Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Tumbuh kembang bayi yang baru lahir dengan keadaan yang sehat serta

memiliki anggota tubuh yang lengkap dan sempurna merupakan harapan bagi seluruh

keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang lahir

kurang sempurna, karena mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu bentuk

kelainan pada anggota tubuh yaitu kaki bengkok atau Congenintal Talipes Equino Varus

(CTEV).Penyebab utama yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti.

Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi yang abnormal atau

pergerakan yang terbatas dalam rahim, sehingga terjadi ketidak normalan pada bentuk

kaki janin.Perkembangan pembentukan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula

(minggu ke 6-7 masa kehamilan) dan fase tibia (minggu ke 8-9 masa kehamilan).

Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan kelainan bentuk

tulang pada bentuk kaki. Aktifitas gerak fungsional yang terganggu pada anak CTEV

salah satunya adalahkemampuan berjalan.

Congenital talipes equinovarus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club foot’

adalah suatu gangguan perkembangan ekstremitas infe-rior yang sering ditemui, tetapi

masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminolo-gi “sindromik” bila kasus

ini ditemukan bersa-maan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari

sindrom genetik. CTEV dap-at timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain,

dan sering disebut sebagai CTEV idiopatik. CTEV sindromik sering menyertai

gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun atrofi muskular

1|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


spinal. Bentuk yang paling sering ditemui ada-lah CTEV idiopatik; pada bentuk ini,

ekstremi-tas superior dalam keadaan normal.

Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens

CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahi-ran hidup.

Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral

didapatkan pada 30-50% kasus.

Prevalensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika Serikat 2,29:1000

kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran;

pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada

ras Polinesia 6,81:1000 kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000

kelahiran pada orang Hawaii, (Hosseinzaideh, 2014).

Prevalensi Clubfoot di Indonesia antara 0,76 - 3,49 dari 1000 kelahiran hidup

4,8 juta bayi per tahun 3.648 to 16.752 kasus baru Clubfoot di Indonesia per tahun,

(Marzuki, 2017), sedangkan di YPAC Makassar pada saat Praktek Klinik di bulan

februari ada 3 anak yang mengalami CTEV.

Untuk menggambarkan deformitas pada umumnya bentuk kaki melengkung atau

bengkok dari posisi normal yang menyebabkan abnormalitas pada kaki dimana kaki

padaanak dengan CTEV memiliki bentuk kaki sangat khas yaitu Plantar fleksi

talocranialis karena lemahnya M. Tibialis Posterior, inversi ankle karena M. Peroneus

Longus, M Peroneus Brevis dan M. Peroneus Tertius yang lemah dan 2 adduksi dari

kaki depan bagian subtalar dan midtarsal dan rotasi medial dari tibilis anterior, akibat

terjadi kekakuan otot pada daerah kaki meyebabkan ketidak seimbangan otot-otot

tungkai bawah seperti gastrocnemius, soleus, dan tendon Achilles lemah, karena

2|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


hilangnya fungsi dari tibialis posterior sebagai fiksasi dan stabilisator pada daerah kaki,

sehingga terjadi keterbatsan lingkup gerak sendi pada daerah kaki yang

mempengaruhikemampuan berjalan.

Adapun Intervensi yang di berikan pada kasus Clubfoot menggunakan tehnik

ponseti dengan penggunaan Gips,pemakaian sepatu AFO,dennis brown dikombinasikan

dengan manual terapi dan streching Selain itu diberikan terapi latihan berdiri dan

berjalan untuk memperbaiki postur tubuh dan pola jalan yang baik.

Fisioterapi (Physical Therapy) merupakan salah satu profesi kesehatan yang

menyediakan perawatan (treatment) untuk kondisi congenital talipes equino varus

(CTEV). Penatalaksanaan fisioterapi pada CTEV bertujuan untuk mengembalikan dan

memelihara bentuk kaki secara normal, meningkatkan kekuatan otot tungkai bawah dan

meningkatkan aktivitas fungsional pada tungkai bawah. Intervensi yang digunakan

untuk mengatasi problematika yang timbul pada kondisi congenital talipes equino varus

(CTEV) adalah stretching, patterning jongkok-berdiri, pemasangan strapping, dan

standing. Tujuan pemberian stretching, bertujuan untuk latihan peregangan dengan

memanjangkan jaringan lunak dan kulit yang mengalami kontraktur. Patterning

jongkok-berdiri bertujuan untuk mempermudah reaksi-reaksi automatik dan gerak

motorik dari posisi jongkok ke berdiri yang sempurna pada tonus otot.

3|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


BAB II

TINJAUAN KASUS

A. TINJAUAN TENTANG ANATOMI BIOMEKANIK CTEV

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal

Menurut Suratun, dkk (2008), sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang,

sendi, otot, dan struktur pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia, dan

bursae). Pertumbuhan dan perkembangan struktur ini terjadi selama masa

kanak-kanak dan remaja.

2.1.1 Struktur Tulang

Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat

badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. (Suratun, dkk, 2008)

Pembagian skeletal yaitu :

1. Axial skeleton, terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher,

tengkorak, kolumna vertebrae, tulang iga, tulang hioid sternum

2. Apendikular skeleton, terdiri dari

a. Kerangka tulang lengan dan kaki

b. Ekstremitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna, radial)

dan tangan (karpal, metakarpal, falang)

c. Ekstremitas bawah (tulang pelvik, femur, patela, tibia, fibula)

dan kaki (tarsal, metatarsal, falang)

2.1.2 Anatomi Kaki

Kaki adalah suatu kesatuan unit yang kompleks dan terdiri dari

26 buah tulang yang dapat menyangga berat badan secara penuh saat

berdiri dan mampu memindahkan tubuh pada semua keadaan tempat

4|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


berpijak. Ke-26 tulang itu terdiri dari: 14 falang, 5 metatarsal dan 7

tarsal. Kaki dapat dibagi menjadi 3 segmen fungsional

a. Hindfoot (segmen posterior) : Bagian ini terletak langsung

dibawah os tibia dan berfungsi sebagai penyangganya. Terdiri

dari:

 Talus yang terletak di apeks kaki dan merupakan bagian dari

sendi pergelangan kaki

 Calcaneus yang terletak dibagian belakang dan kontak dengan

tanah

b. Midfoot (segmen tengah)

Terdiri dari 5 tulang tarsal yaitu:

1. 3 cuneiforme: medial, intermedium dan lateral

2. Cuboid

3. Navikulare ke-5 tulang tersebut membentuk persegi empat

ireguler dengan dasar medial dan apeks lateral. 3 cuneiforme

dan bagian anterior cuboid serta naviculare dan bagian

belakangtulang cuboid membentuk suatu garis.

4. 5 metatarsal: I, II, III, IV, V

5. 14 falang. Dimana ibu jari kaki mempunyai 2 falang

sedangkan setiap jari lainnya 3 falang

5|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


Gambar 2.1. Anatomi kaki

Gambar 2.2 Lateral kaki kanan

2.1.3 Biomekanik Ankle

1. Osteokinematika

Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar fleksi, dorsal

fleksi, eversi dan inversi

Gambar 2.3
ROM plantar fleksi dan dorso fleksi, eversi dan inversi ankle
(Sumber : Russe, 1975:17)

6|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


2. Arthrokinematika

Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi

talotarsalis. Sendi talocrularis merupakan sendi engsel (Tim

Anatomi UNY, 2011: 55-56). Secara gerakan sendi ini dapat

melakukan gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan eversi.

Range of Motion (luas gerak sendi) dalam keadaan normal untuk

dorsofleksi adalah 200 , plantarfleksi adalah 500 , gerakan eversi

adalah 200 , dan gerakan inversi adalah 400 (Russe, 1975:17).

