Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Definisi

a. Fraktur

Menurut Apley fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas

struktur tulang.

b. Fraktur supracondylar femur dextra

Fraktur supracondylar femur dextra adalah patah tulang yang

terjadi pada tulang femur sebelah kanan 1/3 bagian distal (Shewring,

1992).

c. Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis

operasi untuk pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur

tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk

mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (Adams, 1992).

Internal fixasi yang digunakan pada kasus ini berupa plate and screws

yang merupakan sebuah lempengan besi dan berupa sekrup yang dipasang

4
5

pada tulang yang patah dan berfungsi sebagai immobilisasi. Biasanya

digunakan pada fraktur tulang panjang.

Gambar 1. Gambar dan foto rontgen fraktur supracondylar femur


(http://www.google.co.id/images)

2. Anatomi Fungsional.

a. Anatomi sendi lutut.

Sendi lutut terdiri dari hubungan antara :

1) Os femur dan os tibia (tibio femorale joint)

2) Os femur dan os patella (patello femorale joint) dan

3) Os tibia dan os fibula (tibia fibulare proximalis joint)

Sendi lutut (knee joint) merupakan sendi yang paling unik

dibandingkan sendi-sendi yang lain dalam tubuh manusia, karena tulang-


6

tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada kesesuaian

bentuk seperti pada persendian yang lain. Sebagai kompensasi

ketidaksesuaian bentuk persendian ini terdapat meniskus, kapsul sendi,

bursa dan diskus yang memungkinkan gerakan sendi ini menjadi luas,

sendi ini juga diperkuat oleh otot-otot besar dan berbagai ligament

sehingga sendi menjadi kuat dan stabil.

Otot disekitar lutut mempunyai fungsi sebagai stabilitas aktif

sekaligus sebagai penggerak dalam aktifitas sendi lutut, otot tersebut

antara lain: m.quadriceps femoris (vastus medialis, vastus intermedius,

vastus lateralis, rectus femoris). Keempat otot tersebut bergabung sebagai

grup ekstensor sedangkan grup fleksor terdiri dari: m.gracilis, m.sartorius

dan m.semi tendinosus. Untuk gerak rotasi pada sendi lutut dipelihara oleh

otot-otot grup fleksor baik grup medial/ endorotasi (m.semi tendinosus,

semi membranosus, sartorius, gracilis, popliteus) dan grup lateral

eksorotasi (m.biceps femoris, m.tensor fascialata).

Ada beberapa ligament yang berfungsi untuk memperkuat

stabilitas pergerakan yang terjadi pada sendi lutut, yaitu ligament

cruciatum anterior dan posterior yang berfungsi untuk menahan

hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan (exorotasi).

Ligament cruciatum posterior berfungsi untuk menahan bergesernya tibia

ke arah belakang. Pada gerakan endorotasi kedua ligament cruciatum

menyatu, yang mengakibatkan kedua permukaan sendi tertekan, sehingga

saling mendekat dan kemampuan bergerak antara tibia dan femur


7

berkurang. Pada gerakan exorotasi, kedua ligament cruciatum saling

sejajar, sehingga pada posisi ini sendi kurang stabil. Di sebelah medial dan

lateral sendi lutut terdapat ligament collateral medial dan lateral. Ligament

collateral medial menahan gerakan valgus serta exorotasi, sedangkan

ligamen collateral lateral hanya menahan gerakan ke arah varus. Kedua

ligament ini menahan bergesernya tibia ke depan dari posisi fleksi lutut

900 (De Wolf, 1994).

Hubungan yang simetris antara condylus femoris dan condylus

tibia dilapisi oleh meniskus dengan struktur fibrocartilago yang melekat

pada kapsul sendi. Meniskus medialis berbentuk seperti cincin terbuka “C”

dan meniscus lateralis berbentuk cincin “O”. Meniskus ini akan membantu

mengurangi tekanan femur atas tibia dengan cara menyebarkan tekanan

pada cartilago articularis dan menurunkan distribusi tekanan antara kedua

condylus, mengurangi friksi selama gerakan berlangsung, membantu

kapsul sendi dan ligamen dalam mencegah hiperekstensi lutut dan

mencegah capsul sendi terdorong melipat masuk ke dalam sendi. Pada

kasus fraktur supracondylar femur terjadi patah pada bagian atas daripada

condylus femoris. Mengenai anatomi sendi lutut lebih jelasnya dapat

dilihat pada gambar 2.


