KAJIAN PUSTAKA
Sendi ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh untuk menjaga
keseimbangan saat berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun dari
tulang, ligamen, tendon, dan seikat jaringan penghubung (Paul M. Taylor Dp. M.,
2002:106). Sendi ankle dibentuk oleh empat tulang yaitu tibia, fibula, talus, dan
calcaneus. Pergerakan utama dari sendi ankle terjadi pada tulang tibia, talus, dan
Struktur sendi ankle sangatlah kompleks dan kuat karena sendi ankle tersusun atas
ligamen-ligamen yang kuat dan banyak. Ligament yang terdapat pada sendi
7
8
ankle dalam berbagai posisi. Secara anatomi struktur ligament dari sendi ankle
tibia.
Sendi engkel merupakan sendi engsel, gerakan utama yang dapat dilakukan oleh
sendi tersebut adalah dorsofleksi (ekstensi) kaki dan gerakan plantofleksi (fleksi
kaki). Gerakan tersebut terjadi karena sendi engkel memiliki sumbu melintang
(aksis transversal). Otot penyusun sendi ankle adalah otot gastrocnemius, otot
soleus, otot fleksor hallucis longus, otot fleksor digitorum longus, otot tibialis
posterior, otot tibialis anterior, otot proneus longus, otot proneus brevis, otot
9
popliteus, otot plantaris disatukan oleh tendon achilles seperti gambar dibawah
ini:
Tulang penyusun sendi ankle terdiri atas: tulang fibula, tibia, talus dan
ligamen tersebut, sendi ankle mampu melakukan gerakan dorsi fleksi yakni
10
gerakan ke arah atas dan plantar fleksi gerakan ke arah bawah. Ankle merupakan
sendi ankle sering mengalami cedera oleh karena sendi ankle menjadi bagian
pertama dari rantai gerak tubuh untuk menahan dampak berjalan, berlari,
memutar, mendorong. Menurut Ali Satia Graha (2009:12), cedera ligament pada
sendi ankle itu sendiri dapat dikelompokkan berdasarkan berat ringannya tingkat
tubuh, misalnya kekuatan dari otot dan kelelahan. Pada cedera ini
pada jaringan tubuh, seperti robek otot, ligament maupun fraktur atau
2.2.1 Osteokinematika
Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar fleksi, dorsal fleksi,
Gambar 2.8. ROM plantar fleksi dan dorso fleksi, eversi dan inversi ankle
2.2.2 Arthrokinematika
Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi talotarsalis. Sendi
talocrularis merupakan sendi engsel (Tim Anatomi UNY, 2011: 55-56). Secara
gerakan sendi ini dapat melakukan gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan
eversi. Range of Motion (luas gerak sendi) dalam keadaan normal untuk
dorsofleksi adalah 200, plantarfleksi adalah 500, gerakan eversi adalah 200, dan
gerakan inversi adalah 400 (Russe, 1975:17). Penulisan yang disesuaikan dengan
dorsofleksi dan plantarfleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan eversi
tertulis (S) 20-0-40 (Russe, 1975: 18). Berdasarkan dari bentuk persendiannya,
Pieter dan Gino (2014: 2) mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus
dengan gerakan yang mungkin terjadi adalah dorsofleksi (fleksi) dan plantarfleksi
(ekstensi) dengan jangkauan gerakan yang bervariasi untuk dorsofleksi antara 13-
14
330 dan plantar fleksi 23-560. Sementara Christy Cael (2009: 391)
menggambarkan jangakauan gerak sendi ankle adalah dorso fleksi 200 dan plantar
fleksi 500.
talus akan sliding kearah posterior dan fibula bergerak ke arah proksimal dan
lateral, selama plantar fleksi ankle talus sliding kearah anterior dan fibula
bergerak ke arah distal dan sedikit ke anterior. Saat inversi calcaneus sliding
kearah lateral dan pada saat eversi calcaneus sliding ke medial (Norkin, 1995).