Penulisan yang disesuaikan dengan standar ISOM (Internaional

Standard Orthopaedic Meassurement) untuk gerak dorsofleksi

dan plantarfleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan

eversi tertulis (S) 20-0-40 (Russe, 1975: 18). Berdasarkan dari

bentuk persendiannya, Pieter dan Gino (2014: 2)

mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus dengan

gerakan yang mungkin terjadi adalah dorsofleksi (fleksi) dan

plantarfleksi (ekstensi) dengan jangkauan gerakan yang bervariasi

untuk dorsofleksi antara 13-330 dan plantar fleksi 23-560 .

Sementara Christy Cael (2009: 391) menggambarkan jangakauan

gerak sendi ankle adalah dorso fleksi 20O dan fleksi 50O .

Gambar 2.4
ROM plantar fleksi dan dorso fleksi ankle

7|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


Dilihat dari aspek arthrokinematika selama dorsi fleksi ankle, talus akan

sliding kearah posterior dan fibula bergerak ke arah proksimal dan lateral,

selama plantar fleksi ankle talus sliding kearah anterior dan fibula bergerak ke

arah distal dan sedikit ke anterior. Saat inversi calcaneus sliding kearah lateral

dan pada saat eversi calcaneus sliding ke medial (Norkin, 1995).

Gambar 2.5
Sistem Saraf

Otot pengerak pergelangan kaki gerak utama dorsi fleksi, adalah tibialis

anterior disarafi oleh n. peroneus profundus otot pengerak plantar fleksi adalah

otot gastroknemius yang disarafi oleh n. tibialis dan otot soleus disarafi juga

oleh n. tibialis. Sedang penggerak eversi adalah otot peroneus longus dan

peroneus brevis yang keduanya disarafi n. peroneus superficialis (Chusid, 1993).

8|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


B. TINJAUAN TENTANG CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

1. Denifisi CTEV

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau club foot berasal dari

bahasa latin “talipes” yaitu tulang talus, dan “pes” yaitu kaki, serta

equinovarus yang berarti fleksi dan inversi. Kelainan ini dapat terjadi pada

satu atau kedua kaki, ditandai dengan fleksi plantar/equinus pada angkle

(pergelangan kaki), inversi/ varus pada sendi subtalar (tungkai) dan adduksi

pada kaki depan (Koswal & Natarajam, 2005). Sedangkan menurut

Cahyono (2008), CTEV adalah kelainan kongenital tulang sehingga terjadi

fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang calcaneus,

navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan

dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai

tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.

Dari pengertian-pengertin di atas dapat kita simpukan bahwa CTEV

adalah kelainan kongenital tulang yang ditandai dengan fleksi pada tulang

talus, sehingga tumit menjadi lebih tinggi dan terjadi deviasi ke arah

medial. Kelainan ini mengakibatkan pasien tidak dapat berdiri dengan

telapak kaki yang rata menapak tanah, tumit terbalik, dan kaki depan

bengkok.

9|F i siotera pi C ONG EN TINA L TALI PES EQUI NO VARU S


Gambar 2.6 Clubfoot
Sumber:http://s63.photobucket.com/ Gambar 2.7 Tulang pedis normal dan clubfoot
Sumber: http://clubfoot_help.tripod.com/

Gambar 2.8. Perbandingan kaki normal dan clubfoot


Sumber: Abnormal Skeletal Phenotypes: From Simple Signs to Complex Diagnoses

2. Klasifikasi CTEV
CTEV dibagi menjadi dua, yaitu:

2.1. CTEV postural atau posisional : Bukan CTEV sebenarnya sebab bisa

terkoreksi sendiri seiring masa tumbuh kembang bayi.

2.2. CTEV rigid atau fixed, dibagi menjadi:

a. CTEV rigid fleksibel. Jenis ini mudah atau dapat dikoreksi secara

non- operasional

10 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
b. CTEV rigid resisten. Jenis ini seringkali memerlukan tindakan

operasi.

Dilihat dari tempat bengkoknya tulang, talipes terbagi menjadi beberapa

jenis seperti talipes equinus, kalkaneus, valgus, varus, dan kavus.

Deformitas clubfoot disebabkan karena disrotasi posisi kaki. Dua tipe

yang paling umum adalah equinus dan kalkaneus. Equinus berarti seperti

kuda dengan ujung kaki ke bawah dan telapak kakinya fleksi. Kalkaneus

berarti tumit menonjol dengan ujung kaki ke atas dan kaki dalam posisi

plantar. Setiap tipe mungkin varus (bengkok ke dalam) atau valgus

(bengkok ke luar). Jumlah tapiles equinavarus sekitar 95% dari semua

kelainan clubfoot. Talipes kalkaneus adalah tipe yang lebih umum. (Persis

Mary Hamilton, 1995)

3. Etiologi CTEV
Deformitas talipes (clubfoot) adalah deformitas kongenital ortopedik

paling sering dari ekstremitas bawah, terjadi dengan frekuensi paling besar

pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1 dengan anak perempuan.

Talipes dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Umumnya,

titik talus turun dan telapak kaki teraduksi. (Jan Tambayong, 2000)

Menurut Persis Mary Hamilton (1995), Penyebab yang pasti dari

clubfoot tidak diketahui. Sebagian orang berkeyakinan bahwa hal tersebut

diakibatkan karena gangguan perkembangan atau posisi abnormal dalam

uterus. Karena beberapa keluarga memiliki kecenderungan lebih tinggi dari

keluarga yang lain, hereditas merupakan salah satu faktornya.

Faktor resiko terjadinya CTEV adalah faktor mekanis dalam uterus

(misalnya adanya tekanan dari luar akibat trauma atau akibat tekanan dari

11 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
dalam seperti pada kehamilan kembar, oligohidramnion), gangguan

neuromuskular, kelainan genetik, pengaruh di sekitar rahim, faktor

herediter, kombinasi antara faktor herediter dan lingkungan

4. Fatofisiologi CTEV
Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan

forefoot adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas

intraosseus (abnormal morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan

abnormal antar tulang) (Hoosseinzaideh, 2014).Deformitas intraosseus

paling sering muncul di talus, dengan necktalar yang pendek dan medial

dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan inferior talus,

facet medial dan anterior belum berkembang. Kelainan pada calcaneus,

cuboid, dan navicular tidaklah terlalu parah dibandingkan talus. Pada

calcaneus ditemukan lebih kecil dari kaki normal, dansustentaculum yang

belum berkembang (Herring, 2014).Deformitas interosseus terlihat seperti

medial displacement dari navicular pada talar head dan cuboid

padacalcaneus, secara berurutan. Herzenberg dkk menunjukkanbahwa talus

dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar 20 derajat terhadap aksis

tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki normal.

Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam

ankle mortise. Adanya internal tibial torsion padaclubfoot masih

kontroversial (Hoosseinzaideh, 2014).Kontraktur dan fibrosis ligament sisi

medial kaki, termasuk spring ligament, master knot of Henry, ligament

tibionavicular, dan fascia plantaris, juga berkontribusi dalam abnormalitas

clubfoot (Hoosseinzaideh, 2014).Abnormalitas otot telah diamati selama

operasi release deformitas clubfoot. Dobbs dkk melaporkan bahwa flexor

12 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
digitorum accesorius longus muscle terlihat pada anak-anak yang menjalani

operative release sekitar 6,6% dan lebih banyak lagi padaanak-anak dengan

adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%). Flexor digitorum accesorius

longus dilaporkan ada sekitar 1% sampai 8% pada cadaver dewasa normal.

