(Sumber : Nelson, 2000)

2.6 Wobble board exercise

2.6.1 Definisi wobble board exercise

Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga

wobble board sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive

ekstremitas atas atau bawah (Kisner dan Colby, 2012). Menurut pendapat

Mattacola dan Dwyer (2002), wobble board dapat digunakan sebagai alat ukur

atau treatment keseimbangan, stabilisasi, dan koordinasi. Latihan ini

meningkatkan fungsi saraf proprioceptive dari sistem saraf pusat dan mengurangi

waktu dalam merespon sehingga dapat memiliki kelincahan yang baik serta dapat

melindungi diri dari cedera (McKeon dan Harte, 2008). Pengertian yang lain

tentang wobble board adalah titik tumpu dari semua wobble board berbentuk

setengah lingkaran atau semi bola, hal ini dapat memungkinkan papan bergerak ke

segala arah, maju -mundur, kiri dan kanan berputar 360 derajat. Wobble board

banyak digunakan untuk perkembangan anak, gymnasium, latihan olah raga,

mencegah terjadinya cidera pada knee dan ankle, proses rehabilitasi setelah cidera
22

hip, knee dan ankle serta biasa digunakan sebagai salah satu alat fisioterapi

(Waddington et al, 2004). Selain hal tersebut wobble board exercise merupakan

sebuah papan keseimbangan yang digunakan untuk pengembalian keseimbangan,

rehabilitasi, pencegahan cedera, dan terapi fisik baik secara statik maupun

dinamik. Pelatihan ini merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh

statis, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan

cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini ialah

meningkatkan fungsi pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi

sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan

perubahan lingkungan (Miller, 2011).

Afferent proprioceptive melalui mechanoreceptor, dimana proprioseptif

berasal dari kepadatan mechanoreceptors di jaringan seperti kapsul sendi,

ligamen, tendon , dan muscles. Afferent proprioseptif memungkinkan kontrol

neuromuskular tindakan dinamis memberikan kontribusi untuk stabilitas sendi

secara keseluruhan. Sprain ankle kronis ditemukan ketidakstabilan dari sendi

ankle dan terganggunya feedback proprioceptive. Agar ankle mempunyai kontrol

yang baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan

disalah satunya maka akan timbul ketidakstabilan (Miller, 2011). Proprioceptive

adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi keberadaan anggota tubuh

dan posisi persendian. Pada sprain ankle kronik terjadinya penurunan dari pada

fungsi proprioceptive. Pelatihan dengan wobble board mengambalikan fungsi

dari proprioceptive melalui serabut saraf afferen akan membawa respon ke sistem

saraf pusat (SSP) yang berperan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh


23

tetap dengan posisi stabil (Sherwood, 2009). Empat jenis utama dari

mechanoreceptors yang membantu dalam proprioception yaitu, termasuk reseptor

Ruffini, reseptor Pacinian, Golgi-tendon organ (GTO), dan muscle spindle.

Ruffini dan Pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan

pada umumnya terletak di kulit. Reseptor Ruffini dianggap sebagai reseptor statis

dan dinamis berdasarkan ambang rendahnya, reseptor ini lambat-mengadaptasi

karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi perubahan tarik statis dan

dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap peregangan . Reseptor Pacinian,

agak cepat beradaptasi, namun reseptor dengan ambang batas rendah yang

dianggap reseptor lebih dinamis. Sementara juga sensor tekanan, reseptor Pacinian

mendeteksi tekanan berat dan mengenali perubahan percepatan dan perlambatan

gerak. Golgi tendon Organ dan muscle spindle mempunyai yang lebih besar

untuk mengetahui posisi sendi selama gerak. Pertama GTOs berada di

persimpangan musculotendinous dan bertanggung jawab untuk memantau

kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban. Terhubung ke

satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang

batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat

(Sherwood, 2009) Proprioseptive dibagi dalam empat tipe. Tipe pertama

merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai

Lowthreshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon mekanoreseptor

untuk merubah tekanan mekanik. Reseptor-reseptor ini aktif dalam segala posisi

sendi, bahkan ketika sendi tidak bergerak. Rangsangan dari reseptor berubah-ubah

tergantung dari pergerakan sendi. Tipe kedua merupakan suatu reseptor yang peka
24

terhadap rangsangan yang bertindak sebagai Lowthreshold, yang dengan cepat

mengadaptasikan mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak

bergerak dan menjadi aktif dengan periode yang singkat, hanya pada awal gerakan

untuk memberikan signal pada aselerasi sendi.

Tipe ketiga merupakan suatu reseptor yang peka terhadap proprioceptive

adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi rangsangan yang bertindak

sebagai high-threshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon

mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan

hanya aktif ketika terjadi pergerakan yang ekstrim dari sendi (Sherwood, 2009).

Tipe empat adalah reseptor yang tidak aktif dalam keadaan normal, tetapi akan

menjadi aktif ketika ketika diperlukan untuk menandai kelainan bentuk dan

tegangan mekanik, atau sebagai respon dari beban mekanik langsung dan iritasi

akibat bahan kimia. Dengan latihan menggunakan wobble board diharapakan

dapat mengambalikan fungsi propioceptive yang telah mengalami kerusakan.