8

Gambar 2. Sendi lutut dan ligament (Putz, R dan Pabst, R. 2002)


9

b. Sistem otot

1) Musculus semitendinosus

Origo : Tuber ischiadicum

Insertio : Tuberositas tibiae

Inervasi : n. Tibialis

Fungsi : Flexor tungkai bawah

2) Musculus semimembranosus

Origo : Tuber ischiadicum

Insertio : Condylus medialis tibiae

Inervasi : n. Tibialis

Fungsi : Flexor tungkai bawah

3) Musculus gastrocnimeus

Origo : Caput mediale pada condylus medialis femoris, caput

laterale pada condylus lateralis femoris.

Insertio : Posterior Os calcaneus.

Inervasi : n. Tibialis cabang S1-2

Fungsi : Plantar flexi ankle joint, membantu flexi knee joint

4) Musculus gracilis

Origo : Ramus inferior ossis pubis dan ossis ischii

Insertio : Tuberositas tibiae di belakang tendo musc. sartorius

Inervasi : Ramus anterior n. Obturatoria L2-4

Fungsi : Flexor dan internal rotasi tungkai bawah serta adduktor

dan flexor hip.


10

5) Musculus sartorius

Origo : Spina iliaca anterior superior

Insertio : Tuberositas tibiae

Inervasi : n. Femoralis cabang n. Lumbalis 2-3

Fungsi : Flexor dan internal rotasi tungkai bawah serta flexor,

abduktor dan external rotasi hip

6) Musculus biceps femoris

Origo : Caput longum pada tepi bawah tuber ischiadicum,

caput brevis pada labium laterale lineaaspera.

Insertio : Capitulum fibulae bagian lateral dan condylus lateralis

tibiae.

Inervasi : n. Tibialis (longum) dan n. peroneus comunis (brevis)

Fungsi : Flexor tungkai bawah

7) Musculus vastus lateralis

Origo : Dataran lateral dan anterior trochantor major femoris,

labium laterale linea aspera

Insertio : Lateral os. Patella

Inervasi : n. Femoralis dari L2-4

Fungsi : Extensor tungkai bawah

8) Musculus vastus medialis

Origo : Labium mediale linea aspera

Insertio : Setengah bagian atas os. Patella

Inervasi : n. Femoralis dari L2-4


11

Fungsi : Extensor tungkai bawah

9) Musculus vastus intermedius

Origo : Dataran anterior corpus femoris

Insertio : Tuberositas tibiae

Inervasi : n. Femoralis dari L2-4

Fungsi : Extensor tungkai bawah

10) Musculus rectus femoris

Origo : Spina iliaca anterior inferior, superior acetabulum

Insertio : Patella

Inervasi : n. Femoralis cabang n. Lumbalis 2-4

Fungsi : Extensor tungkai bawah, flexor dan abduktor hip

Untuk sistem otot lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3 dan 4

pada halaman berikutnya.


12

Gambar 3. Otot-otot sendi lutut dilihat dari posterior (Putz, R dan Pabst, R. 2002)
13

Gambar 4. Otot-otot sendi lutut dilihat dari anterior (www.google.com)


14

c. Biomekanik sendi lutut.

Aksis gerakan fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi

yaitu melewati condylus femoris. Sedangkan gerakan rotasi aksisnya

longitudinal pada daerah condylus medialis. Lingkup gerak sendi ekstensi

50 - 100 hiperekstensi atau 00. Gerakan ekstensi dibatasi oleh ketegangan

kapsul dan ketegangan ligamen dan twisting ligamen. Sedangkan untuk

gerakan fleksi lingkup gerak sendi berkisar 1400-1500. Gerakan fleksi

dibatasi kontaknya otot-otot jaringan lunak tumit dan bagian posterior

paha.