Anomalous soleus muscle juga telah dijelaskan dan dilaporkan

berhubungan dengan tingginya angka rekurensi (Hoosseinzaideh,

2014).Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak

adanya arteri tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri

tibialis anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini

meningkatkan risiko komplikasi vaskuler jika salah satu arteri dominan

terkena saat comprehensive soft-tissuerelease atau Achilles tenotomi

(Hoosseinzaideh, 2014).Beberapa teori yang mendukung patogenesis

terjadinya CTEV, antara lain:

a. Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular

b. Kurangnya jaringan kartilagenosa talus

c. Faktor neurogenic telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia

pada kelompok otot peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan

karena adanya perubahan inervasi intrauterine karena penyakit

neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden

CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida.

d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot

dan ligamen.Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya

jaringan kolagen yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua

ligamen dan struktur tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon

13 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat

teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia medialis

menggunakan mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa

bahwa hal inilah yang menyebaban kontraktur medial.

e. Anomali pada insersi tendon

Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali

pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain.

Hal ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang

membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.

f. Variasi iklim

Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan

insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya

variasi yang serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas.

CTEV dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal poliolike

condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada

spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.

5. Gambaran Klinis CTEV


Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam

keluarga. Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi

ada tidaknya kelainan lain. Periksa kaki dengan anak dalam keadaan

tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan

posisi anak supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.

Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan

arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki

berada dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi.

14 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi

kontraktur pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang

kalkaneus tidak hanya berada dalam posisi equinus, tetapi bagian

anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral

pada bagian posteriornya.

Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut

(seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi

kembali dan pada perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung

atau dagu). Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat

dengan mudah teraba pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup

oleh navikular dan badan talus. Maleolus medial menjadi susah diraba dan

pada umumnya menempel pada navikular. Jarak yang normal terdapat

antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami

rotasi internal.

6. Pemeriksaan Diagnostik CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


 Foto polos

Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto

polos. Pemeriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena

stress yang terlibat dapat terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan

berat dapat disimulasikan dengan pemberian stress dorsal flexy.

Gambaran standar yang digunakan adalah gambaran dorsoplantar (DP)

dan lateral. Untuk gambaran dorsoplantar, sinar diarahkan dengan sudut

15o terhadap tumit untuk mencegah overlap dengan struktur tungkai

bawah. Gambaran lateral harus mencakup pergelangan kaki, dan bukan

kaki, untuk penggambaran yang lebih tepat dari talus.

15 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat

menstimulasikan varus kaki belakang. Bila gambaran lateral hanya

meliputi salah satu kaki dan tidak termasuk pergelangan kaki, maka

akan terlihat gambaran palsu dari lengkungan talus yang mendatar.

Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus

anterior (mirip kuku kuda) dimana sudut antara axis panjang tibia dan

axis panjang calcaneus (sudut tibiocalcaneal) lebih besar dari 90 o.

Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara

relatif terhadap tibia. Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi

varus (ke arah garis tengah). Pada gambaran lateral, sudut antara axis

panjang talus dan axis panjang calcaneus (sudut talocalcaneal) kurang

dari 25o, dan kedua tulang tersebut lebih paralel dibandingkan kondisi

normal.

Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15 derajat,

dan dua tulang terlihat lebih tumpang tindih daripada pada kaki normal.

Selain itu, aksis longitudinal yang melalui pertengahan talus (garis

midtalar) melintas secara lateral ke arah dasar metatarsal pertama,

karena garis depan terdeviasi secara medial.

Varus kaki depan dan supinasi meningkatkan konvergensi dari

basis metatarsal pada gambaran DP, jika dibandingkan dengan sedikit

konvergensi pada kaki normal

16 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
 CT-Scan

Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi

3 dimensi, johnston et al menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang

dapat memantau tulang pada CTEV bisa diterapkan dan aksis inersia

dapat ditentukan di sekitar pusat massa dengan 3 bidang perpendikuler

untuk setiap tulang yng terlibat.

Kawat ini dapat dirotasi secara manual untuk mengurai

deformitas dan kelainan susunan tulang yang tidak jelas karena

overlapping pada foto polos. Hubungan antara tulang kaki belakang dan

pergelangan kaki dapat dinilai dengan cara ini. Begitu pula dengan aksis

vertical dari talus dan lubang kalkaneus dapat dibandingkan dengan

acuan perpendicular terhadap dasar pada rekostruksi koronal dari tumit.

Analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik

talus maupun kalkaneus relatif terotasi secara medial terhadap garis

perpendicular pada lubang di bidang transversal, namun rotasi di

kalkaneus sangat kecil. Perbedaan ini merupakan divergensi normal dari

aksis panjang 2 tulang. Pada CTEV, talus terotasi secara lateral dan

kalkaneus terotasi lebih medial daripada kaki normal.

Pemakaian CT Scan juga memiliki bebrapa kerugian, yaitu risiko

ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal, suseptibilitas dari

artifak gambar dan gerakan, dan membutuhkan peralatan mahal dan

aplikasi software untuk rekonstruksi multiplanar.

17 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
 MRI

Saat ini MRI tidak banyak dilakukan untuk pemeriksaan

radiologi CTEV karena berbagai kerugiannya, diantaranya dibutuhkan

alat khusus dan sedasi pasien, besarnya pengeluaran untuk software

yang digunakan, hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek

feromagnetik dari alat fiksasi, dan waktu tambahan yang dibutuhkan

untuk transfer data dan postprocessing. Namun, di sisi lain, keuntungan

penggunaan MRI jika dibandingkan dengan foto polos dan CT scan

adalah kapabilitas imaging multiplanar dan penggambaran yang sangat

baik untuk nucleus osifikasi, kartilago anlage (primordium) serta

struktur jaringan lunak disekitarnya.

 Ultrasonografi (USG)

Penelitian menunjukkan bahwa gambarn reproducible dan penilaian

objektif dari beberapa hubungan antartulang (interosseous) pada kaki

normal dan pada CTEV dapat dilakukan dengan USG. Untuk

selanjutnya, USG mungkin dapat digunakan dalam operasi tertuntun

dan terapi konservatif untuk CETV dalam menilai hasilnya.

Gambaran dinamis/dynamic imaging yang bisa dilakukan dengan

USG dapat melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas dari

kaki. Sehingga, USG ini dapat membantu memilah pasien yang harus

dilakukan operasi dan tidak bisa dengan terapi konservatif saja.

18 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
 Angiografi

Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan

distribusi pembuluh darah kecil pada CTEV, namun temuan ini masih

terbatas dalam kegunaan secara klinis.

7. Diagnosis

Berupa deformitas pada :

 Adduksi dan supinasi kaki depan pada sendi mid dorsal

 Subluksasi sendi talonavikulare

 Equinus kaki belakang pada sendi ankle

 Varus kaki belakang pada sendi subtalar

 Deviasi medial seluruh kaki terhadap lutut

 Inversi tumit

Gambar 2.9
Telapak Kaki

19 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
C. TINJAUAN TENTANG PENGUKURAN FISIOTERAPI CTEV

1. Pengukuran lingkup gerak sendi (LGS)

Pemeriksaan Lingkup gerak sendi adalah luas lingkup gerak sendi yang

mampu dicapai atau dilakukan oleh sendi. Pengukuran LGS yang sering

digunakan adalah goniometri, tapi untuk sendi tertentu menggunakan pita

ukur (misalnya pada vertebra) (Trisnowiyanto, 2012).

Cara pengukuran Lingkup Gerak Sendi dengan Goniometer, menurut

(Trisnowiyanto, 2012) :

1) Posisikan pasien pada posisi tubuh yang benar, yaitu posisi anatomis.

Pengecualian untuk pengukuran rotasi sendi bahu, panggul, dan lengan

bawah. Bagian yang diukur harus terbuka.

2) Jelaskan dan peregakan gerakan yang akan dilakukan kepada pasien.

3) Lakukan gerakan pasif 2 atau 3 kali untuk meng-hilangkan gerakan

substitusi dan ketegangan-ketegangan karena kurang bergerak.

4) Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.

5) Tentukan aksis gerakan baik secara aktif maupun pasif dengan jalan

melakukan palpasi bagian tulangdi sebelah lateral sendi.