Otot pengerak pergelangan kaki gerak utama dorsi fleksi, adalah tibialis anterior
disarafi oleh n. peroneus profundus otot pengerak plantar fleksi adalah otot
gastrknemius yang disarafi oleh n. tibialis dan otot soleus disarafi juga oleh n.
tibialis. Sedang penggerak eversi adalah otot peroneus longus dan peroneus brevis
disebabkan oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi secara tiba-tiba saat kaki
tidak menumpu sempurna pada tumpuan seperti lantai atau tanah, biasanya terjadi
pada permukaan yang tidak rata. Menurut Calatayud (2014), sprain ankle terjadi
inversi dan plantar fleksi yang tiba - tiba, ketika sedang berolahraga, aktivitas
fisik, saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah yang tidak rata
sehingga hal ini akan menyebabkan telapak kaki dalam posisi inversi,
kompleks lateral, hal tersebut akan mengakibatkan nyeri pada saat berkontraksi,
yang berlangsung 3 hari setelah cedera, fase sub akut berlangsung dari hari ke 4 -
10 setelah cedera, dan fase kronis berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera
terjadi (Chan keith et al., 2011). Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya
sprain ankle kronis yakni, faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk di dalam
faktor ekstrinsik yaitu kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah
dan menapak pada permukaan yang tidak rata, sedangkan untuk faktor intrinsik
kaki dan ankle (Kisner dan Colby, 2012). Sprain ankle kronis setelah pasca cedera
4 sampai 7 hari atau lebih di tandai dengan adanya memar, bengkak disekitar
17
persendian tulang, nyeri bila digerakkan atau diberi beban, fungsi persendian
Sprain ankle kronis dapat di ikuti dengan ketidakstabilan kaki dan ankle.
cedera / sprain berulang pada ankle, cedera / sprain berulang terjadi karena
adanya ketidakmampuan atau adanya peningkatan kekuatan dari kaki dan ankle
(Dale, 2010).
mekanik dapat disebabkan oleh faktor - faktor yang mengubah mekanisme satu
atau lebih sendi yang kompleks pada ankle, termasuk : pathologic laxity
ligamen pada ligament lateral. Kelemahan patologis yang paling sering terjadi
pada sprain ankle yaitu di talocrural dan subtalar joint (Hartel. 2002).
18
anterior talus dari tibiofibular yang dapat dilihat dengan pemeriksaan anterior
2. Arthrokinematic Impairments
anatomi fibula distal pada posisi anterior dan inferior. Kesalahan posisi fibula
terjadi setelah sprain ankle akut. Jika sendi talocrural tidak dapat full ROM
dorso flexi, sendi tidak akan mencapai closed - pack position selama gerak,
oleh karena itu, akan lebih mudah bergerak inversi dan internal rotasi.
rangsangan alpha motor neuron, dan kekuatan otot. Sprain ankle kronis
ankle. Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non
aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor. Pada kondisi ini
(penurunan stabilitas) terdiri atas dua kelompok yaitu instability aktif dan
pasif adalah terjadinya gangguan pada ‘inert structure’ yang terdiri dari
ROM normal. Instability dari suatu sendi dapat dipengaruhi oleh adanya
ini menyebabkan foot and ankle disability dimana ankle seperti melayang
(Dale, 2006).
respon motorik secara sadar. Menurut Bompa, waktu reaksi adalah jarak waktu
antara pemberian stimulus kepada seseorang sampai terjadinya reaksi otot pertama
kali atau terjadinya gerakan yang pertama kali. Waktu reaksi adalah salah satu
parameter fisiologi yang penting untuk mengetahui seberapa cepat respon motorik
digunakan untuk mengukur waktu reaksi. Salah satunya adalah ruler drop test
(The Nelson’s Reaction Test). Penelitian ini menggunakan ruler drop test
dikarenakan objek yang akan diteliti nantinya berkaitan dengan ankle. Selain itu
pemilihan ruler drop test mempunyai validitas dan reliabilitas yang cukup tinggi
yaitu 0,89. Hal lain yang menjadi pertimbangan peneliti memilih ruler drop test
karena untuk meminimalisir waktu dan fasilitas instrumen yang dirasa paling tepat
untuk dijadikan sebagai alat ukur untuk mengukur. Ruler drop merupakan metode
sederhana untuk mencari waktu reaksi seseorang. Alat yang digunakan adalah
ekstremitas atas atau bawah (Kisner dan Colby, 2012). Menurut pendapat
Mattacola dan Dwyer (2002), wobble board dapat digunakan sebagai alat ukur
meningkatkan fungsi saraf proprioceptive dari sistem saraf pusat dan mengurangi
waktu dalam merespon sehingga dapat memiliki kelincahan yang baik serta dapat
melindungi diri dari cedera (McKeon dan Harte, 2008). Pengertian yang lain
tentang wobble board adalah titik tumpu dari semua wobble board berbentuk
setengah lingkaran atau semi bola, hal ini dapat memungkinkan papan bergerak ke
segala arah, maju -mundur, kiri dan kanan berputar 360 derajat. Wobble board
mencegah terjadinya cidera pada knee dan ankle, proses rehabilitasi setelah cidera
22
hip, knee dan ankle serta biasa digunakan sebagai salah satu alat fisioterapi
(Waddington et al, 2004). Selain hal tersebut wobble board exercise merupakan
rehabilitasi, pencegahan cedera, dan terapi fisik baik secara statik maupun