Menurut Fick, rotasi lutut maksimal yaitu sebesar 500 terjadi pada

saat lutut fleksi 900. Gerakan rotasi juga sangat penting dalam gerakan

fleksi dan ekstensi lutut. Pada saat gerakan ekstensi mendekati akhir gerak

(150 – 200) terjadi rotasi eksternal tibia terhadap femur, demikian

sebaliknya sewaktu gerakan awal fleksi (150 – 200) akan terjadi rotasi

internal tibia terhadap femur. Penggerak gerakan lutut ke arah dalam

adalah m.popliteus, m.gracilis dan dibantu oleh hamstring bagian dalam.

Sedangkan penggerak rotasi ke arah luar adalah m.biceps femoris dan

m.tensor fascialata (Kapandji, 1987).

3. Etiologi

Etiologi adalah Ilmu pengetahuan atau teori tentang faktor-faktor

yang menyebabkan penyakit dan metode masuknya penyebab penyakit ke

tubuh seseorang atau asal mula terjadinya penyakit. Fraktur supracondylar


15

femur biasanya terjadi pada orang dewasa. Fraktur supracondylar femur

biasanya disebabkan saat jatuh dengan lutut ter hempas ketanah atau saat

pasien mengendarai sepeda motor lalu melewati tikungan dan lututnya

berserempetan dengan pengendara lain dari arah berlawanan.

Menurut etiologinya, fraktur dapat terjadi akibat :

a. Peristiwa trauma tunggal baik secara langsung maupun tidak langsung

b. Kelelahan atau trauma yang berulang-ulang

c. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologis) (Appley,1995).

Pada kasus yang saya angkat ini fraktur supracondylar femur dextra

terjadi akibat kecelakaan lalulintas dimana pasien pada saat mengendarai

sepeda motornya dengan spontan melewati lampu hijau, namun tiba-tiba dari

arah kiri ada sebuah mobil box yang menerobos lampu merah dengan cepat

sehingga pasien terkejut dan berusaha untuk menghindari mobil tersebut tetapi

karena jarak yang terlalu dekat akhirnya lutut kanan pasien menabrak

belakang mobil tersebut sehingga pasien terjatuh dan tidak sadarkan diri pada

saat itu juga.

4. Patologi

Patologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari sifat

esensial penyakit, khususnya perubahan struktural dan fungsional pada

jaringan dan organ tubuh yang menyebabkan, atau disebabkan oleh fungsional

penyakit (Dorland, 2002). Pada pemasangan plate and screw akan mengalami

proses penyambungan tulang. Menurut Apley (1995) melalui beberapa tahap


16

antara lain: fraktur secara langsung memisahkan sebagian besar kapiler yang

berjalan longitudinal dalam tulang keras dan segera fragmen fraktur akan

terjadi. Ischaemia dengan patah beragam, biasanya beberapa millimeter

dengan aliran darahnya, osteochyt dengan permukaan fraktur akan mati, tapi

ini terjadi setelah 24 jam terjadi perpatahan pada tulang (Adam, 1992).

Menurut Apley (1995) proses penyambungan tulang dibagi dalam

lima tahap yang terdiri dari :

a. Hematoma

Tahap hematoma terjadi dalam waktu 1-3 hari. Hematoma adalah

suatu proses perdarahan dimana darah pada pembuluh darah tidak sampai

pada jaringan sehingga osteocyte mati, akibatnya terjadi necrose. Tulang

pada permukaan fraktur yang tidak mendapat suplai darah akan mati

sepanjang satu atau dua millimeter. Setelah 24 jam suplai darah ke area

fraktur mulai meningkat.