6) Letakkan tangkai goniometer yang statik pararel terhadap aksis

longitudinal pada garis tengah segmen (tubuh) yang statik.

7) Letakkan tangkai goniometer yang statik pararel terhadap aksis

longitudinal segmen (tubuh) yang bergerak.

8) Pastikan bahwa aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.

Pegang goniometer antara jari-jari dan ibu jari. Letak goniometer jangan

20 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
sampai menekan kuat pada kulit (jaringan lunak) karena bisa

menggangu gerakan ataupun menyebabkan salah dalam membaca hasil.

9) Bacalah pada awal dan akhir tiap gerakan. Lepaskan goniometer saat

digerakkan dan pasang lagi saat akhir gerakan. Catat hasil pengukuran

LGS nya.

2. Pemeriksaan tingkat keparahan club foot / CTEV

a. Skor dimeglio

Score dimeglio Digunakan untuk menilai derajat clubfoot dengan

mengukur redusibilitas (kemudahan dalam mereduksi) dengan koreksi

yang gentle pada kaki, Score dimeglio ini merupakan score yang paling

reliable dan mudah dilakukan bila dibandingkan dengan system yan

lain, score ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan

clubfoot dari mulai lahir sampai sampai akhir terapi. Pemeriksaan

digambarkan dengan jelas dan objektif

Tabel 2.1
Pengukuran Skor dimeglio
Klasifikasi Tife Skor Reducibility

I Benign <4 to 10 >90% soft-soft.resolving

II Moderate 5 - <10 >50% soft-stiff reducible, partly

resistant

III Severe 10 - <15 <50% stiff-soft, partly reducuble

IV Very Severe 15 - <20 <10 stiff-stiff, resistence

21 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
b. Penilaian clubfoot berdasarkan Ponseti dan Smoley

Sistem ponseti dan smoleyberdasarkan ankle dorsoflexi, varus tumit

dan supinasi forefoot, dan torsi tibia.Hasil dapat di interpretasikan

sebagai baik, dapat diterima atau jelek

Tabel 2.2.
Ponseti dan Smoley
Ankle Heel Varus Adduksi Torsi Tibia Hasil

dorsiflexi Forefoot

>10 0 0-10 0 Baik

0 – 10 0 – 10 10 - 20 Sedang Dapat diterima

0 >10 >20 Berat Jelek

c. Penilaian berdasarkan harol dan walker

Sistem harol dan walker menjadikan kemampuan untuk menilai diformitas

sebagai bahan pertimbangan. Derajat defirmitas ditentukan dengan melihat

apakah kaki dipertahankan pada posisis netral (derajat 1) terap pada posisi

equinos, , atau varus <20 derajat 9derajat 2) dan atau varus >20 derajat (derajat 3)

Tabel 2.3
Harol dan Aalker

Derajat Keparahan Deformitas setelah

koreksi

1 Ringan Netral atau dibawah

2 Sedang <20

3 Berat >20

22 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
3. Analisis Gait

Analisa gait 3 dimensi merupakan metoda umum untuk mengukur

devisai segmental selama gerakan kaki pada pasien clubfoot berumur lebih

dari 3 tahun, analisa ini mengjasilkan data semua sendi pada extremitas

bawahm kinetic dari sendi dan elektromiografi saat berjalan.Untuk

penilaian fungsi dan kualita hidup dapat digunakan SF 36, DSI maupun

Foot Functional index. Foot functional Index merupakan suatu system

penilaian menggunakan skala likert 0-9 untuk menilai nyeri, level

kesukaran, dan waktu untuk beraktivitas.

Tabel 2.4
Analisis Gait

23 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
4. Pengukuran antropometri pada tungkai dan kaki

Pengukuran antripometri yang dapat dilakukan pada pasien clubfoot

adalah panjang tungkai, panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis,

karateristik dari kaki clubfood adalah atropi betis (gastrocnemius),

perbedaan panjang tungkai, dan lutut hiper extensi. Ankle dorsiflexi, lingar

betis dan panjang tungkai adalah salah satu acuan kaki yang sehat.

D. TINJAUAN TENTANG INTERVENSI FISIOTERAPI CTEV


Terapi non operatif atau konservatif pada kasus clubfoot sudah

berkembang saat ini, berbagai tehnik digunakan yaitu tehnik French dan ponseti,

kite dan lovell, Bensahel (manipulasi kaki dengan terapis) dan dimeglio

(menggunakan continyus passive motion), dari semua tehnik tersebuttehnik

ponseti merupakan tehnik yang mempunyai nilai keluaran yang bagus terutama

terutama untuk Negara berkembang. Tehnik ponseti dilakukan dengan koreksi

bertahap pada clubfoot, berupa cavus, adductus, , varus, dan terakhir equinus

koreksi dilakukan dengan menggunakan plester Gips berulang bila perlu

mengoreksi dengan tenotomy, selanjutnya dilakukan pemasangan denis brown

yang dipertahankan sampai usia 3-4 tahun sambil tetap dilakukan latihan

fisioterapi.

1. Stretching

- Definisi

Merupakan gaya peregangan lingkup gerak akhir eksternal terus-

menerus diaplikasikan dengan tekanan berlebih dan dengan kontak atau

alat mekanik, memanjangkan unit muskulotendinosa dan jaringan ikat

24 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
periartikular yang memendek dengan menggerakkan sendi yang terbatas

melewati ROM yang ada.

- Indikasi

 ROM terbatas karena jaringan lunak kehilangan ekstensibilitasnya

akibat perlekatan,kontraktur, dan pembentukan jaringan parut,

 Keterbatasan gerak yang dapat menyebabkan deformitas struktural,

 Kelemahan otot dan pemendekan jaringan yang berlawanan

menyebabkan keterbatasan ROM.

- Kontraindikasi

 Bony block membatasi sendi,

 Fraktur baru,

 Terdapat nyeri tajam dan akut pada gerak sendi atau pemanjangan

otot,

 Terdapat hematoma

 Terjadihipermobilitas

2. TENS

- Definisi

TENS adalah sebuah modalitas yang bertenaga listrik rendah yang

dialirikan ke kulit melewati elektrodra yang di letakkan di atas area yang

mengalami nyeri. Arus listrik mengalami nyeri. Arus listrik yang dapat

diberikan yang dapat diberikan TENS dapat merangsang TENS dapat

merangsang sel neuron sensory yang berdiameter besar untuk masuk

lebih dahulu ke gate di substansia gelatinosa dan menghambat sel

nosiceptor yang berdiameter berdiameter kecil untuk memberikan

25 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
memberikan informasi informasi ke otak, sehingga sehingga rangsang

rangsang nyeri tidak sampai ke otak dan membuat nyeri berkurang.

Modalitas fisioterapi berupa Transcutaneus Electrical Nerve

Stimulation (TENS) dimana menggunakan energi listrik untuk

merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dalam hubungannya

dengan modulasi nyeri. TENS akan menghasilkan efek analgesia dengan

jalan mengaktivasi serabut A beta yang akan menginhibisi neuron

nosiseptif di cornu dorsalis medula spinalis. Teori ini mengacu pada teori

gerbang control (Gate Control Theory) bahwa gerbang terdiri dari sel

internunsia yang bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia

gelatinosa dan y sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak ang

terletak di cornu po di cornu posterior dan sel T sterior dan sel T yang

merelai informasi dari pusat yang lebih tinggi. Impuls dari serabut aferen

berdiameter besar akan menutup gerbang dan membloking transmisi

impuls dari serabut aferen nosiseptor sehingga nyeri berkurang (Parjoto,

2006).

Tipe Arus Listrik

∞ High Frequency TENS :

- Hight frequency TENS biasa dikenal juga dengan Conventional

TENS.

- Menggunakan bentuk gelombang simetric biphasic sinusoidal

atau asimetric biphasic sinusoidal.