dinamik. Pelatihan ini merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh
statis, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan
cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini ialah
yang baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan
adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi keberadaan anggota tubuh
dan posisi persendian. Pada sprain ankle kronik terjadinya penurunan dari pada
dari proprioceptive melalui serabut saraf afferen akan membawa respon ke sistem
tetap dengan posisi stabil (Sherwood, 2009). Empat jenis utama dari
Ruffini dan Pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan
pada umumnya terletak di kulit. Reseptor Ruffini dianggap sebagai reseptor statis
karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi perubahan tarik statis dan
dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap peregangan . Reseptor Pacinian,
agak cepat beradaptasi, namun reseptor dengan ambang batas rendah yang
dianggap reseptor lebih dinamis. Sementara juga sensor tekanan, reseptor Pacinian
gerak. Golgi tendon Organ dan muscle spindle mempunyai yang lebih besar
kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban. Terhubung ke
satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang
batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat
merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai
untuk merubah tekanan mekanik. Reseptor-reseptor ini aktif dalam segala posisi
sendi, bahkan ketika sendi tidak bergerak. Rangsangan dari reseptor berubah-ubah
tergantung dari pergerakan sendi. Tipe kedua merupakan suatu reseptor yang peka
24
mengadaptasikan mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak
bergerak dan menjadi aktif dengan periode yang singkat, hanya pada awal gerakan
adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi rangsangan yang bertindak
mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan
hanya aktif ketika terjadi pergerakan yang ekstrim dari sendi (Sherwood, 2009).
Tipe empat adalah reseptor yang tidak aktif dalam keadaan normal, tetapi akan
menjadi aktif ketika ketika diperlukan untuk menandai kelainan bentuk dan
tegangan mekanik, atau sebagai respon dari beban mekanik langsung dan iritasi
keseimbangan dengan wobble board dan pelatihan ini merupakan salah satu
berulang (Miller, 2011). Tujuan dari pelatihan dengan wobble board adalah :
yaitu :
Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit cepat ditengah
wobble board. Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board dengan
pelan-pelan gerakan wobble board kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan
serong kiri, serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini
Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble board
digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai. Latihan ini
3. Edge Circles
Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit di tengah-
tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board ke lantai setelah itu
lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble board tetap
menyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti
Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini putarannya
Berikut adalah langkah yang digunakan untuk penerapan latihan wobble board di
antaranya :
1) Berikan penjelasan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan tujuan
2) Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki posisi lutut semifleksi
setiap latihan.
5) Latihan ini dilakukan 3 set satu macam tehnik dan setiap set diselingi
istirahat selama 30 detik dengan intensitas mudah, dan dilakukan tiga kali
seminggu.
27
6) Dosis
a) Frekuensi : 3 x seminggu
c) Time : 1 Menit
d) rest : 30 detik
tahanan dari gaya yang berasal dari luar (baik secara manual atau mekanikal)
(Colby & Kisner, 2007). Resistance Exercise atau resistance training merupakan
kekuatan dan kemampuan fungsional otot, maka beban yang digunakan dalam
pelatihan harus melebihi kapasitas normal dari otot tersebut (Overload). Hal ini
bertujuan agar otot dapat beradaptasi dalam peningkatan jumlah beban yang
diterima dan berdampak pada meningkatnya kapasitas normal dari otot tersebut
mencapai level pembebanan yang diberikan. Jika beban yang diberikan tetap
konstan setelah otot beradaptasi terhadap pembebanan baru, maka level kekuatan
unit. Motor unit didefinisikan sebagai saraf motorik, dan semua serabut otot
tersebut diinervasi oleh saraf motorik. Satu saraf motorik menginervasi lebih dari
100 serabut otot. Kekuatan kontraksi suatu otot secara langsung berkaitan dengan
jumlah serabut otot yang terlibat. Semakin besar jumlah motor unit yang direkrut
(semakin besar pula jumlah serabut otot yang direkrut) untuk melakukan
pekerjaan, semakin kuat kontraksi otot yang terlibat. Semakin banyak serabut otot
yang diinervasi oleh saraf motorik, semakin besar pula power dan kekuatan otot
tersebut.
perekrutan motor unit terhadap kontrol postural. Adaptasi otot skeletal dari
dan endurance. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian resistance exercise dapat
(Higgins, 2011).