Pemeliharaan dan perbaikan neuromuskuler yang rusak diperlukan pelatihan

keseimbangan dengan wobble board dan pelatihan ini merupakan salah satu

program dalam strategi menurunkan dan pencegahan terjadinya sprain ankle

berulang (Miller, 2011). Tujuan dari pelatihan dengan wobble board adalah :

1) Mengambalikan fungsi proprioceptive.

2) Meningkatkan stabilitas dan keseimbangan.

3) Mempertahankan kekuatan otot.

4) Memelihara sistem sirkulasi.


25

2.5.2 Aplikasi proprioceptive exercise dengan wobble board

Di dalam latihan menggunakan wobble board terdapat beberapa cara, diantaranya

yaitu :

1. Side to side Edge Taps

Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit cepat ditengah

wobble board. Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board dengan

pelan-pelan gerakan wobble board kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan

serong kiri, serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini

dilakukan selama satu menit.

2. Front to back Edge Taps

Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble board

digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai. Latihan ini

dilakukan selama satu menit.

3. Edge Circles

Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit di tengah-

tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board ke lantai setelah itu

lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble board tetap

menyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti

selama satu menit.

4. Counter-Clockwise Edge Circles

Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini putarannya

berlawanan dengan arah jarum jam.

5. Latihan Berdiri Static


26

a. Berdiri diatas wobble board

b. Menggunakan satu kaki

c. Tahan agar tetap statis selama 1 menit

6. Latihan Partial Squat

a. Berdiri diatas papan keseimbangan

b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki

c. Lakukan partial squat 30-45 derajat

d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit

Berikut adalah langkah yang digunakan untuk penerapan latihan wobble board di

antaranya :

1) Berikan penjelasan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan tujuan

menggunakan wobble board.

2) Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki posisi lutut semifleksi

diatas wobble board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau

menggunakan dua kaki, selama 1 menit.

3) Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur lamanya

pasien mempertahankan keseimbangannya.

4) Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch

diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk

setiap latihan.

5) Latihan ini dilakukan 3 set satu macam tehnik dan setiap set diselingi

istirahat selama 30 detik dengan intensitas mudah, dan dilakukan tiga kali

seminggu.
27

6) Dosis

a) Frekuensi : 3 x seminggu

b) Intensitas : 1 set, x 3 set

c) Time : 1 Menit

d) rest : 30 detik

2.6 Resistance exercise

Resistance Exercise merupakan segala jenis latihan aktif yang

mengkontraksikan otot baik secara statik maupun dinamis dengan memperoleh

tahanan dari gaya yang berasal dari luar (baik secara manual atau mekanikal)

(Colby & Kisner, 2007). Resistance Exercise atau resistance training merupakan

suatu komponen rehabilitasi yang sangat esensial terhadap seseorang yang

mempunyai keterbatasan untuk meningkatkan kualitas hidup terutama di dalam

meningkatkan performa kemampuan motoris serta mencegah terjadinya resiko

adanya injuri dan penyakit (Colby & Kisner, 2007).

Pelatihan dengan resistance exercise bertujuan untuk meningkatkan

kekuatan dan kemampuan fungsional otot, maka beban yang digunakan dalam

pelatihan harus melebihi kapasitas normal dari otot tersebut (Overload). Hal ini

bertujuan agar otot dapat beradaptasi dalam peningkatan jumlah beban yang

diterima dan berdampak pada meningkatnya kapasitas normal dari otot tersebut

mencapai level pembebanan yang diberikan. Jika beban yang diberikan tetap

konstan setelah otot beradaptasi terhadap pembebanan baru, maka level kekuatan

otot tersebut mampu dipertahankan namun tidak akan mengalami peningkatan


28

(Colby & Kisner, 2007). Adaptasi fisiologi resistance exercise terhadap

keseimbangan mencakup adaptasi neurologis dan adaptasi otot skeletal. Adaptasi

neurologis dari resistance exercise disebabkan karena resistance exercise dapat

mempengaruhi efisiensi sistem neuromuskular dengan meningkatkan rekrut motor

unit. Motor unit didefinisikan sebagai saraf motorik, dan semua serabut otot

tersebut diinervasi oleh saraf motorik. Satu saraf motorik menginervasi lebih dari

100 serabut otot. Kekuatan kontraksi suatu otot secara langsung berkaitan dengan

jumlah serabut otot yang terlibat. Semakin besar jumlah motor unit yang direkrut

(semakin besar pula jumlah serabut otot yang direkrut) untuk melakukan

pekerjaan, semakin kuat kontraksi otot yang terlibat. Semakin banyak serabut otot

yang diinervasi oleh saraf motorik, semakin besar pula power dan kekuatan otot

tersebut.

Apabila pemberian resistance exercise diterapkan maka dapat merangsang

kerja sistem neuromuskular yang dapat meningkatkan keseimbangan melalui

perekrutan motor unit terhadap kontrol postural. Adaptasi otot skeletal dari

resistane exercise dapat menyebabkan peningkatan pada ukuran otot. Peningkatan

massa otot dikenal dengan hipertrofi. Hipertrofi merupakan meningkatnya ukuran

serabut otot yang disebabkan karena meningkatnya volume myofibrillar.

Terjadinya hipertrofi juga berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot, power

dan endurance. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian resistance exercise dapat

meningkatkan performa otot.yang mencakup kekuatan otot, power dan endurance

(Higgins, 2011).

Anda mungkin juga menyukai