26 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
- Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 80 – 110 Hz,

sedangkan pulse sebesar 50 – 80 μs.

- Intensitas/amplitudo arus pada level sensorik.

- Waktu pengobatan adalah 30 – 60 menit.

- Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah Gate Control

theory.

- Indikasi kondisi akut maupun kronik.

∞ Low Frequency TENS :

- Biasa dikenal sebagai acupunture-like TENS.

- Menggunakan bentuk gelombang asimetric biphasic sinusoidal

atau simetric biphasic sinusoidal.

- Pemilihan frekuensi arus relatif rendah yaitu 1 – 5 Hz atau 5 – 10

Hz, sedangkan pulse sebesar 200 – 500 μs.

- Intensitas/amplitudo arus sampai pada level motorik.

- Waktu pengobatan adalah 20 – 30 menit.

- Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah Endogenous

opiate

- Indikasi kondisi kronik

∞ Burst TENS

- Menggunakan bentuk gelombang asimetric biphasic sinusoidal.

- Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 70 – 110 Hz,

sedangkan pulse sebesar 200 – 500 μs.

27 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
- Pemilihan frekuensi burst adalah 1 – 5 bps.

- Intensitas/amplitudo arus sampai pada level motorik.

- Waktu pengobatan adalah 20 – 30 menit.

- Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah Endogenous

opiate.

∞ Brief Intense TENS

- Pemilihan frekuensi arus relatif tinggi yaitu 110 – 200 Hz,

sedangkan pulse sebesar 250 – 400 μs.

- Intensitas/amplitudo arus pada level sensorik sampai motorik

(sesuai toleransi pasien).

- Waktu pengobatan adalah < 15 menit.

- Mekanisme penurunan nyeri yang digunakan adalah blokade tipe

saraf Aδ dan C.

Efek Fisiologis

Secara fisiologis dapat menurunkan nyeri ini sesuai dengan teori

gate control (implus nyeri diatur oleh mekanisme pertahanan di

sepanjang system saraf pusat).Reseptor tidak nyeri diduga memblok

transmisi sinyal nyeri ke otak pada system saraf pusat.Mekanisme ini

akan merugikan keefektifan stimulasi saat digunakan pada area yang

sama seperti cedera saat TENS digunakan pada pasien pasca operatif

elektroda diletakkan disekitar luka 20 beda.Selain itu,keefektifan TENS

adalah efek placebo(pasien mengharapkan agar efektif)dan pembentukan

endofrin,yang juga memblok nyeri.

28 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
Indikasi

 Nyeri akibat trauma

 Nyeri musculoskeletal

 Syndrome kompresi neurovaskuler

 Neuralgia

 Causalgia

Kontraindikasi

 Penderita dengan alat pacu jantung

 Wanita hamil

 Epilepsy

 Luka bakar, luka terbuka serta luka kelamin seperti eskim

3. Sepatu AFO

Ankle foot orthosis (AFO) adalah alat bantu ortopedi berbentuk spling

(menutup sebagian area lesi/kecacatan) yang dipasangkan pada ankle kaki.

AFO ini berbentuk seperti kaki,fungsi utamanya adalah memfiksasi pada

sendi ankle atau lebih tepatnya pada tendon achiles untuk mempertahankan

posisi kaki pada bentuk anatomi normal manusia.Indikasi penggunaan AFO

sendiri dapat diberikan pada pasien cerebral palsy (CP), stroke, drop foot,

dan lesi yang terjadi pada sendi ankle.

Gambar. 2.10
Sepatu AFO

29 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
4. Dennis Brown Splint

Dennis Brown Splint adalah jenis alat bantu orthopedi yang

diindikasikan untuk mengkoreksi kelainan CTEV pada anak sebelum

memasuki usia jalan. Kontruksi utama alat ini adalah adanya plat yang

menghubungkan kedua kaki, sebagai koreksi pada kondisi ini

Gambar. 2.11
Dennis Brown Splint

5. Splint

Merupakan perangkat eksternal yang mengaplikasikan gaya regangan

dengan intensitas yang sangat rendah (beban rendah) selama

periodewaktuyanglamauntukmenghasilkanpemanjanganjaringanlunak yang

relatif permanen dan efektif menurunkan spastisitas otot.

30 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
Gambar. 2.12
Penggunaan Splint

6. Terapi Latihan

Pengaruh terapi latihan yaitu dapat memberikan efek pengurangan nyeri,

baik secara langsung maupun memutus siklus nyeri spasme nyeri. Gerakan

yang ringan dan perlahan merangsang propioceptor yang merupakan

aktivasi dari serabut afferent berdiameter besar. Terapi latihan yang dapat di

berikan adalah strengthening yaitu salah satu latihan yang bertujuan untuk

menguatkan bagian otot. Dalam hal ini, dilakukan latihan penguatan tibialis

anterioryang berguna untuk meningkatkan meningkatkan kekuatan

kekuatan otot tibialis anterior dan Gastrocnemius. Latihan ini merupakan

penguatan isometrik dimana otot berkontraksi tanpa disertai perubahan

panjang otot maupun pergerakan sendi. Selain dapat meningkatkan

kekuatan otot, efek dari latihan ini adalah memompa pembuluh pembuluh

darah balik, sehingga sehingga metabolisme lancar dan dapat mengurangi

mengurangi pembengkakan (Kisner & Colby pembengkakan (Kisner &

Colby, 2007).Terapi yang di berikan pada pasien CTEV adalah latihan

berjongkok, berdiri dan berjalan.

31 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
BAB III

PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI

A. IDENTITAS PASIEN
o Identitas Anak

Nama :Ahmad Faeyza Atthar

TTL : Makassar, 02 Oktober 2017

Usia : 3 Tahun 5 Bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jln. Raya pendidikan komp UNM B5 No. 03

o Identitas Ibu

Nama : Ayu Rismayanti, S.Pd., M.Pd

Usia : 35 Tahun

Pekerjaan : Guru Swasta

B. HISTORY TALKING

o Keluhan utama : Belum bisa berdiri dan berjalan secara normal

o Lokasi keluhan :Ekstremitas inferior bilateral

o Pre-natal : Pada saat hamil yang saat usia 3 bulan ibu pasien

mengalami kecelakaan mobil sehingga mengalami

guncangan yang mengakibatkan organ pada janin

berubah.

o Natal : Proses melahirkan normal tetapi keadaan bayi

dalam posisi sungsang

o Post-natal : Kelainan pada kaki anak sudah terlihat pada

saat anak dilahirkan

32 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
o RPP :Pada saat usia janin pada 3 bulan Ibu dari anak

mengalami kecelakaan mobil sehingga terjadi

guncangan yang mengakibatkan berubahnya posisi

organ anak. Ibu melakukan USG pada saat

kandungannya berusia 6 bulan dan pada saat USG

anak diketahui mengalami kelainan pada kakinya.

Pada saat dilahirkan posisi anak dalam keadaan

sungsang, kemudian di berikan tindakan berupa

Gips pada saat usia anak 40 hari. Pada saat usia

anak memasuki 3 bulan Ibu melepas Gipsnya

karena demam dan tidak nyaman (anak tidak bisa

tidur) dan usia @ tahun lebih orang tua membawa

ke YPAC dengan kondisi kaki sdh terjadi

kontraktur dan cavus sisi lateral.