b. Proliferasi

Tahap proliferasi terjadi dalam waktu 3 hari-2 minggu. Proliferasi

adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilago keluar dari

ujung–ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat bentukan

pulau–pulau cartilago. Pada stadium ini terjadi pembentukan granulasi

jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah, fibroblast dan


17

osteoblast. Hematoma yang membeku perlahan-lahan akan diabsorbsi dan

kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu.

c. Pembentukan callus

Populasi sel yang berkembang berubah menjadi osteoblas dan

osteoklas. Osteoblas akan bercampur dengan intercellular subtance, yaitu

collagen dan polisacharide serta garam calcium sehingga terjadi proses

calcifikasi dan terbentuklah callus. Tahap pembentukan callus terjadi

setelah 6-10 hari setelah kecelakaan.

d. Konsolidasi

Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada

kedua ujung tulang. Bila aktivitas ostoeclastic dan osteobalstic berlanjut,

anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Sistem itu sekarang

cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui

reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat dibelakangnya osteoblas mengisi

celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini

ádalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan, sebelum

tulang cukup untuk membawa beban yang normal. Tahap konsolidasi

terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan.

e. Remodeling

Tahap remodelling terjadi dalam waktu 6 minggu - 1 tahun.


18

Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali

atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat

secara perlahan-lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis.

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pasien fraktur dapat

dibedakan berdasarkan dilihat, dipegang dan digerakkan.

a. Dilihat

Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas,

tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan

luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka.

b. Dipegang

Terdapat nyeri tekan setempat dan spasme otot quadricep, tetapi

perlu juga memeriksa bagian dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk

menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang

memerlukan pembedahan.

c. Digerakan

Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih

penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-

sendi di bagian distal dari cidera. Akan timbul tanda dan gejala akibat

adanya luka bekas operasi, antara lain:


19

1) Rasa nyeri pada luka terbaka pada daerah lutut dan bekas incisi pasca

operasi

2) Adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada lutut

3) Adanya penurunan kekuatan otot

4) Adanya penurunan aktivitas fungsional yang melibatkan tungkai yang

sakit.

6. Komplikasi atau Faktor Penyulit

Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan tindakan operasi

pada pasien open fraktur supracondylar femur adalah :

a. Infeksi

Infeksi yang terjadi karena terdapat luka terbuka yang

mengakibatkan adanya kontak langsung tulang dan jaringan disekitarnya

dengan udara diluar dan luka bekas operasi yang tidak steril sehingga

memperlama proses penyembuhan dan peralatan operasi yang tidak steril,

dan nerve injury yaitu kelumpuhan saraf karena saraf terluka akibat

tindakan operasi (Anonim).

b. Kerusakan kulit

Kerusakan kulit yang disebabkan karena immobilisasi. Tekanan

immobilisasi yang tidak benar menyebabkan timbulnya perlukaan pada

kulit, yang bila dibiarkan terus menerus dapat mengakibatkan ulkus tekan
20

(Gorrison, 1995). Tingkat kerusakan kulit akibat adanya fraktur terbuka

dibedakan menjadi 3 derajat yaitu :

1) Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,

biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus

keluar.

2) Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena

benturan dari luar.

3) Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajad II, lebih kotor dan

jaringan lunak banyak yang mengalami kerusakan (otot, pembuluh

darah dan saraf).

c. Avascular nekrosis

Avaskular nekrosis merupkan kerusakan tulang yang disebabkan

karena vaskularisasi yang tidak lancar pada daerah sekitar fraktur

khususnya dibagian distal (Adam, 1992).

d. Deep vein thrombosis

Deep vein trombosis pada pasien pasca operasi, penyebab

utamanya adalah hiperkoagulasi darah, immmobilisasi yang lama,

kerusakan endotel serta peningkatan jumlah dan perlengketan trombosit

yang diakibatkan oleh cidera operasi (Appley, 1995).