C. INSPEKSI /OBSERVASI
- Statis

… Pada saat duduk anak terlihat hyperekstensi pada knee

… Posisi kedua tungkai anak cenderung interotasi

- Dinamis

… Jalan pincang

… pasien tidak dapat melakukan fase heel strike sempurna karena

ankle tidak dapat dorsofleksi sempurna

… pasien tidak dapat melakukan foot flat sempurna karena mengalami

keterbatasan dorsofleksi

33 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
… Pada swing fase tidak terjadi dorsofleksi sempurna

… Pada saat berdiri anak menapak menggunakan punggung kaki

… Pada saat berdiri dalam jangka waktu yang lama anak belum mampu

menjaga keseimbangannya

… Lumbal anak dalam keadaan hyperekstensi

D. PEMERIKSAAN DAN PENGUKURAN

1. Pemeriksaan vital Sign

- Denyut nadi : 90x / menit

- Suhu : 36o C

- Tinggi badan : 87,8 cm

- Berat badan : 19,3 cm

- Tes koordinasi : Ada gangguan kordinasi keseimbangan saat

Berdiri dan berjalan

2. Test Orientasi

- Berjalan

- Tes jinjit

- Squat and Bounching

Interpretasi

• Pasien tidak mampu berjalan normal

• Pasien tidak mampu menekuk tumit & kaki secara optimal

• Pasien tidak mampu meluruskan tumit & kaki secara optimal

• Posisi berjinjit tidak sempurna

• Pasien tidak mampu berjongkok secara normal

34 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
3. Tes Club Foot

Adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang

anak positif mengalami club foot atau pes equinovarus dengan jalan

melakukan:

 Toe touching tibia

 Passive manipulation dorsiflexi

 Dorsifleksi kaki dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh bagian

depan os Tibia.

Interpretasi : positif equinovarus karena tidak bisa melakukan

4. Palpasi

M.tibialis anterior, Otot-otot peroneal

… Suhu : Normal

… Kontur Kulit : Ketebalan Kulit

Interpretasi : Spasme (+), Suhu Normal, dan Tenderness (-)

5. VAS

Nyeri Gerak : 6,1


Nyeri Diam : 0
Nyeri Tekan : 0
Interpretasi : ada nyeri hanya saat di gerakkan pasif. Jika pasien
bergerak sendiri, tidak ada nyeri.

35 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
6. Keseimbangan Fungsional

Pemeriksaan ini dikhususkan untuk melihat keseimbangan saat anak

melakukan aktifitas seperti duduk, merangkak, berlutut, berdiri dan

berjalan serta melompat pada anak., apakah aktifitas tersebut pada anak

terganggu atau normal. Sepetri halnya pemeriksaan DDST,

pemeriksaan keseimbangan fungsional dilakukan saat anak sudah mulai

belajar duduk sampai berjalan bahkan melompat. Pemeriksaan tersebut

dengan menggunakan kriteria/ score penilaian sebagai berikut :

A. + : bisa tanpa bantuan

B. +-: bisa dengan bantuan

C. -: tidak bisa

Hasil : Motorik kasar dan halus, koordinasi mata dan anggota tubuh ,

keseimbangan duduk : Mampu sedangkan keseimbangan berdiri dan

berjalan ( Belum Mampu ).

36 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
7. Pemeriksaan Primitif

Jenis Refleks Usia Mulai Usia Menghilang


Refleks Moro Sejak Lahir 6 bulan
Jenis Refleks Sejak Lahir 3-4 bulan
Refleks Babinski Sejak Lahir 9-12 bulan
Refleks Palmar Grasp Sejak Lahir 6 bulan
Refleks Plantar Grrasp Sejak Lahir 9-10 bulan
Refleks Snout Sejak Lahir 3 bulan
Refleks Tonic Neck Sejak Lahir 5-6 bulan
Refleks Terjun 8-9 Bulan Seterusnya ada
(Parachute)
Refleks Landau 3 Bulan 21 bulan
Interpretasi : NORMAL

8. Pemeriksaan Motorik Kasar

Pemeriksaan DDST atau gross motor performance scale

dilakukan jika ada indikasi gangguan yang ada telah mempengaruhi

proses tumbuh kembang anak. Pada anak dengan kondisi CTEV,

problematik yang muncul yang berkaitan dengan proses tumbuh

kembang pada saat anak telah mulai belajar berdiri atau berjalan.

37 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
9. Pengukuran ROM

Tabel 3.1
Pengukuran ROM
Bagian Normal Dorsi Plantar Inversi Eversi

Position Flexion Flexion

Dekstra 35o 100 20o 30o 25o

Sinistra 40o 10o 20o 20o 10o

10. Pemeriksaan MMT

Tabel 3.2
Pengukuran MMT
Kekuatan Otot Hasil

Kiri Kanan

Quadrisep femoris 4 4

Gastrocnemius 3- 3-

Tibialis posterior 2+ 2+

11. Gait test/ diagram of walking (diagram berjalan)

Pemeriksaan ini dikhususkan unutk melihat diagram berjalan

pada anak, apakah fase-fase berjalan atau melangkah pada anak

terganggu atau normal. Seperti halnya pemeriksaan DDST,

pemeriksaan diagram berjalan atau melangkah dilakukan saat anak

sudah mulai memasuki usia belajar berdiri atau berjalan

38 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
– pasien tidak dapat melakukan fase heel strike sempurna karena ankle

tidak dapat dorsofleksi sempurna

– pasien tidak dapat melakukan foot flat sempurna karena mengalami

keterbatasan dorsofleksi

– Pada swing fase tidak terjadi dorsofleksi sempurna

12. Antropometri kaki

Tabel 3.3
Pengukuran Atropometri
Pemeriksaan Hasil

antropometri kiri Kanan

Panjang tungkai 45 cm 45 cm

Lebar kaki 5 cm 5 cm

Panjang kaki 12 cm 13 cm

Lingkar Betis 18 cm 18 cm

13. Pemeriksaan Functional Foot Index (FFI)

Skor Functional Foot Index 117 dengan skor pain 32, Disability 69

dan fuctional limitasi 16.

Kemampuan pasien 117/170 x 100% = 68,8%

39 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
E. ALGORITMA FISIOTERAPI
Algoritma Assessment Fisioterapi

-Statis

Pada saat duduk anak terlihat hyperekstensi pada knee


Posisi kedua tungkai anak cenderung interotasi
- Dinamis

Pada saat berdiri anak menapak menggunakan punggung kaki


Pada saat berdiri dalam jangka waktu yang lama anak belum mampu menjaga
keseimbangannya
Lumbal anak dalam keadaan hyperekstensi

Pemeriksaan / Pengukuran

Vital SIgn ROM Atropometri MMT FFI

“Gangguang Fungsional berjalan kedua tungkai dengan kontraktur tendon

achiles at causa Congenital CTEV bilateral anak usia 3 tahun 4 bulan”

Modalitas terpilih
1. Keterbatasan ROM
2. Kelemahan Otot
3. kontraktur
4. Atropy
5. Gangguan keseimbangan
6. Gangguan pola berjalan

Meningkatkan kemampuan berdiri dan berjalan


secara seimbang dengan kaki menapak, Dapat berdiri
dan berjalan dengan normal

40 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
F. DIAGNOSA FISIOTERAPI

“ Gangguan Fungsional berjalan kedua tungkai dengan kontraktur tendon

achiles at causa Congenital CTEV bilateral anak usia 3 tahun 5 bulan”

G. PROBLEMATIK FISIOTERAPI

No Komponen ICF Pemeriksaan / Pengukuran Yang


Membuktikan

1. Impairment

Kelemahan otot quadriceps femoris dan MMT


otot gastrocnemius, Tibialis Posterior

Keterbatasan ROM Pengukuran LGS ankle


Kontraktur Otot Palpasi dan tes kontraktur
Atropi otot Antropometri (lingkar betis)
2. Activity Limitation

Kesulitan menahan posisi berdiri, berjalan Functional foot Index (FFI)


dan naik tangga

Kesulitan mempertahankan posisi FFI (fungsional Foot Index)


menapak dan berdiri

3. Participation Restriction

Kesulitan saat berlari Pemeriksaan Motorik Kasar. Test


Keseimbangan Fungsional

Kesulitan saat berjalan normal Gait Test, Test Keseimbangan


Fungsional

Kesulitan bermain berhubungan dengan Orientasi Test


coordination

41 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. RENCANA INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang

 Meningkatkan kemampuan berdiri dan berjalan secara seimbang dengan

kaki menapak

 Dapat berdiri dan berjalan dengan normal

 Mengembalikan posisi kaki kearah normal semaksimal mungkin

 Mengembalikan fungsi ADL kaki/tungkai dalam rangka mempersiapkan

tumbuh kembang penderita saat mulai berdiri, berjalan atau melompat

dan berlari.

2. Tujuan Jangka Pendek

 Mengoreksi posisi equinus dari kaki/tulang kaki

 Mencegah pemendekan otot/jaringan lunak lebih lanjut

 Mengeleminir deformitas aquinovarus

 Mencegah keterbatasan sendi dan meningkatkan/ mempertahankan LGS

sendi pergelangan kaki dan kaki (Ankle dan Foot)

42 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
B. STRATEGI INTERVENSI FISIOTERAPI

No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


1. Impairment
Kelemahan otot Meningkatkan TENS, IRR,
quadriceps femoris dan kekuatan otot Strengthening
otot gastrocnemius quadriceps femoris
dan otot
gastrocnemius
Kontraktur otot tibialis Mengurangi Stretching , Posisi
posterior dan tendon kontraktur otot tibialis Jongkok dengan
achilles posterior dan tendon kedua kaki
Achilles menapak
2. Activity Limitation
Kesulitan menahan posisi Meningkatkan Pemakaian splint,
berdiri kemampuan berdiri sepatu AFO dan
Dennis brown
splint
Kesulitan Memperbaiki posisi Pemakaian sepatu
mempertahankan posisi menapak dan berjalan AFO dan 6 M
menapak dan berjalan Walk test
3. Participation
Restriction
Kesulitan berjalan Memperbaiki posisi Streching, AFO
normal dan berlari menapak, berlari dan
berjalan
Kesulitan Berdiri Mempertahankan Ball Exc,
(coordination) Coordination saat Pemakaian splint,
bermain sambil sepatu AFO dan
berdiri menggunakan Dennis brown
ball exercises. splint

43 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
C. PROSEDUR PELAKSANAAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1) Stretching

 Tujuan :Meningkatkan fleksibilitas tubuh, melatih sensorik

motoric serta penguluran otot

 Posisi pasien :Terlentangdimatras

 Posisi terapis :Di samping pasien

 Teknik pelaksanaan :Pasien tidur terlentang kemudian Fisioterapis

mengulur dengan penguluran maksimal

 Dosis :

 F:3 kaliseminggu

 I : penguluran max

 T : Pasif stretching

 T : 20 menit

2) TENS, Sepatu AFO, Splint, Dennis Brown Splint

 Tujuan : Untuk merangsang dan meningkatkan kekuatan otot quadriceps

femoris dan otot gastrocnemius serta memperbaiki postur kaki

 Posis pasien : Duduk

 Teknik pelaksanaan : Fisioterapi memasangkan satu Pad pada bagian

otot quadriceps femoris dan otot tibilalis posterior kemudian

memasangkan sepatu AFO, Splint dan Dennis Brown

 Dosis :

 F: 3 kali seminggu

 I : Leng

 T : 15 menit ( 2 kali)

44 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
3) Latihan Berjalan ( 6 M Walk Test )

 Tujuan :Agar anak dapat mempersiapkan tungkainya dari duduk

untuk berdiri

 Posisi pasien : Duduk

 Posisi terapis : Di belakang pasien

 Teknik pelaksanaan : Fisioterapi menginstruksikan pasien untuk

mencoba berdiri dan bertahan selama 5x hitungan, setelah itu

membantu berjalan.

 Dosis :

 F: Setiap hari

 I : membuat pola berjalan dengan menapak

 T : 6 menit

D. EDUKASI DAN HOME PROGRAM


1. Edukasi

Pemberian Edukasi kepada orang tua pasien tentrang proses pengobatan

CTEV membutuhkan waktu yang lama dan bertahap jadi dibutuhkan

kesabaran orang tua untuk rutin menjalani terapi dan melakukan streching

saat berada dirumah.

2. Home Program

 Lakukan streching dirumah 3 x sehari diluar jadwal terapi

 Pasien disarankan menggunakan sepatu AFO sesering mungkin saat

bermain

 Pasien disarankan tetap latihan berjalan menggunakan sepatu AFO

dirumah sambil sesekali mengevaluasi kemampuan menapak tanpa AFO

45 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
E. EVALUASI

No Problematik Intervensi Evaluasi


Fisioterapi
Awal Terapi Akhir Terapi
1. Kelemahan otot TENS Pemberian intensitas 9 Pemberian intensitas 7
quadriceps femoris MMT nilai 2+ MMT nilai 3
dan otot
gastrocnemius

2 Kontraktur otot Stretching Memberikan Masih memberikan


tibialis posterior stretching stretching
3. Kesulitan menahan Pemakaian Mampu berdiri namun Mampu berdiri dan
posisi berdiri Splint, sepatu belum bisa menjaga sudah bisa menjaga
AFO, dan keseimbangan dalam keseimbangan dalam
latihan berdiri jangka waktu yang jangka waktu 30-45
panjang. Dapat menit
menjaga
keseimbangan dalam
waktu 10 menit

4 Kesulitan Pemakaian Mampu berjalan Mampu berjalan


mempertahankan Splint, sepatu sendiri dengan jangka sendiri
posisi menapak dan AFO dan latihan waktu pendek (15 dalam jangka waktu
berjalan berjalan menit),posisi menapak lama(30-40 menitdan
4 langkah posisi menapak 6
langkah

46 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
BAB V

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ASSESSMENT FISIOTERAPI

Pemeriksaan fisioterapi yang lengkap dan teliti sangat diperlukan untuk

menegakkan diagnosa dan untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi

penderita CONGENITAL TALIHES EQUINO VARUS (CTEV). Dari

permasalahan yang timbul dapat dirumuskan tujuan dan rencana tindakan

fisioterapi yang tepat. Adapun Langkah-langkah pemeriksaan yang dilakukan

dimulai dari anamnesis diikuti inspeksi/observasi, pemeriksaan/pengukuran

fisioterapi, diagnosa fisioterapi dan problematik fisioterapi.

1) Anamnesis

Anamnesis adalah pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara

terapis dengan pasien. Anamnesis atau tanya jawab tentang identitas pasien

dalam hal ini yaitu orang tua pasien karena pasien belum bisa berbicara

(nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat) serta hal-hal yang berkaitan

dengan keadaan atau penyakit penderita seperti keluhan utama, pada kasus

CTEV hal yang perlu ditanyakan menyangkut riwayat keluarga, riwayat

kehamilan ibu, apakah terjadi trauma saat kehamilan, obat-obatan yng

dikomsumsi ibu saat hamil, posisi janin dalam kandungan, Riwayat

persalinan, normal atau Caesar, menggunakan alat bantu atau tidak, Hasil

anamnesis ini akan mengungkap penyebab terjadinya kongenital pada anak.

47 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
2) Inspeksi/observasi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat atau mengamati.

Hal-hal yang bisa dilihat atau diamati seperti posisi duduk,berdiri serta

berjalan. Pada saat duduk anak terlihat knee hiper ektentensi,Posis kedua

tungkai cenderung interotasi.Ketika berdiri bagian yang di gunakan

menapak punggung kaki.Pada saat berdiri anak belum mampu

menjaga keseibangan dalam jangka waktu lama.Pada saat berdiri keadaan

lumbal hyper extension, menurut Carmen Gracia Dkk dalam jurnal

Functional physiotherapy method result for treatmen of idiopatik

clubfoot” menyatakan bahwa anak-anak dengan clubfoot memiliki

masalah keseimbangan, koordinasi kekuatan dan kelincahan sehingga

pelu diobservasi sejak awal problem utama pada anak.