21

7. Prognosis Gerak dan Fungsi

Pada kasus post operasi fraktur supracondylar femur mempunyai

prognosis gerak dan fungsi yang baik jika pasien secepat mungkin di bawa ke

rumah sakit setelah trauma untuk mendapatkan penanganan yang tepat oleh

tim medis dan pasien pasca operasi segera mendapatkan penanganan dari

fisioterapi untuk mendapatkan terapi, sehingga oedema, nyeri, penurunan

LGS, dan penurunan kekuatan otot dapat diatasi, serta kontraktur dan

kekakuan sendi dapat dicegah. Prognosis gerak dan fungsi akan buruk apabila

fraktur disertai komplikasi atau faktor penyulit dan tidak mendapatkan

fisioterapi.

Prognosis yang ada meliputi:

a. Quo ad vitam

Quo ad vitam adalah prognosis tentang hidup matinya pasien.

Pada kasus fraktur ini dikatakan baik jika tidak ada komplikasi yang

mengancam jiwa pasien.

b. Quo ad sanam

Quo ad sanam pada kasus ini dikatakan baik jika telah direposisi

dan difiksasi dengan baik sehingga fragmen yang fraktur akan stabil dan

mempercepat proses penyambungan tulang karena fraktur ini tidak

menimbulkan robekan pada permukaan kulit.


22

c. Quo ad fungsionam

Quo ad fungsionam, berkaitan dengan tingkat kemampuan

fungsional pasien. Dikatakan baik apabila pasien dapat segera melakukan

aktivitas fungsional. Setelah menjalani terapi latihan yang intensif dapat

meningkatkan/mengembalikan aktivitas fungsional pasien.

d. Quo ad cosmeticam

Quo ad cosmeticam, membahas tentang kosmetika yang baik

setelah operasi. Dilihat dari bentuk yang baik, tetapi pada kondisi fraktur

terbuka kosmetikanya bisa dikatakan dubia ad bonam jika dilakukan

penanganan yang baik. (Prasetya hudaya, 2002).

B. Deskripsi Problematika Fisioterapi

Dari segi fisioterapi pada kasus pasca operasi fraktur supracondylar

supracondylar femur akan menimbulkan gangguan berupa impairment, functional

limitation,dan participation restriction.

1. Impairment

Impairment adalah suatu gangguan setingkat jaringan atau bisa juga

suatu keluhan yang dirasakan oleh pasien yang berhubungan dengan penyakit

penderita.
23

a. Oedema disekitar daerah fraktur

Oedema merupakan suatu reaksi suatu radang atau respon tubuh

terhadap jaringan sekitar yang mengalami kerusakan akibat adanya

sayatan pada tindakan operasi. Dengan terputusnya pembuluh darah, maka

cairan exudat dari pembuluh darah akan masuk kejaringan interstitial yang

akan menimbulkan oedema. Parameter yang digunakan untuk mengetahui

oedema adalah pengukuran lingkar segmen tubuh (anthropometri) dengan

menggunakan pita ukur (meteran).

b. Nyeri pada daerah sekitar bekas luka incise

Akibat luka terbuka dan incisi didaerah sekitar fraktur

menyebabkan adanya peningkatan tekanan intra sel yang akan menekan

nociseptor sehingga akan menimbulkan nyeri. Parameter yang digunakan

untuk mengukur nyeri adalah Verbal Descriptive Scale (VDS) yaitu cara

pengukuran derajat nyeri dengan 7 skala penilaian. Terapis menjelaskan 7

skala nyeri lalu pasien diminta untuk menyebutkan seberapa nyeri yang

dirasakan dengan memilih salah satu dari 7 skala. Pemeriksaan derajat

nyeri meliputi nyeri diam, nyeri gerak, dan nyeri tekan.

c. Penurunan LGS

Penurunan LGS adalah suatu kondisi dimana sendi tidak dapat

bergerak dengan LGS penuh. Akibat adanya nyeri dan oedema didaerah

sekitar fraktur dapat membuat pasien enggan untuk bergerak dan


24

cenderung memposisikan yang menetap yang dirasa nyaman oleh pasien.