3) Pengukuran Intensitas Nyeri Menggunakan VAS

VAS adalah alat ukur digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas

nyeri yang pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri

mulai “tidak nyeri, ringan, sedang, atau berat”.

Secara operasional VAS umumnya berupa sebuah garis horizontal atau

vertical, Panjang 10 cm (100 mm), seperti yang diilustrasikan pada gambar.

Pasien menandai garis dengan memberikan sebuah titik yang mewakili

keadaan nyeri yang dirasakan pasien saat ini, dalam 24 jam terakhir.

4) MMT ( Manual Muscle Testing )

MMT kekuatan otot ini dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosa fisioterapi dan jenis latihan yang akan diberikan, serta dapat

menentukan prognosis dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi. Maka

48 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
pemeriksaan kekuatan otot dianggap penting. Parameter yang digunakan

untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah pemeriksaan kekuatan otot

secara manual atau sering disebut Manual Muscle Testing (MMT) dengan

ketentuan sebagai berikut :

Nilai 0 Tidak ada kontraksi atau tonus otot sama sekali.


Nilai 1 Terdapat kontraksi atau tonus otot tetapi tidak ada gerakan sama
sekali.
Nilai 2 Mampu melakukan gerakan namun belum bisa melawan garvitasi.
Nilai 3 Mampu bergerak dengan lingkup gerak sendi secara penuh dan
melawan gravitasi tetapi belum bisa melawan tahanan minimal.
Nilai 4 Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dan dapat melawan
tahanan sedang.
Nilai 5 Mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan maksimal.

5) ROM (Joint Range of Motion)


Joint Range of Motion adalah lengkungan yang terbentuk melalui

gerakan aktif dan pasif pada sendi atau serangkaian sendi dengan

menghasilkan sudut gerak.

Fisioterapis menggunakan tes dan pengukuran Joint-ROM untuk menilai

biomekanik dan arthrokinematik dari suatu persendian, termasuk

fleksibilitas dan karakteristik gerakan. Kehilngan Joint-ROM dikaitkan

dengan gangguan fungsi dalam banyak kasus. Respon dimonitoring pada

saat istirahat, selama kegiatan, dan setelah aktivitas yang dapat

mengindikasikan kehadiran atau beratnya impairment, activity limitation,

dan participation restriction. Test dan pengukuran ROM dilakukan dengan

menggunakan alat yang disebut Goniometer

49 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
6) Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi

Pemeriksaan Lingkup gerak sendi adalah luas lingkup gerak sendi

yang mampu dicapai atau dilakukan oleh sendi. Pengukuran LGS yang

sering digunakan adalah goniometri, tapi untuk sendi tertentu

menggunakan pita ukur (misalnya pada vertebra) (Trisnowiyanto,

2012).Pada kasus Clabfoot area yang diperiksa luas gerak sendinya

adalah ankle joint, Cara pengukuran Lingkup Gerak Sendi dengan

Goniometer dengan hasil plantar flexion bagian dekstra 400 dan Sinistra

450 .Inversi dekstra 200 dan sinistra 300`.

7) Keseimbangan Fungsional

Pemeriksaan ini dikhususkan untuk melihat keseimbangan saat anak

melakukan aktifitas seperti duduk, merangkak, berlutut, berdiri dan

berjalan serta melompat pada anak., apakah aktifitas tersebut pada anak

terganggu atau normal. Sepetri halnya pemeriksaan DDST, pemeriksaan

keseimbangan fungsional dilakukan saat anak sudah mulai belajar duduk

sampai berjalan bahkan melompat.

B. PEMBAHASAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1. TENS dapat meningkatkan kekuatan otot quadriceps femoris dan otot

gastrocnemius.Hal ini di buktikan pada awal terapi nilai otot anak 3

menjadi 4.

2. Pemakaian sepatu AFO dan Spilnt dapat memperbaiki postur kaki anak

agar dapat berdiri sesuai postur tubuh normal. Fungsi AFO yaitu

mengontrol pergerakan, mengoreksi aligment, offload weight,

50 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
mengakomodasi atau mencegah deformitas dan kontraktur akibat

ketidakseimbangan kerja otot pada ankle joint.Dibuktikan pada awal terapi

anak masih di bantu berdiri dan masih jatuh,akan tetapi sekarang anak dapat

berdiri dan menjaga keseimbangan dan skala FFI menunjukkan adanya

peningkatan kemampuan aktivitas

3. Terapi Latihan berjalan dapat memperbaiki cara menapak dan berjalan anak.

Dengan tehnik ini mengajarkan kepada anak pola jalan yang benar dengan

cara menapakkan telapak kaki dan tidak lagi menggunakan sisi lateral kaki,

mengingat anak masih berusia 3 tahun dimana emosi anak masih labil

sehngga anak kadang membutuhkan reward jika mampu mengikuti pola

jalan yang benar,Hal ini di buktikan pada awal terapi anak masih berjalan

dengan menjinjit setelah berterapi beberapa kali anak mulai menapak

kakinya 6 langkah, walaupun kadang-kadang tidak dapat mengontrol

menapakkan kaki saat berjalan ketika sedang marah.

4. Pemeriksaan FFI

Foot Function Index (FFI) adalah sebuah lembar indek untuk mengukur

fungsional khususnya untuk kaki yang dapat menggambarkan rasa nyeri,

dissability dan keterbatasan aktivitas sehari-hari yang telah banyak 10

digunakan untuk mengukur kesehatan kaki selama lebih dari dua puluh

tahun. (Budiman et al., 2013).

51 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
DAFTAR PUSTAKA

Almu Muhammad, 2014, korelasi antara skordimeglio dan antropometri kaki pasien
clubfoot unilateral, FKUI, Okrtober 2014

Apley E. Graham, Solomon Louis. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 7th
ed. Ed Bahasa Indonesia, Jakarta: Widya Medika, 1993:200-202.

Afik’s. 2010. CTEV (Conginetal Talipes Equinus Varus). Diaskes :20 Desember
2020http://jelajahfisio.blogspot.com/2010/05/ctev-conginetal-talipes-equinus
varus.html.

Brunicardi, C . 2009. Schwartz’s Principles of Surgery: Talipes Equinovarus, 1717-


1718.

Cailliet Rene. Foot and Ankle Pain. 12th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company, 1980:
1-21

Cahyono B.C. 2012. Congenital Talipes Equinovarus (CTEV).21 Desember 2020 : 178.
Kol. 2-3.

Hussain S, Gomal J. Turco’s postero–medial release for congenital talipes equinovarus


2007 [Internet]. 2008 [cited 2008 Jul 5]. Available from: www.gjm.com

Meidzybrodzka Z. Congenital talipes equinovarus (clubfoot): disorder of the foot but


not the hand [Internet]. 2002 [cited 2008 Jul 29]. Available from:
www.anatomisociety.com

Nugraeni T. 2011. Congenital Talipes Equino Varus. Referat. Kudus: Universitas


Kristen Krida Wacana

Noriela Carmen dkk, 2019 ( Functional Physioterapy method result for the treatment of
idiopathic clubfoot, World Journal of Orthopedic, 18 juni 2019

Ristoari, 2012. Neuro Development Treatment (NDT). Available at:


http://alatterapi.wordpress.com/2012/01/20/neuro-developmenttreatment-ndt/

Rosdiana I. 2012. Rehabilitasi Medik Congenital Talipes Equinovarus. Semarang: RSI


Sultan Agung

Roye, B., Hyman, J,. Roye, D, 2004. Congenital Idiopatic Talipes Equinovarus.

Singh A.K. et al. 2013. Children’s Orthopaedics. Outpatient taping in the treatment of
Idiopathic congenital talipes equinovarus. VOL. 95-B. No. 2 : February 2013

52 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S
Dokumentasi

53 | F i s i o t e r a p i C O N G E N T I N A L T A L I P E S E Q U I N O V A R U S

Anda mungkin juga menyukai