Jika hal ini dibiarkan lama akan menimbulkan jaringan fibrotik yang

mengakibatkan LGS menurun (Kisner,1996). Alat ukur yang digunakan

dalam mengukur LGS adalah goniometer.

d. Penurunan kualitas kekuatan otot lutut

Terjadi karena pasien enggan menggerakkan lututnya dalam waktu

cukup lama disebabkan adanya oedema dan nyeri sekitar fraktur dan

disuse atropi. Parameter yang digunakan untuk mengetahui kekuatan otot

adalah pemeriksaan kekuatan otot secara manual muscle testing (MMT).

2. Fungsional limitation

Adanya gangguan aktivitas fungsional yang melibatkan gerakan lutut

seperti berdiri, jalan. Aktivitas tersebut terganggu karena adanya oedema,

nyeri gerak, dan proses penyambungan tulang yang belum mampu

menggerakkan lutut secara LGS penuh.

3. Participation restriction

Ketidakmampuan pasien dalam mengikuti kegiatan lingkungan yang

berhubungan dengan aktivitas fisik.


25

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi problematik dalam

kasus post orif fraktur supracondylar femur dextra adalah dengan infra merah dan

terapi latihan.

1. Infra Merah

a. Definisi

Sinar infra merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik

dengan panjang gelombang 7700 A° -4 juta A° (Sujatno,Ig et al. 2003).

Klasifikasi berdasarkan panjang gelombangnya, infra merah dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Gelombang panjang

Panjang gelombang diatas 12.000 Ao - 150.000 Ao. Daya

penetrasinya hanya sampai lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar

0,5 mm.

2) Gelombang pendek

Panjang gelombang antara 7.700 Ao - 12.000 Ao. Daya

penetrasinya lebih dalam dari pada gelombang panjang, yaitu sampai

jaringan subcutan dan dapat berpengaruh secara langsung terhadap

pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe, ujung- ujung saraf, dan

jaringan lain dibawah kulit, yaitu sekitar 3 mm.


26

b. Efek fisiologis

1) Meningkatkan proses metabolisme

Suatu reaksi kimia dapat dipercepat dengan adanya panas atau

kenaikan temperatur akibat pemanasan.Sehingga proses metabolisme

yang terjadi pada lapisan superficial kulit akan meningkat sehingga

pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih lancar, begitu

juga pengeluaran sampah-sampah pembakaran.

2) Vasodilatasi pembuluh darah

Dilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriole akan terjadi

segera setelah penyinaran. Kulit akan mengadakan reaksi dan

berwarna kemerah-merahan yang disebut eritema. Sehingga pembuluh

darah mengalami pelebaran sehingga nutrisi dan oksigen dapat beredar

keseluruh tubuh.

3) Pengaruh terhadap saraf sensoris

Mild heating mempunyai pengaruh terapeutik terhadap ujung-

ujung saraf sensoris.

4) Pengaruh terhadap jaringan otot

Kenaikan temperatur membantu terjadi rileksasi otot,

pemanasan juga akan mengaktifkan terjadinya pembuangan sisa-sisa

metabolisme.

5) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat

Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf

sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat.


27

c. Efek terapeutik

1) Mengurangi rasa sakit

Mild heating menimbulkan efek sedatif pada superficial

sensory nerve ending (ujung-ujung saraf superficial), stronger heating

dapat menyebabkan counter irritation yang akan menimbulkan

pengurangan nyeri.

2) Relaksasi otot

Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan

hangat dan rasa nyeri tidak ada.

3) Meningkatkan suplai darah

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi,

yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah ke jaringan

setempat.

4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula

gudoifera (kelenjar keringat) diseluruh badan, sehingga dengan

demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme

melalui keringat.

d. Indikasi

1) Penyakit kulit

2) Arthritis seperti rematoid arthritis, osteoarthritis, myalgia


28

3) Kondisi peradangan setelah sub acute seperti kontusio, muscle strain,

muscle sprain, trauma sinovitis

e. Kontra indikasi

1) Daerah dengan insufisiensi pada darah

2) Gangguan sensibilitas kulit

3) Adanya kecenderungan terjadi pendarahan

2. Terapi latihan

Terapi latihan merupakan jenis terapi yang pelaksanaannya

menggunakan latihan-latihan tubuh, baik secara pasif maupun aktif (Kisner,

1996). Menurut pendapat Appley bahwa salah satu prinsip penanganan

post orif yaitu memulihkan fungsi, bukan hanya bagian pada yang mengalami

cidera tetapi juga pada pasien keseuruhan tujuannya adalah mengurangi

oedema, mengurangi nyeri, meningkatkan LGS, memulihkan tenaga otot dan

memandu pasien kembali ke aktivitas normal.

a. Kontraksi statik (static contraction)

Kontraksi statik merupakan suatu terapi latihan dengan cara

mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot maupun

pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan Kontraksi statik adalah

memperlancar sirkulasi darah sehingga dapat membantu mengurangi

oedem dan nyeri serta menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.
29

b. Latihan gerakan pasif (passive exercise)

Latihan gerakan pasif merupakan gerakan yang terjadi oleh

kekuatan dari luar dan bukan kontraksi otot yang disadari. Kekuatan dari

luar tersebut berasal dari mesin, orang lain atau bagian tubuh lain dari

individu itu sendiri (Kisner,1996). Teknik latihan gerakan pasif terdiri dari

dua teknik yaitu :

1) Relaxed passive movement yaitu pemberian gerak pasif yang

dilakukan sampai batas nyeri.

2) Forced passive movement yaitu pemberian gerak pasif disertai

dorongan pada akhir gerakan sampai batas nyeri tak tertahankan untuk

mencapai LGS yang penuh (Appley, 1995). Relaxed passive

movement tepat diberikan pada kondisi masih nyeri (Kisner, 1996).

c. Latihan gerakan aktif (active exercise)

Latihan gerakan aktif merupakan gerakan yang terjadi akibat kerja

otot–otot anggota tubuh itu sendiri (Kisner, 1996). Latihan gerakan aktif

dapat memacu reaksi pumping action otot yang membantu cairan oedema

bergerak ke proksimal dan ikut dalam peredaran darah sehingga oedema

akan menurun. Selain itu latihan gerakan aktif dapat meningkatkan

aktivitas fungsional (Kisner, 1996).

Latihan gerakan aktif dapat berupa latihan gerak aktif tanpa

bantuan (free active exercise), latihan gerak aktif dengan bantuan (assisted

active exercise) dan latihan gerak aktif melawan tahanan (resisted active
30

exercise). latihan gerak aktif tanpa bantuan adalah gerakan yang dilakukan

oleh penderita sendiri tanpa mendapat bantuan maupun tahanan dari luar,

tetapi dilakukan melawan gravitasi. Hal ini dapat membuat sirkulasi darah

menjadi lancar sehingga oedema akan berkurang. Dengan berkurangnya

oedema maka nyeri juga akan berkurang. Sedangkan latihan gerak aktif

melawan tahanan dapat meningkatkan kekuatan otot, dimana latihan ini

akan meningkatkan rekrutmen motor unit–motor unit sehingga akan

semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja. Dapat dilakukan

dengan peningkatan secara bertahap, beban atau tahanan yang diberikan

dengan penurunan frekwensi pengulangan (Kisner, 1996).

d. Hold relax

Hold relax merupakan salah satu teknik Propioceptor neuro

muscular fascilitation (PNF), yaitu suatu teknik yang menggunakan

kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok otot antagonis yang

memendek, dengan melawan tahanan dari terapis kearah berlawanan

(agonis) dan dilanjutkan dengan rileksasi grup otot tersebut. Kemudian

dilakukan penguluran pada kelompok otot antagonis. Gerakan ini

dilakukan dengan tujuan untuk menambah LGS sedangkan untuk

mengurangi nyeri setelah kontraksi maksimal maka membutuhkan suplay

darah yang besar dan darah yang mengalir kejaringan semakin besar dan

zat ‘P’ ikut terangkut (Kisner, 1996).

Anda mungkin juga menyukai